• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul Sejarah Kelas XI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modul Sejarah Kelas XI"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

MASA KERAJAAN-KERAJAAN HINDU-BUDHA DAN

KERAJAAN ISLAM

Standar Kompetensi :

 Memahami Perkembangan Masyarakat Sejak Masa Hindu-Buddha

Kompetensi dasar

:

 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan pemerintahan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia serta peninggalan-peninggalannya

A. Peranan Perdagangan Internasional

Hubungan internasional antara Indonesia dengan bangsa-bangsa di Asia Barat, Asia Selatan, dan Cina sudah tercipta sejak lama. Hubungan internasional itu terjadi karena Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional. Karena posisinya yang strategis, Indonesia memiliki bandar-bandar perdagangan yang disinggahi kaum pedagang. Mereka inilah yang berperan dalam menyebarkan ajaran agama dan kebudayaan, seperti Hindu-Buddha, Islam, dan Kristen. Jalur perdagangan yang digunakan ialah jalur perdagangan melalui laut (dikenal sebagai Jalur Emas), dan jalur perdagangan melalui darat (dikenal sebagai Jalur Sutra). Adapun jalur laut melalui Maluku - Malaka - Gujarat (India) - Persia atau ke Laut Merah, kemudian dibawa oleh pedagang melalui gurun pasir ke pantai Laut Tengah (Mediternia),

(2)

dari sini dibawa oleh bangsa Eropa dengan kapal ke Venesia dan pelabuhan Lisabon di Spanyol.

Jalur darat melalui Malaka - daratan China dibawa oleh pedagang dengan kendaraan darat seperti onta, kuda, dan keledai menuju ke Persia. Dari Persia, barang dagangan dibawa ke pantai Laut Tengah dan selanjutnya oleh bangsa Eropa dibawa dengan kapal ke Venesia dan Lisabon di Spanyol. Kedua jalur itu merupakan jalur perjalanan pedagang dan barang dagangannya yang berasal dari Barat dibawa ke Timur, dan sebaliknya. Perdagangan melalui jalur itu juga dipengaruhi oleh adanya Angin Muson Barat Laut dan Angin Muson Tenggara. Pergantian kedua jenis angin tersebut memakan waktu 6 bulan sekali sehingga memengaruhi perjalanan kapal maupun darat.

B. Hindu-Budha dan Perkembangannya di Indonesia

Hindu-Buddha merupakan dua agama yang berasal dari satu negara berpenduduk padat di dunia, India. Dari India, agama ini kemudian menyebar

(3)

ke berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, kedua agama ini masih hidup dan berkembang sampai saat ini. Sebelum kita melihat lebih jauh tentang persebaran agama Hindu-Buddha, kita akan meninjau sejenak sejarah berdirinya kedua agama tersebut.

1. Agama Hindu

Agama Hindu berasal dari India. Agama ini merupakan perpaduan antara agama yang dianut oleh bangsa Arya dan bangsa Dravida. Bangsa Arya yang berasal dari Asia Tengah berhasil mendesak bangsa asli India, Dravida. Terjadi pembauran antara bangsa Arya dan bangsa Dravida yang selanjutnya menurunkan generasi yang disebut bangsa Hindu. Kata hindu berasal dari kata sindhu (bahasa Sanskerta) yang berarti sungai. Kata ini mengacu pada Sungai Indus yang menjadi sumber air bagi kehidupan di sekitarnya. Sumber ajaran agama Hindu terdapat dalam kitab suci Weda (terdiri atas empat kitab), Brahmana (merupakan tafsir dari kitab Weda), dan Upanisad (memuat dasardasar filsafat hubungan antara manusia dan TUHAN). Kata weda berasal dari kata vid artinya tahu. Weda atau veda berarti pengetahuan suci. Kitab ini ditulis ketika bangsa Arya menduduki Punjam, 3.000 tahun sebelum Masehi.

Dewa-dewa utama dalam ajaran Hindu ialah Dewa Trimurti (kesatuan dari tiga dewa). Ketiga dewa tersebut ialah:

(1) Dewa Brahma. Brahma bertugas menciptakan alam semesta dan mengatur segala peristiwa di dunia. Kendaraannya berupa angsa.

(2) Dewa Wisnu. Wisnu bertugas memelihara alam semesta. Kendaraannya berupa seekor burung

(4)

(3) Dewa Syiwa. Syiwa bertugas sebagai perusak semua yang tidak lagi berguna di alam. Kendaraannya seekor lembu.

Pemujaan terhadap para dewa dipimpin oleh seorang pendeta yang disebut brahmana. Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:

1. Widhi Tattwa: percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya 2. Atma Tattwa: percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk

3. Karmaphala Tattwa: percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan

4. Punarbhawa Tattwa: percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)

5. Moksa Tattwa: percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia

Omkara, simbol suci bagi umat Hindu yang melambangkan Brahman (Tuhan) Yang Mahakuasa. Sumber: www.wikipedia.org

Dalam masyarakat Hindu, dikenal lima kasta atau kelas, yaitu: (1) Brahmana: terdiri atas pemimpin agama atau pendeta

(5)

(2) Ksatria: terdiri atas para bangsawan, raja dan keturunannya, serta prajuritprajuritnya

(3) Waisya: terdiri atas pengusaha dan pedagang (4) Sudra: terdiri atas para petani dan pekerja kasar

(5) Paria: terdiri atas gelandangan (orang yang haram untuk disentuh)

Tempat suci umat Hindu antara lain kota Benares yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya Dewa Syiwa. Sungai Gangga dianggap keramat dan suci karena air Sungai Gangga dianggap dapat mensucikan abu jenazah yang dibuang ke dalamnya. Hari raya umat Hindu ialah Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, Nyepi, dan Siwaratri.

2. Agama Buddha

Agama Buddha juga berasal dari India. Agama ini timbul sebagai reaksi masyarakat terhadap peran kaum Brahmana yang dianggap terlalu berlebihan dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka. Agama ini didasarkan pada ajaran Sidharta Gautama. Sidharta Gautama digelari Sang Buddha (orang yang mendapat pencerahan) karena ia mendapat penerangan yang sempurna setelah bertapa di tengah hutan.

Sang Buddha dan arca Buddha di Candi Borobudur

Agama Buddha tidak mengakui pembagian kasta dalam masyarakat. Menurut ajaran Buddha, setiap orang punya hak dan kesempatan yang sama untuk mencapai kesempurnaan asalkan ia mampu mengendalikan dirinya sehingga bebas dari samsara. Penderitaan dapat dihentikan dengan cara menindas trisna (nafsu). Nafsu dapat ditindas melalui delapan jalan (astavidha), yaitu pandangan (ajaran) yang benar, niat atau sikap yang benar, berbicara yang benar, berbuat atau bertingkah laku yang benar, penghidupan yang benar, berusaha yang benar, memerhatikan hal-hal yang benar, dan

(6)

bersemedi yang benar. Pemeluk agama Buddha wajib melaksanakan tiga ikrar (Tri Ratna), yaitu: berlindung kepada Buddha, berlindung kepada Dharma (ajaran) agama Buddha, dan berlindung kepada Sanggha (perkumpulan) masyarakat pemeluk agama Buddha. Kitab suci agama Buddha ialah Tripitaka (Tiga Keranjang) yang terdiri atas Vinayapitaka (berisi tentang bermacam-macam aturan hidup dan hukum penentu cara hidup pemeluknya), Sutrantapitaka (berisi tentang pokok-pokok wejangan Sang Buddha), dan Abdhidharmapitaka (berisi tentang penjelasan dan kupasan mengenai sosial beragama atau falsafah agama). Umat Buddha merayakan Hari Raya Triwaisak, yang merupakan peringatan kelahiran, menerima bodhi, dan wafatnya Sang Buddha yang bertepatan dengan saat bulan purnama pada bulan Mei.

Vihara, tempat beribadah umat Buddha

Agama Buddha terbagi atas dua aliran. Pertama, Mahayana yang mengajarkan bahwa untuk mencapai Nirwana, setiap orang harus mengembangkan sikap kebijaksanaan dan sifat welas asih. Kedua, Hinayana yang mengajarkan bahwa untuk mencapai Nirwana, sangat bergantung pada usaha diri melakukan meditasi. Agama Buddha mencapai puncak kejayaannya pada zaman kekuasaan Raja Asoka (273-232 SM) yang menetapkan agama Buddha sebagai agama resmi negara. Tempattempat suci umat Buddha antara lain Bodh-Gaya, tempat bersemedi Sidharta Gautama.

(7)

Untuk memahami bagaimana proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia, kita perlu mengkaji pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut merupakan sebuah hipotesis (dugaan sementara) yang masih memerlukan pembuktian yang akurat. Akan tetapi hipotesis-hipotesis tersebut sangat berguna dalam memberikan pemahaman pada kita tentang bagaimana proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Tugas kamu untuk menganalisis lebih lanjut hipotesis-hipotesis tersebut, sehingga kamu dapat memilih salah satu hipotesis yang menurut kamu paling mendekati kebenaran. Tentu saja pilihan kamu harus dilandaskan pada argumentasi dan logika yang kuat disertai dengan data, fakta dan bukti-bukti yang akurat.

Berikut ini adalah hipotesis-hipotesis yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Hipotesis-hipotesis tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu teori kolonisasi dan teori arus balik.

1. Teori kolonisasi.

Teori ini berusaha menjelaskan proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia dengan menekankan pada peran aktif dari orang-orang India dalam menyebarkan pengaruhnya di Indonesia. Berdasarkan teori ini, orang Indonesia sendiri sangat pasif, artinya mereka hanya menjadi objek penerima pengaruh kebudayaan India tersebut. Teori kolonisasi ini terbagi dalam beberapa hipotesis, yaitu sebagai berikut.

a. Hipotesis Waisya

Menurut NJ. Krom, proses terjadinya hubungan antara India dan Indonesia karena adanya hubungan perdagangan, sehingga orang-orang India yang datang ke Indonesia sebagian besar adalah para pedagang. Perdagangan yang terjadi pada saat itu menggunakan jalur laut dan teknologi perkapalan yang masih banyak tergantung pada angin musim. Hal ini mengakibatkan dalam proses tersebut, para pedagang India harus menetap dalam kurun waktu

(8)

tertentu sampai datangnya angin musim yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan. Selama mereka menetap, memungkinkan terjadinya perkawinan dengan perempuan-perempuan pribumi. Mulai dari sini pengaruh kebudayaan India menyebar dan menyerap dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pendapat Krom tersebut didasarkan penelaahan dia pada proses Islamisasi di Indonesia yang dilakukan oleh para pedagang Gujarat. Bukan hal yang mustahil, proses masuknya budaya Hindu-Buddha di Indonesia dilakukan dengan cara yang sama. Namun, teori ini memiliki kelemahan, yaitu para pedagang yang termasuk dalam kasta Waisya tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang umumnya hanya dikuasai oleh kasta Brahmana. Namun bila menilik peninggalan prasasti yang dikeluarkan oleh negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, sebagian besar menggunakan bahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Dengan demikian, timbul pertanyaan: Mungkinkah para pedagang India mampu membawa pengaruh kebudayaan yang sangat tinggi ke Indonesia, sedangkan di daerahnya sendiri kebudayaan tersebut hanya milik kaum Brahmana? Selain itu, terdapat kelemahan lain dalam hipotesis ini yaitu dengan melihat peta persebaran kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia yang lebih banyak berada di pedalaman. Namun apabila pengaruh tersebut dibawa oleh para pedagang India, tentunya pusat kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha akan lebih banyak berada di daerah pesisir pantai.

b. Hipotesis Ksatria

Ada tiga ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai proses penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Buddha dilakukan oleh golongan ksatria, yaitu sebagai berikut.

1) C.C Berg

C.C. Berg mengemukakan bahwa golongan yang turut menyebarkan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia adalah para petualang yang sebagian besar berasal dari golongan Ksatria. Para Ksatria ini ada yang terlibat konflik

(9)

dalam masalah perebutan kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para Ksatria ini sedikit banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku yang bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang dinikahkan dengan salah seorang putri dari kepala suku yang dibantunya. Dari perkawinannya ini memudahkan bagi para Kesatrian untuk menyebarkan tradisi Hindu Buddha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Berkembanglah tradisi Hindu-Buddha dalam masyarakat Indonesia.

2) Mookerji

Dia mengatakan bahwa golongan Ksatria (tentara) dari India yang membawa pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia. Para Ksatria ini kemudian membangun koloni-koloni yang akhirnya berkembang menjadi sebuah kerajaan. Para koloni ini kemudian mengadakan hubungan

perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di India dan mendatangkan para seniman yang berasal dari India untuk membangun candi-candi di Indonesia.

3) J.L Moens

Dia mencoba menghubungkan proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia pada awal abad ke-5 dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama. Perlu diketahui bahwa sekitar abad ke-5, banyak kerajaan-kerajaan di India Selatan yang mengalami kehancuran. Ada di antara para keluarga kerajaan tersebut, yaitu para Ksatrianya yang melarikan diri ke Indonesia. Mereka ini selanjutnya mendirikan kerajaan di kepulauan Nusantara.

Kekuatan hipotesis Ksatria terletak pada kenyataan bahwa semangat berpetualang pada saat itu umumnya dimiliki oleh para Ksatria (keluarga kerajaan). Sementara itu, kelemahan hipotesis yang dikemukakan oleh Berg, Moens, dan Mookerji yang menekankan pada peran para Ksatria India dalam proses masuknya kebudayaan India ke Indonesia terletak pada hal-hal sebagai berikut, yaitu:

(10)

1) Para Ksatria tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa.

2) Apabila daerah Indonesia pernah menjadi daerah taklukkan kerajaan¬kerajaan India, tentunya ada bukti prasasti (jaya prasasti) yang menggambarkan penaklukkan tersebut. Akan tetapi, baik di India maupun Indonesia tidak ditemukan prasasti semacam itu. Adapun prasasti Tanjore yang menceritakan tentang penaklukkan kerajaan Sriwijaya oleh salah satu kerajaan Cola di India, tidak dapat dipakai sebagai bukti yang memperkuat hipotesis ini. Hal ini disebabkan penaklukkan tersebut terjadi pada abad ke-11 sedangkan bukti-bukti yang diperlukan harus menunjukkan pada kurun waktu yang lebih awal.

c. Hipotesis Brahmana

Hipotesis ini menyatakan bahwa tradisi India yang menyebar ke Indonesia dibawa oleh golongan Brahmana. Pendapat ini dikemukan oleh JC.Van Leur. Berdasarkan pada pengamatannya terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan¬kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia, terutama pada prasasti¬prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa, maka sangat jelas itu adalah pengaruh Brahmana. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa kaum Brahmanalah yang menguasai bahasa dan huruf itu, sehingga pantas jika mereka yang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Akan tetapi, bagaimana mungkin para Brahmana bisa sampai ke Indonesia yang terpisahkan dengan India oleh lautan. Dalam tradisi agama Hindu terdapat pantangan bagi kaum Brahmana untuk menyeberangi lautan, sehingga hal ini menjadi kelemahan hipotesis ini.

2. Teori Arus Balik

Pendapat yang dikemukakan tersebut di atas mendapat kritikan dari F.D.K Bosch. Adapun kritikan yang dikemukakannya adalah sebagai berikut.

(11)

a. Berdasarkan pada peninggalan-peninggalan yang ada, ternyata teori kolonisasi tidak mempunyai bukti yang kuat. Untuk hipotesa Waisya, tidak terbukti bahwa kerajaan awal di Indonesia yang bercorak Hindu-Buddha ditemukan di pesisir pantai, melainkan terletak di pedalaman. Kritikan untuk hipotesa Ksatria, ternyata tidak ada jaya prasasti yang menyatakan daerah atau kerajaan yang ada di Indonesia pernah ditaklukkan atau dikuasai oleh para Ksatria dari India.

b. Bila ada perkawinan antara golongan Ksatria dengan putri pribumi dari Indonesia, seharusnya ada keturunan dari mereka yang ditemukan di Indonesia. Pada kenyataannya, hal itu tidak ditemukan.

c. Dilihat dari hasil karya seni, terdapat perbedaan pembangunan antara candi-candi yang dibangun di Indonesia dengan candi-candi yang dibangun di India.

d. Kritikan yang lain adalah dilihat dari sudut bahasa. Bahasa Sanskerta hanya dikuasai oleh para Brahmana, tetapi kenapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat pada waktu itu adalah bahasa yang digunakan oleh kebanyakan orang India.

Selanjutnya, F.D.K Bosch punya pendapat lain. Teori yang dikemukakan oleh Bosch ini dikenal dengan teori Arus Balik. Menurut teori ini, yang pertama kali datang ke Indonesia adalah mereka yang memiliki semangat untuk menyebarkan Hindu-Buddha, yaitu para intelektual yang ikut menumpang kapal-kapal dagang. Setelah tiba di Indonesia, mereka menyebarkan ajarannya. Karena pengaruhnya itu, ada di antara tokoh masyarakat yang tertarik untuk mengikuti ajarannya tersebut. Pada perkembangan selanjutnya banyak orang Indonesia sendiri yang pergi ke India untuk berkunjung dan belajar agama Hindu-Buddha di India. Sekembalinya di Indonesia, merekalah yang mengajarkannya kepada masyarakat Indonesia yang lain.

Bukti-bukti dari pendapat di atas adalah adanya prasasti Nalanda yang menyebutkan bahwa Balaputradewa (raja Sriwijaya) telah meminta kepada raja di India untuk membangun wihara di Nalanda sebagai tempat untuk menimba

(12)

ilmu para tokoh dari Sriwijaya. Permintaan raja Sriwijaya itu ternyata dikabulkan. Dengan demikian, setelah para tokoh atau pelajar itu menuntut ilmu di sana, mereka balik ke Indonesia. Merekalah yang selanjutnya menyebarkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia.

4. Pengaruh Agama Hindhu-Buddha di Indonesia

Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Buddha terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Aspek-aspek tersebut meliputi bidang sosial, teknologi, kesenian, juga pendidikan.

a. Bidang Sosial

Di bidang sosial, tradisi Hindu-Buddha berpengaruh terhadap sistem kemasyarakatan dan pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan asli Indonesia, masyarakat Indonesia tersusun dalam kelompok-kelompok desa yang dipimpin oleh kepala suku. Sistem itu kemudian terpengaruh oleh ajaran Hindu-Buddha. Timbul kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.

b. Bidang Teknologi

Perhatikanlah Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Dapatkah kamu bayangkan bahwa ratusan tahun yang lalu, telah ada teknologi yang mampu digunakan untuk membuat bangunan begitu indah? Peninggalan Hindu-Buddha dalam bidang seni bangunan (arsitektur) yang berkembang di Indonesia adalah yang berupa candi, yupa, dan prasasti. Candi di Indonesia berbentuk punden bertingkat yang digunakan sebagai makam raja dan bagian atas punden bertingkat itu dibuatkan patung rajanya. Adapun candi di India berbentuk stupa bulat yang digunakan sebagai tempat sembahyang atau memuja dewa. Candi yang bercorak Hindu antara lain Candi Prambanan dan Candi Dieng. Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Kalasan.

(13)

c. Kesenian

Kamu pernah melihat tarian Bali atau menyaksikan seni beladiri Kongfu? Itulah contoh pengaruh tradisi kebudayaan Hindu-Buddha yang masih kita temui saat ini. Pengaruh tradisi Hindu-Buddha di Indonesia tampak juga pada bidang kesenian, khususnya seni rupa dan seni sastra. Dalam bidang seni rupa, banyak kita ditemui hiasan-hiasan pada dinding candi (relief) yang sesuai dengan unsur India. Di bidang seni sastra, pengaruh tradisi Hindu Buddha terlihat pada penggunaan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta pada prasasti-prasasti. Ada juga hasil kesusastraan Indonesia yang sumbernya dari India, yaitu cerita Ramayana dan Mahabrata yang dijadikan lakon wayang. Banyak kitab Hindu-Buddha yang menjadi aset bangsa saat ini. Di antaranya Negarakertagama dan Barathayudha.

d. Bidang Pendidikan

Di bidang pendidikan, pengaruh tradisi Hindu-Buddha dapat kita lihat bahwa sampai akhir abad ke-15, ilmu pengetahuan berkembang pesat, khususnya di bidang sastra, bahasa, dan hukum. Kaum Brahmana adalah kelompok yang berwewenang memberikan pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat

(14)

Hindu-Buddha. Salah satu hasil dari perkembangan pendidikan, dikemukakan oleh I-Tsing, bahwa di Sriwijaya terdapat "universitas" yang dapat menampung ratusan mahasiswa biarawan Buddha untuk belajar agama.

5. Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha dan Peninggalannya

Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha yang berasal dari India menyebar ke Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, pengaruh Hindu-Buddha sangat besar sehingga muncul kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Banyak kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Indonesia. Kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kutai, Tarumanegara, Holing, Sriwijaya, Mataram Kuno, Kanjuruhan, Singosari, Kediri, Sunda, Bali, dan Majapahit. Beberapa di antaranya akan dijelaskan berikut ini.

A. Kerajaan Kutai

Perhatikan peta pada Gambar 6.10. Di manakah letak Kerajaan Kutai? Kerajaan Kutai terletak di Kalimantan Timur, daerah Muara Kaman di tepi Sungai Mahakam. Berdasarkan informasi yang ditemukan pada tujuh prasasti berupa yupa yang ditulis dengan huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta, diketahui bahwa Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan yang dikenal juga dengan sebutan Negeri Tujuh Yupa diperkirakan berdiri pada tahun 400 M. Dalam prasasti tersebut terdapat informasi yang menyangkut kehidupan politik, pemerintahan, sosial, budaya, dan ekonomi Kerajaan Kutai seperti berikut.

(15)

Raja pertama yang memerintah Kutai bernama Kudungga. Raja Kudungga memiliki putra bernama Aswawarman. Aswawarman memiliki putra Mulawarman. Dilihat dari nama, Kudungga bukanlah nama Hindu, tetapi nama Indonesia asli. Nama Aswawarman dan Mulawarman adalah nama-nama berbau Hindu. warman berarti pakaian perang. Penambahan nama itu diberikan dalam upacara penobatan raja secara agama Hindu. Keluarga Kudungga pernah melakukan upacara Vratyastoma, yaitu upacara Hindu untuk penyucian diri sebagai syarat masuk pada kasta Ksatria. Berdasarkan nama dan gelar yang disandangnya, Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu berawal dari pemerintahan Aswawarman. Setelah Raja Aswawarman, Kutai diperintah oleh Mulawarman, putranya pada abad ke-4. Raja Mulawarman disebutkan sebagai seorang raja besar yang sangat mulia dan baik budinya. Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai merupakan kerajaan yang kaya dan makmur. Sang Raja memberikan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.

B. Kerajaan Tarumanegara

Pada pertengahan abad ke-5 M, di daerah lembah Sungai Citarum, Jawa Barat terdapat kerajaan bernama Tarumanegara (Kerajaan Taruma). Tarumanegara merupakan kerajaan tertua di Jawa. Jika berita tentang Kutai kita peroleh dari yupa, berita tentang Tarumanegara kita peroleh dari prasasti dan berita Cina. Ada tujuh prasasti yang memuat tentang Kerajaan Tarumanegara. Perhatikan tabel prasasti berikut ini.

(16)
(17)

Dari catatan seorang musafir Cina, Fa-Hien, diperoleh keterangan bahwa pada tahun 414, terdapat kerajaan bernama To-lo-mo. Fa-Hien yang sedang melakukan perjalanan menuju India dan singgah di Ye-po-ti (Jawa) di To-lo-mo banyak terdapat orang Hindu, ada juga orang Buddha.

(18)

Dikatakan juga bahwa raja mempunyai kekuasaan sangat besar karena raja dianggap sebagai keturunan dewa.

C. Kerajaan Holing

Pada abad ke-7 berdiri suatu kerajaan yang bernama Kalingga / Holing. Letak kerajaan kalingga hingga kini belum dapat di pastikan. Hal itu di sebabkan karena adanya beberapa pendapat yang yang berbeda dalam membahas letak kerajaan tersebut, di antaranya :

a) Menurut berita Cina yang berasal dari Dinasti Tang menyebutkan bahwa letak kerajaan kalingga berbatasan dengan laut sebelah selatan, Tan-Hen-La (Kamboja) di sebelah utara, Po-Li (Bali) di sebelah timur, dan To-Po-Teng di sebelah barat. Nama lain dari Holing adalah Cho-Po (jawa) sehingga berdasarkan berita cina tersebut dapat di simpulkan bahwa kerajaan kalingga / holing terletak di pulau jawa, khususnya jawa tengah.

b) Dalam menentukan letak kerjaan kalingga / holing, J.L. Moens meninjau dari segi perekonomian, yaitu pelayaran dan perdagangan. Alasannya, selat malaka merupakan selat yang sangat ramai dalam aktivitas pelayaran perdagangan. Pendapat J.L. Moens ini di perkuat dengan di pertemukannya sebuah daerah di Semenanjung Malaya yang bernama Keling.

1. Aspek Kehidupan Pemerintahan Kerajaan Holing a) Kehidupan Politik

Berdasarkan berita cina di sebutkan bahwa kerajaan kalingga / holing di perintah oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Sima. Pemerintahan Ratu Sima sangat keras namun adil dan bijaksana. Kepada setiap pelanggar, Ratu Sima selalu memberikan sanksi yang tegas. Rakyat tunduk dan patuh terhadap segala perintah Ratu Sima bahkan tidak seorang pun rakyat maupun pejabat kerajaan yang melanggar segala perintahnya.

b) Kehidupan Ekonomi

Kehidupan perekonomian masyarakat kerajaan kalingga / holing

berkembang pesat. Masyarakat kerajaan kalingga telah mengenal hubungan perdagangan. Mereka menjalin hubungan perdagangan pada suatu tempat yang di sebut dengan pasar. Pada pasar itu, mereka mengadakan hubungan dengan teratur. Selain itu, kegiatan ekonomi masyarakat lainnya, di

antaranya bercocok tanam, menghasilkan kulit, penyu, emas, perak, cula badak, dan gading serta membuat garam. Kehidupan masyarakat holing tentram. Hal itu di sebabkan karena di Holing tidak ada kejahatan dan kebohongan. Berkat kondisi itu, rakyat Holing memperhatikan pendidikan. Hal itu terbukti dengan adanya rakyat Holing telah mengenal tulisan dan ilmu perbintangan.

(19)

c) Kehidupan Agama

Kerajaan kalingga merupakan kerajaan yang sangat terpengaruh oleh ajaran Budha. Oleh karena itu, Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing memiliki seorang pendeta yang bernama Jnanabhadra. Hal itu menyebabkan masyarakat Holing mayoritas beragama Budha.

Pada suatu hari, seorang pendeta Budha dari Cina berkeinginan

menuntut ilmu di Holing. Pendeta itu bernama Hou-ei-Ning. Ia pergi Holing untuk menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa Cina.

2. Sumber sejarah

1) Berita Dari Cina

Pendeta I-Tsing menyatakan bahwa pendeta Hwining dan Yunki (pembantu pendeta Hwining) pergi ke Holing pada tahun 664 untuk mempelajari ajaran agama Budha. Ia juga menerjemahkan kitab suci agama Budha dari bahasa sansekerta ke bahasa Cina. Kitab yang ia terjemahkan merupakan bagian terakhir dari kitab Varinirvana yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah sang Budha.

2) Prasasti Tukmas

3. Hubungan Kerajaan Holing dengan Kerajaan di Luar Negeri

Pada masa Chen-kuang, raja holing bersama raja To-ho-lo To-p’o-teng menyerahkan upeti ke Cina. Upeti tersebut disambut baik oleh kaisar Chen-kuang. Oleh karena itu, kaisar cina mengirimkan balasan yang dibubuhi cap kerajaan kepada mereka. Selain itu, kaisar cina juga memberikan kuda-kuda terbaik kepada raja To-ho-lo.

Pada tahun 813 Masehi, raja holing mengirim upeti lagi ke cina. Utusan tersebut mempersembahkan empat budak sheng-chih, burung kakatua, dan burung p’in- chiat serta benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga ia memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Tetapi utusan tersebut memohon agar gelar kehormatan itu diberikan kepada adiknya saja. Kaisar sangat terkesan dengan sikap utusan tersebut sehingga ia memberikan gelar kehormatan kepada keduanya.

4. Masa Kejayaan

Pada tahun 674 Masehi, kerajaan kalingga/holing diperintah oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Sima. Ratu sima merupakan raja yang terkenal di pemerintahan kerajaan holing. Dibawah kekuasaan Ratu sima ini, kerajaan kalingga/holing mengalami masa kejayaan. Pada saat itu, semua rakyat hidup dengan tenteram dan makmur. Mereka tunduk dan patuh terhadap segala perintah ratu sima bahkan tidak ada seorang pun rakyat atau pejabat kerajaan yang berani melanggarnya.

Pada suatu hari, ada seorang raja yang sangat penasaran dengan kejujuran rakyat holing. Raja itu bernama Raja Tache. Ia berkeinginan untuk menguji kejujuran rakyat holing. Untuk membuktikannya, raja Tache mengirim utusan

(20)

ke holing. Utusan tersebut diperintahkan untuk meletakkan pundi-pundi emas secara diam-diam di tengah jalan dekat keramaian pasar. Tetapi tidak ada seorang pun yang berani menyentuh pundi-pundi emas tersebut hingga 3 tahun lamanya. Namun, pada suatu hari sang putera mahkota sedang berjalan-jalan melewati pasar tersebut. Ketika berberjalan-jalan, kaki putera mahkota tidak sengaja menyenggol pundi-pundi emas. Salah seorang warga melihat kejadian itu dan ia melaporkan kepada pemerintah kerajaan. Laporan tersebut terdengar oleh ratu sima. Ia langsung memerintahkan kepada hakim untuk membunuh anaknya sendiri. Ratu sima menganggap itu merupakan tindakan kejahatan pencurian. Beberapa patih kerajaan tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh ratu sima. Mereka mengajukan pembelaan untuk putera mahkota kepda ratu sima. Mereka meminta agar putera mahkota tidak dibunuh melainkan hanya dipotong kakinya saja. Pembelaan patih kerajaan disetujui oleh ratu sima. Oleh karena itu, untuk menebus kesalahan kaki putera mahkota dipotong.

5. Peniggalan Kerajaan Holing

Salah satu peninggalan kerajaan kalingga / holing adalah prasasti tukmas. Prasasti ini di temukan di Desa Dakwu tepatnya di daerah Grobogan Purwodadi di Lereng gunung merbabu di jawa tengah. Prasasti ini bertuliskan huruf pallawa berbahasa sansekerta yang menceritakan tentang mata air yang bersih dan jernih. Selain itu, prasasti ini juga memiliki gambar- gambar seperti kendi, trisula, kapak, kelasangka, cakra, dan bunga teratai yang merupakan lambing keeratan hubungan manusia dengan para dewa.

D. Kerajaaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim dan melayu kuno yang berkembang di Sumatra yang merupakan perkembangan lanjutan dari kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Sumatra Selatan yang berdiri pada abad ke-7. Dalam bahasa Sansekerta, Sri artinya `bercahaya`, sedangkan wijaya artinya `kemenangan`.

Bukti awal mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah seorang pendeta Tiongkok, I-tsing menuliskan bahwa Ia mengunjungi Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 selama 6 bulan. Juga, dapat dilihat dari Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang pada tahun 682, yang merupakan sumber sejarah dari seorang tokoh, dikenal sebagai Dapunta Hyang.

Sekitar tahun 1992-1993, seorang sejarawan, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokingking, Sumatra Selatan.

(21)

Dalam Prasasti Kedukan Bukit, terdapat kalimat "Dapunta hyang berangkat dari Minanga Tangwan dengan membawa bala tentara dalam dua kelompok, yaitu 200 orang dengan jalan air (naik perahu) dan 1312 dengan jalan darat". Dari pernyataan tersebut, dapat diambil kesimpulan yaitu Dapunta hyang sudah memiliki tentara yang siap bertempur demi keselamatan Sriwijaya dan sudah terbentuk organisasi kerajaan pada masa itu. Kemungkinan, Prasasti Kedukan Bukit ini menjadi tanda berpindahnya ibukota Kerajaan Sriwijaya.

Gambar Bandar Sriwijaya

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Kaum Tionghoa menyebutnya San Fo Si atau San Fo Qi. Di dalam bahasa Sansekerta disebut Yavadesh, dalam bahasa Pali disebut Javadesh. Orang Arab menyebutnya Zabag sedangkan orang Khmer menyebutnya Melayu.

Puncak kejayaan Sriwijaya adalah pada abad ke 8-9 Masehi, terutama pada saat pemerintahan Raja Balaputeradewa pada 850 M. Pada masa itu, Balaputeradewa membangun Sriwijaya menjadi kerajaan terbesar di Nusantara, bahkan Balaputeradewa memperluas wilayah Kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa Tengah Selatan yaitu tanah yang mempunyai kenangan pahit bagi Balaputeradewa.

Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan Sriwijaya :

(22)

Prasasti Kanton di Kanton

Prasasti Talang Tuwo

(23)

Prasasti Padang Roco

Prasasti Siwagraha

Prasasti Nalanda di India

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara Asia, salah satunya adalah I-tsing yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan pembelajarannya di Nalanda, India pada tahun 671 dan 695. Ia melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas sudah digunakan di pesisir kerajaan.

(24)

koin emas quarter

Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang mengandalkan perdagangan. Kerajaan ini mengembangkan pelabuhannya sebagai pusat perdagangan internasional. Barang dagangnya meliputi: emas, perak, penyu, gading gajah, kemenyan, kapulaga, kapur barus, pinang, kayu gaharu, cendana, kayu hitam, lada, dan damar. Biasanya barang-barang yang didagangkan ini ditukar dengan aneka porselin, tembikar, kain katun, dan jain sutra.

Kerajaan Sriwijaya mengembangkan sistem hukum bersifat nasional. Beberapa prasasti yang ditemukan mencatat dengan lengkap perincian sanksi bagi mereka yang melanggar dan hadiah bagi mereka yang menaatinya. Hukum tersebut berlaku secara universal, tidak terkecuali kalangan keluarga istana.

Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pendidikan berskala internasional. Salah satu tujuan I-tsing datang ke Kerajaan Sriwijaya adalah untuk menuntut ilmu. Dalam catatan perjalanan yang Ia buat, ditujukan bahwa banyak orang Cina yang datang ke Sriwijaya untuk belajar. Mereka mempelajari bahasa Sansekerta dan berlatih menyalin kitab agama Buddha.

Sayakitri adalah seorang guru mahir di bidang kesusastraan Buddha, Ia merupakan pengarang kitab Hastadandasastra. Maka dari itu, Kerajaan Sriwijaya cukup terkenal sebagai pusat pendidikan karena terkait dengan tokoh tersebut.

(25)

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan agama Buddha di Asia Tenggara. I Tsing belajar tata bahasa Sanskerta dan teologi Buddha di Sriwijaya. I Tsing menerjemahkan kitab kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Cina. Sriwijaya juga terkenal sebagai kerajaan maritim dan memiliki armada laut. Perhatikanlah Peta Kerajaan Sriwijaya. Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan di Asia Tenggara karena menguasai dua selat besar yang penting dalam perdagangan, Selat Malaka dan Selat Sunda. Sriwijaya mulai mengalami kemunduran setelah mendapat serangan dari

(26)

Dharmawangsa (992), Rajendra Coladewa dari Kerajaan Colamandala (1023, 1030, dan tahun 1060), Kertanegara (1275), dan Gajah Mada (1377). Sriwijaya akhirnya hancur ketika Majapahit mulai berkembang di Jawa. E. Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya

yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gununggunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.

Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.

Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan pendiri Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu

(27)

baik agama Hindu dan Budha berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.

Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya yang kemduian menjadi Raja disana.

Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram Hancur. Mpu Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.

Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang.

1. Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum jelas, namun menurut Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan Prasasti Canggal (732) tanpa menyebut jelas apa nama kerajaannya. Dalam prasasti itu, Sanjaya menyebutkan terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja tersebut bernama Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena yang merupakan raja dari Kerajaan Galuh yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara).

Kekuasaan Sanna digulingkan dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan kemudian melarikan diri ke Kerjaan Sunda untuk memperoleh perlindungan dari Tarusbawa, Raja Sunda. Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya yang merupakan keponakan dari Sanna sebagai menantunya. Setelah naik tahta, Sanjaya pun berniat untuk menguasai Kerajaan Galuh kembali. Setelah berhasil menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan baru yaitu Kerajaan Mataram Kuno.

Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa dipastikan Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak

(28)

abad ke-7 dengan rajanya yang pertama adalah Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

2. Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno

Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

(29)

Borobudur ~ Salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

3. Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram Kuno, yaiut berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi sekarang ini. Adapun untuk Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya:

1. Prasasti Canggal, ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa

Canggal berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu juga diceritakan bawa yang menjadi raja sebelumnya adalah Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).

2. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka

tahun 778M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh Raja Pangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha).

3. Prasasti Mantyasih, ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah

berangka 907M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, rakai Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang.

4. Prasasti Klurak, ditemukan di desa Prambanan berangka 782M ditulis

dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan Acra Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.

Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak meninggalkan bangunan candi yang masih ada hingga sekarang. Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.

4. Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno

Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya sebagai berikut:

(30)

1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Kuno

2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra 3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra

4. Rakai Warak alias Samaragrawira

5. Rakai Garung alias Samaratungga

6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya

7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala

8. Rakai Watuhumalang

9. Rakai Watukura Dyah Balitung

10. Mpu Daksa

11. Rakai Layang Dyah Tulodong

12. Rakai Sumba Dyah Wawa

13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur 14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya

15. Makuthawangsawardhana

16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Kuno berakhir

5. Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Mataram Kuno

Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat.

Bumi Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara dengan hasil budayanya berupa candi-candi seperti Gedong Songo dan Dieng. Dinasti Syailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan, dan hasil budayanya dengan mendirikan candi-candi seperti candi Borobudur, Mendut, dan Pawon.

Semula terjadi perebutan kekuasan namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan antara Pikatan (Sanjaya) yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Syailendra) yang beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingn secara damai.

(31)

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.

1. Berdirinya Kerajaan Kediri

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.

Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang

bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur

bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.

Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra.

(32)

Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.

2. Perkembangan Kerajaan Kediri

Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.

Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268 1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

3. Perkembangan politik kerajaan Kediri

Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung(1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri MaharajaSamarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.

(33)

Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

4. Sistem Pemerintahan Kerajaan Kediri

Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah:

Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu

Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.

Kameshwara

Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.

Jayabaya

Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.

Prabu Sarwaswera

Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu ,

(34)

semua makhluk adalah engkau . Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.

Prabu Kroncharyadipa

Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai plemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk), masarya (iri hati).

Srengga Kertajaya

Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.

Pemerintahan Kertajaya

Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.

5. Kehidupan sosial masyarakat kerajaan Kediri

Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.

Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

(35)

Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.

1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.

2. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah). 3. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.

Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

6. Kondisi Ekonomi pada Zaman Kerajaan Kadiri

Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.

Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:

a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala

(36)

b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kadiri Menang.Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.

c. Prasasti Jepun 1144 M

d. Prasasti Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atasKorawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin

Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmajayang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajayaterdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri.

7. Runtuhnya Kediri

Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.

Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan

(37)

Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.

G. Kerajaan Singasari

Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.

1. Nama Ibu Kota

Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.

Pada tahun 1253, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.

Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

2. Awal Berdiri

Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.

Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

(38)

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri.

Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

3. Silsilah Wangsarajasa

Wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok. Keluarga kerajaan ini menjadi penguasa Singhasari, dan berlanjut pada kerajaan Majapahit. Terdapat perbedaan antara Pararaton dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.

Versi Pararaton adalah:

1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247) 2. Anusapati (1247 - 1249)

3. Tohjaya (1249 - 1250)

4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272) 5. Kertanagara (1272 - 1292)

Versi Nagarakretagama adalah:

1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227) 2. Anusapati (1227 - 1248)

3. Wisnuwardhana (1248 - 1254) 4. Kertanagara (1254 - 1292)

Kisah suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai. Sementara itu versi Nagarakretagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Nagarakretagama adalah kitab pujian untuk Hayam Wuruk raja Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk tersebut dianggap sebagai aib.

Di antara para raja di atas hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Dalam Prasasti Mula Malurung (yang dikeluarkan Kertanagara atas perintah Wisnuwardhana) ternyata menyebut Tohjaya sebagai raja Kadiri, bukan raja

(39)

Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan di Kadiri. Dengan demikian, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254 dapat diperdebatkan. Kemungkinannya adalah bahwa Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu, baru pada tahun 1268 ia bertakhta di Singhasari. Diagram silsilah di samping ini adalah urutan penguasa dari Wangsa Rajasa, yang bersumber dari Pararaton.

Prasasti Mula Malurung

Penemuan prasasti Mula Malurung memberikan pandangan lain yang berbeda dengan versi Pararaton yang selama ini dikenal mengenai sejarah Tumapel.

Kerajaan Tumapel disebutkan didirikan oleh Rajasa yang dijuluki "Bhatara Siwa", setelah menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana. Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.

Pemerintahan Bersama

Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.

Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.

Masa Kejayaan

Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1272 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara.

Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah

Gambar

Gambar Bandar Sriwijaya
Gambar 6.34 Peta Wilayah Kerajaan Makassar dan Si Ayam Jantan dari Timur Sumber: Atlas Sejarah Indonesia dan Atlas Lukisan Sejarah

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menjelaskan sumber sejarah kerajaanj Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut Yupa. Yupa merupakan tugu batu bertulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanksekerta.

Kehadiran prasasti Purnawarman di pasir muara, yang memberitakan raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa ibukota sundapura telah berubah status

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian

Pemantauan Kualitas Air Bulan September 2007 Kota / Kabupaten : Samarinda & Kutai Kartanegara Provinsi : Kalimantan Timur Jenis Perairan : Daerah Aliran Sungai Mahakam

Penelitian ini bertujuan untuk membuat peta batimetri di wilayah perairan muara Sungai Mahakam, Sanga – Sanga, Kalimantan Timur, menganalisis pasang surut untuk

Sedangkan zaman praaksara di Indonesia berakhir pada masa berdirinya Kerajaan Kutai sekitar abad ke-5 yang di buktikan dengan adanya prasasti berbentuk yupa yang di temukan di

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di muara sungai Ilu, Kaeli, Bayor dan Beji, Delta Mahakam, Kalimantan Timur ditemukan sebanyak 8 famili krustasea yang terdiri dari

Letak kerajaan Kanjuruhan adalah di Jawa Timur, dekat dengan kota Malang sekarang. Kerajaan Kanjuruhan ini tertulis dalam prasasti Dinaya, yang ditemukan di sebelah barat