• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) atau yang sering disebut dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) atau yang sering disebut dengan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)

Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) atau yang sering disebut dengan pendekatan sistemik dikenal sebagai penyedia kerangka deskriptif dan penafsiran yang sangat berguna untuk memandang bahasa sebagai sumber daya strategis dan pemberi makna. Dalam perspektif LFS bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut. Persepsi LFS adalah bahasa diperlukan manusia untuk melakukan tiga fungsi, yakni menggambarkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman. Ketiga fungsi ini merupakan hakikat hidup dan kebutuhan manusia normal.

Pada dasarnya dalam Perspektif LFS bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut. Dua konsep dasar teori LFS adalah :

a. Bahasa merupakan fenomena sosial yang terwujud sebagai semiotik sosial,

b. Bahasa merupakan teks yang konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks sosial.

Para pakar linguistik sistemik memiliki minat dan perhatian bagaimana orang memakai bahasa untuk berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan sosial. Minat ini mendorong para pakar linguistik untuk mengajukan teori tentang bahasa yaitu

▸ Baca selengkapnya: wilayah yang memiliki satu parameter dengan sifat atau ciri yang hamper sama disebut

(2)

Pemakaian bahasa bersifat fungsional, fungsinya ialah untuk memberi makna – makna , makna – makna tersebut dipengaruhi oleh konteks sosial budaya. Dan proses pemakaian bahasa merupakan proses semiotik, yaitu proses pemberian makna dengan cara memilih.

Dari teori diatas dapat disimpulkan menjadi empat aspek yaitu fungsional, semantik, kontekstual, dan semiotik. Sedangkan Pendekatan sistemik terhadap bahasa yang bersifat fungsional disebabkan dua hal antara lain.

1. Sebab Pendekatan sistemik selalu menanyakan hal – hal yang bersifat fungsional tentang bahasa : teori sistemik menanyakan bagaimana orang menggunakan bahasa.

2. Sebab Pendekatan sistemik menafsirkan sistem linguistik secara fungsional : pakar sistemik menanyakan bagaimana bahasa disusun untuk dipakai?.

Konsep fungsional dalam LFS memiliki tiga pengertian yang saling berhubungan. Pertama, pengertian fungsional menurut LFS adalah bahasa terstruktur berdasarkan fungsi yang akan dimainkan oleh bahasa dalam kehidupan manusia. Hal ini disebut fungsional berdasarkan tujuan pemakaian bahasa, yang kedua adalah metafungsi bahasa, yakni fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa. LFS merumuskan bahwa fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakupi tiga kategori, seperti telah diuraikan terdahulu, yaitu (1) memaparkan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi ideasional (ideational function), (2) mempertukarkan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi antarpersona (interpersonal function), dan (3) merangkai

(3)

pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi tekstual (textual function). Yang ketiga dalam LFS dikatakan bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian fungsional ketiga ini ditetapkan bahwa morfem fungsional di dalam kata, kata fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks.

LFS sebagai bagian dari pendekatan linguistik fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial, berkait dengan sosiologi dan hanya dipahami dalam konteks sosial. Semiotik sosial menganalisis bahasa, wacana atau teks merupakan sebuah aktivitas semiotik. Semiotik pemakaian bahasa terdiri dari semiotik denotatif dan semiotik konotatif.

Semiotik denotatif memiliki arti dan bentuk. Dalam pemakaian bahasa semiotik denotatif terbentuk dalam hubungan antar strata (level) aspek bahasa yang terdiri atas arti (semantics), tata bahasa (lexicogrammar), dan bunyi (phonology) atau tulisan (graphology). Semiotik denotatif bahasa menunjukan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Semiotik denotasi bahasa menunjukan bahwa semantik direalisasikan tata bahasa dan tatabahasa direalisasikan oleh bunyi (fonologi) dalam bahasa lisan atau tulisan (grafology) dalam bahasa tulisan.

Semiotik konotatif hanya memiliki arti dan tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya (context of culture) dan

(4)

konteks sosial (register). Sebagai semiotik konotatif, konteks sosial membentuk strata dengan ideologi menempati strata tertinggi yang memiliki sifat abstrak dan kemudian diikuti oleh budaya dan konteks situasi. Semiotik konotatif pemakaian bahasa menunjukan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk dan meminjam budaya sebagai bentuknya. Ideologi direalisasikan oleh budaya yang juga tidak memiliki bentuk dan budaya direalisasikan oleh konteks situasi. konteks situasi meminjam semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Bahasa sebagai semiotik sosial adalah bahasa berfungsi di dalam konteks sosial atau bahasa fungsional di dalam konteks sosial.

Kajian LFS difokuskan pada teks. Teks adalah unit arti dan wujud sebagai hasil interaksi dalam konteks sosial. LFS juga memberi perhatian yang seimbang terhadap arti dan bentuk. Hal ini terjadi karena ’arti’ harus direalisasikan oleh bentuk. Artinya ‘arti’ dapat direalisasikan bunyi, kata, frase, klausa atau kalimat.

Dalam perspektif LFS bahasa berfungsi atau fungsional di dalam konteks sosial. Ada tiga pengertian yang terdapat dalam konsep fungsional yaitu :

1. Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa.

2. Fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu memaparkan atau menggambarkan, mempertukarkan dan merangkaikan pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa. Masing – masing fungsi menentukan struktur bahasa atau tata bahasa. Dengan demikian, tata bahasa merupakan teori penglaman manusia yang mencakup teori paparan, pertukaran, dan organisasi makna.

(5)

3. Setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar maksudnya unit – unit nomina, verba, adverbia, preposisi atau unit lainnya berfungsi dalam tugasnya masing – masing untuk membangun klausa.

Konteks pemakaian bahasa dibatasi sebagai segala sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian bahasa. Konteks mengacu kepada segala sesuatu yang mendampingi teks. Dalam perspektif LFS konteks mencakup dua pengertian yakni 1)konteks linguistik (yang disebut konteks internal), 2) konteks sosial (konteks eksternal). Jadi LFS tidak hanya suatu teori untuk analisis tertentu, tetapi merupakan satu kerangka teori linguistik umum yang dapat digunakan untuk melakukan analisis mulai dari tataran fonologi sampai tataran di atas wacana.

2.2 Analisis Wacana

Analisis wacana menggunakan pendekatan linguistik fungsional sistemik yang dipelopori oleh Halliday (1985) dan Matthiessen (1992) dan para pakar sistemik lain yang memfokuskan analisis pada organisasi kalimat serta hubungan antara kalimat dengan wacana. Pendekatan fungsional sistemik menetapkan wacana sebagai satu unit makna yang menjadi objek dasar kajian. Kontribusinya terhadap pemahaman teks dimana analisis linguistik mampu menunjukkan bagaimana dan mengapa sebuah teks mempunyai arti seperti yang dikandungnya.

Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang

(6)

berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana adalah organisasi bahasa diatas kalimat atau diatas klausa, dengan perkataan lain unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa. Seperti pertukaran-pertukaran percakapan atas teks-teks tertulis (Stubbs,1983:10)

Halliday dan Hasan (1992:28) dalam buku-bukunya mengakui peranan unsur-unsur situasi di dalam pelahiran bentuk wacana, analisis terhadap kohesi (pertalian bentuk) dan koherensi (pertalian semantik) wacana yang utuh harus ditandai dengan penandaan semantis yang berupa kepaduan informasi , dan penandaan gramatikal, seperti penggantian, penunjukan, pengulangan, penghilangan, perangkaian, dan pertalian leksikal. Apapun bentuk dan sifatnya, wacana selalu mengasumsikan adanya penyapa dan pesapa. Dengan demikian, wacana mempelajari bahasa dalam pemakaiannya atau dinamakan juga pragmatik. Dalam hal ini pemahaman wacana lebih ditekankan pada hasil, bukan proses. Dimaksudkan dengan hasil adalah hasil rekaman kebahasaan yang utuh dalam peristiwa komunikasi lisan atau tulis.

2.3 Metafungsi Bahasa

Metafungsi bahasa merupakan fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. dalam konsep teoritis metafungsi memberikan kemampuan kepada seseorang untuk memahami bahasa dengan dunia luar bahasa dan juga sebagai titik

(7)

pertemuan yang telah membentuk bentuk tata bahasa. Dengan kata lain, konsep metafungsi yang menghubungkan antara bentuk-bentuk internal bahasa dan kegunaannya dalam semiotik konteks sosial. Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik. Sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial. Bahasa memiliki tiga fungsi dalam kehidupan manusia yaitu memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.

Metafungsi memiliki tiga komponen yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual. Sedangkan jika seseorang merealisasikan pengalamannya yang bukan merupakan pengalaman linguistik dapat berupa kenyataan dalam kehidupan manusia atau kejadian sehari-hari. Pengalaman bukan linguistik dan direalisasikan kedalam pengalaman linguistik terdiri dari tiga unsur yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan.

Sinar (2003) mengatakan bahwa ”Metafungsi bahasa mempunyai 3 (tiga) komponen yaitu interpersonal, ideasional dan tekstual adalah tiga makna abstrak (nuansa makna) yang dikandung dalam klausa atau teks.” Sumber ideasional berhubungan dengan pemahaman dari pengalaman : apa yang telah terjadi, termasuk apa yang dilakukan seseorang terhadap siapa, dimana, kapan, kenapa dan bagaimana hubungan logikal terjadi antara satu dengan yang lainnya. Sumber interpersonal membahas hubungan sosial: bagaimana masyarakat berinteraksi, termasuk perasaan saling berbagi di antara mereka dan sumber tekstual membahas alir informasi: cara

(8)

makna ideasional dan interpersonal disebarkan pada semiosis, termasuk interkoneksi antara aktivitas dan bahasa (tindakan, gambar, musik, dll).

Makna ideasional memiliki fungsi yang berhubungan dengan dunia realitas dalaman dan luaran; yaitu bahasa adalah memaparkan tentang sesuatu. Apabila seseorang mempunyai refleksi terhadap dunia fenomena diluar atau dunia dalaman kesadaran seseorang, representasi dari refleksi tersebut mengambil bentuk. Bentuk ini disebut fungsi eksperensial (experential). Selain fungsi eksperensial, di dalam konsep fungsi ideasional ada fungsi atau makna logis ”logical” yang menyimpan informasi tentang cara satu situasi berhubung dengan situasi lainnya.

Makna interpersonal memiliki fungsi sebagai klausa pertukaran yang merepresentasikan hubungan peran pertuturan. Apabila dua penutur menggunakan bahasa untuk berinteraksi, satu hal yang dilakukan mereka adalah menjalin hubungan sosial diantara mereka. Disini mereka mulai menyusun dua jenis peran atau fungsi pertuturan yang fundamental yaitu memberi dan meminta informasi. Sistem klausa direpresentasikan melalui struktur moda klausa yaitu modus dan residu

Makna tekstual merupakan sebuah interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai pesan, yaitu berfungsi sebagai pembentuk teks dalam bahasa. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual. Pada tingkat teks, makna ini terdiri dari bagaimana unsur-unsur interklausa di organisir untuk menyatukan suatu kesatuan seluruh teks untuk membuat makna-makna. Dengan menunjukkan

(9)

adanya fungsi tekstual pada sebuah teks yang diorganisir atau dibentuk. Makna tekstual bahasa dalam fungsinya sebagai sebuah pesan direalisasikan memalui sistem tema bahasa. Sistem tema dari sebuah klausa direpresentasikan oleh struktur tematik klausa yang terdiri dari tema dan rema.

Fungsi

Antarpersona Fungsi Tesktual

Pelibat

Medan Semantik Sarana (Wacana) Fungsi Negosiasi Eskperensial Ideasi/ Identifikasi Konjungsi Lexicogrammar Mood Tema / Transitivitas/ Rema Ergativitas Fonologi/ Grafologi/ Tanda

Bagan 1 : Konstruk Analisis Berdasarkan Saragih (2010:43)

Ideologi

Budaya

(10)

Konteks sosial terjadi dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Ketiga unsur konteks sosial tersusun di atas teks. Bahasa, terdiri atas tiga bagian atau tingkat, yakni semantik, tata bahasa atau leksikogramar, dan ekspresi. Ekspresi dapat berupa bunyi (fonologi), tulisan (grafologi), atau isyarat. Ketika unsur bahasa dan ketiga unsur konteks sosial membentuk semiotik yang berstrata banyak (multistratified semiotics), Anak panah menunjukkan arah realisasi, yakni ideologi direalisasikan budaya, yang selanjutnya direalisasikan oleh situasi, yang seterusnya direalisasikan oleh semantik, yang selanjutnya direalisasikan oleh leksikogramar, yang akhirnya diekspresikan oleh fonologi, grafologi, atau isyarat.

Secara rinci pada fungsi ideasional direalisasikan oleh Medan makna, fungsi anatarpersona direalisasikan oleh Pelibat, dan fungsi tekstual direalisasikan oleh Sarana atau Cara. Pada strata budaya tidak ada pemisahan realisasi ketiga unsur metafungsi. Strata Budaya mengatur atau menentukan unsur medan apa yang ditetapkan bergabung dengan pelibat, dan sarana tertentu. Dengam kata lain, budaya mengatur apa (medan) yang boleh dilakukan siapa (pelibat) dan dengan (sarana) atau cara bagaimana. Strata ideologi merupakan unsur tertinggi yang menentukan budaya. Realisasi ketiga metafungsi bahasa terdapat pada strata ideologi. Spesifikasi realisasi masing-masing unsur metafungsi terjadi pada strata situasi, semantik (wacana), dan leksikogramar atau tata bahasa.

(11)

2.4 Modalitas

Modalitas adalah sarana linguistik yang memungkinkan penutur dapat mengekspresikan ujaran yang berbeda-beda dari komitmen atau keyakinan pada suatu proposisi yang diucapkannya. Keraf dalam Ramadian (1995:16) menamakan modalitas denga keterangan kecaraan. Keraf membagi Modalitas atas tujuh bagian yaitu : 1) kepastian, 2) kesangsian, 3) pengakuan, 4) keinginan, 5) ajakan, 6) larangan dan 7) keherananan.

Menurut pandangan Halliday (1994 :75) “modality means the speaker’s judgement of the probabilities or the obligations, involved in what he is saying”. Maksudnya modalitas merupakan pertimbangan pemakai bahasa berupa kemungkinan atau keharusan terhadap apa yang disampaikannya.

Menurut Saragih (2001 : 79) “modalitas adalah pandangan, pendapat pribadi, sikap atau komentar pemakai bahasa terhadap paparan pengalaman yang disampaikannya dalam interaksi.” Modalitas, sebenarnya tidak punya arti khusus, tetapi bertugas untuk menunjukkan cara (modus) yang digunakan seseorang untuk menyatakan makna pikirannya atau bahkan upayanya untuk mengubah arti suatu ungkapan. Misalnya pada kalimat ’saya ingin mandi’, mengandung pengertian bahwa si pembicara bermaksud untuk membersihkan diri karena sudah terlalu lelah selama perjalanan jauh yang telah ditempuhnya, sedangkan pada kalimat ’saya ingin kamu segera mandi’ menyatakan separuh perintah pada lawan bicara untuk mandi agar kelihatan bersih atau agar tidak terlambat pergi sekolah, misalnya.

(12)

Modalitas adalah makna yang merupakan pendapat pribadi, pertimbangan, ‘bumbu’, atau ‘penyedap’ makna yang disampaikan dalam klausa, yang berbeda dari seseorang ke orang lain. Modalitas ‘memberi bumbu’ atau ‘memberi penyedap’ terhadap fugsi ujar, dan terletak antara titik atau polar positif dan negatif sesuatu fungsi ujar.

Dengan demikian modalitas adalah makna antara ya dan tidak. Jika makna ya menunjukkan kegiatan atau aktifitas yang berlangsung sepenuhnya atau 100% dan makna tidak menunjukkan kegiatan atau aktifitas tidak berlangsung atau 0%, modalitas menunjukkan eksekusi atau pelaksanaan kegiatan atau aktifitas antara 0% sampai 100%. Antara ya dan tidak terdapat sejumlah makna, seperti ingin, mau, bermaksud, mungkin, akan, berencana, dan pasti. Modalitas mengodekan pengalaman subjektif. Dalam klausa ”Dia pasti datang” yang dikatakan seseorang, makna pasti itu belum tentu pasti pada seseorang menjadi mungkin atau akan pada orang lain. Dengan kata lain, sesuatu modalitas tingkat tinggi pada seseorang mungkin masih merupakan modalitas tingkat rendah atau tengah pada orang lain. Dengan kata lain, modalitas menyampaikan pengalaman berbeda – beda pada masing – masing orang.

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sejumlah istilah yang diperkenalkan oleh Saragih (2001). Hal ini disebabkan karena istilah yang digunakan oleh Saragih lebih sistematis dan lebih tepat karena telah diaplikasikan dalam bahasa Indonesia.

(13)

2.4.1 Jenis Modalitas

Berdasarkan jenisnya Halliday (1994:88-89) mengatakan bahwa modalitas dapat dibedakan menurut jenisnya, yaitu modalization dan modulation. Kedua jenis modalitas tersebut dapat diraliasasikan menjadi: 1) probability : ‘possibly, probably dan certainly’ dan 2) usuality : ‘sometimes, usually dan always’ sedangkan modulation direalisasikan oleh i) obligation :’allowed to, supposed to, required to’ dan ii) inclination : ‘willing to, anxious to dan determined to’.

(14)

Saragih (2001:80) menyatakan bahwa secara garis besar berdasarkan jenisnya, modalitas terdiri atas.

1. Modalisasi (modalization) yang merupakan pendapat atau pertimbangan pribadi pemakai bahasa terhadap proposisi (proposition) yaitu informasi yang dinyatakan atau ditanyakan.

2. Modulasi (modulation) yang merupakan pendapat atau pertimbangan pribadi terhadap proposal (proposal) yaitu barang dan jasa yang ditawarkan atau diminta. Keduanya terletak antara polar positif ‘ya’ dan polar negative ‘tidak’ dari setiap aksi.

Modalisasi terjadi dari Kemungkinan dengan tingkat-tingkat kemungkinan terjadinya sesuatu kegiatan atau aktifitas dan Keseringan dengan tingkat-tingkat seringnya sesuatu aktifitas atau kegiatan berlangsung. Modulasi terdiri atas Keharusan dengan tingkat-tingkat pentingnya sesuatu kegiatan atau aktifitas dilakukan dan Kecenderungan dengan tingkat-tingkat keterpanggilan atau keterikatan seseorang dalam hatinya untuk melakukan sesuatu kegiatan atau aktifitas.

2.4.2 Nilai Modalitas

Saragih (2001:92) menyatakan berdasarkan nilai (value), tingkat kemungkinan terjadi atau tingkat kedekatannya terhadap ‘ya’ atau ‘tidak’, masing – masing unsur modalitas, seperti probabilitas, keseringan dan kecenderungan dapat digolongkan ke dalam tiga tingkat yaitu:

(15)

1. Tinggi, yakni aksi yang paling dekat ke polar ‘ya’ dan paling mungkin terjadi,

2. Menengah, yakni aksi antara tingkat tinggi dan rendah, dan

3. Rendah, yakni aksi yang paling dekat ke polar ‘tidak’ dan paling mungkin tidak terjadi.

Masing-masing dari keempat jenis Modalitas itu (Kemungkinan, Keseringan, Keharusan, dan Kecenderungan) dibagi atas tiga kelompok berdasarkan intensitas atau nilainya untuk tujuan praktis, yakni tingkat Tinggi yang dekat ke titik ya atau titik kegiatan atau aktifitas dilakukan dan tingkat Rendah yang dekat ke titik tidak atau titik kegiatan atau aktifitas tidak dilakukan. Antara kedua titik Tinggi dan Rendah terdapat titik Tengah.

Berikut ini adalah bagan jenis dan nilai modalitas yang dikutip dari Saragih (2001:81)

Tabel 3. Jenis dan Nilai Modalitas Polar Positif Modalitas

Probabilitas Keseringan Keharusan Kecenderungan

Tinggi Pasti Selalu Wajib Ditetapkan

Menengah Mungkin Bisa Diharapkan Mau

Rendah Barangkali Kadang-kadang Boleh Ingin

Polar Negatif

2.4.3. Realisasi Modalitas

Modalitas pada lazimnya direalisasikan oleh unsur leksikal atau kata, seperti pada ‘akan’, ‘harus’, ‘sering’, ‘mau’, ‘ingin’, dan‘pasti’ yang memodifikasi

(16)

predikator. Modalitas lazimnya menyatu dengan klausa, seperti dalam klausa “Dia

pasti datang hari ini.” Jika modalitas direlokasi dengan pengertian dikodekan oleh

klausa tersendiri sehingga terbentuk klausa kompleks, pengodean modalitas ini disebut metafora. dalam ‘dia akan datang’, ‘dia pasti datang’. Akan tetapi modalitas dapat direaliasasikan oleh frase dan klausa.

Metafora modalitas merupakan relokasi pertimbangan pribadi, pendapat, atau perasaan ke dalam klausa yang lazimnya direalisasikan oleh kata. Dengan kelazimannya sebagai pendapat pribadi atau komentar terhadap fungsi ujar dengan realisasinya kata, modalitas, seperti ‘mungkin’, ‘akan’, ‘pasti’, ‘jarang’, ‘kadang – kadang’, ‘sering’, ‘selalu’, ‘harus’, ‘ingin’, ‘diharapkan’, ‘wajib’, ‘cenderung’ dan lain sebagainya. Pemicu pertama metafora adalah perubahan bahasa lisan menjadi bahasa tulisan yang mengakibatkan kepadatan leksikal dan akhirnya menyangkut nominalisasi. Nilai modalitas yang merupakan tingkat intensitas reaksi emosi pemakai bahasa dalam modalitas mencakupi area yang sangat luas. Area arti itu secara rinci dapat mencakup pertimbangan, perspektif, sikap atau pendapat pribadi pembicara berkenaan dengan informasi serta barang dan jasa yang dipertukarkan. Dengan cakupan yang luas modalitas direalisasikan oleh unsur leksikal, frase, klausa dan aspek linguistik lain seperti bunyi dan partikel.

Modalitas dapat dikodekan oleh kata. Jenis kata adverbial, adjektiva, verba, nomina dan kata bantu (auxiliary) khususnya dalam bahasa Inggris. Berikut ini adalah contoh penggunaannya .

(17)

a. Adverbia

1. Dengan pasti dia mengerjakan tugas itu. 2. Dengan ragu dia menemui pacarnya. 3. Secara pasti dia berjalan.

b. Adjektiva

1. Dia sering datang 2. Saya ragu dia datang 3. Dia sering datang c. Nomina

1. Ada kepastian dia datang

2. Terjadi keraguan apakah dia datang d. Verba

1. Saya terpanggil melakukan tugas itu 2. Kami diwajibkan datang

3. Dia diharapkan datang

Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Frase dapat merealisasikan modalitas seperti : Di dalam keraguan dia melakukan tugas itu. Disamping keraguan, ada kepastian dia datang.

Klausa adalah satuan sintaksis yang merupakan unit bahasa tertinggi dan sempurna berupa runtunan kata – kata berkonstruksi predikatif sekaligus membawa

(18)

ketiga metafungsi bahasa. Klausa merupakan tataran frase dan dibawah tataran kalimat.

Contoh realisasi modalitas dalam klausa : 1. Saya ragu dia datang.

2. Saya yakin ada penyelesaiannya.

Modalitas adalah makna yang merupakan pendapat pribadi, pertimbangan, ‘bumbu’, atau ‘penyedap’ makna yang disampaikan dalam klausa, yang berbeda dari seseorang ke orang lain. Modalitas ‘memberi bumbu’ atau ‘memberi penyedap’ terhadap fugsi ujar, dan terletak antara titik atau polar positif dan negatif sesuatu fungsi ujar

Modalitas dapat juga direalisasikan oleh aspek budaya seperti warna, simbol. Misalnya, dalam klausa ”dia memakai baju kuning” yang berarti kecemburuan. Kecemburuan adalah modalitas, bagian dari probabilitas. Demikian juga intonasi suara. Pertanyaan kepasrian (question tag) seperti kan, bukan juga merupakan modalitas.

Contoh :

1. Dia datang kan? 2. Dia datang, bukan?

2.5. Teks

Istilah wacana selalu diartikan dalam istilah teks. Kedua istilah ini selalu diartikan sama. Pembahasan pengertiannya menjadi rancu, bercampur baur digunakan

(19)

secara bersamaan yang mengandung arti yang sama oleh penutur dan penulis, oleh karena itu, konsep wacana dan teks sukar dicari batasan yang jelas.

Halliday dan Hasan (1985:10) mengatakan bahwa teks adalah unit dari penggunaan bahasa. Bukan unit gramatika seperti klausa dan kalimat; dan bukan didefinisikan mengikuti ukurannya.

Pandangan Halliday juga mengatakan bahwa teks menggunakan bahasa yang sumbernya dari sarana lisan dan tulisan dengan ukuran sepanjang apapun, yang membentuk satuan keseluruhan.

Sebagai unit bahasa teks terdiri atas tanda – tanda dan merepresentasikan kejadian – kejadian yang dialami manusia atau benda – benda dan keadaan yang bermakna, simbol – simbol yang mengkonstruksikan isi / bentuk dan menghasilkan struktur dan mempunyai kesatuan tekstur. Tekstur teks menghasilkan pesan yang kohesif dan koheren. Aspek kohesi dan koherensi tekstual memegang peranan penting menunjukkan penyatuan wacana di dalam bahasa dan menandai keterikatan teks secara bersama sebagai potensi yang digunakan penutur dan penulis wacana. Pengertian wacana secara umum cenderung digunakan di dalam membicarakan hal-hal yang berorientasi kepada faktor sosial, sementara istilah teks cenderung digunakan dalam membicarakan hal-hal yang berdasarkan kepada bahasa.

Pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Teks terdiri atas makna – makna walaupun teks terdiri atas kata – kata dan kalimat. Teks pada dasarnya merupakan satuan makna. Teks harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan yaitu sebagai produk dan sebagai proses karena sifatnya sebagai satuan makna. Sebagai

(20)

produk, teks merupakan luaran, sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu teks dan dapat dideskripsikan dengan peristilahan yang sistemik. Teks juga merupakan suatu proses dalam pengertian bahwa teks terbentuk melalui proses pemilihan makna terus menerus.

Berdasarkan defenisi tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa teks menggunakan bahasa yang sumbernya dari sarana lisan dan tulisan dengan ukuran tidak terbatas; unit dari penggunaan bahasa; bukan unit tata bahasa (gramatikal unit) seperti kata, frase, klausa dan kalimat. Teks sebagai unit arti dapat direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa. Hal ini berarti bahwa teks dapat berupa satu naskah (buku), paragraf, klausa kompleks, klausa, frase, atau bunyi.

Hal yang penting mengenai sifat teks ialah bahwa meskipun teks itu bila dituliskan tampak seakan-akan terdiri dari kata-kata dan kalimat-kalimat, namun sesungguhnya terdiri dari makna-makna. Memang makna-makna itu harus diungkapkan atau dikodekan dalam kata-kata dan struktur dan selanjutnya dapat diungkapkan lagi, dikodekan kembali, dalam bunyi-bunyi atau lambang-lambang tulis. Teks itu harus dikodekan dalam sesuatu untuk dapat dikomunikasikan , tetapi sebagai sesuatu yang menandai teks itu pada dasarnya adalah satuan makna. Teks bukan sesuatu yang dapat diberi batasan seperti sejenis kalimat, melainkan lebih besar.

(21)

2.6. Kaba (Kabar)

Menurut Junus (1984:17) Kaba berbentuk prosa lirik. Bentuk ini tetap dipertahankan bila ia diterbitkan dalam bentuk buku. Kaba merupakan jenis sastra lisan Minangkabau yang berkembang dan dikenal oleh masyarakat. Pengertian kaba itu sendiri adalah cerita. Sebagai sastra lisan, kaba penyampaiannya diiringi dengan instrumen musik tradisional, seperti puput, seruling, gendang, rebab dan dulung. Akibat penyampaian secara lisan ini, tidak jarang isi ceritanya menjadi bervariasi.

Kesatuan Kaba bukan kalimat dan bukan baris. Kesatuannya ialah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari dua bagian yang berimbang. Keduanya dibatasi oleh caessura ’pemenggalan puisi’

Keadaan ini dapat terlihat pada contoh berikut.

lamolah maso / antaronyo //bahimpun / urang samonyo// hino mulie / miskin kayo // bahimpun / lareh nan panjang//

Menurut Rosyadi, dkk (1995:6) Bakaba merupakan perangkat adat Minangkabau yang memiliki peranan yang sangat penting, karena ia bukan hanya sekedar karya seni (seni vokal dan sastra), melainkan ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur adat dan budaya Minangkabau itu sendiri, dan menjadi media transformasi nilai – nilai budaya Minangkabau. Di dalam pergelaran, kaba tersebut disajikan dalam suasana reatrikal, sehingga dapat memberi nilai keindahan dan kenikmatan yang tidak akan dijumpai kalau dibaca dari buku. Kemampuan pemain instrumen dan keahlian tukang kaba dalam memberikan penekanan tertentu menciptakan suasana estetik tersendiri.

(22)

Dari segi isi, pada umumnya kaba bertolak dari mitos, namun pada perkembangan selanjutnya kaba mempersoalkan kenyataan hidup yang ditemukan dalam masyarakat sehari-hari, seperti masalah perkawinan, ketidaksetiaan, harta pusaka dan ketidakadilan. Contohnya Kaba Bujang Paman (1963) berhubungan dengan peristiwa yang benar – benar terjadi di Koto Anau, Solok. Kaba Siti Mariam (1962) tentang peristiwa yang terjadi antara Bukittinggi dan Medan, dsb.Bahasa kaba tidak sama dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Kaba menggunakan gaya bahasa yang lazim disebut prosa liris atau prosa berirama.

Disamping sebagai hiburan, dengan pengantar yang berbentuk pantun, tukang kaba mengisyaratkan tujuan penyampaian kaba kepada para pendengar dan pembaca yakni sebagai pedoman hidup.

Ada dua kelompok kaba, yang klasik dan tak klasik. Kaba klasik mempunyai ciri berikut :

1. Ceritanya mengenai perebutan kuasa antara dua kelompok, satu darinya adalah orang (dari luar) bagi suatu kesatuan keluarga.

2. Ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang jauh, tentang anak raja dengan kekuatan supranatural.

Sedangkan kaba tak – klasik mempunyai ciri yang lain lagi, yaitu :

1. Bercerita tentang seorang anak muda yang pada mulanya miskin, tapi karena usahanya dalam perdagangan ia berubah menjadi seorang yang kaya. Ia dapat

(23)

menyumbangkan kekayaannya bagi kepentingan keluarga matrilinealnya, sehingga ia berbeda dari mamaknya.

2. Ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang dekat, akhir abad 19 atau permulaan abad 20. Ia bercerita tentang manusia biasa, tanpa kekuatan supranatural.

Perbedaan kaba klasik dan tidak klasik adalah kaba klasik mungkin dapat ditemui dalam bentuk naskah atau dalam bentuk tradisi lisan. Tapi tak demikian halnya dengan kaba tak klasik yang ditemui dalam bentuk bercetak. Contoh kaba klasik adalah Cindue Mato, Anggun Nan Tungga, Manjau Ari, Malin Deman, Umbuik Mudo, Sabai Nan Aluih, dll. Contoh kaba tak klasik adalah Amai Cilako, Siti Nurlela, dan Siti Mariam.

2.7. Klausa

Menurut pandangan LFS, dalam Saragih (2001:3) klausa adalah unit tata bahasa yang tertinggi dan sempurna, karena klausa sekaligus membawa ketiga metafungsi bahasa.

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata – kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai subjek, sebagai predikat, dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek boleh dikatakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh:

(24)

1. kamar mandi 2. adik mandi

Maka dapat dikatakan konstruksi kamar mandi bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen kamar dan komponen mandi tidaklah bersifat predikatif. Sebaliknya, konstruksi adik mandi adalah sebuah klausa karena hubungan komponen adik dan komponen mandi bersifat predikatif; adik adalah pengisi fungsi subjek dan mandi adalah pengisi fungsi predikat.

Dari semua unit bahasa (morfem, kata, frase / grup, dan klausa), hanya klausa yang sekaligus merealisasikan aksi bersamaan dengan arti lain (paparan dan perangkaian) sehingga dapat dikatakan klausa adalah unit tata bahasa yang secara lengkap merealisasikan makna paparan, pertukaran dan perangkaian sekaligus. Klausa bersifat multifungsi dengan pengertian satu klausa dapat dianalisis dari berbagai segi.

2.8 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan kajian pada penelitian ini sebagai berikut.

1. Syifa Asriany (2003) dalam tesis “Modalitas pada Cerita Rakyat Karo Seri Turi-Turin Karo Beru Dayang Jile-Jile Suatu Kajian Fungsional Sistemik” melakukan penelitian modalitas pada cerita rakyat karo. Penelitian ini mendeskripsikan pemakaian modalitas pada cerita tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori LFS oleh Halliday (1994) dan

(25)

Saragih (2001) yang menyatakan bahwa modalitas adalah pandangan, pendapat pribadi atau komentar pemakai bahasa terhadap paparan pengalaman yang disampaikannya dalam interaksi berupa kemungkinan atau keharusan. Modalitas terdiri atas modalisasi dan modulasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa cerita rakyat karo menggunakan modalitas. Selanjutnya jenis modalitas yang paling dominan digunakan adalah jenis modalitas modulasi yang bersifat subjektif dengan tingkat keseringan kemunculan modalitas yang tinggi terdapat pada jenis cerita turi – turin padan pengindo (TTPP).

2. Meisuri (2009) dalam jurnal “ Penggunaan Modalitas dalam Bahasa Minangkabau” melakukan penelitian modalitas pada bahasa masyarakat Minangkabau. Penelitian ini mendeskripsikan empat bentuk modalitas di dalam penggunaannya dalam bahasa Minangkabau, serta apakah terdapat unsur lain dari modalitas yang dianggap penting di dalam bahasa Minangkabau. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Semantis menurut Bloomfield (1933) yang menyatakan bahwa modalitas merupakan salah satu fenomena kesemestaan bahasa, dan ini berarti bahwa setiap bahasa alami pasti mempunyai unsur-unsur leksikal dalam tuturannya, meskipun masih tetap terdapat ciri – cirri khusus modalitas pada bahasa yang berlainan. Modalitas dibagi menjadi 4 jenis yaitu intensional, epistemik, deontik, dan dinamik. Kajiannya pada buku – buku teks. Datanya diambil dari 4 (empat) orang responden, dan hasilnya adalah kata tugas pembantu modal

(26)

mengandung makna sikap penutur terhadap sesuatu kejadian atau keadaan. Modalitas waktu “KALA” yang menggambarkan tahapan waktu terjadinya peristiwa dan keadaan dengan penggunaan pemarkah leksikal seperti ‘ka’, ‘sadang’, ‘alah’ dan ‘alun’.

3. Nilzami (2009) dalam jurnal “Modalitas dalam Bahasa Minangkabau”. Penelitian ini mengkaji apakah bahasa Minangkabau mempunyai pengungkap modalitas yang berkaitan dengan subkategori modalitas intensional, epistemik, deontik dan dinamik. Teori yang digunakan yaitu teori semantis menurut Quirk et al dan Perkins yang menghubungkan modalitas boulomaik dengan kaidah psikologis yang dianggapnya merupakan bagian dari hukum alam berdasarkan pada subkategorisasi modalitas itu juga menyangkut disposisi terhadap keberlangsungan peristiwa non aktual . Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Teknik pengumpulan datanya adalah dengan mengumpulkan data dengan mencatat dari interview informan yang bahasa ibunya Bahasa Minangkabau dan juga disertai dengan kajian pustaka. Maka hasilnya dapat ditemukan bahwa modalitas adalah cakupan terminologi pada penutur yang memungkinkan penutur atau pembicara untuk mengekspresikan tataran yang berbeda-beda dari komitmen atau keyakinan pada suatu proposisi yang diucapkannya. Bentuk yang menggambarkan modalitas dari sikap pembicara dengan mensubkategorisasikan modalitas yaitu modalitas intensional, modalitas epistemik, modalitas deontik, modalitas dinamik.

Gambar

Tabel 3. Jenis dan Nilai Modalitas  Polar Positif Modalitas

Referensi

Dokumen terkait

dimunculkan oleh individu didasari oleh adanya intensi perilaku korupsi/anti- korupsi yang didalamnya terjadi sinergi tiga faktor kognisi, afeksi dan

2008 Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) Gelombang 2, 27 Oktober 5 November P4TK Seni dan Budaya Yogyakarta. 2008 Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) Gelombang

Kegiatan analisis data pada tahap ini adalah menarik kesimpulan dan verifikasi.Analisis yang dilakukan selama pengumpulan data dan sesudah pengumpulan data digunakan untuk

Dalam penelitian ditentukan ukuran kapasitas MTR, kapasitas tambahan LVR dan rectifier , ukuran kapasitor bank, analisis aliran daya, distorsi harmonik dan kondisi

Langkah-langkah yang dilakukan Utsman bin Affan menjadi khalifah, diantaranya: adalah dengan mengirimkan surat kepada gubernur, panglima perang,

“Sebelum model jilbab yang sekarang , dulu anak- anak setiap jam saya pasti memakai jilbab walaupun setelah itu dilepas. Bahkan kalau ada yang tidak pakai jilbab

Upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas suplai MTR menjadi 230 MVA , penambahan LVR dan rectifier dengan suplai arus sebesar 45 kA dan

Dalam kegiatan pembelajaran, bagi peserta didik yang sudah mencapai kompetensi yang ditentukan yaitu menghayati nilai-nilai perjuangan Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati,