• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate

Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront

Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan, terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam (Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai (garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008).

Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai. Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru.

Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir mengalami perubahan.

Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia

(2)

sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye tahun 2001.

Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara darat dan laut.

(3)

Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km2), dengan titik awal delineasi pada koordinat 0°46”941 LU, 127°23”305 BT dan titik akhir pada koordinat 0°48”033 LU, 127°23”160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah 3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi 3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat 0°47”456 LU, 127°23”415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai awal (tahun 2001).

Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan hanya 110,07 km2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau Ternate bertambah menjadi 110,30 km2. Secara administratif, terjadi penambahan luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08 km² (tahun 2010) (Gambar 19).

(4)

Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat) kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk (perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut.

Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir tersebut.

Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur, bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya.

Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/Mall. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II) yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam

(5)

bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan waterfront.

(6)

Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya. Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12 ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront.

Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

Penggunaan Lahan Luas

(ha) Persentase (%) Badan air 4,25 17 Jalan 3,90 16 RTH/Taman Kota 2,86 12 Mall/Dept.Store 2,56 11 Pasar Tradisional 2,01 8 Permukiman 2,02 8 Pertokoan 1,42 6 RTH/Jalur Hijau 1,40 6 Ruko 1,12 5 Sarana Ibadah 0,87 4

Terminal Angkutan Umum 0,90 4

Perkantoran 0,59 2

TPS 0,03 1

(7)

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010

Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi. Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District-CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2004-2010 disajikan pada Gambar 21.

(8)

Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010 (Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%). Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha (55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004 seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan kawasan waterfront.

Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010 Penggunaan Lahan Tahun Perubahan 2004 (ha) 2010 (ha) Luas (ha) Persentase Perubahan luas/luas lahan awal

(%) Lahan Tidak Terbangun

Lahan Terbangun 9.166 944 8.755 1.465 -411 521 -4 55 Jumlah Luas 10.110 10.220 110

Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel 25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha. Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi. Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010

Penggunaan Lahan Tahun 2004 (ha)

Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha)

Jumlah Luas (ha) Lahan Tidak Terbangun

(non built up)

Lahan Terbangun (built up) Lahan Tidak Terbangun

(non built up) 8.721 445 9.166

Lahan Terbangun

(built up) 34 910 944

(9)

Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate

Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang ada di unit wilayah tersebut.

Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland). Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP.

Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan.

Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi (Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04 (lihat Gambar 22).

(10)

Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan

Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit. Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006, 2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu tempuh.

Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3 (hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,

9,25 9,86 8,29 9,80 25,04 24,55 26,05 24,86 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 2005 2006 2008 2011 Stdev IP Average IP 58,49 10,17 59,73 10,15 48,34 12,75 11,95 60,17

(11)

terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa), dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma).

2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 24,86 - 34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir.

3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Indeks

Perkembangan (IP) Jumlah Jenis Hierarki 1 Pesisir Bukan pesisir 6 1 > 34,66 140 Hierarki 2 Pesisir Bukan pesisir 8 7 24,86 - 34,66 275 Hierarki 3 Pesisir Bukan pesisir 18 8 < 24,86 398

Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12 kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir

(12)

(Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro).

2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir.

3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Indeks

Perkembangan (IP) Jumlah Jenis Hierarki 1 Pesisir Bukan pesisir 3 3 > 34,29 123 Hierarki 2 Pesisir Bukan pesisir 7 5 25,04 - 34,29 213 Hierarki 3 Pesisir Bukan pesisir 22 8 < 25,04 428

Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011), sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi 18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.

(13)

Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011 Hierarki Wilayah Tahun 2005 Tahun 2011 Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Hierarki 1 3 3 1 6 Hierarki 2 5 7 7 8 Hierarki 3 8 22 8 18

Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah hinterland dari wilayah yang lainnya.

(14)

Cakupan Pelayanan Infrastruktur

Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen. Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.

Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure), infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur hijau (green infrastructure).

Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan

Kondisi Eksisting Jaringan Jalan

Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa

(15)

pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.

Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010

Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997 hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km

(16)

(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun 2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km. Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate.

Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan

Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990

Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan). Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32 Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00 Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75 Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67

(17)

Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah. Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota dengan panjang jalan 23,10 km dan lebar jalan 5-6 m. Jalan lokal primer menghubungkan jalan kolektor sekunder dengan lokal sekunder, dengan panjang jalan 39,8 km. Sementara untuk jalan lokal sekunder merupakan jalan lingkungan yang menghubungkan langsung dengan jalan lokal primer. Panjang jalan lokal primer adalah 41,27 km dan hanya tipe kendaraan mobil dan motor yang dapat diizinkan untuk melintas.

Klasifikasi jalan perkotaan sesuai fungsinya berdasarkan Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990, yang dibandingkan dengan kondisi eksisting jaringan jalan di kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 29 dan Lampiran 3. Lebar jalur pada jalan kolektor primer dan jalan kolektor sekunder telah memenuhi standar yang ada. Jalan lokal primer dan lokal sekunder masih belum memenuhi standar, yaitu masing-masing masih terdapat ruas jalan dengan lebar jalur hanya 3 m dan 1,5 m.

Tabel 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate Status Jalan Kondisi

Jalan Panjang Jalan (km) Lebar Jalur (m) Standar

Lebar Jalur* (m) Keterangan Kolektor Primer Baik 47,499 6,0-8,0 5,0-6,0 Memenuhi standar Jumlah 47,499

Kolektor Sekunder Baik Rusak

41,651

7,947 5,0-6,0 5,0-6,5 Memenuhi standar Jumlah 49,598

Lokal Primer Baik Rusak 21,278 4,958 3,0-7,0 4,5-5,0 Belum memenuhi standar Jumlah 26,236 Lokal Sekunder Jumlah Baik Rusak 26,347 2,720 29,067 1,5-5,0 3,0-4,5 Belum memenuhi standar * Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990

Akses Pencapain Infrastruktur Jalan per Kecamatan

Akses pencapaian prasarana jalan dianalisis berdasarkan kerapatan jalan yaitu hasil perbandingan antara luas wilayah dibagi dengan panjang jalan. Semakin rapat jalan semakin mudah akses di dalam wilayah, yang berimplikasi pada; 1) cakupan wilayah pelayanan jaringan jalan dan 2) jarak tempuh. Analisis

(18)

kerapatan jalan di Kota Ternate menunjukkan bahwa kecamatan Ternate Tengah memiliki kerapatan jalan tinggi. Ini ditandai dengan kerapatan jalan 0,280 km (<0,5 km), yang berarti bahwa untuk menuju ke kecamatan ini mudah diakses dan waktu tempuh relatif lebih cepat. Berbeda halnya dengan kecamatan Pulau Ternate yang hanya memiliki kerapatan jalan 1,073 km (>0,5 km). Hal ini menunjukkan kerapatan jalan rendah di kecamatan Pulau Ternate dibanding dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Pulau Ternate juga memiliki permukiman yang jarang, sehingga berpengaruh pada perkembangan jaringan jalan yang ada. Analisis kerapatan jalan di Kota Ternate tahun 2010 disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010

Kecamatan Panjang Jalan (km) Luas Wilayah (km2) Kerapatan Jalan (km/km2) Keterangan* Pulau Ternate 34,685 37,23 1,073 Kerapatan jalan rendah Ternate Selatan 38,293 16,98 0,443 Kerapatan jalan tinggi Ternate Tengah 38,656 10,85 0,280 Kerapatan jalan tinggi Ternate Utara 27,504 14,38 0,522 Kerapatan jalan rendah

*kerapatan jalan <0,5 km/km2 = kerapatan jalan tinggi; kerapatan jalan >0,5 km/km2 = kerapatan jalan rendah

Kecamatan Ternate Tengah merupakan Bagian Wilayah Kota II (BWK II), yang diarahkan untuk pengembangan kawasan jasa dan perdagangan, pariwisata, pelabuhan, pemukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga, sehingga kerapatan jalan meningkat/tinggi yang menyebabkan akses ke pusat kota (sarana dan prasarana kota) semakin mudah. Luas wilayahnya hanya 10,85 km2, dengan panjang jalan 38,656 kmyang menunjukkan tingkat kerapatan jalan tinggi yaitu 0,280 km/km2. Hal ini memberikan dampak pada tingginya mobilisasi moda transportasi di kecamatan tersebut (lihat Gambar 26).

(19)

Gambar 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah

Gambar 27 menampilkan prasarana jalan di Kecamatan Ternate Selatan, dengan tingkat kerapatan tinggi hanya terdapat pada beberapa kelurahan/desa yang temasuk bagian pusat kota Ternate. Luas wilayah 16,98 km2 memiliki panjang jalan 38,293 km, sehingga kerapatan jalannya tergolong tinggi yaitu 0,443 km/km2. Jalan lokal sekunder mendominasi jaringan jalan yang ada di kecamatan tersebut, sehingga akses dari permukiman ke pusat-pusat prasarana dapat dicapai dan waktu tempuh relatif lebih cepat.

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

(20)

Gambar 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan

Infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara memiliki kerapatan jalan rendah. Kerapatan jalannya 0,522 km/km2 (>0,5 km/km2) dengan luas wilayah 14,38 km2 dan panjang jalan yang berada di kecamatan ini adalah 27,504 km. Kerapatan jalan dominan berada di sekitar pusat kota (menuju Kecamatan Ternate Tengah). Meskipun demikian, akses dari permukiman ke pusat-pusat sarana dan prasarana kota cenderung mudah, yang dihubungkan dengan jalan lokal primer dan lokal sekunder (jalan lingkungan) menuju jalan kolektor sekunder maupun jalan kolektor primer. Gambar 28 memperlihatkan ketersediaan infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara.

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

(21)

Gambar 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara

Sementara untuk infrastruktur jalan di Kecamatan Pulau Ternate yang ditampilkan dalam Gambar 29, menunjukkan bahwa hanya terdapat jalan kolektor primer, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Umumnya kawasan permukiman memadati sepanjang jalan kolektor primer. Luas wilayahnya 37,23 km2 cenderung lebih luas dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang merata dengan panjang jalan 34,685 km, sehingga memiliki kerapatan jalan rendah yaitu 1,073 km/km2 (>0,5 km/km2). Akses menuju pusat sarana dan prasarana kota tergolong mudah, karena dihubungkan dengan jalan kolektor

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

(22)

primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama.

Gambar 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Jaringan Jalan

Infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang akan membentuk struktur tata ruang kota (Sinulingga, 1999), dimana hampir semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung memerlukan jaringan jalan. Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat,

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

(23)

infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi terhadap pemakai jalan.

Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya.

Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah, sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut.

Infrastruktur Air Bersih

Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih

Air bersih yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum bagi masyarakat kota saat ini masih bersumber pada air permukaan dan air tanah melalui sumur dalam maupun sumur dangkal yang terdapat di wilayah Kota Ternate. Sumber air baku yang meliputi air permukaan berasal dari danau Laguna di kecamatan Ternate Selatan, sedangkan air tanah berasal dari mata air Tege-Tege yang berada di kecamatan Ternate Tengah, mata air Akega’ale, mata air Santosa di kecamatan Ternate Utara, dan mata air Akerica di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 30).

(24)

Instalasi Pengolahan Air Minum pertama yang dibangun guna memenuhi kebutuhan pelabuhan Ternate pada tahun 1976 adalah dengan membuat sumur gali dan menara air (tower reservoir) di jalan Jenderal A.Yani. Sistem tersebut kemudian dikembangkan pada ground reservoir yang bersumber dari mata air Santosa dan mulai melayani 200 sambungan pelanggan di pusat kota Ternate. Dengan bantuan hibah dalam program Six City’s Water Supply pada tahun 1980, kemudian dibangun 6 unit sumur berkapasitas 60 liter/detik dengan sistem pengendalian terpusat di Operation Building yang berada di Kelurahan Kalumpang, Ground Reservoir dengan kapasitas 1.080 m3 di Skep (Kelurahan Salahudin) dan jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang ±82 km yang tersebar di pusat kota.

Pada tahun 1991 hingga saat ini, bangunan penyadap air semakin bertambah. Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah bagian tengah dan utara kota, maka dibangun Instalasi Akega’ale dengan kapasitas 60 lt/det yaitu 6 unit sumur dangkal, reservoir di Facei dengan kapasitas 500 m3 serta sistem booster di Skep dan reservoir di Tabahawa 300 m3 dan perluas jaringan pipa distribusi sepanjang ±52 km’. Untuk melayani wilayah bagian selatan kota, dibangun instalasi Ubo-Ubo sebesar 40 lt/det dengan 2 unit sumur bor, reservoir di kelurahan Ubo-Ubo yang berkapasitas 500 m3 serta reservoir di Jan dengan kapasitas 100 m3 dalam upaya melayani pada daerah ketinggian.

Jaringan pipa yang tertanam di tiap-tiap kota umumnya menggunakan jenis pipa Poly Vinyl Cloride (PVC) dan Galvanis Iron Pipe (GIP) dengan berbagai ukuran, seperti yang disajikan dalam Tabel 31.

Tabel 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi

Jaringan Pipa (mm) Transmisi (m) Distribusi (m) Dn-315 Dn-250 Dn-200 Dn-160 Dn-110 Dn-90 Dn-75 Dn-63 Dn-50 1.700 1.481 3.505 975 2.066 - - - - 1.276 1.382 6.391 14.535 27.106 28.059 39.445 51.485 13.297 Jumlah 9.664 182.968

(25)

Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan distribusi disajikan pada Gambar 30.

Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate

Wilayah cakupan pelayanan air bersih yang bersumber dari PDAM melingkupi 4 (empat) kecamatan di Kota Ternate, yaitu kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate. Data tahun 2008 sampai tahun 2011 yang bersumber dari PDAM Kota Ternate, menampilkan jumlah penduduk yang terlayani pada 4 (empat) kecamatan tersebut semakin meningkat. Pada tahun 2008, misalnya pada Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM yaitu 33.738 jiwa meningkat menjadi 41.916 jiwa di tahun 2011. Di kecamatan Pulau Ternate, peningkatan jumlah penduduk yang terlayani tidak terlalu singnifikan, yakni penambahan jumlah penduduk hanya berkisar 200 jiwa atau naik dari 2.025 jiwa (tahun 2008) menjadi 2.256 jiwa (tahun 2011) (Gambar 31).

(26)

Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM

Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32. Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2 kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan.

Gambar 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010 PULAU TERNATE TERNATE SELATAN TERNATE TENGAH TERNATE UTARA 2008 2.052 33.738 29.688 28.344 2009 2.058 35.820 30.864 27.756 2010 2.082 37.488 32.010 32.112 2011 2.256 41.916 36.228 32.550 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000

(27)

Komparasi Ketersediaan Air Bersih dengan Standar Kebutuhan Air Minum Berdasarkan Pedoman No.534/KPTS/M/2001

Standar kebutuhan air bersih untuk wilayah perkotaan adalah 60-220 liter/orang/hari dengan cakupan pelayanan 55%-75% (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air bersih kota Ternate diasumsikan 100 liter/orang/hari, maka kebutuhan air bersih dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari).

Dengan perhitungan ini, maka diketahui kebutuhan air bersih pada tahun 2011 adalah sebesar 18.331.300 lt/hari (Tabel 33). Sementara itu, ketersediaan air bersih hanya 3.965.760 lt/hari, sehingga masih kekurangan 14.365.540 lt/hari. Data tersebut mengindikasikan bahwa masih dibutuhkan peningkatan kapasitas produksi sebesar 78% di tahun 2011.

Perhatikan Tabel 32, jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak 183.313 jiwa, dimana jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM di Kota Ternate sebanyak 112.950 jiwa (62%) dan penduduk yang tidak terlayani sebanyak 70.363 jiwa (38%). Kecamatan Ternate Utara memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM yang terbanyak yaitu sekitar 68% (32.550 jiwa) dari jumlah penduduk yang bermukim di kecamatan tersebut. Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Pulau Ternate masing-masing memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM sebanyak 66% (36.228 jiwa), 64% (41.916 jiwa) dan 15% (2.256 jiwa). Merujuk pada jumlah penduduk dan jumlah penduduk terlayani air bersih, maka jumlah penduduk yang tidak terlayani air bersih di empat kecamatan tersebut berkisar 32-85%. Angka tersebut didasarkan pada hasil perhitungan persentase jumlah penduduk tidak terlayani dibagi dengan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang belum terlayani air bersih dari PDAM cukup tinggi. Hal demikian dipengaruhi oleh adanya beberapa kelurahan/desa di kecamatan Pulau Ternate yang belum mendapat akses air bersih dari PDAM.

(28)

Tabel 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011 Infrastruktur Air Bersih

PDAM Kecamatan Kota Ternate Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Jumlah Penduduk (jiwa) 15.024 65.888 54.677 47.724 183.313 Kebutuhan Air Bersih*

(lt/hari) 1.502.400 6.588.800 5.467.700 4.772.400 18.331.300 Jumlah Penduduk Terlayani PDAM (Jiwa) 2.256 41.916 36.228 32.550 112.950 (%) 15 64 66 68 62 Ketersediaan Air Bersih PDAM (lt/hari) 79.210 1.471.702 1.271.993 1.142.855 3.965.760 (%) 5 22 23 24 22 Jumlah Penduduk Tidak Terlayani PDAM (jiwa) 12.768 23.972 18.449 15.174 70.363 (%) 85 36 34 32 38 Kekurangan Air Bersih PDAM (lt/hari) 1.423.190 5.117.098 4.195.707 3.629.545 14.365.540 (%) 95 78 77 76 78 *Standar 100 lt/org/hari

Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01 ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5 tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan.

Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan (18.916 sambungan). Namun sebagian pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97% atau 5.930.417 m3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu 14.475.024 m3. Dampak kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a).

Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk

(29)

mendapatkan distribusi air minum PDAM. Hal ini mengindikasikan belum terpenuhinya persyaratan kontinuitas secara menyeluruh dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Air Bersih

Masih terdapat beberapa kelurahan/desa pada Kecamatan Ternate Tengah, dan Kecamatan Pulau Ternate yang belum terlayani air bersih PDAM. Di Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2 (dua) kelurahan yang tidak terlayani. Sementara untuk Kecamatan Pulau Ternate masih terdapat 10 (sepuluh) kelurahan yang belum tersedia air bersih dari PDAM. Hal ini disebabkan karena kondisi topografis, dimana wilayah/kelurahan tersebut berada pada ketinggian (dataran tinggi) dan jauh dari sumber air atau reservoir yang ada sebelumnya. Untuk mendistribusikan air bersih ke wilayah tersebut tentunya memerlukan biaya operasional yang tinggi, karena pada umumnya sumber air baku berada pada wilayah pesisir/dataran rendah. Wilayah yang tidak terlayani air bersih dari PDAM, masih memanfaatkan sumur gali, penampungan air hujan dan mata air sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari.

Kapasitas produksi air (supply) masih jauh dari rata-rata kebutuhan air (demand) yang harus disediakan oleh PDAM. Hal ini dikaitkan juga dengan tingkat kehilangan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 40% di tahun 2011, sehingga menimbulkan biaya (nilai jual) yang tinggi terhadap konsumen. Wilayah cakupan pendistribusian air bersih hanya menjangkau bagian pusat kota yang berada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelayanan PDAM terhadap kebutuhan masyarakat di Kota Ternate masih belum mencukupi standar pelayanan. Tingkat akses prasarana air yang rendah akan mengakibatkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat.

Infrastruktur Listrik

Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik

Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit, penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.

(30)

Pembangkit listrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di Kota Ternate yaitu dengan memanfaatkan tenaga diesel. Panjang jaringan yang ada untuk tegangan rendah (SUTR) 171,83 KMS dan tegangan menengah (SUTM) 94,08 KMS, dengan jumlah gardu sebanyak 133 dan kapasitas terpasang 35.870 VA (lihat Tabel 33). Sampai tahun 2010, wilayah pelayanan (service area) kelistrikan sudah menjangkau seluruh kelurahan di Kecamatan Ternate Utara, Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Pulau Ternate, namun demikian pada waktu tertentu sering mengalami pemadaman bergilir dalam kurun waktu rata-rata 1 jam. Tabel 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang

Uraian Satuan Jumlah

Jumlah Pelanggan Sambungan 27.310

SKTM KMS 0,70

SUTM KMS 94,08

SUTR KMS 171,83

Daya Terpasang VA 35.870

Gardu Buah 133

Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2010)

Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar 102.233 MWH dengan daya tersambung sebesar 40.467 MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan jumlah mesin yang ada.

Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas mesin, selama tahun 2006-2011. Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun 2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6 unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang dihasilkan sebesar 65.600 MWH di tahun 2006 meningkat hingga 115.620 MWH pada tahun 2011. Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006 sebesar 31.239 KVA meningkat menjadi 41.042 KVA di tahun 2011. Daya mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini

(31)

mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dalam waktu rata-rata 4 jam/hari, sehingga menggangu aktivitas masyarakat.

Tabel 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate

Keadaan Mesin 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jumlah Mesin (Unit) Kapasitas Terpasang (KW) Daya Mampu (KW) Beban Puncak (KW) Produksi (MWH) Daya Sambung (KVA)

7 21.122 13.300 12.811 65.600 31.239 7 21.122 12.800 12.811 76.553 34.814 6 24.402 11.300 12.270 82.904 38.468 7 26.842 14.500 15.000 87.015 39.215 6 25.802 18.900 16.815 102.233 40.467 7 27.064 26.200 19.000 115.620 41.042 Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2011)

Cakupan pelayanan listrik pada masing-masing kecamatan ikut mengalami peningkatan. Variabel jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 33 menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan listrik dari PT. PLN Cabang Ternate cenderung semakin meningkat. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan terbanyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Sementara untuk jumlah pelanggan listrik yang terkecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh faktor jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk di kecamatan Ternate Selatan lebih banyak sedangkan penduduk yang jumlahnya lebih kecil berada pada kecamatan Pulau Ternate.

Gambar 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN Tahun 2005-2011 0 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 PULAU TERNATE TERNATE SELATAN TERNATE TENGAH TERNATE UTARA 2005 2.263 6.968 7.434 5.672 2006 2.279 6.968 7.434 5.678 2008 3.093 11.195 10.632 8.711 2011 3.250 12.884 12.292 10.186

(32)

Gambar 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN Tahun 2011

Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah. Kategori jumlah pelanggan 700-1.000 sambungan/pelanggan terdapat pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate, terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota (kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota.

Komparasi Ketersediaan Listrik Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004

Jaringan distribusi dan jumlah daya terpasang/daya sambung listrik menjadi hal utama dalam pemenuhan energi listrik. Daya sambung listrik yang diproduksi oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke gardu induk melalui jaringan transmisi selanjutnya diteruskan ke gardu-gardu distribusi kemudian

(33)

disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, mengsyaratkan bahwa setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlahkebutuhan rumah tangga.

Evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana listrik dianalisis berdasarkan jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah pelayanan. Besaran daya dalam wilayah layanan dipengaruhi jumlah dan kepadatan rumah tangga (KK) wilayah tersebut. Pasokan daya yang dibutuhkan disebar melalui jaringan transmisi (gardu listrik).

Jika distandarkan daya listrik minimal yang harus dilayani 450 VA per jiwa, maka dapat dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak 183.313 jiwa sehingga didapat jumlah daya listrik yang dibutuhkan adalah 82.491.300 VA atau 82.491 KVA. Dibadingkan dengan daya sambung 41.042 KVA pada tahun 2011, maka pasokan listrik rumah tangga secara keseluruhan belum mampu melayani standar kebutuhan yang ada dan masih kekurangan pasokan daya listrik sekitar 50%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011

Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Keluarga (KK) Jumlah Pelanggan Daya Tersambung Standar Kebutuhan Daya Listrik* (KVA) Kekurangan Daya Listrik (PLG) (%) (KVA) (%) (KVA) (%) Pulau Ternate 15.024 3.947 3.250 82 3.455 51 6.761 3.306 49 Ternate Selatan 65.888 15.795 12.884 82 13.695 46 29.650 15.955 54 Ternate Tengah 54.677 11.898 11.892 100 13.066 53 24.605 11.539 47 Ternate Utara 47.724 10.882 10.186 94 10.827 50 21.476 10.649 50 Kota Ternate 183.313 42.522 38.212 90 41.042 50 82.491 41.449 50

*Standar minimal daya listrik 450 VA per jiwa

Melihat jumlah pelanggan listrik dengan jumlah keluarga di Kota Ternate yang tersaji pada Tabel 36, maka jumlah keluarga yang telah mendapat akses listrik sekitar 90%. Pada masing-masing kecamatan, persentase jumlah pelanggan yang telah teraliri listrik berkisar 82-100%. Persentase jumlah pelanggan tersebut didasarkan pada perhitungan jumlah pelanggan dibagi dengan jumlah keluarga

(34)

yang berada pada masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap listrik mudah dan telah menjangkau empat kecamatan yang ada di Kota Ternate.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Listrik

Ketersediaan infrastruktur listrik telah menjangkau ke seluruh kecamatan yang berada di kota Ternate. Cakupan pelayanan listrik di tiap kecamatan ikut mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2011. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang terbanyak, sedangkan kecamatan Pulau Ternate memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan tersebut. Jika dibandingkan dengan standar SNI 03-1733-2004 yang mengsyaratkan setiap unit rumah tangga harus dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa, maka pasokan daya listrik rumah tangga pada tahun 2011 belum mampu melayani standar kebutuhan masyarakat.

Daya mampu infrastruktur listrik antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan, disebabkan oleh rusaknya mesin pembangkit listrik. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dengan waktu rata-rata 4 jam/hari. Pemadaman listrik secara bergilir berdampak pada terganggunya aktivitas masyarakat dan menambah biaya (cost) untuk produksi di berbagai sektor yang berujung pada kerugian perekonomian daerah.

Infrastruktur Sistem Drainase

Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Sistem Drainase

Sistem drainase kota juga disebut sistem tulang daun, yakni terdiri dari saluran utama/primer (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air hujan ke laut, saluran pengumpul (sekunder) dan saluran lokal (tersier). Saluran drainase primer di Kota Ternate berupa sungai (kalimati) membentuk sistem drainase makro, sedangkan sistem drainase mikro berupa saluran drainase sekunder dan tersier terbentang mengikuti jaringan jalan utama maupun jalan lingkungan.

(35)

Kondisi eksisting saluran drainase utama kota Ternate, baik alamiah maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih tinggi (>500 mdpl) dari pada elevasi dasar muara/pantai (< 50 mdpl). Hal ini berkaitan dengan kondisi topografis yang bervariatif, karena berupa pulau gunung api yang mengerucut ke puncak (kawah gunung api). Kondisi topografis yang demikian memudahkan dalam mengalirkan air permukaan menuju ke laut tanpa memerlukan teknologi, namun kelemahannya terletak pada tingkat sedimentasi yang sangat tinggi akibat erosi, apalagi jenis tanahnya ialah Regosol yang sangat peka terhadap pergerakan air.

Secara makro pola penggunaan lahan perkotaan mempengaruhi sistem drainase. Pola penggunaan lahan di kota Ternate, diantaranya lahan permukiman (1.270,23 ha), jasa dan perdagangan (69,26 ha), hutan lindung (2.608,26 ha), perkebunan (5.125,68 ha), dan pertanian lahan kering (208,18 ha). Penggunaan lahan permukiman terkonsentrasi di kawasan pusat kota, akibat adanya daya tarik ketersediaan infrastruktur yang terpusat di kawasan tersebut. Keterbatasan lahan dalam kota yang disertai tingginya harga lahan serta kecenderungan berkembangnya permukiman yang mendekat ke infrastruktur kota memicu pembangunan perumahan pada areal bantaran sungai serta lahan pertanian dan perkebunan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dengan tingkat kemiringan lereng 15-30%. Kondisi ini akan berdampak pada cepatnya atau bertambah besar aliran permukaan dan berkurangnya cadangan air tanah, karena semakin berkurangnya daerah resapan air.

Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, akan berdampak pada kebutuhan lahan permukiman. Kondisi demikian tentunya mempengaruhi konversi lahan dari kawasan perkebunan maupun pertanian menjadi kawasan permukiman. Konversi lahan di kota Ternate tidak merata di setiap kecamatan, disebabkan karena hanya 3 (tiga) kecamatan yang berada di pusat kota atau dekat pusat kota, cenderung memiliki daya tarik untuk bermukim di lokasi tersebut. Khususnya untuk lahan permukiman di sekitar pesisir pantai ikut terkonversi menjadi lahan jasa dan perdagangan, sedangkan wilayah belakang/puncak gunung (hinterland) terkonversi menjadi kawasan permukiman.

(36)

Konversi lahan perkebunan dan pertanian menjadi lahan terbangun seperti permukiman ataupun sarana dan prasarana tentunya akan berpengaruh pada kondisi tata air tanah dan fisiografis lahan. Kemampuan tanah dalam menyerap air akan semakin berkurang seiring dengan terganggunya tata air tanah yang berdampak pada besarnya aliran permukaan serta perubahan permukaan tanah. Tanpa adanya upaya pematangan lahan yang baik, maka akan berakibat terjadinya longsor dan erosi karena sangat tidak menguntungkan dengan jenis tanah Regosol dan kemiringan lereng rata-rata >8-15% yang mendominasi bentang alam kota Ternate. Material erosi dan longsor yang terbawa serta kedalam saluran air dan sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran.

Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Tengah menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut sebagai saluran primer dengan 107 bangunan gorong-gorong (Culvert), 18.131 m saluran tersier, 30.276 m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor yang berada di kawasan permukiman seluas 340,10 ha atau 24,79% dari jumlah luas wilayahnya 1.371,88 ha. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah

Kelurahan Luas Wilayah (ha) Luas Lahan Permukiman (ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase Sekunder (m) Tersier (m) Gorong-Gorong Sungai Makassar Timur 18,74 18,68 1432 802 12 - Makassar Barat 29,03 22,75 1150 2250 9 - Santiong 24,36 16,47 1440 1906 8 1 Gamalama 40,56 38,99 3578 1394 19 - Kalumpang 25,73 24,38 2383 1945 13 1 Moya 453,20 15,91 3596 2739 19 2 Marikrubu 432,79 51,12 5932 475 7 4 Muhajirin 14,38 14,03 1050 278 3 - Tanah Raja 8,42 8,42 792 444 3 - Stadion 16,54 14,78 1405 1096 - - Kampung Pisang 14,73 14,13 1198 1004 2 1 Maliaro 249,66 57,55 2747 1696 9 4 Takoma 20,46 20,39 1886 1042 - - Kota Baru 23,28 22,50 1687 1060 3 - Jumlah 1.371,88 340,10 30.276 18.131 107 13

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Tengah seperti yang terlihat dalam Gambar 35, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi

(37)

tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar Barat.

Gambar 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Tengah membentuk 3 (tiga) pola, yaitu pola pararel, pola siku dan pola jaring-jaring. Saluran-saluran drainase yang membentuk pola pararel dibuat sejajar dengan saluran sekunder untuk dialiri ke pembuangan saluran primer yakni sungai hingga menuju ke laut. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung sebelum masuk ke saluran sekunder.

Kecamatan Ternate Selatan memiliki saluran drainase yang terdiri dari 39 sungai sebagai saluran primer, 142 bangunan gorong-gorong, 19.070 m saluran tersier, dan 31.801 m saluran sekunder yang berada di kawasan permukiman (412,91 ha), dimana saluran sekunder sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor (Tabel 37). Kecamatan ini memiliki saluran primer (sungai) terbanyak dibanding kecamatan lainnya, sehingga aliran air dari hulu

(38)

sebagian besar masuk ke sungai-sungai yang melintasi kecamatan Ternate Selatan. Namun demikian dimensi sungai yang berada di bagian hilir cenderung semakin menyempit yang diakibatkan oleh permukiman warga yang berada di bantaran sungai. Selain itu, tumpukan sampah dan sedimentasi masih terlihat di hilir sungai hingga sampai ke tepi pantai.

Tabel 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan Kelurahan Luas Wilayah (ha) Luas Lahan Permukiman (ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase Sekunder (m) Tersier (m) Gorong-Gorong Sungai Toboko 12,06 10,42 956 1213 2 - Tanah Tinggi 44,56 33,10 3241 1713 6 3 Jati 58,11 41,13 3988 1750 6 - Jati Perumnas 25,31 16,70 1922 1849 10 2 Tobona 302,89 27,69 1872 996 10 2 Mangga Dua 58,03 51,87 1628 2487 6 3 Ubu-Ubo 22,23 21,59 1864 1082 11 1 Bastiong 60,38 57,91 2270 2803 28 3 Kalumata 333,63 73,54 2771 745 30 5 Sasa 388,83 30,91 938 1974 12 5 Gambesi 311,29 26,63 3814 2280 9 7 Fitu 331,15 21,42 6537 178 12 8 Jumlah 1.948,47 412,91 31.801 19.070 142 39

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Selatan, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kalumata, kelurahan Tobona, dan kelurahan Ngade (Gambar 36).

(39)

Gambar 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Selatan membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola pararel, pola siku, pola jaring-jaring dan pola grid iron. Pola pararel pada jaringan drainase di lokasi ini berfungsi sebagai saluran pengumpul untuk selanjutnya diteruskan ke saluran primer. Pola siku cocok untuk wilayah dengan topografi dataran tinggi, dimana aliran air dapat dialiri dari saluran sekunder yang dibuat lebih tinggi untuk mengaliri dengan baik langsung ke sungai/laut. Pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung/pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder. Beberapa saluran drainase sekunder yang membentuk pola grid iron dibangun sejajar satu sama lain sedangkan saluran yang lainnya dibuat sebagai saluran pengumpul.

Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Utara menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 101 bangunan gorong-gorong, 24.479 m saluran terseier, 18.703 m saluran sekunder yang berada di permukiman 360,79 ha atau 24,33% dari jumlah luas wilayahnya 1.482,42 ha (lihat Tabel 38).

(40)

Tabel 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara Kelurahan Luas Wilayah (ha) Luas Lahan Permukiman (ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase Sekunder (m) Tersier (m) Gorong-Gorong Sungai Tabam 234,89 39,76 1602 142 5 - Tafure 71,06 61,42 1959 106 3 1 Tubo 202,01 13,87 2663 454 5 1 Akehuda 52,79 34,82 2374 554 9 1 Dufa-Dufa 270,31 42,72 1825 1275 11 2 Sangaji 130,92 32,73 3700 6923 20 2 Toboleu 118,46 27,91 2725 2271 12 1 Salero 20,18 14,42 921 1741 12 1 Kasturian 59,67 20,53 3877 1841 11 1 Soasio 17,90 14,67 681 621 6 1 Soa 46,76 26,68 2122 2248 6 2 Sango 257,47 31,26 30 527 1 - Jumlah 1.482,42 360,79 24.479 18.703 101 13

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Sebagian area permukiman di kecamatan Ternate Utara masih belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kasturian, kelurahan Tubo, dan kelurahan Sangaji (Gambar 37).

(41)

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Utara membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola grid iron, pola radial, pola siku, dan pola jaring-jaring. Jaringan drainase dengan pola grid iron yakni seluruh drainase tersier mengarah pada drainase sekunder yang berada memanjang mengikuti jaringan jalan kemudian masuk ke saluran primer (sungai) hingga menuju ke laut. Pola radial dibangun agar supaya air berpencar ke segala arah sehingga air dibuang ke sebelah utara yang merupakan lahan perkebunan, ke sebelah timur menuju drainase sekunder sedangkan ke selatan menuju sungai. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder.

Kecamatan Pulau Ternate memiliki 13 kelurahan, yang terdata memiliki saluran drainase hanya 3 kelurahan yaitu kelurahan Kastela, Foramadiahi dan Jambula. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate menunjukkan bahwa terdapat 9 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 17 bangunan gorong-gorong (Culvert), 2.247 m saluran tersier, 2.918 m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor primer (jalan trans Ternate). Jumlah luas wilayah kecamatan ini adalah 4.770,68 ha dengan luas lahan permukiman 172,56 ha atau 3,62% dari luas jumlahnya. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 39.

Tabel 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate

Kelurahan Luas Wilayah (ha) Luas Lahan Permukiman (ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase Sekunder (m) Tersier (m) Gorong-Gorong Sungai Kastela 144,48 11,07 955 415 9 5 Foramadiahi 491,59 5,63 825 958 6 2 Jambula 115,16 33,01 1138 874 2 2 Jumlah 751,23 49,71 2.918 2.247 17 9

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Kecamatan ini memiliki luas permukiman terkecil dibanding dengan kecamatan lain, sehingga ikut berpengaruh pada jaringan drainase yang tersedia. Jaringan drainase yang berada di kecamatan Pulau Ternate, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Afetaduma, kelurahan Rua, dan kelurahan Dorpedu (Gambar 38).

(42)

Gambar 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate

Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa juga langsung menuju sungai.

Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas tampung 800 m3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m3/det. Namun hal tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.

Gambar

Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun 2001-2010
Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005
Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di wilayah Kecamatan Ngaliyan mengalami perubahan spasial yang membentuk pola perubahan konsentris spasial karena adanya akses utama, yakni berupa jalan kelas 1

“Saya sebenarnya sering melakukan pelanggaran lalu lintas, terutama yang sering itu melanggar marka jalan.. Itu merupakan salah satu contoh perilaku atau tingkat

dizinkan pada jam sibuk. i) Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain. j) Besarnya lala

Survey pendahuluan ini dilakukan untuk mengamati arus lalu lintas yang terjadi pada ruas jalan Gajah Mada Kota Padang Berda-sarkan hasil pengamatan terhadap pengguna angkutan

Kota Padang adalah kota yang terus berkembang dan arus lalu lintas yang keluar kota Padang pada sore hari sangat ditentukan oleh keseimbangn jaringan jalan.

Kinerja Jalan Gajahmada diluar beraktivitasnya Pasar Flamboyan dapat diperoleh dengan menggunakan data arus puncak lalu lintas dikurangi dengan kendaraan yang masuk