BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini mengkaji tentang kontestasi masyarakat nelayan yang terjadi
dalam masyarakat Kampoeng Nipah di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan
Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Kontestasi merupakan sebuah
persaingan, kompetisi, atau perseteruan yang dilakukan antara dua atau lebih
individu maupun kelompok yang bertujuan untuk menjadi pemenang sesuai
dengan aturan dan ketentuan yang berlaku (Firmanzah, 2008:73). Di wilayah Desa
Sei Nagalawan terdapat sebuah persaingan antara dua kelompok. Kedua
kelompok bersaing dalam beberapa hal, mulai dari memperebutkan lahan
mangrove sampai dengan bersaing dalam pengelolaan tempat wisata. Persaingan
terjadi karena kemiskinan yang ada pada masyarakat nelayan.
Menurut Semedi (1994:10-11) dalam bukunya Ketika Nelayan Sandar
Dayung, kehidupan yang ada pada masyarakat nelayan merupakan sebuah
kemiskinan yang bersifat absolut, berikut kutipannya:
Kemiskinan banyak ditemukan pada kehidupan masyarakat nelayan, seperti yang
dikatakan oleh Semedi (1994:11) “Tema kemiskinan di kalangan nelayan sering terungkap sebagai salah satu lapisan termiskin”.
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan salah satu faktornya
karena rendahnya penghasilan yang rata-rata mereka dapatkan. Rendahnya
pendapatan nelayan merupakan salah satu akibat dari hasil tangkap yang
berkurang disamping harga jual hasil tangkap yang tidak stabil. Laut sebagai
tempat nelayan mencari nafkah semakin lama mengalami kerusakan. Kerusakan
diakibatkan oleh kemajuan teknologi yang tidak tepat seperti penggunaan pukat
harimau maupun juga adanya kerusakan lahan mangrove yang merupakan tempat
biota laut berkembang biak.
Kemiskinan juga pernah dialami masyarakat nelayan di Desa Sei
Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Menurut Pak
Ahmad Yani yang merupakan salah satu nelayan di Desa Sei Nagalawan, mereka
pernah mengalami kemiskinan dengan tidak mempunyai perlengkapan untuk
melaut, dan juga mempunyai kondisi rumah yang kurang baik. Dengan keadaan
laut yang semakin rusak akibat adanya penggunaan pukat harimau (Pujo, 1994:5),
dan hutan mangrove yang habis ditebangi oleh pengusaha yang membuka lahan
untuk tambak udang, masyarakat nelayan yang pergi melaut menurut Pak Ahmad
Yani sulit mendapatkan hasil tangkap yang besar. Dengan hasil tangkap yang
sedikit menurut ia juga membuat penghasilan nelayan dari malaut menjadi rendah.
Rendahnya pendapatan nelayan diperburuk dengan adanya monopoli yang
bersangkutan, sedangkan nelayan tidak bisa menjual harga ikan melebihi apa yang
sudah ditentukan toke. Bagi nelayan yang menggunakan fasilitas yang diberikan
toke seperti perahu, jaring, maupun alat tangkap lainnya harus menjual hasil
tangkapnya kepada toke pemberi fasilitas tersebut.
Keinginan keluar dari kemiskinan terus dilakukan oleh masyarakat
nelayan di Desa Sei Nagalawan. Mereka mulai membuat kelompok-kelompok
untuk keluar dari keterikatan toke yang membuat mereka tidak bisa menentukan
harga jual hasil tangkap. Mereka juga memulai kembali menanam lahan-lahan
mangrove yang telah rusak ditebang sebelumnya di pesisir Desa Sei Nagalawan.
Setelah sekian lama menanam dan merawat akhirnya mereka mulai memetik hasil.
Hasil tangkap semakin banyak dan ekosistem laut sedikit demi seikit mulai
membaik.
Keberhasilan masyarakat dalam mengelola hutan mangrove telah
mendapat perhatian pemerintah dan lembaga non-pemerintah. Beberapa
penghargaan yang diperoleh antara lain pemenang Community Entrepreneur
Challenge Wave1 II Agustus pada tahun 2011 dan penghargaan Female Food Heroes Oxfam2tahun 2013 atas inovasi masyarakat mengelola dan memanfaatkan mangrove untuk lingkungan dan perekonomian masyarakat desa.
Keberhasilan yang sudah dicapai oleh sekelompok orang dalam mengelola
hutan mangrove di Desa Sei Nagalawan tentu berpengaruh dengan pendapatan
maupun kesejahteraan yang didapat oleh anggota-anggota yang tergabung dalam
1
Sebuah penghargaan yang diberikan oleh Arthur Guinness Fund (AGF) dan British Council (BC) (sebuah yayasan Inggris) bagi penggiat kewirausahawan sosial berbasis komunitas.
2
kelompok. Tetapi, bagi masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok itu
pengaruh yang didapat tidak begitu mereka rasakan.
Dalam hal ini adanya kecemburuan sosial ekonomi yang dirasakan oleh
masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok yang mengelola hutan
mangrove. Kecemburuan ini akhirnya yang membuat adanya persaingan di antara
masyarakat di Desa Sei Nagalawan dalam pengelolaan hutan mangrove.
Persaingan bisa terjadi antara kelompok masyarakat yang terdapat di Desa Sei
Nagalawan, individu dengan individu, maupun antara individu dengan kelompok
masyarakat yqng terdapat di Desa Sei Nagalawan.
Dengan keberhasilan yang diperoleh mereka, mulai banyak kelompok lain
yang mengikuti dan akhirnya terjadi persaingan antar individu maupun kelompok.
Persaingan antara individu maupun kelompok terjadi dibanyak tempat. Bentuk-
bentuk kontestasi atau persaingan juga berbeda-beda. Berbeda dengan konflik
yang tujuan utamanya adalah penghancuran pihak lawan, maka dalam kompetisi
atau persaingan tujuan utamanya adalah pencapaian kemenangan melalui
keunggulan prestasi dari pihak-pihak yang bersaing3. Namun, dalam kompetisi
dikatakan juga sebagai sebuah konflik yang terwujud antar individu atau antar
sekelompok individu dengan kelompok individu lainnya (individu-individu
melalui individualitas masing-masing bekerja sama dalam sebuah tim untuk
mengalahkan individu-individu lainnya) dalam sebuah keteraturan.4
Dalam penelitian atau tulisan Permana (2010:5) tentang Kontestasi
Abangan-Santri Pasca Orde Baru memperlihatkan bagaimana kontestasi
3“upa la ,Pa sudi.
Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya . Ju al A t opologi I do esia, No.2, Vol.30, 2006
4
santri yang terjadi di Desa Ngandong, Kecamatan Gantiwarno, Klaten. Dalam
tulisannya Permana menyebutkan lingkup kontestasi abangan-santri yakni dari
persoalan kecil seperti perdebatan seputar pilihan tontonan tv atau rivalitas klub
sepak bola hingga ke persoalan perebutan kekuasaan. Kontestasi terjadi karena
adanya perbedaan ideologi antara abangan-santri, abangan dalam tulisannya
diartikan sebagai individu muslim jawa yang masih mempertahankan nilai-nilai
kejawen5 atau tradisional Jawa yang lebih dekat secara spiritual. Abangan menganggap dirinya adalah pemeluk Islam dengan cukup membaca tahlil.
Sedangkan Santri melihat bahwa seseorang belum dikatakan Islam bila tidak
melaksanakan syariat terutama ibadah sholat fardhu. Dua kategorisasi kognitif
yang berposisi satu sama lain inilah yang kemudian menegaskan identitas
masing-masing.
Nurdin (2009:15) dalam tulisannya “Antara Negara dan Nagari: Kontestasi
Elit Lokal Dalam Rekonstruksi Nagari Di Minangkabau Pada Masa Otonomi
Daerah” mengatakan ada kontestasi di antara elit lokal yang berbentuk resistensi,
akomodasi, friksi, negoisasi, dan kompromi. Resistensi di sini menurutnya
merupakan resistensi elite demi kekuasaan dalam konteks politik maupun
kebudayaan sehingga terbangunnya kontestasi politik elite lokal. Kontestasi
terjadi karena adanya kebijakan negara yang membuat nama untuk daerah
otonomi terendah dalam pemerintah dengan nama Desa, sedangkan masyarakat di
daerah Minangkabau sudah terbiasa dengan nama Nagari. Sehingga, masyarakat
5
Minangkabau secara umum memiliki keyakinan bahwa kembali ke nagari adalah
kembali ke adat dan agama sebagai identitas dan jati diri.
Uraian singkat penelitian di atas sedikit menjelaskan bentuk-bentuk dari
sebuah persaingan dan bagaimana bisa persaingan terjadi. Begitu juga dengan
persaingan yang terjadi pada dua kelompok di wilayah Sei Nagalawan dapat
dilihat dari munculnya banyak tempat wisata yang berdiri di sepanjang pesisir
pantai Sei Nagawalan, dan adanya polemik yang terjadi di antara dua kelompok
dalam hal memperoleh pengolahan hutan mangrove yang terdapat di Kampoeng
Nipah yang berada di pesisir pantai sebagai daerah yang memiliki nilai ekonomis
bagi masyarakat daerah Sei Nagalawan..
Dalam kompetisi yang terjadi di antara kedua kelompok tentu terdapat
sebuah kekuasaan yang dapat dimainkan oleh siapa saja baik dalam kelompok
maupun di luar kelompok. Terdapat pola hubungan kuasa di antara individu baik
dalam masyarakat, individu dengan kelompok, maupun dengan pihak luar. Pola
hubungan ini terjadi karena kekuasaan sendiri tidak bisa dimiliki oleh siapapun,
tetapi kuasa dapat dimainkan oleh siapa saja (Zuska, 2008:4).
Dengan beberapa uraian singkat di atas, penelitian ini mencoba mengkaji
bagaimana bentuk-bentuk persaingan atau kontestasi yang terjadi pada masyarakat
nelayan di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang
Bedagai, bagaimana persaingan atau strategi yang terjadi, dan apa tujuan dari
kontestasi tersebut khususnya dalam penggunaan lahan mangrove sebagai tempat
1.2. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan mengenai kontestasi
yang terjadi pada masyarakat di Indoneisa. Berikut sedikit uraian beberapa
penelitian tentang kontestasi atau persaingan:
Nasrullah (2015:17) dalam tulisannya berjudul Konflik Elit Lokal Dalam
Pemekaran Kecamatan Blang Jerango menyebutkan elit lokal yang terdapat di
dalam pemekaran Kecamatan yakni camat, mantan camat, mantan anggota DPRD,
tokoh agama, tokoh adat. Dalam konflik ini terdapat persaingan antara elit
tersebut untuk menduduki jabatan didaerah hasil pemekaran. Kontestasi atau
persaingan terjadi ketika akan terjadi pemilihan kepala daerah.
Subiakto (2011:24-34) dalam tulisannya mengenai Kontestasi Wacana
Civil Society, Negara, dan Industri Penyiaran dalam Demokratisasi Sistem Penyiaran Pasca Orde Baru mengatakan persaingan yang terjadi pada media
massa yang menurut Robert W. McChesney penguasa media massa yang
sebelumnya ada puluhan, tapi kini tinggal tiga besar. McChesney khawatir, apa
jadinya jika kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik,
dan kekuatan ekonomi, hanya terkonsentrasi pada beberapa orang (McChesney
2000). Bagi Chesney, demokratis tidaknya suatu negara tidak cukup hanya dilihat
dari sistem politiknya. Ia menekankan pentingnya perubahan sistem media
sebagai bagian dari demokratisasi. Untuk mendemokratisasikan masyarakat, harus
pula dilakukan upaya mengubah sistem media .
Kemudian dalam penelitian Pantouw (2012) Modalitas Dalam Kontestasi
mengatakan strategi pemenangan kepala daerah terlihat dari 3 modal utama yang
dimilikinya. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal yang
kedua yaitu modal sosial (sosial capital), dan mmodal yang ketiga yaitu modal
ekonomi (economical capital), menurutnya ketiga modal ini dapat mempengaruhi
seorang kandidat dalam memperoleh dukungan dari masyarakat. Semakin besar
akumulasi modal yang dimiliki oleh seorang kandidat maka semakin besar pula
dukungan yang diperoleh.
1.2.1. Elite
Kata “Elite” digunakan pada abad ketujuh belas untuk menggambarkan
barang-barang dengan kualitas yang sempurna, penggunaan kata itu kemudian
diperluas untuk merujuk kelompok-kelompok sosial yang unggul, misalnya
unit-unit militer kelas satu atau tingkatan bangsawan yang tinggi (T.B. Bottomore,
1996:2).
Dalam Bottomore (1996:2) Vilfredo Pareto mendefinisikan “elite” dalam
beberapa cara. Dia memulai dengan suatu definisi yang sangat umum:
buruk itu . . . Demikian seterusnya untuk semua cabang kegiatan manusia . . . Maka marilah kita membuat suatu kelas manusia yang memiliki indeks-indeks tertinggi dalam cabang kegiatan mereka, dan kepada kelas itu kita memberikan nama elite”.
Vilfredo Pareto (1848-1923) menggunakan kata elit untuk menjelaskan
adanya ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial
(T.B. Bottomore, 1996:2). Pareto percaya bahwa dalam setiap masyarakat
diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang
diperlukan bagi kehidupan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh.
Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan terbaik.
Merekalah yang dikenal sebagai elit.
Elit merupakan orang-orang yang berhasil menduduki jabatan tinggi dalam
lapisan masyarakat. Lebih jauh, Paretto dalam Bottomore (1996:5) membagi kelas
elit kedalam dua kelas yaitu pertama, elit yang memerintah (governing elite) yang
terdiri dari individu-individu yang secara langsung dan tidak langsung memainkan
peranan yang besar dalam pemerintahan. Kedua, elit yang tidak memerintah (
non-governing elite). Jadi menurutnya, dalam lapisan masyarakat memiliki dua lapisan, lapisan yang rendah dan lapisan yang tinggi yang dibagi menjadi dua, elit
yang memerintah dan elit yang tidak memerintah.
Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul
semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang
dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan
Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa disetiap masyarakat,
dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua
muridnya di Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.
Pandangan yang lebih mendalam dikemukakan oleh Dwaine Marvick.
Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang
lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis,
memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau
menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta
tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Kedua, dalam tradisi yang lebih
baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang
menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan
tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau
pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.
Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati
posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,
yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik,
agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh
Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, atau
aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur
dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri,
a. Elite dalam Islam
Dalam komunitas Islam yang menjadi simbol dari elite sosialnya adalah
ulama, kyai, guru ngaji, dan mubalig. Mereka ini, menurut Mulkhan (Jurdi,
2004:24), merupakan elite sosial dan sekaligus sumber utama sosialisasi Islam.
Hubungan antara elite dengan umat diikat oleh suatu ikatan teologis atau ikatan
yang bersifat mekanis sebagaimana konsep Durkheim tentang Solidaritas
mekanik.
Berbagai bentuk hubungan sosial dikembangkan dalam melakukan
sosialisasi nilai-nilai agama, dimana elite agama mempunyai posisi yang lebih
tinggi dalam melakukan penafsiran ajaran agama. Sunyoto Usman (Jurdi,
2004:25) mengatakan bahwa bentuk hubungan sosial dapat bersifat elitis. Elite
agama yang berada di puncak strata sangat leluasa, bahkan monopoli penafsiran
doktrin agama.
b. Elite dalam Politik Lokal
Kajian ini membagi dua kategori elite6 dalam konteks lokal sebagai
berikut, yaitu elite politik lokal dan elite non politik lokal.
A. Elite politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui
pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di
6
tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal
yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elite politiknya seperti
gubernur, bupati, walikota, ketua DPRD, Anggota DPRD, dan pemimpin
partai-partai politik.
B. Elite non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam
lingkup masyarakat. Elite non-politik ini seperti: elit keagamaan, elit
organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi, dan lain sebagainya7.
Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang
lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antar
elit politik maupun elit masyarakat dalam proses pemerintahan daerah.
1.2.2. Kekuasaan
Pandangan ilmuwan sosial di sub sebelumnya menunjukkan bahwa elit
memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang
memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang
dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber
kekuasaan itu bisa berupa kedudukan, status kekayaan, kepercayaan, agama,
kekerabatan, kepandaian dan keterampilan.
7
a. Pengertian Kekuasaan
Michel Foucault, salah seorang filsuf pelopor strukturalisme juga
berbicara tentang kekuasaan. Konsep Kekusasan Foucault dipengaruhi oleh
Nietzsche. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi
pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara
metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua
orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan adalah satu
dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.8 Berdasarkan
uraian yang dijelaskan Faucault terlihat bagaimana kekuasaan terdapat
dimana-mana dan tidak hanya dimiliki oleh satu orang saja, kekuasaan dapat dimiliki
siapa saja dan tidak mengikat.
Defini kuasa diatas diperkuat dengan kuasa yang dijelaskan oleh Danaher,
Schiarto & Webb (Zuska, 2008:4) yang mengatakan “power isn’t a thing that is
either held by, or belongs to, anybody” (kuasa bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun). Dengan demikian setiap orang dapat memainkan kuasa
dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah relasi kuasa
itu tercetak sekali jadi lalu membeku seperti batu. Dengan kata lain, “power is
mobile and contigent” (kuasa itu bergerak dan bergantung).9
Budiardjo mendefinisikan kekuasaan merupakan kemampuan seseorang
atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain,
sesuai dengan keinginan para pelaku10. Maksud dari pengertian ahli tersebut yaitu
ada sesorang atau satu kelompok yang dapat mempengaruhi orang atau kelompok
lainnya untuk berbuat apa yang diinginkannya dalam hal ini kelompok yang
memiliki kekuasaan dapat memerintah kepada kelompok atau individu lainnya.
b. Relasi Kuasa
Keterangan kuasa pada sub sebelumnya menurut Zuska (2008:27)
memberi isyarat bahwa hubungan antar individu atau pelaku, dalam bidang sosial
apa saja, sebenarnya merupakan hubungan kuasa.
“kuasa akan hadir dalam bidang-bidang yang berbeda-beda tingkatnya dalam suatu kebudayaan saat keseluruhan bidang itu menampakkan dirinya sebagai arena untuk pengungkapan hubungan-hubungan kuasa yang diaktivasi secara sosial. Dalam pengertian ini ...., kami menganggap rumah, kantor, atau tempat-tempat rekreasi semuanya merupakan setting bagi relasi kuasa yang aktif” (McGlynn & Tuden, 1993)11
Hubungan-hubungan kuasa ini, agaknya perlu ditambahkan, “are always
susceptibel to reversal” (selalu rentan untuk berlawanan). (Zuska, 2008:27).
Teori tentang jaringan kekuasaan bisa digunakan sebagai alat analisis,
karena didalamnya dapat menjelaskan mengenai jaringan kekuasaan serta sebagai
kepentingan dibalik hubungan seperti apa yang melarbelakangin persaingan atau
kontestasi. Dalam konteks jaringan kekuasaan ini, pemikiran tentang
patron-klien,12 bisa juga dipinjam untuk memperkaya kerangka pemikiran dalam menjelaskan mengenai perebutan kekuasaan (persaingan/kontestasi) di tingkat
lokal. Pengaruh patron terhadap klien, bisa juga untuk menjelaskan mengenai mengapa massa bertindak tertentu dalam konteks konflik kekuasaan, dan tidak
mencoba untuk kritis terhadap pengaruh elit.
1.2.3. Konflik
a. Pengertian Konflik
Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur
masyarakat (Utsman: 2007). Ahli sosial yang lain mengatakan bahwa konflik
adalah sebuah perjuangan individu atau kelompok untuk memenangkan suatu
tujuan yang diinginkan (Persudi Suparlan, 1999:7). Artinya setiap individu atau
kelompok mempunyai kepentingan yang ingin dicapai melalui persaingan dan
perjuangan. Dalam perjuangan memperebutkan kepentingan tersebut, kadang kala
terjadi konflik antar individu atau kelompok karena mereka menempuh cara-cara
yang dipandang melanggar aturan.
Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam
masyarakat. Konflik terjadi antar individu atau antarkelompok yang
memperebutkan hal yang sama, tetapi konflik akan selalu menuju kearah
kesepakatan (consensus). Selain itu, masyarakat tak mungkin terintregrasi secara
permanen dengan mengandalkan kekuasaan paksaan dari kelompok yang
dominan. Sebaliknya, masyarakat yang terintregrasi atas dasar consensus
sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen dengan tanpa adanya paksaan,
konflik dan consensus merupakan gejala-gejala yang tak terelakkan dalam
Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Semua
konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada
komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses
transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara
bersama-sama untuk mencari kebersama-samaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik
(1982: 234).
Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan
secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang
mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu
diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang
berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai„perang dingin‟ antara dua pihak
karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah.
Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber
pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa
konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok
atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga
memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak-pihak yang
terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama
supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara
mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi kembali.
Konflik elit dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor
penyebabnya, motif dan kepentingan-kepentingan politiknya. Dari segi
kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat
oleh orang luar. Pengertian konflik disini merujuk pada hubungan antar kekuatan
politik (kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa memiliki,
sasaran-sasaran yang tidak sejalan13
b. Jenis dan Tipe Konflik
Susan (2010:99) menuliskan bahwa konflik terdiri dari dua jenis yaitu
pertama dimensi vertikal atau “konflik atas” yang dimaksud adalah konflik antara elite dan massa (rakyat). Elite disini bisa para pengambil kebijakan di tingkat
pusat, kelompok bisnis atau para aparat militer. Kedua konflik horizontal, yakni
konflik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) sendiri.
Sedangkan tipe konflik juga terdiri dari dua yaitu konflik laten dan konflik
manifest (nyata atau terbuka). Konflik laten adalah suatu keadaan yang
didalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat
kepermukaan agar bisa ditangani. Sedangkan konflik manifest adalah situasi
ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar sangat dalam dan
sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab
dan berbagai efeknya.
c. Penyebab Konflik
Dari sub sebelumnya dijelaskan adanya dua jenis konflik yakni konflik
vertikal dan juga konflik horizontal. Konflik vertikal sendiri terjadi akibat dari
13
beberapa hal seperti adanya korupsi yang dilakukan elite politik sehingga
membuat massa (masyarakat) menjadi marah, ada juga penyebab konflik karena
adanya kebijakan atau peraturan pemerintah yang merugikan buat masyarakat.
Sedangkan konflik horizontal biasanya terjadi karena ras, agama, suku, budaya
maupun kecemburuan sosial di antara masyarakat.
d. Dampak Konflik
Konflik sejatinya menghasilkan dua dampak yaitu dampak positif dan
negatif. Konflik akan menghasilkan dampak negatif jika konflik itu dibiarkan,
tidak dikelola serta telah mengarah pada tindakan destruktif. Sebaliknya, konflik
akan berdampak positif jika konflik itu dapat dikelola sehingga konflik kemudian
bersifat konstruktif.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Coser (Susan, 2009:53) yang
mengatakan bahwa konflik tidaklah hanya menghasilkan dampak yang negatif
tetapi konflik juga memiliki dampak positif. Hanya saja, menurut Coser fungsi
positif akan diperoleh ketika konflik memang dikelola dan diekspresikan
sewajarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dampak dari konflik
sangat bergantung apakah konflik itu bersifat destruktif ataukah bersifat
konstruktif.
Carpenter dan Kennedy (Susan, 2009:7) mengatakan konflik yang
destruktif senantiasa muncul dalam bentuk kehancuran disemua sisi, seperti
kehancuran tata sosial dan fisik. Konflik destruktif menyertakan cara-cara
korban luka, (2) korban jiwa, (3) kerusakan sarana dan prasarana sosial, (4)
kerugian materil, (5) keretakan dan kehancuran hubungan sosial.
Carpenter dan Kennedy (Susan, 2009:7) melanjutkan bahwa konflik
konstruktif akan muncul dalam bentuk peningkatan kerjasama atau kesepakatan
yang menguntungkan seluruh pihak berkonflik. Adapun dampak positif dari
konflik sosial menurut Coser diantaranya yaitu mampu menciptakan dan
memperkuat identitas dan kohesi kelompok sosial , meningkatkan partisipasi
setiap anggota terhadap pengorganisasian kelompok serta dapat menjadi alat bagi
suatu kelompok untuk mempertahankan eksistensinya (Susan, 2009:55).
e. Penyelesaian Konflik
Rahmadi (2011:12) menuliskan beberapa macam penyelesaian konflik antara lain:
a. Negosiasi
Negosiasi adalah penyelesaian konflik melaluli perundingan langsung
antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik tanpa bantuan
pihak lain. Tujannya adalah menghasilkan keputusan yang diterima dan
dipatuhi secara sukarela.
b. Mediasi
Mediasi adalah suatu penyelesaian sengketa atau konflik antara dua pihak
atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan meminta
bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Mediator
hanya berfungsi memfasilitasi perundingan dan membantu merumuskan
c. Arbitrasi
Arbitrasi adalah cara penyelesaian konflik oleh para pihak yang terlibat
dalam konflik dengan meminta bantuan kepada pihak netral yang memiliki
kewenangan memutuskan. Hasil keputusan dalam arbitrasi dapat bersifat
mengikat maupun tidak mengikat. Dalam arbitrasi, pemilihan arbitrator
adalah berdasarkan pilihan oleh pihak yang berkonflik.
d. Ligitasi
Litigasi diartikan sebagai proses penyelesaian konflik melalui pengadilan.
Pihak-pihak yang merasa dirugikan mengadukan gugatan ke pengadilan
terhadap pihak lain yang menyebabkan timbulnya kerugian. Keputusan
dalam ligitasi adalah bersifat mengikat. Sedangkan pihak berkonflik tidak
memiliki wewenang memilih hakim yang akan memimpin sidang dan
memutuskan perkara.
1.2.4. Pimpinan
Pimpinan14 dalam suatu masyarakat dapat berupa kedudukan sosial, tetapi
juga proses sosial. Kedudukan sosial seorang pemimpin (raja, kepala desa,
direktur, ketua, dan lain-lainnya) membawa sejumlah hak dan kewajiban. Seorang
pemimpin harus dapat membangkitkan masyarakat atau kesatuan-kesatuan sosial
khusus dalam masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial (misalnya
14
dalam perencanaan, pengambilan kepuutusan, pelaksanaan keputusan,
pengawasan pelaksanaan, hingga pengawasan akibat pelaksaan).15
Seorang pemimpin harus memiliki 3 unsur penting untuk dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu: (1) Kekuasaan, (2) Kewibawaan, dan
(3) Popularitas. Walaupun kedua unsur pertama umumnya dianggap sebagai
unsur-unsur yang terpenting, tanpa unsur yang ketiga, seorang pemimpin tak
dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan mantap. Ketaatan pada
seorang pemimpin yang tidak populer adalah ketaatan yang di dasari sikap takut,
atau karena secara adat orang memang harus taat pada pemimpin yang secara sah
dan terlegitiminasi telah mendapat kewenangan.16
Dalam segi hubungan manusia dapat dilihat bagaimana hubungan antara
pemimpin dengan yang dipimpin. Ada kalanya terdapat pemimpin yang
mempunyai kekuasaan yang besar tetapi tidak ada wibawa, sedangkan ada
pemimpin yang berwibawa, bijaksana tetapi tidak memiliki kekuasaan yang nyata.
Uraian tersebut menjelaskan adanya hubungan asimetris yang menyebabkan
bahwa pengaruh hanya berjalan satu arah saja, yaitu dari pemimpin kegolongan
yang dipimpin.17
a. Bentuk-bentuk Kepemimpinan
Dalam buku Koentjaraningrat (1997:173) mengatakan bentuk-bentuk dasar
terpenting dari kepemimpinan dalam masyarakat kecil adalah:
15
Koenjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi Pokok – pokok etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta
16
Ibid
17
1. Pemimpin Kadangkala, pemimpin kadangkala merupakan pemimpin yang
diangkat ketika akan melakukan sebuah kegiatan atau aktivitas. Seperti
pada sekelompok pemburu ketika ingin membuat perangkap tentu perlu
seorang pemimpin yang mengatur anggota. Pada kegiatan lain seperti
acara keagamaan, diperlukan pemimpin untuk memimpin upacara, orang
yang dipilih tentu yang menguasai bidang agama. Dengan kata lain,
pemimpin itu hanya muncul pada saat-saat tertentu, yaitu apabila terjadi
suatu masalah, dan semua orang biasanya tunduk pada orang-orang yang
memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai pemimpin, berdasarkan
keahliannya dalam bidang-bidang tertentu.
2. Pemimpin Terbatas. Pemimpin terbatas maksudnya dalam hal ini adalah
seseorang yang diangkat menjadi seorang pemimpin. Pemimpin ini di
tetapkan oleh kelompoknya, tetapi dalam menjalankan kewenangannya
atau kekuasaannya pemimpin ini memiliki keterbatasan. Pemimpin ini
hanya bisa menggunakan kekuasaan atau wewenangannya terhadap
kegiatan-kegiatan tertentu.
3. Pemimpin Mencakup. Pemimpin ini biasanya terdapat di
masyarakat-masyarakat yang hidup menetap dalam desa-desa yang biasanya
mempunyai pemimpin-peminpin yang wewenangannya tidak terbatas pada
beberapa lapangan saja, tetapi mencakup hampir seluruh lapangan
kehidupan masyarakat. Suatu kepemimpinan seperti itu biasanya didukung
4. Pemimpin Pucuk. Seorang pemimpin pucuk sebenarnya juga seorang
pemimpin mencakup, dengan kekuasaan yang lebih luas, yaitu meliputi
suatu wilayah yang terdiri dari sejumlah kelompok dan desa. Di Indonesia
pemimpin seperti ini disebut dengan gelar “sultan”, “raja”, atau lainnya.
1.3. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah kontestasi atau
persaingan antara masyarakat nelayan yang tinggal di Desa Sei Nagalawan. Dari
uraian latar belakang yang sudah dituliskan di awal maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah apa-apa saja bentuk kontestasi yang
terjadi, bagaimana cara memainkan atau strategi yang dilakukan pada kontestasi
tersebut, dan apa tujuan dari adanya kontestasi itu sendiri.
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di sub sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kontestasi, cara masyarakat
memainkan kontestasi, dan apa sebenarnya tujuan masyarakat berkontestasi.
1.5. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian yang dilakukan ini, peneliti mengaharapkan dapat
1. Menambah pengetahuan bagi peneliti maupun pembaca, khususnya
tentang masalah kontestasi pada masyarakat nelayan di Desa Sei
Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Sebagai bahan literature bagi peneliti lainnya untuk mengkaji atau
membahas permasalahannya yang sama dengan pendekatan maupun
waktu yang berbeda.
3. Sebagai bahan penellitian untuk menyelesaikan tugas akhir (Skripsi)
sebagai syarat menyelesaikan S1 di Departemen Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Tipe Penellitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualtitatif
(Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1991:2) merupakan penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (Moleong,
1991:2) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan dalam peristilahannya.
Dalam penelitian kualitatif ini metode yang digunakan adalah metode
etnografi. Metode penelitian itu sendiri merupakan cara-cara yang digunakan oleh
Etnografi digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia yang
berkaitan dengan perkembangan pengaturan sosial dan budaya tertentu (Spradley,
2006:45). Salah satu tokoh antropologi Indonesia Marzali (2005) mengungkapkan
etnografi merupakan metode lapangan asli antropologi, dengan tidak lain
etnografi merupakan metode lapangan yang khas pada antropologi. Sementara itu
etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan
memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Etnografi
berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan grafein yang berarti menulis,
lukisan, gambaran. Oleh karena itu, etnografi juga bisa dipahami sebagai deskripsi
tentang suatu suku bangsa menyangkut struktur, adat istiadat, dan kebudayaannya.
Tujuan etnografi adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli (native’s point of view), sehingga data yang dikumpulkan adalah
data kualitatif.
1.6.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sei Nagalawan tepatnya di Kampoeng
Nipah Dusun III. Daerah ini merupakan daerah yang terdekat dengan pesisir
pantai yang terdapat tumbuhan mangrove yang dijadikan sebagai objek wisata.
Daerah ini dipilih untuk menjadi tempat penelitian karena didalam daerah ini
terdapat persaingan atau kontestasi diantara dua kelompok yang merebutkan
pengelolaan objek ekowisata mangrove. Polemik dalam pengelolaan mangrove ini
Selain itu terdapat beberapa objek wisata yang terdapat di sepanjang pesisir pantai
Sei Nagalawan ini yang mana terjadi persaingan untuk mendapatkan pengunjung.
1.6.3. Teknik Penelitian dalam Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dalam hal ini yaitu mengumpulkan data-data penelitian
dengan cara membaca dan mengkaji buku-buku atau literature-literatur yang
berkenaan dengan judul penelitian dan masalah yang akan dikaji dalam penelitian
ini. Selain buku-buku dan literature-literature, studi kepustakaan juga mengkaji
hasil penelitian-penelitian terdahulu yang relevan atau sesuai dengan masalah
penelitian yang dikaji, selain itu studi kepustakaan juga menggunakan internet
untuk mencari bahan-bahan yang relevan maupun berkaitan dengan masalah ini.
b. Pengamatan (Observation)
Pengamatan18 ini dilakukan untuk melihat atau mengamati
peristiwa-peristiwa maupun fenomena-fenomena yang terjadi dan juga terlibat langsung
dengan kondisi-kondisi yang terjadi pada saat melakukan penelitian, seperti
mengamatin bagaimana proses pengelolaan wisata yang di lakukan satu kelompok
dan membandingkan dengan pengelolaan tempat wisata yang dilakukan oleh
kelompok lainnya untuk melihat bagaimana persaingan diantara dua kelompok
tersebut terjadi di Desa Sei Nagalawan tepatnya di daerah pesisir Kampoeng
18
Nipah. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti akan menggunakan dua
teknik observasi, yaitu:
Observasi Tanpa Partisipasi
Teknik observasi ini dilakukan hanya sebatas melakukan pengamatan
terhadap masalah yang diteliti tanpa ikut serta kedalam kegiatannya. Teknik ini
melakukan pengamatan untuk melihat aktifas ataupun kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat. Dengan observasi tanpa partisipasi ini peneliti akan memperoleh
data yang dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada.
Observasi Berpartisipasi
Sedangkan teknik observasi partisipasi merupakan teknik yang mana
disamping melakukan pengamatan, peneliti juga ikut serta dalam kegiatan
tersebut, maksudnya peneliti juga melakukan kegiatan yang sedang dilakukan
oleh informan. Sebelum ikut serta kedalam kegiatan informan, hal pertama yang
dilakukan peneliti yakni membuat rapport19dengan informan. Hal ini diperlukan
agar informan dapat terbuka kepada peneliti tentang maslah yang dikaji sehingga
data yang diperlukan dapat diperoleh dengan baik
c. Wawancara Mendalam (Dept Interview)
Teknik wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu, percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atau
19
pertanyaan itu20. Maksud mengadakan wawancara, seperti di tegaskan oleh
Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 19991:89) mengatakan untuk mengkonstruksi
mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,
kepedulian dan lain-lainnya.
Teknik wanwancara mendalam sendiri merupakan teknik wanwancara
yang dilakukan untuk menggali atau memperdalam informasi dari informan
dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kebutuhan dari masalah
yang dikaji dalam penelitian ini, wawancara dalam penelitian ini diawalin dengan
memperkenalkan peneliti dan menjelaskan maksud dari kedatangannya.
Wawancara di awalin dengan menjelaskan permasalahan yang akan dikaji,
bagaimana bisa terjadi persaingan diantara dua kelompok tersebut padahal dua
kelompok tersebut berada pada satu daerah, lalu kemudian jawaban dari informan
selanjutnya akan menjadi awal dari pertanyaan-pertanyaan yang baru.
Dalam teknik wawancara mendalam (dept interview) ini peneliti tidak membawa
atau tidak menggunakan pedoman wawancara saat melakukan wawancara dengan
maksud untuk menciptakan suasana kondisi yang santai dan nyaman menghindari
ketegangan informan pada saat berlangsung proses wawancara antara peneliti dan
informan.
1.6.4. Anilisis Data
Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data
sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian. Oleh karena itu instrumen atau
20
komponen terpenting dalam penelitian kualitatif ini yaitu penelitinya sendiri. Data
yang telah dikumpulkan setiap harinya selama melakukan penelitia, data yang
diperoleh dituliskan kedalam catatan lapangan (filednote). Catatan lapangan
dibuat untuk mengetahui data apa-apa saja yang perlu dipelajarin kembali,
pertanyaan apa yang belum mendapatkan jawaban, metode apa yang harus
digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan mengetahui kesalahan apa saja
yang dapat diperbaiki pada penelitian berikutnya untuk mencari data.
Analisis data diperlukan untuk penganalisaan data yang didapat untuk di
tarik menjadi sebuah kesimpulan secara sistematis untuk mendapatkan sebuah
tulisan tentang penelitian ini.
1.7. Pengalaman Penelitian
Pertama kali penulis datang ketempat penelitian yakni di Desa Sei
Nagalawan ketika tahun 2013. Masyarakat yang tinggal di Desa Sei Nagalawan
khususnya di Dusun III umumnyabermata pencaharian sebagai Nelayan. Penulis
selama di Desa Sei Nagalawan tinggal bersama salah satu warga masyarakat Desa
Sei Nagalawan yakni keluarga Pak Iyan. Pak Iyan sebelum bekerja di perusahaan
ikan fillet merupakan seorang nelayan juga. Di keluarga Pak Iyan ini penulis
tinggal selama berada di Desa Sei Nagalawan.
Banyak informasi-informasi yang disampaikan oleh Pak Iyan ketika kami
berbincang-bincang selama tinggal dirumahnya. Mulai dari suku bangsa yang
pertama kali ada di Desa Sei Nagalawan sampai dengan kegiatan kelompok
dinamika yang terjadi di Desa Sei Nagalawan khusunya pengelolaan lahan
mangrove menjadi tempat wisata.
Rumah Pak Iyan semi-permanent dengan kamar mandi yang berdinding
setinggi dada orang dewasa tidak beratap yang berada di belakang rumah,
sedangkan tempat untuk buang air besar berada jauh di belakang rumah persisnya
di pinggir sungai yang berada di belakang rumah keluarga Pak Iyan. Dengan
keadaan maupun kondisi rumah yang seperti itu membuat penulis merasakan
sebuah situasi kondisi yang tidak seperti biasanya. Pengalaman penulis ketika
tengah malam penulis ingin buang air besar, penulis keluar ke belakang rumah
dengan membawa ember berisikan air bersih yang diambil dari kamar mandi,
setelah itu penulis harus berjalan sekitar 30-an meter ditengah-tengah kebun sawit
untuk bisa mencapai tempat buang air besar yang berada pada sisi sungai.
Pengalaman penulis ketika melakukan wawancara, masyarakat di Desa Sei
Nagalawan sudah terbiasa dengan hadirnya masyarakat luar Desa yang ingin
belajar kepada mereka. Sudah banyak kegiatan-kegiatan mahasiswa yang
dilakukan di Desa Sei Nagalawan. Untuk masyarakat yang tinggal di Desa Sei
Nagalawan khusunya di Dusun III terdapat 2 kelompok masyarakat nelayan yang
bersaing dalam beberapa hal. Mulai dari perebutan lahan mangrove sampai
dengan pengelolaan tempat wisata dan juga bersaig dalam pemilihan kepala Desa.
Penulis dalam mewawancarai mengenai persaingan antara kedua
kelompok tidak menanyakan langsung tentang persaingan yang terjadi. Penulis
mencoba mengajak cerita informan agar mereka sendiri yang bercerita tentang
apa-apa saja kegiatan yang terdapat dalam kelompoknya. Untuk tempat wisata
yang kedua kelompok kelola posisinya berdampingan di pesisir Desa Sei
Nagalawan. Tempat wisata yang akan pertama kali dijumpai ketika kita masuk
Desa Sei Nagalawan iyalah wisata mangrove Kampoeng Nipah, selanjutnya persis