28
JAMUR ENTOMOPATOGEN:
POTENSI DAN TANTANGAN SEBAGAI
INSEKTISIDA ALAMI TERHADAP SERANGGA
PERUSAK TANAMAN DAN VEKTOR PENYAKIT
MANUSIA
Eris Septiana
Laboratorium Kimia Bahan Alam Pusat Penelitian Bioteknologi
Email : eris.septiana@ lipi.go.id / eyis_jelek@yahoo.co.id
erangga merupakan hewan dengan jumlah spesies terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 1 juta spesies yang telah diketahui. Jumlah ini merupakan 60 % dari seluruh total organisme yang hidup di dunia saat ini (Grimaldi & Engel 2005). Keberadaan serangga selain membawa manfaat untuk manusia juga menimbulkan kerugian diantaranya ialah sebagai hama perusak tanaman dalam bidang pertanian serta sebagai vektor penularan penyakit pada manusia dalam hal kesehatan. Penggunaan insektisida sintetis merupakan cara yang banyak digunakan untuk
menanggulangi dampak negatifnya. Penggunaan insektisida sintetis ternyata membawa dampak baru berupa kerusakan lingkungan dan timbulnya resistensi serangga target. Untuk menanggulangi adanya resistensi dan pencemaran
lingkungan, penggunaan insektisida alami ataupun musuh alami serangga
menjadi prioritas. Salah satu yang digunakan sebagai musuh alami bagi serangga ialah golongan
entomopathogenic fungi (jamur entomopatogen). Jamur penyebab penyakit pada serangga terdiri atas jamur pembunuh langsung maupun parasit sejati. Jamur pembunuh langsung merupakan jamur yang secara langsung membunuh serangga pada fase larva melalui aktivitas enzimatis. Sedangkan jamur parasit sejati merupakan jamur yang hidup bersama dengan serangga inang dewasa dan menimbulkan gejala penyakit sebelum menyebabkan kematian pada
serangga (Smith dkk. 1981). Jamur entomopatogen memiliki sifat spesifik terhadap target tertentu dengan efek samping dan resiko yang sangat rendah terhadap organisme non target atau serangga yang bermanfaat (Roberts & Humber 1981). Dengan karakteristik demikian, penggunaan jamur entomopatogen sebagai musuh alami dalam usaha
pemberantasan hama dan vektor penyakit akibat serangga memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan penggunaan insektisida sintetis.
Biologi, infeksi, penyebaran dan keberadaan jamur entomopatogen
Sekitar 750 spesies jamur
entomopatogen diketahui terdiri atas 85 genus (Gillespie and Moorhouse 1989). Jamur entomopatogen memiliki siklus hidup yang seiring dengan fase hidup serangga target. Menurut laporan para ahli, jamur ini bisa dikelompokkan ke dalam dua
kelompok besar yaitu jamur yang menyerang menggunakan racun untuk melumpuhkan pertahanan alami tubuh serangga dan jamur yang cenderung menyerang serangga dengan sedikit atau tanpa racun (Shahid dkk. 2012). Persebaran jamur ini melalui spora berupa konidia. Disaat konidia ini menempel pada lapisan kutikula serangga target
S
29
dan berkecambah. Selanjutnya penyerangan dilanjutkan ke dalam tubuh serangga target dan sistem sirkulasi (hemolimfa). Pada tubuh serangga yang sudah mati, jamur akan muncul dari dalam bangkai serangga target dan spora konidia akan keluar bangkai hingga
menemukan kembali serangga target berikutnya (Samson dkk. 1988). Perbedaan antara penggunaan jamur entomopatogen dengan organisme patogen serangga lainnya ialah cara infeksinya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, cara infeksi sebagian besar jamur
entomopatogen melalui penempelan pada lapisan kutikula tubuh serangga target. Sedangkan entomopatogen selain jamur seperti spora Bacillus thuringiensis akan menginfeksi serangga target melalui proses termakan terlebih dahulu. Setelah termakan, toksin akan mempengaruhi peyerapan dalam saluran cerna serangga dengan cara mengganggu sirkulasi ion-ion dan menyebabkan kebocoran ion tertentu. Setelah beberapa waktu, serangga akan mengalami gangguan makan, kelaparan dan akhirnya mati (Gill 1995).
Sebagian besar jamur
entomopatogen merupakan jamur non patogen bagi tanaman yang dapat ditemukan di filoplen (permukaan) daun, dan di daerah perakaran maupun sebagai jamur endofit yang terdapat dalam jaringan tanaman. Jamur endofit merupakan jamur yang hidup di dalam jaringan tanaman, bersimbiosis mutualisme sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit pada inangnya (Faeth & Fagan 2002). Oleh karena itu pengunaan jamur entomopatogen lebih aman karena tidak berpegaruh
buruk pada tanaman. Pada tulisan ini, dipaparkan mengenai penggunaan jamur entomopatogen sebagai organisme pengendali hayati terhadap serangga hama tanaman dan vektor penularan penyakit.
Penggunaan jamur entomopatogen sebagai pengendali hama
pertanian
Beberapa penelitian tentang jamur entomopatogen sebagai pengendali hama serangga sudah banyak dilakukan di Indonesia. Beauveria bassiana dan Metarhizium sp. efektif dalam mematikan nimfa wereng hijau (Gambar 1) (Ladja dkk. 2011) dan wereng coklat dalam waktu paling cepat sekitar 4 hari (Herlinda dkk. 2008). Selain wereng, serangga hama yang menyerang padi ialah walang sangit (Leptocorisa oratorius) yang menyerang bulir padi pada fase matang susu sehingga bulir padi akan hampa. Serangga hama ini dapat dikendalikan dengan B. bassiana dan Metarhizium sp. seperti percobaan Effendy dkk. (2010) yang melaporkan bahwa kedua isolat jamur entomopatogen tersebut mampu membunuh 50% nimfa walang sangit selama 5-8 hari setelah infeksi.
Campuran spora konidia jamur entomopatogen Verticillium tricorpus
mampu membunuh serangga hama tungau merah jeruk (Panonychus citri) pada tahap nimfa dan dewasa (Puspitarini dkk. 2010). Jamur entomopatogen juga bisa bersinergis dengan jamur lain dalam membunuh serangga hama. Campuran B. bassiana dengan jamur Trichoderma virens yang disemprotkan ke tanaman pepaya mampu membunuh nimfa hama kutu putih papaya (P. marginatus) sebesar 82,86 % selama
4 hari setelah penyemprotan (Herlinda dkk. 2012). Aplikasi bioinsektisida B. bassiana dengan konsentrasi 0,6 mg/l dalam air dengan selang waktu 9 hari
menunjukkan peningkatan kematian larva serangga penggerek tongkol jagung (Helicoperva armigera) serta penurunan kerusakan tongkol jagung (Khasanah 2008).
Penggunaan jamur entomopatogen sebagai pengendali serangga vektor penyakit pada manusia
Penelitian tentang penggunaan jamur entomopatogen untuk
pemberantasan nyamuk banyak dilakukan di negara berkembang di kawasan Afrika dan Asia (Gambar 2). Penyakit malaria Afrika merupakan penyakit yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles gambiae. Jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae terbukti mampu
membunuh nyamuk A. gambiae dan
Culex quinquefasciatus dewasa (Scholte dkk. 2003). Valero-Jimenes
dkk. (2014) melaporkan bahwa nyamuk penyebar penyakit malaria yang lain yaitu A. coluzzii mampu dibunuh oleh jamur entomopatogen
B. bassiana.
Kawasan Asia termasuk di Indonesia, penggunaan jamur entomopatogen untuk pengendalian serangga vektor penyakit pada manusia juga telah dilakukan. Jamur B. bassiana mampu membunuh nyamuk A. stephensi
salah satu vektor penyakit malaria dan nyamuk C. quinquefasciatus
vektor penyakit filariasis atau kaki gajah baik pada fase larva maupun dewasa (Singh & Prakash 2010). Selain B. bassiana, M. anisopliae
juga telah dilaporkan mampu membunuh larva awal nyamuk A.
Gambar 2. Nyamuk dewasa sehat (a) dan terkolonisasi jamur entomopatogen (b) (foto: Hugh Sturrock, University of Eidenburg dalam Thomas & Read 2007).
30
stephensi penyebab malaria (Fakoorziba dkk. 2014). Jamur entomopatogen M. anisopliae mampu membunuh larva nyamuk A. aegypti
penyebab penyakit demam berdarah (Yasmin & Fitri 2010). Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa aplikasi
M. anisopliae dengan bahan pembawa tepung jagung masih mampu membunuh larva nyamuk A. aegypti setelah penyimpanan 3 bulan (Yasmin dkk. 2012).
Tantangan dan prospek pengembangan jamur
entomopatogen untuk pengendali serangga hama patogen tanaman dan vektor penyakit pada manusia melalui bioteknologi
Penggunaan jamur entomopatogen tentu bukan tanpa batasan. Interaksi antara jamur entomopatogen dengan serangga non target, interaksi dengan tanaman, interaksi dengan mikroba yang lain, serta ketahanan terhadap fungisida sintetis yang mungkin dipakai juga harus
diperhatikan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Thungrabeab dan Tongma pada tahun 2007
melaporkan bahwa dua isolat jamur entomopatogen yang umum digunakan yaitu B. bassiana (isolat Bb.5335)dan M. anisopliae (isolat Ma.7965) yang diujikan terhadap serangga non target, yang
diantaranya merupakan musuh alami serangga target, menunjukkan hasil yang berbeda. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa jamur entomopatogen B. bassiana
tidak berbahaya bagi serangga yang penting untuk tanah seperti
Heteromurusnitidus maupun serangga non target lain seperti
Dicypus tamaninii maupun larva
Coccinella septempuncata dan
Chrysoperia carnea. Sedangkan jamur M. anisopliae cenderung bersifat antagonis terhadap serangga non target dalam percobaan ini. Dengan adanya fakta ini, maka diperlukan sebuah penelitian yang lebih menyeluruh terhadap penggunaan jamur entomopatogen terhadap serangga non target. Selain efek terhadap serangga non target, efek terhadap manusia dan tumbuhan juga perlu diperhatikan. Sebagian besar jamur
entomopatogen yang umum digunakan merupakan jamur yang bersifat endofit maupun saprofit yang tidak menyebabkan penyakit pada tanaman hidup. Meskipun demikian, upaya penyelidikan tentang adanya
potensi sifat antagonis terhadap tanaman juga perlu mendapat perhatian serius. Selain itu, faktor abiotik yang lain juga perlu mendapat perhatian seperti penggunaan bersamaan dengan insektisida sintetik, fungisida, maupun zat pemacu pertumbuhan tanaman. Beberapa insektisida seperti
azadirachtin,methyl-o-demeton, acetameprid, thiomethoxam, carbosulfan relatif aman untuk B. bassiana dan M. anisopliae. Sedangkan insektisida seperti
chlorpyriphos, cypermethrin, difocol, dan deltamethrin lebih toksik terhadap kedua jamur
entomopatogen tersebut. Selain itu beberapa fungisida seperti thiram, metalaxyl, chlorothalonil lebih sesuai dengan kedua cendawan
entomopatogen, sedangkan fungisida
benomyl, orthocide, mancozeb, tebuconazole cenderung berbahaya bagi kedua jamur entomopatogen tersebut (Khan dkk. 2012). Selain efek terhadap serangga non target maupun tanaman serta zat kimia lainnya, efek bunuh terhadap serangga target juga perlu
diperhatikan. Seperti diketahui bahwa prinsip kerja jamur entomopatogen tidak secepat insektisida sintetis yang dapat secara langsung mematikan serangga target, akan tetapi perlu waktu yang lebih lama dalam membunuh serangga target yaitu sampai 14 hari setelah infeksi (Ladja
dkk. 2011). Untuk menanggulangi dan meningkatkan efektivitas jamur entomopatogen, diperlukan peran ilmu bioteknologi. Bioteknologi menyediakan kesempatan yang baik dalam pengembangan jamur entomopatogen.
Pemahaman mekanisme patogenisistas perlu dilakukan, terutama pada daerah penyerangan di kutikula serangga dimana enzim sangat berperan. Untuk
meningkatkan kecepatan bunuh terhadap serangga uji, dapat dilakukan dengan cara menyisipkan gen racun cry dan cyt dari bakteri
Bacillus thuringiensis ke dalam jamur yang sampai saat ini belum pernah dilakukan. Alternatif lain ialah pemanfaatan metabolit sekunder dari jamur entomopatogen. Penerapan metabolit sekunder sangat berguna terutama untuk memberantas serangga pada fase larva yang tidak terpengaruh oleh serangan jamur entomopatogen (Singh dkk. 2010).
Penelitian di bidang bioteknologi untuk mengatasi serangan serangga masih terbatas pada serangga hama tanaman dan belum kepada
serangga vektor penyakit pada manusia. Salah satunya ialah penyisipan gen cry pada padi transgenik sehingga tahan terhadap serangan serangga patogen tanaman padi (Rahmawati & Slamet-Loedin 2006). Oleh karena itu, penerapan bioteknologi diharapkan
menghasilkan strain jamur hasil manipulasi genetik yang mampu mengendalikan serangga lebih efektif. Selain itu, penelitian juga harus tertuju pada pengembangan formulasi untuk serangga target yang menyerang tanaman yang bernilai ekonomis tinggi. Sehingga diharapkan kedepannya akan diperoleh sebuah bioinsektisida alami yang lebih efektif dalam membunuh hama serangga target maupun vektor penyakit dan lebih berwawasan lingkungan serta kemudahan dalam aplikasinya.
Referensi
Effendy TA, Septiadi R, Salim A, Mazid A. 2010. Jamur entomopatogen asal tanah lebak di Sumatera Selatan dan potensinya sebagai agensia hayati walang sangit (Leptocorisa oratorius (F.)).
Jurnal HPT Tropika. 10: 154-161.
Faeth SH, Fagan WF. 2002. Fungal endophytes: common host plant symbionts but uncommon mutualists. Integrative and Comparative Biology. 42: 360-368.
Fakoorziba MR, Veys-Behbahani R, Djadid ND, Azizi K, Sharififard M. 2014. Screening of the entomopathogenic fungi,
Metarhizium anisopliae and
Beauveria bassiana against early larval instars of Anopheles stephensi (Diptera: Culicidae).
Journal of Entomology. 11: 87-94.
Gill SS. 1995. Mechanism of action of
Bacillus thuringiensis toxins.
Memorias do Instituto Oswaldo Cruz. 90: 69-74.
Gillespie AT, Moorhouse ER. 1989. The use of fungi to control pest of agricultural and horticultural importance. In: Biotechnology of
31
fungi for improvement of plant growth. Whipps JM, Lumsdon RD. (eds.). London: Cambrodge University Press.
Grimaldi D, Engel MS. 2005. Evolution of the insects. New York: Cambridge University Press.
Herlinda S, Darmawan KA,
Firmansyah, Adam T, Irsan C, Thalib R. 2012. Bioesai bioinsektisida Beauveria bassiana dari Sumatera Selatan terhadap kutu putih papaya,
Paracoccus marginatus
Williams & Granara De Willink (Hemiptera: Pseudococcidae).
Jurnal Entomologi Indonesia. 9: 81-87.
Herlinda S, Mulyati SI, Suwandi. 2008. Jamur entomopatogen berformulasi cair sebagai bioinsektisida untuk pengendali wereng coklat. Agritrop. 27: 119-126.
Khan S, Bagwan NB, Fatima S, Iqbal MA. 2012. In vitro compatibility of two entomopathogenic fungi with selected insecticides, fungicides, and plant growth regulators. Libyan Agriculture Research Center Journal International. 3: 36-41. Khasanah N. 2008. Pengendalian
hama penggerek tongkol jagung
Helicoverpa armigera Hubner. (Lepidoptera: Noctuidae) dengan Beauveria bassiana
strain lokal pada pertanaman jagung manis di Kabupaten Donggala. AGROLAND. 15: 106-111.
Ladja FT, Santoso T, Nurhayati E. 2011. Potensi cendawan entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana
dalam mengendalikan wereng hijau dan menekan intensitas
penyakit tungro. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 30: 114-120.
Puspitarini RD, Afandi A, Soleh FA. 2010. Patogenitas jamur entomopatogen Verticillium tricorpus Isaac
(Deuteromycetes: Moniliales) pada tungau merah jeruk
Panonychus citri (McGregor) (Acari: Tetranychidae). Agravita. 32: 83-89.
Rahmawati S, Slamet-Loedin IH. 2006. Introduksi gen cry
IB-cryIAa ke dalam genom padi (Oryza sativa) cv. Rojolele menggunakan transformasi
Agrobacterium. Hayati. 13: 19-25.
Roberts DW, Humber RA. 1981. Entomogenous fungi. In: Cole GT, Kendrick B. (eds.). Biology of Conidial Fungi. Academic Press: New York. Pp 201-236. Samson RA, Evans HC, Latg JP.
1988. Atlas of
entomopathogenic fungi. Springer: Berlin Heidelberg New York.
Scholte EJ, Njiru BN, Smallegange RC, Takken W, Knols BGJ. 2003. Infection of malaria (Anopheles gambiae s.s.) and filariasis (Culex
quinquefasciatus) vectors with the entomopathogenic fungus
Metarhizium anisopliae. Malaria Journal. 2: 29.
Shahid AA, Rao AQ, Bakhsh A, Husnain T. 2012.
Entomopathogenic fungi as biological controllers: New insights into their virulence and pathogenicity. Archieves of Biological Science Belgrade. 61: 21-42.
Singh G, Prakash S. 2010. Fungi
Beauveria bassiana (Balsamo) metabolites for controlling malaria and filarial in tropical countries. Advance in Biomedial Research. 238-242. ISSN: 1790-5125, ISBN: 978-960-474-164-9.
Smith RJ, Pekrul S, Grula EA. 1981. Requirement for sequential enzymatic activities for
penetration of the integument of the corn earworm. Journal of Invertebrate Pathology. 38: 335-344.
Thomas MB, Read AF. Can fungal biopesticides control malaria?.
Nature Reviews Microbiology. 5: 377-383.
Thungrabeab M, Tongma S. 2007. Effect of entomopathogenic fungi, Beauveria bassiana
(BALSAM) and Metarhizium anisopliae (METSCH) on non target insects. King Mongkut's Institute of Technology Ladkrabang Science and Technology Journal. 7: 8-12. Valero-Jimenez CA, Debets AJM,van
Kan JAL, Schoustra SE, Takken W, Zwaan BJ, Koenraadt CJM. 2014. Natural variation in virulence of the
entomopathogenic fungus
Beauveria bassiana against malaria mosquitoes. Malaria Journal. 13: 479.
Yasmin Y, Fitri L. 2010. The effect of
Metarhizium anisopliae fungi on mortality of Aedes aegypti
larvae. Jurnal Natural. 10: 31-35.
Yasmin Y, Fitri L, Bustam BM. 2012. Analisis efektivitas tepung jamur sebagai larvasida Aedes aegypti. Jurnal Natur Indonesia
14: 126-130.