• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG PENGEMBANGAN PELATIHAN KERJA BID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELUANG PENGEMBANGAN PELATIHAN KERJA BID"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

A . T I N J A U A N U M U M S U M -B E R D A Y A M A N U S I A

Pembangunan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti telah dilakukan selama ini, di satu sisi telah dapat membawa perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri. Pertumbuhan GNP, tumbuhnya sektor jasa, terken-dalinya inflasi, tingginya tingkat partisipasi angkatan kerja, pertumbuhan jumlah penduduk melek huruf, rendahnya tingkat kematian BALITA, atau naiknya angka harapan hidup difahami

sebagai keberhasilan ekonomi nasional yang sangat menak-jubkan mulai awal 1979. Namun di sisi lain, semua indikator kemajuan ekonomi tersebut sulit dipertahankan dewasa ini karena indikator kemajuan ekonomi tersebut tidak berbasis pada sumber daya manusia yang handal. Oleh karena itu, perubahan tatanan ekonomi yang tidak selalu linear merupakan pelajaran nasional yang paling berharga bagi pengambil kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional untuk selalu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan

( S T U D I K A S U S D I D I Y , B A L I D A N N T B )

KUSMAYADI

Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi saja, ternyata telah menciptakan struktur ekonomi yang rapuh, karena tidak ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia yang memadai.

Aspek sumber daya manusia sebagai subjek di dalam pembangunan pariwisata khususnya, semestinya memiliki peranan besar. Di samping itu, pemerataan kesempatan kerja dan peluang berusaha sektor pariwisata perlu diperluas sebagai penopang perekonomian.

(2)

mutu sumber daya manusia dalam pembangunan di masa mendatang.

Membahas mengenai

kualitas sumber daya manusia, menurut hasil studi UNDP (1996; 1998) berdasarkan indikator Human Development Index (HDI), negara Indonesia menduduki peringkat 102 dengan nilai HDI: 0,641. Sementara Singapura berada pada tingkat 34 (HDI: 0,881), Brunei peringkat ke-36 (HDI: 0,872), Thailand ke-52 (HDI: 0,832), Malaysia ke-53 (HDI: 0,826), Philippina ke-95 (HDI: 0,666), dan Jepang berada pada tingkat ke-3 (HDI: 0,938).

Kondisi ini memberikan gambaran, bahwa betapa beratnya posisi SDM Indonesia terhadap standard rata-rata SDM negara Asia. Apalagi bila dikaitkan dengan standar kebutuhan SDM untuk bidang pariwisata dan sektor jasa lainnya yang menuntut kriteria

kemampuan yang amat

spesifik. Kondisi lain yang

dapat menggambarkan

rendahnya kualitas SDM tersebut dapat dilihat dari tingkat pendidikan angkatan kerja. Sebagai contoh, pada tahun 1998 banyaknya pekerja

atau karyawan yang

berpendidikan SLA sampai perguruan tinggi hanya

mencapai 10,3%. Sedangkan pekerja/karyawan yang terbesar memiliki pendidikan paling tinggi SD. Walaupun demikian bila dibandingkan

dengan tahun 1997,

pekerja/karyawan yang berpendidikan paling tinggi SD menurun sekitar 1,1% (BPS, Sakernas 1997; 1998).

Penyediaan SDM Pariwisata saat ini berasal dari SMK, SMU, pendidikan tinggi dan balai latihan kerja. Bidang kejuruan pariwisata dan perhotelan diprogramkan pada dua jenis SMK yaitu SMK di mana bidang studi pariwisata dan perhotelan merupakan salah satu alternatif yang

ditawarkan SMK yang

bersangkutan dan SMIP yang merupakan SMK khusus menawarkan bidang studi pariwisata dan perhotelan.

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 700 SMK Negeri dan 3.000 SMK Swasta termasuk 75 buah SMIP dan

SMK yang menawarkan

(3)

sisanya (12%) mempelajari

bidang-bidang lain.

Sedangkan jumlah siswa yang menekuni pariwisata dan perhotelan diperkirakan sekitar 30.000 orang (PHRI, 1996).

Sumber lain

(Depparsenibud, 1998) menyebutkan bahwa lembaga yang menyelenggarakan pendidikan kepariwisataan pada tahun 1998 di Indonesia

terdapat 55 lembaga

pendidikan tinggi (diploma), 122 lembaga pendidikan menengah dan 28 pusat pelatihan, dengan lulusan sebanyak 106 ribu orang per tahun. Jumlah lulusan tersebut terdiri atas 28% lulusan pendidikan tinggi, 59% lulusan pendidikan menengah dan 13% lulusan hasil pelatihan. Dari jumlah lulusan yang ada tersebut, maka menurut Taroeprajeka (1998) pada akhir Pelita VI akan kekurangan tenaga opera-sional pariwisata sebanyak 370.000 orang.

Dalam pengadaan tenaga kerja tersebut masih menghadapi permasalahan-permasalahan antara lain: (1) adanya kesenjangan antara hasil didik dengan kompetensi yang dibutuhkan industri, (2) produktivitas rendah, (3)

masalah pendanaan di dalam

diklat sehingga

sarana/prasarana tidak

me-madai, (4) adanya

kecenderungan quick yielding dari pihak industri dan (5)

kesulitan merumuskan

kurikulum pendidikan dan pelatihan yang standard. Di samping itu, ungkapan dari industri (user) menyebutkan bahwa SDM pariwisata Indonesia pada umumnya masih berada pada tingkatan pekerja lapangan (practical worker). Sementara kenyataan yang dihadapi berbagai posisi dan tingkatan jabatan yang saat ini tengah dan akan diisi lagi oleh tenaga kerja asing.

B . M E T O D O L O G I

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui peluang dan kes-empatan kerja sektor pari-wisata pada saat ini.

(4)

kepa-riwisataan di ketiga lokasi ter-sebut.

Untuk melengkapi data yang terkumpul, dilakukan pula wa-wancara dengan unsure dari Dinas Pariwisata, BAPPEDA, Kanwil Depnaker, PHRI dan ASITA setempat. Di samping

itu dilakukan pula

wawancaradengan kepala dan staf dari Balai Latihan Kerja Khusus Pariwisata untuk mengetahui kondisi pelatihan yang dilaksanakannya.

Untuk mengetahui bagaima-na aspirasi dan peran serta masyarakat, terutama pencari kerja terhadap kepariwisataan, dilakukan pula diskusi terfokus (focus group discussion).

C . T E M U A N : T I N J A U A N E K O N O M I S E K T O R P A R I -W I S A T A

1. Prospek Pengem bangan Sektor Pariwisata

Krisis ekonomi yang diper-berat dengan adanya krisis politik telah menimbulkan kemunduran di dalam berbagai sektor kehidupan. Lebih-lebih sektor ekonomi, Indonesia yang pada tahun 1996 mencapai pertumbuhan rata-rata 7% turun menjadi minus 18% pada tahun 1999 dan diharapkan dapat kembali ke 0% pada tahun 2000 serta

kembali ke titik 7% pada tahun

2002. Dalam keadaan

demikian, harapan terhadap sektor pariwisata sebagai sektor andalan sangat besar, mengingat potensi sumber daya pariwsata ini sangat besar.

Selain potensi sumber daya alam, potensi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dan terletak di jalur perjalanan dunia.

(5)

Pertumbuhan ekonomi

berpengaruh terhadap

kesejahteraan masyarakat. Secara konvensional, salah satu indikator pertumbuhan ekonomi nasional dapat dilihat pada laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dihitung menurut harga yang berlaku 1998 dan menurut harga konstan 1993 digunakan untuk kajian ini. Berdasarkan data PDB pada Tabel 1. perekonomian Indonesia belum menggambarkan kepulihan yang berarti setelah krisis

menerpa perekonomian kita sejak 1997 lalu. Dalam menghadapi krisis yang berjalan, pemerintah sebe-narnya terus optimis bahwa nilai PDB menurut harga yang berlaku diharapkan dapat meningkat dari 625.505,9 menjadi 989.573,1 milyar rupiah dari tahun 1997 ke tahun 1998. Sebaliknya, pemerintah juga terbuka dan jujur melaporkan bahwa PDB menurut harga konstan 1993 diakui telah mengalami penu-runan sebesar 14%, dari

Tabel 1.

Peranan Sektor Pariwisata Terhadap PDB dibandingkan dengan sektor lainnya

Lapangan Usaha

Tahun

Perubahan

1997

1998

1.

Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan

16,0

18,28

8,8

!

Tanaman bahan makanan

8,2

8,9

0,7

!

Tanaman Perkebunan

2,6

3,6

1,0

!

Peternakan

1,8

2,0

0,2

!

Kehutanan

1,5

1,9

0,4

!

Perikanan

1,7

2,2

0,5

2.

Pertambangan

8,7

12,8

4,1

3.

Industri Pengolahan

25,5

26,2

0,7

4.

Listrik Gas dan Air Bersih

1,2

1,2

0,0

5.

Bangunan

7,3

5,4

-1,9

6.

Perdagangan, Hotel dan Restoran

16,5

14,5

-1,6

!

Perdaganan besar dan eceran

13,00

11,6

-1,4

!

Hotel

0,6

0,5

-0,1

!

Restoran

2,9

2,7

-0,2

7.

Transportasi dan komunikasi

6,7

5,4

-1,3

8.

Keuangan

9,3

8,2

-1,1

9.

Jasa

8,3

6,9

-1,4

(6)

434.095,5 menjadi 374.718,7 pada periode yang sama. Adalah suatu realitas bahwa perubahan ekonomi tersebut mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, terutama tenaga kerja.

Lebih lanjut, BPS (1998) menjelaskan bahwa hampir semua sektor ekonomi telah mengalami pertumbuhan negatif, kecuali sektor per-tanian, yang mengalami pertumbuhan sebesar 0,2 persen.

Sejak 1991 sampai 1999, sumbangan terbesar terhadap PDB masih diberikan oleh sektor industri pengolahan. Sektor ini telah menyum-bangkan PDB sebesar 26,2 persen. Kemudian sektor perikanan (yang masih dalam satu kategori dengan pertanian, peternakan, dan

kehutanan) mampu

memberikan kontribusi ter-hadap PDB sebanyak 18,8 persen. Sedangkan sumbangan sektor perdagangan (yang masih menjadi satu kategori dengan sub sektor perhotelan, dan restoran) terhadap PDB menempati urutan ketiga, yaitu sebesar 14,9 persen. Lalu, sektor pertambangan dan penggalian menyumbangkan 2,9 persen terhadap PDB. Terakhir, peranan ekspor

impor mengalami kenaikan yang sangat menakjubkan. Ekspor meningkat sebesar 50,6 persen dan impor naik sebesar 42,9 persen.

(7)

Tabel 2. menggambarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tiga lokasi studi menunjukkan bahwa pangsa sektor 6 (perdagangan, hotel dan restoran) terhadap total PDRB mengalami penurunan kecuali di DIY, naik 2,50% dari tahun 1997 ke tahun 1998. Walaupun secara keseluruhan sektor 6 mengalami penurunan, di Bali, sektor perdagangan meningkat sebesar 0,9% dan di NTB, perhotelan naik 0,19% dari tahun 1997.

Dorongan optimis bagi pengembangan pariwisata, di ketiga daerah tersebut, teru-tama di propinsi DIY, ditunjuk-kan dari hasil studi seperti

pada Tabel 3. Walaupun dalam kondisi ekonomi sedang melemah tetapi sektor ini mampu menjadi penggerak ekonomi dengan kenaikan yang cukup menggembirakan.

D . P E R K E M B A N G A N P A R I -W I S A T A N A S I O N A L

Indikator yang

menggambarkan

perkembangan pariwisata antara lain perkembangan kunjungan wisatawan manca negara (wisman), tingkat penuhian kamar (TPK), lama tinggal (length of stay), perolehan devisa, investasi dan lain-lain.

Secara umum, kondisi

Tabel 2.

PDB Tiga Propinsi Atas Dasar Harga Berlaku

PROPINSI TAHUN TOTAL PDB

PERDA-GANGAN RESTORAN PERHOTELAN TOTAL

DIY 1996 6,383,328 431,830 470,786 104,679 1,007,295 1997 7,103,949 494,505 526,948 126,516 1,147,969

1998 9,725,407 716,179 899,469 199,203 1,814,851

BALI 1996 8,621,457 886,631 670,000 1,097,401 2,654,032

1997 9,897,407 1,056,750 789,525 1,172,628 3,018,903

1998 13,525,985 1,566,354 1,070,822 1,487,005 4,124,181

NTB 1996 3,986,481 568,239 56,312 47,967 672,518

1997 4,534,065 671,339 67,960 57,707 797,006

1998 7,784,900 1,136,292 109,141 113,397 1,358,830

Sumber: BPS, 1999

Tabel 3

Pangsa Sektor Pariwisata Terhadap PDRB Di Tiga Propinsi Atas Dasar Harga Berlaku

Propinsi

Tahun

Perda-gangan

Restoran

Perhotelan

Total

DIY

1996

6.76

7.38

1.64

15.78

1997

6.96

7.42

1.78

16.16

1998

7.36

9.25

2.05

18.66

BALI

1996

10.28

7.77

12.73

30.78

1997

10.68

7.98

11.85

30.50

1998

11.58

7.92

10.99

30.49

NTB

1996

14.25

1.41

1.20

16.87

1997

14.81

1.50

1.27

17.58

(8)

kepariwisataan kita saat ini sangat terpuruk akibat dari kondisi yang tidak aman. Padahal seandainya kondisi aman, maka masalah krisis moneter merupakan dorongan bagi wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia, karena Indonesia merupakan daerah tujuan wisata termurah di dunia.

3. Perkem bangan Kunjungan W ism an

Jumlah kunjungan wisman melalui 13 pintu masuk utama pada bulan Desember 1999 tercatat sebanyak 326.384 orang, dan kumulatif Januari-Desember 1999 sebanyak 3.920,3 ribu orang, yang berarti masih mengalami kenaikan 4,13 persen dibandingkan dengan jumlah wisman pada tahun 1998, yang hanya berjumlah sebesar 3.764,7 ribu orang.

Bila dilihat menurut

masing-masing pintu masuk,

persentase kenaikan jumlah wisman terbesar selama Januari-Desember 1999 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya terjadi di Mataram sebesar 51,47 persen, diikuti oleh Juanda-Surabaya 16,26 persen, dan Ngurah Rai-Bali 12,30 persen. Sebaliknya jumlah wisman

melalui pintu masuk

(9)

Dari data kunjungan wisatawan yang cukup mengesankan tercatat melalui pintu masuk M ataram yaitu sebesar 58,85% atau 1.050 orang, sampai Juli 1999. Kendatipun secara nasiona! kontribusinya tercatat masih terbilang kecil (0,28%), tetapi yang patut dicatat dari pintu masuk ini adalah pertumbuhan kunjungan wisman yang secara terus menerus menunjukkan angka positif dengan persentase yang cukup tinggi merupakan indikasi terhadap prospek potensi wisata propinsi Nusa Tenggara Barat yang semakin berkembang

pesat sebagai daerah tujuan wisata di tanah air.

4. Perolehan Devisa

Perolehan devisa dari Sektor Pariwisata melalui kunjungan wisman yang masuk di 13 pintu masuk utama pada periode Januari - Juli 1999 sebesar ± US $ 2,092.93 juta. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1998, perolehan devisa secara kumulatif naik 10,27 %.

Dengan menggunakan

metoda pendekatan non linier (logistic smooting), yang didasari asumsi terjadinya fluktuasi dalam pengeluaran

Tabel 4

Perkembangan Jumlah Wisman Untuk 13 Pintu Masuk Januari - Desember 1999

Bulan

Soekarno-Hatta

Ngurah Rai

Batam

10 Pintu

masuk lain

Jumlah

Januari

59.247

108.626

96.232

32.706

296.811

Pebruari

61.245

105.673

98.131

41.145

306.194

Maret

70.612

121.514

112.141

36.451

340.718

April

64.368

110.188

97.710

33.548

305.814

Mei

50.370

112.241

104.391

33.509

300.511

Juni

54.344

124.841

97.583

31.580

308.348

Juli

87.228

146.859

107.547

37.898

379.532

Agustus

86.164

143.306

88.516

38.934

356.920

September

72.973

134.153

98.476

37.230

342.832

Oktober

63.594

110.207

110.973

36.187

320.961

Nopember

76.375

93.029

120.608

45.281

335.293

Desember

72.798

88.934

116.483

48.169

326.384

Jan-Des 99

819.318

1.399.571

1.248.791

452.638

3.920.318

Jan-Des 98

883.016

1.246.289

1.173.392

461.973

3.764.670

(10)

dan lama tinggal wisman dari hasil penelitian P E S (Passenger Exit Survey) selama delapan tahun terakhir (1991-1998), yang diwarnai dengan penurunan lama tinggal dan

pengeluaran serta

pertimbangan dampak inflasi selama tahun berjalan, rata-rata pengeluaran wisman per kunjungan untuk tahun 1999 diperkirakan sebesar US $ 935,21 per orang per kunjungan atau turun 8,38 % dibanding pengeluaran tahun 1998 (sebesar ± US $ 940,23). Dengan demikian, perolehan devisa dari sektor Pariwisata melalui kunjungan wisman di 13 pintu masuk utama secara kumulatif pada periode Januari-Juli 1999 diperkirakan dapat diperoleh devisa sebesar ± US $ 2,092.93 juta atau diperoleh kenaikan sebesar 10,27% dibandingkan dengan

perolehan devisa pada periode yang sama tahun 1998 (sebesar $ US 1,897.98 juta).

5. Akom odasi Dan Tingkat Penghunian Kam ar

a. Akomodasi

Sampai dengan posisi Juli 1999, jumlah akomodasi di Indonesia tercatat sebanyak 9.608 unit dengan 231.722 kam ar, terdiri dari hotel berbintang 810 unit dengan kapasitas 81.997 kam ar, dan akom odasi lainnya 8.798 unit dengan kapasitas 149.725 kam ar.

Menurut penyebarannya, hotel berbintang tampak masih ter-konsentrasi pada pusat-pusat kegiatan pariwisata, yaitu semua provinsi di P. Jawa dengan jumlah 44.254 kamar (54,0 %), Ball 16.811 kamar (20,5 %), Sumatera 12.530 kamar (15,3%), dan Kawasan Timur Indonesia 8.402 kamar (10,2 %).

b. Tingkat Penghunian Kamar(TPK)

Hotel di Indonesia

Berdasarkan data yang diterima dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata tingkat penghunian kamar hotel berbintang di 10 daerah tujuan wisata pada bulan Nopember 1999 mencapai 40,82 persen, atau turun 0,49 Tabel 5

Perkembangan Perolehan Devisa Dari 13 Pintu Masuk, 1999 Vs 1998

BULAN 1999 (Juta US$)

1998

(11)

persen dibanding TPK bulan Oktober 1999 yang mencapai 41,31 persen. Dilihat dari DTW-nya, walaupun TPK di Bali untuk bulan Nopember 1999 masih yang tertinggi mencapai 52,67 persen, namun mengalami penuran dibanding bulan sebelumnya sebesar 55,62 persen. Penurunan jumlah wisman pada kenyataannya sangat terkait dengan penurunan TPK. Sebaliknya TPK, di Sulawesi Utara meningkat tajam dari 32,96 persen menjadi 47,48

persen sekaligus

menempatkannya pada urutan kedua. Sedangkan TPK hotel berbintang di DTW Sulawesi Selatan menempati urutan terendah, yaitu hanya 20,92 persen.

Selanjutnya bila dilihat menurut klasifikasinya, TPK hotel bintang 5 mencapai 49,29 persen dan merupakan persentase tertinggi dibanding pada kelas hotel berbintang yang lain. Sedangkan TPK terendah pada hotel bintang 1 yang hanya mencapai 35,12 persen.

Data sampai bulan Juni 1999, yang padat dihuni adalah hotel bintang lima yakni sebesar 44,04 %.

6. Rata-rata Lam a M enginap

Rata-rata lama menginap tamu (asing dan nusantara) pada bulan Juni 1999 di 10 daerah tujuan wisata tercatat selama 2,35 hari. Terlama di Bali yaitu 4,62 hari, dan tersingkat di Sumatera Utara selama 1,48 hari.

Menurut klasifikasi bintang hotel, pada bulan Juni 1999, terlama dihuni adalah hotel bintang lima, yakni selama 3,34 hari, dan tersingkat adalah hotel bintang 1 selama 1,36 hari.

7. Usaha Perjalanan W isata Jumlah Usaha Perjalanan Wisata tahun 1999 telah

mencapai 2.660

perusahaan, yang terdiri atas Biro Perjalanan Wisata (BPW)

sebanyak 1.739

perusahaan, Cabang Biro Perjalanan Wisata (CBPW) 570 perusahaan, dan Agen Perjalanan Wisata (APW) sebanyak 351 perusahaan.

(12)

bertambah 6 perusahaan (1,06 %) dan Agen Perjalanan Wisata bertambah 5 perusahaan (1,45 %).

8. Pem andu W isata

Jumlah pemandu wisata 1999 tercatat sebanyak 9.800 orang, atau turun 11,8 % dibanding dengan posisi akhir tahun 1998 (11.113 orang), yang terdiri atas Pemimpin Perjalanan Wisata (PPW) 669 orang atau turun 12,1 % dibanding posisi akhir tahun 1998 (761 orang), dan Pramuwisata (PW) sebanyak 9.131 orang atau turun 11,8% dibanding posisi akhir tahun 1998 (10.352 orang). Dari seluruh Pemandu Wisata tersebut, menguasai bahasa Inggris 57,6 %, Jepang 15,0 %, Mandarin 7,7 %, Jerman 5,2 %, Belanda 4,1%, Perancis 3,6%, dan beberapa bahasa asing lainnya.

9. Investasi Di Sektor Pariwisata

Jumlah rencana

investasi di sektor pariwisata yang telah mendapat-kan

persetujuan baik yang menggunakan Penanaman Modal Asing (PMA)

maupun Penanaman

Modal Dalam Negeri

(PMDN) dan Non

PMA/PMDN sampai dengan akhir bulan Mei 1999 tercatat sebanyak 65 proyek dengan nilai investasi sebesar U S $ 93,645,95 ribu (PMA), Rp 168.320,86 juta (PMDN), dan Rp 2.812,00 juta (Non-Fasilitas), dengan rincian sebagai berikut :

a. Penanaman Modal Asing (PMA), 54 proyek senilai U S $ 93,645,95 ribu, untuk rincian bidang usaha :

1) Perhotelan, 31 proyek senilai US $88,012.70

2) Restoran, 9 proyek senilai US$1,683.25

3) WisataTirta, 7 proyek senilai US$1,080.50 4) Rekreasi, 7 proyek

senilai US 2,869.50

b. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), 8 proyek senilai Rp 168.320,83 juta sernuanya untuk bidang usaha perhotelan.

Tabel 6

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja pada 3 Propinsi Terpilih

Provinsi

1996

1997

1998

1.

Yogyakarta

67.9

65.4

67.7

2.

Bali

77.1

77.1

76.8

3.

NTB

73.4

73.5

70.5

(13)

c. Non Fasilitas, 3 proyek senilai Rp 2.812,00 juta untuk bidang usaha:

1)Perhotelan, 2 proyek senilai Rp 2.362,00 ribu

2)Restoran, 1 proyek senilai Rp 450,00 ribu.

Jumlah tenaga kerja Indo-nesia (TKI) yang diserap oleh 65 proyek tersebut mencapai 4.338 orang.

E . K O N D I S I K E T E N A G A K E R -J A A N

Indonesia terkenal dengan persediaan tenaga kerja yang besar. Jumlah penduduk Indonesia diestimasikan lebih dari dari dua ratus juta jiwa pada awal tahun 2000 ini. Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, wajar apabila tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) mendekati hampir 70 persen, dengan bentuk U terbalik. Angka tahun 1998 ini meningkat lebih dari 3 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya 66,3 persen.

Jumlah angkatan kerja yang

begitu besar tentu

memerlukan peningkatan kemampuan dan ketrampilan serta profesionalisme yang

sesuai perubahan pasar kerja maupun perubahan teknologi, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di tiga propinsi lokasi studi, ditunjukkan pada tabel berikut:

Dari sejumlah penduduk yang secara ekonomi aktif, BPS melaporkan bahwa mayoritas (68,28%) bekerja, 18,23 persen mengurus rumahtangga, 10 persen bersekolah, 3,65 persen

dinyatakan sebagai

pengangguran, dan sisanya (6,70%) termasuk lain-lain. Struktur tenaga kerja demikian memberi pilihan bagi Departemen Tenaga Kerja untuk menentukan tujuan, target, sasaran maupun pola kebijaksanaan yang tepat dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja sekaligus memberdayakan masyarakat.

Pembangunan memang

telah dilaksanakan selama

lebih tiga dekade.

Pembangunan masa lalu

diharapkan untuk

(14)

penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi sektor pertanian. Hampir empat puluh lima persen (44,96%) tenaga kerja bekerja di sektor pertanian.

Penyerapan terbesar kedua ditempati oleh sektor perdagangan (19.18%), di ikuti sektor jasa (14,13%).

Perkembangan pariwisata

akan mendorong pula

perkembangan sarana

penunjang pariwisata seperti akomodasi. Di ketiga propinsi tempat dilakukannya studi, setiap usaha akomodasi menyerap tenaga kerja dengan rata-rata 9,5, 33,1 dan 15,3 orang untuk DIY, Bali dan NTB. Implikasinya adalah apabila perkembangan

usaha akibat meningkatnya arus kunjungan wisatawan, maka akan bertambah pula kesempatan

kerja yang

tersedia (Tabel 7). Data yang ada saat ini menun-jukkan bahwa tenaga kerja bidang pariwista menduduki

jabatan-jabatan mulai dari tingkat direktur utama

yang paling tinggi hingga jabatan administrasi. Banyaknya tenaga kerja tersebut seperti pada Tabel 8.

Tabel 7

Banyaknya Akomodasi Menurut Kamar, Tempat Tidur,

Rata-Rata Pekerja Per Usaha Dan Banyaknya Tamu Per Hari, tahun

1998

U R A I A N

DIY

BALI

NTB

1. Banyaknya

a. Usaha

842

1,288

294

b. Kamar

12,331

34,747

4,842

c. Tempat tidur

21,535

57,446

8,673

2. Rata-rata pekerja

a. Per usaha

9.5

33.1

15.3

b. Per kamar

0.7

1.2

0.9

3. Banyanya tamu

a. Wisnus

3,012

2,583

451

b. Wisman

395

10,358

872

(15)

Dari gambaran tabel di atas kita akan mengisi jabatan pekerjaan dari level penyelia ke bawah, di mana level ini merupakan jabatan yang menyerap tenaga kerja relatif lebih banyak. Di samping itu, tujuan penyediaan tenaga kerja pada level yang lebih tinggi biasa merupakan jenjang karier tenaga kerja di perusahaan tersebut.

Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kita dapat memberikan pelatihan kepada tenaga kerja non kejuruan yang pada kenyataannya memang banyak dibandingkan dengan lulusan kejuruan. Selain itu, tenaga kerja sebagian besar masih berpen-didikan SLTA ke bawah.

Sebagai contoh, pada tahun 1998, tenaga kerja yang terserap oleh bidang pariwisata yang mempunyai pendidikan tertinggi

SLA menduduki

urutan teratas di ketiga propinsi. Di DIY sebanyak 73,66 persen tenaga kerja sektor pariwisata adalah berpen-didikan SLA ke bawah, sedangkan di Bali dan NTB masing-masing 74,68 dan 70,54.

Demikan pula dengan latar belakang pendidikan kejuruan dan non kejuruan, di ketiga provinsi umumnya berlatar belakang non kejuruan, se-hingga sangat besar peluang untuk melatih mereka agar mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan di bidang kepariwisataan.

Selanjutnya, secara khusus perlu dirancang model pengembangan pelatihan yang bertujuan untuk:

1) Mengembangkan pelatihan melalui peningkatan relevansi program dengan kebutuhan pasar kerja. Dengan demikian, proyek

Tabel 8

Banyaknya Pekerja Pada Usaha Akomodasi Menurut Jenis

Jabatan Pekerjaan, tahun 1998

JABATAN PEKERJAAN

DIY

BALI

NTB

1. Direktur Utama

263

178

52

2. Direktur

184

385

80

3. Manajer

445

1,949

274

4. Asisten manajer

226

1,326

80

5. Penyelia (supervisor)

741

4,465

266

6. Teknisi

1,882

13,841

514

7. Administrasi

1,087

4,863

514

8. Lainnya

3,209

15,669

2,721

JUMLAH

8,037 42,676 4,501

(16)

ini akan merancang, melaksanakan, memantau, menilai dan merancang ulang program agar tercapai kompetensi yang ditetapkan.

2) Mengembangkan

kemampuan dan

keterampilan melatih dan

merancang program

pelatihan, memberikan pengalaman kerja di industri bagi para instruktur, baik melalui pendidikan formal maupun non formal.

3) Mengembangkan fasilitas, sarana dan prasarana pelatihan yang standar dengan indutri sehingga pelatihan yang dilakukan

dapat memberikan

pengalaman langsung

(hands on activities) kepada para peserta didik.

4) Mengembangkan

pemanfaatan fasilitas dan sarana pelatihan untuk uji kompetensi dan sertifikasi tenaga kerja baik pencari kerja maupun mereka yang sudah bekerja.

F . T A R G E T G R O U P P E L A T I -H A N K E R J A

Sasaran atau target group dari pengembangan pelatihan kerja bidang pariwisata ini diarahkan pada angkatan kerja yang jumlahnya terus mening-kat. Sampai tahun 2004, angkatan kerja di propinsi DIY akan mencapai hampir sejuta orang (Tabel 9).

Analisis terhadap data pencari kerja, data statistik

Tabel 9

Perkiraan Banyaknya Angkatan Kerja di Provinsi DIY menurut Pendidikan tertinggi yang

ditamatkan, 1998-2004

P endidikan 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4

Tidk/blm Sekolah 73.997 68.655 63.550 58.691 54.087 49.741 45.711 Tidak Tamat SD 54.065 58.190 52.712 47.642 42.967 38.671 34.779 Tamat SD 268.633 266.073 262.915 259.210 255.006 250.355 245.609 SLTP Umum 156.169 161.245 166.094 170.702 175.060 179.161 183.224 SLTP Kejuruan 7.671 7.430 6.996 6.573 6.163 5.766 5.391 SLTA Umum 138.704 147.343 156.151 165.113 174.213 183.436 193.006 SLTA Kejuruan 126.153 131.169 136.062 140.819 145.429 149.881 154.356 Pendidikan Tinggi 76.680 81.392 86.189 91.064 96.007 101.010 106.196 Total 912.293 921.497 930.669 939.813 948.931 956.021 968.270

(17)

menunjukkan bahwa setiap tahun terjadi penambahan pencari kerja. Walaupun telah jumlah lowongan kerja lebih kecil dari pada jumlah pencari kerja, lowongan tersebut masih belum terisi semuanya, karena adanya kesenjangan antara kompetensi yang dibutuhkan dengan kualifikasi yang dimiliki tenaga kerja. Dalam kondisi seperti ini, peran pelatihan kerja bidang Pariwisata sangat diharapkan

dalam memperkecil

kesenjangan tersebut.

Penyediaan calon peserta pelatihan di DIY dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang sudah tidak sekolah di mana mereka sedang mencari pekerjaan. Kelompok yang kedua adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah baik SLTP maupun SLTA sebagai potensial pencari kerja dan kelompok ketiga adalah karyawan industri pariwisata yang akan ditingkatkan kemampuannya.

Kecenderungan kelompok pertama menunjukkan bahwa masih terdapat peningkatan yang linier walaupun pernah terjadi beberapa tahun penu-runan. Berdasarkan analisis trend linier terhadap 10 tahun data berkala mengenai

(18)

Dalam kurun waktu 1998-1997, jumlah pencari kerja yang terdaftar selalu menunjukkan peningkatan, kecuali dari tahun 1994 sampai

tahun 1996 terdapat

penurunan yang cukup tinggi. Namun demikian kemudian terjadi kenaikan kembali pada tahun 1997. Pola pergerakan jumlah pendaftar tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Pengembangan pelatihan yang ditujukan untuk kelompok potensial pencari kerja juga mempunyai pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau memilih kursus-kursus. Pilihan melanjutkan ke pendidikan tinggi di DIY pada

tahun 1997 berjumlah 77 buah. Perlu digarisbawahi, bahwa DIY dikenal sebagai kota pendidikan, sehingga jumlah mahasiswa yang ada relatif besar. Hal tersebut mem-berikan indikasi bahwa mahasiswa yang menimba ilmu di DIY tidak hanya berasal dari

DIY saja, sehingga

perbandingannya dengan jumlah murid sekolan lanjutan (pertama dan atas) tampak tidak seimbang.

(19)

sebanyak 468 yang. Jumlah tersebut terdiri atas, BLK Depnaker (6 buah), BLKLN (1 buah) dan LLS (461 buah).

G . P E N U T U P

Peluang pengembangan pelatihan kerja bidang pariwisata di tiga propinsi masih mempunyai peluang yang luas, namun perlu dirancang model pelatihan

yang sesuai dengan

kompetensi yang dibutuhkan oleh industri.

Adanya kesenjangan antara kebutuhan dan tingkat kemampuan pencari kerja merupakan salah satu tingginya angka pengangguran di DIY, sehingga masih diperlukan suatu kegiatan yang berfungsi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja sektor ini.

H . B A H A N K E P U S T A K A A N

BLKKP Mataram. Laporan tahunan 1997/1998, 1998/1999.

BLKKP Yogyakarta. Laporan tahunan 1994/1995-1998/1999.

BPS, 1998. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia.

BPS. 1997. Bali dalam angka. 1997.

BPS. 1998. Kedaan Pekerja

dan Karyawan di

Indonesia Agustus 1998. BPS. 1999. Produk domestik

bruto Propinsi-propinsi di indonesia 1995-1998. BPS. Jakarta.

BPS. Berita Resmi. Jakarta 2000.

BPS. Daerah Istimewa

Yogyakarta dalam Angka, 1997.

BPS. Indikator Ekonomi. Desember 1999.

BPS. Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di Indonesia 1998. Jakarta, 1999.

BPS. Tingkat Penghunian

Kamar Hotel 1998.

Jakarta, 1999.

Depparsenibud. 1997.

Laporan Akhir

penyusunan RIPNAS.

Depparsenibud. 1999.

Pariwisata Dalam Angka Agustus 1999.

Dinas Pariwisata DI

Yogyakarta, Statistik Pariwisata Prop. DIY. 1999.

Dinas Pariwisata Nusa

Tenggara Barat.

Kepariwisataan Nusa

(20)

Dirjen pembinaan pelatihan dan produktivitas tenaga kerja. Depnaker. Profil Balai latihan Kerja Menuju Kemandirian. Jakarta. 1997.

UNDP, 1999. Human

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 4
Pariwisata Tabel 6 Jumlah rencana Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja pada 3 Propinsi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Permeabilitas merupakan kemampuan tanah dalam menahan air, jadi apabila kemampuan tanah dalam menahan air lemah maka dapat menyebabkan ketinggian air akan hilang.Pada Penelitian

Konsekuensinya, Gereja tidak merayakan tanggal 1 Januari sebagai Awal Tahun Masehi, karena sudah merayakannya pada tanggal 25 Desember sebagai hari Natal atau

Hasil tersebut menunjukan bahwa remaja laki-laki cenderung memiliki tingkat literasi kesehatan mental yang lebih daripada perempuan berdasarkan pengetahuan akan gejala

Hasil penelitian mengenai gambaran profil protein Aedes sp isolat Kendal menunjukkan jika dibandingkan antar profil protein terdapat variasi jumlah dan ketebalan pita

Pertemuan Bilateral dengan pejabat pemerintah Suriname dimulai pada tanggal 27 September 2011. Kunjungan Delri tersebut bertujuan untuk mengadakan pertemuan bilateral dengan mitra

Dengan adanya bimbingan teknis (Bimtek) bagi guru, kepala sekolah dan pengawas di Kota Jayapura, diharapkan mampu meningkatkan pemahaman, penguasaan, kemampuan guru

Dalam bahasa Armstrong, modernitas sering bersikap kejam terutama di negara-negara berkembang dalam tahap-tahap awal memasuki modernisasi, di mana budaya Barat yang modern

Gorontalo dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan di Kota Gorontalo antara lain (1) Tidak adanya kewenangan dalam penyusunan petunjuk teknis dan