• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotik Syi’r الإعتراف (Al-I’tirāf) Karya Abu Nawas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Semiotik Syi’r الإعتراف (Al-I’tirāf) Karya Abu Nawas"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kajian Terdahulu

Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan antara lain : Mauli Rosa (2014), ia meneliti tentang “Analisis semiotik terhadap puisi

rabi’atul adawiyah dan kalimat suci mother Teresa”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua perempuan tersebut memilih Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup, meski dengan cara implementasi yang berbeda. Rabi’ah dengan personal spiritualnya, sedangkan Teresa dengan sikap sosialnya.

Hanifa (2012), meneliti tentang “Analisis Semiotik Syair Mansyūrat Fīdā‟iyyah ‘Alā Judrāni Isrā‟īl” Nizār Qabbānī”. Ia menyimpulkan bahwa dalam puisi ini menceritakan akan penjajahan Israel atas negeri Palestina telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat Palestina untuk mempertahankan tanah airnya. Semangat perlawanan rakyat Palestina tidak akan pernah hilang selama Israel masih menduduki wilayah Palestina.

Ai Zakiyah (2013), meneliti tentang “Puisi Al-I’tir:f Abu Nawas : Analisis Bentuk dan Makna Berdasarkan Ilmu Puisi dan Ilmu Balaghah”. Ia menyimpulkan bahwa Dalam penyusunan diksi puisinya, Abu Nawas banyak menggunakan perbandingan-perbandingan antara hal positif dan negatif serta menggunakan diksi yang memiliki arti yang mudah dipahami dan memiliki makna yang sangat jelas. Abu Nawas juga menambahkan mazas pada puisinya dan secara

ilmu Qafiyyah, Puisi I’tiraaf Abu Nawas digolongkan Qafiyyah al Mutawatir

.

(2)

aristotelian dari kacamata teater epik dengan v-effekt (efek pengasingan/efek alienasi) yang brecht usung.

Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini lebih memfokuskan pada pendekatan semiotik dengan menggunakan teori Semiotik Riffatere dan syi’r al-i’tirāf karya Abu Nawas sebagai objek kajian

(3)

2.2Landasan Teori 2.2.1 Pengertian Syi’r

al-fadl (1990:409) Secara etimologis, mengatakan kata syi’r berasal dari

kata

ﺍﺭﻮﻌﺷ

-

ﺍﺮﻌﺷ

-

ﺮﻌﺸﻳ

-

ﺮﻌﺷ

yang berarti mengetahui, merasakan, sadar,

mengkomposisi atau menggubah sebuah syair, menurut Jurji Zaidan, syi’r berarti nyanyian (al-ghina’), lantunan (insyadz) atau melagukan (tartil). Asal kata ini telah hilang dari bahasa Arab, namun masih ada dalam bahasa-bahasa lain, seperti

ﺭﻮﺷ

dalam bahasa ibrani, yang berarti suara, bernyanyi, dan melagukan lagu. Di antara sumber kata syi’r adalah

ﺮﻴﺷ

(syir) yang berarti kasidah atau nyanyian.

Nyanyian di dalam kitab Taurat juga menggunakan nama ini (Muzakki, 2011:40). Sejarah menyebutkan bahwa orang-orang yahudi lebih dahulu berkecimpung dalam dunia nazham dari pada orang Hijaz. Dengan demikian pengalaman dan kemahiran mereka telah memperkuat keberadaan kata syir yang berkaitan dengan kasidah atau nyanyian. Berdasarkan sumber iu, orang-orang Arab dipandang kuat telah mengambil kata syi’r dari orang Yahudi untuk menyebut istilah kasidah.

Kemudia mereka mengganti huruf ya’ dalam kata

ﺮﻴﺷ

dengan huruf ‘ain, maka

jadilah kata syi’r

ﺮﻌﺷ

dan selanjutnya kata ini dipergunakan pada pengertian

syair secara umum (Muzakki, 2011:41).

(4)

Menurut Iskandari dan ‘Inani dalam Muzakki ( 2011 : 42) syi’r adalah:

/Asy-syi’ru huwa al-kalāmu al-faṢīḥu al-mauzūna al-muqaffā al-mu’abbiru ghāliban ‘an Ṣuwari al-khayāli al-badī’i/ ‘Syair adalah kata-kata fasih yang berirama dan berqafiah yang mengekspresikan bentuk-bentuk imajinasi yang indah’.

Husein dan al-Sayyib dalam Muzakki (2011:54) membagi syi’r dari segi isinya menjadi tiga macam:

1. Syair Cerita/epic poetry/ (syi’r qishashi)

Syair Cerita/epic poetry/ (syi’r qishashi) yaitu syair yang berupa kasidah

panjang yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah, kemudian disusun dalam bentuk cerita kepahlawanan untuk dinyanyikan, contohya seperti Syahnamah

al-firdaus, kisah orang persia yang terdiri dari 60 ribu bait. 2. Syair Lirik/lyric poetry (syi’r ghina’i)

Syair Lirik/lyric poetry (syi’r ghina’i) yaitu syair yang secara langsung mengungkapan perasaan, baik perasaan sedih maupun harapan dan lebih tepat menggambarkan kepribadian seseorang. Jenis syair ini biasanya dipergunakan untuk tujuan memuji, meratap, merayu, mengejek dan sebagainya. Syi’r al-i’tirāf karya Abu Nawas merupakan salah satu syair lirik/syi’r ghina’I yang mengungkapkan perasaan kesedihan dan penyesalannya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya selama hidup.

3. Syair Drama/dramatic poetry (syi’r tamtsili)

Syair Drama/dramatic poetry (syi’r tamtsili) yaitu syair yang dibuat untuk disaksikan di atas panggung dan bersifat objektif, karena terbatas oleh waktu dan tempat. Syair ini menyerupai cerita syair yang masih memerlukan peran aktor untuk mengungkapkan perasaan kepribadan yang berbeda-beda.

(5)

Menurut Sayuti (1985:1) puisi merupakan hasil kreativitas manusia yang diwujudkan lewat susunan kata yang mempunyai makna. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik dan ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya ( Pradopo,1999:279).

Puisi harus dipahami sebagai sistem tanda yang mempunyai sistem tanda yang mempunyai makna berdasarkan konvensi, oleh karena itu, bahasa disebut sebagai sistem tanda atau semiotik tingkat pertama. Makna arti disebut meaning yang ditentukan oleh masyarakat bahasa, kemudian ditingkatkan derajatnya menjadi sistem semiotik tingkat kedua yang disebut arti dari arti meaning of meaning atau makna (significance) (Pradopo, 1999:279).

Puisi merupakan struktur yang bermakna dan mempunyai sistem tanda yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Puisi merupakan wacana kebahasaan yang mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain atau secara tidak langsung. Hal inilah yang membedakan puisi pada bahasa umumnya. Puisi mempunyai cara yang khusus dalam membawa maknanya ( Faruk, 2014:141).

Menganalisis puisi ini bertujuan memahami makna puisi, menangkap makna puisi atau memberi makna kepada teks puisi. Akan tetapi, sebelumnya perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan makna puisi. Makna karya sastra atau puisi itu bukanlah semata-mata arti bahasanya (arti denotatifnya), melainkan arti bahasa, suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan (konotasi), daya liris, pengertian yang ditimbulkan oleh tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra, misalnya sajak (rima, persamaan bunyi), enjambement, baris sajak, homolog, tipografi, bahkan juga makna seni dan nilai seninya (Pradopo, 1999:281).

Pembacaan puisi membutuhkan interpretasi. Interpretasi awal akan menentukan keberhasilan pembaca. Interpretasi akan menyelami sebuah puisi

(6)

2.2.2 Pengertian Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa inggris semiotics. Semiotik menurut Hornby dalam Taufiq (2016:1) adalah: “The study of sign and symbol and of their mening and use” (kajian tanda-tanda dan symbol, juga makna dan penggunaanya). Kata semiotics diambil dari bahasa yunani semeion, yang berarti tanda (Van Zoest, 1993:1) atau same yang berarti penafsir tanda (Taufiq, 2016:1).

Preminger dkk dalam Taufiq (2016:2-3) memberi batasan semiotik dengan ilmu tanda serta sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda tersebut memiliki arti. KBBI (1999:1002) memberikan definisi tanda sebagai berikut : yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu, gejala, bukti, pengenal; lambing dan petunjuk.

Istilah semiotik diperkenalkan oleh seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand De Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat Charles Sander Pierce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu ini dengan nama semiologi, sedangakan Pierce menyebutnya dengan semiotik. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedangkan di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Jabrohim, 2001:71).

Semiotik, ilmu tentang tanda-tanda, sudah lahir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifie), dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal tanda itu, dalam bahasa berupa satuan bunyi atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penandanya itu. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya, ada tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan symbol (Pradopo, 1999:76).

Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah. Misalnya gambar, potret dn patung. Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah yang

bersifat kausalitas, misalnya asap menandai api, mendung menandai hujan. Symbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak adanya menunjukkan

(7)

misalnya kata ‘ibu’ (penanda) menandai ‘orang yang melahirkan kita’, dalam bahasa inggris: mother, dalam bahasa prancis La mere dan sebagainya (Ibid:76).

Lebih dari itu, menurut Hjelmslev dalam Kamil (2012:195) pendekatan semiotik sangat membantu dan hasilnya pun sangat memuaskan, ini karena pendekatan semiotik memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai

suatu sistem dari hubungan internal. Pendekatan tersebut memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari suatu teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan, kelebihan lain menurut Arkoun adalah analisis semiotik membuat kita mendekati suatu teks tanpa interpretasi sebelumnya atau praanggapan lain.

2.2.3 Semiotik Dalam Penelitian Sastra

Preminger dalam Jabrohim (2001:73) mengatakan semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda, oleh karena itu peneliti harus menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra, seperti prosa dan puisi. Genre puisi memiliki ragam, syair, pantun, sonata, balada dan sebagainya. Tiap ragam itu mempunyai konvensi sendiri. Dalam menganalisis karya sastra peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan memungkinkan tanda atau struktur tanda-tanda dalam rangka sastra itu mempunyai makna (Jabrohim, 2001:73).

Misalnya, genre puisi yang memiliki sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda seperti kosa kata, bahasa kiasan, diantaranya personifikasi, sismile, metafora dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan seperti

(8)

mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai atau menciptakan makna, tentu saja, masih ada konvensi-konvensi lain yang menyebabkan karya sastra mempunyai makna (Jabrohim, 2001:74).

Untuk lebih mendalam, penelitian sastra dengan pendekatan semiotik Riffatere berikut ini akan dijelaskan konvensi penting dalam pemaknaan puisi

yaitu konvensi ketaklangsungan ekspresi sastra.

Adapun ketaklangsungan ekspresi itu menurut (Riffatere (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorsing of meaning), penciptaan arti (creating of meaning).

a. Penggantian Arti (displacing of meaning)

Menurut Riffatere dalam pradopo (1999:282) Penggantian arti (displacing of meaning) disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metoinmi saja. Hal ini disebabkan metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan yang sangat penting, hingga digunakan untuk menggantikan bahasa kiasan lainnya. Seperti majas simile (perbandingan), asosiasi, hiperbola, repitisi, personifikasi dan sinekdoke, dan alegori dll.

Metafora itu bahasa kiasan yang menggunakan atau mengganti suatu hal yang tidak menggunakan kata pembanding, bagai, seperti, bak dan lain sebagainya. Contohnya sebagai berikut:

• Bumi ini perempuan jalang (dalam sajak Subagio Sastrowardojo “Dewa

Telah Mati”).

• Sorga hanya permainan sebentar (Chairil Anwar “Tuti Artic)

Contoh-contoh tersebut disebut metafora eksplisit, yang dibandingkan (tenor) dan pembandingnya (vehicle) dinyatakan. Disamping itu, ada metafora implisit yang disebutkan hanya pembandingnya.

(9)

Majas simile (perbandingan) ialah majas yang membandingkan dua hal dengan menggunakan kata penghubung layaknya, bagaikan, umpama, dll.

Contoh majas simile : Mereka bagaikan Romeo dan Juliet yang tak dapat dipisahkan.

Majas Asosiasi (Perumpamaan) adalah majas yang membandingkan dua hal berbeda namun dianggap sama. Ciri majas asosiasi ini adanya kata penghubung : laksana, bagaikan, bak, dll.

Contoh majas Asosiasi: Wajahmu bagaikan rembulan bersinar di malam hari.

Majas Hiperbola adalah gaya bahasa dengan ungkapan yang berlebih-lebihan dari kenyataannya. Contohnya seperti : Ketampanannya nyaris satu tingkat di bawah Nabi Yusuf AS.

Majas Repitisi adalah majas pengulangan suatu kata dalam beberapa kalimat yang ditujukan untuk menegaskan suatu maksud. Contoh majas repitisi adalah :

Dialah satu-satunya yang ku nanti, dialah satu-satunya yang ku tunggu, dialah satu-satunya yang ku harap (Tarigan, 1986:130).

b. penyimpangan arti (distorsing of meaning)

Penyimpangan arti (distorting of meaning) terjadi bila dalam puisi terdapat ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense (Riffatere dalam Pradopo, 1999: 285).

Ambiguitas adalah bahasa sastra yang memiliki arti ganda (polyinterpretable) lebih-lebih bahasa puisi, kegandaan arti itu dapat berarti kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Sebuah contoh sajak dari

(10)

Untuk lebih jelasnya dikutip sebagian: Tuhanku

Aku hilang bentuk Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu-Mu mengetuk Aku tak bisa berpaling

“Hilang bentuk” berarti ganda meskipun arti pokoknya adalah “penderitan”, yaitu menderita, sedih, dan penderitannya tidak dapat digambarkan lagi, dan sebagainya.

“Remuk” berarti hancur luluh hidupnya, dalam arti hidupnya tanpa harapan, penuh penderitaan, malang, dan sebagainya.

“Mengembara di negeri asing” berarti sangat bingung, tidak tahu arah, tidak tahu apa yang dikerjakan, terasingkan, kesunyiaan, dan sebagainya.

“Tidak bisa berpaling” dalam arti tidak dapat pergi lagi, tidak ada pilihhan lagi, tak mungkin meninggalkannya lagi.

Kontradiksi ialah mengandung pertentangan atau perlawanan yang disebabkan oleh majas paradoks atau ironi. Paradoks itu gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan dalam wujud bentuknya. Contoh paradoks misalnya sebagai berikut:

Serasa apa hidup yang terbaring mati

(11)

Sedangkan majas ironi adalah gaya bahasa untuk menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk menyindir atau mengejek, gaya ironi ini dapat berupa frase, klausa, kalimat, wacana, atau seluruh sajak. Misalnya, “ini baru namanya siswa teladan, bangun tengah hari, pulang main habis subuh”.

Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik berupa bunyi yang

tidak ada dalam kosakata kamus dan tidak memiliki arti. Tetapi di dalam puisi nonsense mempunyai makna karena adanya konvensi sastra. Nonsense biasanya terdapat pada puisi bergaya mantra atau puisi bergaya mantra, sajak bergaya mantra memang untuk berhubungan dengan dunia gaib, dunia yang bersifat mistik, dan untuk menimbulkan daya magis dan konsentrasi atau yang biasa disebut puisi sufistik.

Salah satu contohnya adalah dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri “Amuk” (1981:68).

AMUK ……

Pot

hei kau dengar manteraku kau dengar kucing memanggil-Mu

izukalizu mapakazaba itasatali tutulita

papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga zegezezegeze zukuzangga zege

zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang kuzangga zegezeze aahh...!

(12)

c. dan penciptaan arti (creating of meaning)

Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam puisi karena pengorganisasian ruang teks di luar linguistik, di antaranya: persajakan (rima), enjambemen, tipografi, dan homolog (Jabrohim, 2001:80).

Persajakan (Rima) adalah bentuk perulangan bunyi pada suatu rangkaian

puisi, rima sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu rima kata dan rima baris. Rima kata terdiri dari perulangan penuh kata tersebut. Contohnya terdapat pada kata ulang berimbuhan seperti:

Mendesir-desir, terapung-apung, berayun-ayun, dll.

Sedangkan rima baris digunakan dalam puisi yang memiliki beberapa bentuk rima baris yaitu, AAAA, AAAB, ABAB, ABBA.

Beberapa jenis rima :

1. rima akhir yaitu persamaan bunyi pada akhir baris, contohnya seperti jalan-

pelan-

2. Rima datar yaitu persamaan bunyi pada tiap-tiap larik sajak, contohnya seperti burung perkutut di ladang berumput (Tarigan, 1986:141)

(13)

TRAGEDI WINKA & SIHKA kawin

kawin kawin

kawin

kawin ka win ka

win ka

win ka

win ka

winka sihka

Sajak itu hanya terdiri dari dua kata, yaitu kawin dan kasih, kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metasis, secara linguistik tidak ada artinya, kecuali kata kawin dan kasih itu. Dalam sajak kata kasih dan kawin mengandung arti konotasi, yaitu perkawinan itu menimbulkan angan-angan hidup yang penuh dengan kebahagiaan, lebih-lebih bila disertai kasih sayang.

Tipografi zigzag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula memberikan kebahagiaan, setelah melalui jalan yang berliku-liku, pada akhirnya terjadilah bencana, terjadi tragedi. Sedangkan homologues adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama. Contoh pantun berikut, sampiran itu mensugestikan isinya.

(14)

2.2.4 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Dalam memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat di dalam karya sastra, dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeneutik (hermeneutic). Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik. Pada

awalnya puisi di baca secara heuristik, kemudian dibaca ulang (retroaktif) secara hermeneutik.

Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik, yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan retroaktif, memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 2009: 33).

(15)

a. Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaanya atau berdasarkan kovensi sistem semiotik tingkat pertama. Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaanya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu, diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya diletak tanda

kurung. Begitu juga dengan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku, bilamana perlu struktur kalimatnya dibalik untuk memperjelas arti (Pradopo dalam Taufiq, 2016:132).

Pembacaan heuristik ini adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan atau pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk mempermudah, pembacaan ini dapat berupa pembuatan synopsis cerita, cerita yang beralur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran pembaca. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (Pradopo dalam Taufiq, 2016:132)

Contoh pembacaan heuristik dicontohkan oleh Pradopo dalam Jabrohim (2001:85) diambil dari sajak subagio Sastrowadojo berikut ini:

DEWA TELAH MATI Tak ada dewa di rawa-rawa ini Hanya gagak mengakak malam hari Dan siang terbang mengitari bingkai Pertapa yang terbunuh dekat kuil

(Simphoni, 1975:9) Bait ke-1

Di rawa-rawa ini tak ada dewa. (yang ada) hanya gagak yang mengakak

(16)

b. Pembacaan Hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang (retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi sastra). Hal itu dilakukan untuk memperoleh daya interpretasi yang baik dalam mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas menurut maksudnya. Pembacaan

hermeneutik ini berkaitan dengan konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ekspresi puisi (Riffaterre dalam Jabrohim, 2001: 97).

Untuk dapat memperoleh makna yang ada dalam puisi tersebut, perlu diadakan pembacaan ulang (retroaktif dengan diikuti penafsiran (hermeneutik). Pembacaan hermeneutik dilakukan sejak awal sampai akhir dengan melakukan peninjauan ulang & revisi, modifikasi, atau komparasi secara bolak-balik. Menurut Riffaterre (1978:6), agar dapat menemukan makna karya sastra yang sesungguhnya, pembaca harus dapat mengatasi ketidakgramatikalan bahasa yang digunakan oleh pengarang, juga perubahan pikiran pembaca sebab dalam tahap ini pembaca akan berhadapan dengan tata bahasa yang tidak gramatikal, yaitu segala sesuatu yang disampaikan dalam teks dapat berbeda dengan ide-ide yang biasa dalam realitas.

Contoh pembacaan hermeneutik dalam puisi yang telah dicontohkan diatas adalah sebagai berikut:

Bait ke-1

Di tempat yang penuh kemaksiatan (rawa-rawa ini) Tuhan tidak dipercaya lagi oleh orang-orang (manusia). Di tempat yang penuh kemaksiatan ini hanya ada orang-orang jahat (koruptor, penjilat, perampok, dan sebagainya). Orang-orang jahat (gagak) tersebut melakukan kejahatan atau bersimarajalela (mengakak) di masa kacau, masa gelap (malam hari). Mereka (orang-orang jahat itu)

(17)

2.2.5 Biografi Abu Nawas

Abu Nawas bernama lengkap Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Rambutnya ikal, panjang bergelombang terurai hingga ke bahu. Karena penampilannya itu, ia dijuluki Abu Nawas (si rambut ikal

panjang). Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di Negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II, sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim, sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Abu Nawas seorang penyair yang jenius, kritis, tetapi juga religius. Dikatakan jenius, karena dalam sejarah kepenyairan Arab, dirinya adalah tonggak baru yang memisahkan puisi sebelum dan sesudahnya.memasukkan unsur-unsur modern dalam karya karyanya. Dia membangun imajinasi kehidupan kota, seperti

anggur, jalanan, gedung- gedung, wanita, dan anak laki- laki 'piaraan', ke dalam puisi. Para penyair sebelumnya lebih senang mengambil objek desa. Dia yang pertama menulis puisi seks dan homoseksualitas, Di kota Bashrah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan. Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, pengkhayal ulung, penuh canda, berlidah tajam, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh akan warna.

(18)

bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas

memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Menjelang akhir hayatnya, ia mengoreksi dan membuang puisi-puisi masa lalunya, lalu menggantinya dengan puisi-puisi yang semuanya bertemakan kehidupan zuhud. Didalam syairnya tersebut, ia mengungkapkan rasa peyesalannya, ia bertobat atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya, kemudian dibarengi dengan keinginannya untuk menjalani kehidupan zuhud. Ia meninggal sekitar tahun 806 M hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi, jantung

Kota Baghdad

Abu Nawas merupakan salah seorang sastrawan terbesar. Pengaruhnya begitu besar di jagad sastra. Omar Kayyam dan Hafiz dua sastrawan Islam kondang juga banyak mendapat pengaruh dari Abu Nawas. Namanya semakin popular lantaran karikatur Abu Nawas dalam legenda 1001 malam. Dalam budaya Swahili di Afrika Timur, nama Abu Nawas juga begitu popular sebagai ‘Abunuwasi”. Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Beberapa di antaranya adalah O Tribe That Loves Boys yang dialihbahasakan oleh Hakim Bey dan diterbitkan Entimos Press pada 1993.

Referensi

Dokumen terkait