• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paper Brief. MENGAWAL PEMBAHASAN RKUHP: Dari Evaluasi Ke Rekomendasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Paper Brief. MENGAWAL PEMBAHASAN RKUHP: Dari Evaluasi Ke Rekomendasi"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

Paper Brief

MENGAWAL PEMBAHASAN RKUHP:

Dari Evaluasi Ke Rekomendasi

(2)

ii

Mengawal Pembahasan RKUHP 2015: dari Evaluasi ke Rekomendasi

Tim Penyusun:

Supriyadi Widodo Eddyono Anggara

Miko S. Ginting Editor

Luthfi Widagdo Eddyono Desain sampul:

Antyo Rentjoko

Lisensi Hak Cipta

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

Diterbitkan oleh:

Institute for Criminal Justice Reform

Jalan Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510

Phone/Fax: 021 7945455 Email: infoicjr@icjr.or.id http://icjr.or.id | @icjrid

Dipublikasikan pertama kali pada: Desember2015

(3)

iii

Pengantar

Pada 5 Juni 2015, Presiden akhirnya menerbitkan Surat Presiden untuk memulai pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(RKUHP) antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RKUHP ini diyakini akan mengganti KUHP yang saat ini berlaku dan dianggap sebagai peninggalan rezim kolonial. Setidaknya ada tiga dogma dasar yang dianut pemerintah mengenai perlunya penggantian KUHP dengan KUHP baru, yaitu prinsip dekolonisasi, deharmonisasi, dan demokratisasi hukum pidana Indonesia. Ketiga prinsip ini yang kemudiandiimplementasikan dalam RKUHP yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR.

Persoalannya, RKUHPternyata memiliki ketentuan-ketentuan yang luar biasa banyaknya dimana pemerintah dan DPR juga belum memiliki pengalaman yang cukup untuk membahas suatu rancangan legislasi. Di samping itu,jumlah pasalnya juga banyak(sejumlah768 pasal). Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi khusus dalam pembahasan RKUHP tersebut.

Selain itu, berkaca dari kegagalan pembahasan RKUHP pada tahun 2013-2014 dimana situasi dan momentum yang tidak tepat ditambah dengan kurang konsistennya DPR dalam pembahasan, makadiperlukan inovasi dalam melakukan pembahasan. Hal ini diharapkan dapatmenjawab persoalan ketersediaan waktu pembahasan agar pembahasan RKUHP dapat lebih fokus, efektif, dan partisipatif, sehingga kualitas dan legitimasi KUHP yang akan datang dapat dipertanggungjawabkan di masyarakat. Melihat tantangan ini, maka Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengusulkan kepada pemerintah dan DPR beberapa rekomendasi penting dalam melakukan pembahasan RKUHP.Langkah-langkah yang diusulkan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHPdalam buku ini ditujukan agar proses pembahasan RKUHPdapat berjalan dengan baik dan menghasilkan KUHP baru yang diakui kualitasnya oleh masyarakat.

Jakarta, Agustus 2015

Institute for Criminal Justice Reform Aliansi Nasional Reformasi KUHP

(4)

1

Daftar Isi

Pengantar ... iii

Daftar Isi ... 1

BAB I ... 3

Evaluasi Terhadap Pembahasan RKUHP 2013-2014 ... 3

1.1. Proses Pembahasan ... 3

1.2. Catatan atas Pembahasan ... 11

a.Waktu Pembahasan yang Tidak Tepat ... 11

b. Pembentuk Undang-Undang Tidak Berhasil Merumuskan Kesepakatan ... 12

c. Metode dan Model Pembahasan yang Tidak Efektif ... 12

d. Pembahasan RKUHP Tidak Partisipatif ... 12

e. Pemerintah dan DPR Tidak Berhasil Merumuskan Titik Kompromi antaraktor-aktor dan Kepentingannya dalam Pembahasan RKUHP ... 13

Tantangan Pembahasan dan Rekomendasi untuk Pembahasan RKUHP 2015 ... 14

2.1. Tantangan Pembahasan RKUHP 2015 ... 14

2.2. Rekomendasi Pembahasan RKUHP 2015 ... 16

a. Pembahasan RKUHP Dilakukan Secara Bertahap ... 17

b. Penyisiran dan Evaluasi Terhadap Seluruh Ketentuan Pidana Baik di Dalam maupun di Luar KUHP ... 17

c. Pengelompokan dan Pemberian Titik Fokus Pembahasan (Clustering) ... 19

d. Pembentukan Panel Ahli ... 19

e. Efektivitas Waktu Pembahasan (Pembahasan Bertahap)... 20

f. Menjadikan RKUHP Sebagai Prioritas ... 21

g. Pelibatan yang Luas dan Intensif dari Kelompok Terdampak ... 22

h. Pembahasan Harus Terbuka ... 22

Pembahasan Berbasis Clustering ... 24

3.1. Pengelompokan dan Pemberian Titik Fokus Pembahasan (Clustering) RKUHP ... 24

Penutup ... 44

Daftar Pustaka ... 45

(5)

2

Profil Institute for Criminal Justice Reform ... 48 Profil Aliansi Nasional Reformasi KUHP ... 49

(6)

3

BAB I

Evaluasi Terhadap Pembahasan RKUHP 2013-2014

1.1. Proses Pembahasan

Wacana pembaruan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah lama terdengar bahkan sebelum 2013. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) secara rutin masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), baik lima tahunan maupun prioritas satu tahunan. Terakhir, RKUHP masuk dalam Prolegnas 2009-2014 dan dijadikan Prolegnas Prioritas pada periode 2013 - 2014. Pada 6 Maret 2013, pemerintah mengirimkan RKUHP bersamaan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Penyerahan RKUHP menjelang berakhirnya periode atau masa kerja pemerintah dan DPR menimbulkan pesimisme dari berbagai kalangan, termasuk kalangan pemerintah dan DPR sendiri. Proses perjalanan RKUHP 2014 tersebut akan dipaparkan dibawah ini.

RKUHP akhirnya mulai ke arah yang lebih jelas.1 Pada Rabu, 6 Maret 2013, pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, dan fraksi-fraksi di Komisi III DPR mencapai kesepahaman untuk memulai pembahasan RKUHP dan RKUHAP. Menurut Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, RKUHP ini perlu segera dibentuk karena KUHP yang berlaku saat ini memiliki banyak kelemahan dan belum mengikuti perkembangan zaman. KUHP yang berlaku sekarang masih merupakan warisan dari bangsa kolonial Belanda. Oleh karena itu, pembaruan KUHP dilakukan tidak hanya dalam rangka menjalankan misi dekolonialisasi, namun juga menjalankan misi rekodifikasi, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, serta adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum nasional maupun internasional.2

Terkait teknis pembahasan RKUHP, beberapa anggota DPRmengusulkan agar proses pembahasannya menggunakan strategi khusus yang efektif sekaligus efisien. Hal ini dengan mempertimbangkan terbatasnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014. Rata-rata anggota Komisi III juga berharap kedua rancangan ini dapat disahkan sebelum periode jabatan anggota DPR 2009-2014 berakhir. Badan Legislatif (Baleg) DPR juga sempat melontarkan ide tentang strategi pembahasan RKUHP mengusulkan model pembahasan dengan cara mencicil alias bertahap. Sementara itu, seluruh fraksi di Komisi III satu suara menyatakan setuju untuk segera membahas RKUHP dan RKUHAP. Oleh karena itu, Wakil Ketua Komisi III, Aziz Syamsudin, mengatakan bahwa Komisi III akan membentuk Tim Pembahasan RKUHAP

1

“Pembahasan RKUHAP dan RKUHP Butuh Strategi Khusus, Bersama RUU terkait lainnya, rancangan KUHP dan KUHAP diharapkan selesai pada periode DPR 2009-2014,”[ http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51375d5d16dde/pembahasan-rkuhap-dan-rkuhp-butuh-strategi-khusus].

2

(7)

4

dan RKUHP. Menurutnya, Komisi III juga akan membentuk panitia kerja, tim perumus, dan sinkronisasi. Ia berharap agar RUU MA, Kejaksaan, KUHAP dan KUHP dapat diselesaikan dalam periode 2009 - 2014.3 Setelah penyerahan naskah RKUHP ke DPR, Tim Komisi III langsung melakukan kunjungan kerja dan mencari masukan ke beberapa Negara di Eropa. Beberapa anggota Panja RKUHP/KUHAP sudah bertolak ke negara-negara Eropa dengan alasan studi banding. Setidaknya, empat negara dikunjungi anggota Panitia Kerja (Panja), yakni Perancis, Rusia, Inggis, dan Belanda. Rombongan yang terdiri dari 15 orang ini berangkat April 2013.4

Anggota Komisi III DPR RI yang sekaligus wakil ketua Badan Legislasi DPR, Achmad Dimyati Natakusumah menjelaskan bahwa studi banding dilaksanakan pada 14 - 19 April 2013. Dimyati juga menjelaskan bahwa studi banding ke empat negara Eropa tersebut dipandang sangat penting dan tepat dalam rangka pembahasan RKUHAP dan RKUHP. Sebab, ke empat negara itu memiliki sistem penyelenggaraan hukum yang baik. Tanggapan senada juga disampaikan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Hanura (F-Hanura) Syarifuddin Sudding. Ia bersikukuh bahwa studi banding dalam rangka pembahasan RKUHP ke empat negara Eropa tersebut memang perlu dilakukan. Pasalnya, KUHP merupakan produk dari peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai dengan keadaan hukum yang terjadi di Indonesia saat ini.5

Pasca kunjungan kerja tersebut, Komisi III kemudian secara bertahap mulai melakukan persiapan pembahasan RKUHP. Misalnya pada Senin, 27 Mei 2013,Komisi III melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dibuka pukul 19.35 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Aziz Syamsuddin, dengan agenda rapat menerima aspirasi/masukan terkait dengan pembahasan RUU tentang Kitab 3 Ibid. 4 [http://nasional.kompas.com/read/2014/08/24/13494231/Anggota.DPR.Sudah.ke.Eropa.RUU.KUHP-KUHAP.Terancam.Gagal.Disahkan]; [http://news.detik.com/berita/3005739/ketika-komisi-iii-dpr-lagi-lagi-ke-eropa-untuk-studi-banding-ruu-kuhp/komentar]; [http://www.dpp.pkb.or.id/pkb-izinkan-anggotanya-kunker-ke-eropa]. 5

Kontroversi pasal santet merupakan salah satu alasan diadakannya studi banding ini. Ketua Front Pembela Islam (FPI) Jakarta, Habib Selon menyatakan bahwa plesiran jauh-jauh ke luar negeri sama saja dengan menghambur-hamburkan uang rakyat.Bahkan Pengamat Hukum dari Universitas Andalas (Unand), Feri Amsari, menilai Revisi UU tersebut merupakan produk Indonesia dan berkaitan dengan pidana Indonesia, sehingga dinilai tidak tepat apabila komisi III melakukan kunjungan kerja (Kunker) dan membandingkan dengan produk hukum negara-negara Eropa, khususnya menyangkut beberapa pasal yang tidak tepat ketika akan dibandingkan dengan kultur negara-negara di Eropa, seperti pasal mengenai “kumpul kebo”. Sependapat terhadap Habib Selon dan Feri Amsari, Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, memastikan anggotanya tidakakan ikut serta dalam Kunker tersebut, “Kami sudah putuskan sejak akhir 2012 lalu bahwa PKS tidak ikut kunker atau studi banding ke luar negeri sampai selesai masa jabatan (tahun 2014), Kami bisa searching ke profesor Google, tapi kami hormati kawan-kawan yang akan berangkat, tuturnya.” Begitu banyak pro kontra atas rencana studi banding ini. Sulit untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Apabila studi banding itu harus dilakukan kiranya berdasarkan pertimbangan bahwa Negara Indonesia sangat membutuhkan hal ini, bukan berdasarkan keinginan Wakil Rakyat semata yang dituding menjadikan alasan studi banding sebagai ajang “liburan gratis” ke Eropa.

[

http://icjr.or.id/studi-banding-kuhap-dan-kuhp-antara-keinginan-atau-kebutuhan/].

(8)

5

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam rapat tersebut Prof. Muladi menyampaikan makalah terkait dengan latar belakang dan arah reformasi KUHP. Walaupun RDPU Komisi III dan Prof. Muladi tidak mengambil kesimpulan/keputusan, namun semua hal yang berkembang dalam rapat menjadi masukan bagi Komisi III DPR RI dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi-fraksi, serta pembahasan RUU tentang KUHP dan KUHAP lebih lanjut.

Pada 17 Juni 2013, Komisi III DPR RI kembali mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait RKUHP dan RKUHAP yang telah masuk prioritas pembahasan RUU di DPR. Acara tersebut berlangsung di ruang sidang Komisi III Gedung Nusantara II DPR dengan mengundang setidaknya tujuh lembaga dan ahli untuk melakukan dengar pendapat tersebut. Hadir dalam acara ini Lembaga-lembaga yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan Koalisi KUHAP, O.C. Kaligis & Associates, Komando Pejuang Merah Putih (KPMP), Ikatan Alumni FE UKI, Pengurus Pusat Persatuan Keluarga Besar Purnawirawan POLRI (PP POLRI), Kartika LawFirm, serta fraksi-fraksi yang ada di DPR. Kesimpulan awal yang dapat diambil dari pertemuan ini adalah masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh DPR dalam merumuskan arah RKUHP dan RKUHAP, sehingga masih diperlukan pembahasan lebih jauh terkait kedua rancangan ini, namun dilain sisi anggota dewan merasa optimis dapat menyelesaikan dan melegalkan rancangan ini sebelum periode ini berakhir.

Akhirnya, setelah hampir tujuh bulan, pada Senin,7 Oktober 2013, dilakukan Rapat Komisi III DPR dengan agenda: (1) Penyerahan DIM Fraksi-Fraksi kepada Pemerintah; (2) Pembahasan DIM; dan (3) Pembentukan Panja6. Rapat Kerja tersebut dibuka pada pukul 14.00 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin. Komisi III DPR secara resmi menyampaikan DIM fraksi-fraksi DPR terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mewakili Presiden. Pimpinan Komisi III menyampaikan matriks rekapitulasi dari kedua RUU tersebut, sebagai berikut: Berdasarkan DIM Fraksi-fraksi, terhadap RUU tentang KUHP BUKU KESATU:

1) Jumlah keseluruhan DIM sebanyak 704 DIM.

2) Jumlah DIM yang dinyatakan Tetap sebanyak 365 DIM. 3) Jumlah DIM yang bersifat Catatan sebanyak 39 DIM. 4) Jumlah DIM yang bersifat Redaksional sebanyak 130 DIM. 5) Jumlah DIM yang bersifat Substansi sebanyak 134 DIM. 6) Jumlah DIM yang bersifat Minta Penjelasan sebanyak 33 DIM. 7) Jumlah DIM yang bersifat Substansi Baru sebanyak 3 DIM.

Berdasarkan DIM Fraksi-fraksi, terhadap RUU tentang KUHP BUKU KEDUA sebagai berikut: 1) Jumlah keseluruhan DIM sebanyak 1596 DIM.

2) Jumlah DIM yang bersifat Substansi sebanyak 210 DIM.

6LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR-RI DENGAN MENTERI HUKUM DAN HAM DALAM RANGKA

PEMBAHASAN RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DAN KITAB UNDANG-UNDANG TENTANG ACARA PIDANA (KUHAP), Senin, 7 Oktober 2013.

(9)

6 3) Jumlah DIM yang bersifat Catatan sebanyak 145 DIM. 4) Jumlah DIM yang bersifat Redaksional sebanyak 53 DIM. 5) Jumlah DIM yang bersifat Minta Penjelasan sebanyak 8 DIM. 6) Jumlah DIM yang bersifat Substansi Baru sebanyak 2 DIM. 7) Jumlah DIM yang dinyatakan Tetap sebanyak 1178 DIM.

Dalam rapat tersebut, Pimpinan juga meminta pandangan dan pendapat dari Anggota Komisi III dan Pemerintah, yaitu:7

a. Apakah DIM yang dinyatakan tetap dari kedua RUU tersebut dapat langsung disetujui, namun dengan catatan dapat dibahas kembali apabila terdapat keterkaitan dengan DIM lainnya;

b. Terkait metode atau model pembahasan RUU tentang KUHAP dan RUU tentang KUHP, apabila disepakati pembahasan RUU tentang KUHP didahulukan, apakah pembahasannya dilakukan secara keseluruhan atau sementara terbatas pada Buku Satu dari RUU tentang KUHP danapakah pembahasannya dilakukan per cluster, dalam arti membahas terlebih dahulu substansi-substansi pokok yang menjadi prioritas atau tetap dilakukan pembahasan per DIM;

c. Apakah dalam penyusunan RUU tentang KUHAP dan RUU tentang KUHP, lembaga KPK diikutsertakan dalam penyusunannya. Apabila tidak ada, diharapkan kedepannya dapat diikutsertakan termasuk juga dari Asosiasi Advokat.

Berdasarkan rapat, maka diusulkan:8

 Untuk pembahasan kedua RUU tersebut, lebih diutamakan pembahasan RUU tentang KUHP Buku Kesatu dan RUU tentang KUHAP. Pembahasan kedua RUU dapat dilakukan simultan, sedangkan untuk pengesahannya tetap dilakukan secara bersamaan.

 Agar metode yang digunakan dalam pembahasan RUU KUHAP dan KUHP, untuk terlebih dahulu melakukan pembahasan Buku I RUU KUHP, dengan metode pembahasan intensif seperti konsinyering dan mengusulkan pula adanya pembahasan yang terbuka atau transparan dan akuntabel untuk menghindari gugatan di kemudian hari. Terkait hal ini,pemerintah dan Tim Penyusun RUU tentang KUHAP dan KUHP menjelaskan bahwa penyusunan kedua RUU dimaksud jauh sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu yaitu hampir 25 tahun, sehingga tidak ada sedikitpun untuk melemahkan lembaga yang ada.

 Terhadap lembaga penegak hukum lembaga yang ada, tetap berjalan sebagaimana saat ini atau kedepannya disesuaikan dengan RUU tentang KUHAP dan RUU tentang KUHP jika disahkan atau dengan Undang-Undang khusus yang ada sebagaimana saat ini. Bahwa dalam pembahasan kedua RUU tersebut harus ada kesepahaman bersama terlebih dahulu, dalam hal ini tentang soal hukum yang bersifat umum atau lex generalis. Ini merupakan hukum umum dan bukan khusus. Bahwa ada kekhawatiran terkait dengan dibatasinya wewenang penyadapan oleh KPK dalam KUHP dan KUHAP tidak pada tempatnya. Pasalnya, persoalan terkait KPK sudah diatur dalam Undang-Undang khusus. 7 Ibid. 8 Ibid.

(10)

7 Selain itu,beberapa bahasan lainnya mencakup:

a. RUU tentang KUHP dan RUU tentang KUHAP dianggap mendesak untuk segera dibahas, dikarenakan Undang-Undang yang ada saat ini merupakan warisan kolonial Belanda.

b. Pembaruan Undang-Undang tentang KUHP dilakukan tidak hanya dalam rangka menjalankan misi dekolonialisasi. Lebih dari itu, juga menjalankan misi rekodifikasi, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana serta adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum nasional maupun internasional.

Terkait dengan teknis pembahasan RUU tentang KUHP dan KUHAP, diusulkan agar proses pembahasannya menggunakan strategi khusus yang efektif sekaligus efisien. Hal ini dengan mempertimbangkan terbatasnya waktu jabatan anggota DPR periode 2009-2014. Diharapkan kedua rancangan ini dapat disahkan sebelum periode jabatan anggota DPR 2009-2014 berakhir. Bahwa untuk mendalami dan mengefektifkan pembahasan RUU tentang KUHP dan Panja RUU tentang KUHAP, Pimpinan menawarkan untuk dibentuknya Panitia Kerja (Panja) dengan komposisi sesuai dengan alokasi jumlah masing-masing fraksi.

Pemerintah mengusulkan untuk prioritas pembahasan Buku Kesatu dari DIM RUU tentang KUHP karena Buku Kesatu berisi asas-asas dan pembahasan Buku Kesatu agar dilakukan dengan sistem cluster terhadap DIM yang bersifat substansi. Pimpinan Komisi III dalam waktu dekat akan menyampaikan surat kepada masing-masing Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) perihal keanggotaan masing-masing fraksi dalam pembahasan kedua RUU tersebut. Diusulkan dalam pembahasan RUU tentang KUHAP dan KUHP yang bersifat terbuka dilakukan bersama dengan Pemerintah, termasuk juga dari Kejaksaan Agung, KPK, Mahkamah Agung, dan Asosiasi Pengacara. Selanjutnya fraksi-fraksi agar mengirimkan nama untuk masuk dalam keanggotaan Panitia Kerja (Panja).

Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia beserta jajarannya telah bersepakat terhadap beberapa hal: Pertama, terhadap DIM yang bersifat tetap langsung disetujui, namun dengan catatan dapat dibahas kembali apabila terdapat keterkaitan dengan DIM lainnya, sedangkan untuk DIM yang bersifat redaksional dibahas dalam Rapat Panitia Kerja (Panja); Kedua, prioritas pembahasan pada Buku Kesatu DIM RUU tentang KUHP dan DIM RUU tentang KUHAP; Ketiga,Pemerintah mempelajari terlebih dahulu DIM Fraksi-Fraksi DPR RI terhadap RUU tentang KUHAP dan RUU tentang KUHP; dan Keempat, pembahasan RUU tentang KUHAP dan RUU tentang KUHP untuk dibentuk Panitia Kerja (Panja).

Namun, pasca rapat penyerahan DIM, pembahasan RKUHP justru “terkatung-katung”, bahkan pihak Pemerintah sendiri justru tidak satu suara mengenai substansi dalam RKUHP tersebut. Akhirmya,melihat kondisi tersebut, pada Oktober 2013 beberapa organisasi anti korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian mengkritik pembahasan RKUHP saat itu. Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas meminta DPR dan pemerintah untuk menghentikan pembahasan R KUHP dan R KUHAP sebab ada beberapa pasal dalam kedua RUU itu justru melemahkan upaya penegakan hukum yang berkaitan

(11)

8

dengan pemberantasan korupsi.9 Menurutnya,lebih baik (pembahasan) dihentikan agar tidak terjadi public distrust. Rekomendasipembahasan RKUHP dan RKUHAP lebih baik diserahkan kepada DPR periode mendatang, bukan periode sekarang ini. KPK dalam berbagai diskusi dengan pakar, juga berharap proses pembahasan RKUHP dan RKUHAP tidak lagi diprioritaskan.10

KPK lalu mengirimkan surat kepada DPR dan Presiden meminta pembahasan R KUHP/KUHAP dihentikan. KPK berdalih selain persoalan waktu yang singkat, substansi dari RKUHP juga masih memuat delik tindak pidana kejahatan luar biasa, padahal sudah ada Undang-Undang tersendiri yang mengaturnya. DPR menyatakan telah menerima surat yang disampaikan KPK itu. Namun, DPR bersama Tim Penyusun KUHP dari Pemerintah sepakat tetap melanjutkan pembahasan sampai ada sikap resmi dari Presiden.

Menanggapi hal tersebut anggota Tim Penyusun RKUHP, Muladi, meminta KPK kembali melihat posisinya dalam susunan ketatanegaraan.11 KPK tidak boleh seenaknya memaksakan kehendak meminta pembahasan R KUHP/KUHAP dihentikan. Sebaiknya KPK “tahu diri” di mana kedudukannya dalam struktur kenegaraan. KPK harus menghormati wibawa seorang Presiden, karena RUU dibawa oleh Presiden dan disetujui DPR masuk dalam program legislasi.12

Muladi mengungkapkan bahwa KPK seharusnya menghargai proses penyusunan R KUHP/KUHAP yang sudah dilakukan sejak 40 tahun lalu, sebelum KPK terbentuk. Proses penyusunannya juga melibatkan pakar-pakar hukum di Indonesia dan internasional. Karena itu, Muladi menyarankan jika KPK merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan ini, sebaiknya memberikan masukannya dalam bentuk surat kepada Presiden maupun DPR. Bila perlu, KPK minta dipanggil DPR untuk didengarkan pendapatnya. Terkait permintaan KPK agar tindak pidana luar biasa seperti korupsi tidak dicantumkan dalam RKUHP, Muladi menyatakan hal itu tidak bisa dilakukan karena R KUHP mencakup semua tindak pidana dan norma-norma yang berlaku umum. Untuk hukum acaranya, menurut Muladi, baru bisa diatur dalam undang-undang khusus.13

9“Busyro: Stop Pembahasan RUU KUHP dan RUU

KUHAP”,[http://news.detik.com/berita/2381593/busyro-stop-pembahasan-ruu-kuhp-dan-ruu-kuhap]. Menururt Busyro,ada 'sosial danger' dalam materi dua RUU tersebut. Ada sejumlah kewenangan dari BNN dan KPK yang terancam hilang.Sikap KPK dalam pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP berpihak kepada rakyat sebab yang berdaulat itu adalah rakyat. Sementara itu, kondisi yang ada tengah dimiskinkan oleh mesin-mesin korupsi."Kami berharap, DPR dan pemerintah berpikir kembali dengan jiwa besar dan sabar, untuk menyerahkan pembahasan dua RUU itu kepada DPR periode yang mendatang," ujar Busyro.Lebih lanjut, dia mengingatkan pemerintah agar tidak ngotot untuk memaksakan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP untuk segera disahkan menjadi Undang-Undang. DPR dan pemerintah diimbau untuk berpikir, berjiwa besar dan sabar, serta melibatkan lebih banyak pihak untuk kesempurnaan RUU KUHP dan RUU KUHAP.KPK sendiri hingga hari ini tidak pernah diundang untuk membahas dua hal tersebut. Ibid.

10

Ibid.

11

“Minta Penarikan RUU KUHP, KPK Diminta TahuDiri”,

[http://nasional.kompas.com/read/2014/02/20/0800245/Minta.Penarikan.RUU.KUHP.KPK.Diminta.Tahu.Diri].

12

Ibid.

13

(12)

9

Proses pembahasan RKUHP di DPR akhirnya menjadi stagnan karena munculnya kontroversi beberapa pasal yang dianggap melemahkan KPK dan proses pembahasannya yang terlalu singkat.14 Hal ini kemudian memicu“gelombang pasang” penolakan terhadap pembahasan RKUHP. Beberapa partai politik akhirnya juga menanggapi gelombang penolakan tersebut. Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, Surya Paloh,menyatakan bahwa agar tidak menjadi isu yang memanaskan dinamika politik jelang Pemilu 2014, sebaiknya pembahasan R KUHP ditunda. Menurutnya, sebaiknya semua pihak lebih fokus lagi agar pembahasan R KUHP ini tidak menimbulkan polemik dan membuang energi. "NasDem ingin mengajak konsentrasi. Karena semakin banyaknya hal yang menimbulkan polemik terhadap kondisi kebangsaan kita, yang memerlukan semangat kesatuan kita," jelas Surya Paloh. Dalam pandangannya, sebaiknya pemerintah memanfaatkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Biar pemerintah baru nanti yang menyelesaikan masalah ini. "Mungkin nanti ada pemerintahan baru ke depan. Ada anggota dewan kita yang terpilih ke depan, duduk lebih tenang, berpikir mengkaji apa yang kurang. Itu yang kita perbaiki," ungkap Surya Paloh.15

Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR juga berpandanganagar pembahasan R KUHP dan R KUHAP yang terkesan dipaksakan dan dinilai bertujuan mengganggu konsentrasi pemilihan umum Legislatif tahun 2014 sebaiknya dihentikan saja.16 Lebih baik fokus dan konsentrasi pada persiapan dan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 yang bersih dan jujur. Persiapan dan penyeenggaraan pemilihan umumbisa berantakan jika kontroversi seputar R KUHP dan R KUHAP dibiarkan berlanjut. Menurutnya, pembahasan tersebut dihentikan saja agar semua elemen rakyat bisa berkonsentrasi pada Pemilu 2014 dan para penegak hukum sendiri menilai kedua RUU itu mengganggu dan melemahkan penegakan hukum. Alasan lainnya, kalau proses pembahasan di DPR tidak mulus, suasana akan menjadi hiruk pikuk, sehingga akan membelokkan konsentrasi publik dari persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif tahun 2014 ke isu seputar silang pendapat atas dua RUU dimaksud.17

Anggota DPR, Budiman Sudjatmiko, menyatakan bahwa memaksa pembahasan RKUHP selesai dalam waktu singkat tidak logis. Jika asal jadi, hal itu bisa mengesankan ada maksud yang negatif. Jika wakil rakyat yang saat ini bertugas membahas rancangan undang-undang hukum pidana tersebut kesannya sedang melakukan investasi bisnis dibanding investasi politik di parlemen.18 Menurutnya, pembahasan R KUHP harus dilakukan dalam keadaan pikiran legislatif yang jernih dan bebas dari kepentingan politik praktis. Dia juga mengusulkan R KUHP yang di tangan DPR saat ini ditarik saja oleh pemerintah. Kemudian dikaji ulang secara mendalam. Karena itu ia setuju perlu pembentukan komisi khusus yang membahas RKUHP oleh pemerintah, dengan melibatkan para ahli hukum.19

14

Pembahasan RUU KUHP Sebaiknya Ditunda”,[http://lampost.co/berita/pembahasan-ruu-kuhp-sebaiknya-ditunda-].

15

Ibid.

16“Hentikan Pembahasan RUU KUHP & KUHAP, Ganggu Konsentrasi

Pileg”,[http://suaraagraria.com/detail-20201-hentikan-pembahasan-ruu-kuhp-kuhap-ganggu-konsentrasi-pileg.html#.VlwH0V6S_IU].

17

Ibid. 18

“Proses Legislasi RUU KUHP dan KUHAP Mepet”,[http://www.pikiran-rakyat.com/serial-konten/proses-legislasi-ruu-kuhp-dan-kuhap-mepet].

19

(13)

10

Seperti yang telah diduga dari awal, menjelang pergantian anggota DPR menuju periode 2014-2019 pada 30 September 2014, ternyata menimbulkan kesibukan yang luar biasa bagi DPR. Akhirnya masih banyak pekerjaan rumah yang belum dituntaskan para anggota Dewan sebelumnya. Salah satunya penyelesaian pembahasan RUU KUHP/KUHAP.20 Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP/KUHAP, Trimedya Panjaitan, mengakui bahwa RUU ini diperkirakan tidak akan tuntas dibahas dalam periode DPR 2009-2014. Pasalnya, Panja RUU KUHP/KUHAP sama sekali belum membahas hal-hal substantif pasal per pasal dalam kedua RUU itu. Pada Senin, 25 Agustus 2014, Komisi III baru akan rapat internal untuk menentukan agenda, termasuk soal panja RKUHP.

Sampai Agustus 2014 saja Panja baru memanggil sejumlah elemen masyarakat untuk dimintai masukan terkait RUU yang menuai banyak kontroversi ini. Disamping itu, apabila R KUHP/KUHAP ini gagal disahkan pada DPR periode sekarang, maka pembahasan kedua RUU itu akan kembali mengulang dari awal. Pasalnya, tidak ada istilah carry over (melanjutkan) pembahasan yang sudah ada. Nasib R KUHP/KUHAP yang sejak awal selalu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) selalu gagal dibahas sampai tuntas di setiap periode DPR. Tidak adanya carry over menyebabkan persoalan R KUHP/KUHAP sulit dituntaskan dalam lima tahun periode DPR. Tidak mungkin jika RUU ini pembahasannya terburu-buru.

Sampai dengan 17 September 2014. Komisi Hukum DPR menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) RKUHP dan RKUHAP dari pemerintah. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Aziz Syamsuddin mengatakan komisinya masih menunda pembahasan revisi KUHP.21 Ini karena ada DIM yang masih menjadi perdebatan dari stakeholders. DPR minta DIM itu diselaraskan dulu oleh pemerintah. DPR, kata dia, tidak jadi membahas revisi KUHP dan KUHAP lantaran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian menyurati komisinya beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, DPR memberi waktu untuk diselesaikan dulu permasalahan yang ada dan penyelesaiannya harus dari kedua belah pihak.22

Aziz sendiri tidak bisa menjanjikan pembahasan revisi KUHP dan KUHAP ini selesai sebelum masa tugasnya berakhir pada 20 Oktober 2014. Soalnya, revisi ini bergantung pada pembahasan DIM oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, Aziz meminta pemerintah segera membahas dan mencari titik temu masalah ini dengan KPK dan kepolisian. DPR bisa jalan kalau sebenarnya pemerintah konsisten. Cuma, di antara pemerintah dan stakeholders belum ada titik temu. DPR akan selalu siap dan menunggu pembahasan revisi KUHAP dan KUHP setelah tidak ada pandangan yang bertabrakan di lingkup internal pemerintah.23

Akhirnya, sampai pemerintah baru terbentuk, pembahasan RKUHP periode 2013-2014 berakhir tanpa perkembangan yang berarti.

20 [http://nasional.kompas.com/read/2014/08/24/13494231/Anggota.DPR.Sudah.ke.Eropa.RUU.KUHP-KUHAP.Terancam.Gagal.Disahkan]. 21 [http://nasional.tempo.co/read/news/2014/09/17/078607710/dpr-ragu-revisi-kuhap-dan-kuhp-rampung-oktober-ini]. 22 Ibid. 23 Ibid.

(14)

11 1.2. Catatan atas Pembahasan

Berdasarkan paparansebelumnya maka berikut ini adalah beberapa catatan dan evaluasi terhadap pembahasan RKUHP 2013-2014:

a. Waktu Pembahasan yang Tidak Tepat

Pada periode lalu, pemerintah menyerahkan RKUHP kepada DPR pada 6 Maret 2013, atau kurang lebih satu tahun menjelang berakhirnya masa bakti pemerintah dan DPR. Sempitnya waktu tak bisa dijadikan alasan, meski pada kenyataannya, baik pemerintah maupun DPR sama-sama sibuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilihan Umum 2014.24

Pada periode 2013-2014, RKUHP yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR memuat 755 pasal. Rinciannya, Buku I mengenai ketentuan umum memuat 211 pasal dan Buku II mengenai tindak pidana berisi 544 pasal. Terdapat penambahan pasal dengan jumlah signifikan jika dibandingkan dengan KUHP yang berlaku saat ini. KUHP berisi 569 pasal dimana Buku I mengenai ketentuan umum berjumlah 103 pasal, Buku II mengenai kejahatan ditambah dengan penambahannya berisi 385 pasal, dan Buku III mengenai pelanggaran berjumlah 81 pasal.

Pada pembahasan RKUHP periode lalu, metode pembahasan yang disepakati oleh pemerintah dan DPR adalah menggunakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Namun, hingga berakhirnya periode pemerintahan dan DPR, DIM terkait RKUHP sama sekali tidak berhasil disusun dan dibahas bersama. Pembahasan hanya menyasar pada topik-topik yang mengundang perhatian publik.

Pembahasan RKUHP yang dilakukan secara pararel bersamaan dengan RKUHAP dimulai pada masa sidang I DPR RI yang berlangsung mulai 16 Agustus 2013 sampai dengan25 Oktober 2013. Jika dikonversikan menjadi hari kerja, masa sidang tersebut terbilang cukup singkat, yaitu hanya dua bulan sepuluh hari kerja.

Selain itu, setelah masa sidang I ini, kampanye untuk pemilihan legislatif segera dimulai. Hal ini membuat para anggota Panja RKUHP lebih banyak berada di daerah pemilihan dan tidak hadir pada saat pembahasan.Kemudian, pembahasan dilanjutkan pada masa sidang II DPR RI, yaitu 16 November 2013 hingga 20 Desember 2013. Hari kerja pada masa sidang II (2013) juga berlangsung cukup singkat yaitu berkisar satu bulan dan setelah itu memasuki libur Natal dan Tahun Baru.

Setelah libur panjang akhir tahun, pembahasan RKUHP kemudian dilanjutkan pada masa sidang III DPR RI, mulai 15 Januari 2014 hingga 24 Maret 2014. Secara keseluruhan, dari pembahasan terhadap RKUHP pada periode lalu, tidak ada kesepakatan yang dapat dirumuskan antara pemerintah dan DPR.

24

Masa jabatan DPR sudah memasuki “injury time”dan tahun dimana anggota DPR sudah harus berbagi fokus menghadapi Pemilu 2014. Selain itu, dinamika internal DPR juga menjadisalah satu faktor yang menentukan capaian kinerja DPR pada suatu waktu. Faktor lain adalah beban pekerjaan dari pelaksanaan fungsi lain, terutama fungsi pengawasan.Miko Ginting, dkk., Catatan Kinerja Legislasi DPR: Capaian Menjelang Tahun Politik, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2014, hlm. 18.

(15)

12

b. Pembentuk Undang-Undang Tidak Berhasil Merumuskan Kesepakatan

Tidak ada satu pun rumusan substansi RKUHP yang disepakati oleh pemerintah dan DPR pada periode lalu. Pembahasan hanya dilakukan pada topik-topik yang menarik perhatian publik, seperti mengenai pasal santet, kumpul kebo, dan lain-lain. Pun, terhadap topik-topik tersebut, pemerintah dan DPR juga tidak berhasil merumuskan kesepakatan.

Salah satu penyebab tidak adanya kesepakatan yang dirumuskan pemerintah dan DPR adalah karena ketidakfokusan dalam pembahasan. Penyerahan RKUHP menjelang pemilihan umum menyebabkan tingkat kehadiran anggota DPR dalam pembahasan sangat minim. Apalagi, saat itu terjadi pergantian Ketua Komisi III yang menjadi mitra pemerintah dalam pembahasan RKUHP.

Sementara itu, dalam pembahasan yang bersifat substansial, ada dinamika yang menarik,yaitu pelibatan ahli yang cukup intens. Pelibatan ahli ini dapat dilihat melalui dua kacamata, yaitu ketidakpercayaan diri DPR dalam mengambil keputusan terkait substansi yang dibahas atau membuka ruang pelibatan aktif unsur atau komponen ahli dalam pembahasan RKUHP.

c. Metode dan Model Pembahasan yang Tidak Efektif

Metode pembahasan yang efektif dan partisipatif tidak hanya berkaitan dengan proses legislasi yang baik, tetapi juga sebagai prasyarat untuk substansi pengaturan yang berkualitas. Pada pembahasan RKUHP periode 2013-2014, metode pembahasan tidak efektif dan partisipatif sehingga RKUHP tidak berhasil diundangkan dan menuai protes publik.

Metode pembahasan yang tidak efektif tersebut, salah satunya karena target pembentuk Undang-Undang yang terlalu ambisius. RKUHP dibahas bersamaan dengan tiga undang-undang lain yang juga penting, yaitu RKUHAP, RUU Kejaksaan, dan RUU Mahkamah Agung. Pembentuk undang-undang seharusnya dapat menentukan prioritas RUU mana yang akan dibahas terlebih dahulu.

Demikian pula dengan inovasi yang digagas terkait metode dan model pembahasan. Metode pembahasan dengan menggunakan DIM diragukan efektivitasnya. Pembentuk Undang-Undang akhirnya terjebak untuk membahas nomor per nomor DIM. Selain itu, pembahasan bersifat umum dan redaksional.Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi dari pembentuk Undang-Undang agar pembahasan lebih efektif dan optimal.

d. Pembahasan RKUHP Tidak Partisipatif

Selain tidak efektif, pembahasan RKUHP juga menuai protes dari sebagian kalangan, terutama kelompok masyarakat sipil karena dianggap tidak partisipatif. Padahal, menurut Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, untuk memudahkan dalam memberikan masukan, masyarakat harus diberikan akses yang mudah.Akses yang mudah ini mencakup proses pembahasan maupun substansi yang dibahas. Keterlibatan semua pihak dalam proses

(16)

13

pembahasan undang-undang juga berkaitan erat terhadap legitimasi produk legislasi yang akan dihasilkan.25

RKUHP adalah RUU yang cukup penting karena berhubungan erat dengan perlindungan hak warga dan berdampak luas pada struktur hukum. Oleh karena itu, pembahasan terhadap RKUHAP seharusnya disandarkan pada dua prasyarat, yaitu: (i) ketersediaan waktu yang cukup; dan (ii)dirumuskannya metode pembahasan yang efektif,serta partisipatif.

e. Pemerintah dan DPR Tidak Berhasil Merumuskan Titik Kompromi antar aktor-aktor dan Kepentingannya dalam Pembahasan RKUHP

Pada proses pembahasan RKUHP, dinamikanya dapat dilihat dari perdebatan-perdebatan yang muncul beserta argumentasinya. Selanjutnya, akan ada penilaian terhadap bobot perdebatan itu. Salah satu penyebab tidak berhasil diundangkannya RKUHP pada periode lalu karena adanya keberatan dari beberapa lembaga penegak hukum dan kelompok masyarakat.

Keberatan yang diajukan, diantaranya, pemikiran bahwa RKUHP tidak sejalan dengan arah pemberantasan korupsi. Terlepas dari apakah pemikiran tersebut tepat atau tidak, salah satu tugas pembentuk Undang-Undang adalah mencari titik kompromi terhadap konfigurasi kepentingan para pihak dalam suatu pembahasan kebijakan.

25

Michael Zander, The Law-Making Process (sixth Edition), “Legislation – the Whitehall Stage” (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 37.

(17)

14

BAB II

Tantangan Pembahasan dan Rekomendasi untuk Pembahasan

RKUHP 2015

2.1. Tantangan Pembahasan RKUHP 2015

Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Surat Presiden mengenai pembahasan RKUHP pada 5 Juni 2015. Sebelumnya, pemerintah, melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly pada 30 Mei 2015 memastikan bahwa Presiden Jokowi akan segera menyerahkan RKUHP ke DPR.

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengadvokasi RKUHP, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, berpandangan bahwa perlu adanya kehati-hatian dalam menyikapi keputusan pemerintah ini. Alasannya, banyak tantangan yang akan dihadapi, baik dari sisi substansi maupun dalam pembahasan RKUHP di DPR nantinya.

Aliansi mendorong agar pemerintah dan DPR mempersiapkan diri untuk proses pembahasan RKUHP 2015. Perlu kesadaran dari pemerintah dan DPR bahwa karakter RKUHP berbeda dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya. Perbedaan itu, di antaranya, dari sisi bentuk, RKUHP akan menjadi sebuah kitab kodifikasi. Selain itu, jumlah pasal yang dibahas sangat banyak, mencapai 786 pasal. Sementara, dari sisi substansi, RKUHP kental dengan topik krusial yang berdampak luas pada struktur hukum dan hak asasi manusia. Perhatian publik atas pembahasan RKUHP juga cukup besar, di antaranya dari kalangan profesional, akademisi, masyarakat sipil, dan aparat penegak hukum.

Dari sisi bentuk, RKUHP merupakan kodifikasi, yaitu pengkitaban atau pembukuan Undang-Undang secara lengkap dan sistematis dalam satu buku. Secara sederhana, RKUHP merupakan kumpulan dari berbagai ketentuan/norma undang-undang yang disusun dalam satu buku dan disahkan sebagai satu Undang-Undang.

Pada pembahasan RKUHP kali ini, dibutuhkan inovasi dari sisi model dan mekanisme pembahasan. Jika hal ini tak dilakukan, Aliansi menilai, akan banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dan DPR. Penilaian ini berdasarkan pengalaman pemantauan terhadap pembahasaan RUU lainnyadi DPR, termasuk pembahasan RUU KUHP pada 2013-2014 lalu.

Dari sisi proses legislasi, ketersediaan waktu dan pembahasan yang fokus, efektif, serta partisipatif menjadi prasyarat bagi penilaian terhadap tinggi atau rendahnya kualitas dan legitimasi KUHP yang akan dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR. Sementara itu, dari sisi substansi, pembentuk undang-undang harus mampu merumuskan pengaturan yang diterima oleh publik dan mencari titik kompromi dari berbagai konfigurasi kepentingan para aktor yang terdampak dari RKUHP tersebut.

(18)

15

Menurut Aliansi, ada lima tantangan yang akan sangat memengaruhi hasil pembahasan RKUHP oleh pemerintah dan DPR.26 Tantangan tersebut akhirnya akan memunculkan pertanyaan, apakah RKUHP dapat diselesaikan dengan baik, kembali terpental seperti pembahasanpada tahun 2014, atau pembahasan dapat diselesaikan dengan kualitas rendah?

Ada pun, kelima tantangan tersebut, sebagai berikut:

1. Masa kerja atau waktu kerja pemerintah dan DPR yang terbatas. Hingga hari ini, pembahasan RKUHP terkesan akan dipaksakan selesai pada2015.Aliansi menolak pembahasan yang terburu-buru dan mengabaikan kualitas substansi yang akan dihasilkan. Dengan mempertimbangkan bobot dan materi muatan perubahan KUHP tersebut, Aliansi mendorong pembahasan RKUHP yang berkualitas dengan waktu yang cukup untuk melakukan pembahasan yang efektif dan partisipatif.

2. Anggaran pembahasan yang minim, terutama pada pihak pemerintah. Minimnya anggaran akan mempersulit proses pembahasan RKUHP yang berkualitas. Untuk itu, selain pembahasan mengenai model dan substansi, pemerintah dan DPR perlu mencari jalan keluar agar pembahasan RKUHP dapat dilaksanakan dengan dukungan anggaran yang memadai.

3. Prioritas kerja anggota DPR (terutama anggota Komisi III DPR yang tergabung dalam Panitia Kerja RKUHP) yang terpecah dan tidak fokus. Hal ini terjadi karena banyaknya beban kerja anggota Dewan, baik dalam konteks pelaksanaan fungsi lainnya (pengawasan dan anggaran), juga pelaksanaan fungsi legislasi, misalnya RUU Paten, Merek, dan sebagainya.

4. Materi muatan atau substansi RKUHP yang sangat berat. Secara kuantitas, jumlah pasal yang akan dibahas sangat banyak, yaitu786 pasal. Jika dipecah menjadi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), kemungkinan teradapat lebih dari 2000 nomor DIM yang harus diisi oleh masing-masing fraksi yang tergabung dalam Panja RKUHP. Pembahasan dengan menggunakan model DIM ini diperkirakan akan menyita waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membahas substansi yang ada.

5. Model pembahasan yang biasa atau konvensional yang selama ini digunakanoleh DPR dan Pemerintah tidak akan cukup efektif diterapkan dalam membahas RKUHP. Pembahasan dengan menggunakan model DIM pada akhirnya akan berujung pada pembahasan nomor per nomor dan lebih bersifat redaksional. Untuk itu, Pemerintah dan DPR sudah sepatutnyamerumuskan model pembahasan guna mendukung pembahasan RKUHP yang efektif dan partisipatif.

26Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Catatan Singkat Terhadap Rencana Pembahasan RUU KUHP 2015, Jakarta, 26

(19)

16 2.2. Rekomendasi Pembahasan RKUHP 2015

Berkaca pada pemantauan dan evaluasi terhadap pembahasan RKUHP pada periode lalu, maka pembentuk Undang-Undang seharusnya melakukan pembahasan yang efektif, berkualitas, serta partisipatif. Hal ini tidak hanya terkait dengan sisi efektivitas pembahasan, melainkan juga berdampak pada legitimasi dari produk hukum (dalam hal ini RKUHP) yang akan dihasilkan.

Proses pembahasan Undang-Undang dalam sistem kenegaraan di Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Sistem kerja parlemen seperti yang berlaku sekarang sulit bagi para anggota DPR menggunakan secara maksimal masa jabatan limatahun yang dimiliki untuk membahas RKUHP dengan sistem kodifikasi yang terdiri dari 786 pasal. Hal tersebutkarena:

Pertama, sistem kerja parlemen seperti yang berlaku sekarang sulit bagi para anggota DPR menggunakan secara maksimal masa jabatan limatahun yang dimiliki untuk membahas RKUHP dengan sistem kodifikasi yang terdiri dari 786 pasal. Pemanfaatan masa jabatan Dewan terlihat sebagai berikut. Tahun pertama setelah pelantikan anggota dewan akan dimulai dengan berbenah diri baik mengenai organisasi, penyusunan tata tertib dan pogram kerja. Lanjut pada tahun kedua, ketiga dan keempat adalah tahun yang digunakan untuk tugas-tugas legislatif. Namun faktanya dengan masa reses serta acara dengar pendapat, waktu tiga tahun yang tersedia tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk menjalankan tugas legislatif. Tahun kelima yang merupakan tahun terakhir dalam masa jabatan, anggota tidak akan banyak melakukan kegiatan mengingat perisiapan serta adanya tugas dari partai untuk menyambut pemilihan umum yang sudah diambang pintu. Dengan demikian, secara praktis waktu efektif yang tersedia bagi anggota DPR hanya dua tahun dalam satu periode masa jabatannya;

Kedua, sistem pembahasan RUU di DPR tidak mewarisi tugas-tugas legislatif dewan terdahulu dalam hal tidak selesainya pembahasan sebuah RUU pada satu periode masa jabatan. Dengan demikian, apabila terdapat tugas-tugas legislatif yang tidak terselesaikan pada suatu masa jabatan tidak akan dapat dilanjutkan oleh anggota dewan yang baru, melainkan dikembalikan kepada pihak pemerintah apabila Undang-Undang tersebut merupakan inisiatif pemerintah sehingga apabila kemudian diajukan kembali pembahasan keDPR yang baru maka pembahasan harus dilakukan dari awal atau bahkan RUU yang bersangkutan menjadi mentah kembali. Belum lagi, dalam komposisi partai politik di DPR terbuka kemungkinan adanya perubahan baik dari segi jumlah anggota yang mewakili fraksi maupun partai politik yang ada dalam DPR.

Kedua masalah yang dikemukakan ini patut dicarikan solusi permasalahannya baik oleh DPR dan pemerintah apabila ingin berhasil dalam melakukan usaha pembentukan undang-undang sebagai agenda untuk mewujudkan tata hukum yang baru. Disamping kedua masalah yang telah disampaikan, masih ada masalah lain yang lebih bersifat teknis yakni, dilingkungan DPR belum tersedia sumber daya manusia memadai berupa staf yang memilki kemampuan pengetahuan hukum dan perancang undang-undang yang dapat membantu para anggota dewan dalam menangani masalah perundang-undang-undang-undangan secara teknis yuridis. Apalagi jika kita melihat tidak semua anggota dewan khususnya anggota Komisi III yang membahas RUU KUHP memiliki latar belakang pendidikan hukum sehingga dalam pembahasaannya kerap menemui kesulitan apabila menghadapi masalah-masalah yang bersifat yudiridis dan teknis yuridis.Karenanya dalam pengalaman perjalanan pembahasan RUU terlihat bahwa pembahasan sebuah RUU memerlukan waktu yang cukup lama, bukan karena aspek politisnya saja tetapi juga karena aspek yuridis yang mungkin kurang dimengerti oleh anggota.

(20)

17

Oleh karena itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengusulkan beberapa langkah yang dapat ditempuh pemerintah dan DPR dalam mewujudkan pembahasan RKUHP yang efektif, berkualitas, serta partisipatif.Langkah-langkah tersebut seperti dijabarkan di bawah ini:

a. Pembahasan RKUHP Dilakukan Secara Bertahap

Langkah pertama yang seharusnya diambil oleh pemerintah dan DPR adalah melakukan pembahasan secara bertahap terhadap Buku I RKUHP terlebih dahulu. Pemerintah dan DPR tidak perlu terburu-buru masuk dalampembahasan Buku II RKUHP. Langkah ini perlu diambil untuk efektivitas dan efisiensi waktu. Selain itu, penyelesaian atas pembahasan terhadap Buku I RKUHP penting untuk menentukan politik hukum pidana yang akan dituju oleh pembaruan KUHP.

Buku I KUHP secara isinya akan memuat seluruh asas dan prinsip pokok pemidanaan yang akan berlaku umum di Indonesia. Selain yang sifatnya asas dan prinsip, beberapa ketentuan yang lebih rinci seperti keberlakuan jenis hukuman seperti hukuman juga termuat dalam Buku I. Secara fundamental akan menjadi pembahasan dan perdebatan serius baik di tingkatan pembentuk undang-undang maupun masyarakat secara luas.

b. Penyisiran dan Evaluasi Terhadap Seluruh Ketentuan Pidana Baik di Dalam maupun di Luar KUHP

Pemerintah dan DPR juga disarankan tidak langsung membahas substansi RKUHP yang telah diserahkan pemerintah, melainkan melakukan pemetaan terhadap seluruh ketentuan pidana baik di dalam maupun di luar KUHP.

Langkah ini perlu dilakukan karena pembaruan KUHP tidak hanyamengenai pembaruan teks, dalam arti memperbarui KUHP dengan membentuk KUHP baru. Pembaruan KUHP merupakan langkah besar untuk evaluasi dan pembenahan terhadap seluruh pengaturan pidana yang telah dan akan berlaku di Indonesia.Apalagi, jika melihat cita-cita posisi KUHP sebagai sebuah kodifikasi bahkan menuju konsep unifikasi.Hal ini bukanlah masalah yang mudah, karena beban terberat dari RKUHP saat ini salah satunya adalah memastikan model kodifikasi yang nantinya akan ditaati atau tidak.

Oleh karena itu, sebelum melakukan pembahasan terhadap RKUHP yang telah diserahkan pemerintah, maka pemerintah dan DPR seharusnya melakukan penyisiran dan evaluasi secara menyeluruh terhadap ketentuanpidana baik di dalam maupun di luar KUHP.

Sebagai sebuah kodifikasi, KUHP yang baru akan menjadi acuan bagi pembentukan ketentuan pidana Indonesia di masa depan. Dengan demikian, tahapan harmonisasi dan sinkronisasi harus dilakukan sejak awal pembahasan.

Pemetaan dan evaluasitersebutsekurang-kurangnya dilakukan dengan cara pandang kriminalisasi, dekriminalisasi, penalisasi, depenalisasi, dan perumusan ulang unsur dan inti delik. Dekriminalisasi adalah menjadikan suatu ketentuan yang dulunya tindak pidana menjadi bukan tindak pidana karena

(21)

18

dalam konteks pengaturan KUHP, beberapa delik dapat disasar dengan menggunakan ukuran tidak efektifnya suatu ketentuan pidana dilaksanakan.27

Langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi atas kriminalisasi. Kriminalisasi yang dimaksud adalah, sejauh mana pembentuk undang-undang perlu merumuskan dan menyepakati perbuatan mana saja yang dulunya bukan tindak pidana lalu akan dikategorikanperbuatan pidana.28Pemerintah dan DPR juga perlu menyepakati apakah ketentuan itu akan diatur di dalam atau di luar KUHP.

Pemerintah dan DPR seharusnya melakukan penyisiran dan evaluasi terhadap semua perbuatan yang masih dikategorikan sebagai perbuatanpidana,tetapi ancamannya bukan lagi berupa pidana pemenjaraan (depenalisasi).Termasuk harus menyisir semua perbuatan yang merupakan perbuatan pidana dan tetap akan diancam dengan sanksi pemenjaraan (penalisasi).

Selain penyisiran terhadap semua undang-undang yang memuat ketentuan pidana, Pemerintah dan DPR juga harus menyisir setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus suatu norma yang berkaitan dengan ketentuan pidana.

Langkah-langkah di atas bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan waktu yang cepat. Di tengah keterbatasan waktu dan naik turunnya dinamika pembahasan, maka pemerintah dan DPR dituntut untuk tetap melakukan penyisiran dan evaluasi terhadap seluruh ketentuan pidana baik di dalam maupun di luar KUHP. Hal ini merupakan konsekuensi atas model pembaruan RKUHP dengan arah kodifikasi total.

Selain itu, dengan melakukan langkah-langkah di atas, pembentuk undang-undang dapat menghindari pengaturan berlebih, berulang, dan potensi konflik norma antarundang-undang.

Sebagai sebuah kodifikasi, KUHP yang baru akan menjadi acuan untuk pembentukan setiap ketentuan pidana baik di dalam maupun di luar KUHP.

Jika langkah-langkah di atas dilakukan, pemerintah dan DPR akan meninggalkan warisan berharga, yaitu pembenahan dan pemetaan seluruh ketentuan pidana di Indonesia. Meski pada akhirnya pemerintah dan DPRtidak berhasil mengesahkan RKUHP.

27Contohnya, Pasal 383 bis KUHP yang menyatakan bahwa seorang pemegang konosemen yang sengaja

mempergunakan beberapa eksemplar dari surat tersebut dengan titel yang memberatkan dan untuk beberapa orang penerima diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.Dalam praktiknya, ketentuan di atas (Pasal 383 bis) tidak bisa diterapkan secara efektif. Jika seorang pemegang konosemen (daftar muatan kapal) mempergunakan beberapa eksemplar dari surat tersebut, maka ketentuan lain masih dapat dikenakan, yaitu tindak pidana penggelapan. Contoh lain jika menyisir pengaturan KUHP mengenai pelayaran, maka dapat ditemukan banyak sekali tindakan yang menyangkut pelayaran yang dikategorikan tindak pidana. Hal ini tidak lepas dari politik-ekonomi Hindia Belanda yang menitikberatkan pada perdagangan dan pelayaran.

28

Beberapa ukuran untuk melakukan kriminalisasi adalahapakah perbuatan yang dijadikan perbuatan pidana tersebut tercela dan perlu dikenakan ancaman pidana; apakah dengan mengenakan ancaman pidana, perbuatan tersebut dapat ditanggulangi; danapakah dengan memberikan ancaman pidana pada perbuatan itu, penegakannya akan efektif untuk dilakukan.

(22)

19

c. Pengelompokan dan Pemberian Titik Fokus Pembahasan (Clustering)

Setelah melakukan langkah-langkah di atas, pemerintah dan DPR dapat melakukan pembahasan RKUHP yang telah diserahkan oleh pemerintah. Pengelompokan dan menetapkan titik fokus pembahasan ini sering dikenal dengan model clustering. Pembahasan dengan model clusteringakan menghindari pembahasan nomor per nomor DIM yang selama ini terbukti tidak menunjang efektivitas dan efisiensi pembahasan. Aliansi Reformasi KUHP sangat mendukung pembahasan model clustering ini. Di samping efisien dan lebih berkualitas, pokok-pokok masalah berdasarkan clusteringpun sebenarnya sudah terbantu dengan sistem pembagian bab yang ada dalam RKUHP.

Selanjutnya, pemerintah dan DPR bisa membagi dua tim, yaitu tim substansi dan tim redaksi. Tim substansi terdiri dari pemerintah dan DPR. Tim ini akan bertugas membahas substansi dan materi RKUHP. Sementara itu, tim redaksi bertugas merumuskan kalimat dari substansi yang telah disepakati oleh tim substansi. Tim redaksi akan lebih optimal jika melibatkan tenaga ahli secaraaktif, baik dari pemerintah maupun DPR.

Kemudian, pemerintah dan DPR merumuskan prioritas-prioritas pembahasan. Prioritas tersebut dapat disusun berdasarkan kategori delik. Misalnya, kejahatan terhadap keamanan negara, delik terhadap kejahatan nyawa, dan seterusnya.

Tim substansi dan tim redaksi bisa melakukan kerja secara simultan (bersamaan). Saat tim substansi membahas materi RKUHP, tim redaksi melakukan perumusan kalimat dengan menurunkan kesepakatan-kesepakatan besar pada tingkatan tim substansi menjadi ketentuan pasal per pasal.

Secara berkala, Pimpinan Panitia Kerja (Panja) mengadakan sidang pleno yang dihadiri seluruh anggota Panja RKUHP dan pemerintah untuk menyepakati baik substansi maupun redaksi yang telah dibahas. Setelah langkah-langkah di atas dilakukan, maka pembahasan dapat dilanjutkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak masuk dalam prioritas pembahasan.

Dengan demikian, pembahasan dengan menggunakan model DIM akan ditinggalkan dan beralih ke model clustering. Pembahasan dengan model clustering diharapkan mampu menerobos sekat yang selalu membahas pasal per pasal yang telah disusun oleh salah satu pihak pembentuk Undang-Undang. Dalam konteks RKUHP, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah, ke arah mana pembaruan hukum pidana Indonesia. Dengan menjawab pertanyaan itu, tidak tertutup kemungkinan pembahasan yang dilakukan tidak lagi dengan memberikan catatan terhadap pasal-pasal dalam RKUHP. Perombakan total bisa saja terjadi dan harus direspon dengan model pembahasan selain dengan DIM.

d. Pembentukan Panel Ahli

Pembentukan Panel Ahli yang dibentuk berdasarkan kesepakatan antarapemerintah dan DPR menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan bobot dan substansi RKUHP yang cukup berat. Dengan adanya Panel Ahli,maka disamping ekplorasisubstansi akan berjalan secara efektif dan terarah,DPR juga akan mendapat masukan yang lebih lengkap dari berbagai ahli.

(23)

20

Berdasarkan catatan Aliansi Reformasi KUHPataspembahasan RKUHP pada periode lalumenunjukkan bahwaada ketidakpercayaan diri pemerintah dan DPR dalam menyepakati ketentuan tertentu dalam RKUHP. Oleh karena itu, dalam pembahasannya ada pelibatan ahli yang cukup intens dan dominan. Pembentukan Panel Ahli ini sebelumnya juga telah dikenal, misalnya dalam pembahasan amendemen UUD 1945.Panel Ahli yang dimaksud berbeda dengan pelibatan tenaga ahli baik daripemerintah mau pun DPR. Panel Ahli yang dibentuk berdasarkan individu/kelompok yang ahli dan menaruh minat pada pembaruan KUHP.

Anggota Panel Ahli yang dibentuk diharapkan berlatarbelakang akademisi, peneliti, kelompok masyarakat, dan sebagainya. Tugas Panel Ahli adalah memberikan pelusuran dan justifikasi terhadap substansi yang sedang dibahas dari perspektif/berdasarkan keahliannya.

Jika pelibatan Panel Ahli dapat dilakukan secara optimal, maka kerja-kerja pemerintah dan DPR pada tim substansi maupun tim redaksi akan lebih mudah. Tidak dibutuhkan waktu yang panjang untuk merumuskan justifikasi ilmiah dan keilmuan atas pengaturan yang ingin dirumuskan.

Namun Panel Ahli ini perlu dipersiapkan sejak awal dengan menyusun daftar ahli yang nantinya akan di sesuaikan dengan tema atau isu yang dibahas. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan apakah membentuk Panel Ahli yang bersifat melekat atau bersifat sementara (bergantung pada isu/topik yang sedang dibahas).

Namun, yang perlu menjadi catatan, Panel Ahli jangan sampai membendung, mengurangi, maupun membatasi hak masyarakat untuk terlibat dalam pembahasan RKUHP. Panel Ahli difokuskan pada pemberian justifikasi ilmiah atas pengaturan yang ada berdasarkan keilmuan sedangkan pelibatan masyarakat secara optimal adalah prasyarat atas legitimasi dan penerimaan KUHP baru.

e. Efektivitas Waktu Pembahasan (Pembahasan Bertahap)

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) mengatur bahwa waktu pembahasan suatu rancangan undang-undang adalah 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR.

Pasal 99 UU MD3

“Pembahasan rancangan undang-undang oleh komisi, gabungan komisi, panitia khusus atau Badan Legislasi diselesaikan dalam 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat Paripurna DPR”

Sementara, dalam Peraturan Dewan Perwakilan RakyatNomor 1 Tahun 2015 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR) diatur lebih rinci perihal waktu pembahasan ini.

Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR

(1) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat diperpanjang

(24)

21

berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR sesuai dengan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan badan legislasi, atau pimpinan panitia khusus.

(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan rancangan undang-undang yang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas dari komisi, gabungan komisi, badan legislasi, atau panitia khusus.

(3) Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, dan pimpinan panitia khusus memberikan laporan perkembangan pembahasan rancangan undang-undang kepada Badan Legislasi dan Badan Musyawarah paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) masa sidang.

(4) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan berdasarkan pertimbangan pembahasan materi rancangan undang-undang yang belum selesai dibahas oleh periode sebelumnya.

(5) Perpanjangan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan oleh DPR periode berikutnya setelah dilakukan evaluasi dan ditetapkan dalam Prolegnas serta diajukan kembali.

Peraturan Tata Tertib DPR yang baru telah memberikan ruang waktu yang cukup luas dalam melakukan pembahasan. Jika sebelumnya hanya dua kali dan ditambah satu masa sidang, kini pembahasan suatu RUU dapat dilakukan tanpa batas waktu sepanjang dilakukan dalam satu periode DPR. Perubahan ini berdasarkan pertimbangan materi yang kompleks, jumlah pasal yang banyak, dan beban tugas dari komisi, gabungan komisi, badan legislasi atau panitia khusus.

Ketentuan ini memberikan cukup waktu untuk pemerintah dan DPR dalam melakukan pembahasan secara berkualitas. Apalagi, RKUHP diserahkanpemerintah kepada DPR pada awal masa kerja sehingga masih ada waktu sekitar empat tahun untuk membahasnya.

Meski demikian, jika melihat bobot substansi RKUHP dan langkah-langkah yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah dan DPR, waktu yang tersedia sangat sempit. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus segera bergegas melakukan pembahasan dan memanfaatkan waktu yang ada. Bahkan,saat masa reses atau libur dapatdimanfaatkan untuk membahas RKUHP.

f. Menjadikan RKUHP Sebagai Prioritas

Pada periode kali ini, pemerintah dan DPR harus melakukan pembahasan RKUHP dengan lebih fokus dan menjadikannya prioritas. Jika berkaca pada periode lalu, selain waktu yang tidak memadai dan tidak fokusnya pembentuk undang-undang, pembahasan RKUHP tidak selesaikarena berbagai beban kerja para anggota Panja.

Pembahasan RKUHP dilakukan secara bersamaan dengan pembahasan RKUHAP, RUU Kejaksaan, dan RUU Mahkamah Agung.Di antara semua RUU itu, tidak ada satupun yang berhasil diundangkan.Hal ini

(25)

22

belum termasuk beban legislasi anggota Panja RKUHP DPR dengan menjadi anggota Panja maupun Pansus RUU di luar Komisi III (lintas komisi).

Selain itu, anggota Panja RKUHP DPR juga punya beban kerja terkait pelaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran.Kali ini, dengan pembagian tim substansi, redaksi, pembentukan Panel Ahli, dan pelibatan aktif masyarakat secara optimal diharapkan dapat mendukung pembahasan yang tidak hanya efektif, tetapi juga berkualitas dan partisipatif.

g. Pelibatan yang Luas dan Intensif dari Kelompok Terdampak

Tidak jauh berbeda dengan materi RKUHP periode sebelumnya, RKUHP pada periode ini (2015) juga sangat rentan mendapatkan kritik dari masyarakat. Salah satunya karena semakin banyaknya pasal RKUHP yang berkorelasi dengan perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan.RKUHP yang semakin banyak memasukkan perbuatan sebagai kejahatan, akan menempatkan negara dalam posisi pengawas perilaku masyarakat yang ketat, dan melegitimasi penggunaan alat koersif negara, yaitu hukum pidana.29

Untuk itu, pelibatan publik secara luas dalam pembahasan merupakan suatu keharusan. Pelibatan publik dari awal seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas naskah RUU termasuk naskah akademisnya. Termasuk membuka pintu atas masukan publik, untuk memberikan masukan atas naskah RUU tersebut.

Partisipasi masyarakat dalam memberikan catatan juga sebaiknya dibuka dalam kerangka penyusunan clustering pembahasan tiap fraksi DPR. Lalu yang terakhir adalah partisipasi masyarakat dalam mendengar dan mengawal sidang-sidang pembahasan RKUHP DPR. Tanpa itu, legitimasi RKUHP akan dipertanyakan dan bukan tidak mungkin menuai penolakan publik.

h. Pembahasan Harus Terbuka

Pembahasan RKUHP di DPRseharusnya dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik. Ini menitikberatkan kepada: pertama, rencana agenda-agenda pembahasan harus dapat diketahui sebelumnya oleh publik yang ingin melihat dan mengikuti pembahasan. Kedua, tempat pembahasan sebaiknya dilakukan di tempat yang dapat diakses oleh publik, dalam hal ini perlu ditekankan bahwa rapat-rapat sebaiknya dilakukan di gedung DPR atau di ruangan Rapat Komisi III. Sebaiknya pembahasan tidak dilakukan di hotel-hotel berbintang yang tertutup oleh publik. Dengan melaksanakanrapat-rapat di hotel berbintang, disamping tidak hemat dengan anggaran, juga tidak akan dapat diakses oleh publik. Waktu pembahasan juga diharapkan menggunakan waktu kerja yang sesuai. Ketiga, hasil-hasil pembahasan sebaiknya segera dapat diakses publik. Sangat sulit menerima hasil pembahasan resmi dari DPR jika waktu penyampaiannya ke publik cukup lama.

29

(26)
(27)

24

BAB III

Pembahasan Berbasis Clustering

3.1. Pengelompokan dan Pemberian Titik Fokus Pembahasan (Clustering) RKUHP

Umumnya dalam pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR, setiap fraksi-fraksi di DPR dan juga pemerintah menggunakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)yang berarti penyusunan butir-butir yang terkait dengan sebuah RUU. Jika suatu RUU adalah inisiatif atau usulan Pemerintah, maka DPR menyiapkan DIM-nya untuk tiap pasal yang diajukan dan penyusunan DIM sangat tergantung pada kebijakan Fraksi di DPR. Penyusunan DIM pada umumnya umumnya dilakukan oleh Tenaga Ahli Fraksi namun bisa juga melibatkan Tenaga Ahli Anggota DPR, jika anggota DPR tersebut menjadi anggota Panitia Kerja (Panja) dari pembahasan RUU tersebut. Adapun jika suatu RUU adalah inisiatif DPR maka yang bertugas menyusun DIM adalah Pemerintah bukan dari pihak DPR.30

Perkembangan terbaru dalam pembahasan suatu RUU di DPR dikenal juga model pengelompokan. Pengelompokan dan menetapkan titik fokus pembahasan ini sering dikenal dengan model clustering. Pembahasan dengan model clustering ini akan menghindarkan anggota DPR dari membahas nomor per nomor DIM yang selama ini terbukti tidak menunjang efektivitas dan efisiensi.

Pembahasan RKUHP di DPR sebaiknya berlangsung per cluster karena bisa dipetakan bagian mana saja yang menjadi pokok-pokok masalah. Dengan pembahasan secara cluster, masalah-masalah yang mungkin muncul itu akan menjadi fokus per tim di DPR, sehingga bagian-bagian dalam RKUHP yang tidak jadi masalah krusial, tidak perlu dibahas berbelit-belit agar tak ada waktu terbuang. Model cluster ini tepat diterapkan dalam pembahasan RKUHP karena jumlah pasal yang sangat banyak (768 Pasal), sehingga tidak perlu terlalu bertele-tele membahas satu per satu seperti model pembahasan berdasarkan per nomor DIM.31

Dalam pembahasan RKUHP, pembagian berdasarkan clustering sebenarnya dapat dilakukan secara bertahap dengan membagi tahapan berdasarkan pembagian BUKU I dan BUKU II. Rekomendasi Aliansi Nasional Reformasi KUHP terhadap pembahasan ini sebaiknya dilakukan dulu kepada BUKU I lalu di lanjutkan kepada BUKU II R KUHP. Sistem cluster dalam RKUHP juga cukup terbantu karena rancangan telah membagi buku, bab, dan bagian secara terpisah sehingga memudahkan clustering.

30

[http://www.harjasaputra.com/opini/polhukam/daftar-istilah-yang-wajib-dipahami-oleh-tenaga-ahli-dpr.html].

31 Salah satu contoh pembahasan clustering adalah dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.Saat itu, Komisi III membagi pembahasan berdasarkan tigacluster substansi.

(28)

25

Buku Jumlah pasal Jumlah Cluster Pembagian Cluster Buku I

Ketentuan Umum Pasal 1 s.d.Pasal 218 6 cluster

Berdasarkan bab

Buku II Tindak Pidana

Pasal 291 s.d. Pasal 786 39 cluster Berdasarkan bab dan campuran bab

Setelah pembagian cluster tersebut, DPR direkomendasikan untuk menyusun kerangka DIM berbasis clustering yang disepakati. Lalu dari seluruh cluster tersebut, maka dapat disusun prioritas pembahasan yang dapat didasarkan pada:

a. Memilih cluster yang paling ringan masalah dan bobot pengaturannya, termasuk apakah substansinya dapat menimbulkan pertentangan dan polemik di dalam masyarakat.

b. Atau sebaliknya, membahas cluster yang paling berat kearah cluster yang paling ringan bobotnya. Dari dua pilihan di atas, Aliansi Nasional Reformasi KUHP lebih mendorong agar DPR memilih hal-hal yang paling fundamental dalam RKUHP (tentunya dibatasi dalam satu buku). Jadi sebelum memilih untuk membahas cluster yang muatannya paling ringan lalu bertahap ke kluster yang paling berat, DPR sebaiknya memperhatikan hal-hal fundamental terlebih dahulu dalam RKUHP, apakah sudah sesuai dengan tujuan dan asas, baru bergerak ke pembahasan selanjutnya.

Pemerintah dan DPR juga dapat membagi dua tim, yaitu tim substansi dan tim redaksi. Tim substansi terdiri dari pemerintah dan DPR. Tim ini akan bertugas membahas substansi dan materi RKUHP. Sementara itu, tim redaksi bertugas merumuskan kalimat dari substansi yang telah disepakati oleh tim substansi. Tim redaksi akan lebih optimal jika melibatkan tenaga ahli secara aktif, baik dari pemerintah maupun DPR.Tim substansi dan tim redaksi bisa melakukan kerja secara simultan (bersamaan). Saat tim substansi membahas materi RKUHP, tim redaksi melakukan perumusan kalimat dengan menurunkan kesepakatan-kesepakatan besar pada tingkatan tim substansi menjadi ketentuan pasal per pasal. Secara berkala, Pimpinan Panja mengadakan sidang pleno yang dihadiri seluruh anggota Panja RKUHP dan pemerintah untuk menyepakati baik substansi maupun redaksi yang telah dibahas.

Setelah langkah-langkah di atas dilakukan, maka pembahasan dapat dilanjutkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak masuk dalam prioritas pembahasan. Pembahasan dengan model clustering diharapkan mampu menerobos sekat yang selalu membahas pasal per pasal yang telah disusun oleh salah satu pihak pembentuk undang-undang.

3.2. Posisi DIM RKUHP Saat Ini di Komisi III

DPR telah menyetujui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan pemerintah. Selanjutnya RKUHP ini bakal dibahas melalui mekanisme

Referensi

Dokumen terkait

Kadar PSA meningkat pula pada kanker prostat (KP) dan benign prostatic hyperplasia (BPH) yang besar, hal ini dikemukakan oleh Lee dkk bahwa tiap gram jaringan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini Untuk Menganalisis apakah Sistem Penyediaan, Pemesanan dan Pelekatan Pita Cukai Minuman Mengandung Etil

Cirebon jadi pilihan tempat Prabu Geusan Ulun menuntut ilmu karena dua alasan, pertama secara geografis Cirebon letaknya lebih dekat dari Sumedanglarang – hal ini

Sebanyak 471 masyarakat yang hadir dalam kegiatan pemberian vaksin gratis ini menandakan bahwa masyarakat menerima informasi dan memerhatikan pesan mengenai

Ka- rena pengelolaan dan pengawasan yang kurang baik, maka beberapa jenis tanaman introduksi sudah me- liar bahkan menjadi sangat agresif sehingga men- imbulkan berbagai

Pada pengujian warna dengan metode kertas tumerik sebelumnya kertas tumerik dibuat dengan menggunakan kertas saring yang telah digunting ukuran kecil, selanjutnya

Uji validitas ada dua cara yaitu uji validitas empiris dan uji validitas ahli (Expert Judgement). Pada penelitian ini validasi ahli dilakukan kepada dua ahli dari