KEKUATAN SAMBUNGAN BAUT
DOUBLE SHEAR
BERPELAT
SISI BAJA PADA KAYU SENGON, BINTANGUR DAN KAPUR
MENURUT BERBAGAI SESARAN
MUHAMMAD SHOLIHIN
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KEKUATAN SAMBUNGAN BAUT
DOUBLE SHEAR
BERPELAT
SISI BAJA PADA KAYU SENGON, BINTANGUR DAN KAPUR
MENURUT BERBAGAI SESARAN
MUHAMMAD SHOLIHIN
E24060225
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Double-Shear Bolt Connection Strength with
Steel Plate in Sengon, Bintangur and Kapur Wood
According to Various Defraction
Muhammad Sholihin, Sucahyo Sadiyo, Imam Wahyudi
INTRODUCTION : Wood as raw material needs continue to increase for various purposes. Similarly, for component building materials or construction materials. As a construction materials, wood has been known to the public long before the public to use concrete or steel. In use as building construction materials, wood should be able to withstand various kinds of expenses in the period planned and have sufficient durability and has a cross-sectional size or length of span in accordance with the planning. Cross-cross-sectional size or long span timber in accordance with the plans for building construction is very difficult to obtain. This is because of the limited size of available timber in the market so it needs a connection. MATERIAL AND METHOD : The main material used is wood sorts Sengon (Paraserianthes falcataria (L). Nielsen), Bintangur (Calophyllum inophyllum L.) and Kapur (Dryobalanops sp.), bolts and steel plates. Wood used as a mechanical connection that unites steel plate with wood screws that penetrate the system using the plate-wood-plate which is the tightened with a nut for strong connection strength is based on ASTM D5652-95 with a direction perpendicular to the bolt load. Other properties tested were water content, density and maximum compressive strength parallel to grain. Tests physical properties following the ASTM D143-94, while the mechanical properties following the BS-373 1957.
RESULT : Double-shear strength bolt connection between the wood with steel plates in general are influenced by density of wood. The higher value density then the value of the power connection (which is expressed with the total load) and the value of load per bolt will be higher as well. Total expenses will increase with the number of bolts except from 6 to 8 pieces,while the load per bolt is not affected by the number of bolts. Total load and load per bolt tends to increase with increasing bolt diameter from 6.4 mm to 7.9 mm,but decreases when the diameter increased to 9.4 mm bolts.
Key words : double shear connection, timber, steel plate, bolt and density of wood.
RINGKASAN
Muhammad Sholihin. E24060225. Kekuatan Sambungan Baut Double Shear Berpelat Sisi Baja pada Kayu Sengon, Bintangur dan Kapur Menurut Berbagai
Sesaran. Dibimbing oleh Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS dan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS.
Kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan terus
meningkat. Demikian juga untuk komponen bahan bangunan atau bahan konstruksi.
Dalam penggunaannya sebagai bahan konstruksi bangunan, kayu harus mampu
menahan berbagai macam beban dalam jangka waktu yang direncanakan dan
mempunyai keawetan yang memadai serta mempunyai ukuran penampang atau
panjang bentang sesuai dengan perencanaannya tetapi ukuran penampang atau
panjang bentang kayu yang sesuai dengan perencanaasangat sulit diperoleh. Hal ini
karena terbatasnya ukuran kayu yang tersedia di pasaran. Kondisi ini mengharuskan
para arsitek dan insinyur sipil untuk membuat suatu sistem penyambungan agar
diperoleh ukuran yang sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Mengingat penelitian tentang pengaruh jumlah dan diameter baut pada
sambungan yang menggunakan pelat baja pada kayu sengon (Paraserianthes falcataria), bintangur (Calophyllum inophyllum) dan kapur (Dryobalanops sp.) masih terbatas, maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengetahui pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap kekuatan sambungan baut double shear pada tiga jenis kayu dengan nilai BJ yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan sambungan baut double shear antara kayu dengan pelat baja secara umum dipengaruhi oleh BJ kayu. Semakin
tinggi nilai BJ kayu maka nilai kekuatan sambungan (yang dinyatakan dengan beban
total) dan nilai beban per baut akan semakin tinggi pula. Beban total akan meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah baut kecuali dari 6 ke 8 buah, sedangkan beban
per baut tidak dipengaruhi oleh jumlah baut. Beban total dan beban per baut
cenderung meningkat seiring meningkatnya diameter baut dari 6,4 mm ke 7,9 mm
namun berkurang ketika diameter baut meningkat menjadi 9,4 mm.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Kekuatan Sambungan Baut Double Shear Berpelat Sisi Baja pada Kayu Sengon, Bintangur dan Kapur Menurut Berbagai Sesaran” adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir skripsi.
Bogor, Maret 2011
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Kekuatan Sambungan Baut Double Shear Berpelat Sisi Baja pada Kayu Sengon, Bintangur dan Kapur Menurut Berbagai Sesaran
Nama Mahasiswa : Muhammad Sholihin
Nomor Pokok : E24060225
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS NIP. 19580501 198403 1 002 NIP. 19630106 198703 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, MScF. NIP. 19660212 199103 1 002
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Muhammad Sholihin, dilahirkan di
Padang, Sumatera Barat pada tanggal 9 Mei 1988 sebagai anak
ketiga dari lima bersaudara dari keluarga Jaratin Munas, B.Sc
(ayah) dan Yuwelmar (ibu).
Pada tahun 2006, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Padang dan pada tahun
yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru IPB (SPMB). Setelah menempuh Tingkat Persiapan Bersama,
penulis diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada berbagai organisasi
kemahasiswaan, yaitu staf Komisi Eksternal Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
Kehutanan (DPM-E) IPB tahun 2008-2009, Ketua Himpunan Mahasiswa Padang dan
Padang Pariaman (HIMAPD) tahun 2009-2010 dan berbagai kepanitian kegiatan.
Penulis berkesempatan magang di PT. Pelindo II Teluk Bayur, Padang pada
bagian Kendali Mutu tahun 2008. Pada bulan Juli-Agustus 2010 penulis
melaksanakan Praktek Kerja Lapang di CV. Rakabu Furniture, Surakarta, Jawa
Tengah. Penulis pernah Juara 1 Lomba Kreasi Pertanian IPB tahun 2010 dengan
judul “Pembudidayaan Lele dan Kangkung Darat “.
Penulis juga berkesempatan melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan
(P2EH) tahun 2008 di Cilacap dan Baturraden. Pada tahun 2009, penulis melakukan
Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Gunung Walat, Sukabumi.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Kekuatan
Sambungan Baut Double Shear Berpelat Sisi Baja padaKayu Sengon, Bintangur dan
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini dengan judul ”Kekuatan Sambungan Baut Double Shear Berpelat Sisi Baja pada Kayu Sengon, Bintangur, dan Kapur Menurut Berbagai Sesaran”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1. Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS dan Prof. Dr. Ir. Imam Wayhudi, MS selaku dosen
pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada
penulis.
2. Ayahanda Jaratin Munas, B.Sc, Ibunda Yuwelmar dan Nenek tercinta atas semua
dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa
yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
3. Kakak-kakakku tercinta Rikha Rahmah, Amd. dan Susanti, S.T., serta adik-
adikku tersayang Yulia Anggraini dan Muhammad Ikhsan atas semua dukungan
dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu
mengalir tanpa henti kepada penulis.
4. Seluruh Dosen, Staf dan Laboran Departemen Hasil Hutan yang telah banyak
memberikan dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis.
5. Ir. Emi Karminarsih, MS selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen
Manajemen Hutan, Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MS selaku dosen penguji dari
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Ir. Iwan Hilwan,
MS selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur yang telah memberikan
saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini.
6. Seluruh Laboran pada Laboratorium Sifat Fisik Mekanik Kayu di Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hasil Hutan, Gunung Batu, Bogor atas bantuannya selama
penulis menjalani penelitian.
7. Teman-teman satu bimbingan yaitu Kak Agussalim dan Nurhasanah. Terimakasih
atas segala bantuan, kebersamaan dan nasehat-nasehatnya kepada penulis selama
8. Teman-teman Fakultas Kehutanan angkatan 43 khususnya teman-teman Hasil
Hutan angkatan 43 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan,
semangat dan kerjasamanya selama menempuh masa perkuliahan.
9. Teman- teman Kost Darmaga Regency, Kost Gravehouse, Kost Perwira,
HIMAPD dan IPMM. Terima kasih atas kebersamaan yang telah terjalin selama
ini, dengan segala pahit manisnya persahabatan yang kita alami.
10.Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-Nya dan membalas
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis, baik yang tersebutkan maupun
yang tidak tersebutkan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta menyusun
skripsi ini yang berjudul ”Kekuatan Sambungan Baut Double Shear Berpelat Sisi Baja pada Kayu Sengon, Bintangur dan Kapur Menurut Berbagai Sesaran”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Kekuatan sambungan baut double shear merupakan kekuatan yang terjadi pada dua buah side member yang mengapit main member. Kekuatan sambungan baut yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu beban total dan beban per baut. Sambungan
pada kayu merupakan titik kritis atau terlemah yang menghubungkan antar titik
hubung atau elemen antar kayu dari suatu bangunan struktural sehingga dalam
membuat sambungan harus diperhitungkan cara menyambungnya agar dapat
menerima dan menyalurkan gaya yang bekerja padanya. Gaya-gaya tersebut yang
dapat mempengaruhi beban total yang dapat diterima sambungan. Penelitian ini
dilakukan untuk mengevaluasi berapa besar beban total yang dapat diterima
sambungan kayu pada tiap diameter dan jumlah baut yang berbeda.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian karya ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ini
masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ini tidak
mengurangi hakekat kebenaran ilmiahnya dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2011
DAFTAR ISI
3.3.2 Pembuatan Sambungan Balok Kayu dengan Pelat Baja dan Baut 19
3.4 Pengujian Contoh Uji ... 21
3.4.1 Kadar Air, Kerapatan dan Berat Jenis Kayu... 21
3.4.2 Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat ... 21
3.4.3 Kekuatan Sambungan Baut Double Shear... 22
3.5 Rancangan Percobaan ... 23
3.6 Pengolahan Data ... 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu ... 25
4.2 Sifat Mekanis Kayu ... 27
4.2.1 Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat ... 27
4.2.2 Kekuatan Sambungan Baut Double Shear ... 29
4.2.2.1 Beban Total Sambungan Baut Double Shear Tiga Jenis Kayu Pada Berbagai Sesaran ... 29
4.2.2.2 Beban Per Baut Sambungan Double Shear Tiga Jenis Kayu Pada Berbagai Sesaran ... 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 42
5.2 Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Hasil pengukuran sifat fisis tiga jenis kayu ... 25
2. Rata-rata beban total kekuatan sambungan baut double shear tiga jenis kayu menurut sesaran ……….. 30 3. Analisis ragam beban total tiap sesaran... 30
4. Uji Duncan jenis kayu terhadap beban total sambungan baut double shear 32 5. Uji Duncan diameter baut terhadap beban total sambungan baut
double shear ……….. 34 6. Uji Duncan jumlah baut terhadap beban total sambungan baut
double shear………. 35 7. Rata-rata beban per baut sambungan double shear tiga jenis kayu tiap
sesaran ... 36
8. Analisis ragam beban per baut sambungan double shear tiap sesaran …... 37 9. Uji Duncan terhadap jenis kayu pada beban per baut sambungan double
shear……….. 38 10. Uji Duncan diameter baut terhadap beban per baut sambungan double
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Sambungan baut yang menerima beban searah beban ... 6
2. Sambungan baut yang menerima beban tegak lurus arah serat... 7
3. Sambungan baut yang menerima beban membentuk sudut α…………... 7
4. Model kerusakan Im pada sambungan kayu geser ganda ... 10
5. Model kerusakan IIIs pada sambungan kayu geser ganda ... 11
6. Model kerusakan IIIs pada sambungan kayu geser ganda ... 11
7. Model kerusakan IV pada sambungan kayu geser ganda ... 12
8. Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu ... 16
9. Tumpukan sortimen kayu... 16
10. Pelat baja dan baut yang digunakan... 17
11. Pola pemotongan sortimen kayu …………... 17
12. Pola pemotongan contoh uji... 18
13. Contoh uji kekuatan sambungan baut double shear ... 18
14. Contoh uji sifat fisis kayu... 19
15. Contoh uji tekan sejajar serat maksimum... 19
16. (a) Pengaturan komposisi dan (b) Proses pembuatan contoh uji kekuatan sambungan baut double shear... 20
17. Contoh uji kekuatan sambungan baut double shear... 20
18. Penimbangan contoh uji saat pengujian sifat fisis kayu ... 21
19. Pemberian beban vertikal saat pengujian tekan maksimum sejajar serat …………... 22
20. Pengujian kekuatan sambungan baut double shear... 22
21. Diagram Alir Penelitian ... 24
22. Diagram rata-rata kadar air tiga jenis kayu... 26
23. Diagram rata-rata kerapatan tiga jenis kayu... 26
24. Diagram rata-rata berat jenis tiga jenis kayu... 27
25. Diagram rata-rata nilai kekuatan tekan maksimum sejajar serat... 28
26. Diagram pengaruh jenis kayu terhadap beban total kekuatan sambungan baut double shear pada berbagai sesaran... 31
28. Diagram pengaruh jumlah baut terhadap beban total kekuatan sambungan baut double shear... 35 29. Diagram pengaruh jenis kayu terhadap beban rata-rata per baut kekuatan sambungan double shear pada berbagai sesaran... 38 30. Diagram pengaruh diameter baut terhadap beban per baut kekuatan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Hasil pengukuran sifat fisis (kadar air, kerapatan dan berat jenis) kayu
Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)... 46 2. Hasil pengukuran sifat fisik (kadar air, kerapatan dan berat jenis) kayu
Bintangur (Calophyllum inophyllum L.)... 49 3. Hasil pengukuran sifat fisik (kadar air, kerapatan dan berat jenis) kayu
Kapur (Dryobalanops sp.)…………... 52 4. Hasil Pengujian Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat Kayu Sengon
(Paraserianthes falcataria L. Nielsen)... 55 5. Hasil Pengujian Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat Kayu Bintangur
(Calophyllum inophyllum L.)... 56 6. Hasil Pengujian Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat Kayu Kapur
(Dryobalanops sp.)... 57 7. Hasil pengujian kekuatan sambungan baut double shear tiga jenis kayu
pada sesaran 0.80 mm... ……… 58 8. Hasil pengujian kekuatan sambungan baut double shear tiga jenis kayu
pada sesaran 1.50 mm ………. 61 9. Hasil pengujian kekuatan sambungan baut double shear tiga jenis kayu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan terus
meningkat. Demikian juga untuk komponen bahan bangunan atau bahan
konstruksi. Beberapa jenis kayu baik yang berasal dari hutan alam, hutan rakyat
maupun tanaman kebun telah digunakan untuk keperluan komponen bangunan
baik yang struktural maupun non struktural seperti sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen), bintangur (Calophyllum inophyllum L.) dan kapur (Dryobalanops sp.).
Sebagai bahan konstruksi, kayu sudah dikenal masyarakat jauh sebelum
masyarakat menggunakan beton atau baja sebagaimana saat ini. Penggunaan
kayu untuk kuda-kuda, memperlihatkan adanya penghematan biaya 40-50%
dibandingkan dengan penggunaan baja. Dalam penggunaannya sebagai bahan
konstruksi bangunan tersebut, kayu harus mampu menahan berbagai macam
beban yang bekerja dalam jangka waktu yang direncanakan dan mempunyai
ketahanan atau keawetan yang memadai serta mempunyai ukuran penampang
atau panjang bentang sesuai dengan perencanaannya.
Ukuran penampang atau panjang bentang kayu yang sesuai dengan
perencanaan untuk suatu konstruksi bangunan saat ini sangat sulit diperoleh. Hal
ini karena terbatasnya ukuran kayu yang tersedia di pasaran akibat efisiensi
dalam pengangkutan kayu. Kondisi ini mengharuskan pengguna kayu khususnya
para arsitek dan insinyur sipil untuk membuat suatu sistem penyambungan agar
diperoleh ukuran yang sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Sambungan merupakan titik kritis atau terlemah dari suatu sistem
penyambungan sehingga dalam membuat sambungan harus diperhitungkan cara
atau teknik penyambungan yang optimal agar gaya yang bekerja padanya dapat
disalurkan secara merata (Tular dan Idris 1981). Kekuatan suatu sistem
penyambungan dipengaruhi oleh komponen pembentuk sambungan. Pada
sambungan kayu, faktor yang menentukan kekuatan sambungan tersebut adalah
bentuk sambungan yang akan dibuat. Berat jenis (BJ), kerapatan dan kadar air
kayu serta jumlah dan diameter alat sambung merupakan faktor-faktor yang
harus diperhatikan karena sangat mempengaruhi kekuatan sambungan yang
dihasilkan.
Alat sambung yang digunakan untuk membuat suatu sambungan dapat
berupa pelat baja, paku dan baut dalam berbagai jumlah dan ukuran. Selain paku,
baut merupakan alat sambung tipe dowel yang relatif mudah diperoleh dan
mudah pula dalam pengerjaannya sehingga banyak digunakan dalam suatu
konstruksi bangunan di Indonesia.
Mengingat penelitian tentang pengaruh jumlah dan diameter baut pada
sambungan yang menggunakan pelat baja pada kayu sengon (P. falcataria), bintangur (C. innophyllum) dan kapur (Dryobalanops sp.) masih terbatas, maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor tersebut termasuk
BJ kayu terhadap kekuatan sambungan baut double shear.
1.2Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh jumlah dan
diameter baut sebagai alat sambung serta BJ kayu terhadap kekuatan sambungan
double shear pada tiga jenis kayu perdagangan Indonesia.
1.3Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah jumlah dan diameter
baut serta BJ kayu akan mempengaruhi kekuatan sambungan yang didisain
dimana semakin banyak jumlah baut, semakin besar diameter baut dan semakin
tinggi BJ kayu, semakin tinggi pula kekuatan sambungan yang dihasilkan.
1.4Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya pengaruh variabel yang diteliti terhadap kekuatan
sambungan yang dihasilkan, maka para insinyur sipil dapat menentukan jumlah
dan ukuran diamater baut yang harus digunakan untuk masing-masing jenis kayu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sambungan Kayu
Sambungan merupakan lokasi sederhana yang menghubungkan dua
bagian atau lebih menjadi satu dengan bentuk tertentu pada ujung-ujung
perlekatannya (Hoyle, 1973), sedangkan menurut Tular dan Idris (1981),
sambungan kayu merupakan titik kritis atau terlemah yang menghubungkan
elemen antar kayu dari suatu bangunan struktural sehingga dalam membuat
sambungan harus diperhitungkan cara menyambungnya agar dapat menerima dan
menyalurkan gaya yang bekerja padanya. Dalam suatu konstruksi bangunan dari
kayu, teknik penyambungan antar kayu harus diperhatikan sehingga gaya tarik
dan gaya tekan yang timbul dalam batas-batas tertentu dapat diterima atau
disalurkan dengan baik (Tular dan Idris, 1981).
Komponen-komponen penyusun dari suatu sambungan kayu seperti jenis
dan ukuran kayu yang disambung dan alat sambungnya dapat mempengaruhi
kekuatan sambungan. Komponen penyusun sambungan yang paling lemah sangat
menentukan kekuatan sambungan tersebut. Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kekuatan sambungan kayu adalah kerapatan kayu, besarnya beban
yang diberikan dan keadaan alat sambungnya (Surjokusumo, 1984). Kekuatan
kayu dianggap 100% apabila tanpa sambungan, sedangkan apabila menggunakan
alat sambung baut maka akan terjadi perlemahan sehingga kekuatan kayu
berubah menjadi 30%. Kekuatan kayu tetap 100% apabila menggunakan perekat
sebagai alat sambung (Yap, 1984).
Penyambungan kayu bertujuan memperoleh panjang yang diinginkan
atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang diinginkan.
Sebuah sambungan pada suatu konstruksi merupakan titik kritis atau terlemah
sehingga kayu yang akan disambung harus merupakan pasangan yang cocok dan
pas, penyambungan tidak boleh sampai merusak kayu yang disambung , sesudah
sambungan jadi hendaknya diberi bahan pengawet agar tidak cepat lapuk dan
sebaiknya sambungan kayu yang dibuat terlihat dari luar agar mudah untuk
Sambungan dapat dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu sambungan
desak, sambungan tarik dan sambungan momen. Alat-alat sambung apabila
dilihat dari cara pembebanannya dibagi menjadi:
1. Alat sambung untuk dibebani geseran contohnya paku, baut, perekat dan pasak kayu.
2. Alat sambung untuk dibebani bengkokan atau lenturan, misalnya paku, baut dan pasak kayu.
3. Alat sambung untuk dibebani jungkitan, misalnya pasak kayu.
4. Alat sambung untuk dibebani desakan, misalnya kokot dan cincin belah.
Contoh alat-alat sambung lainnya yaitu skrup kayu, pasak-pasak kayu
keras, alat-alat sambung modern dan perekat (Wirjomartono, 1977). Sambungan
kayu dengan perekat hanya digunakan pada struktur yang relatif kecil seperti
tiang dengan ukuran sedang (Thelandersson danLarsen, 2003).
2.2 Baut sebagai Alat Sambung
Baut merupakan suatu benda yang berbentuk batang atau tabung dengan
alur heliks pada permukaan atau bidang miring yang membungkusnya. Baut dan
jenis dowel lainnya juga merupakan alat sambung dalam struktur kayu yang
digunakan untuk memikul beban yang besar (Thelandersson dan Larsen 2003,
Breyer et al. 2007). Komposisi baut terbuat dari berbagai jenis bahan tetapi kebanyakan dibuat dari baja karbon (carbon steel), logam campuran (alloy steel), dan baja antikarat (stainless steel). Bahan lain adalah baut dari titanium dan alumunium tetapi penggunaannya terbatas hanya dalam industri luar angkasa.
Baja karbon merupakan bahan pembuat baut paling murah dan paling
banyak digunakan. Baut jenis ini biasanya dilapisi dengan zinc agar tahan terhadap korosi, dan kekuatannya bisa mencapai 55 ksi. Baja logam campuran
adalah baja karbon berkekuatan tinggi yang dapat mencapai 300 ksi. Jika akan
digunakan untuk keperluan industri luar angkasa, baja jenis ini biasanya dilapisi
dengan cadmium untuk melindungi dari korosi. Baja antikarat tersedia dalam beberapa variasi logam campuran dimana memiliki kekuatan berkisar 70-220 ksi.
Baja antikarat biasanya tidak membutuhkan pelapisan dan memiliki toleransi
yang besar terhadap suhu dibandingkan jenis baja karbon atau baja logam
Baut memiliki ulir coarse dilengkapi dengan cincin yang memiliki panjang 3D dan tebal 0,3 D, dimana D adalah diameter baut. Lubang baut
biasanya dibuat lebih besar 1-2 mm dari diameter baut. Besarnya lubang yang
dibolehkan NDS 2005 adalah 1/32-1/16 inci dari diameter baut, sedangkan
Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI) NI-5 mensyaratkan lubang baut
tidak lebih dari 1,5 mm dari diameter baut.
Sambungan dengan baut telah banyak digunakan atau diaplikasikan
dalam konstruksi-konstruksi kayu yang menerima beban besar. Sambungan
dengan baut lebih cocok digunakan untuk sambungan kayu dengan baja dan atau
sambungan kayu dengan panel. Bentuk-bentuk dari alat sambung baut yang
sering digunakan yaitu bentuk countersunk head, round head, dan coach screw (Porteous, 2007). Akan tetapi, baut masih memiliki efisiensi kecil dan deformasi
besar (Yap, 1964).
Dalam PKKI NI-5 rumusan untuk menentukan kekuatan baut dalam
sambungan dibagi dalam tiga golongan kelas kuat kayu yaitu golongan I adalah
semua kayu dengan kelas kuat I ditambah dengan kayu rasamala, golongan II
adalah semua kayu dengan kelas kuat II dan kayu jati, dan golongan III adalah
semua kayu kelas kuat III. Golongan lainnya untuk kayu dengan kelas kuat IV
dan V tidak diadakan karena dalam praktek kayu-kayu tersebut hampir tidak
pernah digunakan untuk konstruksi.
Dalam PKKI Pasal 14 ditetapkan peraturan sambungan dengan baut yaitu
sebagai berikut:
1. Alat sambung baut harus terbuat dari bahan baja St. 37 atau dari besi yang mempunyai kekuatan paling sedikit seperti St. 37.
2. Lubang baut harus dibuat secukupnya dan kelonggaran tidak boleh melebihi 1,5 mm.
3. Diameter baut yang digunakan minimal 10 mm (3/8“), sedangkan untuk sambungan baik itu single shear maupun double shear dengan ketebalan kayu lebih dari 8 cm harus menggunakan alat sambung baut dengan diameter
minimal 12,7 mm (1/2“).
5. Sambungan dengan baut dibagi dalam 3 golongan menurut kekuatan kayu, yaitu golongan I, II, dan III. Yang termasuk dalam golongan I adalah semua kayu dengan kelas kuat I ditambah dengan kayu rasamala. Golongan II adalah semua kayu dengan kelas kuat II, dan golongan III adalah semua kayu dengan kelas kuat III.
6. Jika pada sambungan single shear salah satu pelatnya terbuat dari besi (baja), atau pada sambungan double shear pelat-pelat penyambungnya terbuat dari besi (baja), maka nilai dari kekuatan sambungan dapat dinaikkan sebesar 25%.
7. Apabila sambungan baut digunakan pada konstruksi dalam keadaan selalu terendam dalam air atau untuk bagian konstruksi yang tidak terlindung dan memungkinkan kadar air kayu akan selalu tinggi, maka dalam pehitungan kekuatan sambungan harus dikalikan dengan angka 2/3. Apabila sambungan baut digunakan untuk konstruksi yang tidak terlindung tetapi kayu tersebut dapat cepat mengering, maka dalam perhitungan kekuatan sambungan harus dikalikan dengan angka 5/6.
8. Untuk bagian konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan tetap dan muatan angin atau untuk bagian konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan tetap dan muatan tidak tetap, maka kekuatan sambungan dapat dinaikkan dengan 25%.
9. Penempatan baut harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Arah gaya searah serat kayu (Gambar 1).
Jarak minimum:
Antara sumbu baut dan ujung kayu:
Kayu muka yg dibebani = 7 d dan > 10 cm Kayu muka yg tidak dibebani = 3,5 d
Antara sumbu baut dalam arah gaya = 5 d Antara sumbu baut tegak lurus arah gaya = 3 d Antara sumbu baut dengan tepi kayu = 2 d
b. Arah gaya tegak lurus arah serat (Gambar 2).
Jarak minimum:
Antara sumbu baut dan tepi kayu (sejajar terhadap gayanya):
Kayu muka yang dibebani = 5 d
Kayu muka yang tidak dibebani = 2 d
Antara baut dengan baut searah gaya = 5 d
Antara baut dengan baut tegak lurus gaya = 3 d
Gambar 2. Sambungan baut yang menerima beban tegak lurus arah serat.
c. Arah gaya membentuk sudut a (antara 00 - 900) dengan arah serat kayu. Jarak minimum:
Antara sumbu baut dan tepi kayu:
Yang dibebani searah gaya = 5 d s/d 6 d
Yang tidak dibebani = 2 d
Antara baut dengan sumbu baut = 5 d s/d 6 d
Antara baut dengan baut searah gaya = 3 d
10.Perlemahan luas tampang batang konstruksi rangka kayu dengan sambungan baut sebesar 20 – 25 %.
Kekuatan sambungan baut dapat dipengaruhi oleh daya dukung baut itu
sendiri terhadap lenturan, geseran pada titik hubung dan sesaran (keduanya
tergantung dari gaya tarik (gaya normal) yang timbul dalam baut itu), dan
kekuatan kayu (Wirjomartono, 1977). Dalam penggunaannya pada
konstruksi-konstruksi kayu, prinsip dasar baut adalah untuk menahan beban tegak lurus
terhadap sumbu baut pada beban yang bersudut 0o hingga 90o terhadap arah serat kayu (Hoyle, 1973). Jarak antar baut dan lubang baut pada konstruksi sambungan
kayu juga dapat mempengaruhi kekuatan dari konstruksi sambungan kayu.
2.3 Sifat Fisis
Sifat fisis kayu sangat mempengaruhi kekuatan kayu yang akan dijadikan
sebagai bahan bangunan atau konstruksi. Selain sifat fisis, sifat mekanik juga
memberikan peran penting dalam suatu konstruksi bangunan dari kayu
(Haygreen et al. 2003). Menurut Haygreen et al. (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisik kayu diantaranya adalah:
1. Jumlah zat kayu yang terdapat pada suatu volume tertentu dan jumlah air di dalam dinding sel.
2. Persentase komponen utama pembentuk dinding sel dan persentase zat ekstraktif.
3. Susunan dan orientasi fibril dalam sel atau jaringan termasuk jenis, ukuran, dan proporsinya.
Sifat fisis yang diuji meliputi kadar air, kerapatan dan berat jenis kayu.
2.3.1 Kadar Air
Menurut Haygreen et al. (2003), kadar air diartikan sebagai berat air dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur (BKT).
Kadar air dalam kayu mempengaruhi kekuatan kayu. Semakin tinggi kadar air
kayu maka semakin rendah kekuatan kayu sedangkan jika terjadi penurunan
kadar air atau kayu tersebut mengering maka kekuatan kayu akan meningkat.
Pengaruh penurunan kadar air terhadap sifat kekuatan kayu tampak jelas apabila
kadar air berada dibawah titik jenuh serat. Air dalam kayu terdiri dari air bebas
Kadar air segar dalam satu jenis pohon juga berbeda-beda tergantung pada tempat
tumbuh dan umur pohon (Haygreen et al. 2003).
2.3.2 Kerapatan
Menurut Haygreen et al. (2003), kerapatan diartikan sebagai massa atau berat per satuan volume. Ini biasanya dinyatakan dalam pon per kaki kubik atau
kilogram per meter kubik. Kerapatan kayu juga bervariasi pada arah vertikal
maupun horizontal. Pada arah vertikal, bagian kayu yang posisinya lebih tinggi
memiliki kerapatan yang lebih rendah dikarenakan faktor mekanis dan faktor
biologis. Pada arah horizontal, kerapatan kayu dipengaruhi oleh umur. Kayu yang
umurnya lebih muda memiliki kerapatan yang lebih rendah (Tsoumis, 1991).
Kerapatan kayu dapat mempengaruhi sifat mekanis dan sifat-sifat kayu lainnya
seperti kembang susut dan higroskopisitas.
2.3.3 Berat Jenis
Menurut Haygreen et al. (2003), BJ diartikan sebagai perbandingan kerapatan bahan (kayu) dengan kerapatan air (1 g/cm3). BJ merupakan sifat fisis kayu yang sangat penting karena dapat mempengaruhi kekuatan kayu dan sifat
mekanis kayu lainnya. Semakin tinggi BJ-nya, maka kayu umumnya semakin
kuat dan semakin berat.
2.4 Sifat Mekanis
Menurut Tsoumis (1991), sifat mekanis kayu merupakan ukuran
ketahanan kayu terhadap gaya luar yang cenderung merubah bentuk benda.
Ketahanan kayu tersebut tergantung pada besarnya gaya dan cara pembebanan
(tarik, tekan, geser, pukul). Sifat mekanis kayu juga dipengaruhi oleh faktor luar
kayu (eksternal) seperti kelembaban lingkungan dan faktor dalam kayu (internal)
seperti BJ, cacat mata kayu, serat miring dan sebagainya. Sifat mekanis yang
diuji dalam penelitian ini meliputi kekuatan tekan maksimum sejajar serat dan
kekuatan sambungan baut double shear.
2.4.1 Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat
Menurut Tsoumis (1991), kekuatan tekan maksimum sejajar serat
merupakan kemampuan kayu untuk menahan beban atau tekanan yang berusaha
lebih tinggi daripada radial, sedangkan untuk hardwood kekuatan tekan radial
lebih tinggi dibandingkan tangensialnya. Kekuatan tekan pada arah aksial juga
lebih tinggi dari kekuatan tekan arah transversal (sampai 15 kali). Kekuatan tekan
kayu pada arah aksial lebih rendah dibandingkan dengan logam, tetapi jika
dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya kekuatan tekan kayu lebih tinggi.
2.4.2 Kekuatan Sambungan Baut Double Shear
Kekuatan sambungan baut double shear pada sambungan kayu merupakan kekuatan yang terjadi pada dua buah side member yang mengapit main member. Kekuatan sambungan baut yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beban total. Pelat baja bertindak sebagai side member, sedangkan kayu sebagai main member. Selain plat baja, kayu juga dapat digunakan sebagai side member. Kekuatan sambungan baut double shear pada sambungan kayu dapat mengakibatkan kerusakan apabila didasarkan pada mekanisme sambungan
tersebut.
Ada 4 jenis kerusakan yang digambarkan oleh NDS yaitu pertama,
kerusakan yang semata-mata terjadi pada kayu yang disebut sebagai kerusakan
pada kayu tanpa rotasi dari alat sambung yang keluar dari shear plane sambungan (Balma 1999). Model kerusakan pertama digambarkan pada Gambar
4 beserta arah pembebanannya yang menyebabkan kerusakan terjadi pada main member, mode Im.
Gambar 4 Model kerusakan Im pada sambungan kayu geser ganda. Sumber: Forest Products Laboratory (1999)
Kedua, kerusakan yang terjadi pada bagian side member saat beban berlawanan arah bekerja pada main member dan side member. Alat sambung pada mode kerusakan ini juga tidak mengalami kerusakan. Arah pembebanan dan
Gambar 5 Model kerusakan IIIs pada sambungan kayu geser ganda. Sumber: Forest Products Laboratory (1999)
Ketiga, kerusakan terjadi pada bagian kayu dan alat sambung yang leleh
permanen (Balma 1999). Pada Gambar 6 terlihat kerusakan terjadi pada bagian
alat sambung dan side member dimana alat sambung baut leleh terhadap lentur dengan satu sendi plastis. Sendi plastis terjadi di main member namun tidak terjadi kerusakan. Pada sambungan yang menggunakan baja sebagai side member kerusakan ini kecil sekali kemungkinan terjadinya.
Gambar 6 Model kerusakan IIIs pada sambungan kayu geser ganda. Sumber: Forest Products Laboratory (1999)
Keempat, kerusakan juga terjadi pada bagian kayu dan alat sambung yang
leleh permanen (Balma 1999). Pada Gambar 7 menunjukkan model kerusakan
yang terjadi pada alat sambung dimana baut leleh terhadap lentur dengan dua
titik sendi plastis per bidang geser dan dengan hancurnya kayu.
2.5 Gambaran Umum Jenis-Jenis Kayu yang Diuji 2.5.1 Kayu Sengon
Sengon yang dalam bahasa latin bernama Paraserianthes falcataria L. Nielsen termasuk famili Mimosaceae yaitu keluarga petai-petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti jeunjing, sengon laut dan kalbi
(Jawa), serta seja, sikat dan tawa (Maluku).
Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi dari tanaman sengon
adalah kayunya. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30-45 meter dengan
diameter batang sekitar 70-80 cm. Bentuk batang bulat dan tidak berbanir. Kulit
luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Bagian
kayu terasnya berwarna hampir putih atau cokelat muda, sedangkan gubalnya
tidak berbeda dengan kayu teras. Kayu ini memiliki tekstur agak kasar dan
merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar atau berpadu. Dengan nilai
BJ kayu rata-rata 0,33 (0,24-0,49) dan termasuk kelas awet IV-V serta kelas kuat
IV-V, kayu digunakan untuk papan peti kemas, peti kas, perabotan rumah tangga,
pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lainnya.
Tajuk tanaman sengon menyerupai payung rimbun dengan daun yang
tidak terlalu lebat. Daunnya tersusun majemuk menyirip ganda dengan anak daun
kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun hijau pupus, berfungsi untuk
memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen dan karbon dioksida
dari udara bebas. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus
kedalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak
menonjol kepermukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi untuk menyimpan zat
nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon sengon menjadi subur. Dengan
sifat-sifat kelebihan yang dimiliki sengon, maka banyak pohon sengon ditanam
ditepi kawasan yang mudah terkena erosi.
2.5.2 Kayu Bintangur
Bintangur dalam bahasa latin memiliki nama Calophyllum inophyllum L. termasuk ke dalam famili Clusiaceae dengan memiliki BJ 0,78 (0,60-0,78). BJ minimum kondisi kering udara adalah 0,37 sedangkan maksimumnya 1,07
dengan rata-rata 0,78. Bintangur memiliki nama lain di daerah-daerah Indonesia
bataoh dan bentangur di Kalimantan; betau, bintula dan pude di Sulawesi;
gentangir dan mantau di Nusa Tenggara Timur.
Kayu termasuk kelas awet II-IV dan kelas kuat I-III, dengan sifat
pengerjaan yang tergolong mudah sampai dengan berat, sedangkan kembang
susutnya besar. Daya retak dan kekerasan kayu tergolong sedang. Tekstur kayu
agak kasar dan tidak merata, sedangkan arah seratnya berpadu. Kayu bintangur
digunakan untuk kayu bangunan, kayu perkakas, plywood, lantai, papan, bantalan, kayu perkapalan tiang, peti, chipboard dan papan loncat.
2.5.3 Kayu Kapur
Kapur yang dalam bahasa latinnya Dryobalanops camphora termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae. Nama lainnya di daerah Kalimantan adalah ampadu, ampalang, awang tanet, bayau, belakan, mohoi, sintok, tulai dan wahai,
sedangkan di Sumatera adalah haburuan, kaberun, kamfer dan kuras. Penyebaran
tumbuhan ini meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan seluruh
Kalimantan.
Karakteristik kayu kapur adalah bagian kayu terasnya merah,
merah-cokelat atau merah kelabu, sedangkan kayu gubal hampir putih sampai merah-cokelat
kekuningan muda. Tekstur kayu agak kasar dan merata dengan arah serat lurus
atau berpadu. BJ kayu 0,81 (0,63-0,94) dan masuk pada kelas kuat I-II dengan
kelas awet II-III. Tinggi pohon berkisar antara 35-45 m dan dapat mencapai 60
m, panjang batang bebas cabang 30 m atau lebih, diameter 80-100 cm. Bentuk
batang sangat baik, lurus dan silindris dengan tajuk kecil, kadang-kadang
berbanir sampai 2 meter.
Dalam pengerjaannya, dalam kondisi kering dapat membuat mesin gergaji
cepat aus karena kayu banyak mengandung silika. Apabila dikerjakan dalam
keadaan basah, kayu lebih mudah. Kayu banyak digunakan untuk balok, tiang,
rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih tiga bulan yaitu mulai April
hingga Juni 2010. Persiapan bahan baku dan pembuatan contoh uji yang
membutuhkan waktu selama dua bulan dilakukan di Unit Pengeringan Kayu dan
Workshop Penggergajian Kayu Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu (TPMK), Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Pengujian dilakukan di tiga tempat yang berbeda, yaitu di Laboratorium
Sifat Dasar Bagian TPMK, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB
untuk sifat fisis, di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu (RDBK),
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB untuk kekuatan tekan
maksimum sejajar serat dan di Laboratorium Sifat Fisis dan Mekanis, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Gunung Batu Bogor untuk kekuatan
sambungan baut double shear.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Alat yang digunakan untuk persiapan bahan baku dan pembuatan contoh
uji adalah kiln dry untuk mengeringkan kayu, mesin gergaji (table circular saw) untuk memotong kayu menjadi balok kayu yang lebih kecil, penggaris untuk
mengukur balok kayu, mesin serut (double planner) untuk meratakan kedua permukaan balok kayu, kaliper untuk mengukur ketebalan kayu dan mesin bor
untuk melubangi balok kayu agar kayu dapat disatukan dengan plat baja
menggunakan baut yang diperkuat dengan mur.
Alat yang digunakan untuk penyatuan contoh uji kayu dengan pelat baja
pada kedua permukaan kayu (pembuatan sambungan) adalah palu untuk
memasukan (penetrasi) baut sampai tembus ke permukaan pelat baja di sisi yang
berlawanan, kunci mur untuk melepaskan dan mengencangkan baut yang telah
terpasang, dan gergaji besi untuk memotong baut setelah pengujian agar pelat
Untuk pengujian sifat fisis digunakan kaliper untuk mengukur dimensi
contoh uji, oven untuk mengeringkan contoh uji hingga mencapai berat kering
tanur dan timbangan elektrik untuk menimbang berat awal dan berat kering
tanur contoh uji. Pengujian kekuatan tekan maksimum sejajar serat kayu
dilakukan dengan mesin Universal Testing Machine merk Instron series IX version 8.27.00 dan pengujian kekuatan sambungan baut double shear menggunakan Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu berkapasitas 30 ton (Gambar 8).
Gambar 8 Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L). Nielsen), bintangur (Calophyllum inophyllum L.) dan kapur (Dryobalanops sp.) diperoleh dari toko bangunan di daerah Bogor dalam bentuk sortimen
berukuran 6 cm x 12 cm x 400 cm tanpa memisahkan bagian kayu teras dari
gubalnya (Gambar 9). Sebelum kayu diuji lebih lanjut, semua sortimen kayu tadi
dikeringkan terlebih dahulu dalam kiln dry untuk memperoleh kadar air kondisi kering udara (KA-KU).
Bahan lainnya adalah baut dengan ukuran diameter 6,4 mm, 7,9 mm, dan
9,4 mm dengan panjang 10,16 cm, serta pelat baja (Gambar 10). Untuk satu
buah sambungan dibutuhkan dua lempeng pelat baja. Pelat terlebih dahulu
dilubangi berdasarkan ukuran diameter baut yang akan digunakan, sedangkan
jumlah lubang pada pelat baja ada yang 4 (empat), 6 (enam), 8 (delapan) dan 10
(sepuluh) buah. Antar lubang baut diberi jarak yang disesuaikan dengan ukuran
kayu dan pelat baja.
(a) Pelat Baja (b) Baut Gambar 10 Pelat baja dan baut yang digunakan
3.3 Pembuatan Contoh Uji
3.3.1 Persiapan dan Pemotongan Contoh Uji
Sortimen kayu sengon (P. falcataria), bintangur (C. inophyllum) dan kapur (Dryobalanops sp.) yang telah mencapai KA-KU dipotong menjadi balok berukuran 40 cm x 12 cm x 5 cm (Gambar 11). Balok kecil selanjutnya dipotong
menjadi 2: bagian yang panjangnya 30 cm untuk pembuatan contoh uji
sambungan, sedangkan bagian sisa untuk pembuatan contoh uji sifat fisis dan
kekuatan tekan maksimum sejajar serat. Ukuran contoh uji sifat fisis adalah 5
cm x 5 cm x 5 cm (American Society for Testing and Materials, ASTM D143-94) dan contoh uji kekuatan tekan maksimum sejajar serat adalah 2 cm x 2 cm x
6 cm (BS-373 1957) (Gambar 12).
Gambar 11 Pola pemotongan sortimen kayu.
6 5 4 3 2 1
Sisa
400 cm
40 cm
Gambar 12 Pola pemotongan contoh uji.
Keterangan:
A = Contoh uji kekuatan sambungan baut double shear
B = Contoh uji kekuatan tekan maksimum sejajar serat C = Contoh uji kadar air, kerapatan, dan BJ
Sebelum dijadikan contoh uji pembuatan sambungan, potongan sepanjang
30 cm tadi terlebih dahulu diseleksi untuk menghindari adanya cacat-cacat yang
dapat mempengaruhi nilai kekuatan sambungan baut double shear. Gambar 13 menunjukkan contoh uji kekuatan sambungan baut double shear dengan jumlah baut 4, 6, 8 maupun 10, Gambar 14 menunjukkan contoh uji sifat fisis, dan
Gambar 15 memperlihatkan contoh uji tekan maksimum sejajar serat.
(a) (b)
Gambar 14 Contoh uji sifat fisis kayu
Gambar 15 Contoh uji tekan sejajar serat maksimum
3.3.2 Pembuatan Sambungan Balok Kayu dengan Pelat Baja dan Baut
Sambungan dibuat secara mekanis yaitu menyatukan (menempelkan)
pelat baja pada kedua permukaan balok kayu seperti Gambar 16-b. Baik balok
kayu maupun pelat baja terlebih dahulu telah dilubangi untuk mempermudah
masuknya baut ke dalam kayu dan pelat baja serta membatasi perlemahan tanpa
mengurangi daya ikat kayu dengan pelat baja. Pelubangan dilakukan mengikuti
NDS 2005.
Ke dalam lubang selanjutnya dimasukkan baut sampai tembus, baru
kemudian dilakukan pengencangan baut menggunakan mur agar sambungan
kuat dan rapat. Pengaturan komponen contoh uji kekuatan sambungan geser
disajikan pada Gambar 16-a, sedangkan Gambar 17 memperlihatkan contoh uji
(a)
(b)
Gambar 16 (a) Pengaturan komposisi dan (b) Proses pembuatan contoh uji kekuatan sambungan baut double shear.
(a) (b)
Gambar 17 Contoh uji kekuatan sambungan baut double shear (a) Tampak depan; (b) tampak samping
30 30
10
1.5 cm 12
5 cm
5 cm
5 cm
3.5 cm
3.4 Pengujian
3.4.1 Kadar Air, Kerapatan dan BJ Kayu
Contoh uji ditimbang (Gambar 18) untuk mengetahui berat awal kondisi
kering udara (BKU) dan diukur panjang, lebar dan tebalnya untuk menghitung
volume contoh uji (VKU). Selanjutnya, contoh uji dikeringkan dalam oven
(103±2)ºC hingga beratnya konstan dan ditimbang kembali (BKT). Nilai kadar
air kondisi kering udara (KA-KU), kerapatan dan BJ kayu dihitung dengan
rumus:
KA-KU = (BKU – BKT) / BKT x 100%
Kerapatan = BKU / VKU (g/cm3)
BJ = (BKT / VKU) / ρ air
Gambar 18 Penimbangan contoh uji saat pengujian sifat fisis kayu
3.4.2 Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat
Pengujian kekuatan tekan maksimum sejajar serat atau maximum crushing strength (MCS) untuk setiap jenis kayu dilakukan dengan cara memberikan beban vertikal secara perlahan-lahan sampai contoh uji mengalami
kerusakan (Gambar 19). Nilai keteguhan tekan maksimum sejajar serat kayu
dihitung dengan rumus:
Gambar 19 Pemberian beban vertikal saat pengujian tekan maksimum sejajar serat
3.4.3 Kekuatan Sambungan Baut Double Shear
Pengujian kekuatan sambungan baut double shear dilakukan berdasarkan ASTM D5652-95 yaitu memberikan beban tekan dengan arah tegak lurus
terhadap baut (sejajar sisi panjang contoh uji) secara perlahan-lahan hingga
maksimum pada masing-masing tingkat sesaran (0,8 mm, 1,5 mm, dan 5,0 mm).
Pengujian dengan cara menekan ini diasumsikan sama dengan pengujian tarik
sebagaimana standar (Gambar 20).
Gambar 20 Pengujian kekuatan sambungan baut double shear.
Beban maksimum yang ditunjukkan oleh alat saat pengujian berlangsung
(beban total) dinyatakan sebagai nilai kekuatan sambungan double shear, sedangkan nilai beban per baut (P) nya dihitung dengan rumus:
P = Beban total pada tingkat sesaran tertentu / Jumlah baut
Analisis ragam dilakukan pada beban total sambungan baut double shear dan beban per baut sambungan double shear tiap sesaran agar diketahui pengaruh interaksi dari faktor tunggal atau hasil interaksi antara diameter
ragam maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan agar dapat diketahui pengaruh
setiap perlakuan terhadap nilai beban per baut sambungan double shear dan beban total kekuatan sambungan baut double shear batang kayu dengan pelat baja pada masing-masing tingkat sesaran.
3.5 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Berblok dengan
Faktorial. Faktor pertama (A) adalah diameter baut yang terdiri atas tiga taraf
yaitu 6,4 mm (A1), 7,9 mm (A2), 9,5 mm (A3), faktor kedua (B) adalah jumlah baut yang terdiri atas empat taraf yaitu 4 buah (B1), 6 buah (B2), 8 buah (B3) dan 10 buah (B4), dan faktor ketiga (C) adalah jenis kayu yang terdiri atas tiga taraf yaitu kayu sengon, bintangur, dan kapur. Model matematika yang digunakan
untuk rancangan ini adalah:
Y
ijk= µ + A
i+ B
j+ C
k+ AB
ij+
ε
ijkDimana:
Yijk = Beban pada diameter baut (faktor A) ke-i, jumlah baut (faktor B) ke-j pada ulangan ke-k
Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dan program SPSS 16.0. Apabila dari hasil pengolahan data menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut
Duncan dengan selang kepercayaan 95%. Pengujian ini dilakukan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi antara perlakuan pada tingkat
Diagram alir penelitian kekuatan sambungan baut double shear kayu dengan pelat baja pada kayu sengon, bintangur dan kapur dengan berbagai
sesaran, diameter baut dan jumlah baut disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21 Diagram Alir Penelitian Persiapan Bahan
Kayu Sengon, Bintangur dan
Kapur
Baut (6,4 mm, 7,9 mm
dan 9,5 mm)
Pelat Baja
Pengujian Sifat Fisis dan
Kekuatan Tekan Sejajar
Serat
Pengujian Kekuatan Sambungan Baut
Double Shear
Sesaran 0,8 mm, 1,5 mm,
5,0 mm
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat Fisis Kayu
Kadar air, kerapatan dan BJ kayu merupakan sifat fisis kayu yang yang
sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat mekanis kayu dan kekuatan kayu
(Haygreen et al. 2003). Fluktuasi kadar air kayu akan mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu tersebut (Haygreen dan Bowyer 1996). Hasil pengujian kadar
air, kerapatan dan BJ kayu disajikan dalam Tabel 1. Rekapitulasi data
perhitungan kadar air, kerapatan dan BJ dari tiga jenis kayu yang diteliti yaitu
kayu sengon, bintangur dan kapur disajikan secara lengkap pada Lampiran 1, 2
dan 3.
Tabel 1 Hasil pengukuran sifat fisis tiga jenis kayu.
Sifat Fisis Jenis Kayu
Sengon Bintangur Kapur
Kadar Air (%) 14,27 12,40 14,44
Kerapatan (g/cm3) 0,26 0,54 0,82
Berat Jenis 0,23 0,48 0,72
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa rata-rata kadar air, kerapatan dan BJ
kayu ke tiga jenis yang diteliti bervariasi. Variasi atau keragaman nilai kadar air
tergolong rendah, tetapi tidak demikian hal nya dengan keragaman nilai kerapatan
dan atau BJ kayu. Kadar air kayu hasil penelitian ini berkisar antara 12,40%
hingga 14,44%, sedangkan kerapatan dan BJ kayu berturut-turut berkisar antara
0,26 g/cm3 hingga 0,82 g/cm3 dan 0,23 hingga 0,72. Gambar 22 menyajikan
kayu menjadi bertambah karena pada umumnya semakin berkurang nilai kadar air
dibawah kadar air titik jenuh serat maka kayu semakin kuat, dan sebaliknya
apabila kadar air mendekati kadar air titik jenuh serat maka kekuatan kayu akan
semakin berkurang. Titik jenuh serat merupakan suatu titik dimana semua air cair
di dalam rongga sel telah keluar namun dinding sel masih dalam keadaan jenuh
(Haygreen dan Bowyer 1996). Dengan demikian, maka kondisi kayu saat
dijadikan sambungan dan saat diuji telah berada dalam kondisi keseimbangan
dengan kelembaban relatif udara.
Gambar 22 Diagram rata-rata kadar air tiga jenis kayu.
Diantara tiga jenis kayu yang diteliti, sengon merupakan kayu dengan
nilai kerapatan dan BJ yang paling rendah berturut-turur sebesar 0,26 g/cm3 dan 0,23, kemudian diikuti oleh kayu bintangur (0,54 g/cm3 dan 0,48), sedangkan yang paling tinggi adalah kayu kapur (0,82 g/cm3 dan 0,23). Keragaman nilai kerapatan kayu disajikan pada Gambar 23, sedangkan Gambar 24 memuat
keragaman nilai BJ kayu.
Gambar 24 Diagram rata-rata berat jenis tiga jenis kayu.
Keragaman nilai BJ dan kerapatan menurut Kasmujo (2001) tergantung
dari jumlah zat kayu yang tersusun di dalam kayu, rongga-rongga sel atau jumlah
pori-pori, kadar air yang dikandung dan zat ekstraktif di dalamnya. Menurut Oey
Djoen Seng (1964), kerapatan dan BJ kayu pada umumnya berbanding lurus
dengan kekuatan kayu. Semakin tinggi nilai kerapatan dan BJ kayu, maka
semakin tinggi pula kekuatan kayu. Sebaliknya, semakin rendah nilai kerapatan
dan BJ kayu maka semakin rendah pula kekuatan kayu tersebut. Dengan
demikian ketiga jenis kayu yang diteliti dalam penelitian ini telah sesuai dengan
harapan karena dapat mewakili perbedaan kelas kuat kayu terhadap nilai kekuatan
sambungan baut double shear yang akan dievaluasi. Pada penelitian ini, sengon mewakili kayu dengan kelas kuat rendah, bintangur mewakili kayu kelas kuat
sedang, dan kayu kapur mewakili kayu kelas kuat tinggi.
4.2 Sifat Mekanis Kayu
Sifat mekanis kayu sangat berkaitan dengan ketahanan kayu terhadap
gaya luar yang cenderung merubah bentuk kayu. Ketahanan kayu tersebut
tergantung pada besarnya gaya dan cara pembebanan (tarik, tekan, geser, pukul).
Sifat mekanis yang diuji dalam penelitian ini meliputi kekuatan tekan maksimum
sejajar serat dan kekuatan sambungan baut double shear.
4.2.1 Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat
berusaha memperkecil ukurannya sampai kayu mengalami kerusakan (Tsoumis
1991). Kekuatan tekan maksimum sejajar serat diperoleh dengan cara membagi
gaya maksimum yang bekerja dengan luas permukaan kayu yang terkena gaya.
Hasil pengujian tentang kekuatan tekan maksimum sejajar serat sangat bervariasi
(Gambar 25). Hasil lengkap rekapitulasi pengujian kekuatan tekan maksimum
sejajar serat dapat dilihat pada Lampiran 4, 5 dan 6.
Gambar 25 Diagram rata-rata nilai kekuatan tekan maksimum sejajar serat.
Pada Gambar 25 terlihat bahwa nilai kekuatan tekan maksimum sejajar
serat paling rendah terdapat pada kayu sengon (231 kg/cm2), sedangkan nilai yang paling tinggi pada kayu kapur (489 kg/cm2). Kayu bintangur memiliki nilai kekuatan tekan sejajar serat sebesar 404 kg/cm2. Berdasarkan hasil pengujian kekuatan tekan maksimum sejajar serat maka nilai kekuatan tekan maksimum
sejajar serat tersebut berbanding lurus dengan nilai kerapatan dan atau nilai BJ
kayu. Semakin tinggi nilai kerapatan dan atau BJ kayu (kayu kapur dengan nilai
kerapatan 0,82 gr/cm3 dan BJ 0,72), maka semakin tinggi juga nilai kekuatan tekan maksimum sejajar seratnya. Sebaliknya semakin rendah nilai kerapatan dan
atau BJ kayu maka semakin rendah juga nilai kekuatan tekan maksimum sejajar
serat.
Jika dihubungkan dengan nilai kadar air maka kadar air tidak terlalu
berpengaruh dengan kekuatan tekan maksimum sejajar serat. Secara teori,
semakin bertambahnya kadar air dibawah kadar air TJS maka nilai kekuatan
tekan maksimum sejajar serat semakin rendah. Namun demikian, pada penelitian
maksimum sejajar serat paling tinggi juga. Selain kadar air, nilai kekuatan tekan
maksimum sejajar serat juga sangat dipengaruhi oleh BJ dan atau kerapatan kayu
sehingga kadar air bukan faktor penting yang mempengaruhi nilai kekuatan tekan
maksimum sejajar serat tiga jenis kayu. Nilai kekuatan tekan maksimum sejajar
serat dan BJ kayu dapat digunakan untuk menduga kekuatan atau kemampuan
baut sebagai alat sambung untuk melekat pada kayu. Pada proses pengujian
kekuatan tekan maksimum sejajar serat kayu, kayu diuji hingga mengalami
kerusakan. Kerusakan pada kayu terjadi beberapa tahap. Tahap awal kayu akan
mengalami patahan pada dinding selnya yang kemudian semakin besar dan
membentuk garis yang lebih nyata pada permukaan kayu saat beban meningkat
dan pada tahap akhir pengujian, serabut atau serat-serat kayu akan mengalami
pelipatan (buckling) dan pengkerutan (cringkling) sehingga kayu mengalami kerusakan.
4.2.2 Kekuatan Sambungan Baut Double Shear
Kekuatan sambungan baut double shear pada kayu merupakan kekuatan yang terjadi pada dua buah side member yang mengapit main member. Pelat baja bertindak sebagai dua buah side member yang mengapit kayu (main member). Pengujian kekuatan sambungan double shear dilakukan dengan melihat pengaruh diameter baut dan jumlah baut terhadap beban total atau beban ijin per baut
kekuatan sambungan baut double shear pada tingkat sesaran tertentu yaitu 0,8 mm, 1,5 mm dan 5,0 mm.
Hasil lengkap kekuatan sambungan baut double shear disajikan secara rinci pada Lampiran 7, 8 dan 9.
4.2.2.1 Beban Total Kekuatan Sambungan Baut Double Shear Tiga Jenis Kayu Pada Berbagai Sesaran
Beban total kekuatan sambungan baut double shear merupakan total beban yang diterima sambungan double shear pada tiap sesaran, diameter baut, jumlah baut dan tiga jenis kayu berbeda. Hasil rangkuman rata-rata beban total
Tabel 2 Rata-rata beban total kekuatan sambungan baut double shear tiga jenis kayu
Tiga Jenis Kayu (C) pada Berbagai Sesaran
0.80 mm 1.50 mm 5.00 mm
Tabel 3 Analisis ragam beban total sambungan baut double shear tiap sesaran.
sesaran, sedangkan jumlah baut hanya memiliki pengaruh nyata terhadap beban
total sambungan baut double shear pada sesaran 5,0 mm. Interaksi antara jumlah baut dan diameter baut tidak memiliki pengaruh nyata terhadap beban total
sambungan baut double shear. Faktor yang memiliki pengaruh nyata terhadap beban total sambungan baut double shear kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan.
Gambar 26 Diagram pengaruh jenis kayu terhadap beban total kekuatan sambungan baut double shear pada berbagai sesaran.
Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 26, untuk sesaran 0,8 mm nilai rata-rata
beban total sambungan baut double shear tertinggi terdapat pada kayu kapur (1893 kg), dan yang terendah pada kayu sengon (573 kg). Pada kayu bintangur
sebesar 1435 kg. Untuk sesaran 1,5 mm, ketiga jenis kayu yang diuji memiliki
nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear yang lebih tinggi daripada sesaran 0,8 mm. Nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear pada kayu kapur sebesar 2855 kg yang juga merupakan nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear tertinggi untuk sesaran 1,5 mm. Nilai rata-rata beban total kekuatan sambungan baut double shear pada kayu bintangur dan kayu sengon berturut-turut sebesar 2397 kg dan 1291 kg. Sebagaimana
halnya pada sesaraan 1,5 mm, pada tingkat sesaran 5,0 mm, kayu kapur juga
memiliki nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear tertinggi yaitu sebesar 6158 kg, sedangkan kayu sengon paling rendah (2853 kg). Nilai yang
Sesuai Gambar 26 dapat dikatakan bahwa kayu kapur memiliki rata-rata
nilai beban total sambungan baut double shear paling tinggi pada tiap sesaran dibandingkan sengon dan bintangur sedangkan kayu sengon memiliki rata-rata
beban total sambungan baut double shear paling rendah dibanding dua jenis kayu lainnya sehingga dapat diartikan semakin tinggi BJ kayu maka semakin tinggi
juga nilai rata-rata beban total kekuatan sambungan baut double shear jenis kayu tersebut. Sebaliknya jika BJ kayu semakin rendah maka semakin rendah pula
rata-rata beban total kekuatan sambungan baut double shear jenis kayu tersebut.
Tabel 4 Uji Duncan jenis kayu terhadap beban total sambungan baut double
Berdasarkan wilayah uji lanjut Duncan sebagaimana yang ditunjukkan
pada Tabel 4 diketahui bahwa kayu sengon memiliki nilai desain lateral yang
tidak sama dengan kayu bintangur dan kayu kapur (berbeda nyata), tetapi kayu
kapur dan kayu bintangur memiliki nilai desain lateral yang sama (tidak berbeda
nyata) atau dapat dikatakan penggunaan kayu bintangur maupun kapur sama saja
pada konstruksi bangunan secara statistik walaupun nilai beban total sambungan
baut double shear berbeda.
Pengaruh diameter baut terhadap beban total sambungan baut double shear disajikan pada Gambar 27. Berdasarkan Gambar 27 diketahui bahwa pada sesaran 0,8 mm nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear tertinggi dimiliki oleh baut yang berdiameter 7,9 mm sebesar 1659 kg dan yang terendah
yaitu baut berdiameter 6,4 mm sebesar 901 kg sedangkan baut berdiameter 9,4
mm memiliki nilai rata-rata beban total 1341 kg. Untuk sesaran 1,5 mm, baut
berdiameter 7,9 mm memiliki nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear tertinggi yaitu 2698 kg dan terendah dimiliki baut berdiameter 6,4 mm sebesar 1356 kg sedangkan baut berdiameter 9,4 mm memiliki nilai rata-rata
nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear tertinggi yaitu sebesar 5706 kg dijumpai pada baut berdiameter 7,9 mm. Baut berdiameter 6,4 mm
memiliki nilai rata-rata beban total terendah yaitu sebesar 3629 kg sedangkan
baut berdiameter 9,4 mm memiliki nilai beban total sebesar 5539 kg.
Gambar 27 Diagram pengaruh diameter baut terhadap beban total kekuatan sambungan baut double shear pada berbagai sesaran.
Secara umum berdasarkan Gambar 27 dapat dikatakan bahwa baut
berdiameter 7,9 mm memiliki nilai rata-rata beban total sambungan baut double shear tertinggi pada tiap sesaran dibandingkan dengan baut berdiameter 6,4 mm dan 9,4 mm sehingga meningkatnya nilai rata-rata beban total sambungan baut
double shear ada hubungannya dengan bertambahnya diameter baut tidak terbukti dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena dengan pemakaian diameter
baut yang besar akan menyebabkan tingginya perlemahan yang terjadi pada
sambungan, akibat lebih banyaknya luasan permukaan kayu yang rusak dan
menyebabkan terjadinya pemadatan kayu, sehingga baut berdiameter 7,9 mm
menghasilkan nilai beban total sambungan baut double shear yang lebih tinggi daripada baut berdiameter 9,5 mm. Namun diduga pula bahwa dengan pemakaian
diameter baut yang kecil pada sambungan kurang mampu untuk menahan beban
dengan baik, sehingga baut berdiameter 6,4 mm lebih rendah dalam
menghasilkan nilai beban total sambungan baut double shear dibandingkan dengan baut berdiameter 7,9 mm. Jika dibandingkan dengan pengaruh jenis kayu,