• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORDA - Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FORDA - Jurnal"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Daftar Isi

Daftar Isi... ii

Dari Redaksi ... 1

Kontak Pembaca... 1

Susunan Redaksi... 1

Pengembangan Ekspor Produk Hasil Hutan Bukan Kayu Berbasis Tanaman Hutan ... 2

HHBK Minyak Lemak, Potensi yang Perlu Dikembangkan... 7

Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry ... 18

Mengenal Tumbuhan KRATOM ( Korth.) ... 2

Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi ... 24

Pengukuran Warna Kayu dengan Sistem Cielab ... 28

Standar Kayu Lapis Indonesia... 32

Apakah SNI Perlu Banyak? (Kasus Sektor Kehutanan) ... 34

Uji Penetrasi Boron secara Sederhana... 36 D. Martono & Djeni Hendra

Ari Widiyanto & M. Siarudin

Ari Widiyanto

Mitragyna speciosa 2

Freddy J. Hutapea

M. Iqbal

Krisdianto

Paribotro Sutigno

Paribotro Sutigno

Didik Ahmad Sudika

Redaksi menerima tulisan, artikel disertai foto yang relevan. Tulisan merupakan artikel, hasil penelitian, opini, ulasan, peristiwa/ pengalaman terkait bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan. Tulisan maksimal 8 halaman, ukuran kertas A4, jenis font Arial 12, berikut gambar dan foto dengan kualitas fixel tinggi, disertai . Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa merubah substansinya. Tulisan/artikel dikirim ke alamat Redaksi , atau melalui e-mail: publikasi@pustekolah org

FORPRO

FORPRO

soft file .

(3)

Dari Redaksi

Pembaca yang budiman,

Keanekaragaman jenis sumberdaya hutan selain kayu pada hutan tropis Indonesia sangat banyak jenisnya yang dapat dijadikan sebagai komoditi untuk bahan industri maupun dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Komoditas tersebut seperti getah, akar, umbut, kulit, daun dan fauna yang lazim disebut hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dalam rangka peningkatan nilai tambah industri HHBK sangat diperlukan inovasi dan sentuhan teknologi sehingga menjadikan komoditas HHBK tersebut nilai dan manfaatnya menjadi lebih meningkat dan menjadi sumber devisa bagi negara.

PUSTEKOLAH sebagai lembaga riset senantiasa mencari inovasi dan solusi untuk peningkatan nilai HHBK tersebut melalui berbagai kegiatan percobaan penelitian dan pengkajian. Beberapa informasi IPTEK tentang HHBK dikemas dalam bentuk naskah/artikel dan kami sampaikan ke hadapan pembaca seperti apa yang tertuang pada FORPRO terbitan edisi Vol 2, No 1 tahun 2013. Kali ini menyajikan beberapa artikel yaitu: 1. Pengembangan Ekspor HHBK; 2. HHBK Minyak lemak, Potensi yang perlu dikembangkan; 3. Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan dalam Sistim Agroforestry; dan 4. Mengenal Tumbuhan Kratom. Selain itu kami sisipkan pula beberapa artikel tentang; Pengawetan kayu, SNI, Pengukuran warna kayu dan uji penetrasi Boron secara sederhana.

Pemuatan naskah/artikel pada edisi terbitan kali ini semoga dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi pembaca yang akan dan sedang melakukan kegiatan yang serupa, sehingga mendapatkan hasil sesuai yang di-harapkan, ataupun sebagai tambahan informasi yang berharga bagi pembaca secara umum.

Pada tahun 2013 ini tidak terasa setahun sudah usia majalah FORPRO ini lahir dan hadir dihadapan pembaca. Menginjak pada usia tahun kedua ini Redaksi FORPRO berusaha untuk tetap menyajikan IPTEK tentang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, dan mempertahankan apa yang sudah baik serta memperbaiki segala yang masih kurang berdasarkan saran dan masukan pembaca.

Masukan dan saran pembaca terhadap terbitan edisi kali ini sangat diharapkan guna perbaikan dan kesempurnaan terbitan Majalah FORPO edisi berikutnya.

Selamat membaca.

Bogor, Juni 2013 Redaksi Forpro

Pelindung

Dewan Redaksi

Editor

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

Ketua : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Narasumber : 1. Prof. Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc

2. Prof. Ir. Dulsalam, MM 3. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si 4. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 1. Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc 2. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si

3. Drs. M. Muslich, M.Sc 4. Dra. Jasni, M.Si 5. Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc 6. Dra. Gusmailina, M.Si 7. Sujarwo Sujatmoko, S.Hut, M.Sc 8. Setyani Budhi Lestari. Ah.T

Ketua : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian

Anggota : 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut T, M.Sc. 2. Drs. Juli Jajuli

3. Deden Nurhayadi, S.Hut. 4. Sophia Pujiastuti Sekretariat Redaksi

Yth.: Redaksi Majalah FORPRO

FORPRO, sebagai majalah kehutanan semi ilmiah/populer yang penerbitannya baru menginjak 1 tahun, kehadirannya diharapkan dapat “dinikmati” oleh masyarakat pembaca dari semua kalangan. Berikut saran yang saya coba sampaikan demi kemajuan majalah FORPRO.

Setiap tampilan untuk cover depan, FORPRO

memiliki warna dasar (back ground) tertentu yang khas sehingga dapat mencirikan kehadirannya. Foto cover sebaiknya cukup mensiratkan satu tema yang menggambarkan sajian artikel utama dan tidak menampilkan banyak foto. Dalam cover depan tidak juga perlu menampilkan semua judul maupun ulasan singkat artikel/tajuk, karena hal ini bisa dilihat pada daftar isi. Singkatnya, cover depan dapat dibuat semenarik mungkin dengan tampilan yang khas, sederhana (sedikit foto/gambar) dengan menampilkan informasi artikel utama yang sedang hangat, menarik dan mudah untuk dibaca. Penempatan artikel/tajuk utama memerlukan kesepakatan dan penilaian oleh dewan redaksi.

Isi, substansi tajuk utama hanya satu saja dan merupakan “issue” utama bahasan dalam setiap kali terbitan, selebihnya bisa berupa artikel-artikel dan rubrik-rubrik seperti pedoman/petunjuk ringan yang terkait dengan informasi pengelolaan hasil hutan.

Agar pembaca tetap tertarik dan setia menunggu, Forpro dapat melakukan dengan cara membuka rubrik tanya jawab seputar informasi pengolahan hasil hutan, dan sebagai penghargaan atas kontribusinya terhadap keberlangsungan FORPRO, sebaiknya penulis tetap mendapatkan reward atas karyatulisnya.

Demikian... semoga segenap pengurus tetap enerjik dan bersemangat sehingga FORPRO bertambah informatif, menarik, mudah dan layak dibaca oleh semua kalangan.

Bogor, Juni 2013 Salam,

ANDIANTO, S. Hut, M.Si

---

---Yth. Pak Andianto,

Terima kasih pak Andianto atas segala kritikan dan sarannya yang membangun, tentu akan kami coba dan dipertimbangkan demi peningkatan kualitas terbitan majalah Forpro yang lebih baik dan enak dibaca oleh semua kalangan.

(4)

Tajuk Utama

BERBASIS

TANAMAN HUTAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

PENGEMBANGAN EKSPOR PRODUK

I. PENDAHULUAN

Hutan adalah suatu ekosistem tumbuhan dan hewan yang tumbuh dan hidup berkembang pada suatu lahan, dimana flora dan fauna yang berada di tempat itu saling berinteraksi secara alami tanpa ada unsur campur tangan manusia, sehingga membentuk suatu kestabilan formasi, biodiversitasnya dan produktivitasnya. Pada setiap tahapan waktu secara alami sering mengalami perubahan yang selalu berkembang dalam keseimbangan, pada setiap tahapan ini sering disebut sere (Odum, 1964). Setiap sere akan selalu berkembang mencapai puncaknya yang stabil dalam perkembangan suksesinya. Pemanfaatan tanaman, bagian tanaman, hewan atau satwa pengisi formasi hutan oleh manusia sebagai penyangga kebutuhan natura dan kehidupan, maka setiap waktu itu pula mengalami d i n a m i k a p e r u b a h a n f o r m a s i m e n u j u s u a t u kesetimbangan ekologisnya. Jika frekuensi perubahan itu dalam waktu singkat sudah tinggi akan terjadi penurunan formasi dan nilai biodiversitasnya, tentu akan terjadi perubahan yang sangat drastis, bukan lagi di sebut sebagai ekosistem hutan. Oleh karenanya dalam pengelolaan hutan yang terkait dalam pemanfaatannya, pemerintah menetapkan suatu kebijakan pengaturan pemanfaatannya terutama dalam hal pemungutan material dari dalam hutan, diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Minyak atsiri, resin, minyak lemak, getah getahan, madu, kulit-kulit kayu, serta rempah merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada awal kehidupan manusia juga berasal dari hutan, dalam perkembangannya untuk m e m u d a h ka n p e m u n g u ta n d a n m e n i n g kat ka n produktivitas karena memberikan nilai komersial, oleh masyarakat dibudidayakan yang semula dalam skala kecil di pekarangan, kebun dan meluas menjadi suatu areal pertanaman perkebunan yang luas. Minyak atsiri, madu, resin, rotan dan bambu merupakan salah satu unggulan sebagai hasil hutan bukan kayu.

Potensi hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat besar sekali baik volume maupun ragam jenisnya. Secara umum hasil hutan bukan kayu dikelompokkan menjadi 8

(delapan) kelompok komo-ditas sesuai Permenhut No. 35/2007 yaitu :

1. Kelompok Resin 2. Kelompok Minyak Atsiri

3. Kelompok Minyak Lemak, Pati dan Buah-buahan

4. Kelompok Tanin, Bahan Pewarna dan Getah 5. Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias

6. Kelompok Palma dan bambu (rotan, bambu dan lainnya)

7. Kelompok Alkaloid 8. Kelompok Lainnya.

Peranan hasil hutan bukan kayu dalam pengelolaan hutan secara lestari sangat besar terutama dalam upaya pembangunan masyarakat sekitar hutan dan konservasi sumberdaya alam secara bersamaan. Arnold dan Ruiz Perez (1998) menyatakan bahwa :

a. Hasil hutan bukan kayu akan lebih banyak memberi manfaat dan keuntungan bagi masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan, karena hutan mampu menyediakan berbagai keperluan kehidupan seperti sumber makanan, obat-obatan, bahan sandang dan perkakas rumah tangga. Di samping itu akan mendorong partisipasi masyarakat untuk menjaga kelestariannya.

b. Dalam pemanenan hasil hutan bukan kayu relatif lebih kecil dampaknya bila dibandingkan dengan kegiatan pembalakan kayu ( ).

Berawal dari pengertian dan pandangan ini berbagai pihak memberi perhatian dan melakukan berbagai kegiatan pengembangan maupun juga penelitian yang bertujuan untuk pengembangan dan pemanfaatannya untuk pengusahaan hasil hutan kayu. Kenyataannya hasil yang diperoleh atau direkomendasikan, jika dilakukan secara meluas sering terjadi kontradiktif yang justru menimbulkan dampak yang merugikan, bahkan menurunkan kualitas hutannya sendiri. Hal tersebut terjadi karena setiap kegiatan yang dilakukan dengan metodologi yang beragam (Ruiz Perez and Byron, 1999).

logging

(5)

-et al.,

Kegiatan-kegiatan pengusahaan hasil hutan bukan kayu dan pengembangannya secara umum memiliki keterbatasan karena tanpa memperhitungkan karak teristik biofisik lokasi kegiatan serta faktor-faktor yang sangat mungkin mempengaruhi dalam mencapai keberhasilan pengusahaan hasil hutan bukan kayu tersebut (Godoy 1993).

Dengan keterbatasan sifat hasil hutan kayu tersebut di atas, saran, kesimpulan ataupun rekomendasi dari hasil suatu penelitian umumnya bersifat spesifik pada lokasi dan keadaan di tempat penelitian itu dilakukan dan sering berbeda jika di aplikasikan secara meluas. Pengembangan pengusahaan hasil hutan bukan kayu, sebenarnya masalah pelestarian masih belum sepenuhnya dipahami. Jika pengusahaan dilakukan terus secara kontinyu, belum tentu memberi nilai tambah dan manfaat bagi masyarakat di tempat itu (Martono, 2010). Untuk itu masih diperlukan suatu pendekatan lagi yang dipadukan dengan suatu kegiatan secara holistik menyeluruh segala aspek perlu dikaji yang lebih mendalam.

Permasalahan dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu diantaranya yaitu :

1. Regulasi dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu masih terbatas, belum dapat menjangkau untuk setiap komoditas yang akan diatur dalam regulasinya karena keterbatasan sumber informasi penyebaran, potensi, dan teknologi tepat guna dalam pemanfaatannya. 2. Informasi potensi dan kelayakan usaha belum

memadai, belum cukup data pendukung untuk regulasi. Jaringan pasar komersial untuk menyerap hasil produksi belum tersedia dan pelaku usaha masih tidak jelas selalu berubah.

II. KONDISI PENGUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

SAAT INI

3. Belum optimalnya peran kelembagaan untuk men-dorong pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

4. Dukungan teknologi pengolahan, teknik budidaya dan rantai pemasaran hasil hutan bukan kayu belum memadai serta keterbatasan sumber daya manusia yang mengelolanya.

5. Standarisasi produk masih belum memadai, teknologi pada setiap komoditas bervariasi sehingga peningkat-an kualitas untuk setiap komoditas perlakupeningkat-annya ber-beda yang menyulitkan tenaga pembinaan lapangan pada industri primernya.

6. Dalam meningkatkan pengembangan usaha komoditas hasil hutan bukan kayu akses permodalan yang sulit, tingkat teknologi pengolahan di lokasi yang terpencil sering kesulitan mendapatkan sarana penunjang dalam penerapan teknologinya, untuk membantu akses pemasaran dan pembinaan pada daerah yang menyebar luas dan terpisah pisah karena kondisi geografis sulit dilakukan.

Berbagai tipologi pengusahaan hasil hutan bukan kayu selalu berbeda sehingga penerapan regulasi, pembinaan, akses bantuan kelembagaan sering terkendala masalah geografis dukungan sarana tranportasi yang masih sangat minim menyebabkan tersendatnya untuk mengembag-kan. Unggulan komoditas hasil hutan bukan kayu dari suatu daerah belum tentu akan berhasil jika diterapkan pengusahaan untuk daerah lain, hal ini sangat terkait masalah dukungan berbagai faktor yang juga mem-pengaruhi selain sumber daya manusianya sendiri. Demikian juga sarana transportasi untuk aktifitas produksi dan pemasarannya.

Pada setiap komoditas hasil hutan bukan kayu sistem produksinya mempunyai karakter yang berbeda diantara jenis hasil hutan bukan kayu (misal masoi, kulit kulilawan, pakanangi, damar mata kucing, nilam, kenanga, madu) sehingga penetapan regulasi serta pembinaannya juga tidak sama, hal ini sering masyarakat melihatnya bahwa aturannya tidak jelas atau berubah-ubah yang menyebab-kan lambatnya pengembangan. Pada komoditas per-tanaman yang menghasilkan resin, minyak atsiri, rempah-rempah, minyak lemak keadaannya juga sama, pengaturan penerapan perizinan pemungutan terutama yang berasal dari hutan perlu dikaji untuk setiap daerah (Martono, 2010).

(6)

pemasaran stabil. Keadaan tersebut pada beberapa aspek secara umum untuk setiap komoditas hasil hutan bukan kayu mempunyai karakteristik yang berbeda, menjadikan hambatan dalam pengembangan. Nilai tambah dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu masih rendah karena masyarakat hanya memungut atau memproduksi masih bersifat bahan mentah, belum mengalami pengolahan lanjutan yang dapat langsung diperlukan konsumen akhir. Hal ini terlihat seolah-olah tidak memberi kontribusi masyarakat yang mengusahakan untuk meningkatkan pendapatan.

Dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu telah diatur dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999, secara tertulis bahwa pengusahaannya jelas dalam pengaturan pemungutan, baik pada berbagai kondisi dan tipe hutan sumber penghasil hasil hutan baukan kayu yaitu tertuang pada :

1. Pasal 26 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari dalam kawasan hutan lindung, langkah dan pengaturan pemanfaatan yang dijinkan.

2. Pasal 27 : berisi tata aturan ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan ataupun dalam koperasi.

3. Pasal 28 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat juga dilakukan pada kawasan hutan produksi selain pemanfaatan kayunya.

Dari aturan-aturan tersebut dalam pelaksanaan secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah N0 6 Tahun 2007 yang secara rinci menyebutkan :

a. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 26 yaitu pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung,. Sedangkan pada pasal 43 pengaturan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam produksi dan pasal 44 pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan tanaman yang dikelola. b. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 117 - 120

: berisi mengatur pengendalian dan pemasaran hasil hutan melalui penataan hasil hutan secara umum. Untuk penetapan jenis serta pengukuran volume ataupun berat dan jumlah dilakukan oleh petugas yang berwenang yaitu aparat kehutanan setempat yang ditunjuk dan diserahi kewenangan setelah mendapat sertifikasi sebagai penguji. Pengeluaran dokumen yang menerangkan dalam

SKSHH) untuk mengiringi dalam dokumen pengangkutan material fisik atas dasar kesesuaian dari hasil pengukuran dan pengujian aparat yang ditunjuk. c. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 121 :

berisi mengatur, membina dan mengembangkan III. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN HASIL

HUTAN BUKAN KAYU

Surat Keterangan tentang Sahnya Hasil Hutan (

pemasaran hasil hutan baukan kayu yang belum diolah ke pasar dalam negeri sebagai bahan baku untuk komoditi yang bersifat komersial. d. Peraturan Pemerintah No 59 / 1998 :

bahwa pengenaan tarif untuk hasil hutan bukan kayu dimasukkan sebagai

Pendapatan Negara Bukan Pajak pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, sedangkan besarnya patokan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) diatur pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag No. 08/ M-DAG/PER/2/2007).

Dalam pelaksanaan agar efektif pelayanannya, maka kepada Pemerintah Daerah diberi kewenangan mengatur, membina dan mengembangkannya.

Dalam ijin usaha yang dimaksud pada Permenhut No 35/2008 (P.35/Menhut-II/2008) pengertian ijin usaha industri primer hasil hutan bukan kayu, adalah ijin untuk mengolah hasil hutan bukan kayu, menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang ijin oleh pejabat yang berwenang. Atas dasar tenaga kerja yang terlibat dalam usaha ini dikelompokkan atas dasar skala usaha yaitu : Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala kecil jika tenaga kerja kurang dari 50 orang.

Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala menengah jika tenaga kerja 50 s/d 100 orang

Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala besar jika tenaga kerja lebih dari 100 orang.

Dalam pelaksanaan berusaha setiap pemegang ijin harus mempunyai Tanda Daftar Industri (TDI) yang penerbitannya di lakukan oleh pihak Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota), mekanismenya diserahkan pengaturan pihak pemerintah daerah setempat. Upaya pemberian ijin usaha sebagai pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, dalam pemberdayaan dan mensejahtera-kan, tumbuhkan kesadaran menyangkut untuk pemeli-haraan kawasan hutan yang berada disekitar tempat tinggal. Selain itu, meningkatkan devisa dan terciptanya lapangan kerja, pemanfaatan hasil hutan kayu dilakukan secara optimal didukung kemajuannya agar pengembang-an daerah juga sejalpengembang-an dengpengembang-an perkembpengembang-angpengembang-an usaha di tingkat pusat. Dalam kaitan pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, tentunya perlu kejelasan pertelaan jenis-jenis tanaman hutan sebagai penghasil produk tersebut, agar dicapai ke-sepakatan bagi aparat di daerah dalam pemberian ijin usaha.

Adapun jenis-jenis tanaman penghasil minyak atsiri disajikan pada tabel 1.

(7)

No Nama Indonesia Nama Latin Produk 1. Akar wangi Andropogon aciculatus Minyak akar wangi

2. Cantigi Gaulsharia fragantisisima Minyak gandapura

3. Cendana Santalum album Minyak cendana

4. Cendana semut Exocarpus latifolia Minyak cendana

5. Ekaliptus Eucalyptusspp Minyak ekaliptus

6 Gaharu Aquilariaspp; Gyrinopsspp; Gonystilus

spp; Enkleiaspp; Actoxylonspp;

Wkstromiaspp

Minyak gaharu

7 Kamper Cinnamomum camphora Minyak kamper

8. Kayu manis Cinnamomum burmanii ; C zeylanicum Minyak kayu manis

9. Kayu putih Melaleuca cayuputi Minyak kayu putih

10. Kembang mas Asclepias curassava Minyak kembang mas

11. Kenanga Cananga odoratum Minyak kenanga

12. Keruing Dipterocarpussp Minyak keruing

13. Kilemo Litsea cubeba Minyak kilemo

14. Lawang Cinnamomum cullilawan Minyak lawang

15. Masohi Cryptocarya masoi Minyak masohi

16. Pakanangi Cinnamomum Minyak pangi

17. Sintok Cinnamomum sintok Minyak sintok

18. Trawas, krangean Litsea odorifera Minyak trawas

19. Tusam Pinus merkusii Terpentin

20. Ylang-ylang Cananga latifolia Minyak ylang-ylang Tabel 1. Kelompok Tanaman Penghasil Minyak Atsiri (berdasar Permenhut 35)

getah penambal lambung perahu kayu, minyak lemak, minyak atsiri yang berasal dari tanaman hutan masih banyak lagi namun belum tergali dan teridentifikasi serta diperdagangkan secara luas, sehingga dalam pengem-bangan minyak atsiri selama ini terbatas dari usaha yang telah dilakukan oleh masyarakat adat ataupun oleh masya-rakat sekitar hutan, demikian juga madu serta minyak kayu putih, minyak lemak kemiri, minyak krangean lokal daerah. Sehingga pihak aparatur pemerintah hanya memfasilitasi serta mengarahkan untuk pengaturan kelestarian sumber daya alam agar tetap lestari. Sedangkan yang bersifat eksploratif masih dikembangkan, namun sejauh ini hanya terbatas pada kegiatan penelitian, belum dapat dilepas sebagai komoditas perdagangan bebas. Demikian juga potensi dan keragaman jenis masih banyak belum tergali secara optimal, karena keterbatasan sumber daya manusia yang menekuni bidang hasil hutan bukan kayu, hanya sedikit dan tersebar di beberapa daerah di propinsi. Sehingga jalinan komunikasi untuk saling berinteraksi dan

tukar informasi terkendala, untuk saling memajukan kegiatan pengembangan di bidang hasil hutan bukan kayu.

Untuk mengembangkan hasil hutan bukan kayu mengingat jenis komoditas sangat banyak mencapai ± 565 komoditas berdasar Permenhut P.35 /Menhut-II/2007, maka ditetapkan fokus pada jenis unggulan setiap daerah, penetapan jenis unggulan ini tentu didasari pertimbangan dan sumber informasi mengenai potensi, peluang untuk pengembangan serta pelaku usaha pada komoditas tersebut. Penetapan indikator ini didasarkan atas indikator dan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 21/Menhut-II/2009 yaitu berupa : 1. Aspek yang dinilai mencakup kriteria : ekonomi, kondisi

(8)

2. Kriteria ekonomi diberi pembobotan cukup tinggi yaitu 35 %, mencakup nilai perdagangan ekspor, nilai perdagangan lokal, telah tersedia pasar internasional, sehingga berbagai kebijakan yang mendukungnya akan berdampak pada pemasukan devisa tinggi, maupun peningkatan perekonomian yang mencakup wilayah serta tenaga kerja dan pelaku usaha tersebar luas. 3. Pembobotan kriteria biofisik dan lingkungan sebesar

15%, meliputi jika komoditas ini diusahakan jaminan kelestarian biofisik terjaga dan lingkungan yang ada tetap mendukung jika nilai pembobotan ini rendah maka pemulihan ekosistemnya masih dapat teratasi. Terbaik jika masyarakat telah menbudidayakan diluar areal kawasan hutan.

4. Kriteria kelembagaan sebesar 20%, pembobotannya meliputi apakah alur tataniaga dan pelaku usahanya tetap, teridentifikasi secara jelas, sebagai bentuk badan usaha yang tetap sehingga dalam pembinaan ke pelaku usaha dapat berjalan lancar dan baik.

5. Pembobotan kriteria sosial 15%, mencakup bagaimana peranannya dalam tata kehidupan masyarakat memberi pengaruh terhadap lapangan pekerjaan, tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat serta tidak bertentangan dengan adat setempat .

6. Pembobotan kriteria teknologi 15%, mencakup nilai kegiatan untuk mengusahakan komoditas tersebut, teknologi yang tercurah dalam proses pengolahannya masih dapat terjangkau bagi pelaku usaha, baik kemampuan sumberdaya manusia maupun modal yang digunakan secara keseluruhan tidak lebih dari nilai 15%, artinya tidak mempengaruhi proses secara keseluruhan.

7. Atas dasar nilai-nilai pembobotan tersebut untuk setiap komoditas, diberikan nilai skoring, sehingga dapat ditetapkan jenis komoditas unggulan pada setiap provinsi, kabupaten / kota dan lokasi.

Dalam pengembangannya sesuatu jenis komoditas dapat menjadi sentra jika unggulan ini memberikan manfaat dan peningkatan kemajuan perekonomian pada lokasi daerah penghasil hasil hutan kayu unggulan. Untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu unggulan, dibentuk klaster-klaster agar pengembangan sarana dan infra struktur dan pembinaan lebih mudah dan terpantau terus. Pembentukan klaster ini oleh Kementerian Kehutanan telah ditetapkan sedikitnya memerlukan waktu 5 (lima ) tahun, dengan pengertian pada tahap I (3 tahun pertama) persiapan infra struktur, tahap II (tahun ke 4) tahapan produksi masal sesuatu komoditas di tempat tersebut dan tahap III (tahun ke 5) kegiatan pengembangan produksi dan inovasi-inovasi kemajuan produksi. Pembentukan klaster ini akan terbentuk sentra produksi, sehingga dapat dikembangkan

( , misal sentra madu lebah di Sumbawa, sentra rotan di Katingan dan sentra bambu di Bangli serta sentra gaharu di Bangka Belitung. Dalam kaitan inilah peningkatan produksi dan kualitas dapat terfokus pada sentra tersebut.

one village one products OVOP)

V. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNTUK EKSPOR

Pengembangan pertanaman yang menghasilkan minyak atsiri, resin, kulit kayu, getah maupun produk lainnya yang berasal dari tanaman hutan, tidak terlepas dengan program penetapan unggulan yaitu terkait dengan kriteria, agar segala program dapat saling terkait dan mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia, kelembagaan yang terkait dengan penerapan teknologi dan kelancaran berproduksi. Hal tersebut perlu didukung permodalan, sehingga nilai ekonomi yang telah ditetapkan dapat memberikan hasil dan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat ditempat penghasil. Akhirnya akan mampu berdaya saing, baik tingkat nasional maupun internasional (Martono, 2010). Selain itu, juga tidak terlepas keseimbangan dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu agar tetap lestari dan tetap memberikan nilai tambah. Peningkatkan diversifikasi produk lanjutan agar tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah saja. Namun sudah menjadi bahan antara atau dapat dipakai oleh konsumen, sehingga perlu memacu pengembangan variasi produk dari jenis unggulan. Kestabilan harga pasar agar lestari perlu menyeimbangkan pasokan dan kebutuhan. Mengingat selama ini produk hasil hutan bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, jika pemungutan berlebih akan menurunkan harga jual. Pemikiran selama ini, secara umum ketersediaan di lapangan, orang beranggapan tinggal memungut, maka pihak aparat pemerintah setempatlah yang mengatur ijin pemungutan, peredaran dan pemasarannya. Dengan demikian, pemungutan akan terkendali, diikuti peningkatan dan fasilitasi budidaya, sehingga dibentuklah program pelatihan teknik budidaya, pelatihan pengolahan bahan baku yang lebih efisien dan tetap sesuai standar produk yang telah ditetapkan dalam Standard Nasional Indonesia (SNI), misal standar gaharu, standar gondorukem (terpentin), standar minyak kayu putih, standar madu, standar minyak gandapura dan lainnya.

(9)

menjaga fungsi, tidak berubah dari fungsi sebelumnya, dan ttap memperhatikan keterkaitan dengan masyarakat sekitar hutan tersebut. Sebagai pelaku usaha dapat membentuk koperasi maupun kelompok atau gabungan dari beberapa kelompok tani, yang mengusahakan diantara pertanaman pohon hutan (dapat berupa tumpang sari) asalkan pada areal tersebut belum terbebani izin pemanfaatan lain atau izin pengelolaan lain. Selain itu dapat dikembangkan sebagai Hutan Desa yaitu pada kawasan hutan yang kondisinya rusak tetapi dapat dimanfaatkan untuk pertanaman usaha budidaya tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu, justru bagi kelompok inilah yang diberi bantuan permodalan berupa kredit ringan dengan pengembalian berjangka sesuai lama pengusahaan. Hingga saat ini pihak pemerintah (Kementerian Kehutanan) telah mentargetkan sebesar 400.000 hektar namun baru terealisasi, setelah di evaluasi dan diverifikasi tahun 2010 seluas 203.573,18 Ha, pada 17 Provinsi, 46 kabupaten. Hingga tahun 2010 perluasan tanaman hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan telah ditetapkan berdasar SK Menhut seluas 31.879,36 ha meliputi 88 unit pada 11 kabupaten (Ditjen RLPS, 2010).

Hal tersebut pada hakekatnya sebagai upaya pelaksanaan program komitmen RI di tingkat internasional, yaitu penurunan emisi sebesar 26% dan pihak Kementerian Kehutanan sebesar 14%, dalam bentuk pembangunan hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, hingga tahun 2014 target 2,5 juta hektar (Renstra Kementerian Kehutanan). Untuk pembangunan kegiatan ini telah ditetapkan dalam peraturan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, yaitu Perdirjen RLPS P.01/2010. Untuk mendukung program ini telah ditetapkan juga kebun bibit rakyat 50 ribu hektar dengan target tahun 2010 sebanyak 8.000 desa untuk dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Diharapkan dengan strategi tersebut pengembangan pertanaman penghasil hasil hutan bukan kayu berbasis tanaman hutan juga memacu pengembangan kehutanan secara umum dalam pengurangan emisi nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, J.E. and M, Ruiz Perez. 1998. The role of Non Timber Forest Products in conservation and development pp. 17-41 in Income from the forest Wolenberg, E. and A. Ingles (eds) CIFOR/IUCN Bogor Indonesia.

Badan Pusat Statistik, 2004.

1999-2003. Jakarta.

Bina Produksi Kehutanan, 2009. Kebijakan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Seminar Sosialisasi Pengusahaan Hasil Hutan Kayu. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran. Swiss Bell Hotel, Palu Juni 2009.

Departemen Pertanian, 1999. 1998-2000, Jakarta.

Godoy, R. R.Lubowski and A.Markandya. 1993. A Method for the economic valuation of Non Timber Forest products. Econ.Bot.47 (3)220-233.

Gunther, E. 1952. , Vol. IV, Van Nastrand co, Inc. New York.

Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48 .tentang Pembentukan Hutan Desa.

Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 35. tentang penetapan jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang dapat diusahakan.

Lembaran Negara, 2007. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. tentang Legalitas Pehutanan Sosial dalam Kawasan Hutan Negara.

Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. 37 tentang Pembentukan Hutan Kemasyarakatan.

Martono,D. 2010. Pengembangan Industri Minyak Atsiri Berbasis Tanaman Hutan. Prosiding Konferensi Nasional Atsiri. Dewan Atsiri Indonesia, 21-24 Oktober 2010, Bandung.

Odum, E.P. 1971.Fundamental of Ecology, 3'd Ed.W.B.Saunders Company San Fransisco pp. 128-137, 145-195.

Rohadi, D. B. Belcher, M, Ruis Perez dan R, Achdiawan. 1999. Studi perbandingan kasus-kasus pengusahaan hasil hutan bukan kayu di Indonesia. Seminar Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kerja sama Luar Negeri. Badan Litbang kehutanan dan Perkebunan, Jakarta, 24-25 Nopember 1999.

Perkembangan ekspor minyak atsiri Indonesia

Statistik Perkebunan Indonesia

(10)

Tajuk Utama

engan makin terbatasnya jumlah dan izin eksploitasi kayu, maka produk-produk non kayu terus coba di-kembangkan, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta. Dalam perkembangannya, beberapa produk-produk non kayu, atau lebih dikenal sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termyata memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Diantaranya adalah gaharu, damar, rotan, tengkawang, kemiri, kluwek (picung) dan nyamplung.

Keluanya Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) telah menjadi payung dalam kegiatan penelitian dan pengembangan HHBK di Indonesia. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, HHBK didefinisi-kan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan.

Salah satu HHBK yang potensial untuk dikembangkan berdasarkan Kepmenhut tersebut adalah HHBK minyak lemak. Secara keseluruahn ada 19 produk hasil hutan hutan yang menghasil minyak lemak dalam Kepmenhut tersebut dengan berbagai fungsinya. Secara garis besar, pemanfaatan minyak lemak tersebut terbagi menjadi lima kategori utama, yaitu sebagai bahan makanan, obat, energi, kosmetik dan material lainnya. Berdasarkan bagian tumbuhan yang diambil, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu biji, buah dan daun. Berikut adalah 19 jenis HHBK penghasil minyak lemak beserta kegunaannya.

Balam adalah jenis tumbuhan langka asli Indonesia yang tersebar di semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan Timur. Jenis ini dikenal dengan banyak nama, yaitu Balam, Suntai, Balam Putih, dan Balam Suntai. Tumbuhan ini di Pulau Kalimantan dikenal sebagai Beitis, Margetahan, Nyato, Nyatoh, Nyatoh Jangkar. Nama Nyatoh juga digunakan untuk menyebut jenis ini di Malaysia.

Balam adalah salah satu jenis langka yang dilindungi sejak tahun 1972 (berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 54/Kpts/Um/2/1972). Jenis yang :

1. BALAM ( ), Famili:

Sapotaceae

Palaquium walsurifolium

Ary Widiyanto dan Mohamad Siarudin

Oleh:

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis Email: ary_301080@yahoo.co.id

HHBK Minyak Lemak,

Potensi Yang Perlu DIKEMBANGKAN

memiliki kayu bernilai ekonomi tinggi ini belum dibudi-dayakan oleh masyarakat, dan tidak termasuk dalam jenis yang dikembangkan melalui hutan tanaman.

Biji balam mengandung minyak lemak 30-45 % ter-gantung dari teknik pengolahannya. Lemak dari biji balam memiliki rasa pahit sehingga tidak digunakan untuk makanan. Masyarakat tradisional di Bengkalis memanfaat-kan lemak ini sebagai bahan bakar obor.

Pemanfaatan lain dari jenis balam adalah sebagai bahan baku kayu pertukangan. Kayu balam termasuk jenis komersil yang memiliki kualitas yang baik dengan kelas awet IV dan kelas kuat II

Bintaro tersebar secara alami di daerah tropis Indo Pasifik, mulai dari Seychelles hingga Polinesia Perancis. Jenis ini memiliki beberapa nama ilmiah lain selain

yaitu

(L.) Raf. Sylva Telluriana.

Di Indonesia, bintaro tersebar di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku Jenis ini juga dikenal dengan berbagai nama daerah antara lain Kanyeri Putih (Bali), Bilutasi (Timor), Wabo (Ambon), Goro-goro guwae (Ternate), Madangkapo (Minangkabau), Bintan (Melayu), Lambuto (Makasar) dan Goro-goro (Manado).

2. BINTARO (Cerbera manghas). Famili: Apocynaceae

Cerbera manghas, Cerbera venenifera, Tanghinia venenifera, dan Odollamia manghas

.

.

(11)

Biji bintaro mengandung minyak dengan kadar yang cukup tinggi yaitu mencapai 54,33%. Kandungan minyak tersebut merupakan potensi yang cukup baik untuk dikembangan sebagai bahan biodiesel. Setiap 1 kg minyak Bintaro dapat dihasilkan dari 2,9 kg biji bintaro yang didapat dari 36,4 kg buah bintaro tua.

Selain itu, cangkang pada buah bintaro juga dapat dikembangkan sebagai briket arang. Cangkang pada buah bintaro yang dapat dimanfaatkan sebagai briket arang ini dapat berasal dari buah muda maupun tua. Setelah cangkang di jemur, kemudian dikarbonisasi serta ditumbuk agar menjadi serbuk. Serbuk arang ini dikompaksi untuk menjadi briket dengan menambahkan perekat.

Buah bintaro tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan karena mangandung racun. Nama pada nama latin jenis ini berkaitan dengan kandungan pada daun, bunga dan buahnya, yaitu suatu glikosida yang merupakan racun yang mempengaruhi kinerja jantung dan bahkan menyebabkan kematian. Oleh karenanya buah bintaro sering digunakan secara tradisional sebagai bahan racun untuk berburu.

Pemanfaatan buah bintaro disarankan untuk dilakukan pada buah tua untuk mengurangi efek racun dari getahnya. Pohon bintaro yang sudah dewasa dapat menghasilkan 300 kg buah setiap tahun. Berat biji bintaro sekitar 79,7 gram dari setiap kilogram buah bintaro tua. Sejauh ini pemanfaatan buah bintaro masih dalam pengembangan dan belum diketahui potensi produksi buah bintaro di Indonesia.

Buah merah dikenal sebagai tanaman yang banyak tersebar di Papua dan Papua Nugini. Persebarannya di Papua meliputi daerah Baliem Wamena, Talikora, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Jayapura, Sorong dan Manokwari. Tanaman ini di Wamena dikenal dengan nama Sauk Eken atau Kuansu dan di Lembah Baliem disebut Tawi. Buah merah saat ini telah dikembangkan di beberapa

cerberra cerberin

3. BUAH MERAH ( , Famili:

Pandanaceae

Pandanus conoideus)

wilayah di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan Sumatera.

Bagian daging biji buah merah dapat menghasilkan minyak lemak hingga 51% per berat kering kernel. Pada 3 jenis buah merah yang unggul, yaitu Mbarugum, Maler dan Magari, ekstrak minyak yang dihasilkan cukup tinggi dengan rata-rata 120 ml/kg buah atau rendemen minyak 15%. Berdasarkan produktifitasnya, ketiga jenis buah merah unggul ini dapat memproduksi 5-10 butir buah per rumpun, dengan ukuran buah cukup besar yaitu diameter 10-15 cm dan panjang 60-110 cm. Buah merah dapat memproduksi buah mulai 3-5 tahun dengan umur buah sampai panen 3-4 bulan.

Ekstrak buah merah dapat dimanfaatkan sebagai obat, makanan suplemen dan bahan material. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli kesehatan dan gizi menunjukkan bahwa ekstrak buah merah mengandung antioksidan dan senyawa lain penangkal terbentuknya radikal bebas dalam tubuh. Minyak buah merah terbukti secara medis dapat mengobati beberapa penyakit seperti kanker, HIV, malaria, kolesterol dan diabetes. Selain itu minyak buah merah juga dapat dimanfaatkan sebagai penyedap masakan yang bernilai gizi tinggi (mengandung beta-karoten), serta dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang tidak mengandung logam berat dan mikoroorganisme yang berbahaya.

Ekstraksi minyak pada buah merah dapat dilakukan dengan teknik sederhana, yaitu dengan menumbuk biji atau menggunakan alat tekan. Sebelumnya biji buah merah dipisahkan dari empulurnya. Bagian daging biji buah merah inilah yang mengandung minyak. Daging biji buah merah setelah ditumbuk diberi air secukupnya kemudian disaring dan dimasak. Selama proses pemasakan, dilakukan pengadukan dan penambahan air. Minyak akan terbentuk setelah air mendidih, selanjutnya dilakukan penyaringan 3-4 kali hingga didapatkan minyak yang bersih.

Croton merupakan salah satu tanaman yang dikenal di wilayah bagian barat Indonesia. Di pulau Jawa, jenis ini umumnya ditemukan di daerah pegunungan rendah. Croton juga dikenal dengan beberapa nama daerah seperti “Jarakan” (Banjarmasin), “Kayu Bulan” (Palembang), “Ki Jahe”, “Calik Angin” (Sunda), “Prakosa”, “Tapen”, “Walik Angin” (Jawa), dan “Pas-kapasan” (Madura).

4. CROTON (Croton argyratus), Famili: Euphorbiaceae BINTARO

BU

AH

MERAH

KELOR

KEMIRI KENARI

(12)

Masyarakat Banten pada jaman dulu menggunakan biji croton untuk minyak lampu. Kayu croton memiliki kualitas yang rendah, tetapi masyarakat kadang menggunakan untuk kontruksi ringan pada bangunan rumah.

Kelor merupakan tanaman yang disebut berhabitat asli di bagian barat Himalaya. Tanaman ini banyak dibudidayakan di daerah-daerah panas di seluruh dunia. Di Indonesia, tanaman ini banyak dijumpai di Aceh, Kalimantan, Ujung Pandang dan Kupang.

Pohon kelor mulai berbuah pada umur 1 tahun setalh penanaman. Pohon yang berumur 3 tahun dapat menghasilkan 400-600 polong setiap tahunnya. Pohon dewasa dapat menghasilkan 1600 polong per tahun. Sementara itu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar minyak yang dihasilkan biji kelor mencapai lebih dari 35 %.

Minyak lemak kelor memiliki potensi sebagai bahan bakar nabati. Rendemen minyak kelor berkisar antara 21,38% sampai dengan 35,83%. Analisis pada minyak biji kelor ini menunjukkan berat jenis sebesar 0,89-0,91 gr/ml, kandungan asam lemak bebas (%FFA) 2,07-4,78%, nilai angka penyabunan 8,56-107,54 mgKOH/g, bilangan asam 0,040-0,095 mgKOH/g, dan viskositas 29,36-54,99 cst.

Manfaat lain dari biji kelor adalah sebagai bahan penjernih air. Biji kelor yang ditumbuk menjadi serbuk dapat dimanfaatkan untuk koagulan alami dalam pengolahan air bersih. Biji kelor dengan dosis 6 biji/Liter dapat menurunkan kekeruhan hingga 90,46 % dan menurunkan jumlah bakteri Coliform hingga 87,65%.

Sementara itu bagian akar, batang, buah dan daun dikenal memiliki gizi tinggi dan menjadi sumber pangan alternatif. Daun kelor adalah salah satu bagian tanaman yang biasa dikonsumsi masyarakat sebagai lalapan. Setiap 100 gram daun kelor mengandung 3390 SI vitamin A (2 kali lebih tinggi dari kandungan vitamin A pada bayam, dan 30 kali lebih tinggi dari buncis). Daun kelor juga mengandung kalsium 440mg/100g dan fosfor 70mg/100g.

Kemiri merupakan tanaman yang secara alami tersebar di Asia Tenggara, Polinesia, Asia Selatan dan Brazil. Di Indonesia tanaman ini tersebar hamper di seluruh daerah mulai Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku, Nusa tenggara Timur, dan Papua. Nama Kemiri dikenal untuk 5. KELOR ( ), Famili: Moringaceae

6. KEMIRI ( ), Famili: Euphorbiaceae Moringa oleifera

Aleurites moluccana

menyebut tanaman ini oleh masyarakat suku Jawa dan Melayu, yang kemudian sebutan ini lebih banyak digunakan secara nasional. Namun demikian, tanaman ini memiliki beberapa nama lokal seperti Kameri (Bali), Anoi (Papua), Keminting (Kalimantan), Engas (Ambon), Sakete (Ternate), Hagi (Buru), Kereh (Aceh), Hambiri (Batak), Kemling (Lampung), Buah Koreh (Minangkabau) dan Sapiri (Makasar).

Inti biji kemiri mengandung minyak dengan kadar mencapai 60%. Setiap pohon kemiri dapat memproduksi 30-80 kg biji kemiri. Minyak biji kemiri ini dikenal sebagai dalam perdagangan internasional. Minyak kemiri dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan kayu, bahan cat dan pernis, pelapis kertas, dan bahan sabun.

Selain potensi minyak lemak, pohon kemiri yang memiliki umur produktif mencapai 25-40 tahun ini mempunyai beragam kegunaan pada hampir semua bagian pohonnya. Kayunya yang cukup ringan, berserat halus dan berwarna putih dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, bahan baku pembuatan , peti kemas, korek api dan pulp. Daunnya digunakan oleh masyarakat di Sumatera untuk obat sakit kepala dan

Masyarakat Ambon dan Jawa menggunakan korteknya (bagian tumbuhan yang terletak antara kulit luar dengan silinder pusat) sebagai obat anti tumor, diare, sariawan dan desentri. Buah kemiri dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai bumbu masak yang memiliki kandungan gizi dan minyak yang tinggi. Daging biji, daun dan akar kemiri mengandung saponin, flavonida dan polifenol.

Kenari merupakan tanaman buah tropis yang tumbuh di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia, Malaysia dan Philipina. Di Indonesia, pohon kenari banyak terdapat di Maluku, juga di beberapa daerah lain seperti Kangean, Bawean, Flores, Timor, Wetar, Tanimbar, Sulawesi. Kenari terdapat juga di beberapa kota seperti Bogor, Medan dan Mataram yang ditanam sebagai pohon peneduh di pinggir jalan.

Satu pohon kenari dewasa dapat menghasilkan 50 kg biji per tahun. Biji kenari pada umumnya mengandung 60-70% minyak, tergantung pada varietas, tempat tumbuh dan pemeliharaan yang dilakukan. Keping biji (kotiledon) kenari sekitar 4,1 - 16,66% dari berat buah utuh. Kotiledon tersebut selain mengandung 60-70% lemak, juga mengandung sekitar 8 % karbohidrat dan 11,5-13,9% candlenut oil

plywood

gonnorhea.

7. KENARI (Canarium odoratum), Famili: Burseraceae

LENA

MAKADAMIA

NYAMPLUNG

NYATOH

PICUNG DAUN BIJI SA

GA

(13)

protein.

Pohon kenari mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang memiliki berat jenis 0,55 dan termasuk dalam kelas kekuatan III dan kelas keawetan IV dapat digunakan untuk papan, bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai dan papan dinding. Kulit batangnya mengeluarkan getah/resin seperti damar jika diiris. Getah berwarna putih pada awalnya, kemudian seperti lilin yang berwarna kuning pucat dan bertekstur lunak. Minyak resin beraroma wangi dan dapat dimanfaatkan untuk industri parfum atau pewangi sabun meskipun hingga saat ini belum dilakukan dalam skala luas. Minyak resin juga dapat dimanfaatkan untuk pembersih rambut, bahan pembuatan dupa, serta obat gosok untuk mengobati gatal-gatal. Pemanfaatan getah/gum kenari yang lebih dikenal adalah untuk bahan plaster farmasi daan salep serta memberikan sifat mantap dalam vanish.

Manfaat lain yang cukup potensial dari jenis kenari adalah pada bagian biji. Biji kenari mengandung asam (ALA) yang merupakan salah satu tipe asam lemak omega 3. Kandungan ALA dalam kenari lebih tinggi dibanding sumber yang lainnya seperti kedelai, biji rami, ikan laut dan beberapa sayuran hijau. Selain itu, biji kenari juga mengandung zat anti peradangan (polifenol) yang lebih tinggi daripada anggur merah, serta kaya protein dbandingkan protein yang dikandung daging ayam. Mengkonsumsi biji kenari diyakini dapat mencegah kanker prostat, memperlambat dan menghentikan pertumbuhan tumor, meningkatkan kinerja arteri, mengurangi kolesterol buruk, meningkatkan pertumbuhan otot dan imunitas tubuh, serta mengoptimalkan fungsi sel-sel otak.

Ketapang dikenal sebagai tumbuhan asli Asia Tenggara termasuk Indonesia, namun tanaman ini telah dikembangkan di Australia Utara, Polinesia, Pakistan, India, Afrika Timur dan Barat, Madagaskar dan dataran rendah Amerika Selatan dan Tengah. Di Indonesia, tanaman ini tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia kecuali di beberapa daerah di Sumatra dan Kalimantan yang jarang ditemukan di alam. Beberapa nama lokal tanaman ini yang dikenal antara lain Hatapang (Batak), Katafa (Nias), Katapieng (Minangkabau), Lahapang (Simeulue), Ketapas (Timor), Atapan (Bugis), Talisei, Tarisei, Salrise (Sulawesi Utara), Tiliso, Tiliho, Ngusu (Maluku Utara), Sarisa, Sirisa, Sirisal, Sarisalo (Maluku), Lisa (Rote), dan Kalis, Kris (Papua).

Biji ketapang dapat mengandung minyak dan dapat dimakan. Biji ketapang memiliki rasa yang mirip dengan biji almond dan berpotensi untuk mengganti biji almond untuk bahan makanan kue. Biji ketapang mengandung minyak sekitar 50% dari bobot biji kering. Minyak dari biji ketapang berwarna kuning, mengandung asam-asam lemak seperti palmitat (55,5%), asam oleat (23,3%), asam linoleat, asam stearat, asam miristat, serta berbagai macam asam amino.

alpha-linolenic

8. K E TA PA N G ( ) , F a m i l i : Combretaceae

Te r m i n a l i a c a t a p p a

Bagian lain dari pohon ketapang juga memiliki manfaat yang beragam. Kayunya keras dan ulet, ringan sampai sedang dengan berat jenis berkisar antara 0,47-0,68 dan sering dimanfaatkan sebagai bahan lantai atau vinir. Di Indonesia, kayu ketapang digunakan oleh masyarakat pesisir sebagai bahan pembuatan perahu. Kulit batang dan daun ketapang dapat dimanfaatkan sebagai penyamak kulit dan pewarna alami. Daunnya dapat digunakan sebagai obat rematik. Kulit batang dan daun mengandung tannin yang dapat dimanfaatkan sebagai astrigen pada disentri dan sariawan, sebagai diuretic dan kardiotonik dan juga sebagai obat luar pada erupsi kulit.

Ketiau tumbuh secara alami di Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia jenis ini disebut Nyatoh Katiau, sedang di Indonesia disebut Ketiau. Di Indonesia, setidaknya ketiau telah dikenal keberadaannya di bagian Barat Nusantara, terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Biji ketiau dengan berat rata-rata 0,34 g terdiri dari 68% inti dan mengandung minyak 51,3%. Minyak ketiau ini memiliki aroma yang kuat dan memiliki rasa seperti mentega dan telah lama dimanfaatkan masyarakat Banjarmasin sebagai bahan makanan

Ketiau yang berasal dari Banjarmasin telah dikenal produk getahnya dalam perdagangan Internasional sejak tahun 1910. Getah ketiau yang berasal dari Banjarmasin dilaporkan mengandung 16,27% gutta, 75,43% damar dan 8,3% air. Pohon ketiau setinggi 20 m dengan diameter batang 55 cm dapat menghasilkan getah sekitar 2 kg, yang diambil pada bagian kulitnya. Di Hutan-hutan pedalaman Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, getah ini dikenal dengan istilah “getah nyatu”, yang merupakan bahan baku berbagai kerajinan.

Kayu ketiau berwarna coklat kekuningan atau kemerahan, dengan serat kasar tapi mudah dikerjakan. Masyarakat biasanya memanfaatkan kayu ketiau sebagai bahan bangunan yang terlindung di bawah atap.

Lena tumbuh di daerah tropis seluruh dunia dan daerah lain seperti Lautan Tengah, negara-negara bagian Amerika Serikat sebelah selatan dan di Mansyuria. Di Indonesia, jenis ini telah diperdagangkan sejak lama di daerah Jawa, Madura, dan Sulawesi Selatan. Tanaman ini lebih dikenal sebagai tanaman Wijen dalam perdagangan.

Tanaman lena dikenal sebagai penghasil biji wijen yang dapat dipanen setelah kira-kira berumur 5 bulan. Produksi biji wijen dilaporkan beragam dengan rata-rata sekitar 7 pikul per bahu (1 bahu = 7000 m ). Pengembangan varietas unggul jenis wijen terus dilakukan untuk meningkatkan produktifitasnya. Sebagai gambaran, salah satu varietas unggul wijen (Sumberrejo I) memiliki potensi produksi 1-1,6 ton/ha dengan kadar minyak 56,10% dan didapat pada umur panen 90-110 hari.

Biji wijen dari tanaman lena paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Jenis ini dikenal 9. KETIAU ( ), Famili: Sapotaceae

10. LENA ( ), Famili: Pedaliaceae Ganua motleyana

Sasanum orientale

(14)

sebagai sumber minyak nabati dengan kandungan minyak 35-63%, protein 20%, 7 jenis asam amino, lemak jenuh 14%, lemak tak jenuh 85,8%, fosfor, kalium, kalsium, natrium, besi, vitamin B dan E, antioksidan dan alanin atau lignin. Biji wijen ini dipercaya dapat memulihkan stamina badan yang lemah setelah sakit. Selain itu masyarakat juga memanfaatkan rebusan biji wijen untuk mengobati sakit batuk. Sementara itu bagian daun dapat dimanfaatkan untuk obat sakit kepala dan demam dengan cara digiling dan ditempelkan pada dahi.

Minyak yang dihasilkan dari biji wijen dapat di-manfaatkan untuk minyak salada, minyak goreng, dan minyak rambut (setelah dicampur dengan minyak aromatic), minyak lampu dan bahan pembuatan sabun. Minyak wijen juga dapat dimanfaatkan untuk obat gosok untuk menyembuhkan encok. Selain itu, minyak wijen dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri plastik, margarin, sabun, kosmetik dan pestisida.

Makadamia ( sp.) berasal dari Australia, Kaledonia Baru dan Indonesia. Di Australia ditemukan lima spesies yaitu

dan tiga spesies berasal dari

kaledonia baru (

serta satu spesies dari Indonesia, yaitu Di Indonesia, makadamia banya terdapat di daerah Sulawesi Tengah danSumatera Utara, dan dikenal sebagai “buah tahan api”. Di Sulawesi, makadamia dikenal dengan banyak

nama yaitu kayu dan kanjole.

Dalam keadaan baik, pohon dewasa dapat menghasilkan 136,36 kg biji/tahun dan dalam keadaan kurang,, misalnya akibat cuaca berangin sehingga banyak bunga yang rusak hanya dapat menghasilkan antara 22,73 -90,91 kg biji/tahun. Minyak makadamia merupakan bahan makanan yang banyak digunakan dalam industri makanan karena memiliki nilai gizi yang baik dengan kadar protein tinggi. Berkat rasanya yang manis, lembut dan berlemak, makadamia biasa dimanfaatkan sebagai campuran sajian penutup ( ). Minyak makadamia juga digunakan secara langsung dengan cara memercikkannya di atas hidangan ikan atau sayuran.

Kacang makadamia mempunyai kandungan lemak sehat 70% dan protein 8%. Kacang makadamia mengandung pati, kalsium, zat besi, fosfor, magenesium, dan tiamin. Minyak makadamia sering digunakan sebagai penunjang terapi alami pemulihan kacanduan alkohol, pemulihan gangguan hati/liver, mengatasi gangguan anemia dan membersihkan saluran pembuluh nadi jantung. Hasil studi menunjukan, mengonsumsi sekitar 40 gr kacang makadamia (setara 305 kalori), dapat me-nurunkan kolesterol jahat (LDL) hingga 9% dalam waktu 5 minggu.

Mimba tumbuh alami di berbagai

daerah di Indonesia dan telah dibudidayakan, khususnya di 11. MAKADAMIA ( sp.), Famili: Proteaceae

12. MIMBA ( ), Famili: Meliaceae Macadamia

Azadirachta indica Macadamia

M. hejana, M. whalani, M. ternifolia, M. tetraphylla M. pracalta,

M. rousellii, M. vinilardii dan M. francii) M. hildebrandii.

perande, tinapu, balomatoa,

dessert

(Azadirachta indica)

MIMBA

Jawa dan Bali. Mimba memiliki nama, yaitu:

(jawa), (madura),

(bali). Di Inggris dan Belanda, mimba dikenal dengan nama

Pada pembuahan pertama, tanaman menghasilkan 9 kg buah/pohon, kemudian tahun-tahun berikutnya meningkat menjadi 30 - 50 kg buah/pohon. Dari 30 kg buah mimba, dapat diperoleh 6 kg minyak mimba dan 24 kg bahan kering, atau rendemen minyak sebesar 20%. Di India, dari sekitar 14 miliar pohon mimba dapat dihasilkan 3.000 ton minyak mimba dan 330.000 ton bahan kering per tahun.

Minyak dari biji mimba bisa digunakan sebagai obat penyakit kulit. Jumlah minyak dari biji mimba diperkirakan separuh dari berat bijinya. Minyak yang dihasilkan berupa cairan yang tidak mengering berwarna kuning tua, berbau kurang enak seperti bawang putih dan berasa pahit dan di eropa dikenal sebagai minyak . Minyak ini jika didiamkan agak lama akan terpisah sedikit lemak padat. Kegunaan minyak ekstrak dari biji mimba adalah sebagai obat luar untuk mengobati penyakit kulit, juga sebagai salah satu bahan baku pembuatan sabun kesehatan, karena minyak ini mengandung kadar belerang sebesar 0,4%. Meskipun demikian jarang digunakan dalam industri sabun karena proses ekstraksinya yang cukup lama, disamping bau yang ditimbulkan tidak enak sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan polusi udara.

Pohon mimba mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang keras diolah menjadi komponen bahan bangunan dan perabot rumah tangga. Rebusan kulit batangnya menjadii obat demam. Getah dari kulit mimba, yang berbentuk gumpalan-gumpalan bening berwarna coklat muda berfungsi sebagai obat penyakit lambung dan banyak digunakan sebagai perekat.

Daunnya sangat pahit tapi bisa digunakan sebagai makan ternak. Selain itu rebusan daun mimba ini dapat digunakan sebagai pembangkit selera makan dan obat malaria dan jika dimasak bersama beras dapat diolah menjadi bubur yang menyehatkan Ekstrak daun mimba biasa digunakan sebagai campuran pestisida alami untuk mengawetkan kayu.

Pohon nyamplung tumbuh di Asia Tenggara, India, Afrika, Australia Utara, Quessland Utara dan negara lainnya. Di Indonesia pohon nyamplung tumbuh alami di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera, Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pohon ini mimba membha, mempheuh mimba, intharan

Margosier, margosa tree.

margosa

13. NYAMPLUNG ( ), Famili:

Guttiferaceae

(15)

memiliki banyak nama daerah, yaitu:

(Sumatera), (Jawa),

(Kalimantan), (Sulawesi), (Maluku),

(NTT).

Biji Nyamplung segar mengandung minyak sekitar 40 55%, sedang pada biji kering kandungan minyaknya 70 -73%. Bahan aktif yang terkandung pada biji adalah Inophylum A-E, Calophylloide dan Asid calophynic. Kandungan lain dalam jumlah kecil antara lain, 7-beksahidro-1, 6 dimetil-4 (1-metilletil) naftalin, cubebene, selinene, calerene, farnesene, scadinene, bourbonene, zingiberene, copaene, murelene, sesquiphellandrene, octadecanal, heksadecane, farmesol. Berat jenis 0,941 -0,945; angka iodium 82 - 98; angka penyabunan 192 - 202, titik leleh 8°C. Komposisi asam lemak (%-b) : oleat 48 - 53, linoleat 15 - 24, palmitat 5 - 18, stearat 6 - 12.

Minyak nyamplung berwarna hijau gelap atau kuning kebiru-biruan. Minyak Nyamplung dinamakan juga minyak tamanu (Tahiti), minyak undi (India), minyak domba (Afrika). Minyak nyamplung mentah mengandung komponen yang aktif mempercepat kesembuhan luka atau pertumbuhan kulit ( ) dan obat kurap. Selain itu, minyak sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alami atau .

Pemanfaatan lain dari pohon nyamplung adalah kayunya yang termasuk kayu komersial yang dapat digunakan untuk perkapalan, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan dan bahan kontruksi ringan.

Nyatoh ( ) merupakan tanaman yang

tumbuh di banyak tempat di Indonesia. Nyatoh ditanam oleh masyarakat di berbagai daerah, khususnya Jawa, Kalimantan dan Bali. Pohon ini memiliki nama, yaitu;

(jawa), (madura), (bali). Minyak nyatoh bisa digunakan untuk berbagai keperluan seperti memasak dan bahan bakar lampu minyak untuk penerangan. Pohon nyatoh mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang cukup keras banyak bintangur nyamplung, soulatri bentangur bintula pataule, bitaur

bentango, samplong

cicatrization

biodiesel

Palaquium javense

kawang, nyatu nyatoh klesi

14. NYATOH (Palaquium javense), Famili: Sapotaceae

digunakan sebagai bahan pembuat gamelan dan perkakas rumah tangga yang cukup bagus. Bijinya bisa menghasilkan m i n y a k y a n g d a p a t d i p e r o l e h d e n g a n c a r a memasak/merebus bijinya.

Picung ( ) adalah tanaman buah yang

tumbuh di banyak negara tropis khususnya Malaysia dan Indonesia. Nama lain picung adalah (Indonesia) dan (Malaysia). Di Indonesia, picung ditanam oleh masyarakat di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Nama daerah untuk

tanaman ini adalah: (Sumut),

(Jakarta),

(Sumbar), (Lampung),

(Jabar), (Jatim/Jateng), (Madura),

Bali), (NTB/Sulsel).

Pohon ini baru berbuah setelah berumur 15 tahun dan jatuh pada awal musim hujan dengan jumlah rata-rata diatas 300 buah/pohon. Biji picung dapat mengeluarkan minyak, dengan cara direbus dalam air selama 2-3 jam kemudian dikupas dan dibuang noda-noda hitam yang ada di bagian inti biji. Kemudian initi biji yang sudah bersih direndam dalam air selam 24 jam. Setelah jemur inti biji sampai mengeluarkan minyak jika dipijit. Jika kondisi sudah seperi ini maka minyak bisa diekstrak dengan cara dikempa/tekan.

Minyak dari biji picung mengandung asam sianida dengan dosis tinggi, yang dapat berfungsi sebagai antiseptik, pemusnah hama dan pencegah parasit yang baik. Minyak biji picung bisa dipakai sebagai pengganti minyak kelapa. Minyak ini juga bisa dipakai untuk berbagai penggunaan, seperti menggoreng, memasak, penerangan pada lampu minyak, pengobatan beberapa penyakit, khususnya encok dan penyakit kulit. Penyimpanan yang baik pada botol tang tertutup rapat akan memperpanjang keawetan minyak dan mencegak minyak berbau tengik, seperti pada minyak kelapa.

Pohon picung juga mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang kurang awet, sehingga hanya digunakan untuk keperluan yang tidak memerlukan keawetan seperti pembuatan korek api. Kulit kayu dan daun pohon picung juga bisa dipakai sebagai racun/tuba ikan yang dipakai dengan cara meremas dan menaburkannya. Daunnya juga bisa dipakai sebagai pestisida nabati yang cukup efektif dan tidak meninggalkan bau atau rasa apapun setelah dilakukan perlakuan. Pada luka, untuk mencegah infeksi dari organisme-organisme dan bakteri maka ekstrak daun ini bisa dibalurkan, baik untuk manusia maupun binatang. Daunnya juga berfungsi sebagai pengawet. Di beberapa daerah digunakan untuk mengawetkan daging, dengan cara membungkus daging dengan daun ini.

Biji picung bisa digunakan sebagai bahan pengawet ikan. Caranya, cincang biji picung sampai halus dan dijemur selama 2-3 hari, kemudian ikan yang akan diawetkan dibersihkan bagian perutnya dan rongga perutnya diisi dengan cincangan biji picung tadi. Hal ini berguna 15. PICUNG (Pangium edule), Famili: Flacourtiaceae

Pangium edule

kepayang pangi

pangi, hapesong pucung

kapayang, kapeunceung, kapecong, simaung

kayu tuba buah pacung, picung

pakem, pucung pakem

pangi ( kalowa

(16)

terutama jika ikan tersebut akan dikirim/dijual ke tempat lain yang cukup jauh. Caranya, ikan yang akan diangkut ditata didalam keranjang dengan urutan selapis ikan, selapis cincangan biji picung dan seterusnya.

Saga pohon ( ) adalah tanaman

yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, di India dan beberapa negara koloni Perancis. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemui pantai utara pulau Jawa. Di Indonesia, saga pohon dikenal dengan nama Saga utan (Bangka), Ki toke laut (Sunda), Segawe sabrang (Jawa), Ghak saghakan (Madura), Sagha nal (Kangean) dan Bibilaka (Alor). Di India saga pohon dikenal dengan nama

dan

Minyak biji Saga pohon mengandung lemak yang cukup tinggi, yaitu sebesar 35%. Minyak yang dihasilkan bisa digunakan sebagai bahan makanan, yaitu untuk memasak dan menggoreng. Selain itu. biji saga pohon memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai pembersih/pemurni dan mematri emas, yaitu dengan cara menghancurkannya sampai didapat tepung ( ), kemudian dicampur dengan bahan patri. Selain itu juga bisa digunakan sebagai bahan makanan, yaitu dengan cara mengambil daging bijinya. Kemudian daging bijinya dipanggang dan ditumbuk dan langsung dapat dimakan sebagai lauk. Banyak yang mengatakan bahwa rasa daging biji saga pohon seperti kedelai.

Kayunya banyak digunakan sebagai bahan bangunan dan perkakas rumah tangga. Kulitnya (baik yang masih segar maupun sudah kering) bisa digunakan untuk membersihkan rambut dan mencuci pakaian. Ini dikarenakan kulit kayu Saga pohon mengandung , zat kimia yang banyak digunakan sebagai pembersih meskipun tidak terlalu banyak buih/busa.

Seminai ( ) merupakan tanaman yang

tumbuh di banyak negara Asia Tenggara khususnya Malaysia dan Indonesia yaitu di Sumatra Timur meliputi Kampar-kiri, pelawan dan Tapungs (Siak).

16. SAGA POHON ( ), Famili:

Leguminosae

17. SEMINAI ( ) , Famili: Sapotaceae Adenanthera povinina

Madhuca utilis

Adenanthera povinina

Koraalboom, Bois de corail, Condori commun, Koral lenbaum, Bead tree Coral pea tree.

aci

saponin

Madhuca utilis

Minyak dari pohon ini banyak digunakan dalam kegiatan memasak sebagai pengganti minyak kelapa. Pohon seminai mempunyai beragam kegunaan, diantaranya kayunya banyak digunakan sebagai perabotan rumah.

Suntai ( ) merupakan tanaman yang

hanya dijumpai Indonesia, khususnya daerah sumatra timur yang meliputi daerang Bengkalis dan pulau Karimun (Riau).

Salah satu kegunaan utama dari tanaman ini adalah bijinya yang menghasilkan minyak. Biji diperoleh dengan dua cara, yaitu dikupas seperti biasa dengan menggunakan pisau dan cara kedua adalah dengan menumbuknya. Se-lanjutnya buah dikeringkan dengan cara dijemur. Untuk mendapatkan minyak, biji dibakar di atas api dan se-lanjutnya digiling. Tepung atau hasil gilingan yang diper-oleh kemudian disaring, jika ada yang masih kasar maka digiling kembali. Selanjutnya setelah halus tepung ini direbus dan ditungkan kedalam plat/cetakan besi dan diberi tekanan ( ) samapai keluar cairan lemak. Minyak lemak ini kemudian ditampung dalam cetakan/ wadah kayu dan siap untuk digunakan atau dijual. Minyak dari biji ini bisa digunakan sebagai bahan memasak, sebagai pengganti minyak kelapa.

Kayunya yang keras dan padat banyak digunakan sebagai bahan pembuat perahu. Buahnya bisa dimakan dan bisa menjadi sumber persediaan pangan khususnya di masa lalu.

18. SUNTAI (Palaquium burckii), Famili: Sapotaceae Palaquium burckii

pressing

SEMINAI DAUN BIJI

(17)

farmasi dan kosmetika. Pada masa lalu tengkawang juga dipakai dalam pembuatan lilin, sabun, margarin, pelumas dan sebagainya. Minyak tengkawang juga dikenal sebagai

.

Minyak tengkawang juga cocok digunakan pada industri margarine, coklat, sabun, lipstik dan obat-obatan; karena memiliki keistimewaan, yaitu titik lelehnya yang tinggi berkisar antara 34 - 39°C. Selain untuk pangan, prospek yang baik dari minyak tengkawang yang dikenal

dengan nama atau , dapat dipakai

sebagai minyak pelumas mesin, pembuatan sabun, peti kemas, bahan baku pembuatan lilin, , dan .

Nilai gizi yang tinggi serta sifat titik cairnya yang juga tinggi bukan saja cocok sebagai pengganti minyak cokelat, tetapi juga sebagai penambah campuran minyak coklat agar mutunya menjadi lebih baik dan tahan disimpan pada suhu panas . Ekstrak lemak tengkawang memberi nilai tambah yang sangat tinggi yaitu mencapai 200%. Setiap tahun harga minyak tengkawang selalu meningkat, pada tahun 1994 bernilai US$ 1,85 per kg dan pada tahun 1998 bernilai US$ 2,87 per kg. Sejak tahun 1996 tidak tercatat ekspor biji tengkawang, kemungkinan besar terserap habis untuk memproduksi lemak tengkawang.

Pemanfaatan lemak tengkawang saat ini sebagian besar hanya dalam industri coklat, yang ditujukan untuk meningkatkan titik leleh lemak coklat terutama lemak coklat yang berasal dari Amerika Latin. Minyak tengkawang dalam industri makanan dikenal dengan nama , yang digunakan sebagai pengganti minyak coklat. Pada industri farmasi dan kosmetika dikenal dengan nama yang dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan.

Kayu shorea termasuk jenis kayu keras dan cukup kuat, sehingga sering digunakan sebagai bahan bangunan, perabot rumah tangga vinir dan bahan baku lantai kayu. Damar yang dihasilkan dari getah shorea dapat digunakan sebagai bahan campuran pembuatan obat dan kosmetik. Buah tengkawang dikenal enak. Jenis meranti penghasil Tengkawang merupakan pohon khas Kalimantan penghasil kayu pertukangan, juga buahnya bernilai komersil tinggi yang digunakan sebagai bahan baku nabati pengganti minyak coklat, bahan lipstik, minyak makan dan juga dapat digunakan bahan obat-obatan.

green butter

vegetable thallow illip nut

stearine palmitat

cacao butter substitute

oleum shorea

19. TENGKAWANG ( )

Famili: Dipterocarpaceae

Shorea seminis; S. pinanga; S.sp

Tengkawang ( ) merupakan tanaman khas Indonesia dan tersebar diseluruh wilayah Kalimantan serta di beberapa wilayah Sumatera seperti Palembang (Sumatera Selatan) dan Minangkabau (Sumatera Barat). Nama lain tanaman ini yang sering digunakan adalah

(Palembang), (Minangkabau),

(Kalbar),

(Kalsel), (Kaltim).

Pohon tengkawang yang baru berbuah akan meng-hasilkan 50 - 100 kg biji tengkawang kering. Hasil rata-rata pohon tengkawang pada panen raya berkisar antara 250 -800 kg biji tengkawang kering. Pohon tengkawang pada tahun-tahun diluar panen raya hanya menghasilkan sekitar 50 - 100 kg biji. Minyak tengkawang diperoleh dari biji tengkawang yang telah dijemur atau disalai hingga kering, yang kemudian ditumbuk dan dikempa. Secara tradisional, minyak tengkawang ini dimanfaatkan untuk memasak, sebagai penyedap makanan dan untuk ramuan obat-obatan. Dalam dunia industri, minyak tengkawang digunakan sebagai bahan pengganti lemak coklat, bahan

Shorea spp

Melebekan maranti beras, maranti jawi tengkawang majau, t.salungsung, t.sungkasuwu kalang tanggui, kalapis danum, kalepek danum, kekawang, majau, mengkabang, tengkawang asu, t.pasir, t.tanggui kenuar, lampong meranti, menkabang, mesap

Sumber gambar:

balam : kabarmingguan.blogspot.com bintaro : fobi.web.id

buah merah : indonesiaprofile-s.blogspot.com croton : www.flickr.com

kelor : www.zimbio.com

kemiri : heart-waterlily.blogspot.com kenari : organicfarm.net

ketapang : fbaugm.wordpress.com ketiau : www.asianplant.net

lena : vegetablegardendjp.blogspot.com macadamia : www.macadamia.net.au/

mimba : blogsumberinformasigratis.blogspot.com/ nyamplung : kebumen.aribicara.com/

nyatoh : www.flickr.com/

picung : floranegeriku.blogspot.com/ saga : matoa.org/

seminai : www.kcpremierroofing.com/ suntai : fr.wikipedia.org

suntai : http://eol.org

tengkawang : http://massurono.com/

(18)

Lampiran 1. Tabel Jenis HHBK Minyak Lemak Beserta Kegunaannya

No Jenis Pemanfaatan (non-kayu) yang sudah dikenal

Pemanfaatan minyak

Bagian yang mengandung

minyak

Perkiraam rendemen

1 BALAM (Palaquium walsurifolium)

Minyak lemak dipakai untuk obor, Penghasil buah,

Material Biji 30% - 45 %

2 BINTARO (Cerbera manghas)

Minyak berpotensi sebagai biodiesel (biji/buah), Penghijauan kota; racun berburu (buah);

Energi Biji dan Buah 54,33 % 3 BUAH MERAH

(Pandanus conoideus)

obat menghambat sel kanker, malaria dan penurun gula darah(buah)

Obat Buah 0,094 % (94,2 mg lipid/100 gram

buah) 4 CROTON (Croton

argyratus)

Lampu penerang Energi Biji 15 %

5 KELOR (Moringa oleifera)

pembersih air (biji); biodiesel (biji); makanan (daun)

Energi Biji dan Daun 35,83 %

6 KEMIRI (Aleurites mollucana)

minyak dan rempah/bumbu (biji); campuran bahan cat (biji); bahan penyubur rambut (biji); penyembuh diare (biji); obat kanker dan ISPA/pernafasan pada anak (biji); obat disentri dan diare (kulit batang); penurun gula darah (kulit batang); sakit gigi (getah daun); biodiesel (biji)

Obat , Makanan, Kosmetik, Energi, Material

Biji 15-20 %

7 KENARI (Canarium odoratum)

penghijauan kota; bahan kerajinan/sovenir (buah);

mengandung omega 3 dan ALA (alfa linolenik) yang dapat memperbaiki profil kolesterol (biji); mencegah dan memperlambat pertumbuhan tumor dan kanker (biji); pewangi sabun (gum/getah kulit batang); bahan plaster dan salep (gum);

Obat , Makanan, Kosmetik, Material

Biji 65 - 70 % (dari kernal/inti buah/biji)

8 KETAPANG (Terminalia catappa)

pohon peneduh; pengganti biji almon dalam kue-kue (biji); bahan penyamak kulit (pegagan dan daun); bahan tinta dan pewarna hitam (pegagan dan daun); menyembuhkan lepra, kudis dan penyakit kulit yang lain (daun); menyembuhkan rematik pada sendi (daun) astringen pada disentri dan sariawan, juga sebagai diuretik, kardiotonik dan dipakai sebagai obat luar pada erupsi kulit (tanin pada pegagan dan daun)

Obat , Makanan, Kosmetik, Energi, Material

Biji 50% dari berat kering biji

9 KETIAU (Ganua motleyana)

Penghasil getah “nyatu” yang dipakai untuk kerajinan

(19)

No Jenis Pemanfaatan (non-kayu) yang sudah dikenal

Pemanfaatan minyak

Bagian yang mengandung

minyak

Perkiraam rendemen

10 LENA (Sasanum orientale)

penghasil biji/minyak wijen; minyak goreng, minyak rambut, minyak lampu, bahan sabun (minyak biji); makanan (biji); obat batuk (biji); obat sakit kepala (daun)

Obat, Makanan, Kosmetik, Energi, Material

Biji Tidak ada data

11 MAKADAMIA (Macadamiasp.)

Penghasil buah, bahan makanan, penghijauan kota

Makanan, Kosmetik, Energi, Material

Biji Tidak ada data

12 MIMBA (Azadirachta indica)

Obat penyakit kulit dan lambung, penambah nafsu makan, campuran pestisida alami, campuran lem

Obat, Material Biji 20 % 13 NYAMPLUNG

(Callophyllum inophyllum)

Obat penyakit kulit dan bahan biodiesel

Obat, Energi Biji biji segar mengandung 40-55% sedangkan biji

kering 70-73% 14 NYATOH

(Palaquium javense)

Memasak dan bahan bakar untuk penerangan

Energi Biji Tidak ada data 15 PICUNG (Pangium

edule)

Antiseptik, pemusnah hama dan pencegah parasit, memasak, pengawet makanan, kulit dan daun bisa sebagai racun untuk menangkap ikan, bahan penerangan, obat penyakit kulit dan encok

Obat, Material Biji Tidak ada data

16 SAGA POHON (Adenanthera povinina)

Memasak, bahan makanan (buah), pembersih baju, pembersih rambut, bahan campuran mematri

Makanan. Kosmetik

Biji Tidak ada data

17 SEMINAI (Madhuca utilis)

Memasak Makanan Biji Tidak ada data

18 SUNTAI (Palaquium burekii)

Memasak Makanan Biji Tidak ada data

19 TENGKAWANG (Shorea seminis; S. pinanga; S. macrophylla; S. splendid)

Makanan, minyak coklat, memasak, bahan pembuat lipstik, obat-obatan, lilin, sabun, margarin, pelumas mesin, margarin

Obat, Makanan, Kosmetik,

Material

Biji Tidak ada data

Gambar

Tabel 1. Kelompok Tanaman Penghasil Minyak Atsiri (berdasar Permenhut 35)
Gambar 1. Satu Siklus Produksi Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry
Gambar 1. Buah dan daun kratom (foto: The Iamshaman shop dan Oflchen)
Gambar 2. Contoh kusen yang terserang rayap
+4

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan Kinerja Pajak Melalui Kecerdasan Emosional (EQ), OrganizationalCitizenship Behavior (OCB), dan Motivasi Kerja Di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Diusulkan untuk mengikuti seleksi beasiswa BPPT oleh Kepala Unit Kerja yang disampaikan secara tertulis berupa Nota Dinas kepada Kepala Pusbindiklat dengan tembusan kepada Eselon

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Dalam Daerah

Sistem penangkal petir yang akan digunakan pada bangunan pada bangunan Pusat Pelatihan dan Pengembangan Keterampilan Bagi Remaja Tuna Wisma di Yogyakarta adalah sistem thomas,

Algoritma dinamis digunakan untuk menyelesaikan permasalahan penjadwalan pekerjaan baru yang kedatangannya pada saat proses produksi sedang berlangsung. Secara umum

Sesuai dengan tujuan PKM ini yang bertujuan untuk mengembangkan materi penunjang mata pelajaran Bahasa Inggris dengan konten yang disesuaikan dengan kebutuhan

Jadi banyaknya mahasiswa di gedung itu yang tidak sedang mempelajari Kalkulus atau Matematika Diskrit ada sebanyak 1467 153 = 1314 orang...

Perlakuan  sterilisasi  tanah  berpengaruh  nyata  terhadap  pertumbuhan  tanaman.  Tanaman  menunjukkan  pertumbuhan  yang  lebih  rendah  pada  tanah  yang