• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus Bank Century dan Risiko Keuangan N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kasus Bank Century dan Risiko Keuangan N"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Blade Inc., merupakan perusahaan yang memproduksi sepatu roda (roller blade). Roller blade pernah menjadi sangat popular pada masa jayanya. Blade Inc. secara cepat menjadi pemimpin pasar dalam hal memproduksi roller blade di Amerika.

Kasus Bank Century dan Risiko Keuangan Negara

25 November 2009sr33ircham Tinggalkan komentar Go to comments

Kasus Bank Century mencuat ketika Pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS menyuntikkan modal sebesar Rp 6,76 triliun untuk menyelamatkan bank tersebut. Jumlah ini menjadi begitu besar dan menarik perhatian masyarakat karena dana penyelamatan Bank Century semula diperkirakan hanya sebesar Rp 632 miliar. Kenaikan jumlah ini mengakibatkan berbagai tudingan kepada Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan sebagai penentu kebijakan penyelamatan Bank Century pada 20 November 2008 melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan.

Dari kasus ini isu utama yang dipermasalahkan adalah mengenai tepat atau tidaknya keputusan penyelamatan Bank Century oleh Pemerintah pada November 2008. Pemerintah melalui BI dan Departemen Keuangan berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century melalui suntikan dana tersebut sudah tepat dengan alasan untuk menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari ditutupnya bank tersebut sehingga dikhawatirkan terulangnya kembali krisis keuangan seperti tahun 1998 lalu.

Atas keputusan ini banyak pihak menilai bahwa keputusan menyelamatkan Bank Century tidak tepat. Selain menggunakan uang negara yang merupakan uang rakyat alasan mengenai kemungkinan terjadinya risiko sistemik kurang bisa dipertanggungjawabkan. Menurut pihak yang tidak setuju dengan penyelamatan bank ini ditutupnya Bank Century tidak akan mengganggu kestabilan sistem perbankan negara kita karena secara market share Bank Century hanya mempunyai mencakup 0,1% jumlah nasabah perbankan di Indonesia.

Selain itu aset Bank Century hanya berjumlah 0,3% dari total aset perbankan Indonesia. Mereka juga yakin bahwa penutupan Bank Century tidak akan menimbulkan rush pada sistem perbankan nasional atau pun terulangnya krisis keuangan tahun 1998.

Isu lain yang muncul terkait suntikan dana tersebut adalah adanya dugaan penyelewengan terhadap suntikan modal tersebut yang mengalir ke pihak-pihak tertentu. Banyak pihak meragukan kebenaran aliran modal tersebut karena adanya benturan kepentingan. Adanya benturan kepentingan ini menyebabkan keputusan untuk menyelamatkan Bank Century ditengarai hanya untuk menyelamatkan deposan-deposan besar dan bukan untuk menyelamatkan sistem perbankan.

Systemic Risk

Waktu itu alasan utama Pemerintah untuk menyelamatkan Bank Century adalah kekhawatiran akan terjadinya systemic risk dan rush pada sistem perbankan nasional. Penutupan Bank Century pada waktu terjadinya krisis keuangan global (November 2008) dikhawatirkan membawa dampak berantai yang parah seperti kasus 1998.

Penutupan Bank Century diperkirakan akan mengakibatkan kepanikan pada nasabahnya. Kepanikan ini mendorong nasabah-nasabah lain akan berbondong-bondong menarik uangnya pada banyak bank. Terutama bank kecil sekelas Century dan memindahkan ke bank-bank yang lebih besar.

Penarikan besar-besaran ini mengakibatkan bank-bank yang pada awalnya sehat menjadi ikut bermasalah dan mengalami masalah likuiditas. Sebagai akibatnya bank-bank ini akan berusaha mencari pendanaan dengan meminjam dana dari bank-bank besar melalui pinjaman antar bank.

Dalam hal ini bank-bank besar cenderung lebih berhati-hati dalam mengucurkan dananya sehingga bank-bank kecil semakin terdesak karena kesulitan memperoleh likuiditas. Dalam keadaan seperti inilah banyak bank akan berjatuhan.

Sistem perbankan akan mengalami rush dan mengakibatkan naiknya suku bunga pinjaman secara tajam. Selain itu akan banyak terjadi kredit macet sehingga nasabah akan mengalami kerugian dan sektor industri juga akan terkena dampaknya.

Sebagai akibatnya bank-bank besar pun akan terkena dampaknya dan terjadilah kelumpuhan sistem perbankan. Akibat lebih jauh adalah merosotnya kredibilitas sistem perbankan nasional sehingga akan terjadi capital outflows secara besar-besaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap investasi nasional, country risk, dan sistem ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Menurut BI definisi systemic risk adalah adalah risiko kegagalan salah satu peserta dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo sehingga menyebabkan peserta lain juga mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya menjadi tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya. Bank Indonesia mendasarkan dampak kriteria systemic risk pada 5 (lima) hal yaitu 1) Dampak pada institusi keuangan, 2) Dampak pada pasar keuangan, 3) Dampak pada sistem pembayaran, 4) Dampak pada psikologi pasar, dan 5) Dampak kepada sektor riil.

Sebenarnya terjadinya systemic risk tersebut merupakan kemungkinan yang bisa terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Probabilitas dari terjadinya systemic risk ini akan meningkat apabila kondisi perekonomian dan perbankan secara global sedang tidak sehat.

Kekhawatiran Pemerintah pada waktu itu adalah akibat penutupan Lehman Brothers pada 15 September 2008 yang menyebabkan krisis keuangan dan perbankan secara global. Dalam kasus Century yang terjadi pada November 2008 kondisi perekonomian dan perbankan dunia sedang dalam masa krisis sehingga kemungkinan terjadinya systemic risk sangat tinggi.

Di sisi lain masalah yang terjadi pada Bank Century tidak akan menjadi systemic risk (atau pun jika menjadi systemic risk akan mempunyai probabilitas yang relatif kecil) bagi perekonomian dan perbankan apabila terjadinya tidak bersamaan dengan krisis global. Dengan demikian selain faktor internal dari suatu bank tersebut kemungkinan terjadinya systemic risk akan sangat bergantung dari kondisi-kondisi eksternal seperti kondisi perekonomian secara umum, stabilitas perbankan, stabilitas politik dan keamanan, dan sebagainya.

Namun demikian perlu diingat bahwa systemic risk itu akan selalu melekat dalam dunia perbankan. Hanya saja kemungkinan terjadinya systemic risk itu sangat bervariasi tergantung dari keadaan internal dan eksternal dari sistem perbankan itu sendiri. Karena sifatnya yang melekat pada sistem perbankan systemic risk tidak serta merta bisa dihilangkan.

(2)

Systemic Risk dan Risiko Keuangan Negara (Risiko Fiskal) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terjadinya systemic risk akan menyebabkan efek yang buruk bagi perekonomian. Jika systemic risk yang dikhawatirkan benar-benar terjadi maka semua potensi kerugian yang awalnya hanya sebuah kemungkinan akan terjadi.

Kerugian ini akan berakibat pada keuangan negara baik secara langsung atau pun tidak langsung. Secara langsung Pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk menyelamatkan dan mengembalikan dana-dana para nasabah. Secara tidak langsung Pemerintah akan mengeluarkan biaya yang besar untuk memulihkan perekonomian melalui berbagai instrumen kebijakan baik moneter maupun fiskal.

Selain itu memburuknya situasi perekonomian akan menyebabkan menurunnya penerimaan negara dari sektor pajak. Penurunan dari sisi penerimaan dan peningkatan dari sisi pengeluaran merupakan risiko fiskal yang bersifat langsung dan dirasakan dampaknya secara langsung. Secara tidak langsung kerugian yang ditimbulkan karena systemic risk tersebut akan berpengaruh terhadap kemajuan Negara di masa depan.

Akan diperlukan sumber daya yang jauh lebih banyak untuk bisa mengejar ketertinggalan yang terjadi. Selain itu dampak sistemik ini dikhawatirkan akan menyebabkan banyak perjanjian-perjanjian yang akan default dan mengharuskan negara mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membayarnya. Dampak yang lebih luas dan lebih besar bisa saja terjadi dan mengakibatkan kerugian yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya seperti krisis tahun 1998.

Dalam kasus Century dapat kita lihat bahwa kebijakan yang diambil oleh Pemerintah menyebabkan Pemerintah harus mengeluarkan dana talangan sebesar Rp 6,76 triliun untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar yang diperkirakan mencapai Rp 30 triliun. Artinya jika Pemerintah tidak melakukan bail out terhadap Bank Century kemungkinan kerugian dan biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah diperkirakan malah akan membengkak dan mencapai Rp 30 triliun. Dana talangan tersebut berasal dari LPS yang modal awalnya berasal dari keuangan Negara sehingga kasus seperti ini mempunyai dampak risiko kepada Keuangan Negara secara langsung.

Jika dilihat sekilas terlihat bahwa Pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk sesuatu yang belum tentu terjadi. Kejadian seperti ini merupakan salah satu bentuk risiko fiskal yang dapat merugikan keuangan Negara dan bisa terjadi sewaktu-waktu. Akan tetapi mengingat potensi risiko yang begitu besar jika bail out tidak dilakukan Pemerintah memutuskan menyelamatkan Bank Century. Terlepas dari adanya skenario dan bermacam-macam kecurangan dalam penyelamatan Bank Century kasus ini telah menimbulkan risiko yang besar bagi keuangan Negara.

Pengelolaan Risiko

Melihat potensi kerugian yang begitu besar diperlukan langkah-langkah yang tepat guna mencegah atau meminimalisir akibat terjadinya systemic risk tersebut. Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain menyusun langkah-langkah antisipasi dalam rangka pengelolaan risiko dan perbaikan pada sistem perbankan dan keuangan Negara ini.

Selain itu diperlukan juga langkah-langkah darurat yang dirasa perlu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan pada saat-saat kritis yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin. Sebagai langkah antisipasi diperlukan suatu mekanisme semacam Early Warning System yang baik untuk memantau dan memberikan laporan berkala kepada instansi yang berwenang mengawasi perbankan.

Hasil dari pemantauan tersebut akan dijadikan dasar untuk menilai bagaimana kondisi perekonomian pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya. Laporan ini akan ditindaklanjuti oleh unit yang berwenang untuk melakukan langkah-langkah preventif yang harus dilakukan. Proses yang tidak kalah penting untuk mendukung pengelolaan risiko yang baik adalah adanya keterbukaan

pengawasan dari pihak berwenang secara benar. Peran pemantauan dan pengawasan ini merupakan langkah yang menentukan dalam pengelolaan risiko tersebut.

Hal lain yang sangat penting dalam mendukung proses pengelolaan risiko terhadap systemic risk adalah adanya sistem yang sehat dalam dunia perbankan dan keuangan. Selain itu mutlak diperlukan suatu peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan memberikan pengawasan terhadap dunia perbankan dan keuangan.

Selama ini sistem keuangan dan perbankan kita masih mengacu kepada UU Bank Indonesia dan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang diajukan oleh Pemerintah sejak April 2008 masih mengalami jalan buntu dalam pengesahannya. RUU JPSK ini disiapkan Pemerintah setelah krisis keuangan di Amerika terbukti berpengaruh besar bagi perekonomian dunia. Selain mengatur hal-hal yang umum dalam hal pengelolaan risiko peraturan ini diharapkan mampu menjadi dasar hukum yang kuat bagi langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemerintah.

Peraturan ini juga harus memuat berbagai kewenangan yang jelas kepada pejabat Negara yang berhak mengambil keputusan terkait proses pengelolaan risiko sistem perbankan. Dengan demikian perangkat analisis dan peraturan yang baik diharapkan bisa mengurangi polemik dan potensi risiko sehingga kasus seperti Century tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

(3)

Analisis Risiko Negara - Politik dan Finansial

PENDAHULUAN

Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan memegang sejumlah peluang investasi. Manufaktur, minyak dan gas, dan sektor infrastruktur semua mewakili pilihan menarik, sementara investasi portofolio secara tradisional menjadi sumber utama arus masuk modal. Bisnis dapat memanfaatkan lokasi strategis Indonesia di jalur pelayaran global utama, yang membuat impor dan ekspor biaya rendah. Namun, investor tidak dapat mengabaikan lingkungan bisnis yang menantang negara.

Investasi selalu mencakup faktor risiko. Pada umumnya boleh dikatakan bahwa semakin tinggi risiko, semakin tinggi juga potensi laba. Selama beberapa tahun terakhir Indonesia telah menunjukkan bahwa investasi tertentu sangat menguntungkan (misalnya di pasar saham, bidang properti dan komoditas), namun berinvestasi di Indonesia juga menyiratkan lebih banyak risiko dibandingkan berinvestasi di negara-negara yang maju karena Indonesia mempunyai dinamika dan karakteristik tertentu yang dapat menggagalkan investasi dan mengganggu iklim investasi.

Demonstrasi, yang merupakan salah satu ciri khas masyarakat demokratis, berlangsung setiap hari di Indonesia meskipun biasanya hanya skala kecil. Hal-hal yang diprotes berkisar dari isu-isu politik (misalnya kinerja pemerintah yang dianggap lemah) dan masalah ekonomi (misalnya upah rendah) ke isu sosial (misalnya hal-hal agama). Demonstrasi-demonstrasi ini dapat diarahkan -secara vertikal- kepada pemerintah atau -secara horizontal- ke kelompok-kelompok lain di masyarakat Indonesia. Titik penting di sini adalah bahwa demonstrasi-demonstrasi ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia tidak puas dengan keadaan negara saat ini. Sejarah modern Indonesia telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus ekstrem (penggulingan Soeharto tahun 1998), tekanan masyarakat mampu menumbangkan kekuasaan politik dan mengimplikasikan dampak buruk terhadap ekonomi nasional. Meskipun tampaknya tidak mungkin bahwa peristiwa ekstrem seperti itu muncul kembali karena konteks politik sekarang berbeda. Namun harus disadari bahwa ada potensi frustrasi yang direpresi di sebagian masyarakat Indonesia yang harus diwaspadai.

(4)

melakukan bisnis di negara-negara dengan risiko yang berlebihan dan untuk meningkatkan analisis yang digunakan dalam melakukan investasi jangka panjang atau keputusan pembiayaan. Dalam tulisan ini, ada 2 jenis risiko yang akan dijelaskan yaitu risiko politik dan risiko finansial (baik secara makro maupun mikro)

RISIKO POLITIK

Perusahaan Multinasional harus menilai risiko negara tidak hanya negara tempat perusahaan tersebut berusaha tetapi juga negara dimana perusahaan akan mengekspor atau mendirikan anak perusahaan. Beberapa karakteristik risiko suatu negara dapat secara signifikan mempengaruhi kinerja, dan perusahaan tersebut harus mempertimbangkan besarnya pengaruh karakteristik tersebut. Kerap sekali dalam melakukan bisnis pada lingkungan bisnis asing tidak sama dengan menjalankan bisnis di negeri sendiri. Selain itu, ada risiko makro di negara asing yang mungkin bukan bagian dari sistem atau kebijakan politik yang menguntungkan bisnisnya saat ini.

Korupsi (MAKRO)

Masalah korupsi politik di Indonesia terus menjadi berita utama (headline) setiap hari di media Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di kalangan akademik para cendekiawan telah secara terus-menerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun demikian, jawaban tegas belum ditemukan. Untuk masa-masa mendatang yang entah sampai kapan, harus diterima bahwa korupsi terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia.

Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, Minggu (11/4) di Jakarta, sepakat, parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Partai yang menjadi sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi episentrum korupsi. Dalam partai, koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi politik secara beramai- ramai. Permasalahan lainnya adalah partai politik dengan indeks korupsi paling tinggi berbanding lurus dengan kuantitas pemilih atau pendukung partai tersebut. Sedangkan partai politik yang memiliki indeks korupsi kecil, justru memiliki elektabilitas yang rendah. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan di ranah politik Indonesia saat ini.

(5)

memberikan banyak ruang untuk menyampaikan suara mereka pada skala nasional (meskipun beberapa institusi media - yang dimiliki oleh politisi atau pengusaha - memiliki agendanya sendiri untuk melakukan hal ini). Namun dorongan rakyat untuk memberantas korupsi berarti bahwa bersikap anti-korupsi sebenarnya bisa menjadi vote-gainer (pendulang suara) yang penting bagi politisi yang bercita-cita tinggi. Terlibat atau disebutkan dalam kasus korupsi benar-benar merusak karir karena dukungan rakyat akan merosot drastis. Efek samping negatif (bagi perekonomian negara) dari pengawasan publik ini yaitu pejabat pemerintah saat ini sangat berhati-hati dan ragu-ragu untuk mengucurkan alokasi anggaran pemerintahan mereka, takut menjadi korban dalam skandal korupsi. Perilaku berhati-hati ini bisa disebut sebagai keberhasilan pengaruh KPK yang memantau aliran uang, tetapi juga menyebabkan belanja pemerintah lambat.

Indonesia belum pernah mengesankan di Indeks Persepsi Korupsi Tahunan (diterbitkan oleh Transparency International). Indeks ini menunjukkan tingkat korupsi di negara-negara dunia. Saat ini posisi Indonesia berada di nomor 118 (dari jumlah total 176 negara) tetapi kinerjanya menunjukkan peningkatan yang stabil sejak awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004.

Pemerintahan (MAKRO)

Terlepas dari isu korupsi politik, ada faktor lain yang secara negatif mempengaruhi efektivitas dan kinerja pemerintahan di Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa pemerintahan kepulauan yang begitu luas yang berisi hampir 240 juta orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda tidak dihiasi dengan konflik. Berikut ini adalah sejumlah isu terkait tata kelola yang mengganggu ekonomi dan iklim investasi Indonesia.

Birokrasi. Birokrasi di Indonesia dikenal panjang dan rumit dan tampaknya telah menjadi 'pusat kekuasaan' dalam dirinya sendiri, sehingga secara efektif menolak upaya menuju reformasi: suap masih marak dan tidak ada kemajuan yang berkelanjutan dalam membangun institusi yang meningkatkan iklim usaha, pengadilan sebagai kredibel seperti. Dengan demikian, negara berisi berbagai ketidakpastian bisnis yang merugikan iklim investasi.

Akuisisi Tanah. Salah satu hambatan utama untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia telah menjadi masalah pembebasan lahan. Alasan yang mendasari untuk situasi ini adalah hambatan hukum untuk menyepakati kompensasi yang adil untuk pemilik tanah dan, sebagai hasilnya, sengketa hukum tak berujung lebih valuasi (di berbagai kesempatan, ekspansi bisnis telah menyebabkan ketegangan dengan masyarakat lokal). Sebuah undang-undang pembebasan lahan baru telah diterima oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2010, tetapi hasilnya belum terlihat

(6)

(pendidikan, kesejahteraan sosial dan kesehatan). Sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, telah terjadi kekurangan serius investasi di bidang ini. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menempatkan investasi dalam infrastruktur sebagai prioritas utama dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2010-2014), sebagian besar yang dipertimbangkan untuk dibiayai melalui modal swasta dalam bentuk kemitraan publik-swasta (PPP). Namun, seperti peraturan kerangka kerja dan lingkungan bisnis Indonesia saat ini tidak optimal kondusif, mungkin strategi terlalu ambisius dari pemerintah pada saat ini (hingga reformasi lebih lanjut dimulai). Hukum yang saling bertentangan dan peraturan saat rintangan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Subsidi Energi. Sebuah perhatian utama dari lembaga-lembaga internasional adalah jumlah di Indonesia semakin meningkat dari subsidi energi, yang memerlukan biaya anggaran yang signifikan. Awalnya, subsidi energi ini diperkenalkan untuk mendukung kebutuhan dasar masyarakat miskin. Namun, dengan menjaga harga energi ini artifisial rendah, sinyal harga yang kabur, keputusan konsumsi dan investasi yang terdistorsi, dan kerentanan keuangan publik volatilitas harga minyak internasional meningkat. Hal ini juga diasumsikan bahwa rumah tangga kaya manfaat lebih dari subsidi ini dari rumah tangga miskin dilakukan. Subsidi ini telah menjadi beban besar pada anggaran pemerintah dan oleh karena itu pemerintah bertujuan untuk memangkas mereka. Namun, pemotongan subsidi energi merupakan isu politik yang sensitif di Indonesia dan akan membawa kritik serius dan demonstrasi. Hal ini juga akan memberikan tekanan besar pada pencapaian target inflasi. Mengetahui bahwa dalam pemilu 2014 baru diadakan, pemerintah tidak akan terlalu mendukung mengurangi subsidi karena akan datang pada harga dukungan rakyat.

Sektor Informal. Indonesia ditandai dengan dual pasar tenaga kerja: a pasar formal kecil dan informal yang besar. Para pekerja sektor formal dilindungi melalui pembayaran pesangon dan upah minimal yang relatif tinggi. Surat itu merupakan insentif bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerja dari sektor informal di mana ada kurangnya asuransi sosial. Informalitas yang luas merugikan pertumbuhan jangka panjang dan merusak koleksi pendapatan pajak (yang diperlukan untuk investasi di negara itu infrastruktur, kesehatan dan pendidikan).

Kebijakan Pemerintah (MIKRO)

(7)

negara menanamkan modalnya dalam jangka panjang ke sebuah perusahaan di negara lain.

Dalam hal perlindungan investasi asing prinsip utama yang dipegang adalah perlakuan yang sifatnya non diskriminatif (non-discriminatory), yaitu bahwa hak dan kewajiban berdasarkan hukum berlaku sama dengan tidak membedakan asal negara suatu penanam modal. Di Amerika Serikat prinsip ini dikenal sebagai “fair and equitable treatment” atau perlakuan yang sama dan adil. Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan “perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara”, namun “tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasar perjanjian dengan Indonesia. ”Sebagian perjanjian investasi bilateral memuat pasal yang memungkinkan penanam modal untuk langsung menempuh jalur arbitrase internasional jika bersengketa dengan pemerintah Indonesia.

Indonesia berencana untuk mengakhiri dan menegosiasikan ulang 60 perjanjian investasi bilateral yang ditandatanganinya, diawali dengan perjanjian bilateral dengan Belanda yang masa berlakunya berakhir pada bulan Juni 2015. Pengakhiran atau pembatalan perjanjian investasi bilateral akan berakibat hilangnya hak istimewa yang diperoleh dari perjanjian tersebut, di antaranya adalah hak untuk menempuh jalur arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketa investasi tanpa menempuh jalur pengadilan di Indonesia. Rencana ini telah menuai penolakan keras dari berbagai negara, lembaga internasional dan kalangan dunia usaha. Kepercayaan terhadap kepastian hukum dalam perlindungan investor di Indonesia akan terkikis

Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia juga dapat dijadikan payung perlindungan hukum para penanam modal. Meski demikian, pemerintah Indonesia tidak dapat mengabaikan kekhawatiran penanam modal asing terhadap masalah kepastian hukum dan kredibilitas lembaga peradilan. Sebelum pengakhiran perjanjian investasi bilateral, Indonesia menduduki urutan sebagai eksportir batubara dan tembaga terbesar di dunia, namun menurut Fraser Institute’s Mining Policy Potential Index tahun 2013, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara terburuk dalam hal iklim investasi di bidang pertambangan. Dengan demikian, reformasi di bidang peradilan (judicial reform) harus diprioritaskan karena kepercayaan terhadap peradilan Indonesia akan menjadi kunci kredibilitas sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Indonesia.

RISIKO FINANSIAL

(8)

Bank Indonesia (MAKRO)

Sebagai negara yang masih berada di kategori "sedang berkembang" tentu ada kaitannya dengan sistem keuangan yang sedang bergejolak. Bukan tanpa alasan karena indonesia pernah mengalami krisis moneter berkepanjangan yang mengakibatkan indonesia harus terpuruk dengan ekonomi yang mengalami kontraksi besar dengan laju inflasi tinggi, nilai tukar rupiah jatuh di tambah dengah rasa tidak percaya terhadap bank karena suku bunga tinggi yang membuat bank memiliki utang yang berat di dalam maupun luar negeri. Berbicara tentang "keuangan" seperti tidak habis untuk dibicarakan karena memang menyangkut kesejahteraan suatu negara. Sebagai mana indonesia dimasa dulu dan sekarang sesudah mengalami krisis, perlu adanya upaya pencegahan dan menjaga kestabilan keuangan agar tidak kembali dalam keterpurukan (inflasi) berkepanjangan. Bank Indonesia disini berlaku sebagai penengah dalam mengatur kestabilan keuangan Indonesia. Bank Indonesia berperan aktif untuk menerapkan suku bunga yang tidak terlalu ketat, menerapkan disiplin pasar, menjaga dan mengatur kelancaran sistem pembayaran, dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macro prudensial, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan, penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis.

Terkait kebijakan valas, ada empat pokok perubahan yang dilakukan BI.

Pertama, mengubah definisi transaksi derivatif dari sebelumnya hanya meliputi bentuk forward, swap, dan option. Dengan adanya ketentuan ini maka transaksi derivatif mencakup pula cross currency swap (CCS) atau kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran dana beserta bunganya dalam mata uang yang berbeda.

Kedua, kewajiban memitigasi risiko bank yang dapat melakukan transaksi CCS. Transaksi ini diharapkan mampu membantu perusahaan menghadapi risiko kenaikan suku bunga Amerika Serikat karena suku bunga utangnya juga bisa di-hedging.

Ketiga, memperluas cakupan underlying (aset yang dijaminkan) menjadi perdagangan dan investasi, termasuk perkiraan pendapatan dan biaya. Sebelumnya, bank ragu-ragu untuk melakukan transaksi derivatif karena dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valas maupun rupiah untuk kepentingan transaksi derivatif, kecuali dalam rangka ekspor. Sekarang investasi diperbolehkan. Kalau ada investor asing memperoleh dividen dan harus di-hedging bisa menggunakan dokumen sebagai underlying.

(9)

Untuk saat ini, dengan latar belakang inflasi dan melemahnya rupiah, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada 7,50% pada pertemuan kebijakan moneter September-nya. Bank sentral kemungkinan akan menunda penurunan suku bunga sampai awal-2016, ketika data inflasi yang lebih menguntungkan harus menyediakan buffer yang cukup bagi BI untuk meringankan suku bunga agar bisa mendorong pertumbuhan. Sementara itu, rupiah akan terus menghadapi tekanan ke bawah karena pemerintah berjuang untuk meningkatkan kepercayaan investor.

Otoritas Jasa Keuangan (MIKRO)

Referensi

Dokumen terkait

May’s analysis has also been criticized for its lack of compositionality (e.g. Note that absorption requires a mode of composition different from function application. If the only

manajemen dan pemakai dalam proses pengembangan – Tinjauan atas spesifikasi pengujian, data uji, dan hasil.

Pengaruh Pendidikan Agama Islam Terhadap Tingkah Laku siswa Di SMAN 1 Ngunut Tulungagung. Dari hasil uji t dapat diketahui bahwa pengujian hipotesis alternatif

• Langkah ketiga dalam menggambar diagram REA adalah menganalisis kegiatan pertukaran ekonomi untuk menetapkan apakah kegiatan tersebut dapat dipecah menjadi sebuah kombinasi

Zionism didn’t just want to negate the diaspora; it wanted to create a new idea of Jewish life: hence, a determinate negation.. But with every such negation, something of the old

Program Youth Discovery untuk Peningkatan Psychological Well-Being Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]

Fronted high negations under interrogative scope may undergo conversion into affirmative answer bias particles when the interrogative operator is affected by the Asking