PERILAKU KEKUATAN SAMBUNGAN GESER GANDA
BATANG KAYU DENGAN PAKU MAJEMUK BERPELAT
SISI BAJA AKIBAT BEBAN UNI-AKSIALTEKAN
SUCAHYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perilaku Kekuatan Sambungan Double Shear Balok Kayu dengan Paku Berpelat Sisi Baja pada Beberapa Diameter dan Jumlah Paku Majemuk adalah karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perilaku Kekuatan Sambungan Geser Ganda Batang Kayu dengan Paku Majemuk Berpelat Sisi Baja Akibat Beban Uni-Aksil Tekan adalah karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Sucahyo
NIM E263070011
SUCAHYO. Perilaku Kekuatan Sambungan Geser Ganda Batang Kayu dengan Paku Majemuk Berpelat Sisi Baja Akibat Beban Uni-Aksial Tekan. Dibimbing oleh
Bahan penelitian untuk sambungan paku adalah sepuluh jenis kayu yang memiliki sebaran kerapatan (ρ) atau berat jenis (BJ) rendah sampai tinggi, yaitu sengon (Paraserianthes falcataria), kayu nangka (Arthocarpus sp), borneo super, meranti merah (Shorea spp), punak (Tetramerista glabra), kapur (Dryobalanops
spp), rasamala (Altingia Excelsa), mabang (S.pachyphylla), kempas (Koompassia malaccensis) dan bangkirai (Shorea laevis). Kesepuluh jenis kayu tersebut di peroleh dalam bentuk balok kayu berukuran penampang 6 cm (tebal) x 12 cm (lebar) dengan panjang 400 cm, kemudian dikeringkan secara alami sampai mencapai kadar air kering udara. Bahan lain adalah paku terdiri dari tiga ukuran diameter, yaitu 4,1 mm (panjang 10 cm); 5,2 mm (12 cm); dan 5,5 mm (15 cm). Pelat sambung yang digunakan adalah pelat baja berukuran penampang 1,5 cm (tebal) x 12 cm (lebar) dengan panjang 30 cm. Pada setiap lempeng baja dibuat lubang bor dimana besarnya disesuaikan dengan ukuran diameter paku NARESWORO NUGROHO, SURJONO SURJOKUSUMO dan IMAM WAHYUDI.
Pada prinsipnya suatu bangunan struktural menuntut tiga aspek penting, yaitu kekakuan (stiffness), kekuatan (strength) dan kestabilan (stability) struktur. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketiga aspek penting tersebut adalah macam sambungan yang digunakan. Sambungan kayu merupakan titik kritis atau terlemah yang terdapat pada elemen atau titik hubung dari suatu bangunan struktural. Pada bangunan struktural sistim perangkaannya harus diupayakan agar sambungan pada elemen atau titik-titik hubungnya hanya bekerja gaya uniaksial tarik atau tekan saja. Macam sambungan kayu yang bersifat kritis dan perlu diperhitungkan berdasarkan kaidah ilmiah adalah sambungan tarik, geser dan momen. Sambungan tarik pada kayu juga rentan terhadap sesaran dan ini merupakan kelemahan berikutnya. Sambungan kayu sekarang ini dapat didisain dengan ketelitian yang sama seperti bagian-bagian lain dari struktur.
Alat sambung tipe dowel seperti paku digunakan untuk disain sambungan dengan pertimbangan bahwa gaya-gaya yang dipikul dan disalurkan relatif kecil. Walaupun paku secara umum digunakan untuk konstruksi ringan namun kemungkinan untuk digunakan pada konstruksi struktural yang memikul beban tinggi (heavy timber constructions) bisa saja diterapkan. Penelitian sambungan kayu ukuran pemakaian (full scale) dengan paku untuk jenis kayu yang memiliki kerapatan atau berat jenis sedang sampai tinggi belum banyak dilakukan apalagi diaplikasikan pada konstruksi struktural.
sementara jarak lubang untuk paku disesuaikan dengan ukuran kayu dan pelat sambung (NDS, 2005). Metoda pengujian sifat fisik yang meliputi ρ, BJ dan KA didasarkan pada standar Amerika, yaitu American Society for Testing and
Materials (ASTM) D 143-94 (Reapproved 2000) Standard Test Methods for
Small Clear Specimens of Timber dan sifat mekanik kekuatan tekan//serat kayu berdasarkan standar Inggris, British Standard -BS 373 tahun 1957. Pengujian kekuatan sambungan geser ganda didasarkan atas metoda eksplorasi. Contoh uji sambungan geser ganda seharusnya dibuat dari 2 buah batang kayu dari jenis yang sama dan berukuran sama, yaitu masing-masing batang berukuran penampang 6 cm x 12 cm dengan panjang 40 cm. Namun dalam pengujian hanya digunakan sebuah batang karena pengujian dilakukan dengan pembebanan uniaksial tekan. Penyambungan mekanis batang tersebut dilakukan dengan menggunakan pelat sambung baja, dimana pada setiap pelat sambung baja dibuat lubang sebesar ukuran diameter paku. Selanjutnya pada setiap ukuran diameter per pelat sambung dibuat 4, 6, 8 dan 10 buah lubang sambungan. Contoh uji sambungan geser ganda dan tekan sejajar serat diuji kekuatan mekaniknya masing-masing menggunakan UTM merk Baldwin kapasitas 30 ton dan UTM Instron kapasitas 5 ton. Penentuan kekuatan tarik sejajar serat kayu menggunakan persamaan empirik Ft//
= 172,5 SG1,05, dimana SG adalah kerapatan kayu yang diukur pada rentang kadar air 12-15% (Tjondro, 2007). Nilai disain lateral (Z) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah notasi yang menggambarkan nilai tegangan ijin per paku yang diperoleh dari pengujian empirik sambungan geser ganda berpelat sisi baja. Pada pengujian sambungan tarik dengan paku yang diberi beban tekan sulit menentukan beban maksimumnya. Oleh karena itu pada pengujian tersebut biasanya ditentukan besarnya beban yang terjadi pada displacement (sesaran) tertentu, yaitu sesaran sebesar 0,38 mm (standar Amerika); 0,80 mm (standar Australia); 1,50 mm (Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia/PKKI NI-5 tahun 1961) dan 5,00 mm (beban runtuh/rusak). Menurut Wiryomartono (1977) beban ijin sambungan dengan paku dapat ditetapkan 1/3 x beban maksimum (beban rusak) atau ditetapkan dari beban pada sesaran 1,50 mm. Untuk mengetahui perilaku dan menentukan besar pengaruh diameter dan jumlah paku terhadap nilai Z sambungan geser ganda sepuluh jenis kayu yang diteliti data diolah dan dianalisis secara deskriptif.
Kekuatan atau nilai disain lateral Z sambungan geser ganda batang kayu dengan paku berpelat sisi baja meningkat dengan meningkatnya BJ atau kerapatan kayu. Rataan Z juga meningkat dari diameter paku 4,1 mm-5,2 mm namun menurun kembali pada diameter 5,5 mm pada berbagai sesaran (0,38 mm; 0,80 mm;1,5 mm dan 5,0 mm). Sebaliknya jumlah paku (4-10 buah) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rataan Z.
Rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda berdasarkan pendekatan teoritis (Percobaan I) relatif sama dan tidak berbeda nyata dengan pendekatan batas maksimum (Percobaan III). Namun nilai Z dari kedua pendekatan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rataan Z yang diperoleh dari pendekatan teoritis-empiris (Percobaan II)(EC5, 2007) dan pendekatan batas sesaran 1,5 mm (PKKI-NI 1961)(Percobaan III). Dengan demikian nilai disain lateral Z yang paling moderat dan realistis untuk kayu tropis Indonesia adalah pendekatan batas proporsional (Percobaan III) hasil uji empiris. Nilai rataan Z
yang disebutkan terakhir berada diantara nilai ekstrim dari kedua kelompok pendekatan di atas.
Model regresi dalam bentuk persamaan pangkat (power regression type) merupakan model terbaik untuk menduga nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda batang kayu dengan paku berpelat sisi baja dari kerapatan kayu G (g/cm3) baik pada sesaran 0,38 mm; 0,80 mm; 1,50 maupun 5,00 mm untuk pemakaian 3 ukuran diameter paku. Telah dibuat tabel kelas mutu sambungan geser ganda untuk masing-masing diameter paku tertentu menurut kerapatan kayu (0,25-0,95 g/cm³) dan beberapa tingkat sesaran (1,00 mm; 1,50 mm dan 5,00 mm).
Penelitian ini menyarankan agar titik proporsional sambungan geser ganda batang kayu dengan paku berpelat sisi baja nilainya perlu ditetapkan sebesar 1,00 mm. Nilai sesaran tersebut digunakan untuk menggantikan sesaran 1,50 mm sebagaimana ditetapkan PKKI NI-5 tahun 1961. Sesaran 5,00 mm dapat ditetapkan sebagai batas maksimum kurva beban-sesaran sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja.
Kata kunci : Beban ijin tarik sejajar serat kayu, kerapatan, nilai disain lateral, sambungan geser ganda, sesaran
SUCAHYO. Behaviour of Double Shear Connections Strength Wood Beam with Nails of Steel Side Plates under Uni-Axial Compression Loading. Under the direction of NARESWORO NUGROHO, SURJONO SURJOKUSUMO and IMAM WAHYUDI
Connection is the weakest point of the structural building. Structural construction building system must try to ensure that there is only a tensile force or just axial compression that is working on the connection. This research objective is to analysis the behaviour of the strength or the lateral design values (Z) double shear connections wood beam with nails of steel side plates under uni-axial compression loading of ten Indonesian wood species.
The research results showed that average moisture content (MC) for the main member varies from 13.3 to 22.5% while average specific gravity (SG) from 0.27 to 0.76 and then wood density from 0.31 to 0.89 g/cm3. From this average value of MC, SG and wood density the lowest was sengon and the highest was rasamala wood. Average allowable load of compression parallel to grain (Fc//) and
parallel tensile to grain (Ft//) was sengon, but the highest was bangkirai. There
was a general tendency that Fc// and Ft// was linier to SG or ρ of those wood. Ft//
was approximately 2 times greater than its Fc//. The number of nail (4-10 pieces)
did not give effect of average Z value, but with the nail diameter 4.1 to 5.2 mm Z value increased significantly and this value decreased on 5.5 mm diameter nail. Average Z value were also increases with increasing of SG of wood for several displacement such as 0.38 mm displacement (American Standard), 0.80 mm (Australian Standard), 1.50 mm (Indonesian Standard) and 5.0 mm (breaking load), respectively. The increasing of Z happens because SG effect. At 5.0 mm displacement the increase of Z is not as sharp as 0.38 mm, 0.80 mm and 1.5 mm displacement. On the contrary wood species, amount and diameter size of nails didn’t effect to proportional limit of double shear connections. Power regression type was the best equation to predict Z of wood density for several diameters of nails.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
PERILAKU KEKUATAN SAMBUNGAN GESER GANDA
BATANG KAYU DENGAN PAKU MAJEMUK BERPELAT
SISI BAJA AKIBAT BEBAN UNI-AKSIALTEKAN
SUCAHYO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Perilaku Kekuatan Sambungan Geser Ganda Batang Kayu dengan Paku Majemuk Berpelat Sisi Baja akibat Beban Uni-Aksial Tekan
Nama : Sucahyo
NIM : E263070011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S. Ketua
Prof.(EMERT).Dr.Ir. Surjono Surjokusumo, M.S.F. Prof.Dr.Ir.ImamWahyudi, M.S.
Anggota Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Rekayasa dan Peningkatan Mutu
Hasil Hutan
Dr. Ir. I. Wayan Darmawan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Johannes A. Tjondro, M.Eng.
Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc., Ph.D
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan tema perilaku kekuatan sambungan geser ganda ini merupakan salah satu kegiatan tahap akhir dari serangkaian studi doktoral dalam rangka penyusunan disertasi, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi program doktor pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS., Prof (Emr.). Ir. Surjono Surjokusumo, MSF. PhD dan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. sebagai pembimbing atas arahan, kritik, saran serta dorongan semangat yang diberikan selama proses studi doktor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat jajaran pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB; mantan pimpinan Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Ir. Cecep kusmana, MS., dan Prof. Dr. Ir. Yusram Massijaya, MS., serta Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr., dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS., atas kesempatan studi program doktoral yang diberikan di IPB. Penulis sampaikan pula ucapan terima kasih kepada yang terhormat Dr. Ir. Dede Hermawan MSc., dan Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, MSc., sebagai mantan pimpinan Departemen Hasil Hutan serta Dr. Ir. I. Wayan Darmawan, MSc. dan Arinana, S.Hut, MSc., selaku Ketua dan Sekretaris Dept. Hasil Hutan IPB atas kegiatan studi yang disediakan dan diselenggarakan pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Johannes Adhijoso Tjondro, M.Eng. dan Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS., selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup serta Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc., PhD dan Dr. Ir. Lilik Pujantoro M.Agr., selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian terbuka atas masukan-masukan yang sangat tajam dan substansial serta saran-saran konstruktif yang diberikan bagi perbaikan disertasi ini.
Terima kasih kepada saudara Yeyet, Ace Amirudin Mansur, Srijanto, Vivin Ziannita dan Riva Fachrurrazi atas bantuan dan dukungan pada penelitian laboratorium. Terima kasih juga kepada Sdr Amin Suroso, ST; Muh. Irfan; Kadiman dan Suhada atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung. Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada DIKTI atas beasiswa pendidikan (BPPS) dan dukungan dana Hibah Penelitian Fundamental tahun 2008. Terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh kolega (Bapak dan Ibu Dosen, Dept. Hasil Hutan IPB) atas kerjasama, dukungan moril dan motivasi yang terus disampaikan selama masa pendidikan doktoral. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan terima kasih atas kebersamaannya selama masa studi. Terakhir, ungkapan terima kasih yang paling dalam dari lubuk hati disampaikan keharibaan orangtua (Alm.); isteri dan anak-anak tercinta atas segala doa, kesabaran, dorongan dan kasih sayangnya.
Semoga Allah SWT Yang Maha Berkehendak tidak henti-hentinya membalas seluruh kebaikan yang telah Bapak, Ibu dan Saudara/i berikan, dan semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi keteknikan kayu.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 1 Mei 1958 dari ayah Sadiyo dan ibu Naelly. Penulis merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara.
Tahun 1976 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tegal dan pada tahun yang sama lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru (SIPENMARU) IPB melalui jalur PROYEK PERINTIS II. Penulis memilih Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1985 penulis melanjutkan studi jenjang pendidikan S2 pada program studi Ilmu Perkayuan dan Pengelolaan Hutan Fakultas Pascasarjana IPB dengan sponsor Beasiswa TMPD dan lulus pada tahun 1989.
Penulis bekerja di Almamater sebagai staf pengajar tetap bidang keteknikan kayu di Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB terhitung sejak tahun 1985 sampai sekarang. Di penghujung karier sebagai dosen, pada tahun 2007 penulis melanjutkan kembali studi program doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB, kembali dengan sponsor sama BPPS dan lulus tahun 2010.
xi
Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat Kayu ... 28
Kekuatan Tarik Sejajar Serat Kayu ... 29
Kekuatan Sambungan Geser Ganda ... 29
Percobaan I - Pendekatan Teoritis ... 29
Percobaan II - Pendekatan Teoritis dan Empiris ... 34
xii
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42
Berat Jenis, Kerapatan dan Kadar Air Kayu ... 42
Beban Ijin Tekan dan Tarik Sejajar Serat Kayu ... 44
Nilai Disain Lateral Z Sambungan Geser Ganda ... 46
Percobaan I - Pendekatan Teoritis ... 46
Percobaan II - Pendekatan Teoritis dan Empiris ... 50
Formula Amerika Serikat ... 50
Formula Uni Eropa ... 51
Percobaan III - Pendekatan Empiris ... 53
Nilai Disain Total T ... 53
Nilai Disain Lateral Z menurut Beberapa Negara ... 55
Nilai Disain Lateral Z pada Batas Proporsional dan Maksimum ... 61
Sesaran pada Batas Proporsional dan Maksimum ... 63
Pola Kerusakan Sambungan ... 65
Nilai Disain Lateral Z Menurut Berbagai Analisis Pendekatan .... 68
Analisis Kontur Gaya-Sesaran ... 72
Model Regresi Sambungan Geser Ganda ... 76
Kelas Mutu Sambungan Geser Ganda ... 77
KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
Kesimpulan ... 79
Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Faktor reduksi Rd menurut ukuran diameter paku dan mode
kerusakan ... 32 2 Kekuatan tumpu paku (Fe) berdasarkan berat jenis kayu untuk
paku berdiameter kurang dari 6,4 mm... 33 3 Beban total dan sesaran sambungan geser ganda contoh uji A3B4C3U2
pada 3 arah salib-sumbu menurut percobaan III dan pendekatan
model simulasi MEH menggunakan program ADINA ver.8.5.2... 74 4 Power regression type hubungan antara nilai disain lateral Z dengan
kerapatan kayu G (g/cm3) sambungan geser ganda berpelat sisi baja
menurut sesaran dan diameter paku ... 77 5 Kelas mutu sambungan geser ganda batang kayu dengan paku
berpelat sisi baja untuk sesaran 1,00 mm, 1,50 mm dan 5,00 mm
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Geometrik contoh uji sambungan geser ganda untuk jumlah paku 10
buah ... 26 2 Sketsa gambar contoh uji sambungan geser ganda menurut jumlah
paku ... 27 3 Pengujian kekuatan tekan maksimum sejajar serat kayu ... 28 4 Mode kerusakan sambungan geser tunggal (single shear connections)
dan geser ganda (double shear connections) ... 31 5 Pengujian kekuatan lentur paku ... 35 6 Disain alat pendukung uji kuat tumpu paku (a) dan pengujian kuat
tumpu paku (b) ... 36 7 Pengujian kekuatan tarik maksimum paku ... 37 8 Pengujian sambungan geser ganda dengan pembebanan uni-aksial
tekan : (a) UTM Baldwin, (b) contoh uji dengan 6 batang paku dan
(c) contoh uji dengan 10 batang paku ... 39 9 Batas proporsional dan maksimum pada kurva beban-sesaran ... 40 10 Diagram alir penelitian kekuatan sambungan geser ganda batang kayu
dengan paku majemuk berpelat sisi baja sepuluh jenis kayu ... 41 11 Berat jenis dan kerapatan (g/cm³) sepuluh jenis kayu ... 42 12 Kadar air (%) sepuluh jenis kayu ... 43 13 Beban ijin tekan sejajar serat dan tarik sejajar serat sepuluh jenis kayu 45 14 Pola sebaran rataan Z menurut mode kerusakan untuk setiap diameter
paku ... 47 15 Pola sebaran nilai disain lateral Z sambungan geser ganda sepuluh
jenis kayu menurut diameter paku (mode kerusakan IV) ... 48 16 Kurva model regresi polynomial hubungan antara nilai disain lateral Z
dengan berat jenis dari sepuluh jenis kayu ... 49 17 Pola sebaran nilai disain lateral Z sambungan geser ganda tujuh jenis
kayu menurut diameter paku (mode kerusakan IV) berdasarkan
percobaan II (teoritis-empiris)(AWC, 2005) ... 50 18 Pola sebaran nilai disain lateral Z sambungan geser ganda tujuh jenis
kayu menurut diameter paku (mode kerusakan IV) berdasarkan
percobaan II (teoritis-empiris)(EC5; Porteous dan Kermani, 2007) ... 52 19 Pola sebaran rataan nilai disain total T sambungan geser ganda
xv
menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran 0,80 mm ... 54 21 Pola sebaran rataan nilai disain total T sambungan geser ganda
menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran 1,50 mm... 54 22 Pola sebaran rataan nilai disain total T sambungan geser ganda
menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran 5,00 mm ... 55 23 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
sepuluh jenis kayu menurut diameter paku pada sesaran 0,38 mm,
0,80 mm, 1,50 mm dan 5,00 mm ... 55 24 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
sepuluh jenis kayu untuk semua jenis ... 56 25 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran 0,38 mm ... 57 26 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran 0,80 mm ... 57 27 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran 1,50 mm ... 58 28 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut diameter paku pada sesaran 5,00 mm ... 58 29 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut jumlah paku pada sesaran 5,00 mm ... 59 30 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut jenis kayu pada batas proporsional dan maksimum ... 61 31 Pola sebaran rataan nilai disain lateral Z sambungan geser ganda
menurut diameter paku pada batas proporsional dan maksimum ... 62 32 Pola sebaran rataan sesaran sambungan geser ganda
menurut jenis kayu pada batas proporsional dan maksimum ... 63 33 Pola sebaran rataan sesaran sambungan geser ganda menurut diameter
paku pada batas proporsional dan maksimum ... 64 34 Pola sebaran rataan sesaran sambungan geser ganda menurut jumlah
paku pada batas proporsional dan maksimum ... 65 35 Mode kerusakan IV sambungan geser ganda batang kayu meranti
merah dan bangkirai dengan 10 buah paku ... 66 36 Mode kerusakan IV sambungan geser ganda batang kayu meranti
merah dan bangkirai dengan 4 buah paku ... 67 37 Beberapa contoh mode kerusakan IV sambungan geser ganda... 67 38 Pola sebaran rataan umum nilai disain lateral Z sambungan geser
ganda menurut berbagai analisis pendekatan ... 69 39 Pola sebaran rataan umum nilai disain lateral Z sambungan geser
xvi
40 Struktur makroskopis penampang melintang kayu (a) kempas dan (b)
Kapur (perbesaran 30 X) ... 71 41 Pola sebaran rataan umum nilai disain lateral Z sambungan geser
ganda menurut diameter paku pada berbagai analisis pendekatan ... 71 42 Persamaan regresi linier hubungan beban total dengan sesaran
sambungan geser ganda menurut model simulasi MEH menggunakan program ADINA ver.8.5.2... 75 43 Model-model persamaan regresi hubungan beban total dengan
Sesaran sambungan geser ganda menurut percobaan III………… 75 44 Model simulasi MEH untuk sesaran maksimum batang utama
xix 3 Berat jenis batang kayu sambungan geser ganda menurut diameter
dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 88 4 Rataan berat jenis batang kayu sambungan geser ganda menurut
diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 90 5 Kerapatan (g/cm3
diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 91 ) batang kayu sambungan geser ganda menurut
6 Rataan kerapatan (g/cm3
menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 93 ) batang kayu sambungan geser ganda
7 Beban ijin tekan//serat (N) batang kayu sambungan geser ganda
menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 94 8 Rataan beban ijin tekan//serat (N) batang kayu sambungan geser
ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 96 9 Beban ijin tarik//serat (N) batang kayu sambungan geser ganda
menurut beberapa diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 97 10 Rataan beban ijin tarik//serat (N) batang kayu sambungan geser ganda
menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu ... 99 11 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter
dan jumlah paku sepuluh jenis kayu berdasarkan percobaan I
(teoritis) ... 100 12 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut
diameter dan jumlah paku tujuh jenis kayu berdasarkan percobaan I
(teoritis) ... 105 13 Berat jenis paku menurut ukuran diameter paku ... 106 14 Kuat tumpu paku (Fes) pada pelat sisi baja menurut ukurandiameter
paku ... 107 15 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter
dan jumlah paku tujuh jenis kayu berdasarkan percobaan II (teoritis-
empiris) ... 108 16 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut
diameter dan jumlah paku tujuh jenis kayu berdasarkan percobaan II
xx
17 Analisis sidik ragam nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut percobaan I-teoritis dan percobaan II (teoritis-empiris) (AWC,
2005) pada mode kerusakan IV ... 110
18 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku tujuh jenis kayu berdasarkan percobaan II (teoritis-empiris)(EC5, 2007) ... 111
19 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran 0,38 mm ... 112
20 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran 0,38 mm . 114
21 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran 0,80 mm ... 115
22 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran 0,80 mm . 117
23 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran1,50 mm ... 118
24 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran 1,50 mm.. 120
25 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran 5,00 mm ... 121
26 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku sepuluh jenis kayu pada sesaran 5,00 mm... 123
27 Analisis sidik ragam nilai disain lateral Z pada sesaran 0,38 mm ... 124
28 Analisis sidik ragam nilai disain lateral Z pada sesaran 0,80 mm ... 124
29 Analisis sidik ragam nilai disain lateral Z pada sesaran 1,50 mm ... 125
30 Analisis sidik ragam nilai disain lateral Z pada sesaran 5,00 mm ... 125
31 Uji beda rata-rata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda menurut jenis kayu pada sesaran 0,80 mm (Metoda Duncan) ... 126
32 Uji beda rata-rata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda menurut jenis kayu pada sesaran 5,00 mm (Metoda Duncan) ... 127
33 Uji beda rata-rata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda menurut jumlah paku pada sesaran 5,00 mm (Metoda Duncan) ... 128
34 Uji beda rata-rata nilai disain lateral Z sambungan geser ganda menurut diameter paku pada sesaran 5,00 mm (Metoda Duncan) ... 128
35 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah paku tujuh jenis kayu pada batas proporsional ... 129
xxi
37 Analisis sidik ragam nilai disain lateral Z pada batas proporsional ... 131 38 Sesaran (mm) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah
paku tujuh jenis kayu pada batas proporsional ... 132 39 Rataan sesaran (mm) sambungan geser ganda menurut diameter dan
jumlah paku tujuh jenis kayu tropis pada batas proporsional ... 134 40 Analisis sidik ragam sesaran sambungan geser ganda pada batas
proporsional ... 135 41 Nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut diameter
dan jumlah paku tujuh jenis kayu pada batas maksimum ... 136 42 Rataan nilai disain lateral Z (N) sambungan geser ganda menurut
diameter dan jumlah paku tujuh jenis kayu pada batas maksimum .... 138 43 Analisis sidik ragam nilai disain lateral Z pada batas maksimum ... 138 44 Sesaran (mm) sambungan geser ganda menurut diameter dan jumlah
paku tujuh jenis kayu pada batas maksimum ... 139 45 Rataan sesaran (mm) sambungan geser ganda menurut diameter paku
tujuh jenis kayu pada batas maksimum ... 141 46 Rataan sesaran (mm) sambungan geser ganda menurut jumlah paku
tujuh jenis kayu pada batas maksimum ... 141 47 Analisis sidik ragam sesaran pada batas maksimum ... 142 48 Daftar titik sesaran menurut sumbu X, Y dan Z (titik nomor 3401)
model simulasi MEH menggunakan program ADINA v.8.5.2. ... 143 49 State of the art penelitian perilaku sambungan geser ganda batang
kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja akibat beban uni-aksial
xvii
DAFTAR NOTASI
A Luas penampang (cm2)
BJ Berat jenis berdasarkan berat kering oven pada kadar air kering udara per kerapatan air
CD Faktor lama pembebanan
Cdi Faktor diafragma
Ceg Faktor end grain
CM Faktor layanan basah/penyesuaian kadar air
Ct Faktor suhu
Ctn Faktor toenail
G atau ρ Kerapatan atau berat jenis kayu berdasarkan berat per
Volume pada kadar air 12-18% (g/cm3)
Fd,1 Kapasitasdukung beban karakteristik per paku per bidang geser (N) fh,2,k Kekuatan lekat/benam karakteristik paku kedalam batang kayu (MPa)
Fyb Kekuatan lentur leleh paku (psi)
Fu Kekuatan tarik ultimat/maksimum pelat sisi baja (AWC, 2005) (psi)
Fun Kekuatan tarik ultimat/maksimum paku (psi)
fu Kekuatan tarik paku (EC5, 2007) (N/mm2
M
)
xviii
KA Kadar air kayu (%)
KD Koef.diameter untuk sambungan dengan alat sambung D≤0,25”
Pmax. Beban maksimum (kg)
Pun Beban atau gaya tarik ultimat/maksimum paku (kg)
L Penetrasi paku kedalam kayu (in.)
L Panjang bentang paku (cm)
lm Penetrasi paku kedalam batang utama kayu (in.)
ls Penetrasi paku kedalam pelat sisi baja (in.)
T Nilai disain total (N)
t Tebal batang utama kayu (cm)
Z Persamaan batas leleh (lb)
Z Nilai disain lateral rujukan (N)
Z’ Nilai disain lateral yang telah dikonversi dengan berbagai
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan kayu untuk hampir semua bangunan struktural masih sangat umum bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kayu yang digunakan untuk bangunan struktural umumnya terdiri dari jenis lokal, seperti kayu nangka, rasamala, puspa, sengon, kayu durian, kayu mangga dan lain sebagainya serta jenis komersial yang didominasi oleh jenis-jenis kayu luar Jawa seperti meranti, punak, mabang, kapur atau kamper, keruing, kempas, bangkirai, damar laut dan kayu-kayu campuran seperti borneo super. Jenis-jenis kayu tersebut memiliki variabilitas sifat fisik maupun mekanik yang sangat tinggi sebagai akibat pengaruh sifat-sifat genetik dan faktor lingkungan selama pertumbuhannya.
Bangunan struktural sebagai bagian dari konstruksi teknik dirancang dengan memperhitungkan persyaratan keamanan yang tinggi demi keselamatan dan kenyamanan penghuninya. Pada semua konstruksi teknik bagian-bagian pelengkap suatu bangunan harus diberi ukuran-ukuran fisik yang akurat agar dapat menahan gaya-gaya yang sesungguhnya atau yang mungkin akan diberikan kepadanya (Popov, 1984).
2 momen lentur. Macam sambungan kayu yang bersifat kritis dan perlu penanganan serius sehingga perlu diperhitungkan berdasarkan kaidah ilmiah adalah sambungan tarik, geser dan sambungan momen. Hal ini disebabkan kekuatan sambungan kayu, khususnya yang menerima gaya tarik luas bidang kontak dari komponen atau batang utamanya digantikan oleh luas bidang tarik atau geser dari alat sambungnya sehingga kekuatan sambungan tarik umumnya lebih rendah dan sulit menyamai besar kekuatan batang utamanya. Sambungan tarik pada kayu juga rentan terhadap sesaran dan ini merupakan kelemahan berikutnya. Kekuatan sambungan kayu sangat dipengaruhi oleh komponen pembentuk sambungan, yaitu balok kayu yang akan disambung, alat sambung dan macam atau bentuk sambungan (Surjokusumo 1984).
Alat sambung tipe dowel seperti paku merupakan salah satu alat sambung mekanis, relatif murah dibandingkan baut dan mudah diperoleh dipasaran serta mudah pengerjaannya. Kebiasaan praktisi bangunan di Amerika Serikat menggunakan paku untuk disain sambungan dilakukan dengan pertimbangan bahwa gaya-gaya yang dipikul dan disalurkan relatif kecil, dan menggunakan baut bila memikul dan menyalurkan gaya yang lebih besar. Dengan demikian walaupun paku umumnya digunakan untuk konstruksi ringan, namun kemungkinan untuk digunakan pada konstruksi struktural yang memikul beban tinggi (heavy timber construction) bisa saja diterapkan, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa disainer bangunan di Uni Eropa dan New Zealand (Breyer et al. 2007). Pandangan bahwa paku hanya mampu memikul atau menyalurkan beban rendah terutama disebabkan penelitian sambungan kayu ukuran pemakaian atau skala penuh (full scale) dengan paku untuk jenis kayu yang memiliki kerapatan atau berat jenis sedang sampai tinggi belum banyak dilakukan di Indonesia.
3 Perkembangan terakhir disain sambungan kayu di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dalam aplikasi berbagai tipe sambungan kayu termasuk sambungan geser ganda (double shear connections) papan atau batang/balok kayu - pelat logam dengan paku didasarkan pada perhitungan nilai disain rujukan yang diperoleh dari persamaan batas leleh (yield limit equations). Persamaan batas leleh tersebut menurut Tjondro (2007) pertama kali diperkenalkan oleh Johansen’s (1949) didasarkan pada prinsip-prinsip mekanika teknik untuk memprediksi kekuatan leleh dari lentur baut tunggal dan tahanan dari kayu saat hancur. Dalam banyak hal prinsip ini berlaku juga untuk alat sambung tipe dowel lainnya termasuk paku. Disain sambungan kayu baik geser tunggal maupun geser ganda dengan alat sambung paku di Indonesia didasarkan pada Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI NI-5 1961) (1979) dan selanjutnya disempur nakan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI, 2002). Dalam penyusunannya, kedua peraturan konstruksi kayu ini belum mengakomodasikan kedua parameter tersebut. Disamping itu ketentuan mengenai beberapa variabel utama sambungan tampang satu (geser tunggal) yang tercantum dalam PKKI 1961 masih terbatas besaran maksimumnya, yaitu berat jenis kayu, diameter paku dan tebal batang sambungan masing-masing 0,6; 5,2 mm dan 40 mm.
Penelitian tentang sifat mekanik kekuatan lentur paku, tahanan lekatan atau kuat tumpu paku baik pada batang utama kayu (main member) maupun batang/pelat tepi baja (site member) serta kekuatan sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja pada berbagai jenis kayu tropis Indonesia belum banyak dilakukan.
Perumusan Masalah
4 dalam hal jumlah dan mutu paku maupun dimensi penampang dan mutu kayu. Pemborosan ini lebih disebabkan disamping belum tersedianya data teknik (nilai disain struktural paku dan mutu kayu konstruksi) di lapangan, juga praktek konstruksi kayu berasaskan keteknikan sulit dan belum secara meluas diterapkan dikalangan masyarakat.
Bentuk bangunan struktural, khususnya gelagar rangka batang umumnya dirancang sedemikian rupa sehingga komponen atau elemen-elemen penyusun rangka bangunan tersebut hanya menerima beban tekan atau tarik uni-aksial saja. Kekakuan dan kekuatan bangunan struktural sangat ditentukan oleh kekakuan dan kekuatan elemen penyusunnya serta kekakuan dan kekuatan sambungan yang terdapat pada elemen atau titik hubung antar elemen penyusunnya. Titik kritis bangunan struktural bukan terletak pada elemen utamanya, yaitu batang atau balok kayunya namun terdapat pada sambungan kayu yang memikul beban tarik, geser atau momen lentur.
Penelitian untuk mengkaji fenomena sambungan kayu ukuran pemakaian (full scale) menggunakan paku majemuk karena pengaruh gaya-gaya tarik belum banyak dilakukan. Dengan demikian penelitian ini mencoba mempelajari dan mengamati fenomena yang terjadi dari sambungan tersebut untuk sepuluh jenis kayu tropis yang terdapat di Indonesia.
5 kayu berkerapatan sedang sampai tinggi sangat besar, sehingga menyulitkan dalam pembuatan asesories (grip) sebagai pencengkeram contoh uji, karena diduga timbul tegangan-tegangan sekunder. Data kerapatan dan kekuatan tekan maksimum sejajar serat kayu diperlukan untuk melihat kemampuan alat sambung paku menumpu/menekan/membenam pada kayu. Data kadar air diukur setelah batang kayu mencapai kadar air kesetimbangan (kering udara) yaitu kadar air kayu pada kondisi setimbang dengan temperatur dan kelembaban udara relatif disekitarnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu :
1. Menerangkan perilaku dan menentukan besar pengaruh diameter dan jumlah paku terhadap kekuatan sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja akibat beban uni-aksial tekan sepuluh jenis kayu tropis Indonesia.
2. Menentukan kekuatan dan sesaran pada batas proporsional dan batas maksimum dari kurva beban-sesaran sambungan geser ganda.
3. Merumuskan model-model regresi hubungan antara kekuatan sambungan kayu geser ganda batang kayu dengan paku tunggal berpelat sisi baja dengan kerapatan kayu menurut diameter paku.
4. Menyusun tebel kelas mutu sambungan geser ganda menurut beberapa diameter paku pada sesaran tertentu.
Novelty Penelitian
Novelty yang telah diperoleh setelah mengadakan penelitian kekuatan sambungan geser ganda berdasarkan pendekatan teoritis dan pengujian empiris adalah sebagai berikut:
1. Nilai disain lateral Z sambungan geser ganda batang kayu dengan paku berpelat sisi baja yang berada diluar ketentuan yang diatur dalam Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI)-NI 1961 meliputi :
6 b. Dimensi tebal pelat baja 15 mm
c. Diameter paku 5,5 mm
d. Jenis kayu yang memiliki kerapatan tinggi (> 0,70 g/cm3
2. Nilai disain lateral Z sambungan geser ganda dapat ditetapkan pada sesaran di daerah elastis, yaitu 1,00 mm, bukan 1,50 mm sebagaimana diatur dalam PKKI-NI 1961.
), yaitu rasamala, mabang, kempas, kapur dan bangkirai.
3. Sesaran pada batas maksimum sambungan geser ganda terjadi dibawah 5,00 mm dari kurva beban-sesaran.
4. Model regresi power merupakan model terbaik untuk menduga nilai disain lateral Z sambungan geser ganda dengan paku berpelat sisi baja dari kerapatan kayu.
5. Tersusunnya tabel kelas mutu sambungan geser ganda dengan rentang kerapatan kayu 0,21-0,99 g/cm3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :
menurut diameter paku (4,1; 5,2; dan 5,5 mm) dan sesaran sambungan (1,00; 1,50; dan 1,50 mm).
1. Faktor diameter dan jumlah paku mempengaruhi kekuatan sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja menurut berbagai jenis kayu tropis Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Sambungan Kayu
Menurut Hoyle (1973) sambungan adalah lokasi sederhana yang
menghubungkan dua bagian atau lebih menjadi satu dengan bentuk tertentu pada
ujung-ujung perlekatannya. Tular dan Idris (1981) menyatakan bahwa sambungan
merupakan titik terlemah dari suatu konstruksi. Dalam pelaksanaan konstruksi
kayu, harus diperhatikan cara menyambung, serta menggabungkan kayu tertentu
sehingga dalam batas-batas tertentu gaya tarik dan gaya tekan yang timbul dapat
diterima atau disalurkan dengan baik.
Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang
diinginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang di
inginkan. Sebuah sambungan pada suatu konstruksi merupakan titik kritis atau
terlemah pada konstruksi tersebut. Oleh karena itu, kayu yang akan disambung
harus merupakan pasangan yang cocok dan tepat, penyambungan tidak boleh
sampai merusak kayu yang disambung tersebut, sesudah sambungan jadi
hendaknya diberi bahan pengawet agar tidak cepat lapuk dan sebaiknya
sambungan kayu yang dibuat terlihat dari luar agar mudah untuk dikontrol (Surya,
2007).
Kekuatan sambungan tergantung pada kekuatan komponen penyusunnya,
yaitu kayu yang disambung dan alat sambungnya. Sesuai dengan teori mata rantai
kekuatan sambungan banyak ditentukan oleh komponennya yang terlemah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan sambungan adalah kerapatan kayu,
besarnya beban yang diberikan dan keadaan alat sambungnya (Surjokusumo
1984).
Kayu sebagai Batang Sambungan
Berat jenis atau kerapatan dan kadar air kayu, terutama kadar air dibawah
titik jenuh serat merupakan sifat fisik utama yang sangat mempengaruhi kekuatan
atau sifat mekanik kayu. Peraturan konstruksi kayu Indonesia (PKKI) NI 5-1961
mengklasifikasikan kayu berdasarkan kelas kuat, mutu dan keawetannya. Pada
8
menurut acuan berdasarkan pemilahan mekanis, yaitu kekuatannya
dikelompokkan berdasarkan pada besarnya modulus elastisitas. Sedangkan sifat
mekanik pada kayu di Amerika dikorelasikan dengan berat jenisnya seperti
ditabelkan pada Tabel 4-11a. dari Forest Products Laboratory, 1999.
Menurut Courney (2000) perilaku tekan bahan padat seluler seperti kayu
dipengaruhi oleh tebal dinding sel, bentuk sel, diameter rongga sel, distribusi
kerapatan dan sifat-sifat mekanis zat dinding sel itu sendiri. Tabarsa dan Chui
(2001) menunjukkan bahwa perilaku kayu dalam tekan arah transversal sangat
tergantung pada ciri-ciri anatomi kayu tersebut. Berbeda dengan Beery et al. (1983) perilaku elastis lebih tergantung pada kerapatan dari pada sifat atau
kharakteristik anatomi kayu. Kennedy (1968) dalam Muller, et al. (2003) memperkuat kecenderungan pengaruh kerapatan dan juga menemukan hubungan
antara perilaku mekanis dengan proporsi kayu akhir serta perbedaan-perbedaan
kayu awal dengan kayu akhir.
Courney (2000) menjelaskan perbedaan perilaku dinding sel karena
pengaruh pembebanan. Jika material dinding sel adalah daktil maka tegangan
rusak/leleh berhubungan dengan sifat plastis dinding sel. Selanjutnya pada awal
kolaps plastis dari bahan pada seluler plastis, tegangan sering mengalami
penurunan tiba-tiba (mendadak) serta tegangan siklik dimana tegangan rata-rata
periode stabil telah terjadi. Sebaliknya apabila material brittle (rapuh) maka
kerusakan berhubungan dengan dinding-dinding sel yang rusak/patah. Pada kasus
kayu daun lebar dengan pori tersebar merata (bahan padat seluler elastomeric) Courney (2000) menjelaskan bahwa kerusakan karena beban tekan tegak lurus
tersebut disebabkan oleh deformasi plastis sel. Kurva tegangan-regangan akibat
tekan bahan padat seluler elastomeric adalah smooth, periode stabil berlangsung
cukup lama sampai regangan memasuki awal pemadatan kemudian kurva secara
bertahap kemiringannya meningkat sampai pemadatan regangan dicapai.
Kollmann (1959, 1982) dalam Muller et al. (2003) menyatakan bahwa kekuatan tekan tegak lurus serat kayu ditentukan oleh tegangan kritis dinding sel
tunggal. Tekukan dinding sel merupakan titik terlemah sebagai awal kerusakan.
elemen-9 elemen anatomi yang seragam. Menurut Beery et al. (1983) penurunan tegangan maksimum kayu akibat pembebanan arah radial diakibatkan bertambahnya bidang
pembuluh dan lebar jari-jari.
Paku sebagai Alat Sambung
Dari beberapa tipe paku utama yang digunakan dalam aplikasi struktural,
maka paku umum dan paku panjang merupakan paku paling luas digunakan di
Indonesia. Sama seperti paku lainnya paku umum memiliki ujung paku berbentuk
diamond. Dalam buku ajar Design of Wood Structures, Allowable Stress Design
(ASD)/Load Resistance and Factor Design (LRFD) (Breyer et al. 2007) dicantumkan panjang paku umum berkisar dari 5,08-15,24 cm dengan diameter
berkisar dari 2,87-6,68 mm. Paku umum tersebut terbuat dari kawat baja karbon
rendah dengan batang datar (lurus) dan ujung diamond. Karena diameter paku umum lebih besar dibandingkan diameter tipe paku lainnya, paku umum memiliki
kecenderungan melentur yang kecil saat dipukul atau dipalu secara manual.
Kekuatan lentur paku umum, box dan paku sinker berdasarkan Tabel NDS
(National Design Spesification for Wood Construction ASD/LRFD (2005) dari
kisaran diameter paku 2,87-6,68 mm adalah 100-70 ksi (7.031-4.922 kg/cm2
Wiryomartono (1977) mengatakan bahwa aplikasi paku sebagai alat
sambung pada konstruksi kayu pada dasarnya didisain untuk memikul beban
geseran dan lenturan. Sambungan dengan paku pada dasarnya serupa dengan
sambungan dengan baut tanpa mur serta cincin-cincin tutup. Tetapi pemindahan
gaya dapat berlangsung lebih baik daripada dengan cara terakhir, karena paku itu
tertanam erat didalam kayu. Hal ini disebabkan paku-paku tersebut dipukulkan
begitu saja atau dipukulkan kedalam lubang yang lebih sempit yang dibuat
sebelumnya.
).
Kekuatan lentur paku (nail bending yield strength) merupakan salah satu parameter penting untuk menghitung nilai disain rujukan (tegangan ijin format
10 Muller dalam Wiryomartono (1977) meneliti sambungan double shear balok kayu Pinus silvestris lebar 5,1 cm dengan paku bulat diameter 5,1 mm
menghasilkan tegangan desak kayu (
σ
ds) 394 kg/cm2 dan Pmax per paku sebesar478 kg. Dengan menggunakan kayu Swedish fir lebar balok 5.3 cm kekuatan
desaknya (
σ
ds) menjadi 305 kg/cm2 dan PmaxMenurut Soehendrodjati (1990) paku sebagai alat sambung sudah banyak
digunakan, baik untuk penyambung perabotan rumah tangga, kusen, pintu, jendela
maupun pada struktur bangunan. Wirjomartono (1977) mengatakan beberapa
keuntungan penggunaan paku, yaitu harganya murah, sambungan bersifat kaku
dan sesarannya kecil, sehingga struktur menjadi lebih kokoh, pelaksanaan
pekerjaan cepat, mudah, dan tidak memerlukan tenaga ahli, perlemahan pada
tampang tergolong kecil serta penyimpangan arah gaya terhadap arah serat tidak
mempengaruhi kekuatan dukung.
per paku 474 kg.
Menganggap efisiensi suatu konstruksi kayu (fiktif) tanpa sambungan
sama dengan 100%, maka overall efficiency konstruksi dengan alat penyambung paku dan baut masing-masing dapat dinilai sebesar 50% dan 30% (Yap, 1984).
Sambungan Kayu dengan Paku
Dalam kaitan dengan nilai disain sambungan paku, PKKI (Peraturan
Konstruksi Kayu Indonesia) 1961 telah mengakomodasikan syarat-syarat yang
harus diperhatikan pada sambungan paku, diantaranya kekuatan paku tidak
dipengaruhi oleh besarnya sudut penyimpangan antara arah gaya dan arah serat;
apabila dalam suatu baris terdapat lebih dari 10 batang paku, maka kekuatan paku
harus dikurangi dengan 10%, dan jika lebih dari 20 batang harus dikurangi
dengan 20%; jarak paku minimum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut,
dalam arah gaya : 12 d untuk tepi kayu yang dibebani, 5 d untuk tepi kayu yang
tidak dibebani dan jarak antara baris-baris paku, sedangkan dalam arah tegak lurus
arah gaya : 5 d untuk jarak sampai tepi kayu dan 5 d untuk jarak antara
baris-baris paku.
11 Banyak penelitian menyebutkan peranan jenis kayu dalam hal ini kerapatan kayu
atau tebal dinding sel kayu sangat besar dalam mempengaruhi kekuatan
sambungan kayu. Penelitian Surjokusumo et al. (1980) menyimpulkan bahwa makin tinggi kerapatan kayu dan jumlah paku maka kekuatan sambungan akan
meningkat, tetapi peningkatan ini tidak bersifat linier. Pemakaian jumlah paku
yang besar pada kayu dengan kerapatan tinggi cenderung akan memperbesar
perlemahan sambungan. Selanjutnya dikatakan bahwa rata-rata kekuatan per paku
akan meningkat dengan meningkatnya kerapatan kayu tetapi cenderung konstan
dengan bertambahnya jumlah paku.
Pada sambungan paku terdapat dua tipe pembebanan yaitu pembebanan
lateral dan pembebanan withdrawal (Hoyle, 1973). Wood Handbook (FPL, 1987) mencantumkan rumus empiris ketahanan cabut/withdrawal (withdrawal resistance) adalah p = 7,850 G5/2DL, dan ketahanan samping/lateral (lateral resistance) pada sesaran 0,015 inch adalah p = KD3/2, dimana p : beban maksimum (pounds); L : penetrasi paku kedalam kayu (inch); G : kerapatan atau berat jenis kayu berdasarkan berat per volume pada kadar air 12% ; D : diameter
paku (inch) dan K : konstanta atau koefisien. Dibandingkan ketahanan lateral, maka data atau informasi mengenai uji ketahanan withdrawal umumnya tidak begitu penting pada aplikasinya untuk bangunan-bangunan struktural sehingga
kurang diperhitungkan atau sering diabaikan. Dari formula tersebut dapat dilihat
bahwa ketahanan lateral sambungan kayu sangat dipengaruhi oleh diameter paku sebagai alat sambungnya. Berbeda dengan hasil penelitian Sadiyo dan Suharti
(2004) dimana beban maksimum (ultimate) sambungan kayu single shear dengan pembebanan lateral sangat dipengaruhi oleh diameter dan berat jenis kayu, seperti dari model matematis yang dihasilkan, yaitu P = 19,95 GD2.07. Selanjutnya
ternyata terdapat perbedaan cukup besar antara konstanta persamaan ini dengan
persamaan penelitian Pun (1987), yaitu P = 45,6 GD1.59, sehingga grafik
persamaannya lebih besar atau berada di atas grafik persamaan pertama. Hal ini
terutama disebabkan oleh perbedaan tipe/macam sambungan yang digunakan,
12 dikatakan bahwa double shear connections mampu menahan beban lebih besar dibandingkan bentuk single shear connections. Kajian atau penelitian mutakhir (Thelandersson dan Larsen, 2003) menyajikan banyak formula sambungan kayu,
baik untuk sambungan single shear maupun double shear. Berkaitan dengan penelitian ini, selanjutnya dinyatakan formula atau rumus kekuatan sambungan
double shear menggunakan pelat logam dengan alat sambung dowel dengan tumpuan tetap (fix support) adalah sebagai berikut :
1. Kerusakan terjadi pada balok kayu utama sedangkan alat sambung tipe dowel
(paku atau baut) tidak mengalami kerusakan, maka R = 0,5 fh,2t2
2. Balok kayu utama dan alat sambung dowel mengalami kerusakan, maka R =
√2
√
Md.
yfh,2d; dimana R kekuatan sambungan per alat sambung per bidang
geser, My momen yang terjadi pada alat sambung dowel, fh,2 kekuatan
melekat atau mengikat alat sambung dowel pada balok utama kayu, t2
Menurut Hoyle (1973) dan Pun (1987) pembebanan lateral yang
dihasilkan dari sambungan kayu menggunakan paku jauh lebih besar
dibandingkan pembebanan withdrawal, sehingga dijadikan dasar dalam pembuatan sambungan yang baik. Model matematis pembebanan withdrawal menggunakan alat sambung baut (FPL, 1999) adalah P = 45,51 G
tebal
balok kayu dan d diameter alat sambung dowel.
2
Perkembangan terakhir studi sambungan kayu dikemukakan oleh Blass
dalam timber engineering (2003) tentang fenomena sambungan-sambungan kayu dengan berbagai alat sambung dowel. Dari hasil pengamatannya dikatakan bahwa
terdapat tiga parameter utama yang cenderung mempengaruhi kekuatan
sambungan menggunakan alat sambung dowel (paku atau baut), yaitu :
DL (metric), sedangkan untuk pembebanan lateral belum tersedia modelnya. Hal ini disebabkan disainer bangunan dalam menggunakan metoda disain dan data
kekuatan baut (drift bolts) lebih didasarkan pada pengalaman.
1. Kemampuan lentur alat sambung dowel. Kemampuan melentur ini sangat
tergantung dari diameter dan kekuatan bahan atau alat sambungnya.
2. Kemampuan lekat atau benam (embedding strength) alat sambung kedalam kayu solid atau kayu komposit. Kekuatan membenam tersebut terutama
13 demikian terdapat kaitan langsung dengan luas permukaan (diameter dan
panjang) alat sambung yang masuk kedalam kayu.
3. Kekuatan withdrawal terutama pada alat sambung yang memiliki permukaan tidak halus.
Persamaan Batas Leleh
Tjondro, (2007) mengatakan bahwa perkembangan persamaan batas leleh
pertama kali diperkenalkan oleh Johansen’s (1949) yang didasarkan atas
prinsip-prinsip mekanika teknik untuk memprediksi kekuatan leleh dari lentur baut
tunggal dan tahanan dari kayu saat hancur. Menurut buku baku Design of Wood
Structures, ASD/LRFD (2007) yang dimaksud Tjondro (2007) dengan model
batas leleh adalah yield limit equations, kekuatan leleh dari lentur baut tunggal adalah dowel (bolt) bending yield strength dan tahanan kayu saat hancur adalah dowel bearing strength atau embedding strength. Tjondro (2007) menggunakan istilah yang disebut terakhir dengan nama kuat tumpu baut, yaitu suatu sifat
mekanik bahan yang ditentukan berdasarkan hasil uji yang menggambarkan kuat
batas dari kayu disekeliling lubang yang terbebani tekan oleh alat sambung tipe
dowel. Persamaan atau model Johansen (1949) tersebut kemudian diperbaiki oleh
Maclain dan Thangjitham (1983), dan Solltis et al. (1986) dalam Tjondro (2007) memprediksi kuat leleh dari sambungan.
Harding dan Fowkes (1984) menggunakan 5% offset yield untuk menentukan kuat leleh sambungan baut dengan asumsi elastis-plastis sempur na.
Karena paku juga merupakan salah satu alat sambung tipe dowel selain baut,
maka persamaan nilai disain rujukan Z (nilai disain rujukan format ASD) sambungan single maupun double shear batang kayu-pelat baja dengan sambungan baut yang diperoleh dari persamaan batas leleh pada prinsipnya
berlaku juga untuk alat sambung paku setelah memperhatikan beberapa faktor
penyesuaian yang diatur dalam buku Design of Wood Structures, ASD/LRFD (2007) dan buku pelengkapnya National Design Spesification for Wood Constructions ASD/LRFD (2005). Perzamaan Z sambungan double shear batang kayu-pelat baja dengan paku tunggal sangat dipengaruhi oleh parameter nail bearing strength (Fe) dan nail bending yield strength (Fyb), faktor diameter paku
14 serta faktor reduksi ukuran relatif diameter paku (Rd
Kekuatan tumpu dowel (dowelbearing strength) F
). Buku tersebut
mencantumkan hanya 4 persamaan batas leleh dengan 4 mode (pola) kerusakan
untuk sambungan double shear dengan alat sambung tipe dowel.
e
Kekuatan tumpu paku terhadap pelat/lempeng baja yang dibentuk dalam
kondisi dingin (cold-formed steel) ditetapkan sebesar 1,375 kali kekuatan tarik ultimat (F
untuk beberapa jenis
kayu yang telah diberikan adalah konstan untuk alat sambung yang memiliki
diameter kecil (D ≤ 0,25”) tanpa mempedulikan sudut beban terhadap serat kayu. Kekuatan tumpu dowel dalam hubungannya dengan paku merupakan suatu fungsi
dari berat jenis kayu.
u) dari pelat baja atau Fes = 1,375 Fu. Berdasarkan buku NDS (2005)
besarnya dowel bearing strength untuk pelat sisi baja (Fes
Hasil penelitian nilai ℓ
) adalah sebesar 61.850
psi.
m
Hasil yang diperoleh melalui kajian alat sambung paku, rumus untuk
kekuatan lentur leleh paku umum dan paku panjang terbuat dari kawat baja
karbon rendah, selanjutnya dikembangkan menjadi persamaan F
untuk paku umum terhadap kapasitas alat
sambung didasarkan pada persamaan batas leleh dengan penetrasi paku p = 10D pada batang utama (main member), dan secara langsung dapat diaplikasikan untuk sambungan dengan p ≥ 10D. Untuk sambungan paku dengan 6D ≤ p < 1 0 D, digunakan faktor pengurangan sebesar p/10D yang dihitung untuk penetrasi paku setelah dikurangi bagian batang utamanya.
yb = 130,4 -
213,9D. Pada persamaan tersebut, D menyatakan diameter alat sambung (in.), dan Fyb adalah kekuatan lentur leleh paku (ksi). Perlu diingat bahwa Fyb
Apabila nilai-nilai disain sambungan diperoleh dari persamaan-persamaan
batas leleh dan atau dari tabel NDS pendukung (2005), proses disain hendaknya
merujuk pada praktek rekayasa konstruksi. Pendekatan tersebut bukan hal yang
umum dalam praktek manufaktur untuk mengidentifikasi atau mengenal kekuatan
lentur alat-alat sambung yang digunakan dalam konstruksi kayu. Namun
demikian spesifikasi utama untuk paku-paku di Amerika Serikat saat ini
merupakan bagian yang penting sebagai pembekalan tambahan yang dalam
15 memungkinkan pembeli untuk mengenali paku konstruksi teknik dengan kekuatan
lentur. Karena spesifikasi kekuatan lentur leleh untuk alat sambung relatif baru,
maka telah direkomendasikan dimana para disainer dapat merinci paku konstruksi
teknik atau mengidentifikasi Fyb minimum untuk setiap jenis paku yang
digunakan dalam disain.
Gambaran Umum Jenis Kayu
Kayu Sengon
Kayu sengon (nama botanis Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn.) termasuk famili Leguminoseae dengan nama daerah jeungjing (Jawa Barat),
sengon laut (Jawa Tengah dan Jawa Timur), sengon sabrang, sika dan wahagom.
Ciri umum dari kayu ini adalah bagian teras dan gubalnya sukar dibedakan,
warnanya abu-abu kecokelatan atau putih merah kecokelatan pucat. Tekstur yang
dimiliki agak kasar sampai kasar, arah serat terpadu dan kadang-kadang lurus, dan
sedikit bercorak dengan kekerasan agak lunak dan beratnya ringan.
Ciri anatomi kayu sengon yaitu porinya berbentuk bulat sampai oval,
tersebar, soliter dan gabungan pori yang terdiri dari 2-3 pori, jumlahnya sedikit
4-7 per mm2
Kayu sengon memiliki berat jenis rata-rata 0,33 (0,24-0,49); kelas awet:
IV-V dan kelas kuat:IV-V. Kayu ini digunakan sebagai bahan bangunan
perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool
semen, kelom dan barang kerajinan lainnya (Pandit dan Ramdan, 2002).
, diameter tangensial sekitar 160-340 µ dan bidang perforasinya
sederhana. Parenkim umumnya menyinggung pori sepihak (scanty) sampai selubung (vasicentric), kebanyakan parenkim apotrakeal sebar yang terdiri 1-3 sel membentuk garis-garis tangensial diantara jari-jari. Jari-jari kayu umumnya
sempit terdiri dari 1-2 seri, 6-12 per mm arah tangensial dengan komposisi
seragam (homoseluler) yang hanya terdiri dari sel baring.
Kayu Nangka
Kayu nangka dengan nama botanis Artocarpus heterophyllus termasuk ke dalam famili Moraceae. Jenis ini dibudidayakan di seluruh Asia yang beriklim
16 Kayu memiliki berat jenis rata-rata 0,66 dengan kelas kuat II dan kelas awet II-III.
Selain itu ciri umum lainnya adalah seratnya agak kasar dan berwarna kuning
sitrun mengkilat. Warna kuning tersebut disebabkan oleh adanya kandungan
morine. Zat ini dapat diekstrak dengan air mendidih atau alkohol. Morine dapat
digunakan sebagai pewarna kuning pada makanan. Penelitian yang dilakukan oleh
Isrianto (1997) menunjukkan bahwa selama pengeringan dari keadaan basah
sampai kering udara, penyusutan yang terjadi pada bidang radial (R) dan bidang
tangensial (T) hampir sama dan relatif stabil (T/R ratio mendekati 1)
(Martawijaya et al. 1989).
Kayu Rasamala
Kayu rasamala (nama botanis Altingia excelsa Noronha) dengan nama daerah mala (Jawa), tulasan (Sumatera), dan mandung (Minang kabau), memiliki
berat jenis rata-rata 0,81 (0,61-0,90). Kayu tergolong kelas awet II (III) dan kelas
kuat II, dengan kegunaan sebagai bahan perumahan (tiang dan balok), jembatan,
tiang listrik dan telepon dan bantalan rel (Mandang dan Pandit 1997).
Ciri umum kayu ini antara lain: bagian teras berwarna kelabu pucat merah
kecokelatan, tidak jelas batas dengan gubal yang biasanya berwarna lebih terang,
yaitu kelabu terang kemerahan. Permukaan kayu agak licin dan sedikit mengkilap,
terutama pada bidang radial, dengan tekstur halus dan rata. Kekerasan kayu agak
keras sampai keras dan tes buihnya negatif.
Menurut Mandang dan Pandit (1997), ciri anatomi dari kayu rasamala
adalah pembuluh atau pori baur, sebagian besar soliter, sedikit yang berganda
radial, miring sampai tangensial yang terdiri atas 2 pori, jumlahnya sekitar 26-48
per mm2, diameter tangensial sekitar 60-110 µ, bidang perforasi bentuk tangga.
Parenkimanya bertipe apotrakea, jarang sampai cukup banyak, tersebar dalam
kelompok mengikut i jari-jari, atau arah tangensial, terdiri atas 2-6 sel dan
mengandung banyak endapan getah. Jari-jari agak lebar, terdiri atas 2-4 seri, 8-11
per mm arah tangensial, dan heteroseluler. Pada bidang radial jari-jari sangat jelas
karena berisi endapan yang berwarna merah kecokelatan. Saluran interselulernya
17 Kayu Borneo Super
Jenis kayu borneo super bukan merupakan nama jenis kayu dari spesies
tertentu atau bukan pula pengelompokan kayu yang seluruhnya berasal dari pulau
Kalimantan. Borneo super lebih merupakan nama perdagangan menurut
perusahaan kayu. Kayu borneo super merupakan campuran dari beberapa jenis
kayu yang berlainan. Pengelompokan jenis kayu yang dilakukan oleh perusahaan
yang memperjual belikan kayu didasarkan pada kelas awet dan jelas kuat yang
tidak jauh berbeda. Rulliaty dan Sumarliani (1991) menyatakan bahwa dari
jenis-jenis kayu yang diperdagangkan banyak ditemukan campuran jenis-jenis-jenis-jenis kayu
lain. Yang terbanyak yaitu pada jenis kayu dengan nama dagang borneo dengan
21 jenis kayu yang berlainan. Persentase untuk jenis meranti merah (Shorea spp.) hanya 4 %, sedangkan jenis lain yang paling banyak dicampurkan yaitu tepis
(Polyathia hypoleuca) 26,7%, durian (Durio sp.) 13,3 %. Ketiga jenis kayu yang terakhir ini memiliki berat jenis, kelas awet dan kelas kuat yang tidak terlalu jauh
berbeda dengan kayu meranti merah.
Pada jenis kayu dengan nama dagang borneo super, persentase paling
tinggi berasal dari jenis meranti merah (32%). Jenis lain yang dicampurkan dan
memiliki persentase besar adalah nyatoh sebesar 13%. Pencampuran jenis kayu
yang berlainan kedalam satu kelompok nama dagang bisa disebabkan oleh
sulitnya mendapatkan bahan kayu. Seiring dengan sulitnya untuk memperoleh
bahan kayu dari hutan alam dan hutan produksi saat ini, memungkinkan
percampuran jenis kayu yang lebih banyak kedalam nama dagang menurut
perusahaan. Hasil akhir penelitian yang dilakukan oleh Rulliaty dan Sumarliani
(1991) menyatakan bahwa beberapa jenis kayu yang kurang dikenal, seperti kayu
kereta (Swintonia sp.), Gymnacranthera sp., kelapa tupai (Kokoona sp.) dan sendok-sendok (Endospermum malaccense), secara sengaja maupun tidak sengaja turut diperdagangkan.
Kayu Meranti Merah
18 (Kalimantan); kayu bapa atau sehu (maluku). Ciri umum dari kayu ini adalah
warna kayu teras bervariasi dari hampir putih, coklat pucat, merah jambu, merah
muda, merah kelabu, merah-coklat muda dan merah sampai merah tua atau coklat
tua. Kayu gubal berwarna lebih muda dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu
teras berwarna putih, putih kotor, kekuning-kuningan atau kecoklat-coklatan
sangat muda biasanya kelabu, tebal 2-8 cm.. Tekstur kayu agak kasar sampai
kasar dan merata, lebih kasar dari meranti putih dan meranti kuning.
Ciri anatomi kayu meranti merah yaitu porinya sebagian besar soliter,
sebagian kecil bergabung 2-3 dalam arah radial, kadang-kadang berkelompok
dalam arah diagonal atau tangensial, diameter umumnya 200-300 μ, kadang
-kadang lebih dari 400 μ, frekuensi 2-8 per mm2
Berdasarkan berat jenisnya dibedakan antara meranti merah ringan dengan
berat jenis kurang dari 0,60 (yang disebut meranti merah saja) dan meranti merah
berat dengan berat jenis 0,60 atau lebih. Kayu meranti merah secara umum
memiliki kelas awet III-V, kecuali S.ovata yang termasuk kelas awet III-II, dan kelas kuat bervariasi dari II-V tergantung jenis kayunya. Kayu ini terutama
digunakan untuk venir dan kayu lapis, dapat juga dipakai untuk bangunan
perumahan sebagai rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai
dan sebagainya. Selain itu dapat juga digunakan sebagai kayu perkapalan
(Martawijaya et al., 1981).
, kadang-kadang berisi tilosis, gom
atau damar berwarna coklat. Kayu ini umumnya mempunyai saluran aksial
tersusun dalam deretan tangensial yang kontinu, kadang-kadang terdapat deretan
yang pendek. Jari-jari seluruhnya multiseriat, berukuran sedang dengan lebar
maksimum 75 μ, tinggi bervariasi antara 125-3375 μ, frekuensi 4-5 per mm, kadang-kadang berisi kristal Ca-oksalat secara sporadis. Panjang serat rata-rata
bervariasi dari 1,150-1,530 μ, diameter dari 19,2-26,0 μ, tebal dinding 2,4-462 μ dan dimeter lumen dari 13,6-19,3 μ tergantung jenis (species) kayunya.
Kayu Kapur
19 kuras (Kalimantan). Ciri umum dari kayu kapur adalah kayu teras berwarna merah
atau merah kelabu pada D. aromatica, sedang pada D. lanceolata dan D. beccarii warnanya lebih muda. Kayu gubal berwarna hampir putih sampai coklat kuning
muda, tebal antara 2-8 cm dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras.
Ciri anatomi kayu kapur yaitu porinya hampir seluruhnya soliter,
kadang-kadang bergabung 2-3 dalam arah radial atau tangensial, diameter cukup kecil
sampai agak lebar, frekuensi 3-7 per mm2
Berat jenis kapur berkisar dari 0,60-0,94 tergantung dari spesiesnya,
dengan kelas kuat antara I-II. Kayu kapur termasuk kelas awet II-IV. Kayu D. aromatica dapat dipakai untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga digunakan untuk perkapalan, peti
(koper), mebel dan juga peti mati. Kayu D. Lanceolata dan D. Beccarii dipakai untuk perahu, balok, tiang dan konstruksi atap pada bangunan perumahan, juga
untuk mebel dan peti (koper). Di Sabah kayu kapur dipakai untuk kayu lapis,
konstruksi berat di tempat yang tidak ada serangan rayap yang hebat, lantai, papan
ampig, mebel murah, gading-gading dan papan kapal, sirap yang digergaji,
karoseri dan peti pengepak untuk barang berat (Martawijaya et al., 1981).
, bidang perforasi sederhana dalam
posisi agak miring, pori berisi tilosis dan zat yang berwarna merah coklat. Kayu
ini mempunyai saluran interselular aksial lebih kecil dari pori, berderetan arah
tangensial panjang, berisi damar berwarna putih. Jari-jari kayu heteroselular, lebar
50-100 μ, tinggi kurang 2 mm dengan frekuensi 5-10 μ, banyak berisi silika. Panjang serat D. aromatica dan D. beccarii berturut-turut 1.736 μ dan 1.179 μ dengan diameter 20,5 μ dan 21,6 μ, tebal dinding 4,6 μ dan 3,0 μ serta diameter lumen 11,3 μ dan 15,6 μ.
Kayu Bangkirai
Kayu bangkirai dengan nama botanis Shorea laevis Ridl.(syn. S. laevifolia Endert) termasuk famili Dipterocarpaceae memiliki nama daerah anggelam, bangkirai, benuas (Kalimantan). Ciri umum dari kayu bangkirai adalah kayu teras
berwarna kuning-coklat, kayu gubal coklat muda pucat kekuning-kuningan.
Ciri anatomi kayu bangkirai yaitu porinya sebagian besar soliter, sebagian