• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Filsafat and Perbedaan Filsaf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengertian Filsafat and Perbedaan Filsaf"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pengetian Filsafat &

Perbedaan Filsafat Barat dan Islam

Oleh: Firman Sholihin

Etimologi Filsafat

Istilah filsafat merupakan terjemahan dari kata philosophi (bahasa inggris) yang asal katanya diadopsi dari bahasa Yunani; philosophia. Kata philosophia terbentuk dari dua kata, yaitu philos dan shopia, yang masing-masing keduanya mempunyai arti tersendiri; philos

atau philia artinya cinta/tertarik pada (love of), sedangkan sophia atau sophos artinya hikmah/kebijaksanaan (wisdom), pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), pengalaman praktis (practical experience), atau intelejensi (ntellegence).1 Jadi, secara etimologi, filsafat

bisa diartikan cinta, tertarik dan gemar akan kebijasanaan (love of wisdom) atau kepada yang lain semacamnya. Kuntowijoyo menjelaskannya lebih rinci, bahwa cinta artinya hasrat yang besar serta berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Sehingga, tutur kuntowijoyo, filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.2

Adapun hikmah menurut Ibn sina (980-1037 M) adalah mencari kesempurnaan diri manusia sehingga dapat mengambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat, baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuannya. Hikmah yang harus diketahui tapi tidak harus diamalkan disebut hikmah nazhariyyah (teori), sedangkan hikmah yang berkaitan dengan dengan hal-hal yang harus diketahui dan harus pula diamalkan disebut

hikmah amaliyyah (praktek), prinsip pokok dari hikmah diperoleh dari agama, kemudian ditampung oleh kekuatan akal manusia dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.3

Sementara itu, Pujawijatna menerangkan pula—sebagaimana dikutip oleh Endang Saefudin Anshari, sebagai berikut:

Filo artinya ‘cinta’ dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin tahu lalu berusaha mencapai yang diingininya itu. Sofia artinya ‘kebijaksanaan’. Bijaksana ini pun kata asing, dan artinya ‘pandai’; mengerti dengan mendalam. Jadi, manurut namanya saja filsafat boleh dimaknakan: “Ingin mengerti dengan mendalam” atau “cinta kepada kebijaksanaan”.4

Endang Saefudin Anshari juga mengutip penerangan yang cukup jelas dari Drs. Soemadi Soerjabrata tentang asal mula lahirnya istilah philosophia yang kemudian diterjemahkan menjadi filsafat. Dalam pandangan Soemadi, kata sophia telah ada sejak

1 Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Cet. Ke-4, Sept. 2005), Hal. 242.

2 Kuntowijoyo, Filsafat Ilmu, (Makalah Kerja, Program Studi Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara Pgri Kediri, 2009), Hal. 5.

3 Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. Ke-1, 1996), Vol. 2, Hal. 576.

(2)

zaman Homerus (abad 9 S.M) dan Hoseodos (awal abad 8 S.M) yang pada waktu itu biasa diterjemahkan ‘kebijaksanaan’ atau ‘kecakapan’. Kata philosophein mulai dipergunakan oleh Heredotus kira-kira pada pertengahan abad ke-5 sebelum masehi, dan kata philosophos (ahli filsafat) mula-mula dikemukakan oleh Phitgoras (580-500 S.M), kemudian digunakan oleh Herakleitos (540-480 S.M) dengan mensyaratkan bahwa seorang philosophos harus memiliki pengetahuan yang luas sekali, sebagai pengejawantahan daripada kecintaannya akan kebenaran. Lebih lanjut Soemadi menjelaskan, bahwa Kaum Sofis dan Socrates lah yang pertama memberikan arti yang secara jelas terhadap philosophein, sebagai penguasaan secara sistematis dari pengetahuan yang sifatnya theoris. Philosophia adalah hasil dari perbuatan

philosophein, dan philosophos adalah orang yang melakukan philosophein. Dari kata

philosophia itulah, kata Soemadi, lahir kata-kata philoshophis (Latin), philoshpia (Belanda),

philosophie (Jerman), Philosophy (Inggris), philosophie (Prancis), dan pada bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi filsafat atau falsafah.5

Sedangkan dalam pandangan al-Farabi, seorang filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina, filsafat merupakan penekunan dan penguasaan terhadap hikmah dan hikmah terbesar, yang berarti mengutamakan dan mencintainya. Orang yang menguasai ilmu tersebut adalah filosof, yakni orang yang mencintai dan mengutamakan hikmah terbesar tersebut. Sedangkan mengenai makna dari hikmah terbesar, Para filosof berpendapat bahwa hikmah terbesar itu merupakan keutamaan. Oleh karena itu mereka menamakannya sebagai sumber segala ilmu, induk semua ilmu, sumber segala hikmah dan sumber kecakapan manusia.6

Pemaknaan hikmah sebagai sumber segala ilmu merupakan konsekuensi logis dari peran filsafat sendiri—yang merupakan sikap cinta terhadap hikmah—yang darinyalah lahir segala macam ilmu dengan berbagai macam corakna. Istilah filsafat itu sama dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seorang ilmuwan, misalnya, pada waktu yang sama juga disebut sebagai seorang filosof. Tegasnya, ilmuwan adalah filsuf, filsuf adalah ilmuwan. Hal itu berlaku juga bagi orang yang menguasai bidang keilmuan lainnya. Keadaan ini berlangsung sejak kelahiran ilmu filsafat, sampai pada masa dimana arti filsafat semakin dipersempit karena cabang-cabang ilmu pengetahuan yang semula tercakup oleh filsafat, satu demi satu meninggalkan induknya, filsafat.7

Pengertian Filsafat

Setelah kita menelusuri etimologi filsafat, kita bisa menarik benang merah dari kajian bahasa di atas, bahwa pada intinya, filsafat itu adalah “cinta terhadap kebijaksanan” (lof of wisdom) yang mengantarkan pelakunya untuk terus meneliti sesuatu secara radikal, sistematis, serta kritis agar dapat diketahui kebenaran yang sesungguhnua dari hal yang diteliti tersebut. Makan ini kemudian dibahasakan oleh para filsuf yang selanjutnya menjadi arti filsafat dalam tinjauan terminologi.

Menurut Plato (427-348 S.M)—guru Aristoteles dan murud Socrates—filsafat iti tiadaklah lain dari pada pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada,8 dengan kenyataan atau

5 Ibid., Hal. 80 mengutip dari Soemadi Soerjabrata, Pengantar Filsafat (Yogyakarta, 1970), Hal. 1-2.

6 Ahmad Fu’ad al-Hamawi, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-10, Sept. 2008), Hal. 2.

7 Lihat, Endang Saefudin Anshari, Op. Cit., Hal. 82.

(3)

kebenaran mutlak sebagai objeknya, serta dialektika sebagai alatnya.9 Menurut Asmoro

Achmadi, filsafat dikatakan demikian karena, filsafat harus berlangsung sebagai upaya memberikan kritik terhadap berbagai pendapat yang berlaku. Kearifat atau pengertian intelektual yang diperoleh lewat proses pemeriksaan secara kritis ataupun dengan berdiskusi. Juga diartikan sebagai suatu penyelidikan terhadap sifat dasar yang penghabisan dari kenyataan. Karena seorang filosof akan selalu mencari sebab-sebab dan asas-asas penghabisan (terakhir) dari benda-benda. Demikian tulis Asmoro Achmadi.10

Aristoteles (382-322 S.M)—guru Raja Iskandar dari Macedonia—berpendapat bahwa filsafat itu adalah menyelidiki sebab dan asas/prinsip segala benda.11 Dalam pengertian ini,

filsafat kelihatannya identik dengan totalitas pengetahuan manusia. Tetapi di dalam disiplin filsafat pada umumnya terdapat disiplin lain, filsafat pertama, yang ia namakan juga “teolog”. Ini menyangkut prinsip-prinsip dan sebab-sebab terakhir, yang meliputi ide Allah Swt, prinsip segala prinsip dan sebab segala sebab.12 Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur

dan keinginan untuk mendapatkanya.

Marcus Tulius Cicero—seorang politikus dan ahli pidato dari Romawi—menyebut filsafat sebagai the mother of al the arts; ‘ibu dari semua seni’, juga sebagai arts vitae, yaitu filsafat sebagai seni kehidupan.13 Dia juga merumuskan bahwa filsafat itu adalah pengetahuan

tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.14

Menurut Rene Descartes (1596–1650)—seorang sarjana dan ahli ilmu eksata terkemuka dan sebagai bapak filosof modern, filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.15 Bagi Descartes, filsafat

merupakan pembentangan atau penyingkapan kebenaran terakhir. Titik tolaknya ditemukan dengan mendesak keraguan sampai ke batasnya. Dan tersingkaplah batas itu, yakhi kepastian tentang eksistensi sendiri.16

Sedangkan menurut Muhammad bin Tarkhan al-Farabi, filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam dan maujudnya yang bertujuan untuk mengetahui hakekat yang sebenarnya (al-‘ilm bil-maujudat bi ma hiya al-maujudat).17

Lorens Bagus menyajikan beberapa pengertian pokok filsafat yang sering diungkapkan oleh filsuf-filsuf, antara lain:

1. Upaya spekulatif untuk menuajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.

9 Lihat, lorens Bagus, Op. Cit., Hal. 244-245.

10 Lihat, Asmoro Achmadi, Filsafat Umun, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-2, 2005-6), Hal. 2.

11 Endang Saefudin Anshari, Op. Cit., Hal. 82-83 mengutip dari Takdir Alis Jahbana, Pembimbing ke Filsafat: Metafisika, (Jakarta, 1957), Hal. 16.

12 Lorens Bagus, Op. Cit., Hal. 245.

13 Asmoro Achmadi, Op. Cit., Hal. 2.

14 Endang Saefudin Anshari, Op. Cit., Hal. 83 mengutip dari H. Abubakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang, 1970), Hal. 10.

15 Asmoro Achmadi, Op. Cit., Hal. 3.

16 Lorens Bagus, Op. Cit., Hal. 245.

(4)

2. Upaya untuk melukiskan hakikan realitas akhir dan dasar serta nyata.

3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.

4. Penyelidikan kritis antas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.

5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk mengatakan apa yang Anda lihat.18

Karakteristik Filsafat

Mengenai karateristik berpikir filsafat, Katsoff merumuskan lima hal yang harus mendasari seseorang ketika dia akan mencoba berpikir filsafat, antara lain:

1. Filsafat adalah berpikir secara kritis.

2. Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.

3. Filsafat mengahasilkan sesuatu yang runtut.

4. Filsafat adalah berpikir secara rasional.

5. Filsafat bersifat komprehensif.19

Dengan demikian—sebagaimana banyak diungkapkan oleh para ahli—berfilsafat merupakan usaha untuk berpikir secara radikal, menyeluruh, suatu cara berpikir dengan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Aktivtas tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang sederhana sampai terkompleks.20

Klasifikasi Filsafat

Manusia merupakan makhluk yang cenderung untuk selalu mengungkap segala sesuatu sampai ke akar-akarnya. Dari mulai persoalan yang besar sampai persoalan yang terkecil. Dari mulai hal-hal yang kompleks sudah barang tentu hal-hal yang terbilang ringan. Banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Hal itu membuat filsafat tersebar dimana mana dan bercorak menurut daerah geografis dan budaya mereka masing-masing. Memang benar, kata Syamsuddin Arif dan Dinar Dewi, filsafat ada di mana-mana. Dia ada di Barat dan ada juga di Timur. Ada filsafat Yunani, filsafat India, filsafat Cina, filsafat Kristen, dan Juga Filsafat Islam.21

18 Ibid., Hal. 242.

19 Kuntowijoyo, Op. Cit., Hal. 6.

20 Ibid.

(5)

Dalam makalah kecil ini, Penulis hanya akan membatasi pembahasan kali ini pada filsafat Barat dan filsafat Islam saja, bukan menyoroti aspek hstorisnya, namun lebih condong untuk mengungkap perbedaan dari kedua corak filsafat tersebut.

1.

Filsafat Barat

Perlu didudukan terlebih dahulu, bahwa penyebutan “Barat” di sini bukan dimaknai berdasarkan letak geografisnya, sebab Canada itu di Utara, Australia di Selatan, tapi digolongkan sebagai Negara Barat. Begitu juga dengan Negara-negara lain yang di sebut Negara Barat, meskipun letak geografisnya tidak di Barat, atau malah bersebrangan.

Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, Barat sebenarnya mencerminkan sebuah pandangan hidup atau suatu peradaban dan terkadang ras kulit putih. Pandangan hidup (worldview)Barat merupakan kombinasi dari Yunani, Romawi, tradisi bangsa-bangsa German, Inggris, Prancis, Celtic, dan sebagainya. Kalau melihat sejarah, worldview Barat modern itu, kata Hamid, adalah scientific worldview (pandangan hidup keilmuan). Artinya cara pandang terhadap alam ini melulu saintifik dan tidak lagi religious. Ciri worldview yang saintifik itu tercermin dari berkembangnya paham-paham seperti empirisisme, rasionalisme, dualisme atau dikotomi, sekularisme, desaklarisasi, pragmatisme, dan sebagainya. Paham-paham itu semua otomatis meminggirkan (memarginalkan) agama dari peradaban Barat.22

Dari penerangan di atas, kita bisa memberikan deskripsi sederhana tentang filsafat Barat. Jadi, filsafat Barat merupakan cara berpikir filsafat dengan berasas pada pandangan hidup (worldview) atau peradaban (culture) yang dianut oleh bangsa-bangsa “Barat”. Filsafat semacam ini merupakan filsafat yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah jajahan mereka. Permulaan dari sebutan filsafat Barat ini dari keinginan untuk mengarah kepada pemikiran atau falsafah peradaban Barat.

Dari penerangan Hamid Fahmi Zarkasyi juga, kita dapat menerka corak berpikir filsafat berasaskan worldview Barat, bahwa metode berpikir filsafat yang mereka pakai adalah empirisis-rasionalis. Mereka menyampingkan hal-hal yang sifatnya agama (secular), yang kemudian berimbas pada sikap mereka yang tidak mengakui wahyu sebagai ilmu. Dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan hanya bisa didapat dari hal-hal yang bisa diindrai (empiris) dan masuk diakal (rasional). Mereka cenderung berpikir dan berspekulasi terhadap segala sesuatu dengan bebas sebebas-bebasnya, termasuk bebas dari dogma, kepercayaan, dan agama, yang mereka anggap sebagai pengekang kegiatan berpikir.

2.

Filsafat Islam

Islam merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab, yang biasa diartikan ‘tunduk patuh’ atau ‘berserah diri’. Tindak dan ucap seorang muslim harus senantiasa berada dalam koridor hukum dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Swt, sebagai manifestasi dari ketundukan mereka. Jika kata filsafat disandingkan dengan kata Islam, maka bisa dimaknai bahwa berpikir kefilsafatan di sini merupakan berpikir dengan Islam yang berperan sebagai

worldview-nya.

(6)

Secara umum,berfikir kefilsafatan ala Islam sama dengan berpikir menggunakan metode filsafat lainnya. Namun, perbedaan menonjol antara keduanya terletak pada padangan masing-masing terhadap wahyu sebagai ilmu. Islam dikubu pro wahyu sebagai ilmu, sedangkan Barat—sebagaimana sudah disinggung—berada pada posisi kontra. Islam dengan sifat ketundukan dan kepatuhannya terhadap aturan agama, tentu tidak menerapkan kegiatan berfikir yang bebas-sebebas-bebasnya seperti metode berpikir filsafat Barat, karena sikap bebas itu sendiri bertentangan dengan namanya; Islam = tunduk patuh, buka bebas tanpa batasan, di samping manusia juga yang mempunyai keterbatasan berpikir. Adian Husaini menjelaskan:

Jika filsafat diartikan sebagai pemikiran yang menyeluruh dan mendasar, maka diartikan sebagai pemikiran yang menyeluruh dan mendasar, maka sejak awal turunnya Alquran, Islam telah menyajikan konsep-konsep tentang Tuhan, alam, manusia, dan moral, secara mendasar dan menyeluruh. Bedanya dengan filsafat sekuler, “filsafat Islam” tidak bersifat spekulatif, karena menerima wahyu sebagai ilmu.23

Berpikir bebas.. tentulah tidak sejalan dengan prinsip muslim yang menakui keterbatasan pemikiran dan adanya rambu-rambu yang diatur oleh wahyu dalam bidang pemikiran. Misalnya, batasan dari Rasulullah Saw agar kaum Muslim berpikir tentang ciptaan Allah, bukan tentang Dzat Allah (tafakkaru fi khalqihi wa laa tatafakkaru fi dzatihi).24

Menurut Oliver Leaman, sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin Arif dan Dinar Dewi Kania, filsafat Islam itu sangat filosofis dalam arti logis-analitis, terus hidup dan penuh gejolak, tidak sekedar melanjutkan tradisi sebelumnya, akan tetapi juga memperlihatkan terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan klasik ataupun modern25

[..] Hal serupa diutarakan juga oleh pakar-pakat filsafat dari Mesir seperti Ibrahim Madkour, Mustafa Abdur Raziq, dan Syekh Abdul Halim Mahmud. Filsafat Islam itu “isalmi” dari empat segi: pertama dari sisi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dasi sudut faktor-faktor pemicu serta tujuan-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa pelakunya hidup dibawah naungan kekuasaan Islam.26

Wallahu a’lam

23 Adian Husaini, “Pengantar Editor”, dalam buku, Adia Husaini (ed.), Op. Cit., Hal. xx.

24 Ibid., Hal. xxi.

25 Syamsuddin Arif dan Dinar Dewi Kania, Op. Cit., Hal. 17 mengutip dari Oliver Leaman, Histori Of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), Hal. 1-10.

(7)

Daftar Pustaka

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Cet. Ke-4, Sept. 2005).

Kuntowijoyo, Filsafat Ilmu, (Makalah Kerja, Program Studi Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara Pgri Kediri, 2009).

Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. Ke-1, 1996).

Endang Saefudin Anshari, Ilmu, Filsafat & Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, Edisi Revisi 2009).

Ahmad Fu’ad al-Hamawi, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-10, Sept. 2008). Asmoro Achmadi, Filsafat Umun, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-2, 2005-6). Syamsuddin Arif dan Dinar Dewi Kania, “Filsafaat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”,

makalah dalam buku, Adian Husaini (ed.), Filsafat Ilmu; Perspektif Barat dan Islam,

(Depok: Gema Insani, Cet. Ke-4, Mar. 2014).

Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam,

(Jakarta: INSISTS – MIUMI, Cet. Ke-2, Okt. 2012).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur yang dilakukan dengan mencari bahan – bahan pustaka baik yang berasal dari buku, jurnal, e-book , brosur,

Analisis untuk negara code law menunjukkan perubahan pada nilai aset tetap yang dilaporkan tidak memiliki korelasi dengan nilai perusahaan, sesuai hipotesis bahwa

Sedangkan untuk ukuran perusahaan koefisien hasil penelitian menunjukkan nilai negatif, hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa tindakan manajemen laba lebih

Fakultas Kesehatan Masyarakat pada umumnya merupakan Fakultas yang mempelajari ilmu kesehatan masyarakat dalam hal preventif atau pencegahan suatu penyakit baik menular maupun

Pada penelitian ini dipakai limbah padat kunyit yang ditambahkan ke dalam pakan ayam.. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan dosis yang tidak toksik pada limbah

Sedangkan perlakuan terbaik untuk meningkatkan kandungan protein dan menurunkan serat kasar pada limbah bioetanol adalah perlakuan E yaitu penambahan konsentrasi

konflik horizontal (komunal) merupakan pola konflik baru di tengah masyarakat. Sejarah mencatat bahwa kekerasan (konflik) dalam masyarakat sudah ada