• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontestasi Masyarakat Nelayan (Studi etnografi Mengenai Polemik Dalam Pengelolaan Lahan Mangrove di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontestasi Masyarakat Nelayan (Studi etnografi Mengenai Polemik Dalam Pengelolaan Lahan Mangrove di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian ini mengkaji tentang kontestasi masyarakat nelayan yang terjadi

dalam masyarakat Kampoeng Nipah di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan

Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Kontestasi merupakan sebuah

persaingan, kompetisi, atau perseteruan yang dilakukan antara dua atau lebih

individu maupun kelompok yang bertujuan untuk menjadi pemenang sesuai

dengan aturan dan ketentuan yang berlaku (Firmanzah, 2008:73). Di wilayah Desa

Sei Nagalawan terdapat sebuah persaingan antara dua kelompok. Kedua

kelompok bersaing dalam beberapa hal, mulai dari memperebutkan lahan

mangrove sampai dengan bersaing dalam pengelolaan tempat wisata. Persaingan

terjadi karena kemiskinan yang ada pada masyarakat nelayan.

Menurut Semedi (1994:10-11) dalam bukunya Ketika Nelayan Sandar

Dayung, kehidupan yang ada pada masyarakat nelayan merupakan sebuah

kemiskinan yang bersifat absolut, berikut kutipannya:

(2)

Kemiskinan banyak ditemukan pada kehidupan masyarakat nelayan, seperti yang

dikatakan oleh Semedi (1994:11) “Tema kemiskinan di kalangan nelayan sering terungkap sebagai salah satu lapisan termiskin”.

Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan salah satu faktornya

karena rendahnya penghasilan yang rata-rata mereka dapatkan. Rendahnya

pendapatan nelayan merupakan salah satu akibat dari hasil tangkap yang

berkurang disamping harga jual hasil tangkap yang tidak stabil. Laut sebagai

tempat nelayan mencari nafkah semakin lama mengalami kerusakan. Kerusakan

diakibatkan oleh kemajuan teknologi yang tidak tepat seperti penggunaan pukat

harimau maupun juga adanya kerusakan lahan mangrove yang merupakan tempat

biota laut berkembang biak.

Kemiskinan juga pernah dialami masyarakat nelayan di Desa Sei

Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Menurut Pak

Ahmad Yani yang merupakan salah satu nelayan di Desa Sei Nagalawan, mereka

pernah mengalami kemiskinan dengan tidak mempunyai perlengkapan untuk

melaut, dan juga mempunyai kondisi rumah yang kurang baik. Dengan keadaan

laut yang semakin rusak akibat adanya penggunaan pukat harimau (Pujo, 1994:5),

dan hutan mangrove yang habis ditebangi oleh pengusaha yang membuka lahan

untuk tambak udang, masyarakat nelayan yang pergi melaut menurut Pak Ahmad

Yani sulit mendapatkan hasil tangkap yang besar. Dengan hasil tangkap yang

sedikit menurut ia juga membuat penghasilan nelayan dari malaut menjadi rendah.

Rendahnya pendapatan nelayan diperburuk dengan adanya monopoli yang

(3)

bersangkutan, sedangkan nelayan tidak bisa menjual harga ikan melebihi apa yang

sudah ditentukan toke. Bagi nelayan yang menggunakan fasilitas yang diberikan

toke seperti perahu, jaring, maupun alat tangkap lainnya harus menjual hasil

tangkapnya kepada toke pemberi fasilitas tersebut.

Keinginan keluar dari kemiskinan terus dilakukan oleh masyarakat

nelayan di Desa Sei Nagalawan. Mereka mulai membuat kelompok-kelompok

untuk keluar dari keterikatan toke yang membuat mereka tidak bisa menentukan

harga jual hasil tangkap. Mereka juga memulai kembali menanam lahan-lahan

mangrove yang telah rusak ditebang sebelumnya di pesisir Desa Sei Nagalawan.

Setelah sekian lama menanam dan merawat akhirnya mereka mulai memetik hasil.

Hasil tangkap semakin banyak dan ekosistem laut sedikit demi seikit mulai

membaik.

Keberhasilan masyarakat dalam mengelola hutan mangrove telah

mendapat perhatian pemerintah dan lembaga non-pemerintah. Beberapa

penghargaan yang diperoleh antara lain pemenang Community Entrepreneur

Challenge Wave1 II Agustus pada tahun 2011 dan penghargaan Female Food Heroes Oxfam2tahun 2013 atas inovasi masyarakat mengelola dan memanfaatkan mangrove untuk lingkungan dan perekonomian masyarakat desa.

Keberhasilan yang sudah dicapai oleh sekelompok orang dalam mengelola

hutan mangrove di Desa Sei Nagalawan tentu berpengaruh dengan pendapatan

maupun kesejahteraan yang didapat oleh anggota-anggota yang tergabung dalam

1

Sebuah penghargaan yang diberikan oleh Arthur Guinness Fund (AGF) dan British Council (BC) (sebuah yayasan Inggris) bagi penggiat kewirausahawan sosial berbasis komunitas.

2

(4)

kelompok. Tetapi, bagi masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok itu

pengaruh yang didapat tidak begitu mereka rasakan.

Dalam hal ini adanya kecemburuan sosial ekonomi yang dirasakan oleh

masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok yang mengelola hutan

mangrove. Kecemburuan ini akhirnya yang membuat adanya persaingan di antara

masyarakat di Desa Sei Nagalawan dalam pengelolaan hutan mangrove.

Persaingan bisa terjadi antara kelompok masyarakat yang terdapat di Desa Sei

Nagalawan, individu dengan individu, maupun antara individu dengan kelompok

masyarakat yqng terdapat di Desa Sei Nagalawan.

Dengan keberhasilan yang diperoleh mereka, mulai banyak kelompok lain

yang mengikuti dan akhirnya terjadi persaingan antar individu maupun kelompok.

Persaingan antara individu maupun kelompok terjadi dibanyak tempat. Bentuk-

bentuk kontestasi atau persaingan juga berbeda-beda. Berbeda dengan konflik

yang tujuan utamanya adalah penghancuran pihak lawan, maka dalam kompetisi

atau persaingan tujuan utamanya adalah pencapaian kemenangan melalui

keunggulan prestasi dari pihak-pihak yang bersaing3. Namun, dalam kompetisi

dikatakan juga sebagai sebuah konflik yang terwujud antar individu atau antar

sekelompok individu dengan kelompok individu lainnya (individu-individu

melalui individualitas masing-masing bekerja sama dalam sebuah tim untuk

mengalahkan individu-individu lainnya) dalam sebuah keteraturan.4

Dalam penelitian atau tulisan Permana (2010:5) tentang Kontestasi

Abangan-Santri Pasca Orde Baru memperlihatkan bagaimana kontestasi

3“upa la ,Pa sudi.

Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya . Ju al A t opologi I do esia, No.2, Vol.30, 2006

4

(5)

santri yang terjadi di Desa Ngandong, Kecamatan Gantiwarno, Klaten. Dalam

tulisannya Permana menyebutkan lingkup kontestasi abangan-santri yakni dari

persoalan kecil seperti perdebatan seputar pilihan tontonan tv atau rivalitas klub

sepak bola hingga ke persoalan perebutan kekuasaan. Kontestasi terjadi karena

adanya perbedaan ideologi antara abangan-santri, abangan dalam tulisannya

diartikan sebagai individu muslim jawa yang masih mempertahankan nilai-nilai

kejawen5 atau tradisional Jawa yang lebih dekat secara spiritual. Abangan menganggap dirinya adalah pemeluk Islam dengan cukup membaca tahlil.

Sedangkan Santri melihat bahwa seseorang belum dikatakan Islam bila tidak

melaksanakan syariat terutama ibadah sholat fardhu. Dua kategorisasi kognitif

yang berposisi satu sama lain inilah yang kemudian menegaskan identitas

masing-masing.

Nurdin (2009:15) dalam tulisannya “Antara Negara dan Nagari: Kontestasi

Elit Lokal Dalam Rekonstruksi Nagari Di Minangkabau Pada Masa Otonomi

Daerah” mengatakan ada kontestasi di antara elit lokal yang berbentuk resistensi,

akomodasi, friksi, negoisasi, dan kompromi. Resistensi di sini menurutnya

merupakan resistensi elite demi kekuasaan dalam konteks politik maupun

kebudayaan sehingga terbangunnya kontestasi politik elite lokal. Kontestasi

terjadi karena adanya kebijakan negara yang membuat nama untuk daerah

otonomi terendah dalam pemerintah dengan nama Desa, sedangkan masyarakat di

daerah Minangkabau sudah terbiasa dengan nama Nagari. Sehingga, masyarakat

5

(6)

Minangkabau secara umum memiliki keyakinan bahwa kembali ke nagari adalah

kembali ke adat dan agama sebagai identitas dan jati diri.

Uraian singkat penelitian di atas sedikit menjelaskan bentuk-bentuk dari

sebuah persaingan dan bagaimana bisa persaingan terjadi. Begitu juga dengan

persaingan yang terjadi pada dua kelompok di wilayah Sei Nagalawan dapat

dilihat dari munculnya banyak tempat wisata yang berdiri di sepanjang pesisir

pantai Sei Nagawalan, dan adanya polemik yang terjadi di antara dua kelompok

dalam hal memperoleh pengolahan hutan mangrove yang terdapat di Kampoeng

Nipah yang berada di pesisir pantai sebagai daerah yang memiliki nilai ekonomis

bagi masyarakat daerah Sei Nagalawan..

Dalam kompetisi yang terjadi di antara kedua kelompok tentu terdapat

sebuah kekuasaan yang dapat dimainkan oleh siapa saja baik dalam kelompok

maupun di luar kelompok. Terdapat pola hubungan kuasa di antara individu baik

dalam masyarakat, individu dengan kelompok, maupun dengan pihak luar. Pola

hubungan ini terjadi karena kekuasaan sendiri tidak bisa dimiliki oleh siapapun,

tetapi kuasa dapat dimainkan oleh siapa saja (Zuska, 2008:4).

Dengan beberapa uraian singkat di atas, penelitian ini mencoba mengkaji

bagaimana bentuk-bentuk persaingan atau kontestasi yang terjadi pada masyarakat

nelayan di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang

Bedagai, bagaimana persaingan atau strategi yang terjadi, dan apa tujuan dari

kontestasi tersebut khususnya dalam penggunaan lahan mangrove sebagai tempat

(7)

1.2. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan mengenai kontestasi

yang terjadi pada masyarakat di Indoneisa. Berikut sedikit uraian beberapa

penelitian tentang kontestasi atau persaingan:

Nasrullah (2015:17) dalam tulisannya berjudul Konflik Elit Lokal Dalam

Pemekaran Kecamatan Blang Jerango menyebutkan elit lokal yang terdapat di

dalam pemekaran Kecamatan yakni camat, mantan camat, mantan anggota DPRD,

tokoh agama, tokoh adat. Dalam konflik ini terdapat persaingan antara elit

tersebut untuk menduduki jabatan didaerah hasil pemekaran. Kontestasi atau

persaingan terjadi ketika akan terjadi pemilihan kepala daerah.

Subiakto (2011:24-34) dalam tulisannya mengenai Kontestasi Wacana

Civil Society, Negara, dan Industri Penyiaran dalam Demokratisasi Sistem Penyiaran Pasca Orde Baru mengatakan persaingan yang terjadi pada media

massa yang menurut Robert W. McChesney penguasa media massa yang

sebelumnya ada puluhan, tapi kini tinggal tiga besar. McChesney khawatir, apa

jadinya jika kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik,

dan kekuatan ekonomi, hanya terkonsentrasi pada beberapa orang (McChesney

2000). Bagi Chesney, demokratis tidaknya suatu negara tidak cukup hanya dilihat

dari sistem politiknya. Ia menekankan pentingnya perubahan sistem media

sebagai bagian dari demokratisasi. Untuk mendemokratisasikan masyarakat, harus

pula dilakukan upaya mengubah sistem media .

Kemudian dalam penelitian Pantouw (2012) Modalitas Dalam Kontestasi

(8)

mengatakan strategi pemenangan kepala daerah terlihat dari 3 modal utama yang

dimilikinya. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal yang

kedua yaitu modal sosial (sosial capital), dan mmodal yang ketiga yaitu modal

ekonomi (economical capital), menurutnya ketiga modal ini dapat mempengaruhi

seorang kandidat dalam memperoleh dukungan dari masyarakat. Semakin besar

akumulasi modal yang dimiliki oleh seorang kandidat maka semakin besar pula

dukungan yang diperoleh.

1.2.1. Elite

Kata “Elite” digunakan pada abad ketujuh belas untuk menggambarkan

barang-barang dengan kualitas yang sempurna, penggunaan kata itu kemudian

diperluas untuk merujuk kelompok-kelompok sosial yang unggul, misalnya

unit-unit militer kelas satu atau tingkatan bangsawan yang tinggi (T.B. Bottomore,

1996:2).

Dalam Bottomore (1996:2) Vilfredo Pareto mendefinisikan “elite” dalam

beberapa cara. Dia memulai dengan suatu definisi yang sangat umum:

(9)

buruk itu . . . Demikian seterusnya untuk semua cabang kegiatan manusia . . . Maka marilah kita membuat suatu kelas manusia yang memiliki indeks-indeks tertinggi dalam cabang kegiatan mereka, dan kepada kelas itu kita memberikan nama elite”.

Vilfredo Pareto (1848-1923) menggunakan kata elit untuk menjelaskan

adanya ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial

(T.B. Bottomore, 1996:2). Pareto percaya bahwa dalam setiap masyarakat

diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang

diperlukan bagi kehidupan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh.

Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan terbaik.

Merekalah yang dikenal sebagai elit.

Elit merupakan orang-orang yang berhasil menduduki jabatan tinggi dalam

lapisan masyarakat. Lebih jauh, Paretto dalam Bottomore (1996:5) membagi kelas

elit kedalam dua kelas yaitu pertama, elit yang memerintah (governing elite) yang

terdiri dari individu-individu yang secara langsung dan tidak langsung memainkan

peranan yang besar dalam pemerintahan. Kedua, elit yang tidak memerintah (

non-governing elite). Jadi menurutnya, dalam lapisan masyarakat memiliki dua lapisan, lapisan yang rendah dan lapisan yang tinggi yang dibagi menjadi dua, elit

yang memerintah dan elit yang tidak memerintah.

Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul

semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang

dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan

Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa disetiap masyarakat,

(10)

dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua

muridnya di Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.

Pandangan yang lebih mendalam dikemukakan oleh Dwaine Marvick.

Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang

lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis,

memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau

menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta

tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Kedua, dalam tradisi yang lebih

baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang

menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan

tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau

pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.

Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati

posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,

yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik,

agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh

Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, atau

aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur

dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri,

(11)

a. Elite dalam Islam

Dalam komunitas Islam yang menjadi simbol dari elite sosialnya adalah

ulama, kyai, guru ngaji, dan mubalig. Mereka ini, menurut Mulkhan (Jurdi,

2004:24), merupakan elite sosial dan sekaligus sumber utama sosialisasi Islam.

Hubungan antara elite dengan umat diikat oleh suatu ikatan teologis atau ikatan

yang bersifat mekanis sebagaimana konsep Durkheim tentang Solidaritas

mekanik.

Berbagai bentuk hubungan sosial dikembangkan dalam melakukan

sosialisasi nilai-nilai agama, dimana elite agama mempunyai posisi yang lebih

tinggi dalam melakukan penafsiran ajaran agama. Sunyoto Usman (Jurdi,

2004:25) mengatakan bahwa bentuk hubungan sosial dapat bersifat elitis. Elite

agama yang berada di puncak strata sangat leluasa, bahkan monopoli penafsiran

doktrin agama.

b. Elite dalam Politik Lokal

Kajian ini membagi dua kategori elite6 dalam konteks lokal sebagai

berikut, yaitu elite politik lokal dan elite non politik lokal.

A. Elite politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui

pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di

6

(12)

tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal

yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elite politiknya seperti

gubernur, bupati, walikota, ketua DPRD, Anggota DPRD, dan pemimpin

partai-partai politik.

B. Elite non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam

lingkup masyarakat. Elite non-politik ini seperti: elit keagamaan, elit

organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi, dan lain sebagainya7.

Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang

lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antar

elit politik maupun elit masyarakat dalam proses pemerintahan daerah.

1.2.2. Kekuasaan

Pandangan ilmuwan sosial di sub sebelumnya menunjukkan bahwa elit

memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang

memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang

dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber

kekuasaan itu bisa berupa kedudukan, status kekayaan, kepercayaan, agama,

kekerabatan, kepandaian dan keterampilan.

7

(13)

a. Pengertian Kekuasaan

Michel Foucault, salah seorang filsuf pelopor strukturalisme juga

berbicara tentang kekuasaan. Konsep Kekusasan Foucault dipengaruhi oleh

Nietzsche. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi

pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara

metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua

orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan adalah satu

dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.8 Berdasarkan

uraian yang dijelaskan Faucault terlihat bagaimana kekuasaan terdapat

dimana-mana dan tidak hanya dimiliki oleh satu orang saja, kekuasaan dapat dimiliki

siapa saja dan tidak mengikat.

Defini kuasa diatas diperkuat dengan kuasa yang dijelaskan oleh Danaher,

Schiarto & Webb (Zuska, 2008:4) yang mengatakan “power isn’t a thing that is

either held by, or belongs to, anybody” (kuasa bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun). Dengan demikian setiap orang dapat memainkan kuasa

dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah relasi kuasa

itu tercetak sekali jadi lalu membeku seperti batu. Dengan kata lain, “power is

mobile and contigent” (kuasa itu bergerak dan bergantung).9

Budiardjo mendefinisikan kekuasaan merupakan kemampuan seseorang

atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain,

sesuai dengan keinginan para pelaku10. Maksud dari pengertian ahli tersebut yaitu

(14)

ada sesorang atau satu kelompok yang dapat mempengaruhi orang atau kelompok

lainnya untuk berbuat apa yang diinginkannya dalam hal ini kelompok yang

memiliki kekuasaan dapat memerintah kepada kelompok atau individu lainnya.

b. Relasi Kuasa

Keterangan kuasa pada sub sebelumnya menurut Zuska (2008:27)

memberi isyarat bahwa hubungan antar individu atau pelaku, dalam bidang sosial

apa saja, sebenarnya merupakan hubungan kuasa.

“kuasa akan hadir dalam bidang-bidang yang berbeda-beda tingkatnya dalam suatu kebudayaan saat keseluruhan bidang itu menampakkan dirinya sebagai arena untuk pengungkapan hubungan-hubungan kuasa yang diaktivasi secara sosial. Dalam pengertian ini ...., kami menganggap rumah, kantor, atau tempat-tempat rekreasi semuanya merupakan setting bagi relasi kuasa yang aktif” (McGlynn & Tuden, 1993)11

Hubungan-hubungan kuasa ini, agaknya perlu ditambahkan, “are always

susceptibel to reversal” (selalu rentan untuk berlawanan). (Zuska, 2008:27).

Teori tentang jaringan kekuasaan bisa digunakan sebagai alat analisis,

karena didalamnya dapat menjelaskan mengenai jaringan kekuasaan serta sebagai

kepentingan dibalik hubungan seperti apa yang melarbelakangin persaingan atau

kontestasi. Dalam konteks jaringan kekuasaan ini, pemikiran tentang

patron-klien,12 bisa juga dipinjam untuk memperkaya kerangka pemikiran dalam menjelaskan mengenai perebutan kekuasaan (persaingan/kontestasi) di tingkat

(15)

lokal. Pengaruh patron terhadap klien, bisa juga untuk menjelaskan mengenai mengapa massa bertindak tertentu dalam konteks konflik kekuasaan, dan tidak

mencoba untuk kritis terhadap pengaruh elit.

1.2.3. Konflik

a. Pengertian Konflik

Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur

masyarakat (Utsman: 2007). Ahli sosial yang lain mengatakan bahwa konflik

adalah sebuah perjuangan individu atau kelompok untuk memenangkan suatu

tujuan yang diinginkan (Persudi Suparlan, 1999:7). Artinya setiap individu atau

kelompok mempunyai kepentingan yang ingin dicapai melalui persaingan dan

perjuangan. Dalam perjuangan memperebutkan kepentingan tersebut, kadang kala

terjadi konflik antar individu atau kelompok karena mereka menempuh cara-cara

yang dipandang melanggar aturan.

Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam

masyarakat. Konflik terjadi antar individu atau antarkelompok yang

memperebutkan hal yang sama, tetapi konflik akan selalu menuju kearah

kesepakatan (consensus). Selain itu, masyarakat tak mungkin terintregrasi secara

permanen dengan mengandalkan kekuasaan paksaan dari kelompok yang

dominan. Sebaliknya, masyarakat yang terintregrasi atas dasar consensus

sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen dengan tanpa adanya paksaan,

konflik dan consensus merupakan gejala-gejala yang tak terelakkan dalam

(16)

Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Semua

konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada

komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses

transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara

bersama-sama untuk mencari kebersama-samaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik

(1982: 234).

Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan

secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang

mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu

diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang

berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai„perang dingin‟ antara dua pihak

karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah.

Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber

pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa

konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok

atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga

memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak-pihak yang

terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama

supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara

mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi kembali.

Konflik elit dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor

penyebabnya, motif dan kepentingan-kepentingan politiknya. Dari segi

(17)

kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat

oleh orang luar. Pengertian konflik disini merujuk pada hubungan antar kekuatan

politik (kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa memiliki,

sasaran-sasaran yang tidak sejalan13

b. Jenis dan Tipe Konflik

Susan (2010:99) menuliskan bahwa konflik terdiri dari dua jenis yaitu

pertama dimensi vertikal atau “konflik atas” yang dimaksud adalah konflik antara elite dan massa (rakyat). Elite disini bisa para pengambil kebijakan di tingkat

pusat, kelompok bisnis atau para aparat militer. Kedua konflik horizontal, yakni

konflik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) sendiri.

Sedangkan tipe konflik juga terdiri dari dua yaitu konflik laten dan konflik

manifest (nyata atau terbuka). Konflik laten adalah suatu keadaan yang

didalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat

kepermukaan agar bisa ditangani. Sedangkan konflik manifest adalah situasi

ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar sangat dalam dan

sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab

dan berbagai efeknya.

c. Penyebab Konflik

Dari sub sebelumnya dijelaskan adanya dua jenis konflik yakni konflik

vertikal dan juga konflik horizontal. Konflik vertikal sendiri terjadi akibat dari

13

(18)

beberapa hal seperti adanya korupsi yang dilakukan elite politik sehingga

membuat massa (masyarakat) menjadi marah, ada juga penyebab konflik karena

adanya kebijakan atau peraturan pemerintah yang merugikan buat masyarakat.

Sedangkan konflik horizontal biasanya terjadi karena ras, agama, suku, budaya

maupun kecemburuan sosial di antara masyarakat.

d. Dampak Konflik

Konflik sejatinya menghasilkan dua dampak yaitu dampak positif dan

negatif. Konflik akan menghasilkan dampak negatif jika konflik itu dibiarkan,

tidak dikelola serta telah mengarah pada tindakan destruktif. Sebaliknya, konflik

akan berdampak positif jika konflik itu dapat dikelola sehingga konflik kemudian

bersifat konstruktif.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Coser (Susan, 2009:53) yang

mengatakan bahwa konflik tidaklah hanya menghasilkan dampak yang negatif

tetapi konflik juga memiliki dampak positif. Hanya saja, menurut Coser fungsi

positif akan diperoleh ketika konflik memang dikelola dan diekspresikan

sewajarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dampak dari konflik

sangat bergantung apakah konflik itu bersifat destruktif ataukah bersifat

konstruktif.

Carpenter dan Kennedy (Susan, 2009:7) mengatakan konflik yang

destruktif senantiasa muncul dalam bentuk kehancuran disemua sisi, seperti

kehancuran tata sosial dan fisik. Konflik destruktif menyertakan cara-cara

(19)

korban luka, (2) korban jiwa, (3) kerusakan sarana dan prasarana sosial, (4)

kerugian materil, (5) keretakan dan kehancuran hubungan sosial.

Carpenter dan Kennedy (Susan, 2009:7) melanjutkan bahwa konflik

konstruktif akan muncul dalam bentuk peningkatan kerjasama atau kesepakatan

yang menguntungkan seluruh pihak berkonflik. Adapun dampak positif dari

konflik sosial menurut Coser diantaranya yaitu mampu menciptakan dan

memperkuat identitas dan kohesi kelompok sosial , meningkatkan partisipasi

setiap anggota terhadap pengorganisasian kelompok serta dapat menjadi alat bagi

suatu kelompok untuk mempertahankan eksistensinya (Susan, 2009:55).

e. Penyelesaian Konflik

Rahmadi (2011:12) menuliskan beberapa macam penyelesaian konflik antara lain:

a. Negosiasi

Negosiasi adalah penyelesaian konflik melaluli perundingan langsung

antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik tanpa bantuan

pihak lain. Tujannya adalah menghasilkan keputusan yang diterima dan

dipatuhi secara sukarela.

b. Mediasi

Mediasi adalah suatu penyelesaian sengketa atau konflik antara dua pihak

atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan meminta

bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Mediator

hanya berfungsi memfasilitasi perundingan dan membantu merumuskan

(20)

c. Arbitrasi

Arbitrasi adalah cara penyelesaian konflik oleh para pihak yang terlibat

dalam konflik dengan meminta bantuan kepada pihak netral yang memiliki

kewenangan memutuskan. Hasil keputusan dalam arbitrasi dapat bersifat

mengikat maupun tidak mengikat. Dalam arbitrasi, pemilihan arbitrator

adalah berdasarkan pilihan oleh pihak yang berkonflik.

d. Ligitasi

Litigasi diartikan sebagai proses penyelesaian konflik melalui pengadilan.

Pihak-pihak yang merasa dirugikan mengadukan gugatan ke pengadilan

terhadap pihak lain yang menyebabkan timbulnya kerugian. Keputusan

dalam ligitasi adalah bersifat mengikat. Sedangkan pihak berkonflik tidak

memiliki wewenang memilih hakim yang akan memimpin sidang dan

memutuskan perkara.

1.2.4. Pimpinan

Pimpinan14 dalam suatu masyarakat dapat berupa kedudukan sosial, tetapi

juga proses sosial. Kedudukan sosial seorang pemimpin (raja, kepala desa,

direktur, ketua, dan lain-lainnya) membawa sejumlah hak dan kewajiban. Seorang

pemimpin harus dapat membangkitkan masyarakat atau kesatuan-kesatuan sosial

khusus dalam masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial (misalnya

14

(21)

dalam perencanaan, pengambilan kepuutusan, pelaksanaan keputusan,

pengawasan pelaksanaan, hingga pengawasan akibat pelaksaan).15

Seorang pemimpin harus memiliki 3 unsur penting untuk dapat

menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu: (1) Kekuasaan, (2) Kewibawaan, dan

(3) Popularitas. Walaupun kedua unsur pertama umumnya dianggap sebagai

unsur-unsur yang terpenting, tanpa unsur yang ketiga, seorang pemimpin tak

dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan mantap. Ketaatan pada

seorang pemimpin yang tidak populer adalah ketaatan yang di dasari sikap takut,

atau karena secara adat orang memang harus taat pada pemimpin yang secara sah

dan terlegitiminasi telah mendapat kewenangan.16

Dalam segi hubungan manusia dapat dilihat bagaimana hubungan antara

pemimpin dengan yang dipimpin. Ada kalanya terdapat pemimpin yang

mempunyai kekuasaan yang besar tetapi tidak ada wibawa, sedangkan ada

pemimpin yang berwibawa, bijaksana tetapi tidak memiliki kekuasaan yang nyata.

Uraian tersebut menjelaskan adanya hubungan asimetris yang menyebabkan

bahwa pengaruh hanya berjalan satu arah saja, yaitu dari pemimpin kegolongan

yang dipimpin.17

a. Bentuk-bentuk Kepemimpinan

Dalam buku Koentjaraningrat (1997:173) mengatakan bentuk-bentuk dasar

terpenting dari kepemimpinan dalam masyarakat kecil adalah:

15

Koenjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi Pokok – pokok etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta

16

Ibid

17

(22)

1. Pemimpin Kadangkala, pemimpin kadangkala merupakan pemimpin yang

diangkat ketika akan melakukan sebuah kegiatan atau aktivitas. Seperti

pada sekelompok pemburu ketika ingin membuat perangkap tentu perlu

seorang pemimpin yang mengatur anggota. Pada kegiatan lain seperti

acara keagamaan, diperlukan pemimpin untuk memimpin upacara, orang

yang dipilih tentu yang menguasai bidang agama. Dengan kata lain,

pemimpin itu hanya muncul pada saat-saat tertentu, yaitu apabila terjadi

suatu masalah, dan semua orang biasanya tunduk pada orang-orang yang

memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai pemimpin, berdasarkan

keahliannya dalam bidang-bidang tertentu.

2. Pemimpin Terbatas. Pemimpin terbatas maksudnya dalam hal ini adalah

seseorang yang diangkat menjadi seorang pemimpin. Pemimpin ini di

tetapkan oleh kelompoknya, tetapi dalam menjalankan kewenangannya

atau kekuasaannya pemimpin ini memiliki keterbatasan. Pemimpin ini

hanya bisa menggunakan kekuasaan atau wewenangannya terhadap

kegiatan-kegiatan tertentu.

3. Pemimpin Mencakup. Pemimpin ini biasanya terdapat di

masyarakat-masyarakat yang hidup menetap dalam desa-desa yang biasanya

mempunyai pemimpin-peminpin yang wewenangannya tidak terbatas pada

beberapa lapangan saja, tetapi mencakup hampir seluruh lapangan

kehidupan masyarakat. Suatu kepemimpinan seperti itu biasanya didukung

(23)

4. Pemimpin Pucuk. Seorang pemimpin pucuk sebenarnya juga seorang

pemimpin mencakup, dengan kekuasaan yang lebih luas, yaitu meliputi

suatu wilayah yang terdiri dari sejumlah kelompok dan desa. Di Indonesia

pemimpin seperti ini disebut dengan gelar “sultan”, “raja”, atau lainnya.

1.3. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah kontestasi atau

persaingan antara masyarakat nelayan yang tinggal di Desa Sei Nagalawan. Dari

uraian latar belakang yang sudah dituliskan di awal maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penelitian ini adalah apa-apa saja bentuk kontestasi yang

terjadi, bagaimana cara memainkan atau strategi yang dilakukan pada kontestasi

tersebut, dan apa tujuan dari adanya kontestasi itu sendiri.

1.4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di sub sebelumnya, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kontestasi, cara masyarakat

memainkan kontestasi, dan apa sebenarnya tujuan masyarakat berkontestasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, peneliti mengaharapkan dapat

(24)

1. Menambah pengetahuan bagi peneliti maupun pembaca, khususnya

tentang masalah kontestasi pada masyarakat nelayan di Desa Sei

Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Sebagai bahan literature bagi peneliti lainnya untuk mengkaji atau

membahas permasalahannya yang sama dengan pendekatan maupun

waktu yang berbeda.

3. Sebagai bahan penellitian untuk menyelesaikan tugas akhir (Skripsi)

sebagai syarat menyelesaikan S1 di Departemen Antropologi Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penellitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualtitatif

(Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1991:2) merupakan penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (Moleong,

1991:2) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial

yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam

kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam

bahasanya dan dalam peristilahannya.

Dalam penelitian kualitatif ini metode yang digunakan adalah metode

etnografi. Metode penelitian itu sendiri merupakan cara-cara yang digunakan oleh

(25)

Etnografi digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia yang

berkaitan dengan perkembangan pengaturan sosial dan budaya tertentu (Spradley,

2006:45). Salah satu tokoh antropologi Indonesia Marzali (2005) mengungkapkan

etnografi merupakan metode lapangan asli antropologi, dengan tidak lain

etnografi merupakan metode lapangan yang khas pada antropologi. Sementara itu

etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan

memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Etnografi

berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan grafein yang berarti menulis,

lukisan, gambaran. Oleh karena itu, etnografi juga bisa dipahami sebagai deskripsi

tentang suatu suku bangsa menyangkut struktur, adat istiadat, dan kebudayaannya.

Tujuan etnografi adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang

penduduk asli (native’s point of view), sehingga data yang dikumpulkan adalah

data kualitatif.

1.6.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sei Nagalawan tepatnya di Kampoeng

Nipah Dusun III. Daerah ini merupakan daerah yang terdekat dengan pesisir

pantai yang terdapat tumbuhan mangrove yang dijadikan sebagai objek wisata.

Daerah ini dipilih untuk menjadi tempat penelitian karena didalam daerah ini

terdapat persaingan atau kontestasi diantara dua kelompok yang merebutkan

pengelolaan objek ekowisata mangrove. Polemik dalam pengelolaan mangrove ini

(26)

Selain itu terdapat beberapa objek wisata yang terdapat di sepanjang pesisir pantai

Sei Nagalawan ini yang mana terjadi persaingan untuk mendapatkan pengunjung.

1.6.3. Teknik Penelitian dalam Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dalam hal ini yaitu mengumpulkan data-data penelitian

dengan cara membaca dan mengkaji buku-buku atau literature-literatur yang

berkenaan dengan judul penelitian dan masalah yang akan dikaji dalam penelitian

ini. Selain buku-buku dan literature-literature, studi kepustakaan juga mengkaji

hasil penelitian-penelitian terdahulu yang relevan atau sesuai dengan masalah

penelitian yang dikaji, selain itu studi kepustakaan juga menggunakan internet

untuk mencari bahan-bahan yang relevan maupun berkaitan dengan masalah ini.

b. Pengamatan (Observation)

Pengamatan18 ini dilakukan untuk melihat atau mengamati

peristiwa-peristiwa maupun fenomena-fenomena yang terjadi dan juga terlibat langsung

dengan kondisi-kondisi yang terjadi pada saat melakukan penelitian, seperti

mengamatin bagaimana proses pengelolaan wisata yang di lakukan satu kelompok

dan membandingkan dengan pengelolaan tempat wisata yang dilakukan oleh

kelompok lainnya untuk melihat bagaimana persaingan diantara dua kelompok

tersebut terjadi di Desa Sei Nagalawan tepatnya di daerah pesisir Kampoeng

18

(27)

Nipah. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti akan menggunakan dua

teknik observasi, yaitu:

 Observasi Tanpa Partisipasi

Teknik observasi ini dilakukan hanya sebatas melakukan pengamatan

terhadap masalah yang diteliti tanpa ikut serta kedalam kegiatannya. Teknik ini

melakukan pengamatan untuk melihat aktifas ataupun kegiatan yang dilakukan

oleh masyarakat. Dengan observasi tanpa partisipasi ini peneliti akan memperoleh

data yang dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada.

 Observasi Berpartisipasi

Sedangkan teknik observasi partisipasi merupakan teknik yang mana

disamping melakukan pengamatan, peneliti juga ikut serta dalam kegiatan

tersebut, maksudnya peneliti juga melakukan kegiatan yang sedang dilakukan

oleh informan. Sebelum ikut serta kedalam kegiatan informan, hal pertama yang

dilakukan peneliti yakni membuat rapport19dengan informan. Hal ini diperlukan

agar informan dapat terbuka kepada peneliti tentang maslah yang dikaji sehingga

data yang diperlukan dapat diperoleh dengan baik

c. Wawancara Mendalam (Dept Interview)

Teknik wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu, percakapan

itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atau

19

(28)

pertanyaan itu20. Maksud mengadakan wawancara, seperti di tegaskan oleh

Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 19991:89) mengatakan untuk mengkonstruksi

mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,

kepedulian dan lain-lainnya.

Teknik wanwancara mendalam sendiri merupakan teknik wanwancara

yang dilakukan untuk menggali atau memperdalam informasi dari informan

dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kebutuhan dari masalah

yang dikaji dalam penelitian ini, wawancara dalam penelitian ini diawalin dengan

memperkenalkan peneliti dan menjelaskan maksud dari kedatangannya.

Wawancara di awalin dengan menjelaskan permasalahan yang akan dikaji,

bagaimana bisa terjadi persaingan diantara dua kelompok tersebut padahal dua

kelompok tersebut berada pada satu daerah, lalu kemudian jawaban dari informan

selanjutnya akan menjadi awal dari pertanyaan-pertanyaan yang baru.

Dalam teknik wawancara mendalam (dept interview) ini peneliti tidak membawa

atau tidak menggunakan pedoman wawancara saat melakukan wawancara dengan

maksud untuk menciptakan suasana kondisi yang santai dan nyaman menghindari

ketegangan informan pada saat berlangsung proses wawancara antara peneliti dan

informan.

1.6.4. Anilisis Data

Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data

sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian. Oleh karena itu instrumen atau

20

(29)

komponen terpenting dalam penelitian kualitatif ini yaitu penelitinya sendiri. Data

yang telah dikumpulkan setiap harinya selama melakukan penelitia, data yang

diperoleh dituliskan kedalam catatan lapangan (filednote). Catatan lapangan

dibuat untuk mengetahui data apa-apa saja yang perlu dipelajarin kembali,

pertanyaan apa yang belum mendapatkan jawaban, metode apa yang harus

digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan mengetahui kesalahan apa saja

yang dapat diperbaiki pada penelitian berikutnya untuk mencari data.

Analisis data diperlukan untuk penganalisaan data yang didapat untuk di

tarik menjadi sebuah kesimpulan secara sistematis untuk mendapatkan sebuah

tulisan tentang penelitian ini.

1.7. Pengalaman Penelitian

Pertama kali penulis datang ketempat penelitian yakni di Desa Sei

Nagalawan ketika tahun 2013. Masyarakat yang tinggal di Desa Sei Nagalawan

khususnya di Dusun III umumnyabermata pencaharian sebagai Nelayan. Penulis

selama di Desa Sei Nagalawan tinggal bersama salah satu warga masyarakat Desa

Sei Nagalawan yakni keluarga Pak Iyan. Pak Iyan sebelum bekerja di perusahaan

ikan fillet merupakan seorang nelayan juga. Di keluarga Pak Iyan ini penulis

tinggal selama berada di Desa Sei Nagalawan.

Banyak informasi-informasi yang disampaikan oleh Pak Iyan ketika kami

berbincang-bincang selama tinggal dirumahnya. Mulai dari suku bangsa yang

pertama kali ada di Desa Sei Nagalawan sampai dengan kegiatan kelompok

(30)

dinamika yang terjadi di Desa Sei Nagalawan khusunya pengelolaan lahan

mangrove menjadi tempat wisata.

Rumah Pak Iyan semi-permanent dengan kamar mandi yang berdinding

setinggi dada orang dewasa tidak beratap yang berada di belakang rumah,

sedangkan tempat untuk buang air besar berada jauh di belakang rumah persisnya

di pinggir sungai yang berada di belakang rumah keluarga Pak Iyan. Dengan

keadaan maupun kondisi rumah yang seperti itu membuat penulis merasakan

sebuah situasi kondisi yang tidak seperti biasanya. Pengalaman penulis ketika

tengah malam penulis ingin buang air besar, penulis keluar ke belakang rumah

dengan membawa ember berisikan air bersih yang diambil dari kamar mandi,

setelah itu penulis harus berjalan sekitar 30-an meter ditengah-tengah kebun sawit

untuk bisa mencapai tempat buang air besar yang berada pada sisi sungai.

Pengalaman penulis ketika melakukan wawancara, masyarakat di Desa Sei

Nagalawan sudah terbiasa dengan hadirnya masyarakat luar Desa yang ingin

belajar kepada mereka. Sudah banyak kegiatan-kegiatan mahasiswa yang

dilakukan di Desa Sei Nagalawan. Untuk masyarakat yang tinggal di Desa Sei

Nagalawan khusunya di Dusun III terdapat 2 kelompok masyarakat nelayan yang

bersaing dalam beberapa hal. Mulai dari perebutan lahan mangrove sampai

dengan pengelolaan tempat wisata dan juga bersaig dalam pemilihan kepala Desa.

Penulis dalam mewawancarai mengenai persaingan antara kedua

kelompok tidak menanyakan langsung tentang persaingan yang terjadi. Penulis

mencoba mengajak cerita informan agar mereka sendiri yang bercerita tentang

(31)

apa-apa saja kegiatan yang terdapat dalam kelompoknya. Untuk tempat wisata

yang kedua kelompok kelola posisinya berdampingan di pesisir Desa Sei

Nagalawan. Tempat wisata yang akan pertama kali dijumpai ketika kita masuk

Desa Sei Nagalawan iyalah wisata mangrove Kampoeng Nipah, selanjutnya persis

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (2); (3); (4); dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) huruf d, r, dan f Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang

Guna keperluan pembuktian kualifikasi, diharapkan Saudara membawa semua Dokumen Penawaran yang di Upload ke LPSE, data dan informasi yang sah dan asli, termasuk

[r]

Badan Pusat Statistik, 2008, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan,

Hasil penelitian menunjukan bahwa Proses belajar terjadi peningkatan rata – rata skor 45 pada pra siklus menjadi 44 pada siklus 1 atau meningkat 6 atau 9 %

Dari mana anda mendapatkan informasi mengenai tentang adanya Program KPS di tempat anda.. Apakah ada diadakan sosialisasi mengenai Kartu Perlindungan Sosial (KPS) oleh aparat

Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: (1) pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan keaktifan belajar peserta