BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan
Kajian Pustaka digunakan untuk memaparkan karya-karya ilmiah khususnya yang berkaitan dengan kajian dalam bidang interferensi yang meliputi bidang ilmu sintaksis, morfologi, dan leksikal yang berhubungan dengan penelitian ini. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, penelitian ini memperhatikan kajian pustaka sebelumnya, baik berdasarkan teori-teori yang relevan maupun berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian yang membantu dalam mengembangkan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pujiono (2006) dalam tesisnya yang berjudul “Interferensi Gramatikal dan Leksikal Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Jepang”. Penelitian ini dilakukan melalui instrument tes interferensi bahasa Indonesia terhadap bahasa Jepang tulis, hasil analisis menemukan bahwa interferensi leksikal bahasa Indonesia paling dominan dengan jumlah 40,3%, kemudian disusul dengan interferensi morfologi dengan jumlah 33,66% dan interferensi sintaksis dengan jumlah 26,04%.
Penelitian Pujiono memberikan kontribusi pemaparan analisis interferensi yaitu interferensi gramatikal dan leksikal. Kajian ini memberikan masukan cara kerja dan analisis data bagi peneliti dalam mengkaji interferensi BAM terhadap BI di Kota Padangsidimpuan. Perbedaan penelitian Pujiono dan penelitian ini adalah penelitian Pujiono merupakan penelitian kepustakaan sehingga data primer yang digunakan merupakan data tulis. Hal ini berbeda dengan penelitian ini yang merupakan penelitian lapangan dengan data primer berbentuk lisan.
Sinambela (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Interferensi bahasa Indonesia Terhadap bahasa batak Toba pada Buku Khotbah Im Ni Jamita”. Dalam penelitian tesisnya tersebut, Sinambela menggunakan teks khotbah tulis dalam bahasa BT yang digunakan oleh para pengkhotbah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) secara serentak di dalam dan di luar negeri. Kajian penelitiannya menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Dari tiga puluh teks khotbah yang dijadikan sebagai sumber data penelitian, diungkapkannya bahwa teks-teks Batak Toba yang ditulis oleh para pendeta telah disusupi BI disebabkan sifat bilingualitas pemakai bahasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk interferensi B2 (dalam hal ini bahasa Indonesia) terhadap B1 (dalam hal ini bahasa Bahasa Toba) yaitu interferensi negatif dan positif. Bentuk interferensi positif adalah apabila tidak terdapatnya representasi unsur serpihan bahasa Indonesia (BI) di dalam bahasa Batak Toba sehingga hal tersebut dianggap sebagai memperkaya khasanah BT, sedangkan bentuk negatif apabila representasi serpihan BI tersebut terdapat dalam BT.
Penelitian Sinambela merupakan penelitian kepustakaan sehingga data primer yang digunakan merupakan data tulis, hal ini berbeda dengan penelitian ini yang merupakan penelitian lapangan. Walaupun demikian, penelitiannya memberikan kontribusi metode dalam menganalisis interferensi struktur gramatikalnya.
Marice (2010) dalam disertasinya yang berjudul “Bahasa Batak Toba di Kota Medan (Kajian Interferensi dan Sikap Bahasa)”. Dalam disertasi ini mengungkapkan bahwa interferensi merupakan pemindahan unsur-unsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma
bahasa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bahasa BT di Medan terinterferensi BI pada aspek fonologis berupa alternasi dan asimilasi fonem, interferensi morfologis dalam pembentukan nomina dan verba. Interferensi aspek sintaksis pada penggunaan partikel ni, na, do, ma, pe, dope, nama, dan be, dan konstruksi frasa. Interferensi pada aspek leksikal terdapat dalam kata kelas nomina, kelas verba, kelas ajektiva, dan kelas adverbia. Hasil sikap bahasa penutur BT di Medan memperlihatkan sikap positif terhadap BT.
Cara kerja interferensi dalam peneitian Marice menjadi acuan untuk penerapan interferensi di Kota Padangsidimpuan. Penelitian yang Marice lakukan meliputi bidang fonologi, gramatikal (morfologi dan sintaksis) dan leksikal.
Daniele Allard, Jacqueline Bourdeau, and Riichiro Mizoguchi (2011) dalam jurnal Calico yang berjudul “Addressing Cultural and Native Language Interference in Second Language Acquisition”. Penelitian ini membahas masalah pengaruh budaya bahasa asli terhadap gangguan dan pemerolehan bahasa asing atau bahasa kedua. Lebih khusus, mengkaji masalah gangguan yang dapat ditelusuri ke bahasa ibu siswa/mahasiswa yang juga memiliki komponen budaya. Tujuan penelitian ini memberikan konsep yang dapat mengidentifikasikan hasil dalam ontologi (cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup) yang dapat ditafsirkan dan digunakan oleh manusia dan dikomputerisasikan untuk membangun lingkungan pembelajaran yang interaktif. Penelitian ini menggunakan ontologi sebagai dasar konseptual untuk membangun sebuah skenario instruksional (rencana/rancangan pengajaran), yang kemudian didukung oleh alat-alat teknologi yang tersedia. Tahapan dalam penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kesulitan belajar yang baru; 2) membuat skenario instruksional
baru; 3) melakukan uji coba dengan mahasiswa/siswa dan, berdasarkan hasil, memperkaya refleksi dan meningkatkan pemahaman kita tentang fenomena ini; dan 4) mengumpulkan data untuk memvalidasi pendekatan ontologi. Dalam jangka panjang, tujuan penelitian ini adalah untuk membangun sebuah „Bimbingan Belajar Sistem Cerdas‟ yang akan membantu siswa mengatasi kesulitan mereka dengan memahami dan menafsirkan bahasa asing, berdasarkan ontologi. Sistem ini dianggap sebagai sistem “culturally-aware”.
Penelitian ini memberikan kontribusi mengenai hubungan interferensi dengan budaya, yaitu dalam hal pengaruh bahasa ibu dalam penggunaan bahasa kedua. Penelitian ini memberikan gambaran konsep interferensi yang dipengaruhi oleh budaya pada penutur.
Rochwati (2014) dalam tesisnya yang berjudul “Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia dalam Karangan Siswa SMP Negeri 1 Surakarta”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud/bentuk, faktor penyebab, persepsi guru terhadap interferensi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia dalam karangan siswa SMPN 1 Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat beragam aspek kebahasaan yang terbagi dalam beberapa tipe. Penyebab munculnya interferensi adalah (1) proses pembelajaran bahasa Indonesia disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Jawa, (2) kebiasaan siswa menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari dalam lingkungannya, dan (3) kebiasaan siswa menggunakan bahasa Jawa yang terbawa pada waktu menggunakan atau mempelajari bahasa Indonesia yang menimbulkan transfer negatif. Hasil penelitian ini mempunyai tiga implikasi,
yaitu: (1) guru harus lebih responsif, (2) lebih proaktif dan inisiatif dalam pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi profesionalitasnya dengan mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat menunjang pembelajaran,terutama bahasa Indonesia. (3) Para siswa yang beretnis Jawa harus menanggalkan kebiasaan menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dalam pembelajaran di sekolah demi meningkatkan keterampilan.
Penelitian Rochwati memberikan kontribusi dalam menganalisis struktur gramatikal yaitu dalam hal penyajian data yang membentuk pembeda antara kalimat yang terinterferensi dan kalimat bahasa Indonesianya. Kemudian penelitian ini juga memberikan kontribusi mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya interferensi.
Anni Rahimah, Agustina, dan Syahrul R (2015) dalam artikel berjudul “Interferensi bahasa Mandailing dalam bahasa Indonesia tulis siswa kelas VIII MTS Baharuddin Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan”. Penelitian ini mengkaji bentuk, dan jenis interferensi morfologi serta faktor penyebab interferensi morfologi. Hasil dari penelitian disimpulkan terjadi pada kata dasar sebanyak 24 kata, kata kompleks yaitu afiksasi; prefiks sebanyak 3 kata, sufiks sebanyak 3 kata, reduplikasi sebanyak 6 kata; komposisi/ kata majemuk 4 kata. Jadi jumlah kata yang terinterferensi dalam karangan siswa sebanyak 40 dari 24 siswa. Jenis interferensi morfologi bahasa Mandailing yang ditemui adalah jenis interferensi produktif, interferensi reseptif, dan interferensi psikologis. Penyebab interferensi morfologi bahasa Mandailing yang ditemui dalam karangan siswa adalah faktor pengaruh bahasa yang lebih dulu dikuasainya,
kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya, dan pengajaran Bahasa yang kurang sempurna.
Penelitian Anni, dkk memberikan kontribusi dalam bidang morfologi. Terdapat perbedaan penelitian Anni,dkk dengan penelitian ini. Pertama, objek yang akan diteliti berupa tuturan (lisan) sementara penelitian Anni,dkk meneliti bentuk tulisan. Perbedaan kedua penelitian Anni,dkk hanya meneliti bentuk morfologi saja, sedangkan penelitian ini akan melihat interferensi apa saja yang terdapat dalam tuturan BI di Kota Padangsidimpuan.
2.2Landasan Teoretis 2.2.1 Sosiolinguistik
Hubungan antara bahasa dan masyarakat dapat dikaji dengan menggunakan kajian sosiolinguistik. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi yang merupakan bagian dari masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor non kebahasaan, misalnya faktor sosial budaya yang meliputi status sosial, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin. Berbagai fenomena bahasa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat dapat dikaji dalam sosiolinguistik (Suwito, 1983:2). Adapun masalah-masalah yang dikaji dalam sosiolinguistik meliputi:
a) Hubungan antara pembicara dengan pendengar.
b) Macam bahasa beserta variasinya yang berkembang dalam masyarakat.
c) Penggunaan bahasa sesuai dengan faktor kebahasaan maupun non kebahasaan termasuk kajian tentang kedwibahasaan.
Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan atau bilingualisme, tidak mungkin terpisahkan dari adanya peristiwa kontak bahasa. Seorang dwibahasawan adalah sebagai awal terjadinya interferensi dalam bahasa, karena kontak antar bahasa yang dwibahasawan kuasai. Dwibahasawan menuturkan bahasa-bahasa tersebut secara bergantian dan mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam berbahasa. Interferensi merupakan salah satu peristiwa kebahasaan yang terjadi sebagai akibat adanya kontak dua bahasa atau lebih dalam masyarakat sosial. Hal ini telah diungkapkan Weinrich yang menyatakan bahwa “Pemakaian dua bahasa oleh dwibahasawan secara bergantian menimbulkan terjadinya kontak bahasa yang dapat berujung pada interferensi” (Weinreich, 1979:1).
2.2.2 Interferensi
Suatu masyarakat bahasa yang mengenal dan menguasai lebih dari satu bahasa cenderung mengalami interferensi ketika berbahasa. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa akibat adanya kontak bahasa dalam masyarakat yang bilingual atau pun dwibahasawan seperti yang terjadi pada masyarakat Indonesia, muncullah suatu fenomena bahasa yang disebut dengan interferensi. Pada ranah linguistik istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich pada tahun 1953 untuk menyebutkan adanya perubahaan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya kontak bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Interferensi yang terjadi berupa pengucapan, baik secara lisan maupun tulisan. Penutur bilingual menggunakan dua bahasa secara bergantian. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penutur memiliki variasi bahasa.
Weinreich (1979:1) menyatakan interferensi adalah:
“ Those instance of deviation from the norm of etheir language wich occur in the speeks bilinguals as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of language contact”
Artinya, penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi dalam tuturan para dwibahasawan, sebagai akibat dari pengenalan mereka terhadap lebih dari satu bahasa, yaitu sebagai hasil dari kontak bahasa.
Di dalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain dapat terjadi pada saat berbicara atau menulis. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.
Berbeda dengan Weinreich, Hartman dan Stork berpendapat (dalam Alwasilah, 1993:131) interferensi adalah the errors by carrying over the speech habits of the native language or dialect into a second language or dialect, yang berarti kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek ke dua.
Begitu pula dengan Alwasilah (1993:131) berbeda dengan pendapat Weinreich, yang menyatakan bahwa yang dimaksud interferensi adalah: (a) Sejauh mana dwibahasawan menggunakan bahasanya sehingga terpisah dari bahasa asalinya; (b) Bagaimana penggunaan bahasa tersebut sehingga timbul kesalahan yang disebabkan terbawanya kesalahan itu. Kesalahan yang dimaksud adalah ujaran bahasa ibu/bahasa pertama terbawa atau terpengaruh ke dalam bahasa kedua yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam sistem kaidah bahasa ke dua atau sebaliknya. Inteferensi dianggap sebagai sebuah gangguan.
Jadi dari beberapa pendapat ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadinya interferensi adalah akibat kontak dua bahasa atau lebih yang menyebabkan pengguna bahasa mengalami penyimpangan, kekeliruan penggunaan bahasa sehingga terjadi gangguan sistem kaidah bahasa yang satu dengan bahasa yang lain.
Penelitian ini mengacu pada pendapat Weinrich mengenai interferensi. Menurut Weinrich interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan dan berbagai tataran kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, dan tata makna. Weinrich (1979:14) mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu:
1. Pemindahan Unsur suatu Bahasa ke dalam Bahasa Lain
Menurut Weinreich (1979:1), interferensi merupakan pemindahan unsur-unsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma. Peristiwa interferensi dalam suatu bahasa terjadi disebabkan penutur bilingual mentransfer bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Masuknya unsur-unsur bahasa yang satu kepada bahasa yang lain memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah bahasa.
Chaer dan Agustina (1995:162) sependapat dengan Weinreich mengungkapkan bahwa salah satu pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain terjadi pada interferensi dalam bidang morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan katanya sesuatu bahasa memindahkan afiks-afiks bahasa lain. Misalnya penggunaan imbuhan ke, ke-anbahasa Jawa dalam bahasa Indonesia kelanggar, ketabrak, kemahalan. Afiks– (n)isasi, -is dari bahasa asing
(Belanda dan Inggris), digunakan ke dalam bahasa Indonesia misalnya, ikanisasi, agamais, cengkih(n)isasi. Hal ini tidak hanya berlaku dalam bidang morfologi saja melainkan dapat terjadi pada bidang Fonologi, Sintaksis dan Leksikal.
2. Perubahan Fungsi dan Kategori yang Disebabkan oleh Pemindahan Unsur
Weinreich (1979:30) menyatakan perubahan fungsi dan kategori morfem artinya perubahan dalam fungsi-fungsi morfem B berdasarkan gramatikal bahasa A, karena identifikasi morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A yang tertentu. Jika dwibahasawan mengidentifikasikan sebuah morfem atau kategori gramatikal bahasa A dengan morfem atau kategori gramatikal bahasa B, ia mungkin menerapkan fungsi gramatikal yang diambil dari sistem bahasa A kepada morfem bahasa B yang mendorong dwibahasawan tersebut melakukan padanan morfem antar bahasa ialah karena adanya kesamaan bentuk, atau adanya kesamaan fungsi sebelumnya.
Contoh:
(3) Yang kemananya kalian pergi?
part k.t part Kemana kalian pergi?
Dari data di atas terlihat terjadi pemindahan morfem yang dan morfem nya dalam BI ke dalam sistem gramatikal BAM. Morfem yang dalam BI berfungsi sebagai pernyataan „ketentuan atau penjelasan‟ (Chaer, 2006:159) mengalami perubahan fungsi dan kategori akibat dari interferensi partikel na BAM menjadi sebagai pemerkuat kalimat tanya. Penerapan tata BAM pada fungsi partikel na (sebagai pemerkuat kalimat tanya) diidentifikasikan atau dipadankan ke dalam morfem yang dalam bahasa Indonesia (sebagai penghubung), dengan ketentuan gramatikal BAM yaitu sebagai pemerkuat kalimat tanya.
Demikian halnya dengan morfem do yang diberi padanan dengan morfem nya dalam BI, mengalami perubahan fungsi yang disesuaikan dengan sistem gramatikal BAM. Morfem nya dalam bahasa Indonesia berfungsi menyatakan orang ketiga, sebagai pengganti kepemilikan, dan sebagai pengganti objek sasaran (Chaer, 2006:97). Akibat interferensi BAM morfem nya mengalami perubahan fungsi dan kategori menjadi pemarkah topik kalimat yang disamakan dengan partikel do sesuai dengan struktur BAM.
3. Penerapan Unsur yang Tidak Berlaku pada Bahasa Kedua ke dalam Bahasa Pertama atau Sebaliknya
Weinreich (1979:1) menyatakan bahwa penerapan dan pemindahan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa pertama ke dalam bahasa kedua merupakan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma bahasa yang termasuk ke dalam interferensi. Peristiwa interferensi dalam suatu bahasa terjadi disebabkan penutur bilingual mentransfer bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian tetapi unsur tersebut tidak berlaku pada kaidah bahasa kedua atau sebaliknya. Masuknya unsur-unsur bahasa yang satu kepada bahasa yang lain memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah bahasa.
Contoh:
(4) Enak bakso yang di Aek Tampang itu da.
part Bakso yang berada di Aek Tampang itu enak.
Partikel da berfungsi sebagai penegas kalimat berita. Partikel ini berfungsi sebagai penegasan bahwa berita yang disampaikan adalah suatu kebenaran. Penutur di Kota Padangsidimpuan menerapkan partikel BAM ini ke dalam tuturan BI karena dirasa tidak memiliki padanan partikel yang sama dalam BI, sehingga
penutur menerapkan partikel ini untuk memberikan kesan „benar-benar enak‟ pada kalimat sesuai dengan yang penutur ingin ungkapkan. Hal ini tidak hanya berlaku dalam bidang sintaksis saja melainkan pada bidang morfologi dan leksikal juga. 4. Pengabaian Struktur Bahasa Kedua karena Tidak Terdapat
Padanannya dalam Bahasa Pertama
Hal ini sama dengan penjelasan sebelumnya karena struktur yang tidak terdapat pada bahasa pertama maka dilakukan penerapan struktur bahasa kedua atau sebaiknya. Weinreich (1979:1) menyatakan bahwa kebiasaan dari penutur yang melakukan penerapan dan pemindahan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa pertama ke dalam bahasa kedua menyebabkan terjadinya pengabaian terhadap interferensi tersebut. Akibatnya, pemakaian struktur pertama diterapkan pada bahasa kedua dan dianggap hal yang biasa dan lazim digunakan, sehingga pengabaian yang dilakukan menyebabkan penggunaan struktur bahasa tersebut terus menerus digunakan dan menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut Weinreich membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga jenis interferensi yang dapat timbul ketika dwibahasawan berbicara dalam sebuah bahasa yaitu interferensi fonologi, interferensi gramatikal, dan interferensi leksikal (Weinreich, 1979:2). Masing-masing jenis interferensi memiliki fokus pada tataran tertentu, seperti interferensi fonologi pada tataran bunyi, gramatikal pada tataran sintaksis (struktur tata bahasa) dan morfologi (afiksasi, reduplikasi) serta interferensi leksikal pada tataran leksikon. Berikut adalah pemaparannya:
2.2.2 Interferensi dalam Bidang Fonologi
Menurut Weinreich (1979:14) interferensi bunyi terjadi bilamana seseorang dwibahasawan mengartikan dan menghasilkan kembali bunyi sistem bahasa kedua pada bunyi sistem bahasa pertama. Dengan kata lain, interferensi bunyi terjadi apabila seorang dwibahasawan memperlakukan – mengidentifikasi dan memproduksi – bunyi bahasa yang satu seperti ketika ia memperlakukan bunyi bahasa lainnya.
Interferensi fonologi terjadi apabila fonem dan logat bahasa yang digunakan dalam suatu bahasa menyerap fonem dan logat dari bahasa lain. Verhaar mengelompokkan jenis kedua bunyi tersebut menjadi bunyi segmental dan suprasegmental. (Verhaar, 1996:55)
Bunyi segmental mengacu pada pengertian bunyi-bunyi yang dapat disegmentasi/dipisah-pisahkan dan bisa dibagi. Contohnya, ketika kita mengucapkan “Bahasa”, maka nomina yang dibunyikan tersebut (baca: fonem), bisa dibagi menjadi tiga suku kata: ba-ha-sa. Atau dibagi menjadi lebih kecil lagi sehingga menjadi: b-a-h-a-s-a. Jelas bunyi-bunyi tersebut menunjukkan adanya fonem. Dengan demikian, sebenarnya bunyi-bunyi bahasa yang telah diuraikan sebelumnya adalah bunyi segmental. Bunyi yang termasuk kedalam bunyi segmental ini adalah bunyi vokal, konsonan, diftong, dsb.
Interferensi segmental meliputi asimilasi, penambahan fonem, perubahan fonem, dan penghilangan fonem. Salah satu contoh interferensi yang terjadi pada fonem segmental dapat dilihat dari penambahan fonem. Penutur bahasa Jawa dalam mengucapkan kata-kata nama tempat yang berawalan bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/ dengan penasalan didepannya, maka akan terjadi interferensi tata bunyi atau
sering disebut interferensi fonologi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia, misalnya : /mBanjar/, /nDepok/, /ngGombong/, /nJambi/.
Sementara suprasegmental adalah sesuatu yang menyertai fonem tersebut yang itu bisa berupa tekanan suara, panjang-pendek suara, dan getaran suara yang menunjukkan emosi tertentu. Semua yang tercakup ke dalam istilah suprasegmenal itu tidak bisa dipisahkan dari suatu fonem. Verhaar mengatakan unsur suprasegmental terdiri atas intonsi, nada, dan tekanan (aksen).
Interferensi yang terjadi pada bunyi suprasegmental ini biasanya meliputi intonasi nada bahasa. Interferensi bunyi terjadi saat penutur mengucapkan bahasa kedua dengan menggunakan intonasi nada bahasa pertama. Verhaar mengatakan bahwa setiap bahasa memiliki intonasi masing-masing, intonasi tersebut berbeda pada setiap jenis kalimat. Ada intonasi khusus untuk kalimat berita (deklatif) dan kalimat (interogatif) dalam banyak bahasa. Untuk melihat perbedaan intonasi tersebut Verhaar menggambarkan intonasi tersebut seperti berikut (Verhaar, 1996:87). Inggris (a) 5 4 3 2 1
Did you see anything there?
Indonesia (b) 5 4 3 2 1
Apakah anda sudah mendafarkan diri? Gambar 2.2.2 Intonasi Interogatif Bahasa Indonesia
Perbandingan kalimat tanya (interogatif) dalam contoh (a) dengan kalimat tanya (interogatif) dalam contoh (b) diukur dengan tinggi rendahnya nada yang dilambangkan dengan angka-angka, dari angka 1 menggambarkan intonasi rendah sampai angka 5 menggambarkan intonasi tinggi. Dari gambar di atas dapat terlihat perbedaan intonasi bahasa Inggris dan intonsi BI pada kalimat tanya.
2.2.3 Interferensi Gramatikal
Interferensi gramatikal berhubungan dengan sistem tata bahasa yang dipengaruhi oleh sistem tata bahasa lain. Interferensi ini terjadi pada bidang morfologi dan sintaksis (Weinreich, 1979:26).
Hal yang senada juga dinyatakan oleh Aslinda dan Leni yang menyatakan interferensi dalam bidang gramatikal terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasikan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem bahasa pertama dan menggunakanya dalam tuturan bahasa kedua yang meliputi kajian morfologi dan sintaksis (Aslinda dan Leny, 2007:74). Berikut adalah pemaparannya:
2.2.3.1 Interferensi Morfologi
Abahasa daerahul Chaer dan Leony Agustina, berpendapat bahwa interferensi morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukann kata dengan afiks (2004: 114). Misalnya dalam BI yang sering mengalami interferensi dari berbagai bahasa salah satunya penyerapan sufiks -wi dan –ni dari bahasa Arab . Sufiks ini dipakai untuk membentuk adjektif pada kata-kata manusiawi, bahasawi, sorgawi, dan gerejani.
Sementara interferensi yang terjadi antara BAM terhadap BI terjadi karena sistem morfologi BAM mempengaruhi sistem morfologi BI dan menyebabkan penyimpangan yaitu berupa penyerapan afiks dan penghilangkan afiks. Berikut adalah afiks dalam BI meliputi: prefiks meN-, ber-, di-, ter-, peN-, pe-, per-, dan se-, sufiks –kan, -an, -i, dan –wan, konfiks ke-an, peN-an, per-an, ber-an, dan se-nya (Ramlan, 2001:62-63). Adapun afiks dalam BAM diantaranya adalah: prefiks ma-, tar-, di-, par-, maN-,paN-, sa-, san-, um-, infiks –in-, -um-, sufiks –i, on, -na, -an, -hon, dankonfiks (marsi-/-an), (maN-/-i), (maN-/-hon), (paN-/hon),(tar-/-i),(mar-/-i),(maN-/-i) (Irwan, 2006:3).
Proses afiksasi kata BI dapat terinterferensi BAM karena terjadinya kontak dua bahasa. Berikut contoh interferensi prefiks mar- pada bahasa BI : marlampu, markereta, dan marjuta. Kata-kata tersebut terpengaruh oleh BAM dengan menggunakan prefiks mar-. Bentuk prefiks mar- memiliki padanan dalam BI yaitu prefiks ber- sehingga seharusnya kata-kata tersebut menjadi berlampu, berkereta, dan berjuta.
Selain proses afiksasi, interferensi juga terjadi pada proses reduplikasi (kata ulang) dan kata majemuk yang juga merupakan bagian dari morfologi.
Reduplikasi adalah kata-kata yang dibentuk dengan mengulang sebagian atau keseluruhan bentuk yang menjadi dasarnya. Kata ulang juga terdapat pada kata ulang yang dibubuhi afiks atau kata ulang berimbuhan (Ramlan, 2001:81). Contoh interferensi BAM pada proses reduplikasi yakni : marjuta-juta merupakan interferensi yang terjadi pada kata ulang berimbuhan mar-+ juta +R = marjuta-juta „berjuta-juta‟.
Pengertian kata majemuk adalah kata yang terdiri dari dua morfem bebas yang antara keduanya memiliki keterpaduan yang kuat baik bentuk maupun maknanya, karena keterpaduanya itu maka kata majemuk tidak dapat disisipi unsur lain atau diputarbalikkan urutan unsur pembentuknya (Ramlan, 2001:81).
2.2.3.2 Interferensi Sintaksis
Pada umumnya sintaksis berhubungan dengan struktur sintaksis. Pembicaraan struktur sintaksis berkaitan erat dengan masalah fungsi, kategori, dan peran. Masalah fungsi berkaitan dengan istilah subjek, predikat, objek, dan keterangan. Masalah kategori berkaitan dengan istilah nomina, verba, adjektiva, dan istilah lain yang berkaitan dengan kategori sintaksis. Adapun masalah peran berkaitan dengan istilah, pelaku, penerima, atau istilah lain yang berkaitan dengan peran sintaksis (Chaer, 2007: 207).
Seperti yang Verhaar kemukakan, secara umum struktur sintaksis itu terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K). Fungsi-fungsi sintaksis yang terdiri atas unsur-unsur SPO dan K, merupakan kotak-kotak kosong atau tempat-tempat kosong yang tidak mempunyai arti apa-apa karena kekosongannya (Verhaar, 1996:162).
Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peranan tertentu. Contoh:
Guru memberikan tugas tadi pagi. S P O K
Dalam bahasa Inggris dapat ditransfer menjadi: The teacher gave the assignment this morning.
S P O K
Bagian-bagian lain dari kalimat BI bisa dipindahkan tempatnya tanpa mengubah makna gramatikal kalimat tersebut. Misalnya, frasa kata keterangan tempat tadi pagi dipindahkan ke depan menjadi “tadi pagi guru memberikan tugas” atau “guru tadi pagi memberikan tugas”. Perubahan posisi tersebut masih dapat diterima dalam bahasa Indonesia.
Bila ditransfer ke dalam bahasa Inggris hasilnya menjadi This morning the teacher gave the assignment. Interferensi ini masih bisa diterima dalam susunan gramatikal bahasa Inggris tetapi, bila diubah lagi menjadi *The teacher this morning gave assignment. Kalimat ini kedengarannya janggal sekali sehingga kalimat itu tidak dapat diterima dalam struktur gramatikal bahasa Inggris. Artinya, meskipun susunan kalimat bahasa Indonesia bisa diterima, namun dalam bahasa Inggris susunan itu tidak bisa dibenarkan.
Jenis interferensi di atas adalah interferensi sintaksis. Salah satu interferensi sintaksis berhubungan dengan struktur kalimat bahasa pertama yang berpengaruh terhadap struktur kalimat bahasa kedua. Weinreich (1979:30) menyebutkan hal yang berhubungan dengan interferensi struktur kalimat adalah sebagai „penerapan hubungan gramatikal‟.
Penerapan hubungan gramatikal ini ialah penerapan hubungan tata bahasa A pada morfem bahasa B, atau mengabaikan hubungan bahasa B yang tidak mempunyai prototip dalam bahasa A. Weinreich memberikan contoh kalimat dalam bahasa Inggris He comes tomorrow home, yang disusun dengan struktur bahasa Jerman erkomt morgen nach hause, yang terbukti sebagai penerapan bahasa Jerman dalam bahasa Inggris.
Erkomt morgen nach hause (bahasa Jerman) He comes tomorrow home (bahasa Inggris)
Adapun unsur-unsur bahasa tersebut yang satu pindah ke bahasa yang lain dinyatakan sebagai bentuk transfer yang berterima karena masih gramatikal dengan bahasa Inggris.
Dari contoh di atas, maka penelitian interferensi sintaksis yang berkaitan dengan fungsi sintaksis akan mengkaji interferensi BAM yang tidak gramatikal atau tidak berterima dalam BI. Jika setelah mangalami interferensi BAM kalimat tersebut masih berterima dalam BI, maka tidak diteliti karena kalimat tersebut masih sesuai dengan gramatikal BI.
Selain pada fungsi sintaksis, interferensi juga sering dijumpai pada kategori sintaksis. Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk, 2003: 36), bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis yang utama, yaitu: (1) verba atau kata kerja, (2) nomina atau kata benda, (3) adjektiva atau kata sifat, dan (4) adverbia atau kata keterangan. Di samping kategori utama, terdapat juga kata tugas yang terdiri atas preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung, dan partikel.
Salah satu interferensi yang sering dijumpai dalam masyarakat adalah penggunaan partikel. Misalnya, dalam tataran sintaksis antara bahasa Jawa dan BI
terjadi karena penggunaan partikel penegas bahasa Jawa “je”, “to” ke dalam BI atau penggunaan partikel BI seperti, “deh”, “dong”, “kan” ke dalam bahasa Jawa. Demikian juga halnya pada BAM dan BI banyak terjadi interferensi partikel BAM terhadap BI yang membuat kalimat tersebut memiliki makna yang agak berbeda dari BI. Misalnya:
(5) Pinjamlah kele uangmu! (BI di Kota Padangsidimpuan) part part
„Pinjamlah uangmu!‟ (BI)
Dari contoh (5) di atas terlihat dalam BAM kalimat perintah menggunakan partikel kele yang terinterferensi ke dalam BI di Kota Padangsidimpuan. Partikel kele ini dalam BAM digunakan pada kalimat perintah bujukan yang diletakkan setelah pemarkah topik ma (memiliki padanan yang sama dengan lah dalam BI). Partikel ini menyatakan permintaan dengan cara yang halus atau dengan membujuk/memelas/memohon lawan bicara agar mau melakukan sesuatu. Partikel kele tidak terdapat dalam BI, sehingga penutur mentrasfer partikel ini ke dalam tuturan BI agar makna dari kalimat ini sampai pada lawan bicara sesuai dengan harapan penutur. Interferensi yang terjadi pada tataran sintaksis terjadi karena unsur BAM mempengaruhi struktur kalimat BI.
2.2.4 Interferensi Leksikal
Interferensi leksikal diartikan pengacauan kosa kata antara bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Di dalam interferensi leksikal terjadi penyerapan kosa kata dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Interferensi dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam peristiwa tutur memindahkan leksikal bahasa pertama kedalam bahasa kedua atau sebaliknya (Weinreich (1979:47).
Pada penelitian ini mengkaji interferensi leksikal BAM berupa kata sederhana yang dipindahkan ke dalam tuturan BI berdasarkan kelas kata. Misalnya:
(6) Datu „dukun‟
Jangan berobat ke datu kau. dukun „Kau jangan berobat ke dukun‟
Dari data (6) ditemukan data datu, nomina yang digunakan untuk menyebutkan „dukun‟. Kata datu terinterferensi dari BAM. Seharusnya leksikal datu tidak perlu digunakan karena dalam BI ada padanannya yaitu paranormal/dukun.
Interferensi yang terjadi akan dibagi berdasarkan kelas kata dalam BI yang dikemukan oleh Harimurti Kridalaksana (2007) dalam buku yang berjudul “ Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia” yaitu:
1. Verba
Kata dikatakan berkategori verba jika dalam frasa dapat didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan tidak dapat didampingi partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak. Berdasarkan bentuknya verba dibedakan sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007 : 51)
Berdasarkan bentuknya, verba dapat terbagi menjadi sebagai berikut.
a. Verba Dasar Bebas
Verba dasar bebas merupakan verba dasar yang bebas. Misalnya tidur, duduk, makan, minum, dan sebagainya.
Verba turunan merupakan verba yang telah mengalami proses morfologis (afiksasi, reduplikasi, gabungan proses, komposisi). Misalnya berenang, duduk-duduk, melirik-lirik, adu domba.
Berdasarkan banyaknya nomina yang mendampingi, verba terbagi menjadi sebagai berikut.
a. Verba Intransitif b. Verba Transitif
Berdasarkan hubungannya dengan nomina, verba terbagi menjadi sebagai berikut.
a. Verba Aktif
Verba aktif yaitu verba yang subjeknya berperan sebagai pelaku, biasanya berprefiks me-, ber-, atau tanpa prefiks.
b. Verba Pasif
Verba pasif yaitu verba yang subjeknya berperan sebagai penderita, sasaran, atau hasil. Biasanya diawali dengan prefiks di- atau ter-. Apabila ditandai dengan prefiks ter- maka bermakna perfektif.
c. Verba Anti Aktif
Verba anti aktif (ergatif) yaitu verba pasif yang tidak dapat diubah menjadi verba aktif dan subjeknya merupakan penanggap. Contoh: menderita, merasakan.
d. Verba Anti Pasif
Verba anti-pasif yaitu verba yang tidak dapat diubah menjadi verba pasif.
Berdasarkan interaksi antarnomina pendampingnya, verba terbagi menjadi sebagai berikut.
a. Verba Resiprokal
Verba resiprokal yaitu verba yang menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak, dan perbuatan tersebut dilakukan dengan saling berbalasan. Berikut adalah contoh bentuk verba resiprokal.
ber- + perang = berperang ber- + salaman = bersalaman b. Verba Nonresiprokal
Verba nonresiprokal yaitu verba yang tidak menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak dan tidak saling berbalasan.
Berdasarkan referensi argumennya, verba terbagi menjadi sebagai berikut.
a. Verba Refleksi
Verba refleksif, yaitu verba yang kedua argumennya mempunyai referen yang sama.
b. Verba Nonrefleksi
Verba non refleksi, yaitu verba yang kedua argumennya mempunyai referen yang berlainan.
Berdasarkan hubungan identifikasi antara argumen-argumennya adalah sebagai berikut.
a. Verba kopulatif
Verba kopulatif, yaitu verba yang mempunyai potensi untuk ditanggalkan tanpa mengubah konstruksi predikatif yang bersangkutan. Contoh: merupakan, adalah. b. Verba ekuatif
Verba ekuatif, yaitu verba yang mengungkapkan ciri salah satu argumennya. Contoh: berjumlah, berlandaskan.
2. Adjektiva
Berdasarkan bentuknya, adjektiva terbagi menjadi tiga jenis, yaitu adjektiva dasar, turunan, dan majemuk. Adjektiva memiliki ciri-ciri yang memungkinkanya untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina atau (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (4) dapat hadir berdapingan dengan kata lebih...daripada... atau paling untuk menyatakan tingkat perbandingan, (5) mempunyai ciri-ciri morfologis seperti –er, -if, (6) dapat dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, (7) dapat berfungsi predikatif, atributif, dan pelengkap. Subkategorisasi ajektiva, dibagi ke dalam empat macam kategori, yakni sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007 : 59)
a. Ajektiva predikatif yaitu ajektiva yang dapat menempati posisi predikat dalam klausa. Misalnya susah, hangat, sulit, mahal.
b. Ajektiva atributif yaitu ajektiva yang mendampingi nomina dalam frase nomina. Misalnya nasional, niskala.
c. Ajektiva bertaraf yakni yang dapat berdampingan dengan agak, sangat, dan sebagainya. Contohnya pekat, makmur.
d. Ajektiva tak bertaraf yakni yang tidak dapat berdampingan dengan agak, sangat, dan sebagainya. Contohnya nasional, intern.
3. Nomina
Nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak dan mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari. Berikut adalah bentuk-bentuk nomina. (Kridalaksana, 2007: 68) 1. Nomina dasar, contoh: radio, udara, kertas, barat, kemarin, dll.
2. Nomina turunan, terbagi atas:
a. Nomina berafiks, contoh: keuangan, perpaduan, gerigi.
b. Nomina reduplikasi, contoh: gedung-gedung, tetamu, pepatah.
c. Nomina hasil gabungan proses, contoh: batu-batuan, kesinambungan.
d. Nomina yang berasal dari pelbagai kelas karena proses, contoh: deverbalisasi, seperti pengangguran, pemandian, pengembangan, kebersamaan.
3. Nomina paduan leksem, contoh: daya juang, cetak lepas, loncat indah, tertib acara, jejak langkah.
4. Nomina paduan leksem gabungan, contoh: pendayagunaan, ketatabahasaan, pengambilalihan, kejaksaaan tinggi.
4. Pronomina
Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina, yang digantikan itu disebut anteseden. (Kridalaksana, 2007:79)
Berikut adalah subkategorisasi pronomina.
a. Dilihat dari hubungannya dengan nomina, yaitu ada atau tidaknyaanteseden dalam wacana. Berdasarkan hal itu, dibagi lagi menjadi:
1) Pronomina Intertekstual
Bila anteseden terdapat sebelum pronomina itu dikatakan anaforis, sedangkan bila anteseden muncul sesudah pronomina, hal itu disebut kataforis. Contoh anaforis: Pak Arif sepupu Bapak. Rumahnya dekat.
2) Pronomina ekstratekstual
Merupakan pronomina yang menggantikan nomina yang terdapat di luar wacana, bersifat deiktis. Contoh: Itu yang kukatakan.
b. Dilihat dari jelas atau tidaknya referennya 1) Pronomina Taktrif
Pronomina taktrif yaitu menggantikan nomina yang referennya jelas.Pronomina ini terbatas pada pronomina persona.
2) Pronomina Tak Takrif
Pronomina taktrif yaitu menggantikan nomina yang referennya jelas. Pronomina ini terbatas pada pronomina persona.
5. Numeralia
Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau sangat. Subkategorisasi numeralia adalah sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007 : 81)
a. Numeralia Takrif
1) Numeralia Utama (kardinal) 2) Numeralia Tingkat
Adalah numeralia takrif yang melambangkan urutan dalam jumlah dan berstruktur ke + Num. Contoh: Catatan ketiga sudah diperbaiki.
3) Numeralia Kolektif, Adalah numeralia takrif yang berstruktur ke + Num, ber- + N, ber- + NR, ber- + Num R atau Num + -an.
b. Numeralia Tak Takrif
Numeralia tak takrif adalah numeralia yang menyatakan jumlah yang tak tentu.Misalnya, berapa, sekalian, semua, segenap.
6. Adverbia
Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi ajektiva, numeralia, atau proposisi dalam konstruksi sintaksis.Adverbia tidak boleh dikacaukan dengan keterangan, karena adverbia merupakan konsep kategori, sedangkan keterangan merupakan konsep fungsi.Bentuk adverbia ada enam, yakni sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007:81)
a. Adverbia dasar bebas, contoh: alangkah, agak, akan, belum, bisa. b. Adverbia turunan, yang terbagi atas:
1) Adverbia turunan yang tidak berpindah kelas terdiri atas : adverbia bereduplikasi, seperti jangan-jangan, lagi-lagi dan adverbia gabungan, misalnya tidak boleh tidak.
2) Adverbia turunan yang berasal dari pelbagai kelas terdiri atas: adverbia berafiks, misalnya terlampau, sekali dan adverbia dari kategori lain karena reduplikasi, misalnya akhir-akhir, sendiri-sendiri
4) Adverbia denumeralia, misalnya dua-dua
5) Adverbia deverbal, misalnya kira-kira, tahu-tahu
c. Adverbia yang terjadi dari gabungan kategori lain dan pronomina, misalnya rasanya, rupanya, sepertinya.
d. Adverbia deverbal gabungan, misalnya ingin benar, tidak terkatakan lagi e. Adverbia de ajektival gabungan, misalnya tidak lebih, kerap kali.
f. Gabungan proses, misalnya : se- +A +-nya: sebaiknya 7. Interogativa
Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketahui pembicara. Apa yang ingin diketahui dan apa yang dikukuhkan itu disebut antesenden (ada di luar wacana) dan karena baru akan diketahui kemudian, interogativa bersifat kataforis. (Kridaklaksana, 2007:88) a. Interogativa dasar: apa, bila, bukan, kapan, mana, masa.
b. Interogativa turunan: apabila, apaan, apa-apaan, bagaimana, bagaimanakah, berapa, betapa, bilamana, bilakah, bukankah, dengan apa, di mana, ke mana, manakah, kenapa, mengapa, ngapain, siapa, yang mana.
c. Interogativa terikat: kah dan tah. 8. Demonstrativa
Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu (antesenden) di dalam maupun di luar wacana.Dari sudut bentuk dapat dibedakan berikut ini. (Kridalaksana, 2007:92)
a. Demonstrativa dasar (itu dan ini)
c. Demonstrativa gabungan (di sini, di situ, di sana, ini itu, sana sini)
9. Artikula
Artikula dalam bahasa Indonesia adalah kategori yang mendampingi nomina dasar misalnya si kancil, sang matahari, para pelajar. Misalnya pada nomina deverbal (si terdakwa, si tertuduh), pronomina (si dia, sangaku), dan verba pasif (kaum tertindas, si tertindas).Artikula berupa partikel, sehingga tidak berafiksasi. Berdasarkan ciri semantis gramatikal artikula dibedakan sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007: 93)
a. Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan nomina singularis. (Si, Sang, Sri, Hang dan Dang)
b. Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan suatu kelompok. (Para, Kaum, Umat).
10. Preposisi
Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama nomina), sehingga terbentuk frasa eksosentris direktif. Ada tiga jenis preposisi, yaitu sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007:95)
a. Preposisi dasar (tidak dapat mengalami proses morfologis).
b. Preposisi turunan, terbagi atas: gabungan preposisi dan preposisi (di atas gedung, di muka bumi, di tengah-tengah kota), serta gabungan preposisi dan non-preposisi (...dari...ke... ; sejak...hingga... ; dari...sampai... ; antara...dengan...).
c. Preposisi yang berasal dari kategori lain (misalnya pada dan tanpa) termasuk beberapa preposisi yang berasal dari kelas lain yang berafiks se- (selain, semenjak, sepanjang, sesuai, dsb).
11. Konjungsi
Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan satuan lain dalam kontruksi hipotaktis, dan selalu menghubungkan dua satuan lain atau lebih dalam kontruksi. Konjungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran yang setataran maupun yang tidak setataran. Menurut posisinya konjungsi dibagi menjadi berikut ini. (Kridalaksana,2007:102)
a. Konjungsi Intra-kalimat, yaitu konjungsi yang menghubungkan satuan-satuan kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa.
b. Konjungsi Ektra-kalimat,
1) Konjungsi intratekstual, yaitu menghubungkan kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf,
2) Konjungsi ektratekstual, yang menghubungkan dunia di luar bahasa dengan wacana.
12.Kategori Fatis
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan lawan bicara. Kelas kata ini terdapat dalam dialog atau wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam bahasa lisan (nonstandar) sehingga kebanyakan kalimat-kalimat nonstandar banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Bentuk-bentuk fatis misalnya di awal kalimat “Kok kamu melamun?”, di tengah kalimat, misalnya “Dia kok bisa ya menulis puisi seindah ini?”, dan di akhir kalimat, misalnya “Aku juga kok!”. Kategori fatis mempunyai wujud bentuk
bebas, misalnya kok, deh, atau selamat, dan wujud bentuk terikat, misalnya – lah atau pun.
Bentuk dan Jenis Kategori Fatis, dapat diuraikan sebagai berikut. a. Partikel dan Kata Fatis Contoh: (Ah, ding, halo, deh, kek, kok dll) b. Frase Fatis. Contoh: Selamat, terima kasih, insya Allah.
13. Interjeksi
Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran.Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri. Interjeksi dapat ditemui dalam:
a. Bentuk dasar, yaitu: aduh, aduhai, ah, ahoi, ai, amboi, asyoi, ayo, bah, cih, cis, eh, hai, idih, ih, lho, oh, nak, sip, wah, wahai, yaaa.
b. Bentuk turunan, biasanya berasal dari kata-kata biasa atau penggalan kalimat Arab, contoh: alhamdulillah, astaga, buset, duilah, insya Alloh, masya Allah, syukur, halo, innalillahi, yahud. (Kridalaksana, 2007: 106)
2.5 Faktor Terjadinya Interferensi
Sesuai dengan pendapat Weinrich sebelumnya, bahwa kontak bahasa merupakan peristiwa terjadinya penggunaan lebih dari satu bahasa dalam waktu dan tempat yang bersamaan di mana suatu masyarakat berkomunikasi satu sama lain. Berikut adalah faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi menurut Weinrich (1979:74), yaitu:
1. Kedwibahasawan peserta tutur.
Kedwibahasawan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari sumber bahasa, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing.
2. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima.
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sifat kurang positif.
3. Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai sisi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya.
4. Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata yang bersangkutan akan menjadi kian menipis.
5. Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa memiliki fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan.
6. Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi karena pemakai bahasa ingin menunjukkan dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut.
7. Terbawanya bahasa ibu
Kebiasaan bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima.
Dari pemaparan Weinrich di atas, faktor interferensi yang terjadi dalam suatu bahasa secara garis besar dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu faktor intralinguistik dan faktor ekstralinguistik. Faktor intralinguistik mengacu pada struktur bahasa yang bersangkutan yaitu interfernsi yang terjadi dalam suatu bahasa yang meliputi bidang linguistik. Sedangkan faktor ekstralinguistik ialah segala sesuatu yang berada diluar linguistik, yaitu situasi dan kondisi yang disebabkan oleh faktor sosial budaya dan faktor individu. (Rinjin 1979 : 80).
2.6 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka ini didapatkan dari konsep ilmu/teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang didapatkan pada tinjauan pustaka atau kalau boleh dikatakan oleh peneliti merupakan ringkasan dari tinjauan pustaka yang dihubungkan dengan garis sesuai variabel yang diteliti. Berikut adalah gambaran kerangka konseptual dari penelitian ini.
Pemindahan unsur
Fonologi Gramatikal Leksikal
Morfologi Sintaksis
Segmental (fonem) Afiksasi Struktur Kalimat Kelas kata Suprasegmental (intonasi) Reduplikasi
Faktor Interferensi
Gambar 2.6 Kerangka Konsep Interferensi
Interferensi
Perubahan fungsi dan kategori
Penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada B1 ke dalam B2 atau sebaliknya.
Pengabaian struktur B2 karena tidak terdapat padanannya pada B1 atau sebaliknya. Faktor Intralinguistik Faktor Ekstralinguistik Bahasa itu sendiri Individu Sosial Budaya
Interferensi sebagai bentuk penyimpangan kaidah bahasa karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Weinreich mengidentifikasi ciri-ciri interferensi yaitu: adanya pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain, adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pengaruh bahasa lain, penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa pertama atau sebaliknya, dan adanya pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam bahasa pertama. Indentifikasi interferensi ini dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal.
Interferensi yang terjadi pada bidang fonologi meliputi interferensi pada unsur segmental (berkenaan dengan fonem, baik penambahan fonem, penghilangan fonem, maupun perubahan fonem). Interferensi pada bidang morfologi berkenaan dengan penggunaan afiks bahasa pertama ke dalam penggunaan bahasa kedua. Bentuk reduplikasi bahasa pertama yang dipengaruhi oleh bahasa kedua atau sebaliknya.
Interferensi pada bidang sintaksis berkenaan dengan pengaruh struktur bahasa pertama ke dalam struktur bahasa kedua, atau sebaliknya. Interferensi pada bidang leksikal terjadi karena adanya penggunaan leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau sebaliknya.
Adapun faktor yang mempengaruhi interferensi pada keempat bidnag tersebut terjadi karena adanya faktor intralinguistik (yang berkaitan dengan bahasa itu sendiri), dan faktor ekstralinguistik (yang berkenaan dengan faktor individu, dan faktor sosial budaya).