• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 7. Pengolahan Data 2D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 7. Pengolahan Data 2D"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOLAHAN DATA 2D

(Laporan Praktikum Eksplorasi Geolistrik)

Oleh:

Virgian Rahmanda (1215051054)

LABORATORIUM GEOFISIKA

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

i Judul Percobaan : Pengolahan data 2D Tanggal Percobaan : 26 Mei 2014

Tempat Percobaan : Laboratorium Teknik Geofisika

Nama : Virgian Rahmanda

NPM : 1215051054

Fakultas : Teknik

Jurusan : Teknik Geofisika

Kelompok : 2 (Dua)

Bandar Lampung, 26 Mei 2013 Mengetahui,

Asisten,

Achmadi Hasan N NPM. 1115051002

(3)

ii

PENGOLAHAN DATA 2D

Oleh

Virgian Rahmanda

ABSTRAK

Telah dilakukan praktikum mengenai pengolahan data 2D pada tanggal 26 Mei 2013 di Labratorium Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung. Percobaan ini bertujuan agar praktikan dapat memproses data sounding dan mapping geolistrik tahanan jenis dengan menggunakan software Res2dinv lalu membuat penampang horizontal daerah pengukuran geolistrik tahanan jenis dengan software surfer hal itu untuk untuk mendapatkan informasi tentang kedalaman atau ketebalan lapisan batuan dari harga resistivitas secara vertikal dan mengkorelasikan data sounding 1D vertical dengan penampang horizontal serta peta geologi. Data praktikum terdiri dari 10 data, Line 2,line 3 dan line 8 merupakan data dengan konfigurasi dipole-dipole sedangkan line 1, line 4, line 5, line 6, line 8, line 9 dan line 10 merupkan data dengan konfigurasi schlumberger. Data diolah dengan software res2dinv, lalu dikorelasi serta interpretasi. Dari hasil Interpretasi deiperoleh nilai sebaran resistivity batuan, ketebalan serta kedalaman lapisan, meskipun hasil data pengamatan mayoritas memiliki nilai RMS error datas 50%, namun masih nampak anomaly perbedaan niai resistivity batuan terhadap litologinya pada kesepuluh lintasan pengukuran tersebut.

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... B. Tujuan Percobaan... II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Daerah Pengamtan... B. Peta dan posisi daerah pengamatan... C. Geomorfologi, litologi, fisiografi dan stratigrafi... III. TEORI DASAR

A. Tahanan Jenis (resistivitas) ... B. Konduktivitas Listrik... C. Resistivitas Batuan dan Mineral... D. Hukum-hukum Kelistrikan... E. Konfigurasi Wenner... F. Konfigurasi Dipole-dipole... G. Software Res2Dinv... H. Teknik Survey Metoda Geolistrik Tahanan Jenis...

IV. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat Praktikum... B. Alat Praktikum... C. Pengambilan data Praktikum... D. Pengolahan data Praktikum... E. Diagram Alir Praktikum...

1 2 3 4 5 11 13 15 15 16 17 18 19 27 27 28 28 29 iii

(5)

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A. Data Praktikum...30 B. Pembahasan...33 KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Pulau Siberut, Sumatra Barat ... 5

Gambar 2.2 Peta Geologi Lembar Pagai dan Sipora ... 10

Gambar 3.1 Elektroda yang ditancapkan ke bumi sebagai resistor ... 11

Gambar 3.2 Konfigurasi Wenner ... 17

Gambar 3.3 Teknik Pengukuran metoda tahanan jenis 1D ... 20

Gambar 3.4 Contoh distribusi nilai tahanan jenis 1D... 20

Gambar 3.5 Susunan Elektroda dan ukuran pengukuran geolistrik 2D ... 21

Gambar 3.6 Contoh distribusi nilai tahanan jenis hasil olah 2D ... 21

Gambar 3.7 Teknik Pengukuran metoda tahanan jenis 3D grid 5x5 ... 22

Gambar 3.8 Contoh distribusi nilai tahanan jenis 3D irisan Horizontal... 23

Gambar 3.9 Contoh distribusi nilai tahanan jenis 3D irisan Vertikal... 23

Gambar 3.10 Metode misse a-la-masse ... 24

Gambar 3.11 Distribusi Equipotensial disekitar arus ... 25

Gambar 4.1 Laptop ... 26

Gambar 4.2 Alat tulis ... 26

Gambar 4.3 Software Res2dinv dan surfer ... 30

Gambar 5.1 Hasil Inversi 2D Lintasan 1 ... 31

Gambar 5.2 Hasil Inversi 2D Lintasan 2 ... 31

Gambar 5.3 Hasil Inversi 2D Lintasan 3 ... 31

Gambar 5.4 Hasil Inversi 2D Lintasan 4 ... 31

Gambar 5.5 Hasil Inversi 2D Lintasan 5 ... 31

Gambar 5.6 Hasil Inversi 2D Lintasan 6 ... 31

Gambar 5.7 Hasil Inversi 2D Lintasan 7 ... 32

Gambar 5.8 Hasil Inversi 2D Lintasan 8 ... 32

Gambar 5.9 Hasil Inversi 2D Lintasan 9 ... 32

(7)

Gambar 5.10 Hasil Inversi 2D Lintasan 10 ... 32

Gambar 5.11 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 1 ... 36

Gambar 5.12 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 1 ... 37

Gambar 5.13 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 1... 37

Gambar 5.14 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 2 ... 38

Gambar 5.15 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 2 ... 38

Gambar 5.16 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 2... 39

Gambar 5.17 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 3 ... 39

Gambar 5.18 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 3 ... 40

Gambar 5.19 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 3... 40

Gambar 5.20 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 4 ... 42

Gambar 5.21 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 4 ... 42

Gambar 5.22 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 4... 42

Gambar 5.23 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 5 ... 43

Gambar 5.24 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 5 ... 44

Gambar 5.25 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 5... 44

Gambar 5.26 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 6 ... 45

Gambar 5.27 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 6 ... 45

Gambar 5.28 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 6... 46

Gambar 5.29 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 7 ... 47

Gambar 5.30 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 7 ... 37

Gambar 5.31 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 7... 48

Gambar 5.32 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 8 ... 49

Gambar 5.33 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 8 ... 49

Gambar 5.34 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 8... 50

Gambar 5.35 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 9 ... 51

Gambar 5.36 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 9 ... 51

Gambar 5.37 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 9... 51

Gambar 5.38 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 10 ... 52

Gambar 5.39 Grafik Slice jarak terhadap elevasi line 10 ... 53

Gambar 5.40 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 10... 53

(8)

Tabel Halaman Tabel 5.1 Tabel Resistivitas Batuan 1 ... 33 Tabel 5.2 Tabel Resistivitas Batuan 2 ... 34

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metode Geolistrik Tahanan Jenis adalah salah satu metode eksplorasi geofisika yang menggunakan sifat kelistrikan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan seperti stratigrafi, struktur geologi dan distribusi sifat material. Dalam eksplorasi geolistrik tahapan awal yang dilakukan adalah investigasi benda yang ingin ditemukan, lalu membuat disain survey, penentuan konfigurasi, akuisisi data dan yang terakhir adalah pengolahan data atau processing data. Dalam proses pengolahan data terdapat jenis data yaitu 1D, 2D, dan 3D. Dalam tahapan identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan konfigurasi dipole-dipole dengan teknik sounding mapping. Dalam praktikum kali ini, adalah pengolahan data 2D, untuk identifikasi batuan yang mengandung aspal. Data dari hasil identifikasi tersebut diolah lebih lanjut dengan mengunakan software res2dinv yang akan digunakan ppada praktikum ini, selanjutnya dapat diinversikan dan dibuat penampang topografinya. Selanjutnya data tersebut diolah lanjutan dengan mengunakan surfer yang menandai sebaran resistivitas batuan yang mengandung aspal secara nampak horizontal dan vertikal.

Berdasarkan Penjelasan tersebut, tentang pentingya pengolahan data 2D dalam identifikasi ketebalan, kedalam lapisan yang memiliki nilai resistivitas tertentu, baik korelasi, analisa maupun permodelan sounding 1D, maka dilakukan praktikum tentang pengolahan data 2D dengan menggunakan software utama Res2dinv dan Surfer.

(10)

B. Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari praktikum tentang pengolahan data 2D kali ini yaitu sebagai berikut :

1. Dapat memproses data sounding dan mapping geolistrik tahanan jenis dengan menggunakan software Res2dinv

2. Dapat membuat penampang horizontal daerah pengukuran geolistrik tahanan jenis dengan software surfer

3. Untuk mendapatkan informasi tentang kedalaman atau ketebalan lapisan batuan dari harga resistivitas secara vertikal

4. Dapat mengorelasikan data sounding 2D vertical dengan penampang horizontal

5. Dapat menganalisa data permodelan sounding 2D sesuai dengan peta geologi daerah pengukuran.

(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Daerah Pengamatan

Data hasil pengukuran mapping sounding 2D diperoleh daeri daerah kepulauan mentawai. Darah pengukuran meliputi lembar pagai, sipora dan siberut, provinsi sumatera barat. Kepulauan Mentawai adalah gugusan pulau-pulau yang secara geografis terletak di Samudera Hindia dan secara administratif masuk ke dalam provinsi Sumatera Barat,Indonesia. Kepulauan Mentawai berada di sisi barat provinsi Sumatera barat. Penduduk asli Mentawai mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan penduduk Minangkabaukarena tepisah oleh laut.

Kepulauan Mentawai mempunyai empat pulau besar, yakni:

 Pulau Siberut

 Pulau Sipora

 Pulau Pagai Utara

 Pulau Pagai Selatan

 dan beberapa pulau-pulau kecil.

Luas wilayah propinsi Sumatera Barat adalah 42.297 km2. Dari luas tersebut hanya 13,9% yang dapat diusahakan sebagai daerah pertanian, selebihnya berupa hutan lindung, sungai-sungai, danau-danau, dan tanah tandus. Di samping tanah daratan, Sumatera Barat juga mempunyai daerah kepulauan, yaitu Kepulauan Mentawai. Daerah ini didiami oleh suku terasing dengan tingkat kehidupan ekonomi dan sosial budaya yang relatif masih terkebelakang. Salah satu pulaunya adalah siberut.

(12)

Dari sisi topografi, Kawasan TN siberut bervariasi dari datar, berawa-rawa sampai, berbukit dan belereng curam. Dataran rendah sebagian besar terletak di sebelah timur yaitu terdiri dari rawa, gambut, pemukiman, dan perlandang dengan tingkat kelereng 0-15. Wilayah perbukitan terdapat di bagian barat , kelereng bervariasi antara 40-75% dengan puncak tertinggi 384 m dpl . Iklim Pulau siberut mempunyai iklim khatulistiwa yang panas dan lembab. Curah hujannnya tinggi dan tidak ada musim kemarau yang cukup lama. Rata-rata curah hujan per tahun adalah 3.320 m. suhu dan kelembaban relative konstan dengan kelembaban berkisar antara 91-95%, suhu berkisar antara 22 Derajat Celcius dan 31 Derajat Celcius (Satya, 2013).

B. Peta dan posisi daerah Pengamatan

Daerah penelitian dilakukan pengukuran meliputi lembar pagai, sipora dan siberut, provinsi sumatera barat, dengan koordinat data line yang terletak di lampiran. Daerh mentawai bermula dari dari Enggano di bagian Selatan hingga Simaleu di ujung Utara, suatu rangkaian pulau-pulau kecil berderet sejajar dengan pantai barat pulau Sumatra, masing-masing memiliki daya pukaunya sendiri. Yang paling mempesona para ilmuwan, konservasionis, turis, dan naturalis, cukong kayu adalah pusat rangkaian, Siberut, Sipora, dan Pagai. Dan pusat dari pusat pesona tersebut adalah pulau Siberut. Sementara pulau-pulau lain telah mengalami degradasi habitat dan budaya, Siberut relatif utuh, dan menampakkan cirinya yang paling khas: pulau muda yang terpisah dari daratan Sumatra sejak masa pleistocene awal.

(13)

Gambar 2.1 Pulau Siberut, Sumatra Barat

Dengan daratan seluas 448.3 km², Siberut adalah pulau terbesar dari empat gugusan pulau yang membentuk kepulauan Mentawai. Letaknya sekitar 150 km pantai barat Sumatra Barat. Pulau ini dapat ditempuh semalam dengan menggunakan kapal penyeberangan sederhana. Walaupun tidak jauh dari pantai barat Sumatra Barat, pulau ini telah dipisahkan oleh air laut semenjak kira-kira setengah juta sampai satu juta tahun lampau (Simaepa, 2011)

C. Geomorfologi, litologi, fisiografi, dan stratigrafi

Secara Fisik Geologi dan tanah siberut adalah pulau sedimen yang didominasi oleh serpihan, endapan dan marmer berumur relative muda, Ada beberapa daerah kecil terdiri dari konglomerasi pra-miocene yang mengandung sista (lapisan karang tipis), kwarsa dan sedikit karang kapur yang mungkin terbentuk pada masa Miocene, serta beberapa batuan vulkanis yang bersebaran yang mungkin berasal dari ledakan gunung api di sumatera pada masa Meiocen. Tetapi sebagian besar dari bentukan geologis muncul pada masa Pliocene, dan holocen.

(14)

Masa Pleistocene ditandai dengan terangkatnya secara umum busur non-vulkanik kepulauan sumatera barat. Namun tampaknya kepulauan mentawai telah terangkat pada masa yang berbeda dari kepulauan nias dan enggano. Karena bukit-bukit dan punggung di pulau sibeurit sama tinggi, pulau siberut mungkin dulu terangkat sebagai permukaan yang relative datar, walaupun di beberapa daerah ada hamparan-hamparan endapan yang telah terbalik dan terbenam secara vertical.

Proses geologis tersebut berlanjut dengan proses penenggelaman yang berlangsung sepanjang pantai timur, juga dibagian terdalam dari lembah/cekungan mentawai. Proses penenggelaman ini terlihat dari garis pantai timur yang sangat tidak beraturan, dengan banyak teluk, tanjung, pulau kecil, dan batu karang, bahkan beberapa diantaranya membentuk “pagar karang palsu” . sebaliknya pantai barat agak lurus dan seperti digaris dengan pantai pasir yang luas dengan karang terjal hamper sama panjangnya . pantai barat langsung berhadapan dengan ombak yang memecah dari samudera indonesi, mempunyai sedikit karang , dan umumnya tidak dapat dijangaku oleh kapal .

Berdasarkan data yang diperoleh dari peta regional, satuan yang tertua dan paling pertama terbentuk di daerah Pagai dan Sipora adalah satuan bongkah batuan ultramafik yang terbentuk pada kala miosen awal, satuan ini tersusun atas serpentinite, piroksenite, dan dunit yang telah mengalami proses serpentinitisasi. Dari litologi penyusun dapat diperkirakan bahwa pada masa pembentukan satuan ini berada pada daerah pematang tengah samudera (Mid-Ocean Ridge) yang merupakan daerah pembentukan batuan beku ultramafik. Lalu pada selang waktu tertentu setelah satuan bongkah tersebut terangkat ke daerah prisma akresi, satuan tersebut mengalami longsoran turbidit dan tercampur dengan satuan Melange yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yang berumur oligosen dan tertutup oleh satuan Melange tadi hingga kala miosen tengah, satuan Melange ini sendiri tersusun atas campuran dari greywacke, shale, konglomerat, batupasir kuarsa, arkose, serpentinite, gabrro,

(15)

lava basalt, tuff, rijang merah, kalsilutit, metasandstone, slate, filit, mica-schist, amphibillite, granite gneiss, diorit, granodiorite, diabase, andesite, Nummulites limestone, dalam massa dasar pasir berbutir sangat halus dan lempung bersisik.

Lalu pada kala miosen tengah - Miosen akhir terendapkan, secara selaras di atas satuan Melange, satuan formasi Tolopulai, yang tersusun atas batupasir, batupasir tufaan, batulanau, batulempung, batupasir mika, dengan sisipan konglomerat dan batugamping. Dari litologi penyusun ini diperkirakan daerah ini mengalami beberapa kali uplifting dan downlifting yang terlihat dari susunan litologi yang memiliki sisipan konglomerat yang menunjukkan lingkungan darat dan batugamping yang menunjukkan lingkungan laut dangkal.

Dan pada kala Miosen akhir - Pliosen awal terendapkan secara selaras satuan formasi Maonai di atas formasi Tolopulai yang tersusun atas perselingan dari batupasir tufaan, batulanau tufaan, batupasir, batulempung tufaan dang batupasir gampingan. Dari litologi penyusun ini juga dapat diperkirakan daerah ini jua memiliki lingkungan pengendapan dengan lingkungan di formasi Tolopulai dimana terjadi uplift dan downlift secara berulang dan membentuk perselingan batuan di atas.

Dan bersamaan dengan pembentukan formasi Maonai, terbentuk juga formasi Batumonga dimulai pada kala Miosen akhir dan membentuk interfingering dengan formasi Maonai di bagian bawah dan akhirnya menutupi formasi Maonai dan terus terbentuk hingga Pliosen tengah. Hal ini dapat diperkirakan bahwa formasi Batumonga dan Maonai memiliki sumber sedimen yang berbeda pada kala Miosen akhir dimana kemungkinan formasi Maonai berasal dari lingkungan darat – transisi sedangkan formasi Batumonga berasal dari lingkungan transisi – laut dangkal yang dapat diperkirakan berdasarkan litologi penyusunnya yaitu perselingan dari napal, batupasir gampingan, batugamping pasiran, dan batulempung tufaan.

(16)

Dan pada kala Pliosen terjadi time gap dimana tidak terjadi pengendapan dan terjadi erosi terhadap formasi termuda saat itu yaitu formasi Batumonga, selain itu aktivitas tektonik yang disebabkan subduksi pada sebelah barat kepulauan ini mulai mengangkat prisma akresi di daerah itu dan membentuk kepulauan, hasil lain dari aktivitas tektonik ini adalah terbentuknya beberapa struktur baik yang bersifat regional maupun lokal, struktur yang bersifat regional adalah sesar –sesar naik yang sangat umum terjadi pada daerah prisma akresi dengan orientasi arah pergeseran timur laut – barat daya. Sedangkan struktur minor yang hanya terbentuk di beberapa tempat di kepulauan ini seperti lipatan antiklin maupun sinklin dengan arah sumbu lipatan barat laut – tenggara, dan juga sesar geser pada beberapa titik di daerah ini dengan arah sumbu pergeseran barat laut – tenggara pada bagian utara sedangkan timur laut – barat daya di bagian selatan.

Kemudian pada Pleistosen kembali terbentuk formasi lain yaitu formasi Simatobat, yang tersusun atas batugamping terumbu, kalsirudit, kalkarenit, dan konglomerat polemik. Dari litologi penyusun dapat diperkirakan lingkungan pengendapan berada pada laut dangkal yang kemudian mengalami pengangkatan dan mulai terbentuk konglomerat polemik di lingkungan darat. Lalu di kala Holosen kembali terbentuk satuan Batugamping koral yang bersifat terumbu dan sebagian fragmen. Dan endapan termuda dari susunan stratigrafi ini adalah Alluvium yang tersusun dari lempung, pasir, kerikil, kerakal, dan bongkah yang merupakan hasil dari pelapukan batuan yang lebih tua.

Dari susunan stratigrafi yang terlihat dan pola struktur pada peta geologi daerah pengamatan, dapat disimpulkan bahwa disimpulkan bahwa gaya utama pada daerah ini berasal dari timur laut – barat daya yang sesuai dengan arah subduksi pada bagian barat kepulauan Pagai dan Sipora namun sudut penunjaman tidak tegak lurus terhadap kepulauan ini. Dan pola dari strike dan dip serta foliasi lapisan batuan di kepulauan ini secara regional tidak memiliki arah yang dominan juga menggambarkan bahwa lingkungan masa lampau

(17)

daerah ini awalnya adalah daerah prisma akresi yang tersusun dari pencampuran berbagai jenis litologi dan diperkuat dengan adanya mélange yang menandakan salah satu ciri longsoran turbidit di daerah continental slope (Forturozi, 2014).

(18)
(19)

III. TEORI DASAR

A. Tahanan Jenis (Resistivitas)

Metode geolistrik resistivitas adalah salah satu metode yang cukup banyak digunakan dalam dunia eksplorasi khususnya eksplorasi air tanah karena resistivitas dari batuan sangat sensitif terhadap kandungan airnya. Sebenarnya ide dasar dari metode ini sangatlah sederhana, yaitu dengan menganggap bumi sebagai suatu resistor.

Gambar 3.1 Elektroda yang ditancapkan ke bumi sebagai resistor

Metode geolistrik resistivitas atau tahanan jenis adalah salah satu dari kelompok metode geolistrik yang digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan cara mempelajari sifat aliran listrik di dalam batuan di bawah permukaan bumi. Metode resistivitas umumnya digunakan untuk eksplorasi dangkal, sekitar 300 – 500 m. Prinsip dalam metode ini yaitu arus listrik diinjeksikan ke alam bumi melalui dua elektrode arus, sedangkan beda potensial yang terjadi diukur melalui dua elektrode potensial. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial listrik dapat diperoleh variasi harga resistivitas listrik pada lapisan di bawah titik ukur.

(20)

Metode kelistrikan resistivitas dilakukan dengan cara menginjeksikan arus listrik dengan frekuensi rendah ke permukaan bumi yang kemudian diukur beda potensial diantara dua buah elektrode potensial. Pada keadaan tertentu, pengukuran bawah permukaan dengan arus yang tetap akan diperoleh suatu variasi beda tegangan yang berakibat akan terdapat variasi resistansi yang akan membawa suatu informasi tentang struktur dan material yang dilewatinya. Prinsip ini sama halnya dengan menganggap bahwa material bumi memiliki sifat resistif atau seperti perilaku resistor, dimana material-materialnya memiliki derajat yang berbeda dalam menghantarkan arus listrik. Berdasarkan pada tujuan penyelidikan, metode resistivitas dibedakan menjadi dua yaitu mapping dan sounding. Metode geolistrik resistivitas mapping

merupakan metode resistivitas yang bertujuan mempelajari variasi rasistivitas lapisan bawah permukaan secara horisontal. Oleh karena itu, pada metode ini digunakan jarak spasi elektrode yang tetap untuk semua titik datum di permukaan bumi. Sedangkan metode resistivitas sounding bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas lapisan bawah permukaan bumi secara vertikal. Pada metode ini pengukuran pada satu titik ukur dilakukan dengan cara mengubah-ubah jarak elektrode. Pengubahan jarak elektrode tidak dilakukan secara sembarang, tetapi mulai jarak elektrode kecil kemudian membesar secara gradual. Jarak elektrode ini sebanding dengan kedalaman lapisan yang terdeteksi.

Pada kalkulasi Resistivitas Semu (Apparent Resistivity), Pada prinsipnya, pengukuran metode resistivitas dilakukan dengan mengalirkan arus melalui elektrode C1 dan C2 dan pengukuran beda potensial pada P1 dan P2. Jika diasumsikan bahwa bumi homogen isotropis, maka tahanan jenis yang diperoleh adalah tahanan jenis yang sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektrode. Namun, pada kenyataannya bumi tersusun atas lapisan-lapisan dengan resistivitas yang berbeda-beda, sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh lapisan-lapisan tersebut. Harga resistivitas yang diukur seolah-olah merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan saja. Sehingga resistivitas yang terukur adalah resistivitas semu ( ), yang besarnya ditentukan dengan

(21)

dengan K adalah faktor geometri yang besarnya tergantung pada konfigurasi elektrode yang digunakan (Setiawan, 2011).

B. Konduktivitas Listrik

Arus listrik dapat menjalar dalam batuan dan mineral dengan tiga cara, yaitu dengan cara elektronik (ohm), elektrolisis dan konduksi dielektrik. Karena pengaruh perubahan medan listrik, electron pada atom memisahkan diri dari inti. Pemisahan muatan positif dan negatif ini menyebabkan polarisasi dielektrik dari material. Dalam kasus ini, konduksi dielektrik adalah hasil dari perubahan polarisasi elektronik, ionic dan molecular menyebabkan perubahan medan listrik.

Konduksi yang pertama adalah konduksi elektronik. Resistivitas listrik pada sebuah silinder pejal dengan panjang L dan luas penampang A, mempunyai harga resistan R di antara permukaannya :

L RA

 ... 3.2

di mana : A = luas (meter2)

L = panjang (meter)

R = hambatan/resistan (ohm)

 = hambatan jenis/resistivitas (ohm-meter)

Dari hukum ohm, resistan merupakan banyaknya tegangan yang terukur pada luasan silinder, terhadap resultan aliran arus yang melewatinya :

I V

R  ... 3.3

dengan : R = tahanan jenis/resistan (ohm)

V = tegangan (volt)

I = arus (ampere)

(22)

Resistivitas berbanding terbalik dengan konduktivitas () yang satuannya mho/m atau mho/cm.

E j RA L L V A I      1 ... 3.4

dengan : j = rapat arus (ampere/m2)

E = medan listrik (volt/m)

Konduksi yang kedua adalah konduksi elektrolisis. Untuk batuan yang termasuk konduktor yang jelek, maka harga resistivitasnya sangat besar berbeda halnya untuk batuan yang berpori dan terisi oleh fluida, terutama air. Batuan tersebut disebut sebagai batuan yang termasuk konduktor elektrolisis. Oleh karena itu harga resistivitas bervariasi bergantung pada mobilitas, konsentrasi dan derajat disosiasi dari ion dan bergantung pada konstanta dielektrik dari zat pelarut. Konduktivitas dari batuan berpori sangat bervariasi terhadap volume dan susunan pori serta sejajar dengan konduktifitas dan banyanya air yang terisi.

Menurut persamaan empiris

w n m e aS     ... 3.5 dimana :  = porositas (fraksi volume pori)

s = fraksi dari pori yang terisi air

w = resistivitas air

n  2

m = konstanta

0.5 a 2.5, 1.3 m 2.5

Konduktivitas air sangat bervariasi bergantung pada jumlah dan konduktivitas klorida larutan, sulfat dan mineral lain. Susunan geometri dari celah dalam batuan mempunyai pengaruh yang kecil, tetapi dapat membuat anisotropi resistivitas, artinya mempunyai magnitude aliran arus yang karakteristik dari

(23)

lapisan-lapisan batuan yang umumnya lebh konduktif dari ukuran lapisan batuan yang lebih besar (Oktara dkk, 2007)

C. Resistivitas Batuan dan Mineral

Sifat fisik dari semua batuan dan mineral pada umumnya mempunyai harga resistivitas yang sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan nilai densitas, kecepatan gelombang dan kandungan radioaktifnya kecil pada harga susepbilitas magnetic sekitar 105.

Konduktor adalah bahan yang harga resistivitasnya kurang dari 10-5–103m. Isolator disifatkan dengan adanya ikatan ionik sehingga elektron valensi tidak bebas bergerak. Perbedaan lain dari konduktor dan semikonduktor adalah variasinya terhadap suhu. Konduktor konduktivitasnya tinggi ketika suhu sekitar 0K, semikonduktor sebaliknya. Dalam pengelompokkannya konduktor dapat dibagi menjadi :

a. Konduktor bagus, harga resistivitasnya 10-8 – 1 m b. Konduktor sedang, harga resistivitasnya 1 – 107 m c. Konduktor jelek, harga resistivitasnya lebih dari 107m (Oktara dkk, 2007)

D.Hukum-hukum Kelistrikan

Pada Geolistrik Tahanan jenis terdapat beberapa hukum dasar, diantara lain hukum Coloumb ;

...(3.5) Dimana : F : gaya colomb Q : muatan sumber q : muatan uji

r : jarak kedua muatan

(24)

: Konstantanta permitivitas ruang hampa : 8.854 x 10 -12 C2/N m2

Selain itu juga terdapat hukum Gauss, dalam hukum gauss dinyatakan bahwa usaha yang dilakukan tidak bergantung pada llintasan tetapi bergantung pada keadaan akhir yang disebut juga medan konservatif, dengan perumusan ;

...(3.6)

...(3.7)

Hukum berikutnya yang mendasari Geolistrik tahanan jenis adalah Hukum Ohm yang manjelaskan hubungan potensial listrik (V), Hambatan (R) dan arus (I) yang memiliki persamaan ;

V = I.R...(3.8) ( Tellford dkk, 1990)

E.Konfigurasi Wenner

Aturan elektroda wenner pertama kali diperkenalkan oleh Wenner pada tahun 1915. Aturan elektroda ini banyak berkembang di Amerika. Aturan ini dapat dipakai baik untuk resistivity mapping maupun resistivity sounding. Jenis konfigurasi ini hanya dapat dilakukan dengan kondisi yang sesuai dengan syarat-syarat batas yang berlaku pada persamaan yang diturunkan pada kasus bumi datar, sehingga konfigurasi wenner-pun harus diterapkan hanya pada daerah yang permukaanya relatif datar. Jika konfigurasi ini diterapkan untuk kasus permukaan bumi yang miring maka perlu adanya koreksi yang diperlukan.

Pada Konfigurasi wenner, elektroda arus dan elektroda potensial diletakkan secara simetris terhadap titik sounding. Jarak antar elektroda arus adalah tiga kali jarak antar elektroda potensial. Jadi jika jarak masing-masing elektroda arus terhadap titik sounding adalah a/2 maka jarak maisng-masing elektroda

(25)

arus terhadap titik soun ding adalah 3a/2. Perlu diingat bahwa keempat elektroda dengan titik sounding harus membentuk suatu garis.

Gambar 3.2 Konfigurasi Wenner

Pada resitivity mapping, jarak spasi elektroda tersebut tidak berubah-ubah untuk setiap titik sounding yang diamati (besarnya a tetap). Sedang pada resitivity sounding, jarak spasi elektroda tersebut diperbesar secara gradual, mulai dari harga kecil, untuk suatu titik sounding. Batas pembesaran spasi elektroda ini tergantung pada kemampuan alat yang dipakai. Makin sensitif dan besar arus yang didapat dihasilkan alat tersebut maka makin leluasa pula kita dalam memperbesar jarak spasi elektroda tersebut, sehingga makin dalam pula lapisan yang terdeteksi/teramati(Hendrajaya dkk, 1988).

F.Konfigurasi Dipole-Dipole

Pada Sounding listrik metode resistivity (sounding resistivitas) untuk penetrasi dalam, kedua konfigurasi schlumberger dan wenner menjadi sangat lemah, karena mambutuhkan bentengan lektroda lurus yang panjang dengan akibat akibat tuntutan keadaan lapangan yang baik (merata) dan tuntutan pelaksanaan perubahan bentangan yang memakan waktu lama. Untuk mengatasi kelemahan kedua konfigurasi tersebut digunakan konfigurasi dipole-dipole yang pada prinsipnya mempunyai keunggulan dalam pelaksanan yang dapat menutup

(26)

beberapa kelemahan konfigurasi schlumberger dan wenner tersebut di atas, terutama kebutuhan kabel dan waktu untuk perubahan bentangan yang relatif lebih pendek.

Karakteristik esensial dalam metoda dipole-dipole ini adalah jarak antara kedua dipoleh harus jauh lebih besar dibandingkan dengan masing-masing panjang dipole. Batasan geometris ini memungkinkan kita untuk membuat asumsi-asumsi penyederhanaan pada teori interpretasinya. Termasuk khususnya, interpretasi data melalui transformasi schllumberger.

Dalam sistem dipole-dipole, intensitas medan listrik berkurang dengan cepat sesuai dengan se-per jarak pangkat tiga, sehingga pelaksaanaan pengukuran medan listrik menjadi sulit pada jarak pengukuran yang cukup jauh. Masalah ini dapat diatasi dengan memperbesar arus atau panjang dipole. Namun jelas dalam metode dipole perbesaran panjang dipole arus hanya dapat dilakukan selama panjang dipole tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan jara pengukuran berupa jarak antara kedua dipole. Alternatif lain untuk mengatasi kesulitan ini adalah memperbesar arus yang dialirkan pada dipole-arus. Ini berarti memerlukan alat berkemampuan tinggi yang memungkinkan pengukuran jarak jauh (Hendarajaya dkk, 1988).

G.Software Res2Dinv

RES2DINV adalah program komputer yang secara otomatis akan menentukan dua dimensi yang (2-D) Model resistivitas untuk subsurface untuk data yang diperoleh dari survei pencitraan listrik (Griffiths dan Barker 1993). Karena itu adalah Program berbasis Windows, semua kartu grafis Windows yang kompatibel dan printer secara otomatis didukung. Ini telah diuji dengan modus layar video hingga 1600 oleh 1200 piksel dan 16 juta warna. Urutan yang dapat digunakan untuk survei pencitraan listrik 2-D. Program ini adalah dirancang untuk membalikkan set data yang besar (dengan sekitar 200-21000 titik data) dikumpulkan dengan sistem dengan sejumlah besar elektroda (sekitar 25-16.000 elektroda). Model 2-D yang digunakan oleh program inversi, yang terdiri dari sejumlah blok empat persegi panjang, ditunjukkan

(27)

pada Gambar 2. Susunan blok adalah longgar terkait dengan distribusi titik data dalam pseudosection tersebut. Itu distribusi dan ukuran blok secara otomatis dihasilkan oleh program menggunakan distribusi dari titik-titik data sebagai panduan kasar. Kedalaman baris bawah blok ditetapkan menjadi kurang lebih sama dengan kedalaman setara investigasi (Edwards 1977) dari titik data dengan elektroda terbesar spasi. Survei biasanya dilakukan dengan sistem di mana elektroda disusun sepanjang garis dengan jarak konstan antara elektroda yang berdekatan.

Namun, program ini juga dapat menangani set data dengan elektroda non-seragam spasi.Sebuah pemodelan subroutine maju digunakan untuk menghitung resistivitas semu nilai-nilai, dan teknik optimasi kuadrat-non-linear digunakan untuk inversi rutin (DeGroot-Hedlin dan Constable 1990, Loke dan Barker 1996a). Program ini mendukung kedua terbatas-perbedaan dan terbatas-elemen maju teknik pemodelan. Program ini dapat digunakan untuk survei menggunakan Wenner, tiang-tiang, dipol-dipol, tiang-dipol, Wenner-Schlumberger dan khatulistiwa dipol-dipol (persegi panjang) array. Selain umum ini array, program ini bahkan mendukung array non-konvensional dengan hampir terbatas jumlah kemungkinan konfigurasi elektroda! Anda dapat memproses pseudosections sampai dengan 16000 elektroda dan 21000 titik data pada satu waktu pada komputer dengan RAM 1 GB. Elektroda jarak terbesar bisa sampai 36 kali jarak terkecil digunakan dalam satu set data tunggal. Data Program batas akan diperpanjang di masa depan sebagai besar set data lapangan yang dihadapi (Res2Dinv Manual, 2010).

H. Teknik Survey Metoda Geolistrik Tahanan Jenis

H.1. Metoda Tahanan Jenis 1-D

Teknik ini disebut juga dengan metoda sounding, biasanya digunakan untuk menentukan perubahan atau distribusi tahahan jenis kearah vertikal medium bawah permukaan dibawah suatu titik sounding.

(28)

Pengukurannya adalah dengan cara memasang elektroda arus dan potensial yang diletakkan dalam satu garis lurus dengan spasi tertentu. Kemudian spasi elektroda ini diperbesar secara gradual. Selanjutnya memplot harga tahanan jenis semu hasil pengukuran versus spasi elektroda pada grafik log-log. Survei ini berguna untuk menentukan letak dan posisi kedalaman benda anomali di bawah permukaan.. Konfigurasi elektroda yang dipakai pada metoda ini adalah konfigurasi Wenner, Wenner-Schlumbeger dan Dipole-Dipole.

Gambar 3.3 Teknik pengukuran metoda tahanan jenis 1-D

Gambar 3.4 Contoh distribusi nilai tahanan jenis dari hasil pengolahan data metoda 1-D .

H.2. Metoda Tahanan Jenis 2-D

Metode ini disebut juga dengan metoda mapping, digunakan untuk menentukan distribusi tahanan jenis semu secara vertikal per kedalaman. Pengukurannya dilakukan dengan cara memasang elektroda arus dan potensial pada satu garis lurus dengan spasi tetap, kemudian semua elektroda dipindahkan atau digeser sepanjang permukaan sesuai dengan arah yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk setiap posisi elektroda

(29)

akan didapatkan harga tahanan jenis semu. Dengan membuat peta kontur tahanan jenis semu akan diperoleh pola kontur yang menggambarkan adanya tahanan jenis yang sama (Loke, 2000). Konfigurasi elektroda yang dipakai pada metoda ini adalah konfigurasi Wenner, Wenner-Schlumbeger dan Dipole-Dipole.

Gambar 3.5 Susunan elektroda dan urutan pengukuran geolistrik tahanan jenis 2-D

Gambar 3.6. Contoh distribusi nilai tahanan jenis dari hasil pengolahan data metoda 2-D .

H.3. Metoda Tahanan Jenis 3-D

Teknik ini sering disebut juga dengan metoda imaging, digunakan untuk menentukan distribusi tahanan jenis semu secara vertikal dan lateral per kedalaman. Pengukurannya dilakukan dengan cara membuat grid pada luas area yang akan diukur, kemudian semua elektroda digerakkan sepanjang lintasan yang dibentuk oleh grid tersebut. Salah satu cara pengukuran dapat dilihat pada Gambar 12. Penampang tahanan jenis

(30)

semu yang dihasilkan akan menggambarkan distribusi tahanan jenis dalam arah vertikal dan lateral per kedalaman.

Dari nilai arus (I) dan tegangan (V) yang dirukur dapat dihitung nilai tahanan jenis semu (ra) untuk masing-masing kedalaman. Kemudian

nilai ra ini untuk masing-masing posisi-XC dan posisi-YC untuk

elektroda arus, serta posisi-XPdan posisi-YP untuk elektroda tegangan nantinya digunakan sebagai parameter input dalam pengolahan data. Hasil pengolahan data berupa penampang vertikal dan lateral dari nilai tahanan jenis sebenarnya (r) terhadap kedalaman. Konfigurasi elektroda yang dipakai pada metoda ini adalah konfigurasi pole-pole, pole-dipole dan dipole-dipole.

Gambar 3.7 Teknik pengukuran metoda tahanan jenis 3-D untuk gris 5 x 5

(31)

Gambar 3.8 Contoh distribusi nilai tahanan jenis dari hasil pengolahan data metoda 3-D untuk irisan horizontal

Gambar 3.9 Contoh distibusi nilai tahanan jenis dari hasil pengolahan data metoda 3-D untuk irisan vertikal

H.4. Teknik Survei Mise-a-la-masse

Menurut Reynold (1997) bahwa Mise-a-la-masse atau metode potensial benda bermuatan (charge-body potential method) merupakan pengembangan dari metoda tahanan jenis, yaitu suatu teknik pemetaan

(32)

lateral atau disebut jugaconstan-separation traversing (CST). Pada metode ini, tekhnik yang digunakan adalah dengan menggunakan suatu pasangan massa yang bersifat konduktif bawah permukaan itu sendiri sebagai satu elektroda arus (C1), dan menghubungkannya secara langsung pada satu kutub (pole) dari sumber voltase (P1). Elektroda arus kedua (C2) ditempatkan pada permukaan tanah pada jarak yang cukup jauh dan dihubungkan dengan kutub voltase lainnya (P2). Tegangan antara sepasang elektroda potensial diukur dengan koreksi tertentu untuk setiap potensial diri.

Gambar 3.10 Metode Mise-a-la-masse

Arus yang diberikan dan voltase yang terbentuk pada titik-titik di permukaan tanah dipetakan dengan memakai voltmeter sesuai dengan stasiun referensi. Distribusi potensial ini akan merefleksikan geometri dari massa (tubuh anomali), sehingga diharapkan dapat menghasilkan beberapa informasi mengenai bentuk dari tubuh massa. Pada medium homogen yang ditutupi oleh konduktor, garis eqipotensial akan terkonsentrasi disekitar konduktor Namun pada kenyataannya, garis eqipotensial akan berbelok disekitar badan bijih konduktif yang bentuknya tak beraturan dan dapat digunakan untuk membatasi ruang yang luas untuk melihat gambaran yang lebih efektif daripada menggunakan metode pemetaan lateral. Metode Mise-a-la-masse khususnya digunakan dalam mengecek apakah mineral konduktif tertentu diisolasi oleh massa tertentu. Pada daerah yang topografinya

(33)

kasar akan dibutuhkan koreksi topografi (terrain corrections).

Gambar 3.11 Distribusi garis eqipotensial disekitar elektroda arus, (B) Pembelokan garis ekipotensial oleh badan bijih

Metode interpretasi yang digunakan dalam metode Mise-a-la-masse dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) hanya menggunakan variabel potensial, dan (2) menggunakan nilai maksimum yang menunjukkan benda konduktif. Dalam kedua tekhnik tersebut akan dikonversikan data potensial kedalam tahanan jenis semu dan tegangan permukaan yang besar merupakan manifestasi dirinya sendiri yang menggambarkan tahanan jenis yang tinggi (Qurnia, 2010)

(34)

IV. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat Praktikum

Adapun waktu dan tempat dilaksanakanya praktikum mengenai pengolahan data 2D adalah sebagia berikut :

Waktu : Senin, 26 Mei 2014

Tempat : Laboratorium Teknik Geofisika Universitas Lampung

B. Alat Praktikum

Adapun alat yang digunakan selama praktikum berlangsung , antara lain :

Gambar 4.1 Laptop

(35)

Gambar 4.3 Software-software Res2Dinv dan Surfer

(36)

C. Pengambilan Data Praktikum

Data praktikum diperoleh dari data sekunder yang sudah ada sebelumnya berdasarkan hasil akuisisi data. Dari 10 data yang ada, line 2, line 3 dan line 8 merupakan data dengan konfigurasi dipole-dipole sedankan yang lainya merupakan konfigurasi wanner. Dari data yang ada satuan-satuan terukur yang terdapat pada masing masing line adalah, koordinat (UTM) dengan nilai datum 299 untuk konfigurasi dipole-dipole. Selain itu juga terdapat satuan-satuan lain yang telah tersedia sebelumnya yaitu offset data (x), Spasial data (a), arus (I) dab potensial (V). Dari nilai-nilai tersebut lalu dihitunglah nilai faktor geometri (k) melalui persamaan pada konfigurasi Wanner ;

K = 2 x phi x n x spasial data...(4.1)

Nilai n turun secara periodik mulai dari 10, 9, 8 hingga 1 lalu kembali lagi ke 10 tergantung banyaknya data. Setelah itu dapat ditentukan nilai tahanan jenisnya (rho) pada masing-masing titik dengan persamaan ;

R = V/I...(4.2)

Dari pengolahan data awal tersebut, satuan-satuan yang dilakukan pengolahan lanjut menggunakan Res2dinv adalah offset data, n, serta nilai rho ( tahanan jenisnya).

Pada data yang mengunakan data konfigurasi dipole-dipole, satuan-satuan yang tersedia sebelumnya masih sama, namun pada data yang dilakukan input ke res2dinv untuk pengolahan lanjut terdapat 4 data, yaitu offset data, n, spasial data serta nilai rho ( tahanan jenisnya).

D. Pengolahan data Praktikum

Pengolahan data praktikum pada praktikum ini adalah mengolah data 2D dari data yang telah ada. Pengolahan data menggunakan software res2dinv untuk

(37)

mendapatkan permodelan 2D nilai resistivity teradap lokasi pengukuran. Dari permodelan tersebut dapat ditentukan ketebalan lapisan, perubahan nilai resistivity, kedalaman lapisan dan resistivitasnya secara vertical. Dari data tersebut dibuat penampang horizontal dan vertikal dengan menggunakan surfer untuk dapat dikoelasikan dengan data sounding 2D, lalu juga dikorelasikan dengan peta geologi agar dapat dianalisa lebih jauh.

E. Diagram Alir Praktikum

Adapun Diagram Alir pada praktikum tentang pengolahan data 2D adalah sebagai berikut; MULAI Processing Tahapan Persiapan Permodelan 2D Penampang Horizontal dan vertikal Surfer Res2dinv Interpretasi Analisa SELESAI Korelasi 29

(38)

V. HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN

A. Data Praktikum

Adapun Data praktikum geolistrik pada pengolahan data 2D merupakan data yang memiliki nilai x (Offset data), A (Spasial data), K (Faktor Geometri), I (Arus) dan V (Potensial), terdapat pada lampiran. Selain itu terdapat data hasil inversi 2D hasil pengolahan faktor-faktor terukur tersebut dengan menggunakan software Res2dinv masing-masing lintasan, antara lain sebagai berikut;

Gambar 5.1 Hasil Inversi 2D Lintasan 1

(39)

Gambar 5.3 Hasil Inversi 2D Lintasan 3

Gambar 5.4 Hasil Inversi 2D Lintasan 4

Gambar 5.5 Hasil Inversi 2D Lintasan 5

Gambar 5.6 Hasil Inversi 2D Lintasan 6

(40)

Gambar 5.7 Hasil Inversi 2D Lintasan 7

Gambar 5.8 Hasil Inversi 2D Lintasan 8

Gambar 5.9 Hasil Inversi 2D Lintasan 9

(41)

B. Pembahasan

Pada praktikum yang telah dilakukan, yaitu pengolahan data 2D dengan mengunakan software Res2Dinv. Data tersebut terdiri dari 10 data dari 10 line dengan konfigurasi yang berbeda. Tiga diantaranya yaitu line 2, line 3, dan line 8 merupakan konfigurasi dipole-dipole. Selain itu juga menggunakan konfigurasi wenner. Perbedaan pengolahan kedua konfigurasi tersebut terdapat pada faktor-faktor yang akan diolah pada software Res2dinv. Jika menggunakan konfigurasi wenner maka satuan yang diinput adalah nilai offset data, hasil perkalian antara banyaknya faktor (n) dan spasial data serta nilai rho. Sedangkan jika konfigurasi yang akan diolah menjadi inversi 2D adalah dipole dipole maka satuan yang akan diolah meliputi nilai offset data, spasial data, faktor (n) serta nilai tahanan jenisnya.

Data yang diperoleh merupakan data yang diambil dari keupalauan mentawai dengan lokasi pada lembar geologi terletak di pulau, pagai, sipora dan siberut. Pada masing-masing line yang akan di interpretasi meliputi kedalaman dan ketebalan lapisan dengan nilai rho tertentu terhadap resistivitas secara vertikal, serta mengorelasi dan menganalisa permodelan sounding 2D dengan penamapang horizontal. Nilai resistivitas lapisan yang terdiri dari lapisan batuan dapat dianalisa berdasarkan referensi tabel resistivitas batuan sebagai berikut;

Tabel 4.1 Tabel Resistivitas Batuan 1

Material Resistivitas (Ohm.m)

Air (Udara) 0

Sandstone (Batu pasir) 200-800

Sand (Pasir) 1-1000

Clay (Lempung) 1-100

Ground Water (Airtanah) 0.5-300

Sea water (Air asin) 0.2

Dry Gravel (Kerikil Kering) 600-10000

(42)

Alluvium (Aluvium) 10-800

Gravel (Kerikil) 100-600

Air meteoric, 30-1000

Air Permukaan. Dalam bataun beku 30-500

Air permukaan, dalam sedimen 10-100

Air tanah, dalam batuan beku 30-150

Air tanah, dalam batuan sedimen 1

Air untuk rumah tangga Sekitar 0,2

Air laut 1,8

Air irigasi ≥ 0.65

(Kolert, 1969)

Tabel 4.2 Tabel Resistivitas Batuan 2

Halliday, David; Resnick, Robert; Walker, Jearl.1991.Fundamentals of Physics (edisi ke-6th). John Wiley & Sons, Inc

(43)

Pada line pertama merupakan daerah pengukuran berupa tinggian dan rendahan dengan perbedaan litologi yang jelas. Dari hasil analisa nilai sounding 2D diperoleh kejelasan bahwa terdapat anomali perbedaan nilai reistivitas batuan yang cukup jelas. Pada lapisan batuan atas dengan kedalaman antara 0-1,5 meter memiliki nilai resitivitas tinggi sekitar 213 Ω.m sebagai top soil merupakan jenis batuan krikil (gravel). Lapisan batuan didominasi oleh nilai dengan reisitivitas 2.18 Ω.m. Nampak pada gambar 5.1 hasil inversi 2D lintasan 1, jika ditinjau dari aspek geologi kemungkinan lapisan batuan tersebut merupakan cebakan air tanah hingga kedlaman 19,1 meter pada iterasi kedua mulai dari 48.0 m hingga 96.0 m. Selain itu pada iterasi 96.0 m hingga 144 m lapisan tersebut lebih dangkal dan berada pada kedalaman 14,9 hingga 19,1 meter. Lapisan yang menyelubungi nilai reistivitas batuan rendah yang di perkirakan air tersebut memiliki nilai rho 21.5 Ω.m yang diperkirakan lempung dengan sifat immpermeabel tinggi sehingga air dapat terperangkap pada lapisan itu. Lapisan pada kedalaman yang paling dalam pada sounding menggunakan konfigurasi wanner ini memiliki nilai rho yang semakin tinggi hingga 456 Ω.m pada kedalaman 28.8 meter pada iterasi kedua. Dari data lintasan pertama ini diperoleh error yang cukup besar mencapai 63.3 persen sehingga data yang dapat ditampilkan tidak cukup valid, namun tetap bisa diinterpretasi pada perbedaan nilai rho masing-masing lapisan. Pada daerah pengukuran dapat diketahui lokasi topografi permukaan setelah dibuat penamang horizontal dan slicing serta 3D veiw dari data koordinat x, y serta elevasi. Daerah pengukuran meliputi daerah tinggian dan rendahan mulai dari koordinat x=563500, y=9772560 hingga x=563620 dan y=9772560. Adapun hasil pembuatan penampang horizontal adalah sebagai berikut;

(44)

Gambar 5.11 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 1

Selain itu dilakukan juga pembuatan slice untuk memperjelas topografi permukaan daerah pengukuran beserta daerah pengukuran pada gambar 5.12 dan gambar 5.13

Gambar 5.12 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 1

Gambar 5.13 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 1

0 10 20 30 40 50 0 50 100 150 200

Elevasi

Elevasi

(45)

Daerah pengukuran selanjutnya adalah pada lintasan kedua pengukuran dilakukan pada luasan daerah dengan koordinat x mulai dari 563540 hingga 563580 dan y 9772500 hingga 9772560. Daerah pengukuran terdapat perbedaan puncak elevasi tertinggi 46 dan terendah 28 meter. Dari hasil inversi sounding 2D dengan konfigurasi dipole-dipole diperoleh inversi dengan sekaligus variasi topografi yang dapat dianalisa. Elektroda maksimal yang ditancapkan mksimal dari elektroda pertama berjarak 186 meter. Berdasarkan data yang terdapat pada gambar 5.2 iterasi sebanyak 5 . Hasil interpretasi lapisan batuan menunjukkan bahwa lapisan top soil memiliki nilai reistivitas berkisar antara 10.5 Ω.menunjukkan lempung berpasir. Pada lapisan berikutnya pada elevasi 20.0 hingga -10 meter memiliki nilai resistivitas yang tinggi pada lapisan tersebut yaitu meningkat secara gradual mulai dari lebih dari 385 Ω.m hingga lebih dari 1280 Ω.m mulai dari elevasi 20 meter dan lebih dalam lagi. Jika ditinjau dari tabel reistivitas batuan pada nilai tahanan jenis tersebut jenis batuan yang mungkin adalah gravel maupun fresh granite. Lapisan tersebut memiliki dua segmen pada iterasi 0 hingga 96 dengan ketebalan rata-rata 30 meter dan segmen kedua pada iterasi 96.0 hingga iterasi terakhir dengan ketebalan rata-rata 14 meter. Pada data hasil inversi 2D ini memiliki error sebesar 90, cukup besar sehingga data yang diinterpretasi memiliki kemungkinan kesalahan yang besar.

Adapun topgrafi dari lintasan kedua dengan konfigurasi dipole-dipole jika ditampilkan secara horizontal, slice dan 3 Dimensi adalah sebagai berikut pada gambar 5.14, gambar 5.15 dan gambar 5.16;

(46)

Gambar 5.14 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 2

Gambar 5.15 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 2

0 10 20 30 40 50 0 50 100 150

Elevasi

Elevasi

(47)

Gambar 5.16 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 2

Daerah pengukuran selanjutnya yaitu lintasan 3 dengan konfigurasi dipole-dipole. Dapat dilihat topografi daerah pengukuran pada penampang horizontal besarta hasil slice serta 3D view adalah sebagai berikut

Gambar 5.17 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 3

(48)

Gambar 5.18 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 3

Gambar 5.19 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 3

Daerah pengukuran menunjukkan adanya daerah tinggiaan dan rendahan, dimana pengukuran diperkirakan dilakukan di tepi tinggian. Dari hasil inversi Sounding mapping menggunkan konfigurasi dipole-dipole diperoleh beberapa anomaly mengenai lapisan yang teridentifikasi. Lapisan paling atas atau top soil memiliki nilai resistivitas yang rendah berkisar antara 14 Ω.m diperkirakan merupakaan lapisan lempung yang lebih tebal pada iterasi pertama hingga 48.0 serta iterasi keempat nampak hingga 14.0 pada gambar 5.3. lapisan tersebut diperkirakan merupakan lapisan lempung sebagai top soil. Semakin dalam sounding semakin dalam pula resistivitas yang didapat. Lapisan selanjutnya terletak pada semua iterasi memiliki litologi krikil dengan

0 10 20 30 40 50 60 0 50 100 150

Elevasi

Elevasi

(49)

nilai resistivity 186 Ω.m hingga 679 Ω.m dengan ketebalan 10 meter. Setelah itu pada iterasi kedua dengan kedlamaan 48.0 hingga 96.0 mulai dari kedalaaman 7.6 meter hingga 37 meter memiliki nilai resistivitas tinggi, dan naik secara gradual hingga miulai lebih dari 9002 Ω.m hingga 32785 Ω.m. Dapat disimpulkan batuan ini tidak sama sekali konduktif karena nilai reistivitas tinggi. Jika dibandingkan dengan tabel resistivitas batuan segmen lapisan ini merupakan batuan basal, granit maaupun quarsit. Namun pada litologi ini kemungkinan adalah batuan basalt karena nilai batuan yang tinggi reistivitasnya. Nampak pada gambar 5.3, pada segmen kedua juga naik secara gradual namun maksimal hanya sekitar 9002 Ω.m. Jenis batuan ini merupakan batuan fresh basalt terletak diawal iterasi keempat 96.0 meter dengan kedalaman antara 13.1 hingga 19.7 meter. Dari hasil inversi 2D sounding mapping menggunakan konfigurasi dipole-dipole ini diperolah RMS error sebesar 85.6 % dengan 5 iterasi. Sehingga data yang dihasilkan tidak begitu baik menginat besarnya error yang didapat.

Data selanjutnya adalah lintasan 4 dengan konfigurasi wenner. Topografi daerah pengukuran lintasan keempat menyerupai daerah subduction beberapa tinggian yang terletak ditengah dan di kanan-kirinya merupakan rendahan. Titik tertinggi berada pada elevasi 92.5 m dan titik terendah berada di ketinggian 79, dengan penurunan yang landai. Adapun hasil permodelan topografi daerah pengukuran , penampang horizontal serta hasil slice antara lain sebagai berikut;

(50)

Gambar 5.20 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 4

Gambar 5.21 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 4

Gambar 5.22 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 4

75 80 85 90 95 0 50 100 150 200

Elevasi

Elevasi

(51)

Berdasarkan hasil inversi 2D dengan konfigurasi wenner daerah tersebut mayoritas memiliki nilai reistrivitas yang tinggi berada di atas 921 Ω.m pada bagian top soil. Diperkirakan terdapat singkapan granit dipermukaan . Nilai reistivitas tertinggi berada pada jerak 40 meter titik awal elektroda antara 921 Ω.m hingga 3579 Ω.m diperkirakan batuan basalt. Hingga jarak pengukuran terakhir penancapan elektroda hingga 186 m nilai reistivitasnya berkisar antara 921Ω.m merupakan batuan granit yang kemungkinan nampak di permukaan hingga kedalaman 60 meter pada jarak 48 hingga 186 meter nampak pada gambar 5.4. Pada kedalaman 80 meter mualai dari jarak 50 meter permukaan hingga sounding yang paling dalam diperoleh resitivitas yang semakin rendah mulai dari 230 Ω.m hingga 57.7 Ω.m diuperkirakan memiliki litologi batuan pasir hingga lempung berpasir pada resistivitas rendah. Data hasil inversi 2D ini memiliki error 49.2.

Data pengukuran selanjutnya yaitu data lintasan 5 yang dikur pada koordinat luasan mulai dari x=56650 hingga x=566620 dan y=9771580 hingga y=9771650. Daerah pengukuran berdasarkan permodelan 3D yang telah dibuat memiliki variasi elevasi maksimal mulai dari 70 meter hingga minimal 59.5 meter. Dapat dilihat pada penampang horizontal, hasil slice serta hasil permodelan 3D, sebagai berikut;

Gambar 5.23 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 5

(52)

Gambar 5.24 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 5

Gambar 5.25 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 5

Hasil inversi 2D daerah pengukuran kelima dengan menggunakan konfigurasi wenner menunjukkan beberapa anomaly yang menunjukkan perbedaan jenis batuan pada daerah pengukuran ini. Nilai resistivitas tertinggi terletak pada jarak elektroda 48 hingga 96 meter dengan nilai reistivitas rata-rata 9451 Ω.m. Dengan nilai reistivitas ini menunjukkan litologi batuan basal ataupun granit. Pada daerah pengukuran ini terdapat anomaly yang sangat jelas terhadap resistivitas batuan. Nampak pada gambar pengamatan 5.5 terdapat segmen dengan nilai rsistivitas yang rendah antara 3.0 Ω.m dan kedalaman 35 hingga 55 meter. Kemungkinan air yang terdapat pada daerah rendahan pada daerah pengukuran lintasan kelima ini. Daerah dengan dengan resistivitas

58 60 62 64 66 68 70 72 0 50 100 150 200

Elevasi

Elevasi

(53)

rendah lainya terletak pada lapisan paling bawah yang terukur sounding pada jarak mulai dari 100 hingga 186 meter pada kedalaman 30 meter. Selain itu juga terdapat daerah dengan resistivitas tinggi pada jarak 144 m hingga 168 meter pada ketebalan 5 meter, kemungkinan ini merupakan segmen batuan fresh granite lainya. Data inversi 2D dengan konfigurasi wenner ini memiliki error sebesar 45.4%.

Data pengukuran selanjutnya adalah lintasan 6 dengan konfigurasi wenner. Dari hasil permodelan 3D serta penampang horizontal daerah penelitian melewati daerah tinggian ditengah titik pengukuran seperti bukit. Adapun hasil permodelen berupa penampang horizontal, slice maupun penampang 3D dapat ditampilkan pada gamba berikut;

Gambar 5.26 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 6

Gambar 5.27 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 6

0 10 20 30 40 50 60 0 50 100

Elevasi

Elevasi 45

(54)

Gambar 5.28 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 6

Pada dearah pengukuran 6 berdasarkan data lintasan yang diperoleh, hasil inversi 2D mennjukkan kenampakan daerah pengukuran ini merupakan singkapan batuan dengan nilai reistivitas batuan yang tinggi berkisar antara 1889 Ω.m. kemungkinan perbukitan ini merupakan daerah singkapan batuan fresh granite. Pada titik tertinggi daerah pengukuran hingga kedalaman yang terukur memiliki perbedaan nilai reistivitas yang tidak terlalu segnifikan dan masih menunjukkan daerah dengan litologi fresh granite. Pada gambar 5.6 Segmen sebelah kanan dari batuan tersbut menunjukkan resistivitas yang lebih rendah bahkan menurun secara gradual hingga rata-rata 24.2 Ω.m, kemungkinan ini merupkaan batuan lempung berpasir hingga kedalaman 20 meter dari permukaan. Segmen batuan sebelah kiri dari titik pengukuran terendah hingga tinggi yang berada di titik pengukuran, memiliki nilai yang bervariasi mulai dari bernilai 138 Ω.m hingga 330 Ω.m, yang masih menunjukkan jenis batuan kompak lainya seperti batu pasir dengan sedikit kandungan batuan lempung. Hasil Inversi pada lintasan ke enam menunjukan nilai yang bervariatif, namun tetap didominasi oleh batuan dengan nilai reistivitas yang relatif tinggi pada lapisan top soil yang dalam hal ini tersingkap. Hasil inversi 2D pada data lintasan ini menunjukkan error sebesar 78.2.

(55)

Data pengukuran selanjutnya adalah line 7. Dari hasil permodelan 3D serta hasil pembuatan penampang horizontal serta hasil slice nampak pada daerah pengukuran ke tujuh ini medannya memiliki jarak perbedaan elevasi yang tidak terlalu tinggi. Nampak pada gambar 5.29, Gambar 5.30, serta gambar 5.31.

Gambar 5.29 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 7

Gambar 5.30 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 7

0 10 20 30 40 50 60 0 20 40 60 80 100

Elevasi

Elevasi 47

(56)

Gambar 5.31 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 7

Data hasil inversi menunjukkan pada lapisan top sol batuan telah tersegmentasi dengan nilai tahanan jenis yang terulang pada rentang beberapa meter dari mulai elektroda pertama hingga elektroda terakhir. Dapat dilihat pada gambar 5.7. Nilai resistivitas batuan di permukaan cukup tinggi berkiasr antara 5000 Ω.m menunjukkan jenis batuan basalt ataupun granite. Namun pada jarak 144 meter dari jarak elektroda terakhir 186 meter nilai reistivitas batuan dibawahnya mulai menunjukkan nilai yang rendah. Nilai batuan dengan reistivitas batuan tinggi mulai dari permukaan hingga kedalaman 0 hingga 12 meter. Pada segmen bagian kiri dari jarak elektroda 96 meter. Nilai resistivitas batuan menurun secara gradual hingga yang terendah sekitar 34.9 Ω.m kemungkinan adalah litologi lempung. Sdangkan segmen sebelah kiri menunjukkan nilai yang bervariasi dan mulai rendah pada kedalaman 35 meter. Lapisan diatasnya hingga kedalaman 25 meter menunjukan nilai tahanan jenis sekitar 212 Ω.m, kemungkinan merupakan litologi pasir. Dari data hasil inversi lintasan 8 memiliki kesalahan RMS error 73.3, cukup besar dan syarat kesalahan inerpretasi.

Data hasil pengukuran selanjutnya adalah lintasan delapan dengan konfigurasi sounding mapping dipole-dipole. Daerah pengukuran berdasarkan hasil pembuatan permodelan mengguunakan surfer dengan contour horizontal dan 3D view juga slice menunjukkan bagian topsoil membentuk lapisan seperti

(57)

endapan perbukitan dengan perbedaan elevasi antara 105 meter hingga 87 meter. Hail itu teramati pada hasil permodelan menggunakan surfer sebagai berikut;

Gambar 5.32 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 8

Gambar 5.33 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 8

85 90 95 100 105 0 50 100 150 200

Elevasi

Elevasi 49

(58)

Gambar 5.34 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 8

Berdasarkan hasil inversi 2D menggunakan software Res2dinv lapisan top soil mayortas memiliki nilai resistivitas 238 Ω.m menunjukkan litologi daerah lempung berpasir. Pada kedalaman mulai dari 3 hingga 30 meter dari jarak pengukuran 50 hingga 130 memiliki nilai reistivitas yang rendah dengan nilai yang menurun mulai dari 65.4 Ω.m hingga 18.0 Ω.m. Hal ini kemungkinan menunjukkan adanya lapisan air tanah. Nampak pada gambar 5.8, pada kedalalaman 5 meter hingga lapisan dibawah segmen lapisan bernilai resistivitas tersebut tersebar lapisan dengan nilai reistivity yang merata yaitu 3158 Ω.m. Lapisan ini merupkana lapisan batuan fresh granite dengan nilai maksimum di iterasi terakhir pada kedalaman 30 meter dengan nilai reistivitas lebih dari 3158 Ω.m. Pada data ini elektroda dipasang dengan jarak 6.00 m dan jarak maksimal pemasngan elektroda terjauh 168 meter. Data hasil inversi ini memiliki nilai error yang relatif sangat besar 121.1, sehingga data yang diperoleh memiliki kevalidan yang tidak menentu.

Hasil inversi data berikutnya adalah data pengukuran lintasan kesembilan dengan oknfigurasi wenner. Berdasarkan hasil permodelan litologi yang didapatkan memiliki daerah perbandingan tinggian dan rendahan yang membentuk endapan nampak pada hasil penampang horiziontal dan hasil slice, serta tampila 3D sebagai berikut;

(59)

Gambar 5.35 Penampang Horizontal daerah Pengukuran Line 9

Gambar 5.36 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 9

Gambar 5.37 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 9

0 10 20 30 40 50 0 50 100 150

Elevasi

Elevasi 51

(60)

Dari hasil inversi pada lintasan 9 dengan konfigurasi wenner menunjukkan persebaran litologi pada topsoil dengn resistivitas dengan nilai 233 Ω.m. Pada gambar 5.9, dari hasil analisa menunjukkan kemungkinan batuan pasir hingga kedalaman 8 meter pada jarak pengukuran 50 meter, namun pada jarak 50 meter hingga 186 mennjukkan nilai reistivitas yang relatif naik. Kemungkinan pada jarak pengukuran lebih dari 144 meter merupakan batuan basalt hingga lapisan terdalam yang terukur dengan sounding mapping hingga kedalaman 40 meter. Dari jarak pengukuran 50 meter, mulai dari kedalaman 10 meter hingga 40 meter menunjukkan nilai resistivitas yang rendah hingga 0.28 Ω.m. hal ini merujuk tentang adanya lapisan air tanah yang potensial pada lintasan 9 ini. Data hasil inversi 2D menunjukkan nilai RMS erro 72.5 Data diambil dengan jarak spasi elektroda 6 mater dan peletakan elektroda terakhir sejauh 168 meter.

Data pengukuran terakhir adalah data lintasan 10 dengan konfigurasi wenner. Dilihat dari hasil permodelan penampang horizontal menunjukkan litologi yang memiliki variasi litologi tinggian dan rendahan dengan range 10 meter hingga 15 meter. Adapun gambarnya adalah sebagai berikut;

(61)

Gambar 5.39 Grafik Slice Jarak terhadap elevasi line 10

Gambar 5.40 Penampang 3D daerah Pengukuran Line 10

Data hasil inversi 2D menunjukkan lokasi yang mirip dengan lokasi pengukuran sebelumnya pada lintasan kesembilan. Dari Gambar 5.10 dapat terlihat persebaran nilai resistivitas di permukaan sebagai laposan top soil memiliki nilai yang tinggi hingga 1171 Ω.m pada jarak pengukuran hingga jarak 80 meter, setelah 80 meter hingga 186 memiliki nilai reistivitas lebih dari 542 Ω.m yang menunjukkan lapisan batuan granit. Pada kedalaman10 meter dari jjarak pengukuran 48 meter hingga lapisan terbawah yang terukur memiliki nilai reistivitas yang rendah hingga 5.1 Ω.m. hal ini dapat diperkirakan bahwa lapisan air tanah. Sedangkan pada jarak pengukuran 96

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 50 100 150

Elevasi

Elevasi 53

(62)

hingga pemasangan elektroda terakhir 186 memiliki nilai resistivitas yang bervariatif namun tinggi pada lapisan terbawah hingga kedalaman 40 meter dengan nilai reistivity rata-rata 1175 Ω.m. Hasil inversi 2D pada lintasan ini memiliki error 74.1. Data didapatkan dengan pengukuran konfigurasi wenner jarak spasi 6 dan titik pemasangan elektroda terjauh sejauh 168 meter.

(63)

V. KESIMPULAN

Dari hasil praktikum tentang pengolahan data 2D yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Pada teknik sounding mapping sering kali konfigurasi yang digunakan adalah konfigurasi dipole-dipole dan wenner dengan penentuan distribusi tahanan jenis semu secara vertikal per kedalaman

2. Berdasarkan nilai reisitivitas batuan, seluruh data pengamatan didominasi oleh batuan dengan nilai resistivitas tinggi kemungkinan granit ataupun basalt.

3. Perbedaan pengolahan data, jika menggunakan konfigurasi wenner maka satuan yang diinput adalah nilai offset data, hasil perkalian antara banyaknya faktor (n) dan spasial data serta nilai rho. Sedangkan jika konfigurasi yang akan diolah menjadi inversi 2D adalah dipole dipole maka satuan yang akan diolah meliputi nilai offset data, spasial data, faktor (n) serta nilai tahanan jenisnya.

4. Untuk setiap posisi elektroda akan didapatkan harga tahanan jenis semu . Semakin panjang bentangan lektroda yang digunakan, makan akan semakin dalma resistivitas yang terukur.

5. Variasi nilai resistivitas batuan yang terukur bervariasi mulai dari kurang dari 1 ohm m yang merupakan litologi lempung basah hingga diatas 1000 ohm m yang merupakan litologi basalt, quarsit maupun granit.

6. Dari kespuluh data lintasan pengukuran Nilai RMS error yang diperoleh mayoritas lebih dari 50% sehingga data hasil inversi 2D kurang akurat.

(64)

Gambar

Gambar 2.1 Pulau Siberut, Sumatra Barat
Gambar 2.2 Peta geologi lembar Pagai dan Sipora
Gambar 3.2 Konfigurasi Wenner
Gambar 3.6. Contoh distribusi nilai tahanan jenis dari hasil pengolahan  data metoda 2-D
+7

Referensi

Dokumen terkait

Akhir sekali, bagi mewujudkan bilik darjah yang berkualiti, guru perlu memberi peluang kepada murid bagi mewujudkan bilik darjah yang berkualiti, guru perlu memberi peluang

Didalam perencanaan segala bentuk bangunan yang kaitannya dengan pekerjaan teknik Sipil maka perlu adanya perencanaan Gempa yang mendetail, baik itu struktur bangunan

Mengetahui inventarisasi jenis tumbuhan pada ekosistem hutan yang meliputi kerapatan, frekuensi, Indeks Nilai Penting (INP), indeks keragaman, dan pola distribusi jenis tumbuhan

Pada D ispersion Compensation Fiber (DCF) walaupun dapat menghasilkan dispersi negatif yang besar namun memiliki panjang gelombang yang sempit untuk single mode fiber hal ini

Standar ini menjadi acuan mutu penyelenggaran penelitian di lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Hikmah Bumi Agung Way Kanan dalam rangka pencarian

Hasil penelitian diperoleh bahwa variabel Tingkat Pendidikan (X 3 ) yang dimiliki oleh peternak dalam penerimaan adopsi teknologi biogas pada peternak sapi perah

n Create file: alokasikan blok pertama untuk menyimpan array pointer, blok akan diberikan “on demand” oleh user (dynamic). n Pro: mendukung sequential access dan random (read the

Paus biru betina lebih besar badannya daripada paus biru jantan. Beim Blauwal-Weib größer ist ihr Körper als