TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Minum
Air minum adalah salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Air minum
adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang
memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air minum yang baik
adalah air yang memenuhi persyaratan seperti bebas dari cemaran
mikroorganisme maupun bahan kimia yang berbahaya dan tidak berasa, berwarna,
dan berbau (Soemirat, 2009).
Penyediaan air bersih selain kuantitasnya, kualitasnya pun harus
memenuhi standar yang berlaku. Karena air baku belum tentu memenuhi standar,
maka dilakukan pengolahan air untuk memenuhi standar air minum. Pengolahan
air minum dapat sangat sederhana sampai sangat kompleks tergantung kualitas air
bakunya. Apabila air bakunya baik, maka mungkin tidak diperlukan pengolahan
sama sekali. Apabila hanya ada kontaminan kuman, maka desinfeksi saja sudah
cukup, tetapi apabila air baku semakin jelek kualitasnya maka pengolahan harus
lengkap (Soemirat, 2009).
2.2 Syarat Air Minum
Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa,
dan tidak berbau. Air minumpun seharusnya tidak mengandung kuman pathogen
dan segala makhluk yang membahayakan kesehatan manusia. Tidak mengandung
zat kimia yang dapat mengubah fungsi tubuh, tidak dapat diterima secara estetis,
dan dapat merugikan secara ekonomis (Soemirat,2009).
Pentingnya pengelolaan air minum sedimikian rupa sehingga air tersebut
memenuhi/ paling tidak mendekati syarat yang dikehendaki. Air yang diperlukan
harus memenuhi syarat kesehatan, baik kualitas maupun kuantitasnya.
2.2.1 Syarat Kualitas
Untuk kepentingan masyarakat sehari-hari, persedian air harus memenuhi
standar air minum dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Menurut
Kepmenkes RI no.907/MENKES/VII/2002, standar-standar air minum yang harus
dipenuhi agar suatu persedian air dapat dinyatakan layak sebagai air minum :
1. Memenuhi Persyaratan Bakteriologis
Air minum yang akan dipergunakan harus terhindar dari kemungkinan
terkontaminasi dari kuman-kuman, parasite maupun patogen.
2. Memenuhi Persyaratan Kimia
Air yang akan dipergunakan adalah air yang tidak tercemar secara berlebihan
oleh zat-zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan. Bahan-bahan
kimia kimia itu terdiri dari :
a. Bahan-bahan inorganik seperti air raksa, cadmium, tembaga, timah, besi,
seng, dan lan-lain.
b. Bahan-bahan organik seperti benzene, toluene, acrylamide, vinil chlorida,
dichloromethane, tetrachloroethane, 2-chlorophenol, 2,4-dichlorophenol,
2,4,6-trochlorophenol, styrene dan lain-lain.
c. Pestisida seperti DDT, permetthrin, lindane, propanil, simazine, fenoprop dan
3. Memenuhi Persyaratan Radioaktif
Air minum yang baik seharusnya tidak memiliki radioaktif dalam air yang
dapat menggangu kesehatan seperti Gross alpha activity dan Gross beta activity.
4. Memenuhi Persyaratan Fisik
Air yang dipergunakan untuk minum sebaiknya tidak berbau, berasa,
jernih, suhu ± 3oC dari suhu udara dan tidak keruh.
2.2.2 Syarat Kuantitas
Peningkatan kuantitas air adalah merupakan syarat kedua setelah kualitas,
karena semakin maju tingkat hidup seseorang maka akan semakin tinggi pula
tingkat kebutuhan air dari masyarakat tersebut (Sutrisno,2004). Tabel berikut ini
sebagai perbandingan penggunaan air bersih di Indonesia dan Amerika serikat
berdasarkan keperluan rumah tangga (Soemirat,2009) .
Tabel 2.1 Konsumsi Air Bersih di Perkotaan Indonesia Berdasarkan Keperluan rumah tangga
Keperluan Konsumsi
1/or/h
Mandi, Cuci, Kakus 12,0
Minum 2,0
Cuci Pakaian 10,7
Kebersihan Rumah 31,4
Taman 11,8
Cuci Kendaraan 21,1
Wudhu 16,2
Jumlah 138,5
Kebutuhan Pemanfaa L/h
Minum dan Masak 7,6
Mesin cuci piring 14
Toilet 91
Mandi 76
Cuci Pakaian 32
Siram Tanaman 9,5
Pembuangan 95
Sampah 2,7
Jumlah 327,8
Tabel 2.2 Perkiraan Kebutuhan Air Bagi Keluarga Dengan Empat Anggota di U.S.A
tan
Sumber : Penelitian yang dilakukan oleh James Lamb 1985(Soemirat,2009).
2.3 Jenis Air Minum
Menurut Kepmenkes RI No 907/MENKES/SK/VII/2002, tentang syarat
syarat dan pengawasn kualitas air minum, disebutkan bahwa jenis air minum
meliputi :
a. Air yang didistribusikan melalui pipa untuk keperluan rumah
tangga.
b. Air yang didistribusikan melalui tangki air .
c. Air kemasan.
d. Air yang digunakan untuk produksi bahan makanan dan minuman
yang disajikan kepada masyarakat.
Dalam ketentuan umum Peraturan Menteri Kesehatan RI no.
907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air
atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum.
Air minum kemasan atau dengan istilah AMDK (Air Minum Dalam
Kemasan), merupakan air minum yang siap di konsumsi secara langsung tanpa
harus melalui proses pemanasan terlebih dahulu (BSN, 2006).
2.4 Air Minum Dalam Kemasan Plastik
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia no.
96/M-IDN/PER/12/2011, AMDK memiliki definisi yang jelas, yaitu air yang
telah diproses, tanpa bahan pangan lainnya dan bahan tambahan pangan, dikemas,
serta aman untuk diminum. Air minum dalam kemasan yang aman, harus
memenuhi persyaratan air minum dalam kemasan yang diatur sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor SNI-01-3SS3-1996. Untuk hal tersebut
diperlukan pengendalian mutu dari awal sampai dengan akhir meliputi, bahan
baku, proses produksinya, serta produk jadi, dalam hal ini yaitu produk AMDK.
Air minum kemasan atau dengan istilah AMDK (Air Minum Dalam
Kemasan), merupakan air minum yang siap di konsumsi secara langsung tanpa
harus melalui proses pemanasan terlebih dahulu. Air dalam kemasan mencakup
air mineral dan air demineral. Air mineral adalah air minum dalam kemasan yang
mengandung mineral dalam jumlah tertentu tanpa menambahkan mineral,
sedangkan air demineral merupakan air minum dalam kemasan yang diperoleh
melalui proses pemurnian seperti destilasi, reverse osmosis, dan proses setara
(BSN, 2006).
Air minum dalam kemasan secara umum dapat dikelompokkan menjadi
biasanya dilakukan pengisisan ulang baik oleh produsen bermerek maupun depot
air minum isi ulang (tanpa merek), dan lebih banyak dikonsumsi oleh konsumen
yang berada di perkantoran, hotel, dan rumah tangga. Sedangkan konsumen utama
AMDK kemasan Small/single pack atau kemasan yang dapat dibawa secara
praktis seperti kemasan 1500ml /600ml (botol), 240 ml/220 ml (gelas) dikonsumsi
orang-orang yang sedang melakukan perjalanan (Arif, 2009) .
2.4.1 Jenis-jenis AMDK
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia no. 96/M-
IDN/PER/12/2011, jenis-jenis AMDK yang beredar di Indonesia, diantaranya
adalah :
1. Air Mineral
Air mineral adalah air minum dalam kemasan yang mengandung mineral
dalam jumlah tertentu tanpa penambahan mineral.
2. Air Demineral
Air demineral adalah air minum dalam kemasan yang diperoleh melalui
proses pemurnian secara distilasi, deionisasi, reverse osmosis.
3. Air Mineral Alami
Air mineral alami adalah air minum yang diperoleh langsung dari sumber
air alami atau dibor dari sumur dalam, dengan proses terkendali yang menghindari
pencemaran atau pengaruh luar atas sifat kimia, fisika, dan mikrobiologi air
4. Air Minum Embun
Air minum embun adalah air yang diperoleh dari proses pengembunan uap air
dari uadara lembab menjadi tetesan air embun yang diola lebih lanjut menjadi air
minum embun yang dikemas.
2.4.2 Proses Produksi Berbagai Jenis AMDK 1 . Air Mineral
Tahap air tanah atau air permukaan pertama-tama ditampung dalam bak
ataupun tangki.Bila lokasi sumber air cukup jauh, air dapat dialirkan
menggunakan pipa atau diangkut menggunakan tangki. Pada proses transportasi,
air dapat ditambahkan desinfektan.
Tahap selanjutnya adalah penyaringan atau filtrasi.Penyaringan dilakukan
dalam beberapa tahap yakni penyaringan secara mikrofiktrasi penyaringan dengan
karbon aktif, dan penyaringan secara makro- filtrasi. Penyaringan secara
makrofiltrasi digunakan untuk menyaring partikel-partikel kasar dengan
menggunakan pasir.Penyaringan menggunakan karbon aktif digunakan untuk
menyerap bau, rasa, warna, sisa khlor, dan bahan organik.Penyaringan
secara mikrofiltrasi digunakan untuk menyaring partikel halus dengan ukuran
maksimal 10 mikron.
Desinfeksi berfungsi untuk membunuh mikroba pathogen. Desinfeksi
dapat dilakukan dengan menggunakan ozon, penyinaran lampu UV dengan
panjang gelombang 254 nm dan intensitas minimum 10000 mw detik per cm2
dan desinfeksi menggunakan ion silver .Pengisian dan penutupan pada kemasan
dan saniter. Suhu ruang maksimal 25 derajat celcius. Selanjutnya air yang telah
dikemas dipak dan didistribusikan (Florence B,2015).
Pengambilan dan penampungan air baku (air tanah atau air permukaan)
Penyaringan/filtrasi (Makrofilter,karbon aktif,mikrofilter)
Desinfeksi (ozon, uv, atau ion silver)
Pengisian dan penutupan (dapat diisi ditambah gas oksigen, karbon dioksida, atau
nitrogen) pada kemasan yang telah dicuci
Pengepakan
Gambar 2.1 Proses Produksi Air Mineral (Sumber: Florence B,2015 Berdasarkan Permenprin RI No. 96 Tahun 2011)
2. Air Demineral
Tahapan produksi air demineralisasi secara umum sama seperti air
mineral, hanya terdapat perbedaan karena pada air demineral membutuhkan tahap
de-mineralisasi. Demineralisasi dapat dilakukan dengan cara pengunaan membran
Reverse Osmosis (RO), distilasi, dan deionisasi. Pada demineralisasi RO,
digunakan membran dengan diameter hollow fibre yang kecil sehingga
dihasilkan produk akhir dengan kandungan zat terlarut maksimum 10 mg /L.
Demineralisasi distilasi menggunakan perangkat penyulingan dan pada deionisasi
menggunakan perangkat de-ionisasi dengan produk akhir memiliki kandungan zat
Desinfeksi (ozon, uv, atau ion silver) Pengambilan dan penampungan air baku (air
tanah atau air permukaan)
Penyaringan/filtrasi (Makrofilter,karbon aktif,mikrofilter)
Demineralisasi (RO, destilasi, deionnisasi)
Pengisian dan penutupan (dapat diisi ditambah gas oksigen, karbon dioksida, atau
nitrogen) pada kemasan yang telah dicuci
Pengepakan
Gambar 2.2 Proses Produksi Air Demineral (Sumber: Florence B,2015 Berdasarkan Permenprin RI No. 96 Tahun 2011)
3.Air Mineral Alami
Proses produksi air mineral alami sama saja dengan air mineral, hanya saja
tidak terdapat tahap desinfeksi (Florence B,2015).
Pengambilan dan penampungan air baku (air tanah atau air permukaan)
Penyaringan/filtrasi (Makrofilter,karbon aktif,mikrofilter)
Pengisian dan penutupan (dapat diisi ditambah gas oksigen, karbon dioksida, atau
nitrogen) pada kemasan yang telah dicuci
Pengepakan
4. Air Mineral Embun
Tahap pertama dalam proses produksi air minum embun adalah
pengambilan udara.Udara yang lembab dihisap dengan menggunakan mesin
proses pengembunan yang terkendali. Selanjutnya udara disaring sehingga
diperoleh udara bersih. Udara bersih kemudian diembunkan atau dikondensasi
dengan menggunakan perangkat yang sama sehingga diperoleh air embun. Air
embun lalu ditampung dalam tangki penampung dan disaring menggunakan
karbon aktif dan mikrofilter. Tahap desinfeksi, pengisian dan penutupan pada
kemasan yang telah dicuci dan pengepakan dilakukan seperti proses produksi pada
jenis AMDK yang lainnya (Florence B,2015
Pengambilan udara (udara lembab)
Penyaringan /filtrasi udara
Penampungan air embun
Penyaringan/filtrasi air embun (mikrofilter
Desinfeksi (ozon, uv, atau ion silver)
Pengisian dan Penutupan (dapat ditambahkan gas oksigen)
Pengepakan
2.5 Plastik Sebagai Bahan Pengemas AMDK
Kemasan AMDK telah diatur dalam Peraturan Mentri Perindustrian RI
No. 96/M-IND/DEP/12/2011 dalam pasl 12 ayat 1 bahwasanya bahan pengemas
AMDK terbuat dari kaca ataupun bahan plastik.Bahan plastik yang dimaksud
adalah :
1. Polietilen (PE)
Terdapat dua jenis polietilen yaitu Polietilen Densitas Rendah (PEDR)
dihasilkan dari proses polimerisasi pada tekanan tinggi. Bahan ini bersifat kuat,
agak tembus cahaya, fleksibel dan permukaannya terasa agak berlemak. Di
bawah temperatur 60° C sangat resisten terhadap sebagian besar senyawa kimia.
Di atas temperature tersebut polimer ini menjadi larut dalam pelarut karbon dan
hidrokarbon klorida. Daya proteksinya terhadap uap air baik, tetapi kurang baik
bagi gas-gas yang lain seperti oksigen. Titik lunaknya rendah, sehingga tak tahan
untuk proses steriilisasi dengan uap panas dan bila ada senyawa kimia yang
bersifat polar akan mengalami stress cracking (retak oleh tekanan). Jenis
polietilen yang lain adalah Polietilen Densitas Tinggi (PEDT) yang dihasilkan
dengan polimerisasi pada tekanan dan temperatur rendah (50-75)° C memakai
katalisator Zeglier, mempunyai sifat lebih kaku, lebih keras, kurang tembus
cahaya dan kurang terasa berlemak.
2. Polipropilen (PP)
Polipropilen termasuk kelompok olefin, bersifat lebih keras dan titik lunaknya
lebih tinggi daripada PEDT, lebih kenyal tetapi mempunyai daya tahan terhadap
kejutan lebih rendah. Tidak mengalami stress cracking oleh perubahan kondisi
aromatik dan hidrokarbon klorida dalam keadaan panas, serta sifat
permeabilitasnya terletak antara PEDR dan PEDT.
3. Polyethylene terephthalate (PET)
Bersifat jernih dan transparan, kuat, tahan pelarut, kedap gas dan air, melunak
pada suhu 80oC. Biasanya digunakan untuk botol minuman, minyak goreng,
kecap, sambal, obat. Tidak untuk air hangat apalagi panas. Untuk jenis ini,
disarankan hanya untuk satu kali penggunaan dan tidak untuk mewadahi pangan
dengan suhu >60oC.
4. Polivinil Klorida (PVC)
Polivinil Klorida dibuat dari monomer yang mngandung gugus vinil. PVC
mempunyai sifat kaku, keras, namun jernih dan lengkap, sangat sukar ditembus
air dan permeabilitas gasnya rendah. Pemberian plasticizers (biasanya ester
aromatik) dapat melunakkan film yang membuatnya lebih fleksibel tetapi regang
putusnya rendah, tergantung jumlah plasticizers yang ditambahkan.
5. Polikarbonat (PC)
Polikarbonat, polimer ini mempunyai titik leleh bervariasi sampai 300° C,
kuat, ulet, keras dan tembus cahaya, serta mudah larut dalam pelarut hidrokarbon
klorida.
Beberapa aditif yang terdapat pada plastik dan styrofoam diperlukan untuk
memperbaiki sifat-sifat fisika kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang sengaja
ditambahkan itu dikelompokkan sebagai komponen nonplastik, berfungsi sebagai
pewarna, antioksidan, penyerap cahaya ultraviolet, penstabil panas, penurun
viskositas, penyerap asam, pengurai peroksida, pelumas, peliat dan lain-lain
Kemungkinan toksisitas plastik sebagai pengemas makanan juga berasal
dari komponen aditif yang mempunyai berat molekul rendah. Senyawa ini
terlepas dari plastik pada waktu proses pengemasan. Senyawa ini akan terlepas
pada temperatur tinggi atau jika kontak dengan bahan makanan panas (Sulchan
dan Endang,2007).
Kemasan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan bahan
baku polivinil khlorida dan kopolimer akrilonitril perlu disimpan di tempat yang
bebas dari panas matahari, untuk mencegah lepasnya monomer-monomer plastik.
Di dalam perdagangan sering kita melihat para penjual meletakkan AMDK di
bawah terik matahari. Hal ini perlu dihindarkan karena semakin tinggi suhu
semakin tinggi peluang terjadinya migrasi zat-zat plastik ke dalam bahan yang
dikemas (Sulchan dan Endang,2007).
2.6 Migrasi Senyawa Plastik dalam AMDK 2.6.1 Fenol
Phenol merupakan salah satu persenyawaan aromatik yang paling penting.
Phenol (C6H5OH) adalah monohydrosida derivate benzene. Fenol digunakan
secata luas sebagai germicida, dan desinfektan dinilai dengan fenol koefisien,
yaitu kekuatan membunuh kuman relatif berkenaan dengan fenol (Sutrisno,2004).
Gambar 2.5 Senyawa Fenol (C6H5OH)
Fenol disebut juga asam karbol, cresol, kreolin, lycresol. Bahan-bahan
hama (desinfektan) seperti untuk membersihkan lantai, kamar mandi atau WC dan
untuk menghilangkan bau busuk. Penggunaan bidang kesehatan dipergunakan
sebagai antiseptic atau pembasmi kuman, seperti untuk mencuci lengan dengan
larutan 1%-2% (Adiwisastra,1992).
Fenol dalam kemasan air minum itu berfungsi sebagai desinfektan dan
menghilangkan bau (Adiwisastra, 1992). Senyawa fenol berdasarkan beberapa
penelitian ternyata mempunyai sifat sangat toksik, sehingga banyak negara
menetapkan kadar maksimum yang diperkenankan dalam air minum dalam
jumlah yang relatif sangat kecil (Wirjosentono, 1994).
Dalam Kepmenkes RI no. 907/MENKES/VII/2002 tentang syarat-syarat
dan pengawasan kualitas air minum, kadar maksimum fenol yang diperbolehkan
ada dalam air minum sangat kecil yaitu 600-1000µg/l untuk 2-chlorophenol,
0,3µg/l untuk dichlorophenol dan 2-300µ g/l untuk 2,4,6 trochlorophenol.
A. Efek Fenol Terhadap Kesehatan
Fenol dapat menyebabkan iritasi dan luka bakar dari paparan. Uap fenol
yang mengiritasi saluran pernapasan dan menelan fenol dapat menyebabkan
kerusakan korosif terhadap seluruh saluran gastrointestinal (GI). Paparan kulit
untuk fenol menyebabkan peradangan, eritema, perubahan warna kulit, luka
bakar dan nekrosis. Paparan pada mata dapat menyebabkan iritasi dan kekeruhan
kornea. Fenol mudah diserap melalu inhalasi, sistem pencernaan dan paparan
dermal, yang menghasilkan toksisitas sistemik. Penyerapan, fenol cepat
didistribusikan ke seluruh tubuh. Rute utama dari ekskresi fenol adalah dalam
Data yang tersedia sangat terbatas untuk sifat karsinogenik fenol terhadap
manusia. The International Agency for Research on Cancer atau Badan
Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) menyimpulkan bahwa fenol tidak
diklasifikasikan sebagai karsinogen pada manusia. Pada studi efek karsinogenik
hewan jangka panjang tidak dilaporkan kejadian karsinogenik pada hewan
pengerat yang diberikan fenol melalui oral (PHE,2016).
Tabel 2.3 Bahaya Kesehatan yang disebabkan oleh fenol pada paparan tunggal dan paparan berulang Menurut WHO
dari mulut, tenggorokan, dan saluran
cerna sistem; depresi sistem saraf
kerusakan hati dan ginjal; gangguan
sistem saraf pusat
.Sumber : Phenol Health and Safety Guide (WHO,1994
Tabel 2.4 Bahaya Kesehatan yang disebabkan oleh fenol pada paparan jangka lama dan paparan jangka cepat menurut Public Health England.
Paparan Jangka Lama Paparan Jangka Cepat 1. Paparan pada saluran pernapasan
kemungkinan dapat menyebabkan berat badan berkurang,kelemahan otot,kerusakan hati.
2. Paparan saluran cerna kemungkinan dapat menyebabkan luka pada mulut, iritasi saluran cerna, kardiovaskular, dan efek pernapasan dan tubuh mengalami penurunan berat badan.
1. Menyebabkan keracunan pada bagian kontak dan sistemik, oleh semua rute dari paparan.
Lanjutan Tabel 2.4 Bahaya Kesehatan yang disebabkan oleh fenol pada paparan jangka lama dan paparan jangka cepat menurut Public Health England.
Paparan Jangka Lama Paparan Jangka Cepat 3. Paparan kronis pada dapat mengakibatkan
bercak hitam pada kulit , iritasi kulit, kulit melepuh, peradangan dan nekrosis.
4. Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) menyimpulkan bahwa fenol tidak diklasifikasikan sebagai karsinogen pada manusia.
3. Akut inhalasi karena fenol mengarah ke mengi, iritasi saluran pernapasan , anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, vertigo,
United States Environtmental Protection Agency (US EPA) menetapkan,
paparan fenol dalam air minum pada konsentrasi 6 miligram per liter (mg / L)
hingga 10 hari diharapkan untuk tidak menimbulkan efek yang merugikan pada
anak. EPA telah menetapkan bahwa paparan seumur hidup untuk 2 mg / L fenol
dalam air minum tidak diperkirakan menyebabkan efek samping (ATSDR,2008).
Konsentrasi fenol dalam AMDK seperti yang ditetapkan oleh FDA (Food
and Drug Administration) bahwa konsentrasi fenol dalam air minum dalam
kemasan tidak boleh melebihi 0,001 mg / L (ATSDR,2008).
B. Toksisitas Fenol
Fenol (asam karbol) dalam berbagai cara masuk kedalam tubuh
mempunyai pengaruh yang buruk, karena fenol merupakan racun protoplasmic
(sel-sel darah) atau korosif terhadap kulit yang mengakibatkan nekrotis (kulit
menjadi mati) (Adiwisastra,1992).
Keracunan sistemik dari fenol, mula-mula merangsang dan menimbulkan
depresi (penekanan) terhadap sistem saraf pusat, hilangnya tonus, penyempitan
pembuluh syaraf dan terhentinya pernafasan. Fenol mempengaruhi juga terhadap
8-15 gr. Penyerapan oleh usus, baru terjadi setelah bahan larutan fenol berada
dalam lambung beberapa jam kemudian (Adiwisastra,1992).
Kolap dan kematian disebabkan kegagalan bernafas, biasanya terjadi 15
menit sampai beberapa hari, tapi saat-saat yang bahaya biasanya terjadi dalam
jangka 24 jam. Pengobatan pada keracunan oleh fenol hanya dapat dilakukan
secara simptomatis dan supportive (didasarkan gejala-gejalanya) yang tampak
(Adiwisastra,1992).
C. Gejala-gejala Keracunan
Fenol yang masuk kedalam tubuh melalui makanan dan minuman dan
kontak kulit, bisa menimbulkan gejala keracunan yaitu :
1. Luka bakar korosif yang putih pada selaput lender ( mucus membrane)
dalam mulut, kerongkongan (oseofagus), lambung, sakit daerah
lambung dan muntah seperti yang didapati pada keracunan bahan
kimia korosif lainnya, diare (mencret) disertai darah.
2. Kulit pucat, berkeringat, badan lemah, sakit kepala, pusing-pusing dan
tinnitus ( suara berdengung dalam kuping)
3. Syok, denyut nadi tidak teratur, hipotensi (tekanan darah menurun
atau rendah), pernafasan dangkal, kulit kebiru-biruan (cyanotis), dan
suhu badan menurun.
4. Penderita gelisah dan tidak sadarkan diri, pada anak-anak biasanya
timbul kejang.
5. Kencing sedikit dan berwarna gelap atau seperti seperi asap atau
kabut, merupakan tanda-tanda terganggunya ginjal.
7. Bila mengenai kulit, kulit akan terkelupas dan akan teras sakit sekali,
kulit menjadi kering dan berwarna putih dan bila kulit yang putih
terlepas, meninggalkan bekas yang berwarna coklat.
2.6.2 Senyawa Monomer Dalam Botol PET
Beberapa senyawa kimia dari botol plastik jenis PET yang telah diperiksa
oleh beberapa peneliti yang dapat bermigrasi :
1. Monomer dan Oligomer
Beberapa peneliti telah melaporkan reaktan sisa dan kerusakan berat
molekul rendah dalam produk botol PET sebagai migran potensial. Mengenai
kehadiran monomer dan reaktan sisa dalam polimer, menurut Begley et al. dalam
Bach (2012) diukur asam tereftalat (6,9 mg / L), asam monohidroksi etilena
tereftalat (34,4 mg / L), BHET (49,1 mg / L) dan trimer siklik (9592 mg / L)
dalam botol minuman PET komersial. Pada percobaan Morelli-Cardoso et al
dalam Bach (2012) etilena glikol, percobaan migrasi di 16 botol PET datang
langsung dari industri kemasan Brasil. Botol yang diisi dengan suling air, 3%
asam asetat cair dan 15% etanol berair. Untuk semua kasus, etilena glikol migrasi
terdeteksi setelah 10 hari pada suhu 40 ° C.
2. Tanda-tanda Keberadaan Logam
Spesies anorganik dapat hadir sebagai residu dari katalis atau aditif yang
digunakan untuk memproduksi botol PET. Menurut Uni Eropa bahwa Sb2O3
adalah katalis yang paling penting yang digunakan dalam sintesis PET. Menurut
Westerhoff et al. dalam Bach (2012) telah menganalisis 23 logam dalam botol
PET. Konsentrasi tertinggi ditemukan untuk Co, Cr, Fe, dan Mn, dengan 27 mg /
relatif rendah konsentrasi ini diamati pada bahan polimer dibandingkan dengan
Sb.
Menurut Shotyk dan Krachler dalam Bach (2012) penulis menemukan
konsentrasi Sb dari 2 mg / L atau lebih dalam dua merek air PET-botol. Mereka
juga mempelajari pengaruh waktu penyimpanan, setelah jangka waktu 6 bulan
pada suhu kamar, konsentrasi Sb ditemukan memiliki meningkat 90% rata-rata di
48 merek air minum dalam kemasan dari negara-negara Eropa.
3. Senyawa Karbonil
Menurut Lorusso et al dan Romao et al dalam Bach (2012) beberapa
senyawa karbonil telah dilaporkan ada dalam air minum dalam kemasan dan di
kemasan PET. Senyawa organik yang mudah menguap yang dihasilkan dalam
PET oleh degradasi termal. Asetaldehida yang dihasilkan selama reaksi
polimerisasi dan proses mencair selama pembuatan botol PET. Pemotongan
obligasi rantai polimer mengarah ke pembentukan karboksil dan vinyl rantai ester
berakhir. Asetaldehida dibentuk oleh kombinasi dua kelompok akhir sebagai sub-
produk reaksi. Studi difusi senyawa karbonil dari dinding botol PET untuk air
bertujuan untuk menentukan faktor yang signifikan (waktu kontak, suhu
penyimpanan, paparan cahaya, psiko sifat kimiawi air minum, dll) yang dapat
mendukung migrasi mereka dari polimer ke dalam air kemasan.
Penelitian yang dilakukan Pepin et al.dalam Bach (2012) deteksi senyawa
ini dalam air mineral berkarbonasi dan dalam konsentrasi awal dinding botol PET
setelah paparan maksimum 3 bulan pada 25, 37 dan 45 ° C. Penggunaan tiga nilai
8,8 mg / L, membuktikan bahwa migrasi itu terkait dengan jumlah asetaldehida di
dinding botol dan tergantung pada suhu dan waktu penyimpanan.
Sumber utama formalin dan asetaldehida dalam air minum dalam kemasan
PET adalah pengemasan. Konsentrasi formalin dan asetaldehida di dinding botol
PET tergantung pada formulasi baku material dan pada teknologi manufaktur
yang digunakan (produksi butiran, dan preforms botol ), difusi formalin dan
asetaldehida dipengaruhi oleh suhu, waktu penyimpanan dan air karbonasi terkait
dengan pH rendah di botol air minum (Bach, 2012).
4.Plasticzers
Menurut Oehlmann et al. dalam Bach (2012) penambahan plasticizer
untuk resin plastik tersebar luas, untuk meningkatkan kelembutan dan
fleksibilitas, terutama di Polyvinyl Chloride (PVC) hingga 20-30%. Di-2-
Ethylhexyl Phthalate (DEHP) adalah plasticizer paling luas diproduksi dan
digunakan . plasticizer (seperti ftalat) tidak diyakini digunakan untuk pembuatan
botol PET. Menurut beberapa referensi yang dikutip dalam Bach (2012)
phthalates dalam kontak bahan makanan tunduk pada peraturan yang ketat.
Namun bahan tersebut telah ditemukan dalam bahan PET dan air dalam botol
PET.
Berikut adalah berbagai penelitian yang dikutip oleh Bach (2012) terkait
Phthalates dan DEHA sebagai plasticzers :
A. Phthalates
Membandingkan hasil analisis air minum kemasan sebelum dan sesudah
penyimpanan, Casajuana dan Lacorte dalam Bach (2012) menyimpulkan bahwa
° C) meningkatkan konsentrasi DBP, BBP dan DEHP dalam air minum kemasan.
Setelah pemaparan, konsentrasi rata-rata DBP, BBP dan DEHP yang 0,046 mg /
L, 0,010 mg / L dan 0,134 mg / L, masing-masing. Resin Cap-penyegelan untuk
makanan kemasan juga telah menunjukkan untuk peran mereka dalam
kontaminasi DEHP Hirayama et al. dalam Bach (2012).
Montuori et al. dalam Bach (2012) adalah satu-satunya penulis yang
menyelidiki adanya asam phtalic (PHA) dalam air dalam botol PET selain DMP,
DEP, DiBP, DBP dan DEHP. hasilnya menunjukkan bahwa PHA adalah phthalate
paling banyak ditemukan dalam air kemasan dengan maksimal tingkat 3,50 ug / L.
Mereka juga menemukan bahwa konsentrasi phthalates dalam sampel botol PET
20 kali lebih tinggi dibandingkan mereka dari botol kaca langsung dianalisis
setelah pembelian.
B. Di-2-etilheksil adipat (DEHA)
Pengaruh paparan sinar matahari dan suhu yang berkaitan dengan tingkat
DEHA di PET-botol air diselidiki oleh Schmid et al. (2008) dalam perawatan
SODIS air. Itu perbedaan konsentrasi DEHA dalam air kemasan yang diamati
dalam kaitannya dengan peningkatan suhu dan sampel dari berbagai negara
(Honduras, Nepal dan Swiss) yang dibandingkan.Tingkat DEHA tertinggi 0,044
mg / L pada 60 ° C dengan paparan sinar matahari ditemukan dalam botol PET
dari Honduras.
Menurut Bach (2012) bahwa phthalate yang ester dan DEHA ditemukan
memiliki berbagai konsentrasi dalam air minum kemasan tergantung pada studi
yang bersangkutan, hasil yang kontras dalam literatur juga mungkin karena
PET dan perbedaan dalam kondisi penyimpanan (waktu kontak, suhu dan cahaya).
Penjelasan lain yang mungkin adalah besar variasi dalam penggunaan plasticizer
dalam indu stri kemasan dari waktu ke waktu
5. Antioksidan
Oksidasi dan foto-oksidasi bahan polimer dapat dihambat atau dikurangi
dengan menggunakan semacam stabilizer. Sejumlah kecil zat ini dapat
ditambahkan ke polimer sebelum diproses. Antioksidan paling luas terhalang
oleh inhibitor fenol (Bach, 2012).
A. Akilfenol
McNeal et al. dalam Bach (2012) pembuatan kemasan makanan, tris
(nonilfenil) fosfit (TNPP) digunakan sebagai antioksidan aditif untuk
menstabilkan beberapa polimer seperti karet, styrene, polimer vinil dan
polyolefines. Oksidasi aditif ini menghasilkan 4-nonylphenol (NP). Sumber lain
NP dan juga oktilfenol (OP) berasal dari degradasi nonylphenols polyethoxylated
(APEOs). APEOs adalah surfaktan yang banyak digunakan sebagai pembersih di
bidang manufaktur botol.
Amiridou dan Voutsa dalam Bach (2012) melakukan penelitian dengan
meletakkan botol di luar ruangan dan langsung terkena sinar matahari selama 15
dan 30 hari. jejak rendah NP (sekitar 10 µg / L) dan OP (sekitar 2 µ g / L) yang
diamati. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam NP dan OP jumlah sebelum
dan setelah terpapar yang ditemukan dalam air kemasan. Sebaliknya, jejak NP di
21 merek air minum kemasan di PVC, PE dan PET diamati oleh Li et al. dalam
Bach (2012). Konsentrasi berkisar antara 108 µ g / L untuk 298 µ g / L dalam air
untuk orang dewasa dengan berat 60 kg (USEPA, 2006; USEPA, 2009)
melakukan tidak melebihi asupan ditoleransi harian (TDI) dari 5 µg / kg berat
badan yang diusulkan oleh Nielsen et Al. dalam Bach (2012) menyimpulkan
bahwa BHT terjadinya air mineral bisa disebabkan penggunaan cap PE pada botol
PET.
B. Butylated hydroxytoluena (BHT)
BHT adalah antioksidan fenolik yang digunakan dalam plastik kemasan,
karet, kosmetik dan juga sebagai aditif makanan. Hal ini banyak digunakan
sebagai thermostabilizer untuk polyethylene, polypropylene, poliester dan
polyvinyl chloride seperti yang dikutip oleh Bach (2012) dari berbagai referensi
(Sheftel,; Tombesi dan Freije,).
Mengenai terjadinya BHT dalam botol air PET, Tombesi dan Freije dalam
Bach (2012) menemukan jumlah terukur dari senyawa ini di 5 dari 15 sampel air
PET-botol dengan konsentrasi berkisar antara 21,5-38,0 g / L. Kemudian,
kelompok penelitian yang sama Tombesi et al. dalam Bach (2012) terdeteksi
BHT dalam tiga sampel air minum kemasan tetapi konsentrasi sepuluh kali lebih
rendah dari pada studi pertama. Para penulis mengklaim bahwa jumlah diukur
tidak melebihi tingkat yang direkomendasikan oleh standar Uni Eropa total fenol
dalam air minum.
6. Stabilisator UV
Sampai sekarang, tinuvin P (2- (2H-benzotriazol-2-yl) p-kresol) dan
tinuvin 234 (2- (2H- benzotriazol-2-yl) -4,6-bis (1-metil-1-phenylethyl) fenol)
adalah satu-satunya stabilisator UV ditemukan dengan analisis langsung dari botol
produksi polystyrene, poliamida, polymethacrylate, poliester, polyvinyl chloride
dan polypropylene Sheftel dalam Bach (2012). Batas-batas migrasi spesifik
(SML) dari Tinuvin 324 dan tinuvin P yang tetap di 1,5 mg / kg dan 30 mg / kg,
masing-masing (Uni Eropa, 2011).
7. Pelumas
Menurut Schaefer et al. Dalam Bach (2012) pelumas adalah jenis lain dari
aditif yang umumnya digunakan untuk produksi plastik kemasan untuk
meminimalkan adhesi makanan, untuk mengurangi gesekan atau untuk
mendukung elastisitas bahan.
Asam lemak amida juga merupakan jenis pelumas yang digunakan untuk
memproduksi penutup polyolefin. Pelumas seperti erucamide dan juga oleamide
diizinkan di Eropa sebagai material pembuat bahan plastik dimaksudkan datang
dalam kontak dengan untuk makanan (Uni Eropa, 2011). Untuk informasi,
erucamide dan oleamide tidak digunakan dalam pembuatan botol PET. Namun,
erucamide dapat digunakan dalam pembuatan untuk penutup botol, ini bisa
menjelaskan mengapa senyawa ini ditemukan dalam air mineral dalam
konsentrasi mulai dari 2,0 µg / L untuk 182 µ g / L seperti yang diamati oleh
Buiarelli et al. dalam Bach (2012).
8. Bisphenol A
Menurut pendapat McNeal et al dalam Bach (2012) Bisphenol A (BPA)
adalah bagian yang digunakan dalam pembuatan resin epoxy dan polikarbonat
plastik (PC) untuk kemasan makanan. Adapun studi tentang pengaruh sinar
matahari dalam migrasi BPA dalam air PET-botol,percobaan luar dilakukan
heated 10.51 (2010) (2012) didapat konsentrasi rendah (hingga 4 µ g / L) dari BPA yang diamati dalam
air PET-botol sebelum dan setelah paparan sinar matahari.
Li et al. dalam Bach (2012) mendeteksi BPA di 17 merek air minum
kemasan dari Cina di bawah kondisi yang sama (dianalisis segera setelah
pembelian).Konsentrasi BPA yang ditemukan dalam air minum dalam kemasan
bervariasi ,konsentrasi berkisar 17,6-324 µ g / L..
Tabel 2.5 Migrasi Sb2o3 dari botol air minum PET
Table 1 – Results of antimony (Sb) migration from PET into bottled water. Exposure
temperature Exposure Simulant Other Concentration Concentration Reference
(CO ) Parameters mean (µg/l) mean
Name Simulant Temperature Conditions Parameters mean (µg/l) mean Reference
Carbonated r.t. 170 days – – 60.0 ± 6.0 Dabrowska
water et al. (2003)
Carbonated r.t. 6 days – – 10.5 ± 1.1 Dabrowska
water at pH = et al. (2003)
Lanjutan Tabel 2.5 Migrasi Sb2o3 dari botol air minum PET
Exposure Other Concentration Concentration
Tabel 2.6 Migrasi Carbonyl Compounds dari botol air minum PET
Table 2 – Results of carbonyl compounds migration from PET into bottled water.
Lanjutan Tabel 2.6 Migrasi Carbonyl Compounds dari botol air minum PET
Compound Name
Propanal
Simulant TemperatureExposure ConditionsExposure ParametersOther Concentration Concentration
Tabel 2.7 Migrasi esters phthalate dari botol air minum PET
Table 3 – Results of phthalate esters migration from PET into bottled water.
Compound
DMP Mineral water 22°C 30 days < 0.04 - Bosnir et al.
Water Up to 30°C 10 weeks < 0.002 - 0.003 0.002 (2007)
DEP Mineral water 22°C 30 days < 0.04 – 1 0.11
Casajuana and Bosnir et al.
Water Up to 30°C 10 weeks 0.082 – 0.355 0.214 Casajuana et
Lacorte (2003)
DBP Still water Refrigerated - 0.08 – 0.32 0.357 ±0.606 Cao (2008)
Mineral water 22°C 30 days < 0.04 – 50 11 Bosnir et al.
Water Up to 30°C 10 weeks 0.020 – 0.070 0.046 Casajuana and
Lacorte (2003)
DiBP Mineral water 22°C 30 days < 0.005 - Bosnir et al.
Water Up to 30°C 10 weeks < 0.004 – 0.010 < 0.004 Casajuana and
Lacorte (2003)
DEHP Dionised water r.t. 17 hours, 0.14 – 0.24 0.19 ± 0.05 Schmid et al.
darkness (2008)
Dionised water r.t. 17 hour, 0.10 – 0.38 0.26 ± 0.10 Schmid et al.
sunlight (2008)
Dionised water 60°C 17 hours, 0.15 – 0.71 0.36 ± 0.21 Schmid et al.
sunlight (2008)
Mineral water r.t. 12 months, - 3220 ± 200 Biscardi et al.
darkness (2003)
Mineral water r.t. 3 months < 0.02 – 6.8 - Leivadara et al.
(2008)
Mineral water 22°C 30 days < 0.04 – 50 8.8 Bosnir et al.
(2007)
Water Up to 30°C 10 weeks < 0.002 – 0.188 134 Casajuana and
Lacorte (2003)
Mineral water Up to 30°C 3 months, < 0.02 - Leivadara et al.
sunlight (2008)
DOP Mineral water 22°C 30 days < 0.04 - Bosnir et al.
(2007)
Sumber : Bach, 2012
2.6.3 Bahaya Kesehatan
Efek kesehatan yang ditimbulkan oleh masing-masing bahan kimia yang
sudah tetap digunakan sebagai pelarut dari plastik menurut Department of
1. Antimony (Sb)
a) Zat mutagenik yang dianggap karsinogenik bagi manusia karena data
yang cukup dari studi hewan jangka panjang atau terbatas bukti dari studi
hewan dibuktikan dengan bukti dari studi epidemiologi mengindikasikan
bahwa zat tersebut dapat menyebabkan risiko kanker.
b) Menginduksi pembentukan oksigen dan nitrogen reaktif in vivo dan in
vitro di sel mamalia.
2. Tin (Sn)
a) Dalam bentuk anorganik, timah logam umumnya dianggap memiliki
toksisitas rendah bila tertelan karena penyerapan yang buruk dan ekskresi
cepat.
b) Beberapa senyawa organotin menunjukkan toksisitas yang signifikan dan
bervariasi, tetapi ini tidak hadir dalam air kemasan.
3. Diisobutyl phthalate (DIBP)
a) Memenuhi kriteri untuk diklasifikasikan sebagai racun karsinogenik.
b) Perubahan pada produksi testoteron testis janin dianggap paling sensitif
pada perkembangan sel reproduksi laki-laki.
c) Dalam bukti votro aktivitas biologis yang terkait terjadi gangguan
endokrin.
4. 3,5-Di-tert-butyl-4-Hydroxybenzaldehyde
Tidak ada data toksisitas yang tersedia.
5. 3,5-Di-tert-butylbenzoquinone
a) Menyebabkan kerusakan DNA oksidatif pada pembuahan sel dan
b) Quinones berhubungan dengan efek neurotoksik kronis dan termasuk
gangguan pengelihatan.
6. 2,4-Di-tert-butylphenol
a) Mengganggu aktivitas reseptor esterogen manusia.
b) Sitotoksisitas terhadap sel kanker manusia
c) Dapat menyebabkan kanker pada mausia
d) Tidak bersifat genotoksik deteksi pada makanan
e) Ditemukan memiliki estrogenik rendah dan aktivitas anti-androgenik
7. fenantrena
a) Tidak diklasifikasikan karsinogenik untuk manusia
b) Diklasifikasikan sebagai persisten ,bioakumulatif dan beracun.
8. 2,2-Dimetoksi-1,2-diphenylethanone
a) aktivitas estrogenik signifikan diukur dengan in vitro reporter assay gen.
2.7 Perilaku
Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2010), merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari
luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini
disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.
2.7.1 Domain Perilaku
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2010), membagi perilaku itu
didalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak
mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk
domain perilaku tersebut, yang terdiri dari ranah kognitif (kognitif domain), ranah
affektif (affectife domain), dan ranah psikomotor (psicomotor domain).
Menurut Notoatmodjo (2010), dalam perkembangan selanjutnya oleh para
ahli pendidikan dan untuk kepentingan pengukuran hasil, ketiga domain itu diukur
dari :
1. Pengetahuan (knowlegde)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan
seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan
tindakan terhadap masalah yang dihadapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang :
a) Faktor Internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik.
b) Faktor Eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana.
c) Faktor pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran.
Ada enam tingkatan domain pengetahuan yaitu :
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) terhadap suatu materi
yang telah dipelajari sebelumnya
2) Memahami (Comprehension)
Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
3) Aplikasi
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
4) Analisis
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan
ada kaitannya dengan yang lain.
5) Sintesa
Sintesa menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru.
6) Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi / objek.
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2010)
menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok:
a) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek
b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai beberapa
tingkatan :
a) Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
b) Respon terpimpin (guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mancapai
praktik tingkat tiga.
d) Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
Menurut penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2010), mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang tersebut
terjadi proses berurutan yakni :
1) Kesadaran (awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek)
2) Tertarik (interest)
Dimana orang mulai tertarik pada stimulus.
3) Evaluasi (evaluation)
Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Mencoba (trial)
5) Menerima (Adoption)