• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN ASUPAN ZAT BESI (Fe) DAN KADAR HB PADA REMAJA PUTRI STUNTING DAN NON STUNTING DI SMP NEGERI 1 NGUTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN ASUPAN ZAT BESI (Fe) DAN KADAR HB PADA REMAJA PUTRI STUNTING DAN NON STUNTING DI SMP NEGERI 1 NGUTER"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN ASUPAN ZAT BESI (Fe) DAN KADAR HB PADA REMAJA PUTRI STUNTING DAN NON STUNTING DI SMP NEGERI 1 NGUTER

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ilmu Gizi Fakutas Ilmu Kesehatan

Oleh:

ANGGITA SUSAN ASMARAN DARU J 310 130 098

PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang

lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas, maka akan saya

pertanggungjawabkan sepenuhnya.

.

Surakarta, 10 Agustus 2017

Penulis

ANGGITA SUSAN ASMARAN DARU J 310 130 098

(5)

PERBEDAAN ASUPAN ZAT BESI (Fe) DAN KADAR HB PADA REMAJA

PUTRI STUNTING DAN NON STUNTING DI SMP NEGERI 1 NGUTER

Abstrak

Pada masa remaja akan mengalami proses growth spurt menyebabkan kebutuhan zat gizi meningkat, terutama remaja putri yang setiap bulannya mengalami menstruasi yang membutuhkan asupan zat besi yang tinggi untuk produksi sel darah merah (Hb) yang keluar saat menstruasi, serta mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tubuh sehingga tidak mengalami defisiensi zat gizi (stunting). Menurut hasil survei pendahuluan di SMP Negeri 1 Nguter didapatkan prevalensi stunting sebesar 41,66 % dari 120 siswi dan diketahui rata-rata asupan Fe nya adalah 5,6 mg/hari, 47% tercukupi dibandingkan rata-rata asupan Fe yang dianjurkan oleh AKG yaitu 12 mg/hari. Defisiensi asupan zat besi yang tidak mencukupi, dapat menghambat pertumbuhan remaja. Kadar Hb yang rendah dapat mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif remaja. Perkembangan kognitif yang terhambat merupakan salah satu dampak jangka pendek dari stunting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan asupan Fe dan kadar Hb pada remaja putri stunting dan non-stunting di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo. Penelitian kuantitatif ini menggunakan pendekatan cross -sectional dengan cara simple random sampling yang sesuai kriteria inklusi sebanyak 80 siswi. Data asupan Fe dikumpulkan melalui wawancara recall 24 jam dan pemeriksaan kadar hemoglobin darah menggunakan metode analisis cyanmethemoglobin. Analisis perbedaan data asupan Fe dan kadar Hb pada remaja putri stunting dan non-stunting menggunakan uji T-Test Independent dan Mann Whitney. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan SPSS V.17 terdapat perbedaan yang signifikan dari asupan zat besi (Fe) (p=0,001) dan tidak ada perbedaan yang signifikan dari kadar Hb (p=0,597) pada remaja putri yang stunting dan non-stunting.

Kata kunci: stunting, asupan Fe, kadar Hb.

Abstract

During adolescence will subjected to the process growth spurt cause needs the nutrients increased, especially adolescent girls every month undergo menstruation who needed the fillings iron high for of producing red blood cells ( Hb ) out while menstrual, and satisfy the needs of growth and development of the body so did not experience deficiency nutrient substance ( stunting ). According to a preliminary survey in junior high schools 1 nguter obtained prevalence of stunting of 41,66 % 120 students and the average intake iron (Fe) was detected 5.6 mg/day , 47 % was fulfilled compared to the average intake iron (Fe) advocated by AKG that is 12 mg/day . Deficiency intake iron insufficient , could hinder growth teenagers . Low levels of Hb can affect the cognitive development teenager. Cognitive development obstructed is one of the short term stunting. This study attempts to tell the difference intake Fe and Hb levels in adolescent girls with stunting and non-stunting in Junior High School 1 Nguter Sukoharjo district. Research is used the quantitative cross-sectional by means of simple random sampling appropriate criteria inclusion of as much as 80. Intake Fe collected through interviews recall 24 hours and examination hemoglobin blood levels in a cyamethemoglobin. Data analysis differences intake Fe and hb levels on adolescent girls with stunting and non-stunting use t-test independent and mann whitney. Based on the result analysis undertaken with SPSS V.17, there are significant differences of substance intake of iron ( Fe ) ( p = 0,001 ) and there are not significant differences of Hb levels ( p = 0,597 ) on adolescent girls with stunting and non-stunting

(6)

1. PENDAHULUAN

Remaja putri termasuk salah satu kelompok yang rawan menderita malnutrisi, selain karena sebelumnya sudah mengalami malnutrisi tetapi juga disebabkan mereka mengalami menstruasi sehingga membutuhkan asupan zat gizi terutama besi untuk memenuhi kebutuhan asupan Fe pada tubuh (Thurnham, 2013). Status gizi pada remaja merupakan pantulan dari permulaan kejadian kekurangan gizi pada anak usia dini. Pada negara dengan penghasilan menengah, remaja merupakan masa penurunan malnutrisi dari anak usia dini, baik itu stunting atau anemia sebelumnya yang disebabkan oleh defisiensi mikronutrien (Thurnham, 2013).

Defisiensi besi mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan remaja, dengan menghambat pertumbuhan linier (Caulfield, 2006). Stunting pada remaja terjadi karena masalah gizi saat balita atau pra-sekolah. Pada saat balita sudah mengalami malnutrisi yang mengindikasikan stunting, maka akan berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan remaja terhambat. Dampak jangka panjang dari stunting pada kesehatan remaja putri adalah berupa perawakan tubuh pendek, peningkatan resiko obesitas, dan penurunan kesehatan reproduksi, sedangkan dampak pada hal perkembangan ialah penurunan prestasi dan kapasitas belajar, serta penurunan kemampuan dan kapasitas kerja (WHO, 2013).

Pola konsumsi makan remaja putri merupakan salah satu penyebab terjadinya defisiensi asupan Fe, dikarenakan remaja putri cenderung ingin menjaga bentuk badan, sehingga membatasi konsumsi makanan yang menyebabkan kurangnya asupan zat gizi. Asupan makanan yang kurang dapat menyebabkan cadangan besi dalam tubuh tidak seimbang dengan kebutuhan zat besi untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin (Hb). Akibat dari hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb terus berkurang dan menimbulkan masalah gizi lain, contohnya anemia zat besi dan stunting (WHO, 2011).

Pada masa remaja dibutuhkan zat gizi termasuk zat besi yang cukup untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan zat gizi di akibatkan oleh growth spurt. Zat besi berpengaruh pada kadar Hb remaja putri yang sedang dalam pertumbuhan, karena peningkatan kebutuhan zat besi pada remaja putri diakibatkan oleh menstruasi. Darah yang keluar saat menstruasi harus diganti dengan pembentukan atau produksi sel darah merah (Haemoglobin) dengan meningkatkan asupan zat besi sebagai salah satu komponen utamanya. Kadar Hb yang rendah dapat mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif remaja. Perkembangan kognitif yang terhambat merupakan salah satu dampak jangka pendek dari stunting (WHO, 2013). Dampak dari rendahnya status besi (Fe) dapat menghambat pertumbuhan remaja putri (Badriah, 2011).

WHO (2010) menyatakan masalah gizi masyarakat akan dianggap berat bila prevalensinya sebesar 30-39% dan serius ≥ 40 %. Berdasarkan hasil Riskesdas (2013) prevalensi stunting di

(7)

indonesia adalah 37,2% terdiri dari 19,2 sangat pendek dan 18% sangat pendek. Terjadi peningkatan stunting pada tahun 2013 sebesar 0,6% dibandingkan tahun 2010 yaitu 36,6%. Pada tahun 2013 terjadi penurunan prevalensi sangat pendek dari 18,5 % pada tahun 2010. Menurut hasil survei pendahuluan yang peneliti lakukan di SMP Negeri 1 Nguter didapatkan prevalensi stunting sebesar 41,66 % dari 120 siswi dan diketahui rata-rata asupan Fe nya adalah 5,6 mg/hari, 47% tercukupi dibandingkan rata-rata asupan Fe yang dianjurkan oleh AKG yaitu 19-26 mg/hari.

Berkaitan dengan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan asupan zat besi (Fe) dan kadar Hb dengan kejadian stunting pada remaja putri di SMP Negeri 1 Nguter, Kabupaten Sukoharjo.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah secara simple random sampling. Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah 80 siswi SMP Negeri 1 Nguter. Data asupan Fe didapatkan melalui wawancara recall 24 jam yang lalu dan data kadar Hb darah menggunakan metode analisis cyanmethemoglobin. Analisis perbedaan data asupan Fe dan kadar Hb pada remaja putri stunting dan non-stunting menggunakan uji T-Test Independent dan Mann Whitney.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Umur

Penelitian ini dilakukan pada siswi kelas VII dan VIII dengan rentang umur 11-14 tahun. Umur terendah yang dimiliki sampel penelitian sebesar 11,1 tahun dan umur tertinggi yang dimiliki sampel penelitian sebesar 14,9 tahun. Rata-rata umur siswi kelas VII dan VIII adalah 12,71 tahun.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Subjek Penelitian

Umur (tahun)

Status Stunting

Stunting Non-Stunting

N % N % 11 6 15,0 3 7,5 12 24 60,0 15 37,5 13 10 25,0 18 45,0 14 0 0,0 4 10,0 Total 40 100 40 100

Berdasarkan Tabel 1, rata-rata umur siswi kelas VII dan VIII adalah 12,71 tahun. Masa remaja awal (early adolescence), berlangsung di sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir, pada masa ini terjadi perubahan pubertas sehingga kebutuhan zat gizi meningkat sesuai dengan percepatan pertumbuhan (growth spurt). Defisiensi zat gizi pada usia remaja baik early adolescence maupun late adolescence dapat menyebabkan stunting atau mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual (Beard, 2000).

(8)

3.2 Distribusi Subjek Berdasarkan Asupan Fe

Asupan zat besi (Fe) pada subjek diambil menggunakan metode foodrecall selama 6x24 jam secara tidak berturut-turut. Rata-rata asupan normal atau cukup remaja usia 11-14 tahun adalah 19-26 mg/hari (AKG, 2013).

Tabel 2

Distribusi Subjek Berdasarkan Asupan Fe

Kategori

Asupan Fe Stunting Non-Stunting

N % N %

Kurang (<80%) 36 90 30 75 Cukup (≥80-119%) 4 10 10 25

Jumlah 40 100 40 100

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi Fe kurang pada kategori stunting sebanyak 36 responden dan dengan kategori cukup 4 responden. Pada kategori non-stunting tingkat asupan Fe kurang sebanyak 30, sedangkan kategori cukup sebanyak 10 responden. Pada negara berkembang, masyarakat jarang mengkonsumsi pangan dengan sumber zat besi heme atau zat besi yang mudah diabsorpsi oleh tubuh, kebanyakan masyarakat pada negara berkembang memenuhi kebutuhan zat besi mereka hanya dari pangan sumber zat besi non heme yaitu produk nabati (Backstrand, 2002).

3.3 Distribusi Subjek Berdasarkan Kadar Hb

Kadar Hb siswi stunting dan non-stunting diperoleh dengan mengambil sampel darah subjek dan diperiksa menggunakan metode cyanmethemoglobin. Distribusi kadar Hb subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3

Distribusi Subjek Berdasarkan Kadar Hb

Kategori

Kadar Hb Stunting Non-Stunting

N % N %

Normal (12 – 16 g/dL) 30 75 29 72,5 Rendah (≤12 g/dL) 10 25 11 27,5

Jumlah 40 100 40 100

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa siswi stunting dengan kadar Hb normal sebesar 75%, dan siswi non-stunting 72,5%. Persen distribusi kadar Hb rendah antara siswi stunting dan non-stunting adalah 25% dan 27,5%.

3.4 Perbedaan Asupan Fe Antara Remaja Putri Stunting dan Non-Sunting

Analisis beda asupan Fe antara remaja putri stunting dan non-stunting dilakukan dengan menggunakan uji Mann Whitney. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 4.

(9)

Tabel 4

Hasil Analisis Perbedaan Asupan Fe Antara Remaja Putri Stunting dan Non-Sunting

Asupan Fe (mg) Status gizi Sig.(p)

Stunting Non-Stunting Nilai Minimal 2,70 3,10 0,001 Nilai Maksimal 11,60 17,70 SD 2,44 3,37 Mean 6,9 9,18

Berdasarkan hasil analisis nilai p adalah 0,001, sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan asupan zat besi (Fe) antara siswi stunting dan non-stunting. Rata-rata asupan zat besi remaja putri stunting sebesar 6,9 dan non-stunting adalah 9,18 yang termasuk kategori rendah dibandingkan nilai yang dianjurkan oleh AKG 2013 yaitu 19-26 mg/hari. Hasil rata-rata asupan Fe pada siswi stunting cenderung lebih rendah dibandingkan asupan Fe pada siswi non stunting.

Asupan zat besi yang rendah disebabkan oleh kebiasaan makan dari siswi yang kurang bervariasi dan kurang nya konsumsi makanan penghasil besi tinggi seperti daging merah dan lain-lain. Melalui food recall 3x24 jam tidak berturut-turut diketahui siswi stunting dan non-stunting di SMP Negeri 1 Nguter cenderung lebih suka jajan disekolah, sehingga saat dirumah tidak makan lagi. Jajanan yang paling sering dikonsumsi di sekolah adalah batagor, cilok, donat coklat serta minuman kemasan dan makanan ringan seperti wafer dan lain-lain. Makanan yang dikonsumsi selama disekolah dan dirumah tidak mampu memenuhi kebutuhan zat besi yang diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan produksi kadar Hb, sehingga siswi cenderung akan mengalami penghambatan pertumbuhan (stunting) dan anemia gizi besi (Beard, 2000).

3.4 Perbedaan Kadar Hb Antara Remaja Putri Stunting dan Non Stunting

Hasil analisis beda kadar Hb pada siswi stunting dan non-stunting dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5

Hasil Analisis Perbedaan Kadar Hb Antara Remaja Putri Stunting dan Non Sunting Kadar Hb (g/dL) Status gizi Sig.(p)

Stunting Non-Stunting Nilai Minimal 9,16 9,02 0,597 Nilai Maksimal 13,76 13,78 SD 1,41 1,38 Mean 10,76 10,91

Tabel 5 menunjukkan rata-rata kadar hb siswi stunting adalah 10,76 dan siswi non-stunting sebesar 10,91. Hasil nilai p yaitu 0,597, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar Hb pada remaja putri stunting dan non-stunting di SMP Negeri 1 Nguter. Kadar Hb tidak

(10)

mempengaruhi stunting secara langsung sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Zamzam (2003) di Kuwait, didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara IMT dengan Hemoglobin.

Kadar Hb siswi stunting cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kadar Hb siswi non-stunting. Berdasarkan WHO (2001), kadar normal Hb remaja putri adalah 12-16 g/dL, akan tetapi kadar Hb siswi stunting dan non-stunting SMP Negeri 1 Nguter cenderung rendah <11 g/dL. Hal ini disebabkan oleh asupan zat besi yang kurang sehingga mempengaruhi produksi Hb darah. Penelitian Shi (2008) di Cina menunjukkan asupan zat besi yang rendah berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin. Zat besi akan memproduksi hemoglobin pada eritroblast, jika suplay zat besi ke sumsum tulang belakang berkurang maka produksi hemoglobin gagal dan jumlah sel darah merah akan berkurang. Berdasarkan hasil recall 24 jam yang dilakukan pada remaja putri stunting dan non-stunting SMP Negeri 1 Nguter rata-rata asupan zat besi (Fe) tergolong rendah dibandingkan nilai yang dianjurkan oleh AKG 2013 yaitu 19-26 mg/hari yaitu sebesar 6,9 dan 9,18 mg/hari. Selain karena asupan zat besi yang rendah, terjadinya menstruasi pada remaja putri dapat mengakibatkan keluarnya sel darah merah yang banyak setiap bulannya sehingga harus diimbangi dengan asupan Fe yang cukup untuk mengganti Hb dalam darah yang hilang akibat keluarnya darah saat menstruasi.

4. KESIMPULAN

Terdapat perbedaan yang signifikan dari asupan zat besi (Fe) (p=0,001) dan tidak ada perbedaan yang signifikan dari kadar Hb (p=0,597) pada remaja putri yang stunting dan non-stunting.

DAFTAR PUSTAKA

Angka Kecukupan Gizi (AKG)., 2013, Jakarta

Backstrand, JR., Allen, LH., Black, AK., deMata, M., Pelto, GH. 2002. Diet and iron status of non-pregnant women in rural Central Mexico. The Journal Of Nutrition. 76(1):156–64.

Badriah, D.L. 2011. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung: PT Refika Aditama.

Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

Beard JL. 2000. Iron Requirements in Adolescent Females. The Journal Of Nutrition. 130(2): 440S–442S.

Caulfield, LE., Stephanie, AR., Juan, AR., Philip, M., Robert, EB. 2006. Stunting, Wasting, and Micronutrient Deficiency Disorders in Disease Control Priorities in Developing Countries, World Bank. Washington DC.

DiMeglio G. 2000. Nutrition in Adolescence. Journal of the American Academy of Pediatrics. 21(1):32-33

(11)

Shi, Z., Hu, X., He, K., Yuan, B., Garg, M. 2008. Joint association of magnesium and iron intake with anemia among Chinese adults. Nutrition. 24(10):977-984.

Thurnham, DI., Bender, DA., Scott, J., Halsted, CH. 2000. Water soluble vitamin, dalam Human Nutritions and Dietatic (Garow J. S, James W. P. T and Ralph A) United Kingdom: Harcourt Publishers Limited.

WHO. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assessment, Prevention and Control : A guide for programme managers. Geneva

WHO. 2010. Global Health Risk Report. France.

WHO. 2011. Haemoglobin concentratrions for the diagnosis of anemia and assessment of severity. Geneva

WHO. 2013. About Cardiovascular diseases. Geneva.

Zamzam, AM., Prasanna, P., Robert, TJ., Montaha, AR. 2003. A Comparison of selected nutrient intakes in anemic and nonanemic adolescent girls in Kuwait. Nutrition Research. 23(4):425-433.

Gambar

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Subjek Penelitian  Umur  (tahun)  Status Stunting Stunting  Non-Stunting  N  %  N  %  11  6  15,0  3  7,5  12  24  60,0  15  37,5  13  10  25,0  18  45,0  14  0  0,0  4  10,0  Total  40  100  40  100

Referensi

Dokumen terkait

Following on from this research, several new avenues are being explored, including spatial models of the effects of wind and distance to water on grazing distribution of

[r]

Penelitian ini juga ingin membuktikan kembali pengaruh kepemilikan saham oleh manajerial dan institusional dalam mengendalikan hutang perusahaan, yang berdasarkan

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dua bentuk ekstrak daun Sauropus androgynus (SA) yaitu bentuk fermentasi dan non-fermentasi terhadap hematopoesis pada 36

Pengaruh  suhu  dan  konsentrasi  sodium  bisulfit  dalam  proses sulfonasi  lignin  TKKS  terhadap  respon  rendemen  sodium  Iignosulfonat  merupakan  salah  satu 

(6) Sebagian besar kebutuhan bibit di tingkat petani konsumsi (88,4%) dipenuhi oleh hasil panen sendiri atau antar petani (penangkar tidak resmi) sehingga mutunya

Haluan tutkimuksessani ottaa selville kuinka tämä identiteetin rakentamisen tapahtumavyyhti esiintyy sosiaalisen median aktiivikäyttäjien puheessa seuraavien kysymysten kautta: