• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESAIN KEKUATAN SAMBUNGAN KAYU GESER GANDA BERPELAT BAJA DENGAN BAUT PADA LIMA JENIS KAYU INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESAIN KEKUATAN SAMBUNGAN KAYU GESER GANDA BERPELAT BAJA DENGAN BAUT PADA LIMA JENIS KAYU INDONESIA"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN

N KEKUAT

BER

PADA

SE

INS

TAN SAM

RPELAT B

LIMA JE

AG

EKOLAH

STITUT P

MBUNGAN

BAJA DEN

ENIS KAY

GUSSALIM

H PASCAS

ERTANIA

BOGOR

2010

N KAYU

NGAN BA

YU INDON

M

SARJANA

AN BOGO

GESER G

AUT

NESIA

A

OR

GANDA

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Desain Kekuatan Sambungan Kayu Berpelat Baja dengan Baut pada Lima Jenis Kayu Indonesia adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Agussalim

(4)
(5)

ABSTRACT

AGUSSALIM. Design of Wood Connection Strength Using Double Shear Steel Side Plates with Bolt in Five Indonesian Wood Species. Under direction of NARESWORO NUGROHO and SUCAHYO.

This study aims to analyze the effect of diameter and the number of bolts for double shear wood connection to lateral design value. Five Indonesian wood species namely sengon (Paraserianthes falcataria), nangka (Artocarpus sp), punak (Tetramerista glabra), kapur (Dryobalanops sp), and bangkirai (Shorea laevifolia) were analyzed their mechanical and physical properties before treatments. The sample (6 cm x12 cm x30 cm) was connected using double shear connection which use several diameter of bolts (6.4 mm, 7.9 mm and 9.4 mm) and number of bolts (4, 6, 8 and 10 bolts). The result showed that there is significant different of lateral design value in double shear connection by specific gravity of woods where the wood with high specific gravity have a high lateral design value. There is significant different of lateral design value in double shear wood connection by number of bolts where lateral design value of wood connection tended decreases. Emperical test to double shear wood connections showed that the Indonesian wood species have lateral design value for displacement 1.5 mm (Indonesian standard) and 5.0 mm higher than reference lateral design value of Indonesian wood species for sengon, but it’s lower for other species. Reference lateral design value of Indonesian wood is higher than references lateral design value of NDS 2005 for bolt 6.4 mm, but it’s lower for bolts 7.9 and 9.4 mm. Keywords: bolt, displacement, double shear, lateral design value, reference

(6)
(7)

RINGKASAN

AGUSSALIM. Desain Kekuatan Sambungan Kayu Geser Ganda Berpelat Baja dengan Baut pada Lima Jenis Kayu Indonesia. Dibimbing oleh NARESWORO NUGROHO dan SUCAHYO.

Saat ini begitu sulit untuk memperoleh kayu dengan bentang yang cukup panjang. Kayu konstruksi yang banyak beredar di pasar maksimum memiliki panjang 4 meter. Kondisi ini mengharuskan untuk melakukan penyambungan terhadap kayu jika struktur bangunan yang direncanakan menghendaki kayu dengan bentang yang lebih panjang lagi. Hal ini menjadikan sambungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam bangunan struktural. Sambungan sendiri diketahui sebagai titik kritis yang dapat mempengaruhi kekuatan dari sebuah struktur.

Sambungan kayu geser ganda sering digunakan untuk menyambung kayu berdimensi besar karena kemampuannya dalam memikul beban lebih besar. Sambungan ini memakai alat sambung tipe dowel, seperti pasak, paku dan baut. Alat sambung baut lebih sering digunakan untuk desain kekuatan yang lebih besar, sebaliknya paku lebih tepat digunakan untuk desain kekuatan yang lebih kecil. Kedua alat sambung tersebut paling mudah dijumpai di pasar dan tersedia dalam variasi ukuran yang berbeda. Selain itu, kayu diketahui pula sebagai material yang cukup bervariasi dalam hal sifat fisis dan mekanis antara jenis satu dengan jenis yang lainnya, bahkan dalam satu jenis sekalipun. Variasi tersebut akan berkaitan dengan kekuatan kayu sehingga cukup menentukan besarnya kekuatan dari sambungan kayu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh diameter dan jumlah baut terhadap kekuatan sambungan geser ganda kayu berpelat baja dan menganalisis nilai desain lateral sambungan kayu geser ganda dengan baut berpelat sisi baja pada lima jenis kayu Indonesia.

Sambungan kayu geser ganda dibuat dengan menggunakan lima jenis kayu Indonesia yaitu sengon (Paraserianthes falcataria), nangka (Artocarpus sp), punak (Tetramerista glabra), kapur (Dryobalanops sp), dan bangkirai (Shorea laevifolia). Sebagai side member digunakan pelat baja dengan ketebalan 1,5 mm. Baut yang digunakan adalah baut dengan diameter 6,4 mm; 7,9 mm; dan 9,4 mm masing-masing dengan panjang 10 cm. Pada sambungan digunakan jumlah baut 4, 6, 8, dan 10 batang. Pengujian dilakukan dengan pembebanan secara lateral berdasarkan standar ASTM D5652. Nilai desain lateral sambugan kayu hasil uji empiris diamati pada sesaran 1,5 mm (PKKI NI-5) dan 5,0 mm (beban rusak). Nilai desain lateral rujukan kayu Indonesia (Z lokal) ditentukan melalui persamaan batas leleh baut NDS 2005 dengan menggunakan nilai-nilai dari kayu dan baut Indonesia. Nilai desain lateral rujukan NDS 2005 diperoleh dari Tabel 11G NDS 2005 (AFPA 2005). Nilai desain lateral sambungan kayu dari uji empiris tersebut dianalisis berdasarkan Z lokal dan Z NDS 2005.

(8)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan sambungan kayu geser ganda berpelat baja dengan baut dipengaruhi oleh berat jenis dimana semakin tinggi berat jenis kayu akan menghasilkan nilai desain lateral yang besar pula. Nilai desain lateral baut akan mengalami reduksi dengan bertambahnya jumlah baut yang digunakan dalam sambungan. Secara umum, baut dengan diameter yang besar akan memberikan nilai desain lateral yang besar pula. Pada kayu sengon, uji empiris sambungan pada sesaran 1,5 mm dan 5,0 mm menunjukkan nilai yang lebih besar dari Z lokal sedangkan untuk kayu lainnya nilai desain lateral baut lebih rendah dari Z lokal. Z lokal pada baut berdiameter 6,4 mm lebih besar dari Z NDS 2005, namun pada baut berdiameter 7,9 mm dan 9,4 mm nilai Z lokal lebih rendah.

Kata kunci: baut, nilai desain lateral, nilai desain lateral rujukan, sambungan kayu geser ganda, sesaran

(9)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

DESAIN KEKUATAN SAMBUNGAN KAYU GESER GANDA

BERPELAT BAJA DENGAN BAUT

PADA LIMA JENIS KAYU INDONESIA

AGUSSALIM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(12)
(13)

Judul Tesis : Desain Kekuatan Sambungan Kayu Geser Ganda Berpelat Baja dengan Baut pada Lima Jenis Kayu Indonesia

Nama : Agussalim NRP : E251080021

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS.

Ketua Ir. Sucahyo, MS Anggota

Mengetahui

Ketua Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan untuk menguraikan pengaruh ukuran dan jumlah pemakaian baut pada sambungan kayu geser ganda berpelat baja pada lima jenis kayu Indonesia, menganalisis pengaruhnya terhadap sambungan dan perbandingan dengan NDS 2005. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengeringan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan dan Laboratorium Terpadu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Fisika dan Mekanika Pusat Penelitan dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor dan Laboratorium Metalurgi Fisik Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara Jakarta dari bulan Oktober 2009 hingga Mei 2010.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, Ir. Sucahyo, MS. selaku pembimbing, Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc. selaku penguji luar komisi, Dr. Ir. Bintang CH Simangunsong, M.Si. PhD. selaku moderator dalam ujian tesis. Rasa terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada ayahanda Abdul Madjid Kallo, ibunda Nursjam Saharuna, serta saudara dan saudariku Nurmala, Rahmawati, Muhammad Fitrah, Nurjannah dan Abdul Hakim. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada Prof. Dr. Ir. Djamal Sanusi, Prof. Dr. Ir. Musrizal Muin, M.Sc. dan Dr. Ir. Beta Purtanto, M.Sc. yang telah memberikkan rekomendasi untuk melanjutkan kuliah di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman sekelas selama berkuliah di IPB, Ratih Damayanti, Muhammad Daud dan Malik Abaker; teman selama penelitian, Solihin, Nurhasana dan Riva.

Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini. Karena itu, secara terbuka penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak. Penelitian ini tidak hanya berhenti di sini, tapi akan terus berkembang seiring dengan semangat kita untuk memberikan yang terbaik bagi hutan, industri perkayuan dan konstruksi bangunan kita. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010 Agussalim

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Agustus 1983 dari Ayah Abdul Madjid Kallo dan Ibu Nursjam Saharuna. Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 5 Makassar, dan pada tahun 2002 lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru UNHAS. Penulis memilih Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus pada Februari 2008.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten pada mata kuliah Fisika dan Mekanika Kayu, Anatomi Kayu, Statistika I, Statistika II, Pengendalian Mutu Hasil Hutan, Dasar Aplikasi Komputer, Ilmu Ukur Kayu, dan Sistem Informasi Kehutanan. Penulis juga aktif pada beberapa organisasi diantaranya LDK MPM Unhas dan Pengurus Jama’ah Mushalla Ulil Al Baab Fakultas Pertanian dan Kehutanan Unhas, terakhir menjabat sebagai Sekretaris Umum LDK MPM UNHAS 2003/2004. Setelah lulus kuliah, penulis juga pernah menjadi asisten lapang dalam Praktek Umum mahasiswa Fakultas Kehutanan UNHAS di Hutan Pendidikan UNHAS.

Saat ini penulis juga tergabung sebagai anggota organisasi Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 3 Hipotesis ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5 Sambungan Kayu ... 5

Alat Sambung Baut ... 7

Kajian Persamaan Batas Leleh Baut ... 10

Batas Leleh Sambungan Kayu Geser Ganda ... 13

Peraturan Sambungan Kayu dengan Baut di Indonesia ... 19

Gambaran Umum Jenis Kayu ... 20

Kayu Sengon ... 20

Kayu Nangka ... 21

Kayu Punak ... 21

Kayu Kapur ... 22

Kayu Bangkirai ... 23

BAHAN DAN METODE ... 25

Waktu dan Tempat ... 25

Bahan dan Alat ... 25

(20)

Persiapan Bahan ... 26

Pengujian Sifat Fisis Mekanis Kayu ... 26

Pengujian Baut ... 27

Perencanaan Desain Sambungan ... 29

Pengujian Kekuatan Sambungan Kayu Geser Ganda ... 31

Analisis Data ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

Karakteristik Kayu... 35

Kadar Air, Berat Jenis dan Kerapatan ... 35

Kekuatan Tekan dan Tarik Maksimum Sejajar Serat ... 37

Karakteristik Baut ... 38

Nilai Desain Lateral Sambungan Kayu Geser Ganda ... 43

Nilai Desain lateral Sesaran 1,5 mm ... 43

Nilai Disain lateral Sesaran 5,0 mm ... 47

Nilai Desain Lateral Rujukan ... 51

Nilai desain baut berdiameter 6,4 mm ... 53

Nilai desain baut berdiameter 7,9 mm ... 54

Nilai desain baut berdiameter 9,4 mm ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

Kesimpulan ... 59

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan jumlah ulir pada baut UNF dan UNC ... 9 2 Analisis ragam bolt bearing strength ... 39 3 Uji Duncan jenis kayu terhadap nilai bolt bearing strength ... 40 4 Analisis ragam nilai desain lateral sambungan kayu geser ganda pada

sesaran 1,5 mm ... 43 5 Uji Duncan jenis kayu terhadap rata-rata nilai desain lateral per baut

pada sesaran 1,5 mm ... 44 6 Uji Duncan faktor diameter baut terhadap rata-rata nilai desain lateral

per baut pada sesaran 1,5 mm ... 45 7 Uji Duncan faktor jumlah baut terhadap rata-rata nilai desain lateral per

baut pada sesaran 1,5 mm ... 46 8 Analisis ragam nilai desain lateral sambungan kayu geser ganda pada

sesaran 5,0 mm ... 48 9 Uji Duncan jenis kayu terhadap rata-rata nilai desain lateral per baut

pada sesaran 5,0 mm ... 49 10 Uji Duncan faktor diameter baut terhadap rata-rata nilai desain lateral

per baut pada sesaran 5,0 mm ... 49 11 Uji Duncan faktor jumlah baut terhadap rata-rata nilai desain lateral per

baut pada sesaran 5,0 mm ... 50 12 Hasil uji nilai tengah berpasangan untuk nilai desain lateral rujukan

Z lokal dan Z NDS 2005 ... 53 13 Nilai desain lateral rujukan pada lima jenis kayu indonesia ... 57

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bentuk tampang sambungan kayu geser ganda. ... 14 2 Mode kerusakan Im pada sambungan kayu geser ganda. ... 15

3 Mode kerusakan Is pada sambungan kayu geser ganda. ... 15

4 Mode kerusakan IIIs pada sambungan kayu geser ganda. ... 16

5 Mode kerusakan IV pada sambungan kayu geser ganda. ... 16 6 Pengujian bolt bearingstrength terhadap komponen kayu. ... 28 7 Pengujian kuat tarik baut... 29 8 Contoh uji sambungan geser ganda. ... 30 9 Pengujian sambungan kayu geser ganda. ... 31 10 Diagram Alir Penelitian. ... 32 11 Diagram sebaran kadar air. ... 35 12 Diagram sebaran berat jenis dan kerapatan. ... 36 13 Diagram kekuatan tekan maksimum sejajar serat dan tarik maksimum

sejajar serat. ... 37 14 Diagram Fem dan Fyb berdasarkan ukuran diameter baut. ... 38

15 Bolt bearing strength pada 5 jenis kayu Indonesia. ... 40 16 Hubungan antara bolt bearing strength dan berat jenis (a) gabungan

seluruh baut, (b) baut berdiameter 6,4 mm; (c) baut berdiameter 7,9 mm; (d) baut berdiameter 9,4 mm ... 41 17 Diagram rataan nilai desain lateral pada sesaran 1,5 mm. ... 44 18 Kurva respon jumlah baut terhadap nilai desain lateral sambungan kayu

geser ganda dengan baut berpelat sisi baja pada sesaran 1,5 mm ... 46 19 Diagram rataan nilai disain lateral pada sesaran 5,0 mm. ... 48 20 Kurva respon jumlah baut terhadap nilai desain lateral sambungan kayu

(24)

21 Diagram rataan nilai desain lateral rujukan pada Z Lokal dan Z NDS 2005. ... 52 22 Diagram rataan nilai desain lateral pada sesaran 1,5 mm, 5,0 mm, Z Lokal dan Z NDS 2005 untuk baut berdiameter 6,4 mm. ... 54 23 Diagram rataan nilai desain lateral pada sesaran 1,5 mm, 5,0 mm, Z Lokal dan Z NDS 2005 untuk baut berdiameter 7,9 mm. ... 55 24 Diagram rataan nilai desain lateral pada sesaran 1,5 mm, 5,0 mm,

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data nilai kadar air sambungan geser ganda menurut beberapa diameter dan jumlah baut untuk lima jenis kayu ... 67 2 Data nilai kerapatan sambungan geser ganda menurut beberapa

diameter dan jumlah baut untuk lima jenis kayu ... 69 3 Data nilai berat jenis sambungan geser ganda menurut beberapa

diameter dan jumlah baut untuk lima jenis kayu ... 71 4 Data nilai kekuatan tarik maksimum sejajar serat sambungan geser

ganda menurut beberapa diameter dan jumlah baut untuk lima jenis kayu ... 73 5 Data nilai kekuatan tekan maksimum sejajar serat untuk lima jenis kayu 75 6 Data hasil perhitungan bolt bearing strength kayu ... 78 7 Data hasil perhitungan kekuatan lentur baut (Fyb) ... 80

8 Data nilai desain lateral sambungan geser ganda menurut beberapa diameter dan jumlah baut untuk lima jenis kayu pada sesaran 1,5 mm .... 81 9 Data nilai desain lateral sambungan geser ganda menurut beberapa

diameter dan jumlah baut untuk lima jenis kayu pada sesaran 5,0 mm .... 83 10 Analisis polinomial ortogonal jumlah baut terhadap nilai desain lateral

sambungan kayu pada sesaran 1,5 mm ... 85 11 Analisis polinomial ortogonal jumlah baut terhadap nilai desain lateral

sambungan kayu pada sesaran 5,0 mm ... 86 12 Hasil perhitungan nilai Z lokal dan Z NDS 2005 pada lima jenis kayu ... 87 13 Hasil uji nilai tengah berpasangan Z lokal dan Z NDS 2005 pada lima

(26)
(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Suatu bangunan struktural harus cukup kuat yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghuninya. Hal ini mengharuskan struktur bangunan tersebut memiliki kekakuan, kekuatan, kestabilan dan keseimbangan yang cukup (Canonica 1991). Dikatakan struktur dalam keadaan seimbang apabila beban total yang bekerja dapat diimbangi oleh gaya reaksi pada tumpuan, struktur stabil jika beban-beban yang bekerja menghasilkan deformasi yang tidak menyebabkan struktur runtuh, struktur pun harus cukup kuat dalam memikul beban tanpa patah dan struktur kaku apabila deformasi yang terjadi tidak membuat struktur menjadi tidak berguna.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kekuatan, kestabilan, keseimbangan dan kekakuan suatu bangunan struktural diantaranya rancang bangun, jenis kayu dan jenis sambungan yang digunakan. Kayu diketahui memiliki variabilitas yang sangat tinggi dalam sifat fisik maupun mekanik sebagai akibat dari pengaruh genetik dan lingkungan. Bowyer et al. (2003) menjelaskan bahwa kekuatan kayu berhubungan erat dengan berat jenis dimana kayu dengan berat jenis tinggi memiliki nilai kekuatan yang tinggi, sebaliknya pada kayu dengan berat jenis rendah. Perbedaan nilai kekuatan kayu ini akan menentukan dalam pemilihan jenis yang akan digunakan dalam konstruksi. Kayu dengan nilai kekuatan tinggi selalu akan menjadi pilihan utama, namun apabila harus menggunakan kayu dengan nilai kekuatan sedang ataupun rendah dapat menyiasati dengan penggunaan dalam jumlah yang lebih banyak atau dengan ukuran dimensi yang lebih besar dimana hal tersebut dilakukan berdasarkan perhitungan yang sesuai.

Selain harus memiliki kekuatan yang memadai, kayu juga harus memadai dalam hal bentangannya. Pada kenyataannya kayu perdagangan yang banyak dijumpai di pasar memiliki panjang yang terbatas, hal ini terkait dengan efisiensi pada saat pengangkutan. Kondisi ini mengharuskan untuk melakukan penyambungan pada kayu agar dapat memperoleh panjang bentang yang diinginkan. Sambungan merupakan titik terlemah dari suatu konstruksi, maka dalam membuat sambungan harus diperhitungkan cara menyambung sehingga

(28)

dapat menerima dan menyalurkan gaya yang bekerja padanya (Tular dan Idris 1981).

Alat sambung tipe dowel seperti paku dan baut relatif mudah diperoleh dan mudah dalam pengerjaannya sehingga banyak digunakan untuk bangunan di Indonesia. Penggunaan alat sambung paku biasa digunakan untuk konstruksi dengan disain kekuatan yang relatif kecil, sedangkan baut yang memiliki ukuran diameter lebih besar digunakan untuk disain kekuatan yang lebih besar (Breyer et al. 2007).

Penentuan kekuatan yang mampu dipikul oleh sambungan kayu dengan menggunakan alat sambung tipe dowel sudah sejak lama berkembang. Trayer (1932) pertama kali memperkenalkan formula untuk mendesain sambungan kayu yang didasarkan pada batas proporsi, namun formula tersebut tidak dapat memenuhi prinsip-prinsip teknik dan tidak dapat juga digunakan pada semua bentuk sambungan. Johansen (1949) kemudian mengajukan ide penentuan kekuatan sambungan kayu yang didasarkan pada batas leleh, teori ini kemudian dikenal dengan nama European Yield Model (EYM). Teori batas leleh ini cukup baik dalam menentukan nilai kekuatan sambungan kayu karena telah memenuhi prinsip-prinsip teknik.

American Forest and Paper Association kemudian mengadopsi teori batas leleh tersebut ke dalam NDS 1991. NDS 2005 yang ada saat ini tetap mengunakan batas teori leleh dalam penentuan nilai kekuatan sambungan kayu di Amerika. NDS 2005 secara lengkap menyajikan tabel nilai desain lateral rujukan baut untuk sambungan kayu yang menggunakan pelat geser tunggal maupun geser ganda dimana nilai-nilai tersebut dapat langsung digunakan dalam perancangan konstruksi. Penentuan nilai desain lateral rujukan sambungan kayu di Indonesia dapat ditentukan melalui pengujian empiris di laboratorium dimana nilai kekuatan kayu ditentukan pada sesaran 1,5 mm (PKKI NI-5). Indonesia sebenarnya juga mengadopsi teori batas leleh tersebut dalam Peraturan Kayu Indonesia SNI 2002, namun persamaan tersebut belum dapat digunakan karena tidak ada informasi yang jelas mengenai parameter-parameter yang digunakan dalam persamaan tersebut.

(29)

Perumusan Masalah

Untuk informasi kekuatan sambungan kayu di Indonesia sebenarnya telah disajikan tabel beban yang diperkenankan per baut, namun terbatas pada kayu kelas kuat II-III (berat jenis rata-rata 0,5) (Frick dan Moediartianto 2004). Tabel ini menyajikan nilai beban per baut dengan ukuran baut diameter yang sama dengan tabel NDS 2005 (1/2 inci – 1 inci). Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Indonesia memiliki ratusan kayu jenis komersil yang memiliki variabilitas kekuatan yang cukup tinggi akibat dari faktor genetik dan lingkungan tempat tumbuhnya. Komponen sambungan lainnya yakni baut dapat diperoleh dalam ukuran diameter yang juga bervariasi. Baut dengan ukuran 6,4 mm; 7,9 mm; dan 9,4 mm cukup banyak dijumpai di pasar, namun tidak dijumpai nilai desain baut tersebut sebagai alat sambung. Komponen pembentuk sambungan seperti balok kayu dan baut merupakan faktor yang akan mempengaruhi kekuatan dari sambungan kayu. Kombinasi penggunaan antara balok kayu dengan alat sambung yang menggunakan baut dalam ukuran dan jumlah berbeda pada suatu sambungan akan memberikan nilai kekuatan yang berbeda. Penelitian ini mencoba mengkaji pengaruh faktor diameter dan jumlah alat sambung baut terhadap kekuatan sambungan kayu geser ganda pada jenis kayu Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar pengaruh diameter dan jumlah baut terhadap kekuatan sambungan geser ganda kayu-pelat baja dan menganalisis nilai disain lateral sambungan kayu geser ganda dengan baut berpelat sisi baja pada lima jenis kayu Indonesia.

(30)

Hipotesis

1. Faktor diameter dan jumlah alat sambung baut mempengaruhi kekuatan sambungan kayu geser ganda berpelat baja pada lima jenis kayu Indonesia. 2. Terdapat hubungan nilai desain lateral sambungan kayu geser ganda berpelat

baja dengan berat jenis kayu Indonesia.

3. Nilai desain lateral untuk kayu Indonesia lebih tinggi dibanding nilai desain NDS 2005.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi dalam perencanaan desain konstruksi yang menggunakan sambungan kayu geser ganda dengan baut berpelat baja untuk jenis kayu Indonesia.

(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Sambungan Kayu

Menurut Hoyle (1973) sambungan adalah lokasi sederhana yang menghubungkan dua bagian atau lebih menjadi satu dengan bentuk tertentu pada ujung-ujung perlekatannya. Tular dan Idris (1981) menyatakan bahwa sambungan merupakan titik terlemah dari suatu konstruksi. Dalam pelaksanaan konstruksi kayu, harus diperhatikan cara menyambung, serta menghubungkan kayu tertentu sehingga dalam batas-batas tertentu gaya tarik dan gaya tekan yang timbul dapat diterima atau disalurkan dengan baik.

Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang diinginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang di inginkan. Sebuah sambungan pada suatu konstruksi merupakan titik kritis atau terlemah pada konstruksi tersebut. Oleh karena itu, kayu yang akan disambung harus merupakan pasangan yang cocok dan pas, penyambungan tidak boleh sampai merusak kayu yang disambung tersebut, sesudah sambungan jadi hendaknya diberi bahan pengawet agar tidak cepat lapuk dan sebaiknya sambungan kayu yang dibuat terlihat dari luar agar mudah untuk dikontrol (Surya, 2007).

Kekuatan sambungan tergantung pada kekuatan komponen penyusunnya, yaitu kayu yang disambung dan alat sambungnya. Sesuai dengan teori mata rantai kekuatan sambungan banyak ditentukan oleh komponennya yang terlemah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan sambungan adalah kerapatan kayu, besarnya beban yang diberikan dan keadaan alat sambungnya (Surjokusumo 1984).

Yap (1984) menyatakan bahwa bila kekuatan kayu tanpa sambungan dianggap 100 % maka penggunaan alat sambungan kayu mengakibatkan perlemahan sehingga kekuatannya berubah menjadi 30 % jika menggunakan alat sambung baut; 50 % jika menggunakan alat sambung paku; 60 % jika menggunakan alat sambung pasak kayu dan tetap 100 % jika menggunakan alat sambung perekat.

(32)

Menurut Wirjomartono (1977) sambungan kayu dapat dibagi menjadi tiga golongan besar: sambungan desak, sambungan tarik, dan sambungan momen. Alat-alat sambung dapat digolongkan menjadi empat, yaitu 1) paku, baut, skrup kayu, 2). pasak-pasak kayu keras, 3) alat-alat sambung modern dan 4) perekat. Selanjutnya bila dilihat dari cara pembebanannya, alat-alat sambung dibagi menjadi :

1. Alat sambung untuk dibebani geseran, misalnya : paku, baut, perekat dan pasak kayu

2. Alat sambung untuk dibebani bengkokan atau lenturan, misalnya paku, baut dan pasak kayu

3. Alat sambung untuk dibebani jungkitan, misalnya pasak kayu

4. Alat sambung untuk dibebani desakan, misalnya : kokot dan cincin belah. Sambungan berupa ikatan yang dibuat tepat pada permukaan kayu sejajar arah serat (perekat) memiliki sifat yang sama seperti kayu. Demikian juga sambungan antara lapisan panel-kayu-panel memiliki sifat yang sama dengan material terlemahnya. Ini adalah dasar untuk kayu laminasi dan untuk komponen bangunan seperti box-beam dan I-beam. Sambungan dengan perekat hanya digunakan pada sruktur yang relatif kecil seperti tiang dengan ukuran sedang. (Thelandersson danLarsen 2003)

Paku adalah jenis alat sambung yang paling umum digunakan. Di Amerika, paku biasa digunakan untuk mendesain sambungan ketika beban yang akan disalurkan relatif kecil dan jika bebannya besar akan digunakan jenis alat sambung lain (baut). Paku dapat ditempatkan berdekatan, sangat efektif dan relatif murah karena biasanya dapat dipakai secara langsung tanpa harus membuat lubang pada kayu (Thelandersson dan Larsen 2003, Breyer et al. 2007). Penggunaan paku dalam kayu keras mengharuskan dilakukan pengeboran terlebih dahulu untuk menghidari terjadinya pecah pada kayu. Besarnya lubang bor adalah 0,8-0,9D dan kedalaman lubah 2/3 dari tebal kayu. (Frick dan Maoediartianto 2004)

Baut dan jenis dowel lainnya digunakan dalam struktur kayu untuk memikul beban yang besar. (Thelandersson dan Larsen 2003, Breyer et al 2007). Baut biasanya memiliki ulir coarse dilengkapi dengan cincin yang memiliki

(33)

panjang 3D dan tebal 0,3D, dimana D adalah diameter baut. Lubang baut biasanya dibuat lebih besar 1-2 mm dari diameter baut, besarnya lubang yang dibolehkan NDS 2005 adalah 1/32 – 1/16 inci dari diameter baut, sedangkan PKKI NI-5 mensyaratkan lubang baut tidak lebih dari 1,5 mm dari diameter baut.

Alat Sambung Baut

Baut terbuat dari berbagai jenis bahan tetapi kebanyakan baut dibuat dari baja karbon (carbon steel), logam campuran (alloy steel), dan baja antikarat (stainless steel). Bahan lain adalah baut dari titanium dan alumunium tetapi penggunaannya terbatas hanya dalam industri luar angkasa. Baja karbon merupakan bahan pembuat baut paling murah dan paling banyak digunakan. Baut jenis ini biasanya dilapisi dengan zinc agar tahan terhadap korosi, kekuatannya bisa mencapai 55 ksi. Baja logam campuran adalah baja karbon berkekuatan tinggi yang dapat mencapai 300 ksi. Jika akan digunakan untuk keperluan industri luar angkasa, baja jenis ini biasanya dilapisi dengan cadmium untuk melindungi dari korosi. Baja antikarat tersedia dalam beberapa variasi logam campuran dimana memiliki kekuatan berkisar 70 – 220 ksi. Baja antikarat biasanya tidak membutuhkan pelapisan dan memiliki toleransi yang besar terhadap suhu dibandingkan jenis baja karbon atau baja logam campuran (Barret 1990).

Plating dan coating dilakukan terhadap baut untuk mencegah terjadi korosi. Beberapa jenis plating dan coating, yaitu cadmium plating, zinc plating,

phosphate coating, nickel plating, chromium plating, aluminum plating, sermatel W dan SermaGard, stalgard, nickel-cadmiumplating, silverplating, passivasi dan preoksidasi, dan black oxidecoating. Pelapisan dengan cadmium dilakukan untuk baut dalam industri luar angkasa. Zinc adalah jenis bahan pelapis yang paling umum digunakan. Zinc meleleh pada suhu 785oF tetapi dalam penggunaannya suhu dibatasi hingga 250oF (proteksi zinc terhadap korosi mengalami penurunan di atas suhu 140oF). Pelapisan baja atau besi dengan fosfor dilakukan melalui perlakuan perendaman dengan larutan asam fosfat, reaksi kimia yang terjadi akan membentuk lapisan pelindung tipis dan kristal fosfat. Jenis pelapis nikel merupakan salah satu metode tertua dalam pencengahan baja terhadap korosi dan memperbaiki penampilan baja. Namun pelapisan dengan nikel jarang dilakukan

(34)

kerana biaya yang mahal. Kromium umumnya digunakan untuk otomotif atau alat-alat dekoratif. Pelapis jenis ini juga termasuk mahal, pada prosesnya membutuhkan tembaga dan nikel agar pelapisannya baik (Barret 1990).

Pelumas ulir yang umum digunakan adalah oli, gemuk atau lilin, grafit, dan molybdenum disulfite. Terdapat pula beberapa jenis pelumas lainnya, yaitu

never-seez dan synergistic coating. Oli dan gemuk adalah pelumas yang paling banyak digunakan tetapi tidak dapat digunakan pada kondisi vakum, suhu untuk pelumas jenis oli dan gemuk maksimum 250oF. Pelumas grafit tidak dapat digunakan pada kondisi vakum, suhu penggunaan 212 – 250oF. Jenis pelumas yang dapat digunakan dalam kondisi vakum adalah Molybdenum disulfite dan

synergistic coating (Barrett 1990).

Jenis korosi yang dapat terjadi pada baut, yaitu korosi galvanik, korosi tegangan, hydrogen embrittlement dan cadmium embrittlement. Korosi galvanik terjadi ketika dua metal yang digunakan memiliki jumlah elektrolit tidak sama, seperti air. Sel galvanik akan terbentuk dan mengedap pada elektroda yang kurang aktif. Korosi tegangan terjadi akibat penempatan baut pada lingkungan yang bersifat korosif, seperti pada tempat bersuhu tinggi. Hydrogen embrittlement

terjadi ketika terdapat hidrogen bebas diluar ikatan metal. Reaksi kimia antara hidrogen dan karbon akan menghasilkan gas metan yang dapat menyebabkan retak dan reduksi kekuatan baut (Barret 1990). Penggunaan baut pada kayu menjadikan baut rentan mengalami korosi karena kehadiran air dan oksigen dalam sel kayu (Baker 1978 dalam Rammer et al. 2006).

Di tahun 2004, AWPA E12 2004 adalah satu-satu standar yang dapat digunakan untuk menduga secara cepat korosi bahan metal yang digunakan dalam kayu. Meskipun pengujian tersebut dapat memberikan hasil secara cepat, namun keterkaitan hasil pengukuran dengan kondisi suhu dan kelembaban sebenarnya saat penggunaannya tidak jelas. AC326 pada subbab 4.6 menetapkan penilaian korosi secara visual pada alat sambung yang digunakan dalam kayu. Penilaian dilakukan dengan menggunakan minimum sepuluh ulangan alat sambung dan diuji menurut prosedur E12. Setelah pengujian selesai, kondisi permukaan alat sambung diranking menurut beberapa kritreia. Pendekatan ini juga dinilai terbatas dan subjektif, terbatas karena tidak ada kriteria hubungan hasil pengujian dengan

(35)

kemampuan alat sambung dan subjektif karena area permukaan kurang baik dalam mendefinisikan beberapa jenis alat sambung seperti alat sambung berulir. Selanjutnya ASTM mengajukan pengujian dengan menggunakan AWPA E12 sebagai dasar lingkungan statis dan menambahkan siklus fog untuk simulasi pergantian cuaca yang mungkin terjadi dalam penggunaan. Rammer et al. (2006) mengajukan 3 kegiatan yang perlu dikembangkan untuk pemahaman yang lebih baik mengenai pengaruh korosi metal pada kayu dan pelapisan alat sambung metal, yaitu metode untuk menentukan area permukaan untuk alat sambung berulir, pengembangan prosedur pengujian untuk alat sambung yang dilapisi, dan pemaparan data yang panjang untuk menghubungkan hasil pengujian dengan kemampuan alat sambung saat dalam penggunaan.

Unified National Coarse (UNC) adalah jenis ulir yang paling banyak digunakan pada alat sambung. Selain itu terdapat juga jenis ulir lain, seperti Unified National Fine (UNF), Unified National Extra Fine (UNEF), UNJC, UNJF, UNK dan constant-pitch thread. Pembuatan baut UNC lebih mudah dibanding UNF, namun UNF memiliki kemampuan memikul beban yang sedikit lebih besar. UNF memiliki diameter ulir yang lebih kecil sehingga kemampuan putar-menguncinya lebih baik dari UNC (Barret 1990) dimana jumlah ulir per inci UNF lebih banyak (Pedal Power Generator LCC 2007).

Tabel 1 Perbandingan jumlah ulir pada baut UNF dan UNC

Size (width) Diameter (inci) (ulir per inci) UNF (ulir per inci) UNC

1/4 0,25 28 20 5/16 0,3125 24 18 3/8 0,375 24 16 7/16 0,4375 20 14 1/2 0,5 20 13 9/16 0,5625 18 12 5/8 0,625 18 11 3/4 0.75 16 10 7/8 0,875 14 9 1 1 14 8

(36)

Baut A307, A325, A499 dan A490 adalah baut paling banyak digunakan dalam US Customary Unit (USCU). Baut A307 secara teknis bukan baut untuk tujuan struktural, baut ini sering digunakan untuk memikul beban kecil namun di Amerika baut jenis ini biasanya digunakan pada sambungan kayu (Computer System Support 1998, Breyer et al. 2007). Baut A325 paling banyak digunakan sebagai alat sambung pada konstruksi baja (Barus dan Panjaitan 2008). Kekuatan tarik baut aktual yang diproduksi melebihi nilai minimum yang ditetapkan. Hasil pengukuran baut A325 berdiameter 1/2 – 1 inci memiliki kekuatan tarik 18% lebih baik dibandingkan nilai minimum yang ditetapkan, sedangkan kekuatan tarik aktual baut A490 10% lebih baik (Kulak 2005).

Kajian Persamaan Batas Leleh Baut

Forest products Laboratorty memperkenalkan desain formula untuk penyambungan kayu dengan baut berpelat sisi yang memperoleh beban secara aksial di tahun 1930an. Formula tersebut didasarkan pada kekuatan batas proporsi (Moss 1997, Breyer et al. 2007). Parameter yang digunakan dalam formula tersebut adalah diameter dan panjang alat sambung. Formula empiris tersebut secara sederhana menghasilkan nilai beban yang diperoleh melalui pengujian laboratorium. Namun, formula tersebut tidak dapat diperoleh menggunakan prinsip-prinsip mekanis teknik dan tidak dapat digunakan pada semua sambungan (Breyer et al. 2007).

Di tahun 1940an, pendekatan analisis sambungan dikembangkan di Eropa. Johansen (1949) dalam Balma (1999) pertama kali memperkenalkan ide perhitungan kekuatan sambungan yang didasarkan pada kekuatan leleh baut dan kekuatan rusak kayu, formula ini dikenal dengan nama European Yield Model (EYM). Penelitian yang dilakukan oleh Forest Products Laboratory hingga 1980an menyimpulkan bahwa pendekatan mekanis teknis yang didasarkan pada teori batas leleh lebih memungkinkan untuk menganalisis alat sambung tipe dowel dalam sambungan kayu (Breyer et al. 2007). American Forest and Paper Association (AFPA) pertama kali mengadopsi teori tersebut dalam NDS 1991. Formula NDS ini telah digunakan pada berbagai alat sambung tipe dowel seperti baut, sekrup dan paku (Balma 1999).

(37)

Sawata dan Yusumura (2003) melakukan analisis nonlinear finite elemen

pada sambungan kayu dengan baut dengan pembebanan sejajar dan tegak lurus arah serat yang dibandingkan dengan hasil pengujian eksperimetal dan teori leleh. Sambungan kayu dibuat dengan dua pelat sisi baja geser ganda dengan satu pelat baja ditempatkan pada bagian dalam kayu. Kekuatan geser sambungan baut yang dihitung dari teori leleh dan momen leleh menunjukkan kesesuaian dengan kekuatan geser yang diperoleh dari 5% offset dari kurva load-slip dalam pengujian eksperimental dan analisis, demikian pula halnya dengan kekuatan geser

ultimatenya.

Kamachi et al. (2006) juga mencoba mengembangkan metode baru untuk mengestimasi karakteristik load-slip dari sambungan kayu geser ganda dengan baut karena menganggap bahwa penggunaan teory of a beam on elastic foundation (TBEF) dalam mengestimasi beban leleh memiliki masalah besar pada kemungkinan titik sendi terjadi sepanjang batang baut dan hal ini menyebabkan momen tidak dapat diselesaikan. Masalah lain dalam metode tersebut adalah terjadi peningkatan beban setelah terjadi leleh pada sambungan. Metodenya diharapkan dapat menentukan kekakuan, batas proporsi, beban leleh dan besarnya peningkatan beban setelah terjadi leleh. Metode tersebut adalah persamaan turunan yang didasarkan pada TBEF. Hasil pengujian eksperimental menunjukkan bahwa metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mengestimasi, namun metode tersebut dapat digunakan untuk menentukan beban ijin untuk alat sambung tipe dowel lainnya yang digunakan dalam konstruksi kayu.

Bolt bearing strength (kuat tumpu baut) adalah suatu sifat mekanik bahan yang ditentukan berdasarkan hasil uji yang menggambarkan kuat batas dari kayu di sekeliling lubang yang terbebani tekan oleh pasak atau baut (Tjondro 2007). Perilaku bolt bearing strength terhadap kayu tidak dapat dijelaskan oleh sifat kekuatan tekan kayu, atau dengan kata lain kekuatan tekan kayu berbeda dengan

bolt bearing strength (Hong dan Barret 2008). Smith et al. (1988) dalam Tjondro (2007) melakukan pengujian untuk Eurocode 5, menemukan bahwa diameter baut akan berpengaruh pada bolt bearing strength.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tjondro (2007) diperoleh persamaan kuat tumpu baut (bolt bearing strength, Fe) untuk kayu Indonesia

(38)

dimana persamaan yang dibangun tersebut tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh berat jenis kayu namun juga oleh rasio kelangsingan baut. Selain hal itu, Tjondro (2007) juga mengemukakan bahwa kayu dengan berat jenis tinggi akan menghasilkan nilai batas proporsi sambungan yang lebih kecil, sedangkan rasio kelangsingan baut dan jarak ujung memberikan pengaruh yang kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Jumaat et al. (2008) terhadap bebarapa kayu Malaysia juga menyimpulkan bolt bearing strength kayu Malaysia secara signifikan dipengaruhi oleh kerapatan kayu.

Penelitian Rammer et al. (2001) dalam Abbasi et al. (2006) menjelaskan pengaruh kadar air terhadap bolt bearing strength kayu pada lima tingkat kadar air (4%, 6%, 12%, 19% dan segar). Pada kadar air 4% hingga 19% mengalami reduksi terhadap bolt bearing strength, selanjutnya pada kondisi segar hingga kadar air 150% nilai bolt bearing strength cenderung konstan. Metode numerik yang diajukan Abbasi et al. (2006) untuk simulasi pengaruh kadar air terhadap sambungan kayu menyimpulkan bahwa pengaruh kadar air dalam pengujian bolt bearing strength tidak cukup untuk melengkapi kevalidan model yang dibuatnya. Penurunan nilai bolt bearing strength akibat pengaruh kadar air harus dipertimbangkan hingga kadar air 25% (Sauvat et al. 2008).

Desain sambungan baut di hampir seluruh dunia didasarkan pada European Yield Model (EYM). Model tersebut hanya dapat memprediksi kapasitas sambungan dengan model kerusakan duktil, sedangkan kerusakan pada kayu dapat pula berupa kerusakan brittle (Habrick dan Quenneville 2006, Quennneville 2008). Sambungan dengan kerusakan duktil terjadi ketika kayu rusak oleh baut, menghasilkan kerusakan bearing. Kerusakan akan meningkat dengan peningkatan beban hingga sambungan mencapai bentuk plastis dimana beban konstan dan kerusakan bertambah. Kerusakan brittle meliputi keruntuhan kayu disekitar sambungan. Gaya tarik menyebabkan retak pada kayu sebelum duktil terjadi. Saat retak berlanjut, sambungan mengalami kehilangan kekuatan secara cepat diakibatkan kerusakan yang juga berlangsung cepat. Pengurangan jarak ujung mempengaruhi bentuk dan besarnya distribusi tegangan. Pada dasarnya, saat jarak ujung dari sambungan berkurang akan menyebabkan perubahan model kerusakan sambungan dari bearing menjadi shear-out

(39)

(kerusakan brittle). Perubahan ini dapat menyebabkan turunnya kemampuan memikul beban dari sambungan (Echavarria dan Salenikovich 2006).

NDS 2005 mengemukakan bahwa kapasitas pada alat sambung majemuk mungkin dibatasi oleh kerusakan kayu pada net section atau tear-out di sekitar alat sambung akibat dari tegangan lokal. NDS 2005 kemudian memberikan persamaan untuk menghitung tegangan lokal, yaitu kapasitas net section tension,

row-tear out dan group tear-out. Quenneville (2008) mengajukan persamaan untuk menghitung kapasitas tegangan lokal yang dibandingkan dengan standar yang telah ada dan disimpulkan bahwa persamaan tersebut cukup komprehensif untuk menggantikan ketelitian dari Eurocode 5 dan CSA O86. Persamaan ini juga cukup fleksibel untuk digunakan pada banyak kasus-kasus pendesainan.

Penelitian oleh Fardy et al. (2006) mencoba meningkatkan kapasitas memikul beban sambungan kayu tipe dowel dengan penggunaan polimer Furfural Alcohol (Furan) dan Polyester Styrene (PS) pada lubang sambungan. Penggunaan polimer tersebut terbukti dapat meningkatkan kapasitas kekuatan sambungan kayu secara signifikan. Polimer PS memberikan peningkatan kekuatan sambungan yang lebih bagus dibanding furan. Haller dan Birk (2006) melakukan penguatan lubang sambungan dengan menggunakan tekstil untuk pakaian. Pengujian embedding strength kayu menunjukkan peningkatan kekuatan, kekakuan dan duktilitas dowel secara signifikan.

Batas Leleh Sambungan Kayu Geser Ganda

Karakteristik pembebanan untuk baut, sekrup atau alat sambung tipe dowel lainnya diprediksi dari kekuatan material yang didasarkan pada teori leleh (AFPA 1996). Teori umum untuk memprediksi kemampuan memikul beban sambungan kayu dengan alat sambung tipe dowel pertama kali dikembangkan oleh Johansen (1949) berdasarkan pada kekuatan leleh baut dan kekuatan kayu (Johansen 1949 dalam Balma 1999). Model tersebut kemudian ditunjukkan oleh McLain dan Thangjitham (1983) dalam AFPA 1996; Soltis et al. (1987, 1986)

dalam AFPA (1996) dan lainnya untuk memprediksi kuat leleh dari sambungan dengan lebih akurat.

(40)

Model leleh menggunakan embedding strength (Fe) dan fastener yield strength (Fy) dan geometri sambungan untuk memprediksi beban leleh sambungan

dengan dua atau tiga komponen sambungan (AFPA 1996). Pada NDS 2005,

embedding strength dikatakan sebagai dowel bearing strength. Istilah tersebut digunakan untuk nilai pengujian pembenaman alat sambung tipe dowel ke dalam balok kayu atau pelat baja, disimbolkan dengan (Fe). Dowel bearing strength

ditentukan dengan menggunakan beban leleh pengujian yang letaknya offset 5% dari diameter baut, sedangkan embedding strength pada persamaan Johansen memakai beban maksimum (ultimate).

Sumber : Forest Products Laboratory (1999)

Gambar 1 Bentuk tampang sambungan kayu geser ganda.

Nilai dowel bearing strength terhadap balok kayu atau biasa dikatakan sebagai komponen utama (main member) disimbolkan dengan (Fem) sedangkan

terhadap side member disimbolkan dengan (Fes). Untuk komponen side member

dapat menggunakan kayu ataupun pelat baja. Nilai Fes sebenarnya besarnya 2,4

kali dari kuat tarik untuk baja hot-rolled dan 2,2 kali dari kuat tarik baja cold-formed. Namun untuk dapat digunakan secara langsung dalam persamaan batas leleh NDS 2005 maka nilai Fes mengalami reduksi yang berkaitan dengan lama

pembebanan pada sambungan. Sehingga diperoleh nilai Fes = 1,5Fu untuk baja hot-rolled dan Fes = 1,375Fu untuk baja cold-formed (Breyer et al. 2007)

Sambungan kayu geser ganda terdiri atas dua buah side member yang mengapit main member. Kayu digunakan sebagai main member pada sambungan ini, sedangkan untuk side member bisa menggunakan kayu ataupun pelat baja. Didasarkan pada mekanisme sambungan, terdapat empat macam bentuk

main member

(41)

kerusakan yang terjadi pada sambungan kayu geser ganda yang digambarkan oleh NDS.

Sumber : Forest Products Laboratory (1999)

Gambar 2 Mode kerusakan Im pada sambungan kayu geser ganda.

Kerusakan mode I semata-mata terjadi pada kayu dimana kerusakan mode ini dikategorikan sebagai kerusakan pada kayu tanpa rotasi dari alat sambung yang keluar dari shear plane sambungan (Balma 1999). Pembebanan terhadap sambungan geser ganda seperti ditunjukkan pada Gambar 2 menyebabkan kerusakan terjadi pada main member, mode Im.

Sumber : Forest Products Laboratory (1999)

Gambar 3 Mode kerusakan Is pada sambungan kayu geser ganda.

Mode Is menunjukkan terjadi kerusakan pada bagian side member saat

beban berlawanan arah bekerja pada main member dan side member. Alat sambung pada mode kerusakan ini juga tidak mengalami kerusakan.

(42)

Sumber : Forest Products Laboratory (1999)

Gambar 4 Mode kerusakan IIIs pada sambungan kayu geser ganda.

Kerusakan mode leleh III dan IV terjadi pada kayu yang mengalami kerusakan dan alat sambung yang leleh permanen (Balma 1999). IIIS

mengambarkan kerusakan yang terjadi pada bagian alat sambung dan side member dimana alat sambung baut leleh terhadap lentur dengan satu sendi plastis. Sendi plastis terjadi di main member namun tidak terjadi kerusakan. Pada sambungan yang menggunakan baja sebagai side member kerusakan ini kecil sekali kemungkinan terjadinya.

Sumber : Forest Products Laboratory (1999)

Gambar 5 Mode kerusakan IV pada sambungan kayu geser ganda.

Mode IV menunjukkan model kerusakan yang terjadi pada alat sambung dimana baut leleh terhadap lentur dengan dua titik sendi plastis per bidang geser dan dengan hancurnya kayu.

(43)

Thelandersson dan Larsen (2003) menyajikan banyak formula sambungan kayu, baik untuk sambungan geser tunggal (single shear) maupun geser ganda (double shear). Formula atau rumus kekuatan sambungan kayu geser ganda menggunakan pelat baja pada kayu dengan alat sambung tipe dowel sebagai berikut :

1. Kerusakan terjadi pada balok kayu sedangkan alat sambung tipe dowel (baut) tidak mengalami kerusakan, maka R = 0,5 fh,2t2D.

2. Balok kayu dan alat sambung tipe dowel mengalami kerusakan, maka R = √2Myfh,2D; dimana R kekuatan sambungan per alat sambung per bidang

geser, My momen yang terjadi pada alat sambung, fh,2 kekuatan melekat atau

mengikat alat sambung pada balok kayu, t2 tebal balok kayu dan D diameter

alat sambung.

Persamaan nilai desain lateral rujukan (nilai desain rujukan format ASD) sambungan geser tunggal maupun geser ganda balok kayu-pelat baja dengan sambungan baut yang diperoleh dari persamaan batas leleh pada prinsipnya berlaku juga untuk alat sambung baut (Breyer et al. 2007). Persamaan nilai desain lateral rujukan sambungan kayu geser ganda balok kayu-pelat baja dengan baut tunggal sangat dipengaruhi oleh parameter dowel bearing strength (Fe) dan

bending yield strength (Fyb), faktor diameter baut (D), penetrasi (panjang) baut dalam balok utama (ℓm) dan dalam pelat baja (ℓs).

Persamaan batas leleh dengan empat mode (pola) kerusakan untuk sambungan double shear dengan alat sambung tipe dowel adalah sebagai berikut. 1. Persamaan mode Im:

Z = D(ℓm)(Fem)/4

2. Persamaan mode Is: Z = 2D(ℓs)(Fes)/4,

3. Persamaan mode IIIs:

Z = 2k3D(ℓs)(Fem)/3,2(2+Re)4

4. Persamaan mode IV:

(44)

Dimana Z nilai disain rujukan per alat sambung per bidang geser (kg), Fyb

bending yield strength/kuat lentur baut (kg.cm-2), F

em kekuatan melekat atau

mengikat (dowel bearing strength) terhadap balok kayu utama (kg.cm-2), F

es

dowel bearing strength terhadap pelat logam tepi (kg.cm-2) dan D diameter alat sambung dowel (cm).

Perkembangan terakhir studi sambungan kayu dikemukakan oleh Blass

dalam Thelandersson dan Larsen (2003) tentang fenomena sambungan-sambungan kayu dengan berbagai alat sambung tipe dowel. Dari hasil pengamatannya dikatakan bahwa terdapat tiga parameter utama yang cenderung mempengaruhi kekuatan sambungan menggunakan alat sambung tipe dowel (baut), yaitu :

1. Kemampuan lentur alat sambung (bending capacity of the dowel). Kemampuan melentur ini sangat tergantung dari diameter dan kekuatan bahan atau alat sambungnya.

2. Kemampuan melekat atau mengikat alat sambung ke dalam kayu solid atau kayu komposit (embedding strength). Kekuatan mengikat tersebut terutama tergantung dari kerapatan kayu dalam mencengkeram baut. Dengan demikian terdapat kaitan langsung dengan luas permukaan (diameter dan panjang) alat sambung yang masuk kedalam kayu.

3. Kekuatan withdrawal terutama pada alat sambung yang memiliki permukaan tidak halus.

Hoyle (1973) menjelaskan bahwa prinsip dasar penggunaan baut adalah untuk menahan beban tegak lurus terhadap sumbu baut pada beban yang bersudut 0o sampai 90o terhadap arah serat kayu. Wirjomartono (1977) menjelaskan bahwa baut dengan cincin dan mur merupakan suatu konstruksi jepitan. Karena kurang telitinya para pekerja dan adanya penyusutan kayu-kayu setelah beberapa lama dalam konstruksi maka perhitungan – perhitungan baut didasarkan atas keadaan baut dengan mur dan cincin-cincin tidak bekerja sama sekali. Kekuatan sambungan baut dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu 1) daya dukung baut itu sendiri terhadap lenturan; 2) geseran pada kampuh-kampuhnya (titik hubung) dan sesaran. Ini tergantung dari gaya tarik (gaya normal) yang timbul dalam baut itu serta, 3) kekuatan kayu.

(45)

Sambungan konstruksi kayu dengan baut diperlukan persyaratan karena berkaitan dengan sifat-sifat kayu dan sifat alat sambungnya antara lain 1) kadar air, dimana kestabilan kayu sangat besar pengaruhnya terhadap besarnya kadar air 2) lubang baut, dimana besarnya lubang baut dibuat secukupnya dan 3) jarak baut terhadap sisi-sisi dan ujung kayu, karena adanya lubang baut sangat mempengaruhi terhadap kekuatan kayunya.

Saat menggunakan baja sebagai pelat sisi (main member), tegangan

bearing baut sejajar serat pada batas proporsional sambungan lebih baik sekitar 25% dari pelat sisi dari kayu. Deformasi sambungan pada batas proporsi lebih kecil dengan menggunakan baja. Jika beban pada deformasi sambungan yang sama dibandingkan, beban pada sambungan dengan pelat sisi baja 75% lebih baik dibandingkan pelat sisi kayu. Sebelum tahun 1991, kriteria desain dalam peningkatan kekuatan sambungan yaitu dengan cara pengunaan pelat sisi baja, setelah 1991 kriteria desain termasuk perilaku pelat sisi baja ditentukan melalui persamaan model leleh (Forest Produtcts Laboratory 1999).

Peraturan Sambungan Kayu dengan Baut di Indonesia

Nilai kekuatan atau nilai desain lateral sambungan kayu di Indonesia dibatasi hingga sesaran 1,5 mm (PKKI NI-5). Atau beban rusak dibagi dengan faktor aman 2,75. Pada pengujian sambungan kayu, titik proposional (Proportional Limit Load, Pp) berada pada sesaran + 1,25 mm sedangkan untuk beban leleh (Yield Load, Py) pada sesaran + 1,5 mm (Rosalina 2009). Nilai tersebut dapat diperoleh dengan pengujian empiris sambungan kayu di laboratorium. Cara penentuan nilai kekuatan tersebut berlaku untuk sambungan kayu dengan perekat, pasak, paku ataupun baut (Yap 1984).

Dalam PKKI NI-5 rumusan untuk menentukan kekuatan baut dalam sambungan dibagi dalam tiga golongan kelas kuat kayu yaitu : golongan I adalah semua kayu dengan kelas kuat I ditambah dengan kayu rasamala ; golongan II adalah semua kayu dengan kelas kuat II dan kayu jati ; golongan III adalah semua kayu kelas kuat III ; sedangkan golongan IV dan V tidak diadakan karena dalam praktek kayu-kayu tersebut hampir tidak pernah digunakan untuk konstruksi.

(46)

Penentuan nilai desain lateral rujukan di Indonesia seperti yang tercantum pada Peraturan Kayu Indonesia SNI 2002 juga menggunakan teori batas leleh yang mengadopsi model batas leleh baut NDS, namun dengan faktor aman yang berbeda. Untuk persamaan dengan model kerusakan Im, SNI 2002 menggunakan

faktor aman 0,83 sedangkan NDS 2005 memakai faktor 0,25. Penggunaan nilai tersebut mungkin karena penilaian bahwa kekuatan kayu Indonesia lebih tinggi dibanding kayu-kayu Amerika.

NDS 2005 menyajikan tabel nilai desain lateral rujukan baut untuk sambungan kayu yang menggunakan pelat geser tunggal maupun geser ganda dimana nilai-nilai tersebut dapat langsung digunakan dalam perancangan konstruksi. Nilai desain tersebut diperoleh dari persamaan batas leleh berdasarkan jenis kayu, ukuran kayu dan juga baut yang banyak digunakan di Amerika. Ukuran diameter baut yang digunakan adalah 1/2 inci hingga 1 inci, sedangkan berat jenis bervariasi 0,35 – 0,67. Indonesia juga menyajikan tabel beban yang diperkenankan per baut pada sambungan kayu dengan kelas kuat II-III (berat jenis rata-rata 0,5) (Frick dan Moediartianto 2004). Tabel ini juga menyajikan nilai beban per baut dengan ukuran baut diameter yang sama dengan tabel NDS 2005 (1/2 inci – 1 inci).

Gambaran Umum Jenis Kayu Kayu Sengon

Kayu sengon memiliki nama latin Paraserianthes falcataria termasuk dalam famili Mimosaceae. Jenis kayu ini dapat tersebar di Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya. Di Jawa Kayu ini dikenal juga dengan nama lain jeunjing dan atau sengon laut, di daerah Sulawesi kayu ini disebut juga dengan tedehu pute. Berbeda lagi dengan Maluku dimana kayu ini dikenal dengan nama rare, selowaku, seka, sikal sikas, tawa sela, sedangkan di Irian Jaya dikenal dengan nama bae-bai, wahagon, wau, dan wikkie. Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m, diameter mencapai 80 cm.

(47)

Kayu teras sengon berwarna hampir putih atau cokelat muda, sedangkan kayu gubalnya umumnya tidak berbeda dengan kayu teras. Kayu ini memiliki tekstur agak kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar atau berpadu.

Kayu sengon memiliki berat jenis 0,33 (0,24 – 0,49) termasuk pada kelas kuat IV-V dengan kelas awet IV/V. Kayu sengon termasuk sebagai jenis kayu yang mudah dalam pengerjaan. Kayu sengon oleh penduduk Jawa Barat banyak digunakan untuk bahan perumahan seperti papan, balok, tiang, kaso, dan sebagainya. Kayu ini dapat digunakan sebagai bahan pembuat peti, venir, pulp, papan semen wol kayu, papan serat, papan partikel, tangkai korek api, kelom dan kayu bakar.

Kayu Nangka

Kayu nangka memiliki nama latin Artocarpus sp dan termasuk ke dalam family Moraceae. Jenis ini tersebar di seluruh kawasan Asia yang beriklim tropis dan banyak digunakan sebahai bahan bangunan dan bahan baku meubel.

Kayu nangka memiliki berat jenis rata-rata yaitu 0,66 dengan kelas kuat II dan kelas awet II-III. Ciri-ciri umum dari kayu nangka yaitu kayu ini memilik serat agak kasar dan berwarna kuning sirum mengkilat. Warna kuning tersebut disesabkan oleh kandungan morine dimana zat ini dapat diekstrak dengan air panas atau alkohol. Ekstrak morine pada kayu nangka dapat digunakan sebagai pewarna kuning pada makanan.

Pada proses pengeringan dari kondisi basah sampai kering udara, penyusautan yang terjadi pada bidang radial dan tangensial hampir sama dan relatif stabil (T/R ratio mendekati 1). Kayu nangka memiliki nilai elastisitas (MoEs dan MoEd) yaitu sebesar 29.179 kg.cm-2 dan 105.807 kg.cm-2, sedangkan MOR untuk kayu nangka sebesar 487,75 kg.cm-2.

Kayu Punak

Kayu punak memiliki nama latin Tetramerista glabra miq. Kayu ini termasuk dalam family Theaceae dengan daerah penyebaran Sumatera dan Kalimantan. Kayu ini dikenal juga dengan nama kayu punah atau lempunak. Kayu

(48)

ini memiliki warna cokelat merah muda kekuning-kuningan dengan tekstur kayu yang kasar.

Kayu punak memiliki rata-rata berat jenis 0,76 (0,55 – 0,90) masuk dalam kelas awet III-IV dengan kelas kuat II. Kayu punak tergolong jenis kayu yang mudah untuk dikerjakan dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan, plywood, kayu perkakas, lanta, papan, rangka pintu dan jendela, kayu perkapalan, tiang,

moulding.

Ciri utama yang dapat dijumpai dalam indentifikasi kayu punak berupa teras kuning jerami sampai cokelat merah muda, eras, pembuluh hampir seluruhnya berganda radial, parenkim kelompok baut, jari-jari dua ukuran lebar. Ciri-ciri anatomi dari kayu punak ini adalah soliter dan berganda radial 2-6 sel, diameter 200 mikron, frekuensi 2-3 per mm2, bidang perforasi bentuk tangga, tilosis jarang, endapan cokelat merah. Parenkim baur atau kelompok baur berupa garis-garis tangensial pendek diantara jari-jari. Jari-jari dua macam lebar, agak sempit dan agak lebar, frekuensi 10 per mm.

Kayu Kapur

Kayu kapur memiliki nama latin Dryobalanops sp termasuk dalam famili

Dipterocarpaceae. Nama daerah jenis kayu ini cukup banyak, di Kalimantan kayu ini dikenal dengan nama ampadu, ampalang, awang tanet, bayau, belakan, kapur, mohoi, sintok, tulai, wahai, sedagkan di Sumatera dikenal dengan nama haburuan, kaberun, kamfer dan kuras. Kayu ini tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon kapur berkisar antara 35-45 m dan dapat mencapai 60 m, panjang batang bebas cabang 30 m atau lebih, diameter 80-100 cm. Bentuk batang sangat baik, lurus dan silindris dengan tajuk kecil, kadang-kadang berbanir sampai 2 meter.

Kayu kapur memiki kayu teras berwarna merah, merah-cokelat atau merah kelabu dan kayu gubal berwarna hampir putih sampai cokelat kekuningan muda. Tekstur kayu agak kasar dan merata dengan arah serat lurus atau berpadu. Berat jenis kayu kapur 0,81 (0,63 – 0,94) masuk pada kelas kuat I-II dengan kelas awet II-III.

(49)

Kayu kapur banyak mengandung silika sehingga sulit dalam pengerjaan dengan mesin dan gergaji dalam keadaan kering, kondisi ini dapat menyebabkan gigi gergaji tumpul. Dalam kondisi basah, kayu ini lebih mudah dikerjakan, namun akan gigi gergaji biasanya agak lengket. Kayu kapur dapat digunakan untuk balok, riang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga dipakai untuk kayu perkapalan.

Kayu Bangkirai

Nama latin kayu bangkirai adalah Shorea laevifolia Endert yang merupakan famili Dipterocarpaceae. Kayu ini dikenal juga dengan nama anggelam dan benuas (Kalimantan), sedang di Negara lain seperti Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Itali, Malaysia, Belanda dan Jerman kayu ini disebut bangkirai. Kayu ini banyak tersebar di daerah Kalimantan. Pohon bangkirai bias mencapai 40 m dengan panjang bebas cabang 10-30 m, diameternya bisa mencapai 120 cm. Kulit warna kelabu, merah atau cokelat sampau merah tua, beralur dan mengelupas kecil-kecil. Warna kayu teras berwarna kuning cokelat, kayu gubal cokelat muda atau kekuning-kuningan. Tekstur halus sampai agak kasar.

Berat jenis kayu 0,91 (0,60-1,16) termasuk kelas awer I dengan kelas kuat I-II. Kayu ini memiliki kembang susut yang cukup besar, daya retak sedang sampai tinggi. Tempat tumbuh pada tanah liat berpasir dan tanah podzolik. Kegunaan kayu biasanya untuk bangunan jembatan, tiang listrik, bantalan rel kerata api, kayu perkapalan dan konstruksi berat lainnya.

(50)
(51)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Mei 2010, bertempat di Laboratorium Pengeringan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan dan Laboratorium Terpadu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Fisika dan Mekanika Pusat Penelitan dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor dan Laboratorium Metalurgi Fisik Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara Jakarta.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian adalah 5 jenis kayu Indonesia: sengon (Paraserianthes falcataria), nangka (Artocarpus sp), punak (Tetramerista glabra), kapur (Dryobalanops sp), dan bangkirai (Shorea laevifolia). Jenis kayu tropis tersebut diperoleh dalam bentuk balok kayu berukuran 6 cm x 12 cm x 400 cm. Bahan lainnya adalah baut dengan ukuran diameter 6,4 mm, 7,9 mm, dan 9,4 mm dengan panjang 10 cm.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gergaji mesin, gergaji besi, mesin serut, kaliper, timbangan elektrik, oven, mesin bor, Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu kapasitas 30 ton dan UTM merk Instron

kapasitas 5 ton.

Metodologi Penelitian

Metoda pengujian sifat fisik yang meliputi kadar air, kerapatan, berat jenis dan sifat mekanik meliputi kekuatan tekan maksimum sejajar serat kayu dan kekuatan sambungan kayu geser ganda. Pengujian kekuatan tekan maksimum sejajar serat menggunakan UTM merk Instron, sedangkan pengujian kekuatan sambungan kayu geser ganda dilakukan dengan UTMmerk Shimadzu.

(52)

Persiapan Bahan

Lima jenis kayu yaitu nangka, punak, kapur, kempas dan bangkirai dikeringkan dalam kiln dry terlebih dahulu kurang lebih 3 minggu untuk mencapai kondisi KA kering udara. Contoh uji kadar air, kerapatan dan berat jenis dibuat dari contoh dan dimensi yang sama dengan ukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm didasarkan pada standar Amerika, yaitu American Society for Testing and Materials (ASTM) D143-94. Untuk contoh uji tekan maksimum sejajar serat kayu adalah 2 cm x 2 cm x 6 cm menggunakan standar Inggris (BS-373 1957). Contoh uji sambungan kayu geser ganda dibuat dari balok kayu berukuran penampang 6 cm x 12 cm dengan panjang 30 cm.

Penyambungan mekanis antar dua balok dilakukan dengan menggunakan pelat sambung baja berukuran penampang 1,5 cm (tebal) x 12 cm (lebar) x 30 cm (panjang). Pada setiap pelat sambung baja dibuat lubang sebesar ukuran diameter menurut masing-masing alat sambung baut. Selanjutnya pada setiap ukuran diameter per pelat sambung dibuat 4 (empat), 6 (enam), 8 (delapan) dan 10 (sepuluh) buah lubang sambungan.

Pengujian Sifat Fisis Mekanis Kayu

Kadar air, kerapatan, dan berat jenis. Contoh uji ditimbang untuk

mengetahui berat awal (kondisi kering udara). Volume contoh uji diukur dengan mengalikan panjang, lebar dan tebalnya dengan menggunakan alat kaliper. Contoh uji kemudian dimasukkan kedalam oven bersuhu 103 ± 2 0C sampai beratnya konstan (biasanya diperoleh setelah 24 jam pengovenan), dan nilai berat jenis serta kadar air dihitung dengan rumus berikut:

100%

(g.cm-3)

Dimana: BKT = berat kering tanur (g)

BKU = berat kering udara (g)

(53)

Kekuatan tekan masimum sejajar serat. Pengujian tekan maksimum sejajar serat kayu atau maximum crushing strength (MCS) dilakukan dengan memberikan beban pada arah sejajar serat kayu dengan kedudukan contoh uji vertikal, dengan pemberian beban perlahan-lahan sampai contoh uji mengalami kerusakan. Beban tersebut merupakan beban maksimum yang dapat diterima oleh contoh uji. Nilai keteguhan tekan maksimum sejajar serat kayu dihitung dengan rumus:

Dimana: MCS = kekuatan tekan maksimum sejajar serat kayu (kg.cm-2) Pmaks = beban maksimum sampai terjadi kerusakan (kg) A = luas penampang (cm2)

Kekuatan tarik masimum sejajar serat. Pengujuan kekuatan tarik

sejajar serat kayu diduga dari model atau persamaan empirik yang dikembangkan oleh Tjondro (2007).

// 172,5 ,

Dimana: SG = berat jenis yang diukur pada rentang kadar air 12-15%

Pengujian Baut

Pengujian bolt bearing strength. Pengujian ini bertujuan untuk

mengetahui kekuatan mekanik baut terhadap kayu ataupun pelat baja. Penentuan nilai dowel bearing strength untuk komponen kayu didapat dengan rumus sebagai berikut:

Dimana: Fem = boltbearing strength kayu (kg.cm-2)

Py = beban leleh pada offset 5% dari diameter baut (kg)

d = diameter baut (cm)

(54)

Gambar 6 Pengujian bolt bearingstrength terhadap komponen kayu.

Nilai bolt bearing strength untuk komponen logam digunakan nilai tegangan tarik (Fu) baja ASTM A36 yakni 400 MPa atau 4.082 kg.cm-2.

1,5

Dimana: Fes = bolt bearing strength terhadap pelat baja (kgf/cm2) Fu = Kuat tarik pelat baja (kg.cm-2)

Pengujian kuat lentur baut. Penentuan nilai kuat lentur baut dilakukan

dengan pengujian tarik terhadap baut berdasarkan ASTM F606 dengan menggunakan UTM merk Shimadzu.

0.7854 0.9743 /

Dimana: Fu = kuat tarik baut (kg.cm-2) Pmaks = beban maksimum(kg)

(55)

Py = beban leleh pada 0.2% dari panjang baut antara dua

holder (kg)

As = stress area ulir (cm2)

D = diameter baut (cm)

n = jumlah ulir per cm

Kekuatan tarik baut (Fu) dan kekuatan leleh (Fy) baut yang diperoleh dari pengujian ini selanjutnya digunakan untuk menentukan kuat lentur baut (Fyb). Nilai kuat lentur baut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

2 2

Dimana: Fyb = Kuat lentur baut (kg.cm-2)

Gambar 7 Pengujian kuat tarik baut.

Perencanaan Desain Sambungan

Sambungan yang akan direncanakan adalah sambungan geser ganda. Pengujian sambungan kayu dengan pembebanan lateral (lateralresistance), yaitu arah gaya tegak lurus terhadap alat sambung dilakukan sampai sesaran mencapai 5,0 mm.

(56)

Gambar 8 Contoh uji sambungan geser ganda.

Persamaan batas nilai disain rujukan (Z) diturunkan melalui serangkaian pengujian kekuatan lentur baut (Fyb); bolt bearing strength terhadap balok kayu

utama (Fem) dan pelat baja tepi (Fes) dari berbagai ukuran dan mutu. Dalam

penelitian ini tumpuan sambungan yang digunakan adalah tetap (fix support), sehingga formula atau rumus umum untuk menghitung Z dari sambungan kayu geser ganda dengan alat sambung baut (Breyer et al. 2007) sebagai berikut : a. Persamaan mode Im:

Z = D(ℓm)(Fem)/4

b. Persamaan mode Is: Z = 2D(ℓs)(Fes)/4

c. Persamaan mode IIIs:

Z = 2k3D(ℓs)(Fem)/3,2(2+Re)4,

d. Persamaan mode IV:

Z = (2D2/3,2)√2(Fem)(Fyb)/3(1+Re)

dimana : Z = nilai desain lateral rujukan per alat sambung per bidang geser (kg)

(57)

Fyb

=

kekuatan lentur baut (kg.cm-2)

Fem = kekuatan melekat atau mengikat (bolt bearing strength)

terhadap balok kayu utama (kg.cm-2),

Fes = bolt bearing strength terhadap pelat baja tepi (kg.cm-2)

D = diameter alat sambung baut (cm).

Re = Fem/Fes = 1 + (θ/360)

θ = sudut beban maksimum terhadap arah serat (0 < θ < 90)

ℓm = penetrasi (panjang) baut dalam balok utama (cm)

ℓs = penetrasi (panjang) baut dalam pelat baja (cm) Pengujian Kekuatan Sambungan Kayu Geser Ganda

Pengujian sambungan kayu geser ganda (arah gaya tegak lurus terhadap alat sambung) dilakukan berdasarkan ASTM D5652-95. Pengamatan nilai desain lateral baut pada sambungan kayu dilakukan pada dua tingkat sesaran yaitu sesaran 1,5 mm (PKKI NI-5), dan 5,0 mm. Untuk nilai desain lateral pada sesaran 5,0 mm dibagi dengan faktor 2,75.

(58)

Besarnya rata-rata nilai desain lateral ditentukan dengan rumus:

Dimana: = rata-rata nilai desain lateral per baut (kg)

B = beban total pada tingkat sesaran tertentu (kg)

n = jumlah baut (batang)

Gambar 10 Diagram Alir Penelitian. Persiapan Bahan

Kayu

(5 Jenis) (6.4 mm, 7.9 mm dan Baut Pelat Baja 9.5 mm)

Fu

Fy

Fem

Fyb Sifat Fisis (KA,

Kr, Bj) dan Sifat Mekanis (Kekuatan tekan dan tarik // serat)

Sambungan geser ganda

pada sesaran 1,5 mm dan 5,0 mm

Gambar

Tabel 1    Perbandingan jumlah ulir pada baut UNF dan UNC  Size (width)  Diameter (inci)  UNF
Gambar 2  Mode kerusakan I m  pada sambungan kayu geser ganda.
Gambar 4  Mode kerusakan III s  pada sambungan kayu geser ganda.
Gambar 6  Pengujian bolt bearing strength terhadap komponen kayu.
+7

Referensi

Dokumen terkait

(4) SHUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan penyelenggara Ujian Nasional berdasarkan penetapan Pusat Penilaian Pendidikan, Badan

Pada awal kegiatan penambangan kapur dilaksanakan, akan terjadi perusakan lahan yang diakibatkan oleh penggalian bahan tambang tersebut.. Perusakan yang terjadi

Sebagai contoh pada Kecamatan Pontianak Barat dan Pontianak Timur, hasil perhitungan pada Matlab menunjukkan hasil yang berbeda dengan data aslinya, dimana data

Pemerintah terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR). 4) Untuk mengetahui pengaruh positif dari Ukuran Perusahaan terhadap pengungkapan Corporate

Hal ini dikarenakan prosedur atau cara memecahkan masalah dalam penelitian ini dengan cara memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat,

Langkah awal yang dilakukan pada siklus II adalah kembali melakukan perencanaan. Pembelajaran pada penelitian ini terlaksana pada hari selasa, 25 Februari 2014

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

Hal ini sesuai dengan penelitian diatas yaitu tidak adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat kenyamanan dalam pengukuran suhu, tetapi hal