• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat KOINFEKSI TB & HIV.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat KOINFEKSI TB & HIV.docx"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

TATALAKSANA KOINFEKSI TB-HIV

Oleh:

Annisa Mardhiyah NIM 1113103000054

Pembimbing:

dr. Muhardi Djabang, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI RSUP FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2017

KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirahim.

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat Izin dan Rahmat-Nya lah saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul 'Tatalaksana Koinfeksi TB-HIV' di Kepaniteraan Klinik Paru Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di RSUP Fatmawati.

(2)

benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan seperti ini, semoga kita senantiasa menjadi pengikutnya hingga akhir zaman.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar, fasilitator, serta narasumber SMF Ilmu Paru RSUP Fatmawati khususnya dr. Muhardi Djabang, Sp.P selaku pembimbing.

Saya menyadari referat ini tidak luput dari kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak.

Demikian yang dapat saya sampaikan, Insya Allah makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 8 Januari 2017

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.1 Sampai saat ini TB masih menjadi permasalahan global karena insidennya yang tinggi meskipun sudah tersedia strategi pengobatan yang efektif.1

Berdasarkan laporan WHO tahun 2016, insiden TB di tahun 2015 adalah 10,4 juta kasus di seluruh dunia atau 142 kasus setiap 100.000 populasi. Indonesia saat ini menempati peringkat kedua setelah India dengan insiden TB sebesar 1 juta.

(3)

Tuberkulosis menjadi pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan pernapasan akut.1,2 Infeksi Mycobacterium tuberculosis belum tentu menyebabkan sakit TB, pada sebagian orang yang terinfeksi, sistem imun tubuhnya mampu melawan kuman TB, sehingga tidak berkembang menjadi TB aktif. Berkembangnya infeksi kuman TB menjadi sakit TB ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, diantaranya malnutrisi, penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif jangka panjang, diabetes, dan infeksi Humman Immunodeficiency

Virus.1,3

Humman Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk

famili retroviridae yang dapat menginfeksi tubuh manusia dan dapat menyebabkan

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu suatu kumpulan gejala yang

terjadi akibat penurunan sistem kekebalan tubuh karena virus HIV. Penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan virus HIV ini menyebabkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ini rentan terhadap infeksi lainnya termasuk salah satunya adalah infeksi bakteri M. tuberculosis. TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada ODHA dengan presentasi sebesar 49%.3

Berdasarkan data dari kementrian kesehatan, diketahui hingga akhir Desember tahun 2010, jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan adalah sebesar 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebanyak 11.834 kasus (49%). Selain itu diketahui TB merupakan penyebab kematian terbanyak pada ODHA (40-50%).3

Epidemi HIV berpengatuh terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia, sehingga insiden HIV yang terus meningkat akan berakibat pada peningkatan insiden TB di masyarakat. Hal tersebut perlu menjadi perhatian khusus dan tentunya penderita TB dengan HIV membutuhkan penatalaksanaan yang khusus dan berbeda dengan tatalaksana TB tanpa HIV. 3

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Menurut laporan WHO tahun 2016, diketahui bahwa terdapat sekitar

10,4 juta kasus TB baru di seluruh dunia pada tahun 2015 dan Indonesia menempati peringkat kedua setelah India dengan insiden sebesar satu juta.1,2

Kuman TB dapat ditularkan melalui udara dari penderita TB aktif dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Ketika tubuh terpapar pertama kali oleh kuman TB, maka akan terjadi infeksi primer, dimana kuman masuk sampai ke bagian terminal saluran pernafasan dan menetap serta berkembang biak di alveolus. Infeksi

(5)

kuman TB dapat menyebabkan penyakit TB atau tidak, hal tersebut terutama dipengaruhi oleh kondisi imunitas tubuh pejamu.4

2.1.1 Faktor risiko HIV pada pasien TB

Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri M. tuberculosis akan berkembang menjadi sakit TB. Pada orang yang tidak mengalami infeksi HIV, perkembangan menjadi TB aktif hanya terjadi sekitar 10%, sedangkan presentase pada ODHA adalah sebesar 60%. Berdasarkan data-data yang telah dijelaskan sebelumnya diketahui bahwa epidemi HIV sangat berpengaruh pada peningkatan kasus TB, oleh sebab itu pada pasien yang mengalami TB, perlu diperhatikan adanya faktor-faktor risiko HIV seperti berganti-ganti atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual, pengguna NAPZA suntik, memikiki tindik berlebihan, tato permanen, riwayat infeksi menular seksual, dan memiliki pekerjaan berisiko tinggi. Petugas kesehatan juga perlu memperhatikan adanya gejala-gejala klinis yang mengarah ke AIDS seperti misalnya penurunan BB > 10kg atau >10% dari sebelumnya dan diare> 1 bulan.1,3,5

Apabila pasien TB memiliki faktor risiko dan menunjukkan gejala yang mengarah ke AIDS tersebut, maka petugas kesehatan perlu menginisiasi tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis. Berdasarkan Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TB dianjurkan untuk tes HIV melalui pendekatan Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan (TIPK).1,3,5

2.1.2 Pengobatan TB

Pengobatan TB terbagi menjadi (1) Tahap awal, dimana pengobatan bertujuan untuk menurunkan jumlah kuman yang ada di dalam tubuh secara efektif dan dilakukan setiap hari dalam jangka waktu dua bulan; dan (2) Tahap lanjutan yang bertujuan untuk membunuh sisa kuman yang ada di dalam tubuh.

OAT lini pertama terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Sedangkan lini kedua terdiri dari Kanamisin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx), Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS).1

OAT yang digunakan di Indonesia berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah sebagai berikut:

(6)

 Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3

Kategori 1 diberikan pada pasien TB baru yang terdiagnosis secara bakteriologis ataupun klinis dan pasien TB ekstraparu

 Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5(HR)3E3

Kategori dua diberikan untuk pasien TB yang BTA + dan sudah pernah menjalani pengobatan TB sebelumnya. Termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang sudah pernah menyelesaikan pengobatan OAT kemudian kambuh, pasien yang sudah pernah menyelesaikan pengobatan OAT namun gagal, dan pasien yang putus berobat.1

 Kategori anak : 2HRZ/4HR

Pada pasien TB resisten obat, maka penatalaksanaan TB menggunakan OAT lini kedua serta OAT lini pertama pirazinamid dan etambutol.1

2.1.3 Efek samping OAT

Pemberian OAT dapat menimnulkan efek samping ringan yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan efek samping berat yang bisa sampai mengancam jiwa pasien. Jika terjadi efek samping ringan, pemberian OAT tidak perlu dihentikan dan cukup doberikan obat simotomatik pada pasien, tetapi pada efek samping berat OAT harus dihentikan.1,4

Rifampisin

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Hal tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. perlu dilakukan edukasi kepada pasien sebelum memulai pengobatan rigampisin agar pasien mengerti dan tidak khawatir. 4

Rifampisin dapat menimbulkan efek samping ringan dan berat. Efek samping ringan dapat berupa:

- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Sedangkan efek samping berat yang dapat terjadi adalah sebagai berikut: - Hepatitis imbas obat atau ikterik

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. - Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

(7)

terbakar di kaki • Pirazinamid

Efek samping utama yang dapat terjadi adalah hepatitis imbas obat. Selain itu dapat terjadi nyeri sendi dan dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit lainnya. 4 • Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Terjadinya efek samping tersebut dipengaruhi dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.4

• Streptomisin

Efek samping utama streptomisin adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. 4

(8)

2.2 HIV/AIDS

Acquaired Immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yang

disebabkan oleh infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) yang ditandai dengan penurunan sistem kekebalan tubuh. Saat ini AIDS telah dilaporkan dari 190 negara di seluruh dunia dan menjadi permasalahan global. Sampai tahun 2011 diketahui terdapat 60 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia dengan angka kematian sebesar 30 juta jiwa, dimana 70% berada di Afrika dan lebih dari 20% di Asia.5,6

HIV ditransmisikan melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah, dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV. Virus yang telah masuk ke dalam tubuh akan menginfeksi sel-sel imun terutama sel CD4. Kemudian virus akan bereplikasi dan menyebabkan penurunan sistem imun, sehingga tubuh rentan terhadap berbagai infeksi.5

TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada ODHA dengan presentasi sebesar 49%. Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, ODHA memiliki faktor risiko untuk terinfeksi TB sepuluh kali lebih besar, sehingga peningkatan epidemi HIV sangat berpengaruh pada peningkatan kasus TB.1,6

(9)

2.2.1 Diagnosis HIV

Pemeriksaan untuk HIV disesuaikan dengan panduan nasional, yaitu menggunakan strategi 3 yang dapat dilakukan dengan tes cepat ataupun ELISA. Pemeriksaan pertama harus menggunakan tes dengan sensitifitas tinggi, sedangkan untuk pemeriksaan selanjutnya menggunakan tes dengan spesifitas tinggi.6

Interpretasi dan tindak lanjut hasi pemeriksaan

Pada pasien yang terinfeksi HIV antibodi biasanya baru terdeteksi dalam waktu dua minggu sampai tiga bulan setelah terinfeksi HIV, rentang waktu sejak pasien terinfeksi sampai munculnya antibodi ini disebut dengan window period atau masa jendela. Pada masa tersebut antibodi tidak dapat dideteksi, sehingga bisa didapatkan hasil pemeriksaan HIV negatif.

2.2.2 Stadium klinis HIV

Pasien yang sudah terdiagnosi HIV maka perlu dilakukan penilaian stadium klinis, pemeriksaan imunologi, dan virologi. Stadium klinis dinilai saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk menentukan terapi ARV. Pemeriksaan imunologi dilakukan untuk menilai jumlah sel CD4, pemeriksaan ini juga dilakukan untuk menentukan terapi ARV.6

2.2.3 Terapi ARV pada ODHA

Terapi ARV pada ODHA dimulai berdasarkan jumlah CD4 dan stadium klinis pasien. Jika pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan, maka untuk memulai terapi ARV ditentukan berdasarkan penilaian klinis.6

(10)

Pada keadaan infeksi oportunistik yang aktif, maka terapi ARV dimulai sesuai rekomendasi berikut.6

Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

Sebelum dilakukan pengobatan ARV harus dilakukan konseling terlebih dahulu dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk pemilihan obat ARV. Pemeriksaan laboratorium yang minimal dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, CD4, SGOT/SGPT, kreatinin serum, urinalisa, HbsAg. Pemeriksaan kehamilan dapat dianjurkan pada perempuan usia produktif.6

Pada ODHA dengan jumlah CD4< 200 sel/mm3 maka dianjurkan pemberian kotrimoksazol 2 minggu sebelum terapi ARV dengan dosis 1 x 960mg. Pemberian kotrimoksazol ini bertujuan untuk mencegah infeksi oportunistik.6

Pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK) dianjurkan pada ODHA stadium 2, 3, 4 dan ODHA dengan kadar CD4< 200 sel/mm3

(11)

2.2.4 Obat ARV

Obat ARV yang tersedia di Indonesia adalah sebagai berikut:

Golongan NRTI Dosis Efek samping

Zidovudine (AZT) 250 - 300mg /12 jam Supresi sumsum tulang (anemia atau netropeni)

lainnya: asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang); intoleransi gastrointestinal; sakit kepala; sukar tidur; miopati; pigmentasi kulit dan kuku

Tenofovir (TDF) 300mg/24 jam Insufisiensi fungsi ginjal, sindrom Fanconi. Astenia, sakit kepala, diare, mual, muntah, perut kembung; Penurunan bone mineral density; Osteomalasia.

Lamivudin (3TC) 150mg/12 jam atau 300mg/ 24 jam

Toksisitas rendah, efek samping yang dapat timbul adalah asidosis laktat namun jarang terjadi

Emtricitabine (FTC) 200mg/24 jam Merupakan turunan dari 3TC

Stavudin (d4T) 30mg/12 jam Neuropati perifer, lipodistrofi dan laktat asidosis. lainnya: pankreatitis

Didanosine (ddl) 250mg (BB<60), 400 (BB>60)/24 jam

merupakan obat dari golongan “ d “ drugs bersama dengan d4T dan ddC. Tidak dapat digunakan bersama dengan d4T karena memperkuat timbulnya efek samping seperti pankreatitis, neuropati, asidosis laktat, lipoatrofi. Efek samping lain: asidosis laktat dengan steatosis

Abacavir (ABC) 300mg/12 jam atau 600mg/24 jam

hipersensitivitas, insiden 5 – 8 % (dapat fatal). Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan. Gangguan pernafasan (sakit tenggorokan, batuk) asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)

Golongan NNRTI

Dosis Efek Samping

Nevirapine 200mg/24 jam selama 14 hari, kemudian dilanjutkan tiap 12 jam

efek samping dose dependent, sehingga perlu dilakukan eskalasi dosis.

Hepatotoksik -> dihentikan bila SGPT> 5 kali baseline Efavirenz 600mg/24 jam Gejala SSP: pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung,

halusinasi, agitasi, seperti susah konsentrasi, insomnia, vivid dream, depresi, skizofrenia. Peningkatan kadar transaminase. Hiperlipidemi. Ginekomasti. Ruam kulit. Potensi teratogen

Protease Inhibitor (PI)

Dosis Efek samping

Lopinavir/ritonavir Tablet heat stable lopinavir 200 mg + ritonavir 50 mg: 400 mg/100 mg setiap 12

Efek samping metabolic seperti hiperglikemia (diabetes), hipercholestrolemi, lipoakumulasi perlu dimonitor pada penggunaan jangka panjang. Intoleransi gastrointestinal, mual,

(12)

jam muntah, peningkatan enzim transaminase

Kontra indikasi relatif untuk digunakan bersama dengan Rifampisin karena adanya interkasi obat yang menyebabkan kadar LPV/r hilang hingga 90%

 AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal terutama pada ODHA dengan indeks massa tubuh rendah dan jumlah CD4 yang rendah. Perlu dilakukan pemantauan kadar hemoglobin pada pemberian AZT

 TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal, sehingga diperlukan pemantauan fungisi ginjal pada pengobatan dengan TDF

Pengobatan ARV harus dilakukan dengan tiga jenis obat dan berada dalam dosis terapeutik. Panduan yang ditetapkan pemerintah untuk pengobatan lini pertama adalah sebagai berikut:

2 NRTI + 1 NNRTI

Terapi ARV lini pertama dapat dilakukan dengan salah satu panduan di bawah ini:

2.3 Koinfeksi TB-HIV

Pengendalian TB dimulai dari penemuan pasien yang terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, dan penentuan klasifikasi penyakit serta tipe pasien. Penemuan dan penyembuhan pasien TB dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB, penularan, dan merupakan salah satu upaya pencegahan penularan TB.3

Penegakan diagnosis TB pada umunya didasarkan pada pemeriksaan bakteriologis dari dahak, namun untuk mendiagnosis TB pada pasien ODHA digunakan alur tersediri, hal ini disebabkan karena pemeriksaan dahak pada ODHA dengan TB seringkali menunjukkan hasil negatif. Selain itu pasien TB serinkali

(13)

mengalami TB ekstraparu dimana diagnosisnya sulit untuk ditegakkan, karena pemeriksaan harus disesuaikan dengan tempat terjadinya infeksi kuman TB.3

2.3.1 Manifestasi klinis koinfeksi TB-HIV

Gejala klinis pasien TB yang utama adalah batuk berdahak lebih dari dua minggu. Selain itu dapat disertai dengan keluhan demam, badan lemas, berkeringat di malam hari tanpa beraktivitas, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan batuk darah. Gejala sesak nafas dan nyeri dada juga bisa terjadi jika pasien mengalami komplikasi.3,7

Pada ODHA, gejala klinis dari TB seringkali tidak spesifik. Gejala yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan.3,7

2.3.2 Diagnosis koinfeksi TB-HIV

Meskipun hasil pemeriksaan dahak mikroskopis pada ODHA sering kali negatif, pasien ODHA tetap harus dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis. Pemeriksaan cukup dilakukan dengan dua spesimen (sewaktu dan pagi = SP), bila salah satu spesimen hasilnya BTA positif, maka diagnosis TB sudah dapat ditegakkan.3

Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis TB adalah dengan biakan dari dahak, namun pemeriksaan biakan ini membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 6 - 8 minggu, maka untuk mendiagnosis TB pada ODHA tidak bisa hanya mengandalkan pemeriksaan biakan saja, karena dapat meneybabkan peningkatan angka kematian akibat TB pada ODHA. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan dahak mikroskopis nya BTA negatif, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan karena dapat menunjang diagnosis jika hasil pemeriksaan penunjang lainnya negatif.3

Pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis terutama pada pasien BTA negatif. Pada pasien BTA positif, foto toraks dianjurkan jika pasien sesak nafas, batuk darah, atau ada kecurigaan infeksi paru lainnya.3

(14)

2.3.3 Pengobatan koinfeksi TB-HIV

Status HIV tidak mempengaruhi kategori pengobatan TB. Pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB-HIV harus diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV dapat diberikan setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, yaitu sekitar dua minggu dan paling lambat 8 minggu.1,3,6

Pengobatan OAT dan ARV tidak langsung dilakukan secara bersamaan, dikarenakan banyaknya jumlah obat yang harus diminum, selain itu jika timbul efek samping akan sulit untuk menentukan efek tersebut disebabkan obat yang mana. Oleh karena itu pengobatan OAT diberikan terlebih dahulu, kemudian pengobatan ARV di berikan setelah pasien sudah stabil dengan pengobatan OAT (tidak timbul efek samping). Pada kondisi penyakit HIV yang sudah lanjut, sebaiknya terapi ARV dimulai lebih cepat, tetapi tetap menunggu sampai tidak ada keluhan dengan pengobatan OAT. 1,3,6

Pada ODHA yang sedang menjalani terapi ARV, perlu dilakukan rencana pengobatan TB bersamaan dengan ARV. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain adanya interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa jenis ARV), gagal pengobatan ARV, atau diperlukannya substitusi obat ARV. 1,3,6

(15)

Rekomendasi untuk tatalaksana ARV pada ko-infeksi TB-HIV

 Terapi dimulai tanpa melihat jumlah CD4

 Efavirenz digunakan sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV selama dalam pengobatan TB

 Terapi ARV dimulai segera setelah pengobatan TB dapat di toleransi3 Pilihan ARV pada ODHA dengan TB yang sedang menjalani ARV

Panduan ARV yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

 (AZT atau TDF) + 3TC + EFV (600mg/hari), setelah OAT selesai EFV dapat diganti dengan NVP. Jika terpaksa digunakan NVP bersamaan dengan OAT, maka dilakukan pemberian NVP tanpa lead-in dose (diberikan tiap 12 jam sejak awal terapi)3

 Pilihan utama NNRTI untuk koinfeksi TB-HIV adalah EFV, dikarenakan penurunan kadar EFV dalam darah akibat interaksi dengan rifampisin lebih kecil dibandingkan dengan NVP. Selain itu efek hepatotoksik lebih ringan.3

 Panduan triple NRTI hanya dapat diberikan bila ada kontraindikasi atau tidak dapat mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas. Panduan triple NRTI yang dapat diberikan adalah AZT + 3TC + TDF. Panduan ini sebenarnya tidak dianjurkan karena kurang poten jika dibandingkan dengan panduan berbasis NNRTI.3

(16)

2.3.4 Pengobatan pencegahan dengan isoniazid (PP-INH)

Pengobatan pecegahan dengan isoniazid diberikan kepada ODHA dengan tujuan untuk mencegah TB aktif, sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA. Pada ODHA yang tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi, dapat diberikan PP-INH yaitu pemberian isoniazid dengan dosis 300mg/hari dan pemberian B6 dengan dosis 25mg/hari selama 7 bulan.

2.3.5 Pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK)

Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksazol diberikan dengan tujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat infeksi oportunistik pada ODHA dengan ataupun tanpa TB. Kotrimoksazol diberikan dengan dosis 960mg/hari.

(17)
(18)

2.3.7 Interaksi ARV dengan OAT

Interaksi obat ARV dengan OAT yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:

2.3.8 Pemantauan terapi TB-HIV

Monitoring klinis dilakukan pada minggu ke-2, 4, 8, 12, dan 24 sejak memulai ART. Kemudian monitoring dilanjutkan setiap 6 bulan bila kondisi pasien telah stabil. Pada setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis dan monitoring laboratorium untuk melihat adanya tanda-tanda efek samping obat dan gagal terapi. Pemeriksaan CD4 dianjurkan untuk dilakukan secara rutin setiap enam bulan. Pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 > 100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.1,3,6

Pada pasien yang diberikan pengobatan AZT, maka perlu dilakukan monitoring kadar hemoglobin saat sebelum memulai pengobatan dan pada minggu ke 4, 8, dan 12

(19)

setelah memulai terapi. Monitoring fungsi ginjal perlu dilakukan pada pemberian TDF karena obat bersifat nefrotoksik.3

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman

Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2011. DEPKES RI.

2. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2016. 2016.

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tatalaksana Koinfeksi TB-HIV.

4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2002

5. Kumar V, Abbas AK, et al. Robbins and Cotran Pathologic Basis

of Disease 9th edition. Philadelphia: Elsevier, 2015.

6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman

Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Anti Retroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: 2011.

7. World Health Organization. TB/HIV, A Clinical Manual 2nd

Referensi

Dokumen terkait

Norma yang berlaku dalam masyarakat memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Umumnya tidak tertulis. Merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat. Warga masyarakat patuh. Apabila

Tidak ada hubungan yang bermakna antara derajat keparahan infeksi Soil Transmitted Helminths dengan status gizi dan anemia pada anak SD di wilayah kerja Puskesmas Kokap I,

Kendala yang ditemukan dalam penerapan green construction yaitu yaitu tidak adanya guideline, kurang sosialisasi dari pemerintah, procedural, peraturan, alternatif

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen pendidikan dimasa depan merupakan manajemen pendidikan yang dirancang atau disusun

a) Yang dimaksud dengan sastra pengaruh peralihan dalam sastra Indonesia lama ialah sastra Indonesia lama yang mengandung unsur Hindu dan Islam. Karya sastra yang termasuk

In the first thought, it appears that if Muslims tried to form a purely interest free society, then the economic systems of the respective Muslim countries would collapse. This fear

Input Data Buku Jurnal Transaksi Pengolahan Data Profil Pengolahan Data Sekolah Pengolahan Data Buku Jurnal Transaksi Data Profil Data Sekolah Data Kas Umum Data Kas Bantu

Secara keseluruhan dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Lemongrass Resto merupakan rumah makan yang memiliki standar dari segi Menu,