BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis Paru
2.1.1. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
mikobakterium tuberkulosis yang dapat menyebabkan lesi pada berbagai jaringan
organ tubuh, namun yang sering terkena adalah jaringan paru (Isa dkk, 2001)
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TBC menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2002)
Menurut Alsagaff dan Mukty (2002) tuberkulosis paru adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh basil mikobakterium tuberkulosis.
Menurut PDPI atau Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) tuberkulosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium tuberculosis complex.
Kuman TB berbentuk batang yang tahan terhadap asam pada pewarnaan
(Basil Tahan Asamatau BTA). Basil TB cepat mati kena sinar matahari langsung, tapi
dapat hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (Abiyoso, 2003).
2.1.2. Klasifikasi Tuberkulosis Paru
Menurut Soeparman dkk (1991) sampai sekarang belum ada kesepakatan di
antara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan
Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti:
1. Tuberculosis primer (childhood tuberculosis) dan tuberculosis post-primer (adult
tuberculosis).
2. Tuberkulosis paru (Koch pulmonum) aktifdan non aktif.
3. Tuberkulosis minimal yaitu terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu
paru maupun kedua paru tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru,
Moderately advanced tuberculosis yaitu ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru bila
bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru, Far advanced
tuberculosis yaitu terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberculosis.
Menurut Soeparman dkk (1991) klasifikasi tersebut di atas masing-masing
lebih dititik beratkan pada bidang patologi, mikrobiologi dan radiologi. Pada tahun
1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil dari
klasifikasi kesehatan masyarakat yaitu:
a. Kategori O yaitu tidak pernah terpapar dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif
dan tes tuberkulin negatif.
b. Kategori I yaitu terpapar tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat
kontak positif dan tes tuberkulin negatif.
c. Kategori II yaitu terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit, tes tuberkulin positif,
radiologis dan sputum negatif.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah:
a. Tuberkulosis paru.
b. Bekas tuberkulosis paru.
c. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:
1. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati, disini sputum BTA negatif tetapi
tanda-tanda lain positif.
2. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati, disini sputum BTA negatif
dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan:
a. Status bakteriologis:
1. Mikroskopik sputum BTA (langsung).
2. Biakan sputum BTA.
b. Status radiologik, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru.
c. Status klinik, gejala-gejala yang relevan untuk tuberkulosis.
d. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis.
2.1.3. Epidemiologi Tuberkulosis Paru
Menurut PDPI atau Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) tuberkulosis
(TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun
1992, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global
Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009 adalah:
a. Insidens kasus : 9,4 juta (8,9-9,9 juta)
c. Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,3 juta (1,2-1,5 juta)
d. Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta (0,32-0,45 juta)
Jumlah kasus terbanyak adalah region Asia Tenggara (35%), Afrika (30%)
dan region Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah HIV positif dan
80% kasus TB-HIV berasal dari region Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus
TB multidrug-resistant (MDR) sebanyak 250.000 kasus (230.000-270.000 kasus),
tetapi hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari hasil data WHO
tahun 2009, lima negara dengan insidens kasus TB terbanyak yaitu India (1,6-2,4
juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37-0,55 juta) dan
Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbangkan kira-kira seperlima dari seluruh
jumlah kasus didunia (21%).
HIV dan TB merupakan kombinasi penyakit mematikan. HIV akan
melemahkan sistem imun. Apabila seseorang dengan HIV positif kemudian terinfeksi
kuman TB, maka akan berisiko untuk sakit TB lebih besar dibandingkan dengan HIV
negatif. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian utama pada penderita HIV. Di
Afrika, HIV merupakan satu-satunya faktor utama yang menyebabkan peningkatan
insidens TB sejak tahun 1990.
Tujuan nomor 6 dari Millenium Development Goals (MDG’s) 2015 yaitu
melawan HIV/ AIDS, malaria dan penyakit lainnya termasuk TB. Diharapkan
proporsi kasus TB yang terdeteksi dan pengobatan dengan DOTS meningkat. Di
Indonesia, pada tahun 2010 target indikator case detection rate (CDR) sebesar 73%
(SR) 88%. Target stop TB partnership pada tahun 2015 yaitu mengurangi rerata
prevalens dan kematian dibandingkan pada tahun 1990. Pada tahun 2050 targetnya
adalah mengurangi insiden global kasus TB aktif menjadi kurang dari 1 kasus per
satu juta populasi per tahun.
2.1.4. Morfologi Tuberkulosis Paru
Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch (1882) yaitu kuman
yang berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 mm dan panjang 1-4 mm. kuman akan
tumbuh optimal pada suhu sekitar 37º C dengan tingkat pH optimal pada 6,4 sampai
7,0. Untuk membelah diri dari satu sampai dua kuman membutuhkan waktu 14-20
jam (Aditama, 2000).
Dinding mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding selnya ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord faktor dan
mycobacterium sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri mycobacterium tuberculosis bersifat tahan
asam. Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar
dapat terjadi penetrasi zat warna. Yang lazim digunakan adalah pengecetan
ziehlnielsen.
Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan kuman TB sangat tahan
tuberculosis mengandung beberapa antigen dan determinan antigenik yang dimiliki
mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan reaksi silang.
Kuman TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi
senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Kuman dapat
tumbuh dengan suhu 30-40ºC dan suhu optimum 37-38ºC. Kuman akan mati pada
suhu 60ºC selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme
kuman.
2.1.5. Cara Penularan Tuberkulosis Paru
Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet nuclei yang
mengandung basil, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk
berdarah atau berdahak yang mengandung BTA (Sudoyo et al, 2006). Faktor
lingkungan terutama sirkulasi yang buruk, memperbesar penularan (Berhman et al,
1999). Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB (Sudoyo, 2006).
2.1.6. Patogenesis Tuberkulosis Paru 1. Tuberkulosis Primer
Sebagian besar basil mycobacterium tuberkulosis masuk kedalam jaringan
paru melalui airbone infection (Alsagaff dkk, 2002). Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi buruk dan kelembapan. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5
spesifik, sehingga tidak terjadi proses imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian
kasus lainnya, tidak seluruhnya kuman, makrofag alveolus akan menfagosit kuman
TB yang sebagian besar dihancurkan. Tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak
dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan focus primer gohn (Djitowiyono, 2008). Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadi efusi pleura. Selama perkembangan kompleks primer, basil tuberkulosis di
bawa ke kebanyakan jaringan tubuh melalui pembuluh darah dan limfe (Behrman,
1999).
Dari fokus primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
kelenjar limfe regional sehingga terbentuk suatu primer kompleks yang disebut
primer kompleks dari Ranke. Infeksi primer dari Gohn dan primer kompleks dari
Ranke dinamakan TB Primer. TB paru primer adalah suatu peradangan yang terjadi
sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mycobacterium
tuberculosis. Sebagian besar penderita TB primer 90% akan sembuh sendiri dan 10%
akan mengalami penyebaran secara endogen (Alsagaff dkk, 2002).
2. Tuberkulosis Pasca Primer
Kuman yang dorman pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi menjadi TB dewasa (Sudoyo, 2006). TB sekunder juga dapat berasal
dari oksigen berupa infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB (Alsagaff,
penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan
sarang dini yang berlokalisasi di region atas paru (bagian apical posterior lobus
superior atau inferior).
Infasinya adalah ke daerah parenkim paru yang tidak ke nodus hilar paru
(Sudoyo, 2006). Sarang dini ini mulanya juga berbentuk sarang pneumonia kecil.
Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri
dari sel-sel histiosit dan sel datia langhans yang dikelilingi oleh sel-sel lomfosit dan
berbagai jaringan ikat.
2.1.7. Gambaran Klinis Tuberkulosis Paru
Menurut PDPI atau Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) diagnosis TB
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang dibagi menjadi 2 golongan yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala
lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratori yaitu batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri
dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik yaitu demam, gejala sistemik lain adalah malaise, keringat
3. Gejala TB ekstraparu yaitu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis
TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.
Menurut Zubaedah dkk (2003) gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi
2 golongan yaitu gejala respiratorik (gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
1. Batuk ≥ 3 minggu
2. Batuk darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
Gejala resptratorik ini sangat berpariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat dari luas lesi.
b. Gejala sistemik
1. Demam
2. Gejala sistemik lain, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
2.1.8. Pemeriksaan Fisis Tuberkulosis Paru
Menurut PDPI atau Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) pada
pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus
inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi suara
napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening. Tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat terjadi cold abscess
2.1.9. Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis Paru 1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan sputum
untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) yaitu:
a. Sewaktu adalah dahak dikumpulkan pada saat pasien diduga TB datang
b. Pagi adalah dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.
c. Sewaktu adalah dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat pasien menyerahkan
dahak pagi hari.
Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 kali berturut-turut untuk
menghindari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 kali positif,
maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) yaitu:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut positif (1+).
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut positif positif (2+).
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut positif positif positif (3+).
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks karena
pemeriksaan mikroskopis sangat spesifik (98%) untuk TB paru (Danusantoso, 2000).
Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks sangat perlu dilakukan sesuai
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTApositif. Harus dilakukan
pemeriksaan foto thoraks dada untuk mendukung diagnosis TB paru BTA (+).
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
diberi pengobatan dengan antibiotika non-OAT.
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi
perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. pemeriksaan atas indikasi seperti
foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran
bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa:
a. Bayangan lesi di daerah apeks paru tetapi dapat juga di lobus bawah dan daerah
hilus.
b. Bayangan berawan atau berbercak.
c. Adanya kavitas tunggal atau ganda.
d. Bayangan bercak milier.
e. Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral.
f. Destroyed lobe sampai destroyed lung.
g. Kalsifikasi.
3. Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini ada beberapa tehnik baru yang dapat mendeteksi
kuman TB seperti:
a. BACTEC yaitu dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak mycrobacterium tuberculosis dideteksi growth
indeknya.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari
mycrobacterium tuberculosis, hanya saja masalah tehnik dalam pemeriksaan ini
adalah kemungkinan kontaminasi.
c. Pemeriksaan serologi seperti ELISA, ICT dan Mycodot.
4. Pemeriksaan Lainnya
Seperti analisa cairan pleura dan hispatologi jaringan, pemeriksaan darah
dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator yang
spesifik pada TB. Di Indonesia dengan prevalensi TB yang cukup tinggi alat bantu
diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila
didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali.
a. Bronkoskopis
Jika hasil pemeriksaan bakteriologis tidak dijumpai kuman BTA, sedang
dugaan yang mengarah ke diagnosis adanya TB paru sangat kuat maka selanjutnya
tindakan bronkoskopis dapat menjadi langkah untuk menegakkan diagnostik.
pemeriksaan untuk menilai saluran napas penderita dengan alat. Kegunaan
bronkoskopis dalam mendiagnosis TB adalah:
1) Bisa dilakukan pada penderita yang tidak dapat mengeluarkan dahak secara
spontan.
2) Merupakan cara mendapatkan diagnosis dengan cepat (melalui hapusan langsung
ataupun histopatologi).
Tetapi bronkoskopi juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu memerlukan
biaya yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan dahak spontan dan induksi, serta
kemungkinan adanya penularan pada pekerja kesehatan (operator bronkoskopi).
b. Bronchoalveolar Lavage (BAL)
Tindakan BAL adalah salah satu tehnik pengambilan sampel pada saat
tindakan bronkoskopi berlangsung. Tindakan BAL ditujukan untuk mengambil
spesimen yang berada pada ujung saluran napas (alveolus) yang terkadang sudah
mengendap. Cairan yang didapat dari tindakan BAL ini sangat berguna karena dapat
digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi (hapusan BTA dan kultur
mycrobacterium tuberculosis), jumlah sel dan diferensiasi, penyakit infeksi
oportunistik pada penderita immunocompromised, tumor paru dan interstitial lung
diseases, gambaran alveolar proteinosis, gambaran terpapar debu seperti asbestos,
silica dan sel ganas. Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa hapusan dan
2.1.10.Pencegahan Tuberkulosis Paru 1. Pencegahan TB pada orang dewasa
Hendaknya kita selalu ingat bahwa TB pada orang dewasa lebih sering
ditimbulkan oleh reinfeksi endogen (80%) dari pada eksogen (20%). Di Indonesia
sebagaimana di kebanyakan negara sedang berkembang lainnya, hampir semua
penduduk dewasa sudah pernah mengalami infeksi oleh basil TB pada masa
mudanya, maka sebagian besar penyakit TB pada orang dewasa di negara ini
ditimbulkan oleh basil “tempo doeloe” yang mengalami reaktivasi.
Perlu diingat pula bahwa sistem pertahanan tubuh terhadap TB didasarkan
atas fungsi sistem imunitas seluler dalam keadaan optimal, dengan sedapat-dapatnya
menghindarkan faktor-faktor yang dapat melemahkannya, seperti kortikoterapi dan
kurang gizi.
Bagi mereka yang tergolongdalam high risk group (seperti penderita diabetes
mellitus, morbus Hansen, yang dapat pengobatan rutin kortikosteroid, penderita
AIDS dan sebagainya) pemberian profilaksis dengan INH dapat dipertimbangkan.
Pada mereka yang mengindap kelainan-kelainan bekas TB dan belum pernah
menerima pengobatan spesifik lengkap sebelumnya, pemberian profilaksis perlu demi
mencegah kekambuhan di kemudian hari. Untuk tujuan profilaksis ini, dapat dipakai
INH dengan dosis 300-400 mg/ hari selama 12 bulan.
2. Pencegahan TB pada anak
Tentunya yang terbaik adalah mencegah infeksi basil TB pada anak dengan
positif).Tetapi kiranya hal ini sulit dicegah selama TB masih merupakan penyakit
rakyat dan hubungan kekeluargaan masih erat.
Sebagaimana halnya pada orang dewasa, sistem imunitas seluler memegang
peranan yang menentukan apakah seorang anak, setelah mendapat infeksi, akan
menderita TB atau tidak. Oleh karena itu gizi (terutama protein dan Fe yang cukup)
akan memegang peranan yang penting dalam hal ini, disamping menghindari
faktor-faktor lain yang dapat menurunkan sistem imunitas seluler, seperti kortikoterapi.
Khususnya tentang profilaksis dengan INH, indikasinya ialah konversi yang
baru terjadi dari tes tuberkulin negatif menjadi positif, yang bukan disebabkan oleh
vaksinasi BCG.
Tentang vaksinasi BCG setelah kegagalan di India Selatan dianalisa lebih
dalam dan dikonfrontasi dengan sukses yang dicapai oleh negara-negara lain, saat ini
telah menjadi jelas bahwa vaksinasi ini tetap dapat diandalkan, dengan syarat bahwa
vaksinasinya baik, penyimpanan dan handling-nya baik, tehnik penyuntikannya baik
dan anak yang bersangkutan mempunyai respons imun seluler yang baik
pula(Danusantoso, 2000).
2.2. Program DOTS
2.2.1. Pengertian Program DOTS
Menurut Depkes (2002) strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse Chemotherapy) adalah program pemberantasan tuberkulosis paru, telah
berkembang seiring dengan pembentukan Gerdunas-TBC, maka pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru berubah menjadi program penanggulangan tuberkulosis
(TBC).
Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan
yang tinggi. Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan
paling cost-effective.
Dasar kebijakan DOTS yaitu:
1. Evaluasi program TBC yang dilaksanakan bersama oleh Indonesia dan WHO
pada April 1994 (Indonesia-WHO Joint Evaluation On National TB Program).
2. Lokakarya Nasional Program P2TBC pada September 1994.
3. Dokumen perencanaan (Plan of action)pada bulan September 1994.
4. Rekomendasi “Komite Nasional Penanggulangan TBC Paru” (KOMNAS-TBC,
9 September 1996).
5. Gerdunas-TBC (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis) 24
Maret 1999.
Dengan strategi DOTS, manajemen penanggulangan TBC di Indonesia,
ditekankan pada tingkat kabupaten/ kota.
2.2.2. Latar Belakang Program DOTS 1. Masalah Dunia
Mycobacterium tuberculosis telah manginfeksi sepertiga penduduk dunia.
Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC, karena
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular
(BTA positif).
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru
TBC dengan kematian 3 juta orang (WHO Treatment of Tuberculois, Guidelines for
National Programmes, 1997). Di negara-negara berkembang kematian TBC
merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan
95% penderita TBC berada di negara berkembang, 75% penderita TBC adalah
kelompok usia produktif (15-50 tahun). Munculnya epidemi HIV/ AIDS di dunia,
diperkirakan penderita TBC akan meningkat. Kematian wanita karena TBC lebih
banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (WHO, 2003).
2. Masalah Indonesia
Penyakit TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat tahun 1995,
hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TBC
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan
penyakit infeksi. Tahun 1999 WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000
kasus baru TBC dengan kematian karena TBC sekitar 140.000. Secara kasar
diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TBC
paru BTA positif. Penyakit TBC menyerang sebagian besar kelompok usia kerja dan
mereka belum dapat menjangkau seluruh puskesmas yang ada. Demikian juga rumah
sakit pemerintah, swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya. Tahun 1995-1998,
rate pemeriksaan laboratorium belum dihitung dengan baik meskipun cure rate lebih
besar dari 85%. Penatalaksanaan penderita dan sistem pencatatan pelaporan belum
seragam disemua unit pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu,
diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap obat anti
tuberkulosis (OAT) atau multi drug resistance (MDR).
2.2.3. Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada
beberapa tipe penderita yaitu:
1. Kasus Baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2. Kambuh (Relaps)
Kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer In)
Pindahan (transfer in) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
4. Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default/drop out) adalah penderita yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian
datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Lain-lain
a. Gagal
Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
lebih atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
b. Kasus Kronis
Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
2.2.4. Visi dan Misi Program DOTS 1. Visi
Tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. Misi
a. Menetapkan kebijaksanaan, memberikan panduan serta membuat evaluasi secara
tepat, benar dan lengkap.
b. Menciptakan iklim kemitraan dan transparasi pada upaya penanggulangan
c. Mempermudah akses pelayanan penderita TBC untuk mendapatkan pelayanan
yang sesuai dengan standar mutu.
2.2.5. Tujuan Penanggulangan Tuberkulosis pada Program DOTS 1. Tujuan Jangka Panjang
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TBC dengan cara
memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TBC tidak lagi merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia.
2. Tujuan Jangka Pendek
a. Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA
positif yang ditemukan.
b. Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun
2005 dapat mencapai 70% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif.
2.2.6. Kebijakan Operasional pada Program DOTS
Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan kebijakan operasional sebagai
berikut:
1. Penanggulangan TBC di Indonesia dilaksanakan dengan desentralisasi sesuai
kebijakasanaan Departemen Kesehatan.
2. Penanggulangan TBC dilaksanakan oleh seluruh unit pelayanan kesehatan (UPK),
meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta, BP4 serta praktek dokter
swasta (PDS) dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan
3. Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan penanggulangan TBC, prioritas
ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat yang rasional
dan panduan obat yang sesuai dengan strategi DOTS.
4. Target program adalah angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif
minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA positif,
dengan pemeriksaan sediaan dahak yang benar (angka kesalahan maksimal 5%).
5. Untuk mendapatkan pemeriksaan dahak yang bermutu, maka dilaksanakan
pemeriksaan uji silang (cross check) secara rutin oleh balai laboratorium
kesehatan (BLK) dan laboratorium rujukan yang ditunjuk.
6. Obat anti tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TBC nasional diberikan
kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya.
7. Untuk mempertahankan kualitas pelaksanaan program, diperlukan sistem
pemantauan, supervisi dan evaluasi program.
8. Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah
dan swasta.
2.2.7. Strategi Program DOTS 1. Paradigma Sehat
a. meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta
meningkatkan cakupan program.
b. Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat.
2. Strategi DOTS sesuai Rekomendasi WHO terdiri dari 5 komponen yaitu
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan panduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TBC.
3. Peningkatan Mutu Pelayanan
a. Pelatihan seluruh tenaga pelaksana.
b. Ketepatan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Kualitas laboratorium diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check).
d. Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dibentuklah KPP
(kelompok puskesmas pelaksana) terdiri dari 1 unit PRM (puskesmas rujukan
mikroskopis) dan beberapa PS (puskesmas satelit). Untuk daerah dengan
geografis sulit dapat dibentuk PPM (puskesmas pelaksana mandiri).
e. Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan.
d. Pengawas kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus-menerus.
f. Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh pengawas menelan obat
(PMO). Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab petugas
kesehatan.
4. Pengembangan program dilakukan secara bertahap ke seluruh UPK.
5. Peningkatan kerjasama dengan semua pihak melalui kegiatan advokasi,
diseminasi informasi dengan memperhatikan peran masing-masing.
6. Kabupaten/ kota sebagai titik berat manajemen program meliputi: perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta mengupayakan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
7. Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan dengan melibatkan semua
unsur terkait.
8. Mempertahankan komitmen internasional.
2.2.8. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
3. Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
b. Yang bisa menjadi seorang PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
1. Mengawasi penderitaTBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
3. Mengingat penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah
ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai
gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
1. TBC bukan penyakit keturunan atau kutukan.
2. TBC dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3. Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan.
4. Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi.
5. Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek
samping tersebut.
2.3. Kerangka Konsep Teoritis
Pasien drop out adalah penderita TB paru yang sudah berobat paling kurang 1
bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat dan hasil
dahak BTA positif.
Pasien tidak drop out adalah penderita TB paru yang berobat secara teratur
selama 6 bulan hingga 9 bulan pengobatan selesai dilakukan atau hasil dahak BTA
negatif.
2.4. Kerangka Konsep
Kelompok Case
Kelompok Control
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Pengetahuan pasien tentang TB paru
dan tentang DOTS