• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21PUUXXI2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Obyek Praperadilan T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21PUUXXI2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Obyek Praperadilan T1 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Hukum di Indonesia saat ini banyak mengalami kemajuan yang salah satu

perkembangannya adalah berkaitan dengan praperadilan yang diajukan kepada pengadilan

atas penetapan seseorang menjadi tersangka. Seperti putusan hakim Sarpin yang

mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan mengenai penetapannya sebagai

tersangka. Dengan adanya putusan tersebut akan berdampak pada banyaknya pengajuan

praperadilanatas penetapan tersangka kasus-kasus korupsi lainnya yang ditangani KPK,

ataupun penetapan tersangka dalam kasus-kasus pidana yang lain, baik yang ditetapkan

oleh Penyidik ataupun oleh Penuntut Umum, dengan alasan bahwa penetapan tersangka

tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan.

Indonesia merupakan Negara hukum dimana telah diamanatkan dalam UUD

1945 pra amandemen, yaitu dalam undang-undang dasar tahun 1945 Pasal 1 ayat 3

menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum

(rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat).1Dalam Negara hukum semua orang baik warga negara, segala badan dan alat-alat hukum perlengakapan Negara maupun

pejabat negara harus tunduk kepada hokum.

1Teguh Prasetyodan Arie Purnomosidi,membangun hukum berdasarkan Pancasila , Nusa Dua, Bandung

(2)

2

Terkait dengan Negara Hukum, Ariestoteles menjelaskan bahwa Negara hukum

adalah Negara yang berdiri diatas hukum dan menjamin keadilan kepada warga

negaranya.2Dari penjelasan Aristoteles tersebut, maka maka dapat diketahui bahwa tindakan apapun yang dilakukan oleh negara harus berdasarkan hukum(asas legalitas) dan

negara mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keadilan bagi warga negaranya.

Indonesia sebagai Negara hukum yang menunjung tinggi hak asasi manusia,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 huruf (D) menentukan bahwa setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

didepan hukum.Ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh warga Indonesia meskipun warga

negara tersebut berstatus sebagai tersangka ataupun sebagai terdakwa, hak asasinyatetap

diakui, mereka berhak untuk mendapatkan jaminan dan kepastian di depan hukum dalam

proses hukum yang dijalaninya.

Para penegak hukum pidana dalam mejalankan tugasnya harus berpedoman pada

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana didalamnya mengandung asas

praduga tak bersalah. Asas ini harus diperhatikan dalam penegakkan hukum pidana, karena

dengan asas ini salah satunya dimaksudkan un tuk menghindarkan terjadinya tindakan

sewenang-wenang dalam penegakkan hukum pidana. Terkait dengan hal ini Zulkarnain,

SH, mengatakan sebegai berikut :

Dimana untuk mencegah perlakuan kesewenang-wenangan tersebut, KUHAP menyediakan ruang bagi tersangka dan terdakwa untuk melakukan pembelaan atas kesewenang-wenangan aparatur Negara dan ruang itu disebut Pra-peradilan. Dalam Pasal 1 butir 10 menegaskan bahwa Praperadilan adalah wewenang dari pengadilannegri untuk memeriksa dan memutuskan sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah tidaknya

(3)

3

penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, dan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajuakan ke pengadilan. Kewenangan pelaksanaan praperadilan menjadi wewenang mutlak pengadilan negri.3

Untuk mengoreksi tindakan aparat penegak hukum pidana, khususnya atas

tindakan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, KUHAP mengintrodusir

lembaga praperadilan terkait dengan tiga hal yaitu : sah atau tidaknya penangkapan dan

atau penahanan; sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian

penuntutan dan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi, sebagaimana dapat dibaca pada

Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP. Dalam Pasal tersebut tidak mengatur tentang sah

atau tidaknya penetapan tersangka.

Keberadaan praperadilan bertujuan untuk memberikan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan

horizontal,4 atau dengan kata lain diadakannya praperadilan mempunyai maksud sebagai

sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia terutama hak asasi tersangka. Dengan alasan untuk perlindungan hak asasi

manusia, walaupun dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP tidak mengatur alasan

praperadilan terkait dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, ternyata ada yang

mecoba untuk mengajukan praperadilan dengan menggunakan alasan tersebut, dan oleh

pengadilan ternyata dikabulkan.

Salah satu contoh kasus praperadilan yang berkaitan dengan penetapan tersangka

adalah kasus degan tersangka Budi Gunawan (BG) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK).Dalam kasusnya tersebut BG mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai

(4)

4

tersangka di Pengadilan Negri Jakarta Selatan.Atas permohonan praperadilan tersebut

hakim Sarpin mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh BG yaitu bahwa

penetapan tersangka yang menjadi dasar penangkapan BG tidak sah dan tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat, oleh karenanya penyidikan atas kasus yang disangkakan

terhadap BG juga dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum sehingga tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pada dasarnya penetapan tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana

diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir 10 yang dipertegas dalam Pasal 77 yang menjelaskan

bahwa:

“pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

b. penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan;

c. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”5

Permohonan praperadilan ini adalah satu upaya memperluas cakupan

praperadilan. Upaya tersebut pernah di ajukan oleh Bahtiar Abdul Fatah terdakwa korupsi

kasus biomediasi PT. Chevron yang mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan terkait penetapannya sebagai tersangka,yang di dalam gugatan

tersebut mengacu pada putusan praperadilan hakim sarpin yang mengabulkan gugatan

praperadilan BG.

5M. Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm

(5)

5

Dalam kasus bachtiar abdul fatah mengajukan gugatan praperadilan mengenai

penetapannya sebagai tersangka tersebut tersebut ditolak oleh hakim yang menanganinya

karena penetapannya sebagai tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 77 KUHAP.

Terkait dengan tidak dikabulkannya permohonan praperadilan tersebut, Bahtiar

Abdul Fatah mengajukan permohonan kepada Mahkamah konstitusi berkaitan dengan

perluasan obyek dalam praperadilan dan mengenai kejelasan tetang frasa bukti

permulaandan bukti permulaan yang cukup dalam peraturan perundang-undangan. Atas

permohonan tersebut kemudian dalam putusannya MK memberikan penjelasan tentang

bukti permulaan adalah keadaan,perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau

benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah

terjadi suatu tindak pidana.6 Sedangkan dalam Pasal 17 bukti permulaan yang cukup ialah

bukti permulaan sesui dengan bunyi pasal 1 angka14 dan 77 huruf a mengenai sah tidaknya

penangkapan dan penahanan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I

ayat (5), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Rumusan Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 dalam frasa bukti permulaan dan

bukti permulaan yang cukup tidak di sertai parameter yang jelas maka menimbulkan

ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik

sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka. Begitupun dalam Pasal 77 huruf a yang

terbatas memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan jelas tidak sepenuhnya dapat

(6)

6

memberikan perlindungan yang cukup kepada seorang tersangka dari pelanggaran

terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh penyidik.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014, mengabulkan

permohonan uji materi terkait dengan bunyi Pasal 77 KUHAP, yaitu dalamPasal 77

KUHAP tentang objek Praperadilan. permohonan praperadilan tersebut menyangkut

penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, selain itu mahkamah konstitusi

mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa

'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan tersangka dalam penyidikan.

Menurut Prof. Moeljatno, tiap-tiap proses pidana bagian yang paling terpenting

adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah

tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan.7Menurut Ratna Nurul Afiah, KUHAP mengatur mengenai alat bukti, bahwa untuk menentukan tindak pidana kepada terdakwa,

harus :

1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah, hakim

“memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.8

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor

21/PUU-XII/2014mengenai penetapan tersangka merupakan obyek praperadilan dan dalam

penetapan tersangka telah diperjelas dalam putusannya bahwa dalam penetapan tersangka

7 Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum U.G.M, hlm.132

(7)

7

dibutuhkan minimal dua alat bukti, dapat memberikan keadilan dalam tingkat penyidikan

serta kejelasan atas sah atau tidaknya penetapan seseorang tersangka dalam

penyidikan.Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan para

hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan permohonan sah atau

tidaknya penetapan sebagai tersangaka, penggeledahan ataupun penyitaan.

Dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 tentag perluasan obyek praperadilan

terkait penetapan tersangka hakim memberi pertimbangan yaitupermasalah utama

permohonan adalah pengujian pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, dan pasal 77 huruf a,

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembara Negara

Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3209 selanjutnya di sebut KUHAP).

Dalam hal ini frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka

2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena

menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip due process

of law serta melanggar hakatas kepastian hukum yang adil. Bahwa berdasarkan asas

keadilan, Profesor Satjipto Raharjo telah mencoba mendefinisikan keadilan. Dikatakan

bahwa menurut ulpianus; keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus

untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya, untuknya.9

Perlu diketahui bahwa dalam frasa “bukti permulaan” sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 17 yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidak pastian

(8)

8

hukum. Dalam asas kepastian hukum, dimana disenutkan tujuan hukum ada tiga yaitu

keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tujuan hukum pidana adalah melindungi

kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan

masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/ tindakan tercela

di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di pihak lain10. Sehingga dengan adanya kepastian hukum seorang terdakwa mendapatkan keadilannya dan juga

kemanfaatannya dalam sebuah peradilan pidana.

Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang terbatas

memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan

perlindungan yang cukup bagi tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran hak asasi

manusia, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), dan

Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut:

Apa yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor

21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan?

(9)

9

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Kosntitusi

dalam putusan nomor 21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai

obyek praperadilan

D.

Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan yang

ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis :

Menambah wawasan dalam bidang hukum acara pidana, khususnya terkait

dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan

2. Manfaat Praktis :

Dengan adanya putusan tersebut diharapkan dapat menjadi pertimbangan

bagi hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan penetapan

tersangka

E.

Metode Penelitian

1.

Jenis Penelitian:

Dalam rangka untuk mencapai tujuan hukum penelitian diatas, maka jenis

penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yakni penelitian yang di fokuskan

untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.11

(10)

10

Dalam hal ini penulis ingin menganalisi pertimbangan hakim putusan Mahkamah

Konstitusi No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan.

2.

Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan,

pendekatan ini di lakukan dengan menelaah seluruh peraturan perundang-undangan

dan regulasi yang memiliki sangkut paut dengan isu hukum yang sedang di bahas dalam

penelitian ini.12 Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.13 Dan juga menggunakan pendekatan kasus dimana pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada

kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi(Case Approach). Kasus yang

ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan

hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan

hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai

argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.

3.

Sumber Data

Yaitu fakta yang relevan atau actual yang diperoleh untuk membuktikan atau

meguji suatu kebenaran atau ketidak benaran suatu masalah yang menjadi obyek

penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder yaitu

dengan studi kepustakaan, peratuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan lain

sebagainya terutama yang berkaitan dengan permasalahan mengenai praperadilan

maupun tujuan penelitian sehingga dengan sumber data hukum tersebut dapat

12 Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal 97-98

(11)

11

menjawab tujuan penelitian. Sumber data hukum tersebut dapat di bedakan menjadi

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder.14

a.

Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

berupa peraturan perundang-undangan. 15Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan

penelitian yang dilakukan.

Bahan hukum primer terdiri dari, perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.16 Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer adalah : 1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

2) Undang–Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

3) Undang-undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

4) Undang-undang No 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang

No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

5) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/2014

14 Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal 141 15Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141

(12)

12

b.

Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat hukum / doktrin/

teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun

website yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder pada dasarnya

digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan

adanya bahan hukum sekunder maka peneliti akan terbantu untuk

memahami/menganalisis bahan hukum primer.

Bahan hukum sekunder ini diperoleh dari literatur, jurnal, dokumentasi

tertulis lainnya berkaitan dengan penangkapan dan penahanan yaitu Putusan MK

No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan

4.

Cara Memperoleh Data

Pengolahan bahan hukum dengan studi kepustakaan yaitu dengan

melakukan studi dalam rangka pemahaman perundang-undangan, arsip, buku /

literature, artikel, dan lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan

permasalahan mengenai pertimbangan putusan mahkamah kosntitusi nomor

21/PUU-XXI/2014 Tentang Perluasan Obyek Praperadilan, dengan bahan hukum

tersebut di klasifikasikan sesuai permasalahan maupun tujuan penelitian sehingga

dengan bahan hukum tersebut dapat menjawab tujuan penelitian

5.

Unit Amatan dan Unit Analisis

a. unit amatan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah putusan

(13)

13

b. Unit analisis dalam penelitian ini adalah pertimbanagn Mahkamah Konstitusi

Nomor 21/PUU-XXI/2014 terkait Perluasan Obyek Praperadilan

6.

Sistematika Penulisan

Penulisan ini akan disajikan dalam bentuk pembagian atas 4 (empat) bab,

yang masing-masing bab terbagi menjadi sub-sub bab dengan susunan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, baik secara

teoritis maupun praktis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

A. Mekanisme penetapan tersangaka

B. Praperadilan

C. Pemeriksaan Persidangan di Mahkamah Konstitusi

D. Hal-Hal Yang Harus Dipertimbangkan Dalam Memutus Perkara

Pengujian Undang-Undang

E. Gambaran Kasus Permohonan Praperadilan oleh Pemohon Bachtiar

Abdul Fatah

F. Permohonan Judicial Review dalam perkara Nomor

21/PUU-XXI/2014

G. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor

(14)

14

H. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor

21/PUU-XXI/2014

I. Analisis

BAB III PENUTUP

Bab ini akan menguraikan tesis penulis mengenai pertimbangan

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XXI/2014 tentang

perluasan obyek praperadilan telah sesuai dengan hukum pidana di

Referensi

Dokumen terkait

Secara khusus partisipasi lebih seorang manajer dalam keikutsertaan selama proses penyusunan anggaran menumbuhkan rasa keadilan yang lebih tinggi, yang meningkatkan pula

Sedangkan sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu set peristiwa yang terdiri dari komponen-komponen yang mana komponen tersebut saling berinteraksi dan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PEROLEHAN KONSEP (CONCEPT ATTAINMENT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI KUBUS DAN BALOK UNTUK SISWA KELAS VIII-B MTs AL-

Dari pemaparan tersebut terlihat jelas semua sikap korban terhadap ketiga pelaku dapat menjadi suatu peran korban yang konkrit serta semua dendam dari

Oleh yang demikian, guru Pendidikan Islam berperanan untuk meningkatkan penggunaan kaedah pengajaran secara bermultimedia khususnya dalam bidang tilawah al- Quran mahupun Jawi,

PENGARUH MODIFIKASI PERILAKU DIFFERENTIAL REINFORCEMENT OF ZERO RESPONDING (DRO) TERHADAP PERILAKU PERSEVERASI ANAK AUTIS KELAS VIII DI SLB NEGERI SURAKARTA TAHUN AJARAN

Untuk mendapatkan sebuah citra baru yang merupakan pengolahan citra asli menjadi citra atau gambar yang seolah – olah timbul pada objek, dapat kita dapatkan dengan menkonvolusi

Rumus yang digunakan untuk uji validitas adalah sebagai