BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berangkat dari serangkaian kajian yang telah dilakukan, dimulai dari bagian
pendahuluan, tinjauan analitis, hingga desain pendekatan konseling Orang
Basudara maka, ada beberapa hal yang kiranya dapat disimpulkan pada bagian
akhir ini, antara lain:
1. Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong, sebagai “orang
basudara/bersaudara” merupakan fakta historis keberadaan manusia
(individu-komunitas) Maluku yang berlatar belakang se-geneologis
(sekandungan/seketurunan) dan inter-teritoris (lintas negeri/antar desa adat).
Kultur Pela Gandong, sebagai sebuah sistem kekerabatan persaudaraan
menjadi sumberdaya pembentukan, pertumbuhan dan pengembangan
spiritual-sosial, menyangkut: pikiran, sikap dan tindakan hidup
bermasyarakat.
2. Pada masa sebelum pecahnya konflik bernuansa keagamaan tahun 1999 di
Ambon, hubungan Islam-Kristen dalam tatanan masyarakat berPela Gandong
terikat oleh sebuah “kontrak sosial” atau kesepakatan bersama untuk hidup
tidak untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi sesamanya; memperhitungkan
kepentingan bersama daripada pribadinya. Pela Gandong mengakomodir dan
mengintegrasikan masyarakat dari berbagai latar belakang etnis dan agama
(multi kultur-religius) untuk hidup rukun, berdampingan, saling mengakui
dan menghargai, saling tolong menolong/berbagi dalam pemenuhan
kebutuhan hidup, yakni: ketentraman dan kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh.
3. Pada masa konflik, manakala masyarakat tersekat-sekat menurut identitas
primordial: agama, etnis, dan “pemeluk agama hanya diperalat” demi
pencapaian kepentingan-kepentingan “kekuasaan politis”, “materialis” dan
sebagai modal kultur penyelesaian konflik. Pela Gandong bertumbuh sebagai
agen perdamaian antar golongan, yakni: pemeluk agama, warga negeri/desa
yang ada dalam sistem masyarakat yang berPela Gandong. Terdapat upaya
resolutif konflik berbasis kultur: orang basudara yang ampuh menjembatani
rekonsiliasi melalui upaya bersama seluruh komponen masyarakat untuk
menjaga keamanan, meminimalkan potensi kekerasan; menciptakan
sinergitas, komunikasi, kompromi; dan membangun perdamaian: bersepakat
menghapus ketidakadilan, ketidakkesetaraan.
4. Konflik nyatanya telah berpengaruh pada tatanan kehidupan persaudaraan
masyarakat Ambon, tetapi tidak serta merta meruntuhkan atau memecah
belah persaudaraan sesama masyarakat berpela Gandong. Kekerabatan
tersebut menjadi penyanggah untuk meredam dan menyelesaikan gejolak
konflik yang terjadi. Masyarakat Islam-Kristen berinteraksi untuk merajut
kebersamaan menuju perdamaian. Pada titik ini, rasa persaudaraan itu lebih
mengental bila dibandingkan dengan sebelum konflik.
5. Hubungan Pela Gandong merupakan suatu yang unik, berkembang menjadi
identitas kultural yang mengusung nilai inti kemanusiaan yang universal
lewat saling mengamanakan dan menyelamatkan antar sesama masyarakat
yang berpela Gandong.
6. Pela Gandong: orang basudara tidak hanya sebagai agen perdamaian konflik
tetapi sekaligus dapat dikembangkan sebagai pendekatan konseling. Relasi
tolong-menolong yang berdimensi pemberdayaan antar individu-komunitas
(masyarakat Islam-Kristen) merupakan relasi Konseling lintas agama dan
budaya. Aspek perbedaan budaya dalam konseling harus dipahami sebagai
realitas eksistensial individu sebagai manusia yang unik dan karena itu mesti
7. Pela Gandong mengajarkan dua kompetensi dasar bagi praktik dan
keterampilan konseling lintas agama dan budaya, yakni: multikultural dan
keadilan sosial masyarakat. Kompetensi multikultural, yakni: kesadaran,
pengetahuan akan setting konseling. Sedangkan kompetensi keadilan sosial,
yakni: persamaan tujuan dan harapan konselor-konseli dalam hal ini
masyarakat Maluku pasca konflik. Kedua kompetensi tersebut sangat penting
berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling orang basudara yang
bermuara pada praktik konseling konflik.
8. Konseling orang basudara dalam setting ke-Maluku-an berlandaskan filosofis
Pela Gandong sebagai komponen teori: “semua orang (Islam-Kristen)
sebagai orang basudara” dengan kandungan nilai-nilai spiritual sebagai
pendekatan dan teknik: “saling menghargai, saling menerima, saling berbagi,
saling melengkapi, dan memberdayakan”. Kelima pendekatan konseling orang basudara dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah sosial
yang tidak lain merupakan akumulasi persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan pengalaman konflik yang yang dihadapi masyarakat Maluku
(Ambon), yakni masalah ketidakberhargaan sosial, keterbatasan sosial,
ketidakpekaan sosial, keterpurukan sosial, keretakan sosial dan keterpurukan
sosial.
9. Dengan asumsi bahwa masalah sosial merupakan tanggungjawab kolektif
maka, sasaran akhir dari konseling lintas agama dan budaya berbasis kultur
“orang basudara” atau pendekatan konseling “orang basudara” tidak lain yakni untuk mengarahkan masyarakat pada peranannya sebagai agen
perdamaian yang mampu mewujudkan kesejahteraan dengan menjunjung
tinggi keadilan, kesetaraan dan persamaan hak dan kewajiban sebagai
II. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dalam rangka penulisan tesis ini,
maka ada beberapa saran yang dapat disampaikan terkait kajian mengenai
hubungan pela gandong sebagai pendekatan konseling orang basudaradan agen
perdamaian konflik Islam-Kristen di Kota Ambon, yakni antara lain:
1. Bagi Praktisi Konseling, menyikapi setting konseling lintas agama dan budaya
dalam konteks kemajemukan harus menyadari eksistensi perbedaan (keunikan)
dan kesamaan individu-komunitas sebagai makhluk beragama dan berbudaya.
Aspek perbedaan pada satu sisi dapat menciptakan masalah tetapi juga
merupakan kekuataan yang mempengaruhi keberhasilan proses konseling.
Budaya dan agama sama-sama memproduksi nilai-nilai hakekat relasional
kemanusiaan dan spiritualitas yang dapat digali dan ditransformasikan sebagai
landasan dan ketrampilan konseling.
2. Bagi Gereja (GPM) dan masyarakat Maluku (Ambon), menyikapi realitas
pasca konflik sebagai sebuah pengalaman keberadaan bersama, selaku
individu-komunitas yang tidak lain adalah subjek konseling (konselor-konseli)
dapat melihat budaya Pela Gandong sebagai sumberdaya kultural potensial
yang olehnya semua orang tidak hanya terarahkan untuk hidup saling
menolong, tetapi juga hidup untuk saling memberdayakan. Secara spesifik
konseling lintas agama dan budaya yang berbasis nilai (spiritual) agama
(agama sipil) dan budaya Pela Gandong atau konseling “orang basudara” dapat
disasarkan pada proses partisipatif aktif seluruh komponen masyarakat
(berbudaya dan beragama) untuk membangun perdamaian. Karena itu, gereja
dan masyarakat mesti membuka diri, bersinergis sebagai agen perdamaian
mewujudkan kehidupan yang harmonis, rukun, berkeadilan, mewujudkan
kesejahteraan bersama. Oleh sebab itu, maka sudah sepatutnya Gereja secara
3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai
hubungan Pela-Gandong Islam-Kristen sebagai pendekatan konseling orang
basudara dan agen perdamaian, dapat menggunakan tulisan ini untuk melihat
efektifitas konseling orang basudara berbasis budaya dan agen perdamaian