• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYA"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYA

PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS BUAH-BUAHAN

DAN SAYURAN LOKAL PASCA ACFTA

(Metode Ekonometrika Sebagai Suatu Cara Pengambilan Keputusan

dan Kebijakan Perdagangan Internasional)

By:

Singagerda, Faurani Santi1

Nursanti, Tinjung Desy2

Abstract

This paper explained an economic study in international trading after Asian China Free Trade Area (ACFTA) implementation using an econometrics model.

On this paper, dometic fruits and vegetables as a part of holticulture commodities are used as an object of the research, where the analysis include model identification, predicting model, validating model, and economic policy simulation; hence 3 SLS is using to get a parameter value to predict and support the simulation of results.

The result showed that an explanatory variable (total production) in the model can explain, the model behavior for 73.46 %, while F statistics 4.69 , which means that explanatory variable affect the endogenous variable (total export, total import, and Gross domestic Product) simultaneously and significantly.

At the end, the paper conclude that the research is representative enough to explain the phenomenon of domestic fruits and vegetables market comparing to the interntional market, preferably from China fruits and vegetables commodities. Therefore, some of implications for policy are identified as well, such as (1) improvement of competitiveness domestic holticulture products which include in export tax subsidy, banking credit systems, standardization and labeling product, cost efficiency, physically and non-physcically infraturucture , complement products, and linkage programme which support the competitiveness; (2) development of agribusiness area through the central area of production and industrial area production; and (3) campaign of local product

Keyword: International trading, simultaneously, and domestic commodities.

1. Latar Belakang

(2)

Sudah hampir enam tahun terhitung sejak tanggal 4 November 2004

ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation atau

kerja sama ekonomi negara-negara Asean dengan China dalam bentuk Asean-China Free

Trade Area (ACFTA) di Phnom Pen, Kamboja. Perjanjian kerjasama ini tentunya mempunyai tujuan yang sangat ideal, mengingat China adalah negara yang mempunyai pertumbuhan penduduk tertinggi di dunia sekarang ini. Dengan jumlah penduduk 1,2 miliar ditambah dengan penduduk Asean sekitar 500 juta jiwa maka menjadi sekitar 1,7 miliar penduduk yang sangat besar di dua kawasan ini dan diprediksikan merupakan pasar empuk produk dan jasa bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Mulai 1 Januari 2010 ACFTA diberlakukan dan sejak itulah dunia usaha dan industri

mulai mengkhawatirkan kesiapan Indonesia menghadapi kerangka kerjasama dalam Asean

China Free Trade Agreement (ACFTA). Jika keberadaan ACFTA dilihat dari sisi positif, maka pada dasarnya perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA sangat bermanfaat bagi suatu negara yang terlibat karena terjadi proses integrasi jalur ekonomi di negara-negara kawasan, akan tetapi dampak negatif yang ditimbulkan juga perlu menjadi perhatian. Salah satu dampak negatif yang dikhawatirkan terkait dengan bagaimana daya saing produk dalam negeri terhadap membanjirnya produk-produk China yang mana selama beberapa tahun ke belakang (sebelum berlakunya ACFTA) sudah sangat banyak membanjiri pasar di dalam negeri, sehingga menyebabkan proses pengintegrasian ekonomi dalam negeri belum tercapai secara efisien.

Hubungan perdagangan bilateral Indonesia China sendiri sebetulnya cukup bagus. Selama ini setelah pelaksanaan ACTFA, Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan China. Bila dibandingkan surplus perdagangan sebelum penandatanganan perjanjian ini rata-rata hanya mencapai US$ 608 pertahun, sedangkan setelah pelaksanaan perjanjian naik menjadi US$ 1.160 pertahun, atau hampir dua kali lipat. Di samping itu tercatat peningkatan

share perdagangan Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan

Indonesia pada era pelaksanaan ACFTA, di mana rata-rata share total perdagangan

Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan Indonesia sebelum ACFTA 6,87 persen, meningkat menjadi 9,40 persen pada pasca ACFTA. Atau dapat dikatakan telah terjadi pergeseran share sebesar 2,53 persen total perdagangan Indonesia-negara lain beralih ke

Indonesia-China pada era ACFTA. Pada ekspor terjadi pergeseran share sebesar 2,29 persen

(3)

Sementara itu menurut data BKPM, perkembangan realisasi investasi China ke Indonesia sebelum dan sesudah ditanda tanganinya ACFTA dapat dilihat dari realisasi investasi China ke Indonesia, dengan rata-rata jumlah investasi yang masuk pada era pelaksanaan ACFTA sebanyak 14,67 proyek pertahun, hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah investasi sebelum pelaksanaan ACFTA yang rata-rata hanya sebesar sebesar 7,67 pertahun. Walau demikian, dari nilai investasi tidak terjadi peningkatan yang signifikan dimana rata-rata realisasi investasi China di Indonesia pada era ACFTA sebesar US$ 35,17, tidak jauh berbeda dibanding sebelum pelaksanaan ACFTA yang besarnya US$ 32,43 (sumber: Departemen Perdagangan, 2009).

Tabel 1. Perkembangan Total Ekspor Indonesia (Sebelum dan Sesudah ACFTA) dalam ribuan USD

Pembuktian bahwa liberalisasi perdagangan menguntungkan setiap negara ditunjukkan antara lain oleh Holst and Melo, 1991 (dalam Widjaja, 2000). Sebaliknya, pembuktian bahwa negara berkembang dirugikan oleh liberalisasi perdagangan antara lain ditunjukkan oleh Devaragan (1990). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan

liberalisasi perdagangan di negara-negara Afrika melalui berbagai perubahan terms of trade

mendorong peningkatan impor yang lebih tinggi daripada ekspor sehingga menyebabkan terjadinya neraca perdagangan yang negatif yang dibiayai dengan meningkatnya pinjaman asing.

(4)

Menurut mereka bahwa pembebasan tarif tersebut akan mengancam daya saing produk-produk holtikutura (khususnya sayuran dan buah-buahan domestik), karena dengan pembebasan tersebut, jelaslah semakin banyak dan membanjirnya produk holtikultura (baik sayur maupun buah-buahan) masuk ke Indonesia, padahal seperti diketahui, sebelum diberlakukannya ACFTA komoditas-komoditas tersebut sudah cukup banyak membanjiri pasar domestik, bahkan mengalahkan dominasi komoditas sayuran dan buah-buahan lokal. Dengan membanjirnya produk komoditas di pasar domestic ditambah dengan harganya yang ternyata relatif murah jika dibandingkan dengan produk lokal, tentu saja akan mengurangi daya saing produk-produk domestik tersebut.

Melihat berbagai masalah yang diperkirakan akan muncul, perlu ditemukan suatu jawaban apakah ACFTA dapat menguntungkan semua anggota, atau hanya menguntungkan sekelompok negara saja dalam hal ini adalah China. Salah satu indikator yang dapat merefleksikan dampak ACFTA adalah kinerja neraca perdagangan dari setiap negara-negara anggota.

Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana dampak kebijakan ekonomi

terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran local pasca diberlakukannya ACFTA?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis dampak kebijakan ekonomi terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran lokal, sehingga secara spesifik tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kondisi perdagangan komoditas sayuran dan buah-buahan local di Indonesia

2. Menganalisis bagaimana dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal

3. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebijakan ekonomi terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal setelah diberlakukannya ACFTA

4. Fakta-Fakta Kesiapan Dalam Menghadapi ACFTA

(5)

lebih efektif kedua belah pihak. Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil pertanian, termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan buah-buahan semuanya

dikelompokkan dalam EHP (Early Harvest Programme)3. Kerjasama ini mempunyai target

mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010 akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara Asean maupun dari China ke Indonesia mengingat sekarang ini sudah banyak produk China yang ikut meramaikan pasar dalam negeri. Perlu dipertimbangkan apabila produk–produk tersebut tidak

dapat bersaing karena tingginya biaya (high cost) maupun inefisien, sehingga pertanyaan

yang muncul dalam benak adalah “Bagaimana sesungguhnya peta kesiapan industri dalam negeri menghadapi pemberlakuan ACFTA?” dan “Bagaimana kesiapan dunia usaha dalam menghadapi ACFTA?”

Sementara itu, produk Indonesia lain yang siap mengikuti kesepakatan FTA diantaranya industri-industri yang berbasis sumber daya alam seperti industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan industri pertambangan. Akan tetapi sangat bertolak belakang dengan industri dan produk-produk lainnya, khususnya indutri dan produk non migas lainnya seperti pertanian dan holtikultura, pangan, jasa, telekomunikasi dan manufaktur, kecemasan begitu besar mulai dialami oleh para pelaku ekonomi di bidang tersebut, mengingat produk yang ada tidak mampu menyaingi produk dan industri China yang masuk ke dalam negeri selama ini, hal ini terbukti dari semakin membanjirnya produk-produk tersebut di pasar dalam negeri mengalahkan produk-produk lokal.

Dari sisi daya saing industri, hal ini menunjukkan Indonesia masih ada masalah dalam menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut, terutama dengan China. Permasalahan daya saing muncul karena Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar, baik pada tataran makro dan mikro industri, serta kondisi infrastruktur Indonesia yang buruk, sehingga menyebabkan proses pengintegrasian ekonomi dalam negeri belum tercapai secara efisien.

Dari sisi produksi dan integrasi ekonomi, terdapat kelemahan mendasar dalam kemampuan produksi barang jadi, setengah jadi dan komponen yang menandakan kerapuhan struktur industri dalam negeri. Hal itu antara lain disebabkan karena keterbatasan pasokan bahan baku dan energi, ketergantungan impor bahan baku dan penolong, kapasitas produksi

(6)

yang tidak optimal, kelemahan penerapan standardisasi, hingga penguasaan pasar domestik yang lemah.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa tantangan Indonesia dalam mempersiapkan perdagangan bebas ACFTA, tidak hanya berasal dari aspek daya saing industri, tetapi juga bersumber dari masalah kesiapan infrastruktur lunak seperti perangkat hokum, misalnya

terkait lembaga anti dumping, safeguard, dan lembaga/orang-orang yang bisa melaksanakan

standar-standar tersebut dalam rangka menjaga fair trade (perdagangan berkeadilan).

5. Konsep Daya Saing

Menurut Porter dalam Arief (2009) konsep daya saing yang dapat diterapkan dalam level nasional tidak lain adalah produktivitas yang didefinisikan sebagi nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Oleh Bank Dunia, produktivitas juga dinyatakan sebagai besaran laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.

Sedangkan Institute Management Development (IMD) menyatakan bahwa daya saing nasional merupakan bentuk kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan

agregativitas, globality dan proximity serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan

tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial sehingga negara dalam hal ini mampu menciptakan daya saing domestik dan global melalui peranannya menciptakan iklim yang kondusif bagi ekonomi nasional.

Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan daya saing suatu negara oleh Arief (dalam bukunya Model-model Kuantitatif Untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, 2010) adalah sebagai berikut:

1. Cakupan daya saing lebih luas dan tidak sebatas produktivitas dan efisiensi saja. 2. Pelaku ekonomi (economic agent) berada dalam suatu sistem ekonomi yang

bersinergi.

3. Sasaran peningkatan daya saing suatu perekonomian bermuara pada meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk.

4. Hakikat daya saing adalah kompetisi. Oleh karena itu, daya saing tidak akan pernah terjadi pada suatu perekonomian tertutup.

(7)

and rivalry). Adapun dua faktor penunjangnya adalah peluang (chance) dan peranan

pemerintah (role of government).

6. Faktor Daya Saing4 dan Fakta-Faktanya Terhadap Perkembangan Ekspor

Indonesia

Pada kenyataannya terlepas dari argumentasi mengenai pro dan kontra ACFTA, pemerintah masih punya banyak 'pekerjaan rumah' yang belum selesai berkaitan dengan

export chain. Lemahnya daya saing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Hal ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan. Kedua, biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di pusat maupun daerah. Program 100 hari kabinet belum secara signifikan mengurangi sumber-sumber ekonomi biaya tinggi. Ketiga, masalah struktural yang dihadapi industri kita belum tuntas digarap secara serius. Industri Indonesia menghadapi masalah masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen. Masalah lainnya mencakup lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”, rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra. Keempat, Kementrian Perdagangan dan Perindustrian perlu menyelamatkan produk Indonesia yang lemah daya saingnya. Studi Tri Widodo tentang “Dynamic Comparative

Advantages in the ASEAN+3” dalam Journal of Economic Integration edisi September 2009

perlu dijadikan perhatian. Studi ini menemukan adanya perubahan keunggulan komparatif kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan komparatif yang rendah di masa lalu. Pola keunggulan komparatif ASEAN ternyata mengikuti Jepang yang disebabkan oleh: (1) ASEAN mulai kehilangan keunggulan komparatif dalam kelompok produk tradisional yang berbasis pertanian dan sumberdaya alam; (2) penanaman modal asing langsung (FDI) Jepang yang masuk ke ASEAN mengikuti pola “angsa terbang” sehingga terjadi perubahan spesialisasi dari produk berbasis buruh murah menjadi berbasis tenaga kerja trampil dan teknologi/litbang. Selain itu, pemerintah harus proaktif menyelesaikan

(8)

kasus-kasus sengketa perdagangan Indonesia-China. April 2006, perusahaan eksportir buah-buahan nasional PT Friendship Prima melayangkan keluhan adanya penolakan ekspor produk papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, dengan alasan bahwa Indonesia hanya diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. China menawarkan konsesi bebas

bea masuk atas produk cocoa powder Indonesia ke China (turun dari 15% yang berlaku saat

ini). Sebagai kompensasinya, China mengusulkan agar Indonesia dapat memberikan

preferensi tarif (0%) untuk produk chili powder (turun dari 5% yang berlaku saat ini).

Singkatnya, ACFTA menimbulkan tantangan dan sekaligus peluang. Tinggal bagaimana pemerintah bersama Kadin bergandengan tangan menjawab tantangan yang belum terpecahkan. Dalam setiap perjanjian, baik multilateral maupun bilateral, akan selalu ada

pengaman yang diterapkan masing-masing negara. Bentuknya bisa dalam safeguard,

fleksibilitas, atau pengecualian yang mengamankan adanya potensi kerugian. Jadi terkait

dengan hal itu, semestinya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu safeguard dan instrumen

lainnya dengan baik.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dalam kerangka ACFTA akan meningkatkan volume perdagangan Asean-China, tetapi apakah Indonesia dapat memanfaatkan peningkatan volume perdagangan tersebut secara optimal? Itulah kenyataan dan fakta yang harus dihadapi setelah diberlakukan ACFTA saat ini.

7. Dampak ACFTA Terhadap Produk Pertanian Dalam Negeri

Pengalaman menghadapi berbagai perubahan kondisi yang dinamis mulai dari dampak resesi ekonomi pada awal 1980-an, krisis moneter 1997/1998, krisis energi dan pangan pada 2006-2007, dan belakangan krisis keuangan global yang terjadi mulai pertengahan 2008, seharusnya mampu menciptakan pebisnis Indonesia menjadi lebih tangguh, yang tidak lagi panik menghadapi dinamika ekonomi global termasuk pelaksanaan liberalisasi perdagangan seperti ACFTA, meski tidak pula harus pasrah terhadap ketentuan liberalisasi yang berlaku, seperti yang dirasakan oleh para petani terhadap produk pertanian yang dihasilkan dalam Early Harvest Package (EHP) pada 2004-2006 yang lalu. Apakah ACFTA akan memberikan dampak sistemik terhadap aktivitas ekonomi masyarakat ketimbang masalah perubahan pasar global dan isu-isu domestik seperti ketersediaan energi, bahan baku, pembiayaan, nilai tukar, pungutan, dan perlindungan persaingan lainnya?

(9)

memperluas ekspor dan investasi atau keterpaksaan. Tetapi secara umum, terlihat ada kegamangan pelaku bisnis dalam menghadapi kebijakan kerja sama perdagangan tersebut.

ACFTA diprakarsai dalam pertemuan para Kepala Negara Asean dan China di Bandar Seri Bengawan Brunei Darussalam 6 November 2001, maka setahun kemudian, November 2002 di Pnhom Penh Kamboja, para Kepala Negara tersebut menandatangani pembentukan ACFTA yang ditetapkan selama 10 tahun.

Setelah itu ditetapkan skema dan jadwal penurunan tarif yang terdiri dari: (1) Early Harvest Package of products 2004-2006, (2) Normal Track 2005-2010, dan (3) Sensitive Track. Pada 1 Januari 2010 merupakan tahap akhir jadwal liberalisasi Normal Track terhadap 2528 komoditas dari tarif 5% menjadi 0%, sehingga rata-rata tarif yang berlaku untuk impor dari China menjadi 2,9%.

Salah satu kerangka Agreement on Comprehensive Cooperation Between ACFTA adalah mengenai cakupan produk yang masuk dalam Early Harvest Program (EHP) ACFTA mengenai penurunan tarif pada produk-produk pertanian seperti hewan hidup, daging dan produk daging olahan, ikan, produk susu, produk hewan lainnya, pohon hidup, sayuran dikonsumsi, buah-buahan dikonsumsi, dan kacang-kacangan, juga berdampak bagi kelangsungan produk-produk sejenis yang dihasilkan dalam negeri.

Ini berarti lagi-lagi daya saing produk dalam negeri dipertanyakan, mampukah produk lokal bersaing dengan produk China tersebut, meskipun mungkin masih terlalu prematur untuk menilainya, akan tetapi selama beberapa tahun ke belakang (sebelum diberlakukan ACFTA) produk-produk China tersebut di atas sudah banyak sekali membanjiri pasaran dalam negeri, mengalahkan produk dan komoditas dalam negeri, baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun harga (yang menjadi unggulan dari produk-produk China).

Dari tabel 2 terlihat bagaimana dampak free trade area Asean-China terhadap jumlah

ekspor impor barang dalam negeri, di mana secara garis besar dengan kenaikan TOT (term of

trade) yang disebabkan oleh harga ekspor yang lebih dibandingkan dengan harga impor, menyebabkan jumlah impor di Indonesia lebih tinggi daripada ekspor, implikasinya adalah Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing melalui perbaikan iklim investasi yang lebih kondusif.

Tabel 2. Dampak Free Trade Area dalam Skema Asean-China Terhadap Ekspor (qxw), Impor (qiw), Output (qo), dan Harga Domestik (ppd).

Deskripsi Sektor Ekspor Impor Output Harga

Domestik

(10)
(11)

Financial services -4,469 2,215 0,063 1,153

Insurance -4,138 1,554 -0,215 1,074

Business services 3,607 1,083 -0,577 1,000

Recreation and other services -3,941 1,952 -0,190 1,029

Public adm/defence/health/education -3,956 1,924 -0,179 1,010

Dweelings 0,084 0,084 0,107 1,290

Sumber: Rina Oktaviani, Ph.D dkk (2009)

Di lain pihak, manfaat dari ACFTA bagi sektor pertanian dapat dilihat sebagai berikut: (a) peningkatan volume perdagangan produk pertanian melalui penurunan tarif bea masuk di negara China yang penduduknya terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia; (b) peningkatan kerjasama investasi; (c) kerjasama ekonomi melalui kerjasama peningkatan capacity building. Dengan kata lain meskipun masih banyak ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran diantara kalangan usahawan dalam negeri dalam menghadapi ACFTA, jika kita mampu mengambil hikmahnya adalah selain ancaman yang muncul akan tetapi dibalik itu semua ternyata terdapat peluang yang cukup besar bagi Indonesia untuk memperluas ekspor dan investasi di China jika industri ini

mampu meningkatkan daya saing5. Selain itu juga diperlukan kemampuan untuk merespon

penawaran yang begitu cepat melalui manajemen rantai (supply chain) yang efisien untuk

memenuhi keinginan konsumen melalui peningkatan kualitas, ketepatan waktu, harga yang kompetitif, dan jumlah yang tepat.

8. Dampak ACFTA Bagi Perdagangan Produk-Produk Holtikultra Dalam Negeri

Pada kenyataannya berdasarkan laporan Kadin disebutkan bahwa dampak dari ACFTA yang diberlakukan 1 Januari lalu khususnya untuk produk pertanian cukup berat terutama bagi produk hortikultura Indonesia. Tanpa ACFTA, produk buah dan sayur asal Indonesia sudah begitu terdesak oleh produk sejenis asal China, terutama jeruk. Produk dari Negeri Tirai Bambu ini telah membanjiri pasar Indonesia. Sayangnya, konsumen dalam negeri justru mencintai produk impor itu yang harganya jauh lebih murah.

Konsumen lokal seolah tidak memperhatikan bagaimana proses pengadaan buah-buahan asal China tersebut dilakukan kendati Badan Karantina Kementerian Pertanian menyatakan produk buah asal China sudah disimpan selama setahun. Produk itu merupakan buah yang tidak laku dijual di dalam negeri, sehingga dijual murah, dan dibeli oleh importir asal Indonesia. Produk tersebut, meski sudah setahun disimpan, tetapi masih digemari karena

5 Oktaviani, Rina,. Widyastutik,. Amaliah, Syarifah,. 2010. Dampak Asean –China Terhadap Ekonomi Makro dan

(12)

harganya murah dan sesuai dengan kocek mayoritas masyarakat Indonesia, yang daya belinya masih rendah6.

Laporan departemen Pertanian juga menyatakan bahwa selama ini banyak produk buah-buah asal negara China yang masuk ke Indonesia sudah dalam kondisi tidak bagus karena telah lama dipanen sehingga harganya sangat murah. Selain kualitasnya rendah, sejumlah faktor yang dinilai menjadikan produk buah-buahan asal China bisa dijual murah

antara lain adanya subsidi dari negara, dan dumping. Meskipun di lain pihak sejak beberapa

tahun terakhir Indonesia sudah mengekspor buah hasil pertanian Indonesia ke China. Negara itu meminta Indonesia mengekspor buah tertentu, karena jenis buah tersebut tidak ada di China. Secara umum, kualitas buah dan hasil pertanian Indonesia lainnya tidak kalah dengan hasil pertanian negara lain. Untuk lebih mempersiapkan lagi pemberlakuan perdagangan bebas, diperlukan peningkatan kualitas hasil pertanian, sehingga para petani dan masyarakat umum bisa percaya diri kalau hasil pertanian Indonesia benar-benar bagus atau tidak kalah dengan hasil pertanian negara lain. Selain itu, Indonesia harus tetap mewaspadai taktik dan 'trik' perdagangan China dimana pada tahun 2006, misalnya, melalui perusahaan eksportir

buah-buah nasional PT Friendship Prima yang melayangkan complain adanya penolakan

ekspor produk papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, alasannya Indonesia hanya diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. Pada konsultasi bilateral RI - China di Hanoi, Vietnam, Indonesia telah meminta klarifikasi dari pihak China atas penolakan ekspor buah-buahan tersebut, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena

instansi yang berwenang tidak ikut serta dalam sidang7. Padahal, sebagaimana diketahui,

produk buah-buahan yang masuk dalam kerangka EHP ACFTA maka sejak 1 Januari 2004 tarif bea masuknya sudah turun. Secara formal, Direktorat Jenderal Hortikultura mengajukan surat resmi kepada Departemen Perdagangan c.q. Direktorat Regional selaku focal point

Indonesia. Kendati pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian siap memperketat tindakan kontrol terhadap produk buah-buah asal China yang masuk ke Indonesia, seperti menerapkan SNI wajib dan mendorong para petani menanam produk hortikultura sesuai

dengan asas good agricultural practices (GAP), tetapi ada hal yang tetap harus diingat dari

fenomena tersebut, maka perlu dicarikan formulasi yang tepat dalam menghadapi produk-produk buah dan sayuran impor yang masuk ke Indonesia, khususnya daya saing produk-produk lokal terhadap produk buah dan sayur impor. Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing

(13)
(14)

Seperti diketahui bahwa ACFTA memberikan dampak positif maupun negatif bagi perkembangan perdagangan nasional khususnya di sektor pertanian, melalui konsep

comparative advantage di mana hubungan perdagangan antar negara dapat terjadi apabila negara yang melakukan hubungan dagang masing-masing memiliki keunggulan-keunggulan tertentu dalam menghasilkan dan memproduksi barang/jasa. Besarnya pengaruh dan dampak kebijakan tarif sangat mempengaruhi perkembangan perdagangan dan produksi secara keseluruhan.

Studi empiris mengenai seberapa besar dampak kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buaha-buahan lokal dalam rangka meningkatkan daya saing pasca ditandanganinya ACFTA, kali ini akan dibahas secara

kuantitatif di mana penelitian ini menggunakan data time series. Adapun model ekonomi

yang diterapkan dalam penelitian ini berfungsi untuk menjelaskan fenomena ekonomi yang terjadi berkaitan dengan kondisi perdagangan internasional setelah diberlakukannya ACFTA.

Dalam model yang digunakan terdapat empat model persamaan yaitu:

1) TP = a0 + a1X - a2M + a3 GDP+ a4 ER + a5 T

2) GDP = b0 + b1INF + b2 CG + b3 CT + b4 NP

3) X = c0 + c1Xsb*ER - c2 T

4) M = d0 + d1Msb*ER – d2 T

Di mana diketahui:

Xsb: eksport buah dan sayur,

NPsb= neraca perdagangan ekspor buah dan sayur, M= import buah dan sayur,

NP= neraca perdagangan total X = total ekspor,

M= total import INF= inflasi

ER = exchange rate T = pajak

(15)

TP = total perdagangan

Sebagai variabel endogen adalah: TP, GDP, X, dan M. Sedangkan variabel eksogen terdiri dari: CT, CG, ER, Xsb, Msb, NPsb, NP, dan INF.

Model dapat diartikan sebagai suatu penjelasan dari suatu fenomena nyata sebagai suatu sistem atau proses yang sistematis (Koutsoyiannis, 1977). Labys (1973) menjelaskan lebih lanjut bahwa model suatu komoditas merupakan penjelasan formal dari suatu pasar domestik dan industri yang mencakup masalah ekonomi, kebijakan dan kelembagaan.

Suatu model merupakan representasi atau penyederhanaan dari fenomena aktual yang ada didunia nyata (Intriligator, 1980). Untuk menyederhanakan fenomena tersebut dikenal bentuk model aljabar. Model aljabar merupakan suatu model yang mampu mempresentasikan keadaan dunia nyata atau fenomena dengan menggunakan berbagai sistem persamaan.

Suatu fenomena disederhanakan agar dapat melakukan estimasi yang akurat atas perilaku dan fenomena. Model pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu fenomena ekonomi adalah salah satu model ekonometrika.

Menurut Suharyono (1996) suatu model dikatakan baik jika memenuhi kriteria di bawah ini :

1. Kriteria ekonomi (menyangkut tanda dan besar parameter)

2. Kriteria statistik (menyangkut uji statistik)

3. Kriteria ekonometrika (mencakup asumsi ekonometrika)

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder deret waktu 1969-2000 yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Bank Indonesia, Bank Dunia, FAQ, ASKINDO, dam Departemen Pertanian maupun dari berbagai informasi-informasi lain seperti jurnal-jurnal perkebunan, ekonomi dan hasil penelitian terdahulu serta internet. Data yang digunakan merupakan data tahunan dan merupakan agregrasi secara nasional.

Sedangkan secara umum, analisa data digunakan untuk menjawab permasalahan yang

muncul dan mencapai tujuan yang ditetapkan serta dilakukan melalui beberapa tahapan analisis. Adapun tahapan analisis tersebut mencakup: (1) identifikasi model, (2) metode pendugaan model, (3) validasi model, dan (4) simulasi kebijakan ekonomi.

Setelah tahap perumusan model, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk menduga model dalam bentuk persamaan simultan dengan melakukan identifikasi model (Koutsoyiannis, 1977). Identifikasi berhubungan dengan masalah estimasi model. Jika suatu

persamaan tidak teridentifikasi (under identified), maka tidak ada teknik ekonometrika yang

(16)

tepat (exactly identified), maka teknik yang paling tepat digunakan adalah Indirect Least Square (ILS), sedangkan jika teridentifikasi secara berlebihan (over identified) maka berbagai

teknik dapat digunakan seperti Two Stage Least Squares (2SLS), Three Stage Least Squares

(3SLS), Limited Information Maximum Likehood (LIML) dan Full Information Maximum

Likehood (FIML). Identifikasi dilakukan dengan mengikuti dua syarat yaitu syarat keharusan

(order condition) dan syarat kecukupan (rank condition). Syarat keharusan terpenuhi jika jumlah peubah predeterminan yang dikeluarkan dari persamaan yang diperiksa lebih besar atau sama dengan jumlah peubah endogen yang di masuk-kan dalam persamaan tersebut dikurangi satu.

Rumusan identifikasi model berdasarkan order condition adalah sebagai berikut :

(K-M) ≥ (G-1)

Di mana,

K = total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah

Pre-determined

M = jumlah peubah endogen dan oksigen yang termasuk dalam suatu

persamaan tertentu dalam model.

G = total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam

model.

Jika (K-M) lebih besar dari (G-1), maka suatu persamaan dalam model teridentifikasi berlebih; jika (K-M) sama dengan (G-1) , maka persamaan tersebut teridentifikasi secara tepat; sedangkan jika (K-M) lebih kecil dari (G-1), maka persamaan tersebut tidak teridentifikasi.

Sementara itu, syarat kecukupan (rank condition) untuk suatu persamaan dapat diidentifikasi

adalah jika dan hanya jika mungkin membentuk sekurang-kurangnya satu determinan tidak nol dari (G-1) susunan dan koefisien-koefisien struktural peubah yang dikeluarkan dari persamaan yang diperiksa tersebut.

(17)

tepat dan efisien. Metode yang dipilih untuk memperoleh nilai parameter dugaan pada model perkembangan dan ekspor kakao di Indonesia adalah 3SLS. Metode 3SLS memberikan pendugaan parameter struktural yang lebih efisien secara asimptotis dibandingkan metode 2SLS, karena dalam metode 3SLS digunakan informasi penuh berupa penggunaan kolerasi unsur galat dalam persamaan struktural (Intriligator, 1980).

Alasan-alasan mengapa memilih metode 3SLS adalah:

1. Metode ini cocok digunakan untuk mengestimasi parameter model

ekonometrika simultan yang teridentifikasi berlebih (over identified).

2. Metode ini lebih efisien dibandingkan metode 2 SLS, karena dalam

pendugaannya digunakan lebih banyak informasi dibandingkan metode 2SLS

3. Metode ini lebih sederhana dibandingkan metode FIML.

Sedangkan kelemahan metode 3SLS adalah membutuhkan jumlah data pengamatan yang lebih besar dari peubah predeterminan dan pengetahuan yang lengkap mengenai spesifikasi seluruh model. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan penseleksian peubah yang digunakan dalam pendugaan tahap pertama, yaitu dengan membuang sementara peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen, kemudian dimasukkan kembali bila ternyata tidak mempengaruhi keragaan peubah penjelas yang telah dimasukkan terlebih dahulu.

Estimasi nilai parameter dalam persamaan-persamaan ekonometrika tersebut

dilakukan dengan menggunakan program computer SAS/ETS (Statistical Analysis System

Econometric Rime Series).

Uji kolerasi serial dengan menggunakan Durbin-Watson statistic tidak valid untuk

model persamaan simultan jika model mengandung lagged endogenous variables. Untuk

menguji apakah model mengalami kolerasi serial atau tidak digunakan Durbin h Statistik (Pindyck dan Rubinfeld, 1991).

………(53)

Di mana,

h = angka Durbin h Statistik

T = jumlah pengamatan contoh

(18)

DW = nilai statistik Durbin-Watson

Jika nilai T (var lebih besar dari satu, maka uji statistic Durbin h tidak valid. Jika

statistik Durbin h lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model tidak mengalami korelasi.

Dalam penelitian ini juga digunakan suatu validasi model yang dilakukan untuk mengetahui apakah model tersebut cukup valid untuk simulasi kebijakan atau tidak. Dalam validasi model, untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi maka

dilakukan dengan menggunakan RMSE (Root Mean Square Error), RMSPE (Root Mean

Square Precent Error) dan U-theil (Theil’s Inequqlity Coefficent) (Pindyck dan Rubinfeld, 1991).

Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi

digunakan R

²

(koefisien determinan). Makin kecil RMSE, RMSPE, U, serta makin besar R²

maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0, maka pendugaan model sempurna. Sebaliknya jika U=1, maka pendugaan model naïf.

Nilai statistik tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

RMSE = ……….(54)

RMSPE = ……….(55)

U = ….……….……….(56)

Di mana,

(19)

= Nilai aktual observasi

n = Jumlah periode simulasi

Dari hasil validasi tersebut, pada akhirnya penulis dapat melakukan suatu simulasi yang digunakan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap peubah-peubah endogen. Analisis simulasi diterapkan pada periode 1988-2009 karena lebih lengkap dan terjamin. Analisis ini mencakup periode yang sudah lampau, sehingga simulasi ini dinamakan simulasi historis. Dengan demikian alternatif kebijakan ekonomi yang disimulasi adalah sebagai berikut :

1. Kenaikan harga barang-barang (inflasi) sebesar 15 persen.

Naiknya harga barang-barang di dalam negeri diasumsikan akan mempengaruhi daya beli dan daya saing produksi komoditas buah-buahan dan sayuran lokal. Hal ini dipicu oleh naiknya harga pupuk, dan biaya transportasi yang akan mempengaruhi harga komoditas tersebut sekaligus biaya produksi. Berdasarkan kondisi ini maka akan dicoba skenario kenaikan harga rata-rata sebesar 15 persen.

2. Depresiasi nilai tukar rupiah (IDR) terhadap dolar (USD) sebesar 18 persen.

Adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah sampai dengan 18 persen. Skenario ini dilakukan untuk melihat pengaruh penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terhadap ekspor buah dan sayuran Indonesia.

3. Penurunan Nilai Ekspor Buah dan Sayuran sebesar 20 persen akibat globalisasi perdagangan dan kebijakan perdagangan semenjak diberlakukannya ACFTA.

4. Pembebasan Tarif Perdagangan (T=0) baik ekspor maupun impor sebagai konsekuensi

dan komitmen dari pelaksanaan kesepakatan free trade area, di mana masing-masing

anggota negara yang menandatanganinya harus berkomitmen dalam membebaskan tarif dari barang/jasa yang masuk ke suatu negara anggota yang menandatangani kesepakatan.

10. Hasil Pendugaan Model

Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R² sistem cukup tinggi yaitu mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat

(20)

mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah endogen, digunakan uji statistik t.

Hasil statistik t menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara individu tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen jika menggunakan taraf nyata atau α sebesar 5 persen. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel yaitu menggunakan α yang lebih besar hingga 15 persen, maka sebagian besar peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah A merupakan taraf nyata α sebesar 5 persen, B merupakan taraf nyata α sebesar 10 persen, C merupakan taraf nyata α sebesar 15 persen . Pengujian uji statistik DW pada model persamaan simultan yang mengandung lag merupakan hal yang tidak valid, maka untuk menguji apakah terjadi autokorelasi atau tidak digunakan uji statistik Durbin h. Berdasarkan hasil dugaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini cukup representatif dalam menjelaskan fenomena-fenomena perdagangan sayur dan buah lokal di pasar domestik dan pasar dunia.

8.1. Total Perdagangan

Dari hasil model diperoleh Total Perdagangan (TP) dipengaruhi oleh nilai total ekspor (X), nilai total impor (M), total GDP, (GDP), Exchange rate (ER), dan Pajak Perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total perdagangan disajikan pada

(21)

berarti setiap kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per-kg akan meningkatkan nilai perdagangan sebesar 26.23 rupiah per-kg.

Sementara nilai parameter peubah total ekspor terhadap total perdagangan adalah 25.48 yang menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ekspor sebesar 1000 rupiah per-kg akan menaikkan nilai total perdangangan sebesar 25.48 rupiah per-kg. Hal ini disebabkan karena dengan naiknya nilai ekspor secara keseluruhan maka total perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri akan berpengaruh meskipun tidak secara signifkan. Sesuai dengan teori dikatakan bahwa total perdagangan suatu negara merupakan jumlah keseluruhan barang-barang yang diekspor dikurangi dengan barang-barang yang diimpor. Apabila nilai ekspor lebih besar dibanding dengan nilai impor, menunjukkan bahwa negara tersebut mengalami surplus pada neraca perdagangan dan sebaliknya apabila nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor, maka dapat dikatakan negara tersebut mengalami defisit perdagangan sehingga neraca perdagangannyapun mengalami defisit. Pada penelitian ini diketahui bahwa untuk parameter peubah total impor terhadap total perdagangan adalah sebesar 94.27 yang mana menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan impor sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan terjadinya penurunan total perdagangan sebesar 94,27 rupiah per-kg.

Nilai parameter peubah GDP terhadap total perdagangan adalah sebesar 69.40 yang menandakan bahwa dengan kenaikan total perdagangan sebesar 1000 rupiah akan menyebabkan kenaikan GDP sebesar 69.40 rupiah. Sedangkan untuk parameter peubah nilai tukar (ER) terhadap total perdagangan sebesar 321.33 yang berarti bahwa jika nilai tukar IDR menguat sebesar 1000 IDR per USD akan meyebabkan kenaikan total perdagangan sebesar 321.33 rupiah per-kg.

Dalam jangka pendek dan jangka panjang total ekspor cukup responsif (respon positif) terhadap total perdagangan karena elastistas yang diperoleh hanya sebesar 0,032 dan 0.15. Ini menunjukkan bahwa dengan kenaikan nilai ekspor akan menyebabkan terjadinya kenaikan total perdangangan Indonesia secara keseluruhan akibat semakin tingginya penawaran komoditas sayur dan buah lokal di luar negeri yang menyebabkan nilai total perdagangan akan ikut meningkat.

(22)

menyebabkan terjadinya penurunan nilai total perdangangan secara keseluruhan sebesar nilai tersebut.

Sebaliknya pada parameter peubah GDP terlihat memiliki respon yang negatif dalam jangka pendek sebesar -0.22 yang menunjukkan dalam jangka pendek apabila nilai perdagangan mengalami penurunan maka akan berpengaruh juga terhadap penurunan total GDP. Hal ini disebabkan karena nilai perdagangan tersebut mengalami defisit sehingga berpengaruh pada total GDP secara keseluruhan. Walau demikian dalam jangka panjang ternyata antara GDP dan total perdagangan mengalami respon yang positif sebagai akibat kenaikan nilai perdagangan yang disebabkan oleh kenaikan ekspor (dengan asumsi jika diterapkan pemberlakukan pembebasan tarif ekspor kepada negara-negara lain yang menandatangani perjanjian ACFTA) dengan nilai elastisitas sebesar 0.36 sehingga penawaran akan komoditas sayur dan buah lokal di luar negeri akan ikut meningkat.

Nilai tukar IDR terhadap USD dalam jangka pendek maupun panjang memiliki respon yang positif terhadap nilai total perdagangan. Ini berarti jika nilai tukar IDR terhadap USD mengalami depresiasi maka nilai total perdagangan Indonesia ke luar negeri juga akan meningkat sebesar nilai rupiah terhadap USD, dimana elastisitas yang diperoleh baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah sebesar 0.12 dan 0.09 yang menunjukkan bahwa para petani dalam hal ini akan cenderung meningkatkan produksinya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor komoditas sayur dan buah (secara tidak langsung petani akan cenderung berusaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh negara-negara tujuan ekspor). Hal ini tentu saja akan menciptakan daya saing bagi produk komoditas tersebut.

(23)

Akan tetapi jika dilihat dari sisi ekspor tentu saja hal ini sangatlah menghambat bagi para petani dan khususnya para eksportir, karena dengan kenaikan pajak ini tentu saja akan mengurangi daya saing produk/komoditas sejenis di negara lain, sehingga akan berpotensi menurunkan nilai ekspor sayur dan buah secara khusus dan total ekpor secara keseluruhan.

8.2. Gross Domestic Product

Dari model diperoleh bahwa GDP dipengaruhi oleh tingkat Inflasi (INF), Konsumsi Pemerintah (CP), Konsumsi Rumah Tangga (CT) dan Nilai Perdagangan (NP). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total perdagangan disajikan pada tabel 6 sebagai berikut.

Tabel. 6. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi GDP

Peubah Parameter

dugaan

T for H0

Parameter=0

Elastisitas

Jk pendek Jk panjang

Intersep 33031.71 6.94

Inflasi -335.979 -1.26 -0.162 -0.008

CP 0.011746 0.21 0.56 0.92

CT -0.00282 -0.67 -0.082 -0.133

NP -0.52519 -1.81B

0.018 0.11

R² = 0.35089 Fhit = 2.3

Tabel di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan R square dari persamaan model tersebut diperoleh sebesar 0.35089 yang menunjukkan terdapat hubungan antara variabel dependen terhadap variabel independen meskipun hanya sebesar 0.35089 atau 35 persen, dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (eksogen).

(24)

Parameter peubah konsumsi pemerintah terhadap GDP sebesar 0.011746 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan konsumsi pemerintah akan menaikkan GDP sebesar 0.011746. Dalam jangka pendek maupun panjang konsumsi pemerintah akan merespon secara positif terhadap kenaikan GDP, hal ini terlihat pada tabel di mana dalam jangka pendek elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.56 dan 0.92 untuk jangka panjang. Dengan kata lain kenaikan konsumsi pemerintah (dalam hal ini merupakan konsumsi pemerintah dalam rangka meningkatkan pembangunan) akan merespon secara baik terhadap kenaikan GDP secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena umumnya konsumsi pemerintah tersebut berkaitan dengan investasi dalam negeri yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan perbaikan infrastruktur sehingga dapat meningkatkan taraf pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Parameter penduga konsumsi rumah tangga (CT) terhadap GDP adalah sebesar -0.00282, yang menunjukan bahwa jika konsumsi rumah tangga naik maka kedua variabel akan menyebabkan penurunan GDP sebesar 0.00282. Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.082 dan 0.133, yang dapat diartikan bahwa terdapat respon yang negatif antara GDP dengan konsumsi rumah tangga (CT). Ini juga berarti apabila terjadi kenaikan pada konsumsi rumah tangga (CT) akan menyebabkan terjadinya penurunan GDP yang mungkin salah satunya disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang-barang komoditas (inflasi) di dalam negeri sehingga menyebabkan semakin besarnya uang yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengkonsumsi barang dan berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

(25)

meningkat sejalan dengan meningkatnya produk barang dan jasa yang dihasilkan. Salah satu kenaikan ekspor tersebut adalah disebabkan semakin meningkatnya daya saing produk lokal di luar negeri yang memicu para petani maupun eksportir lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas barang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pasar luar negeri.

8.3. Total Ekspor

Dari model diperoleh bahwa Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan total pajak perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total ekspor disajikan pada tabel 7 berikut.

Tabel. 7. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor

Peubah Parameter

dugaan

T for H0

Parameter=0

Elastisitas

Jk pendek Jk panjang

Intersep 26155.74 4.28

Xsb*ER 0.000048 1.57 0.22 0.34

T 0.097921 3.37 A 0.036 0.072

R² = 0.73249 Fhit = 26.01

(26)

Begitu pula dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X), diperoleh sebesar 0.097921 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per-kg akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah per-kg dengan asumsi bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kemampuan daya saing produk lokal akan tetapi kenaikan pajak tersebut justru ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia (impor). Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas pajak terhadap ekspor yang diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini memungkinkan bahwa dengan adanya pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor terhadap komoditas tertentu) akan mendorong daya saing produk/komoditas sehingga penawaran produk/komoditas sayur dan buah lokal tidak terpengaruh oleh kenaikan pajak tersebut.

8.4. Total Impor (M)

Dari model diperoleh bahwa Total impor (M) dipengaruhi oleh nilai impor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Msb*ER), dan total pajak perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total ekspor disajikan pada tabel 8

Tabel. 8. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor

Peubah Parameterdugaan T for H0

Parameter=0

Elastisitas

Jk pendek Jk panjang

Intersep 20204.57 5145.121

Msb*ER 1.495E-6 0.000048 0.038 0.012

T 0.102744 0.059818B 0.175 0.28

R² = 0.63281 Fhit = 16.37

(27)

terhadap komoditas sayur dan buah akan meningkat apabila penawaran komoditas tersebut juga meningkat sebagai akibat membanjirnya produk-produk tersebut di dalam negeri dengan harga murah. Apabila dikaitkan dengan daya saing terhadap komoditas dalam negeri tentu saja akan menjadi suatu ancaman yang sangat serius (karena berpotensi mematikan usaha petani dan menurunkan produksi terhadap komoditas tersebut).

Pada parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara statistik sebesar 0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk 1000 rupiah per-kg komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor sebesar 0.102744. Hal ini terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor yang menyebabkan harga komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga sebelum kenaikan pajak. Dengan kata lain kondisi tersebut tentu saja akan mematikan daya saing produk lokal terhadap produk-produk impor yang nasuk ke dalam negeri. Begitu pula secara jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas sebesar 0.175 dan 0.28 yang menunjukkan hubungan yang cukup responsif antara pajak dan total impor di mana dengan adanya pembebasan tarif (apabila ACFTA tersebut diberlakukan) akan mempengaruhi daya saing produk/komoditas lokal terhadap komoditas impor yang harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.

8.5. Validasi Model

Validasi model diperlukan untuk mengetahui kualitas model dalam menduga perilaku data aktual yang digunakan di dalam model. Validasi statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah RMSPE untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persentase Selain itu, digunakan koefisien U Theil untuk mengevaluasi kehandalan model untuk digunakan dalam analisis simulasi

kebijakan. Suatu pendugaan model dikatakan baik apabila nilai RMSE (Root Mean Square

Error), RMSPE (Root Mean Square Percent Error), dan U Theil (Theill Inequality Coefficient) semakin kecil. Di mana nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U sama dengan 0 maka pendugaan model adalah sempurna dan bila U sama dengan 1 maka pendugaan model sangat buruk (Theil, 1965 dalam Tri Imido Sematoto, 2004).

(28)

evaluasi berdasarkan kriteria tersebut menjelaskan bahwa dari 4 persamaan yang membentuk model diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 9. Validasi model Daya Saing Produk Buah dan Sayuran Lokal

Peubah Endogen RMSE RMSPE U

Total Perdagangan (TP) 11234.5 70.5194 0.2592 0.3477

GDP 3026463 13.0906 0.0750 0.5026

Total ekspor (X) 15070.6 30.3376 0.1196 0.7325

Total Impor (M) 14610.1 34.3469 0.1603 0.6328

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 4 persamaan yang membentuk model terdapat 3 persamaan atau 75 persen diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara itu berdasarkan sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki nilai U diatas 0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21 tersebut adalah Total Perdagangan (TP).

8.6. Simulasi Analisis Daya Saing Produk Buah dan Sayur 8.6.1. Dampak Kenaikan Tingkat Inflasi sebesar 15 persen

Tabel 10. Dampak Kebijakan Tingkat Inflasi sebesar 15 persen Terhadap Peubah-peubah Endogen

Peubah Endogen Satuan

Nilai Rata-rata

Perubahan

Simulasi dasar Simulasi scenario 1

Total Perdagangan

(TP) 1000/ton 18695 18127.9 -0.030334314

GDP 1000 19868997 19827732 -0.002076854

Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 56910.7 0.001220943

Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.2. Dampak Kebijakan Depresiasi IDR Terhadap USD sebesar 18 persen Terhadap Peubah-peubah Endogen

Tabel 11. Dampak Kebijakan Depresiasi IDR sebesar 18 persen Terhadap Peubah-peubah Endogen

Peubah Endogen Satuan

Nilai Rata-rata

Perubahan

Simulasi dasar Simulasi scenario 1

Total Perdagangan

(TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582

GDP 1000 19868997 20217589 0.017544519

(29)

Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.3. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadap Peubah-peubah Endogen

Tabel 12. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadap Peubah-peubah Endogen

Peubah Endogen Satuan

Nilai Rata-rata

Perubahan

Simulasi

dasar scenario 1Simulasi

Total Perdagangan

(TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582

GDP 1000 19868997 19866875 -0.0001068

Total ekspor (X) IDR/KG 45473.1 56910.7 0.251524528

Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.4. Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0) terhadap Peubah-peubah Endogen

Tabel 13. Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0) terhadap Peubah-Peubah Endogen

Peubah Endogen Satuan

Nilai Rata-rata

Perubahan

Simulasi dasar

Simulasi scenario 1

Total Perdagangan

(TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582

GDP 1000 19868997 17210530 -0.133799758

Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 38393.2 -0.324554505

Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 20600.2 -0.485359108

9. Implikasi Kebijakan Dalam menghadapi ACFTA

9.1. Implikasi Kredit Perbankan Dalam Menghadapi Dampak ACFTA

(30)

penguasaan sumber energi yang tangguh selalu mencari celah untuk membanjiri pasar dunia. Ketika aggregat demand dunia merosot sebagai dampak krisis keuangan global 2008, produk-produk China melakukan pelarian pasar ke negara yang konsumsinya tinggi seperti Indonesia termasuk dengan menerapkan skema konsinyasi atau bayar belakangan dan kredit. Bagi China yang penting produknya laku dipasaran.

Jika diamati dengan saksama, produk China umumnya hanya masuk ke segmen pasar menengah ke bawah dan mudah menyingkirkan produk UMKM dosmetik terutama buah-buah dan hortikultura lainnya, perikanan, makanan minuman, obat-obatan, jamu-jamuan, kosmetik, pakaian jadi, alas kaki, mebel, keramik, hingga barang kerajinan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi untuk meningkatkan efektivitas dan optimalisasi pelaksanaan program dan kebijakan tersebut seperti yang lahir dari Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Pemberdayaan UMKM (Inpres 3/2006, Inpres 6/2007, dan Inpres 5/2008), Kebijakan Counter cyclical, dan Kebijakan Debottlenecking. Akan tetapi

masalah yang tidak pernah berkembang adalah pembiayaan perbankan untuk pembiayaan modal kerja dan investasi. Tidak jelas apakah risiko usaha di Indonesia begitu menakutkan

ataukah ada kelemahan entrepreneurship para bankers Indonesia dibandingkan dengan begitu

mudahnya sektor riil di China dan negara tetangga kita memperoleh kredit. Untuk menarik bank masuk ke sektor tertentu perlu intervensi anggaran pemerintah, seperti mengambil risiko dengan penjaminan atau pemberian subsidi suku bunga. Kebijakan-kebijakan tadi sangat memerlukan kecepatan sinergi dan komando lapangan yang mengawasi dan mengevaluasi efektivitasnya terhadap penguatan sektor riil.

Salah satu permasalahan mengapa produk-produk lokal tidak dapat bersaing dengan produk-produk China adalah kemampuan dari para pelaku-pelaku ekonomi yang memproduksi barang yang setara dan bersaing dalam harga. Karena pada umumnya para pelaku ekonomi China mampu membaca situasi suatu negara dengan tingkat konsumsi tinggi tetapi daya belinya rendah. Dengan kenyataan tidak adanya dukungan dari dunia perbankan dalam menggerakkan ekonomi sektor riil, karena suku bunga pinjaman kepada pelaku-pelaku bisnis dalam negeri masih dirasakan sangat tinggi, hal ini ditandai dengan tingginya kredit

yang belum dicairkan nasabah (undisbursed loan) di sektor perdagangan pada tahun 2009

(31)

pemerintah terhadap daya beli masyarakat dan terhadap perdagangan internasional juga cukup mempengaruhi pemerintah. Selain itu juga kecenderungan pedagang yang memiliki kebiasaan untuk menunggu melonjaknya permintaan juga ikut berpengaruh karena mengharapkan keuntungan besar dari lonjakan permintaan tersebut. Masalahnya, perjanjian itu secara keseluruhan dapat menahan pengusaha untuk mencairkan kredit. Pedagang akan cenderung menahan kredit itu. Di sisi lain, perbankan pun bakal cenderung bersikap hati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

Selain masalah perdagangan. kredit yang tidak tercairkan itu juga dapat disebabkan karena proyek infrastruktur yang tertunda. Kemudian, sejumlah pengusaha beralih ke bentuk pinjaman lain yang dinilai lebih dapat bersaing. Bank Indonesia mengumumkan perjanjian kredit perbankan dengan nasabah yang belum dicairkan sepanjang 2009 mencapai Rp 250 triliun, di mana sebagian besar kredit yang tidak dicairkan itu berasal dari sektor perdagangan9.

Hal itu bertolak belakang sekali dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah China dalam menggerakkan ekonomi sektor riil-nya. Perhatian pemerintah China terhadap industri-industri kecil dan menengah di China sangatlah besar, terbukti pemerintah China telah mengeluarkan paket subsidi bunga bagi perbankan yang mendukung industri kecil dan menengah di negara tersebut, sehingga para pebisnis dan pelaku ekonomi kecil dan menengah di China merasa terbantu dan dimudahkan dalam kendala permodalan. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, di mana suku bunga pinjaman dirasakan masih sangat timggi dan sangat tidak kompetitif. Suku bunga Indonesia masih sekitar 13%-15%, sementara negara Asean termasuk China sudah 3%-5%, bahkan untuk kredit usaha kecil seperti kredit usaha rakyat (KUR) penetapan suku bunga sangat tinggi sekitar 22%-24%. Jelas di sini terlihat, bagaimana kesuksesan produk-produk China terjadi, dukungan yang kuat dari pemerintah baik regulasi perdagangan, regulasi perbankan, dan infrastruktur menjadi salah satu faktor utama. Mestinya hal inilah yang harus ditiru oleh pemerintah kita. Dengan kata lain, hal ini bukan hanya merupakan perkerjaan rumah yang ditujukan kepada Departemen Perdagangan dan Industri saja tetapi juga merupakan pekerjaan rumah berupa dukungan dan koordinasi antar departemen yang terkait termasuk dalam hal ini bank sentral dan lembaga-lembaga negara lainnya (seperti kepolisian, kejaksaan, departemen PU), BUMN, Kadin, dan pihak swasta lainnya.

(32)

9.2. Implikasi Perbandingan Tingkat Harga Akibat Adanya Hambatan Hambatan Bisnis

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu implikasi penyebab dari ketidakmampuan bersaing produk-produk lokal dalam negeri terhadap produk-produk China yang masuk dikarenakan tidak adanya dukungan dari sektor perbankan dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan (mikro) di Indonesia. Adapun penghambat lainnya yang dapat disinyalir, mengapa produk lokal tidak mampu bersaing dengan produk China dapat dilihat pada tabel 14 dibawah ini.

Tabel 14. Tingkat Penghambat Bisnis Indonesia-China (dalam persentase)

No Jenis Persentase Tingkat Hambatan Indonesia China

1. Akses Finansial 7,8 16,8

2. Efisiensi Birokrasi Pemerintah 23,2 11,1

3. Aturan Pajak NA 9,6

4. Instabilitas Kebijakan 9,0 8,5

5. Kekurangan Infrastruktur 14,8 8,5

6. Korupsi 8,7 7,4

7. Kekurangan SDM ahli NA 7,8

8. Tarif Pajak 6,8 7,1

9. Inflasi 6,1 5,8

10. Peraturan Tenaga Kerja 7,1 NA

11. Regulasi Tukar Rupiah 5,2 NA

Sumber: E. Gumbira-Said, Dampak dan Peluang ACFTA Pada Kinerja Agribisnis dan Agroindustri Indonesia, 2010

Dari tabel terlihat bahwa, dibandingkan dengan China, ternyata Indonesia rata-rata memiliki tingkat penghambat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat penghambat di China, kecuali pada efisiensi birokrasi pemerintah (yaitu sebesar 23,2 persen), meskipun demikian faktor penghambat dari efisiensi birokrasi pada kenyataannya masih dirasakan sangat kurang dan belum berdampak besar bagi perkembagan industri dan perdagangan di Indonesia. Hal ini terbukti dari sebagian besar pernyataan di kalangan usahawan yang selalu mengeluhkan pelayanan birokrasi pemerintahan sehingga menyebabkan adanya ekonomi biaya tinggi yang berasal dari berbagai pungutan yang dikenakan bagi pelaku-pelaku bisnis di Indonesia. Pungutan-pungutan tersebut menyebabkan para pelaku bisnis cenderung mengambil langkah mudah dengan cara menaikkan harga produk yang lebih tinggi dibanding dengan produk China, meskipun terkadang produk tersebut memiliki tingkat kualitas yang sama bahkan terkadang jauh lebih baik dari produk China.

(33)

10.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Upaya Peningkatan Daya Saing Sayur dan Buah Lokal Pasca ACFTA, maka dapat disimpulkan beberapa hal:

1) Perdagangan Indonesia mengalami masalah dalam daya saing baik produksi maupun besaran laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan. Lemahnya dayasaing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi seperti: (1) biaya pengurusan kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan, (2) adanya biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor baik itu ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di pusat maupun daerah, (3) masalah struktural yang dihadapi industri yang belum tuntas digarap secara serius seperti masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen, masalah lain seperti lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi, rendahnya produktivitas tenaga kerja industry, belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim persaingan, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra, (4) adanya perubahan keunggulan komparatif kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan komparatif yang rendah dimasa lalu.

2) Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R² system cukup rendah yaitu

mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat

menerangkan perilaku model sebesar 73.46 persen, sedangkan sisanya yang hanya 27.54 persen diterangkan oleh peubah-peubah diluar model. Secara keseluruhan statistik F mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah endogen.

(34)
(35)

terhadap USD , dimana elastisitas yang diperoleh baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah sebesar 0.12 dan 0.09 Pajak Perdagangan (pajak ekspor dan impor) dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap total perdagangan memiliki respon yang negatif yaitu sebesar 0.08 dan 0.18. Hal ini menunjukan jika terjadi kenaikan dan nilai impor pajak akan menurunkan nilai total perdagangan secara keseluruhan. Jika kita anlisakan bahwa dengan kenaikan pajak tersebut cenderung akan menurunkan nilai ekspor.

(36)

merupakan selisih dari nilai total ekspor dikurangi nilai total impor. Dari tabel diperoleh sebesar -0.52519. Ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan deficit neraca perdagangan (impor lebih besar dari ekspor) akan berakibat pada penurunan GDP secara keseluruhan (sebagai akibat semakin menurunnya produk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri). Dalam jangka pendek maupun jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.018 dan 0.11; kondisi tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang culup responsive antara Neraca Perdagangan dengan GDP.

5) Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan total pajak perdagangan (T), dengan R square adalah sebesar 0.73249 atau sebesar 73.25 persen. Nilai parameter peubah Xsb*ER adalah sebesar 0.000048 pada taraf nyata sebesar 15 persen, hal ini cenderung menjelaskan bahwa dengan kenaikan ekspor sayur dan buah local sebesar 1ooo per kg akan meningkatkan total ekspor sebesar 48 rupiah per kg Sedangkan untuk jangka pendek dan jangka panjang nilai elastitasnya sebesar 0.22 dan 0.34 yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang cukup responsive antara Total ekspor (X) dan total ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai kurs IDR terhadap USD (Xsb*ER. Dan ini berarti bahwa dengan semakin meningkatnya daya saing komoditas sayur dan buah local bagi kebutuhan luar negeri mendorong peningkatan ekspor komoditas tersebut sekaligus mampu menyumbang peningkatan ekspor secara keseluruhan. Begitupula dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X), diperoleh sebesar 0.097921 yang menunjukan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per-kg akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah per-kg dengan asumsi bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kemampuan daya saing produk local akan tetapi justru dengan kenaikan pajak tersebut ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia (impor). Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas pajak terhadap ekspor yang diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini memungkinkan bahwa dengan adanya pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor terhadap komoditas tertentu) akan mendorong daya saing produk/komoditas sehingga penawaran produk/komoditas sayur dan buah local tidak terpengaruh oleh kenaikan pajak tersebut.

(37)

kenaikan Msb*ER sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan kenaikan impor sebesar 1.49 rupiah per-kg. Sedangkan dalam jangka pemdek dan jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.038 dan 0.012 menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan impor sayur dan buah dari negara tertentu (missal China) akan menyebabkan terjadinya kenaikan nilai total impor sebesar nilai tersebut, dan juga menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri terhadap komoditas sayur dan buah akan meningkat apabila penawaran komoditas tersebut juga meningkat sebagai akibat membanjirnya produk-produk tersebut didalam negeri dengan harga murah. Pada parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara statistic sebesar 0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk 1000 rupiah per-kg komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor sebesar 0.102744. ini terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor yang menyebabkan harga komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga sebelum kenaikan pajak. Diketahui juga jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas adalah sebesar 0.175 dan 0.28 yang menunjukkan terdapat hubungan yang cukup respionsive antara pajak dan total impor dimana dengan adanya pembebasan tariff (apabila ACFTA tersebut diberlakukan) akan mempengaruhi daya saing produk/komoditas local terhadap komoditas impor yang harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.

7) Terdapat 4 persamaan yang membentuk model, terdapat 3 persamaan atau 75 persen diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara itu berdasarkan sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki nilai U diatas 0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21 tersebut adalah Total Perdagangan (TP).

8) Simulasi dilakukan dengan 4 skenario, dimana untuk scenario ke-1 yaitu berupa kenaikan

tingkat inflasi sebesar 15 persen maka diperoleh nilai rata-rata untuk TP (18127.9),

(38)

10.2. Saran

Adapun saran-saran yang bisa diberikan dalam tulisan ini adalah: A. Peningkatan daya saing produk

Pemerintah dan para pelaku usaha agrisbisnis Indonesia dituntut untuk dapat meningkatkan daya saing komoditas khususnya untuk produk sayuran dan buah-buah, sehingga produknya dapat bersaing dengan produk-produk dari China yang masuk ke Indonesia.

Adapun usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing tersebut adalah: 1. Pemberian Subsidi untuk barang-barang yang akan diekspor berupa pemberian insentif pajak.

2. Perbaikan Sistem Kredit Perbankan, melalui pemberian kredit dengan suku bunga yang rendah.

3. Pemberian standarisasi dan label kepada jenis buah dan sayuran yang masuk ke Indonesia, dimana peningkatan ekspor produk buah-buah Indonesia perlu diiringi penerapan standar nasional karena negara pengimpor mulai memperketat aspek kesesuaian dengan standar internasional.

4. Efisiensi Cost

Terhadap biaya-biaya dan kendala-kendala yang dianggap tidak mendukung peningkatan volume perdagangan ekspor, termasuk dalam hal ini peraturan-peraturan (baik perpu maupun perda) maupun penidaktegasan terhadap pungutan-pungutan liar yang mempengaruhi daya saing produk (baik harga maupun kualitas)

5. Pemantapan infrastruktur (baik yang soft maupun hard)

Yang bisa mendukung daya saing produk baik kualitas, harga, dan jumlah; seperti: aturan-aturan dan regulasi dalam negeri dan luar negeri, transportasi, promosi, listdaik, komunikasi, dan lain-lain.

6. Mengembangkan komoditas/produk non komplementer potensial

Seperti buah-buah tropik eksotik (mangga, nenas, pisang, durian, manggis, rambutan, papaya), sayuran tropika khusus (kacang panjang, kangkung, nangka, labu siam, ikan tangkap (kerapu, hiu, pari, tuna, teri), rumput laut, dan makanan olahan khas Indonesia.

7. Konsep Kemitraan

Gambar

Tabel 3. Perkembangan Ekspor Sayuran dan Buah-Buah Indonesia-China
Tabel. 6. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi GDP
Tabel. 7. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor
Tabel. 8. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor
+4

Referensi

Dokumen terkait

pemberian ikan gabus terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Gundi Kota Surabaya tahun 2014 dibuktikan dengan nilai Negative

Dan untuk kemudahan dalam pengambilan data dan prediksi pangsa pasar khususnya lima operator GSM prabayar yaitu : Simpati, XL, Mentari, IM3, dan Three (dimana kelima

Alat pemindahan bahan ( material handling equipment ) adalah peralatan yang digunakan untuk memindahkan muatan yang berat dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang tidak

Proses identifikasi potensi perikanan dan kelautan pulau-pulau kecil dibagi menjadi beberapa metode Proses identifikasi potensi perikanan dan kelautan pulau-pulau kecil dibagi

Dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum umat Islam di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam membayar zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil Zakat

Tahap adaptasi dilakukan untuk membiasakan ternak mengkonsumsi pakan penelitian berupa konsentrat sebanyak 2,3% BK dari bobot badannya dan jerami padi yang

Dengan demikian tuntunan yang terjadi adalah perlunya Indonesia sebagai negara pantai memberikan kejelasan yuridis terkait hak dan kewajiban kapal asing dalam melakukan

Pengambilan Pengetahuan, dimana tahapan ini menjelaskan bagaimana memproses suatu dokumen mulai dari usulan sampai dapat tersimpan dengan rapi di Knowledge Management