• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sebuah daerah otonom yang berdiri sendiri lepas diri dari Kabupaten Halmahera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sebuah daerah otonom yang berdiri sendiri lepas diri dari Kabupaten Halmahera"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Kota Tidore Kepulauan

Kota Tidore Kepulauan di resmikan pada tanggal 31 Mei 2003 menjadi sebuah daerah otonom yang berdiri sendiri lepas diri dari Kabupaten Halmahera Tengah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 tentang pemkaran wilayah Letak geografis Kota Tidore berada pada titik koordinat 112036' – 112054' Bujur Timur dan garis 709' – 7021' Lintang Selatan. Secara geografis Kota Tidore Kepulauan berbatasan di Utara dengan Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Selatan dan Kota Ternate. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Laut Maluku. Tidore merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut.

Kota Tidore Kepulauan merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari pulau Tidore dan beberapa pulau kecil dan sebagian daratan pulau Halmahera bagian barat. Pulau Tidore tergolong besar di samping sebagian di daratan pulau Halmahera dan pulau-pulau kecil seperti pulau Maitara, pulau Mare, pulau Filonga, pulau Woda, pulau Raja, pulau Tamen dan pulau Joji.

(2)

Secara Administratif, Kota Tidore Kepulauan terdiri dari 5 (lima) Kecamatan dan 20 kelurahan serta 21 desa, yang memiliki luas wilayah daratan 9.564,7 KM2 (69,03 %) dan luas lautan 4.293,2 KM2 (30,47 %), yaitu :

1) Kecamatan Tidore terdiri dari 2 Desa dan 8 Kelurahan

2) Kecamatan Tidore Selatan terdiri dari 2 Desa dan 6 Kelurahan 3) Kecamatan Tidore Utara terdiri dari 2 Desa dan 6 Kelurahan 4) Kecamatan Oba 7 Desa

5) Kecamatan Oba Utara 8 Desa

Pada bagian selatan membujur dari barat ke timur dua bukit landai, yaitu Lidah dan Gayungan dengan ketinggian 25-50 meter dpl. Sebagian areal tanah Tidore terdiri atas tanah alluvial, hasil endapan sungai atau pantai. Di bagian barat kota terdapat perbukitan yang mengandung kadar kapur tinggi.

Kondisi keseluruhan, wilayah Tidore terdiri dari 10 (sepuluh) buah pulau kecil yang didiami oleh penduduk dan yang tidak didiami oleh penduduk yaitu sebagai berikut :

1. Pulau Filonga dengan luas 1,10 km2. 2. Pulau Mare dengan luas 19 km2. 3. Pulau Maitara dengan luas 14 km2. 4. Pulau Woda dengan luas 9,30 km2. 5. Pualu Raja dengan luas 1,50 km2. 6. Pulau Joji dengan luas 2,80 km2. 7. Pulau Guratu dengan luas 1,80 km2.

(3)

8. Pulau Tamong dengan luas 1 km2. 9. Pulau Tawang dengan luas 1,70 km2. 10. Pulau Sibu dengan luas 1,30 km2.

Topografi Kota Tidore Kepulauan adalah daerah yang berbukit-bukit dengan sedikit dataran kepulaun sedikit bergunung, datar dan datarannya sedikit berbukiit, tanahnya banyak batu-batu besar, juga mempunyai tanah yang berwarna hitam dengan subur, cocok untuk bertani.

Di pulau Tidore ada sebuah gunung yang paling tinggi, oleh masyarakat Tidore disebut Gunung Kie Matubu. Kie artinya Gunung dan Matubu artinya puncak/paling tinggi dengan kata lain Kie Matubu artinya Gunung yang paling tinggi. Masyarakat setempat mengatakan bahwa pada waktu dahulu kala gunung Kie Matubu menyeburkan lahar berupa air panas, untuk itu mereka menyebut juga gunung tersebut adalah gunung air panas.

4.1.2 Kondisi Demografis Kota Tidore Kepulauan

Berdasarkan registrasi pada periode juni 2013, jumlah penduduk Kota Tidore Kepulauan sebanyak 105, 911 jiwa, terdiri dari laki-laki 53, 830 jiwa dan perempuan 51,911 jiwa dengan kepadatan rata-rata 51 jiwa KM2, di mana konsentrasi penduduk hampir merata disemua kecamatan. Kepadatan rata-rata penduduk tertinggi berada di Pulau Tidore sebesar 105,741 jiwa, lebih besar dari rata-rata penduduk Kota Tidore Kepulauan. Umumnya penyebaran penduduk jarang pada pulau-pulau besar

(4)

dengan potensi sumber daya alam yang tinggi, seperti dibagian tengah pulau Halmahera.

Penduduk Kota Tidore Kepulauan sangat heterogen hal ini disebabkan karena daerah ini selain dihuni oleh etnis asli yaitu Tidore juga di huni etnis pendatang seperti Gorontalo, Bugis-Makasar, Buton, Jawa. Selanjutnya untuk mengetahui jumlah penduduk Kota Tidore Kepulauan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Jumlah Penduduk Kota Tidore Kepulauan Tahun 2013

Tabel 2 Data Penduduk Perkecamatan Kota Tidore Kepulauan

KECAMATAN JUMLAH

DESA.KEL DAK LK DAK PR DAK

DAK LRG

Kec.Tidore 11 12,224 11,856 24,080 6,250

Kec. Tidore Selatan 8 7,537 7,553 15,090 806

Kec. Oba 9 12,224 11,856 24, 080 6,250

Kec. Oba Selatan 7 3,084 2,912 5,996 1,440

Kec. Oba Utara 12 7,439 17,028 14,467 3,645 Kec. Tidore Utara 13 8,526 8,379 16,905 4,219 Kec. Oba Tenggara 9 4,665 4,349 4,014 2,129 Kec. Tidore Timur 4 4,322 4,184 8,506 2,062

Kec. Oba Tengah 9 4,665 4,349 9,014 2,129

Total Penduduk Kota Tidore

Kepulauan 53, 830 51,911 105,741 26,402

SUMBER: SIAK KEPENDUDUKAN & PENCATATAN SIPIL TIDORE KEPULAUAN, 2013 (DIOLAH)

4.1.3 Agama dan Sosial Budaya Masyarakat Kota Tidore Kepulauan a. Agama

Penduduk Kota Tidore Kepulauan yang pribumi semuanya beragama Islam dan sebagian penduduk yang berstatus sebagai etnis pendatang beragama Kristen

(5)

Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha. Kondisi ini berubah setelah terjadi konflik horizontal pada tahun 1999 sehingga Kerukunan hidup antar umat beragama di Kota Tidore Kepulauan saat itu yang cukup harmonis dengan adanya toleransi antar umat beragama yang sangat tinggi diakhiri dengan pecahnya konflik horizontal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik horisontal yang bernuansa SARA di Maluku dan Maluku Utara pada umumnya dan Kota Tidore Kepulauan khususnya pada beberapa tahun yang lalu telah merombak sendi-sendi kehidupan umat beragama yang telah dibina bertahun-tahun lamanya.

Menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan serta kerukunan antar umat beragama, maka Pemerintah Daerah Kota Tidore Kepulauan bersama tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh-tokoh-tokoh adat selalu berusaha untuk melakukan kegiatan pembinaan keagamaan baik secara interen maupun ekstern melalui BKKHAGA (Badan Konsultasi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama), PGI (Persatuan Gereja Indonesia) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dalam rangka untuk mendukung kegiatan pembinaan umat beragama di Kota Tidore Kepulauan, Pemerintah Daerah juga mengalokasikan dana pada APBD untuk kegiatan pembinaan keagamaan maupun pembangunan sarana dan prasarana keagamaan, seperti pembangunan Mesjid dan Gereja.

b. Kebudayaan

Kebudayaan kota Tidore Kepulauan yang dikenal dengan Kesultanan Tidore atau termasuk salah satu kerajaan Moloku Kie Raha mempunyai latar belakang

(6)

historis yang panjang dan berpengaruh terhadap budaya dan adat istiadat di daerah ini. Kerajaan Moloku Kie Raha (Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo) pada dasarnya mempunyai budaya yang sama yang sering dikenal dengan budaya Moluku Kie Raha, hal ini karena empat kerajaan yang dipimpin oleh Sultan yang mempunyai satu garis keturunan atau kakak beradik dalam sejarah mempunyai satu garis keturunan bangsa Arab, berbarengan dengan hal tersebut masuknya agama Islam di Maluku juga turut mempengaruhi budaya serta adat istiadat di daerah ini sehingga sering kita dengar satu bahasa kiasan “Adat bersendikan sara dan agama bersendikan kitabullah”. Sehingga dampak dalam kehidupan masyarakat di Kota Tidore Kepulauan ini adalah budaya dipengaruhi oleh adat.

Selain dari pada itu Kota Tidore Kepulauan cukup kaya berbagai ragam bahasa, daerah yang terdiri dari beberapa Suku Bangsa, sesuai dengan seminar I Kebudayaan Maluku di Ambon pada tahun 1969 Halmahera Tengah dan Maluku Utara dibagi dalam 5 (lima) wilayah dengan 28 suku dan 29 bahasa daerah. Dari beragam suku bangsa dan bahasa, budaya dan adat istiadat serta kebiasaanya, yang sangat menonjol dalam tata pergaulan masyarakat kota Tidore Kepulauan adalah tolong menolong atau gotong royong yang merupakan satu sikap mental yang hidup dan terpelihara sampai masa kini, adat kebiasaan yang bersifat sosial antara lain: a. Mayae, adalah bentuk tolong menolong dalam hal pembersihan kebun dan membangun rumah, b. Bari dan Morong, mempunyai arti sama dengan Mayae dan mempunyai bentuk kegiatan yang sama dengan gotong-royong.

(7)

c. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu prioritas pembangunan di Kota Tidore Kepulauan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan telah berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan baik peningkatan tenaga pengajar maupun sarana penunjang seperti gedung-gedung sekolah maupun penambahan tenaga pengajar. Upaya ini dilakukan agar dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak-anak usia sekolah sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan mulai dari SD sampai ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

4.1.4 Pemukiman dan Interaksi Sosial Kota Tidore Kepulauan a) Pemukiman

Meningkatnya perdagangan rempah-rempah, khususnya cengkeh berimbas pula pada aspek perkembangan pemukiman. Pemukiman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan kesultanan Tidore, baik yang ada pegunungan dan dipesisir pantai. Kedatangan pedang asing memicu makin maraknya pelabuhan, diduga secara sporadis pusat-pusat transaksi juga mulai berkembang di sepanjang pantai Tidore yang letaknya di pantai barat pulau. Lokasi pasar yang ada ditepi mempunyai peranan adanya perdagangan dan ekonomi masyarakat. Hal ini merupakan kegiatan dan kebutuhan masyarakat yang menggambarkan kondisi aktual aktivitas masyarakat yang bercirikan kota. Hanya saja tidak semuanya berkembang

(8)

dengan baik tergantung situasi geografis yang lebih menguntungkan. Teluk yang dalam dan lebar biasanya lebih mempunyai potensi berkembang.

Pencarian letak yang lebih strategis berdasarkan potensi situasi alam turut mempengaruhi proses perpindahan pusat-pusat kekuasaan Tidore. Berdasarkan sumber sejarah dapat menyebutkan adanya lokasi-lokasi yang menjadi pusat pemukiman Tidore; lokasi kraton sebagai tempat tinggalnya Sultan, konsepnya tentu dibangun dengan ramah yang dapat mempertimbangkan aspek Religi, aspek Sosial, aspek Politik, aspek strategis dan adaptif. Begitupun lokasi Benteng, Masjid, dan tempat penting lain di lingkungan dipusat kekuasaan. Penguasa Tidore telah memanfaatkan ruang-ruang disisi barat pulau untuk menempatkan rencana pusat pemerintahannya. Oleh karena itu dikenal dengan bekasnya kadaton Rum, yang sangat mungkin masih dipimpin oleh seorang Kolano. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Kadaton Mareku yang pernah kedatangan bangsa Spanyol, dan lokasi selanjutnya di kadaton Biji Negara yang terletaknya di Toloa. Laiman Saleh dan Amien Faroek (2006:4)

Perpindahan kekuasaan yang terakhir yang dilakukan oleh Sultan Syaifudin atau disebut sebagai Jou Kota, perpindahannya ke posisi arah timur pulau Tidore di kampung Soasio. Lokasi ini dikenal dengan nama Limau Timore (Kota Matahari Terbit). Pada masa itu Portugis sudah membangun pemukiman di beberapa lokasi. Ketika Belanda mengusir Portugis dari Tidore, maka lokasi Soasio dijadikan lokasi tidak terbatas. Hal ini dapat dilihat sisa pagar-pagar batu yang sangat kokoh untuk

(9)

perlindungan rumah dan punghuninya. Perubahan yang menonjol ketika terjadinya kedatangan bangsa Belanda dan VOC. Pada masa itu terdapat bangunan-bangunan rumah untuk kebutuhan Belanda, posisi pemukiman dengan pagar-pagar batu alam seperti tembok benteng itu sendiri.

Perkembangan pemukiman juga terkait juga dengan prasarana akses dari pusat ekonomi ke pusat Pemerintahan, pemelihan pemukiman yang berada dibukit yang merupakan masyarakat, petani penghasil Cengkeh, Pala, dan Tanaman lainnya yang tampak juga dengan pertimbangan kelayakan lingkungannya. Begitupun posisi yang disebuah lembah yang memungkinkan akses menunjukan lokasi ini lebih mudah. Citra kesultanan Tidore tidak hanya dibentuk oleh lingkungan Pulau, Gunung, dan Rempah-rempah, tetapi ada juga sejumlah unsur pemanfaatan ruang yang masih digambarkan tentang adanya Benteng-benteng, Bukit-bukit, Tanjung, Pelabuhan, Kraton dan Mesjid. Benteng-benteng tersebut yang lokasinya di bagian perbukitan yang menghadap kearah lautan dan benteng dibangun oleh orang Spanyol dan Portugis itu sendiri.

Kedatangan bangsa Belanda tidak membangun Benteng tetapi hanya menggunakan benteng yang telah ada, sedangkan dilihat sisa bangunan kolonial Belanda hanyalah sebuah Rumah Batu yang bercirikan bagunan Indisch dengan ciri tiang pilar. Secara peninggalan fisik yang jelas dapat membuktikan bahwa kejayaan masa lalu Tidore masih dapat dilihat hingga saat skarang. Lokasi bangunan Istana, Masjid Kesultanan, Perkampungan, Perbentengan, hingga rumah-rumah bergaya Eropa masih tersisa di Kota Soasio.

(10)

Dokumen-dokumen VOC dan Hindia Belanda yang mengungkapkan pemukiman-pemukiman di Maluku Utara dibedakan antara “Negeri” dan dan bagian-bagianya yang disebut sebagai “Kampung”. Negeri yang utama di Tidore adalah Rum dan yang terakhir sampai sekarang adalah di Soasio M. Amin Faroek (2005:6).

Negeri Soasio terdiri dari 18 kampung yang tersebar di luar tembok Kadaton, termasuk dua kampung dari penduduk asli yaitu kampung Cina dan Jawa, masih terdapat empat negeri lainnya di pulau Tidore dengan sejumlah kampung dengan sensus yang dibuat pada tanggal 12 Mei 1807, setelah kolonial Belanda menguasai Soasio (setelah Sultan Nuku meninggal dunia). Ke empat Negeri ini masing-masing: Negeri jongan jili (Rum) dengan 18 kampung, Negeri Marieko dengan 2 kampung, Negeri Toloa dengan 8 kampung, Negeri Gurabati 9 kampung.

Leirissa (dalam Amin Faroek 2005:5) sensus pada tanggal 12 Mei 1807, saat itu ke lima Negeri tersebut dihuni sekitar 6.332 jiwa. Jumlah terbesar terdapat di: (1) Negeri Gurabati 2.221 jiwa (2) Negeri Marieko 943 jiwa, (3) Negeri Soasio 861 jiwa, (4) Negeri Toloa 798 jiwa, (5) Negeri Jongan Jili 474 jiwa.

Penduduk Tidore pada dasarnya berkebun dan berdusun untuk mendapatkan bahan makanan meskipun sebagian besar bahan makanan harus didatangkan dari luar pulau Tidore. Selain bertani pada setiap negeri mengerjakan kegiatan ekonomi yang berbeda-beda seperti Negeri Soasio tenunan, Negeri Gurabati melakukan penyedian bahan pangan, Negeri Jongan Jili melakukan perniagaan, Negeri Marieko melakukan kegiatan nelayan, Negeri Toloa melakukan kegiatan pandai besi.

(11)

b) Interaksi Sosial

Melalui kegiaan ekonomi terjadi interaksi sosial baik antara penduduk setiap negeri, akibat penyediaan kebutuhan yang berbeda-beda maupun interaksi dengan penduduk diluar pulau Tidore. Negeri Toloa misalnya, secara rombongan membeli besi dari pedagang Cina kemmudian membuat berbagai keperluan rumah tangga seperti parang, cangkul, kapak, pisau dan lain-lain. Lalu mengembara ke berbagai Negeri untuk di jual atau di barter. Negeri Marieko menagkap ikan dan menyiapkan dalam bentuk mentah atau telah diawatkan di bbeli oleh negeri Jongan Jili dan menjajakan ke berbagai negeri bahkan membawa dengan perahu-perahu disekitar pulau Tidore. Kepandaian orang Marieko dalam melaut dan menangkap ika, bisa mencapai pulau-pulau yang lebih jauh seperti: pulau Obi, Tobelo, Sanana, bahkan bisa mencapai Selawesi Utara selama berbulan-bulan baru kembali ke Tidore.

Tidore terutama penduduk Marieko sempat membangun pemukiman diberbagai daerah lain setelah terjadi kawinann, sehingganya ada orang Marieko, Tobelo, Obi, dan Sanana ada di Kema Sulawesi Utara. Interaksi melalui kegiatan ekonomi ini maka proses pembaharuan dan perubahan sosial masyarakat Tidore nampaknya sangat tinggi, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya dalam wilayah kerajaan Tidore.

Bunyamin Marasabessy (2003: 8) menyatakan bahwa interaksi sosial melalui perdagangan ini tidak terbatas pada penduduk antara negeri di Tidore maupun antara sesama warga kerajaan Tidore akan tetapi mencangkup keseluruhan aktivitas perdaga

(12)

ngan yang dilakukan baik melakukan perdagangan Nusantara maupun pedangang-pedagang Belanda di seluruh wilayah kerajaan Tidore yang membentang melalui dari Irian, Kepulauan Raja Ampat sampai dengan Seram Utara dan Seram Timur.

Dari innteraksi melalui mata rantai perdagangann ini tidak menutup kemungkinan terjadinya pembaharuan baik sosial maupun kultural sebagai layaknya. Akan tetapi hal ini sulit di temukan di kedua kerajaan yaitu Tidore dan Ternate.

Kebudayaan yang terpelihara hinngga saat ini adalah benar-benar kebudayaan asli dari leluhur yang tidak teradopsi sedikitpun dari kebudayaan barat terutama kesenian daerah. Demikian pula dalam hal pembauran sosial baik di Tidore maupun di Ternate tidak ditemukan adanya keturunan dari orang-orang Spanyol, portugis, maupun Belanda, walaupun bangsa asing ini hidup berabad-abad di kerajaan ini. Berbeda dengan Ambon atau di pulau Halmahera dapat di dijumpai keturunan-keturunan orang Eropa sebagai hasil perkawinan dengan penduduk asli, demukian juga aspek budayanya.

4.1.5 Sejarah Singkat Kerajaan Tidore

Jauh sebelum Islam membumi di Nusantara, Tidore dikenal dengan sebutan Kie Duko. Artinya pulau bergunung api. Gunung berapi tersebut terdapat dipuncak Marijang yang merupakan puncak tertinggi di Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Gunung berapi Marijang saat ini tidak lagi termasuk gunung berapi yang aktif.

Era ini, pemimpin tertinggi satu komunitas masyarakat dinamai momole. Momole berasal dari bahasa daerah setempat, artinya pria perkasa “Satria”. Ada

(13)

beberapa orang momole yang memimpin komunitas-komunitas tertentu, diantaranya; Momole Rabu Hale, Momole Jagarora, Momole Rato, dll.

Kekuasaan para Momole hanya sebatas wilayah suku pendukung atau komunitas tertentu maka kadang kala, dalam pencarian legitimasi wilayah yang lebih besar, pertikaian antar Momole tidak dapat terelakkan. Berkali-kali pertumpahan darah dicoba ditengarai sesama mereka, namun selalu saja gagal, seperti rekonsiliasi Ake Saragi, dan rekonsiliasi Gumira Mabuku. Pertikaian diselesaikan melalui perundingan Togorebo yang difasilitasi Syeh Yakub, salah satu anggota rombongan ibnu Chardazabah (khalifa Al–Mutawakkil Alallah dari Bani Abbasiyah) dari Irak yang diperkirakan tiba di Tidore pada tahun 232 H, 846 M. Pertemuan Togorebo atau menjaga haluan ini, selain dapat menghentikan pertikaian antar komunitas, juga melahirkan kesepakatan monumental, peralihan nama Kie Duko menjadi Tidore.

Tidore dimaknai dari rangkaian kata To ado re “Aku telah sampai” dan bahasa Arab dialek Irak Anta Thadore yang berarti “engkau datang”. Dikisahkan, tempat pertemuan disepakati terletak di atas sebuah batu besar di kaki bukit Marijang. Para Momole mempertaruhkan kehebatan dan kelihaian. Siapa lebih dahulu tiba di tempat pertemuan pada purnama keempat belas, dialah yang bertugas sebagai pempimpin pertemuan. Tidak ada yang menang, dan tidak ada yang kalah dalam pertarungan ilmu mandraguna.

Di saat satu Momole mengira dialah yang lebih dahulu tiba di Togorebo sambil berteriak To ado re, momole lainpun besahutan berteriak dengan kalimat yang sama,

(14)

To ado re “Aku Telah Sampai”. Beberapa saat kemudian tiba Syeh Yakub di tempat pertemuan, serta merta beliau berujar dengan bahasa Arab dialek Irak Anta Thadore

“Kau datang” sambil menunjuk ke masing-masing Momole. Tidak ada yang

memenangkan pertarungan, maka disepakati Syeh Yakub sebagai pemimpin pertemuan. Sejak itu, nama Kie Duko berangsur-angsur hilang dari penggunaan masyarakat berganti dengan sebutan Tidore. Perpaduan antara bahasa daerah ‘To ado re’ dan bahasa Arab dialek Irak “Thadore“. Laiman Saleh dan M. Amin Faroek (2006:2)

Keadaan Tidore mulai terkuat sejak Sultan Ciriliyati naik tahta 1495. (penguasa Tidore pertama yang menggunakan gelar Sultan) bersemayam di Gam Tina “Kelurahan Tongowai”. Pada tahun 1512 Sultan Mangsur naik tahta, Ia membuka perkampungan baru sebagai Ibu Kota Kesultanan Tidore di Rum, letak Rum selain berdekatan dengan Ternate, juga diapit oleh tanjung Mafugogo dan pulau Maitara.

Tahun 1600, Sultan Mole Majimo alias Alauddin Syah naik tahta, karena alasan Rum sangat berdekatan dengan Ternate yang waktu itu adalah musuh babuyutan Tidore, Dipindah ibu Kota Kesultanan Tidore dari Rum ke Toloa. Alasan kedua, di pedalaman Toloa masih bermukim Kolano Tomabanga (Raja Belantara) atau Kolano Jin (Raja Jin) yang masih Animis sehingga diperlukan pendekatan khusus dalam penyebaran dakwah Islam. Dalam tataran penyebaran Islam Sultan Alauddin berhasil mengislamkan komunitas Kolano Tomabanga dengan mempersunti ng salah satu putranya dengan Boki Bola putri Kolano Tomabanga.

(15)

Sepeninggalannya Sultan Alauddin Syah, Kesultanan Tidore di pimpin oleh Sultan Saifuddin alias Jou Kota naik tahta, memindahkan Ibu Kota Tahun 1600 M. Sultan Saifuddin Memindahkan Ibu Kota kesultanan ke limau Timore “Kawasan Timur”. Perpindahan kesultanan ini dengan alasan pertahanan keamanan. Perseteruan Tidore dengan Belanda-Ternate mulai menghangat soal perebutan pulau Makian. Di samping itu pemukiman yang dianggap layak, sebaiknya berhadapan dengan matahari terbit, atau kawasan timur “Limau Timore” Limau Timore kemudian berganti nama menjadi Soa-sio sampai sekarang.

Pada tahun 1600 M. Ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubung an dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat dengan Ternate, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga (masyarakat Tidore yang masih animis) agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifuddin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio.Lisna Sarjun (2008:26)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Dari Tarekat Lahirnya Seni Badabus (Taji Besi)

Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat

(16)

terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.

Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah

Ritual Badabus (Taji Besi) di kalangan masyarakat Tidore, merupakan kebuda yaan Islam yang masuk bersamaan dengan agama Islam. Badabus merupakan media yang di gunakan para mubaliqh dalam menyiarkan Islam di Tidore. Badabus merupakan ritual kekabalan yang di padukan dengan unsur Rebana, ritual ini sering juga disebut dengan Ratip Rabana.

Dalam pelaksanaan ritual Badabus, konteks yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaanya adalah ilmu tarekat. Ritual ini syarat dengan unsur-unsur tarekat dan terkadang mempertontokan kebenaran dari tarekat menurut pengikut dari kelompok tarekat tertentu. Persaingan antara ilmu terekat ini menjadi fenomena yang umum dari setiap ritual Badabus. Kondisi lahirnya persaingan antara tarekat dalam masyarakat Tidore ini, terjadi karena adanya kepercayaan atau keyakinan dari ajaran tarekat oleh setiap pengikut tarekat. Di kalangan pengikut tarekat tertentu ada semacam euforia

(17)

kebanggaan di dalam kebenaran ilmu terekat yang dianutnya, dan karna ini sangat kondisional maka sering persoalan-persoalan tarekat ini menjadi masalah sosial di luar ke agamaan.

Dalam beberapa kasus terekat yang terjadi di Tidore, karna persaingan dalam meyakini kebenaran ilmu tarekat dan menjadi euforia kebanggaan dari pengikutnya, sering antara pengikut tarekat terjadi tragedi saling menudu dangan isi tarekat sesat. Hal ini pada ahirnya di selesaikan pada jalur hukum.

Masyarakat Maluku Utara di kenal sebagai masyarakat yang memperdalam ajaran tarekat dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi karena secara historis di pengaruhi oleh konfederasi Moti Tahun 1322 yang di ikuti oleh 4 kesultanan yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Dalam konfederasi ini di samping adanya kesepakatan untuk menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Maluku Kie Raha, Tidore diberi kepercayaan untuk lebih memperdalam ajaran tarekat. Hal itulah apabila ada ritual-ritual ke agamaan hingga dewasa ini maka Tidorelah yang paling tertip dalam menonjolkan unsur tarekat.

Secara umum, masyarakat Tidore dalam mempelajari dan mengamalkan tarekat dalam ajaran Islam, di lakukan sejak masa kecil. Anak-anak setelah bisa melakukan sholat, sudah di tanamkan dengan ajaran tarekat, hal dalam prinsip mereka agar mereka mampu memahami jati diri sebagai manusia yang lahir ke dunia dan tanggung jawap yang harus di laksanakanya dalam ajaran Islam.

Pada ritual badabus, ajaran tarekat yang di ajarkan pada masyarakat tebagi menjadi beberapa macam sesuwai dengan syeh yang membawakan ajaran tersebut

(18)

sebagai mana yang di ketahui, ajaran-ajaran tarekat tersebut terdiri dari, ajaran tarekat Nakshabandiyah, tarekat Rifa’iya dan tarekat Tuniasah dari ke tiga ilmu tarekat tersebut yang sangat di populer dikalangan kesultanan maupun masyarakat yaitu Nakshabandiyah dan Rifa’iya.

Tarekat dalam dinamika di ciptakan oleh tokoh-tokoh tasawuf akidah. Ada juga terkat-tarekat yang merupakan perpecahan dari pada tarekat induk, yaitu tarekat yang sudah di pengaruhi oleh pendapat syeikh-syeikh tarekat yang mengamalkan di belakangnya atau keadan setempat, (keadan bangsa yang menganut tarekat itu) banyak di antara perpecahan tarekat-tarekat itu disusun atau di beri istilah-istilah yang sesuwai dengan tempat perkembangannya

Ritual Badabus dalam pelaksaanya secara pasti setiap pengikunya akan mengikuti salah satu dari ajaran tarekat. Konteks nyata dari konsepsi ini dapat di lihat dari pelaksanaan ritual Badabus di Tidore.

Dalam menguraikan sacara mendetail mengenai prosesi ritual Badabus pada masyarakat pelaku Badabus di Tidore akan di dahului oleh uraian-uraian mengenai perkembangan tarekat higga jenis terekat yang di anut oleh pelaku Badabus di Tidore. 4.2.3 Lahinya Ritual Badabus (Taji Besi).

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Debus atau taji besi di Indonesia sangat popular di dua daerah Aceh dan Banten, untuk wilaya Maluku Utara terutama Tidore, sejarah lahirnya Debus atau taji besi belum banyak di ketahui karna riset-riset sejarah masuknya Islam di Maluku utara belum banyak di lakukan, pada hal kitap Lontara atau manuskip kuno yang di kramatkan cukup banyak tersimpan atau di

(19)

miliki oleh penduduk setempat terutama yang berhubungan dengan masuknya Islam di Tidore.

Nama dari pertunjukan badabus ini pada awalnya di kenal masyarakat dengan sebutan Taji Besi atau Ratip Rabana. Sedangkan nama badabus dalam masyarakat Tidore merupakan istila baru yang di populerkan oleh generasi baru para pelaku badabus dan menjadi bahasa moderen pada masyarakat Tidore.

Dalam falsafah masyarakat Tidore badabus merupakan ritual yang di pengaruhi oleh tradisi Arab sesuwai dengan proses pelaksaan ritual tersebut. Selain itu filosofi dari ritual badabus adalah kepasraan kepada sang pencipta (Allah SWT) dengan keyakinan bahwa apapun yang terjadi pada pelaksanaan pertunjukan tersebut mereka siap untuk menerima resikonya dalam menghadapi bahaya dalam pelaksanaan ritual tersebut.

Dalam wawancara dengan beberapa syech Badabus (taji besi) di Tidore di ketahui bahwa hadirnya Badabus (taji besi) di Tidore di bawa oleh syech Jafar sadek, seorang mubalik Islam yang merupakan imam syiah ke empat. Selain Jafar Sadek, Syech Al-banjari juga memperkenalkan Badabus (taji besi) bagi masyarakat Tidore terutama di daerah Tomalou dari ke dua syech inilah yang memperkenalkan Badabus (taji besi) pada masyarakat Tidore ini merujuk pada sumber-sumber kesultanan. 4.2.3 Badabus (Taji Besi)

Badabus merupakan permainan (pertunjukan) kekabalan terhadap senjata tajam atau api dengan menyiksa diri (dengan menusuk, menyayat, atau membakar bagian tubuh) taji besi atau lajim di sebut Badabus berasal dari bahas arap yaitu

(20)

sepotong besi tajam yang berukuran minimal 30 cm dengan lingkaran inci di sesuaikan.

Badabus adalah fungsi kinerja manifest yaitu memberikan bukti kekabalan. Para peserta adalah seh taji besi, atau pemimpin dari kelompok Badabus (taji besi) dan sejumlah (pemain taji besi) alat yang di gunakan sebenarnnya adalah seperti belati penusuk terdiri dari gagang kayu dengan paku besi berjalan melewatinya, yang berahir pada titik yang tajam.

Pandangan mengenai Badabus atau taji besi dari Amien faroek selalu menghubungkan dengan tharekat rafai’iya menurut beliau ini adalah hasil dari fiksi yang saleh yang berasal dari berbagai macam perbuatan keajaiban pendiri tharekat ini, dan dalam hubungan ini adorasi (mukjizat) pada bagian dari pelaku badabus atau taji besi.

Sehubungan dengan pelaksanaan ritual Badabus atau taji besi Amien Faroek menyatakan bahwa ketika itu persaudaraan mistik semakin meningkatkan jumlah pengikut mereka tetapi mereka tidak saling bersaing. Namun demikian, di wilayah di mana kelompok-kelompok Badabus berada ada juga tharekat lain, bernama Nakshabandiyah, akan terekat-tarekat itu satu sama lain tidak saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh demi mendapatkan pengikut. Dalam hubungan ini suatu penyataan oleh salah satu syeh bertarekat, yang menjelaskan kepatuhan angota lain terhadap ritual Badabus penjelasan ini melukiskan bahwa sesungguhnya Badabus dalam pelaksanaanya selalu berhubugan dengan tarekat dalam tingkatan ajaran Islam

(21)

atau dapat di katakana bahwa dalam ritual Badabus sarat dengan persoalan tarekat. (wawancara 19 April 2013)

4.4 Jalur-Jalur Penyebaran Islam dengan Ritual Badabus

Badabus adalah media yang di gunakan oleh para syech atau mubalik ketika menyebarkan Islam di Tidore ritual ini sangat berperan penting dalam proses Islamisasi di Tidore. Berikut ini penjelasan mengenai jalur-jalur penyebaran Islam dengan menggunakan pelantara media badabus.

Setelah masuknya agama Islam di daerah-daerah Maluku Kie Raha, Islam mulai menyebar secara bertahap di seluruh wilayah Maluku Utara. Penyebaran agama Islam di Tidore pertama kali di kenal di masa kesultanan Tidore. Namun belum menyebar di seluruh wilayah yang ada di Tidore seperti Tomalou.

Masyarakat Tidore di Tomalou mulai mengenal agama Islam sejak kedatangan seorang Syech yang berasal dari Bonjonegoro (Kalimantan) yakni Syech Al-Mukarram Al-Banjari, yang dikenal saat ini dengan nama Albanjar. Menurut Udin Wahid Al. Banjar (wawancara:21, April) yang juga turunan Albanjar menjelaskan bahwa kelurahan Tomalou pada abad ke 17 belum ada yang memeluk agama Islam. Di Tomalou ketika itu dihuni oleh kelompok marga seperti marga Sero-Sero, Marsaoly, Konoras, Wadah. Marga-marga ini seluruhnya belum memeluk agama Islam. Perkenalan dengan Islam mulai terjadi setelah kedatangan Syech Almukkaram Albanjari. Kedatangan Syech Al-Banjari dan mediasi yang dilakukan terhadap penduduk setempat dengan santun serta menggunakan media tertentu berupa membaca ayat-ayat suci Al-Quran menjadi daya tarik yang kuat bagi masyarakat

(22)

Tidore yang bermukim di Tomalou. Salah satu strategi yang dipakai untuk semakin menambah daya pikat bagi masyarakat untuk memeluk Islam di samping perilaku santun juga media adalah tarian badabus (taji besi).

Hal ini sesuai yang di tuturkan oleh Udin Wahid Albanjar (wawancara, 21 April). Ia menerangkan bahwa Syech Almukarram Albanjari di kenal sebagai seorang Syech yang memiliki ilmu agama yang paling tinggi, ini karena ia mampu untuk menunjukan syariat-syariat Islam sesuai dengan tuntutan ajaran agama, seperti mengu capkan salam saat bertemu dengan setiap warga. Selain itu, Syech Almukarram Albanjari juga mampu membacakan ayat suci Al Qur’an dengan suara yang merdu sehingga menarik simpatik bagi masyarakat untuk mengikuti ajaran Islam. Syech Al-Banjari juga di kenal sebgai seorang imam mesjid yang baik menurut kepada penduduk Tomalou.

Syech Al-Banjari dalam menyebarkan syiar Islam kepada masyarakat Tidore terutama di Tomalou pada langka awalnya menggunakan cara kekerasan, yaitu bertarung dengan kepala-kepala suku, dengan syarat yang sudah di sepakati yang kalah harus tunduk kepada yang menang. Hal ini dilakukan karena sebagian besar penduduk Tidore di Tomalou bermukim di hutan dan tersebar di beberapa tempat, dan mereka sangat sulit untuk diajak keluar dari pemukimannya. Al-Banjari dengan sedikit bersusah payah akhirnya berhasil menggiring penduduk Tidore di Tomalou untuk bermukim di dekat tepi pantai. Sesudah di giring dalam satu daerah pemukiman maka langkah-langkah dakwah dilakukan kepada penduduk dengan

(23)

menggunakan media penarik berupa pertunjukan badabus dan membacakan ayat-ayat suci Al-Quran dengan suara merdu.

Salah satu media yang pernah ditakuti oleh masyarakat pada tahap awal akan tetapi ini menjadi daya pikat dikemudian hari, adalah budaya mengaji dengan menggunakan besi dan di tusuk ke kedua dada, akan tetapi besi yang runcing tidak pernah menembus dada itulah badabus (taji besi). Media ini punya daya tarik, karena kekebalan bagi masyarakat setempat di anggap sebagai pertahanan diri yang cukup efektif terutama jika terjadi peperangan antar suku.

Ketika itu di wilayah Maluku utara umumnya, termasuk juga di Tidore, kehidupan penduduknya masih cukup liar, di mana peperangan antar suku kerap terjadi. Fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan suku-suku di wilayah Maluku utara yang sering berperang antar suku memungkinkan seluruh suku mencari pertahanan diri termasuk ilmu kekebalan demi mewujudkan eksistensinya. Olehnya itu pertunjukan kekebalan senjata tajam dalam pengajian menjadi magnet yang kuat bagi masyarakat untuk mempelajarinya dan sudah tentu akan memudahkan Islam di peluk oleh penduduk setempat, termasuk yang ada di Tomalou.

Agama Islam yang mulai di kenal oleh masyarakat Tomalou baik dikalangan marga Sero-sero, Konoras, dan Wadah, lewat dakwah dan permainan taji besi ini, akan tetapi perkembangan pemeluknya yang kafah sangat lamban sekalipun mediasi yang telah dilakukan berjalan efektif. Hal ini disebabkan karena adanya keengganan dari sebagian marga untuk melepaskan keyakinan mereka yang lama yakni keyakinan terhadap konsep Jin Semomole. Oleh karena itu langkah lebih lanjut yang di lakukan

(24)

oleh Al-Banjari yakni dengan melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Dalam strategi ini, Al-Banjari memilih marga yang berpengaruh secara struktur sosial terutama populasi yang banyak di antara semua marga. Wanita yang dipilih oleh Al-Banjari yakni wanita yang berasal dari marga Sero-sero yang bernama Halima.

Perkawinan yang terjadi dengan wanita dari marga Sero-sero ini membawa perubahan sosial bagi marga-marga lainnya. Islam pada akhirnya diterima secara masal dan prosesi untuk menggiring masyarakat menuju pemeluk Islam yang kafah berjalan denga baik.

Dalam perkawinannya juga di tuturkan oleh Udin Wahid Al-Banjar bahwa setelah menikah, Syech Al-Banjari meninggalkan isterinya yang telah mengandung selama tiga bulan, ini dilakukan karena syech Al-Banjari hendak kembali ke Kalimantan. Ketika Al-Banjari berangkat ia memberikan amanah kepada isterinya bahwa jika ia berangkat maka istrinya harus segera ke bukit yang tinggi untuk bisa melihat kepergiannya, karenanya istrinya pun mengikuti apa yang disampaikan oleh syech Al-Banjari. Bukit di mana istri Al-Banjari berdiri hingga kini tetap di abadikan dengan nama bukit Salillah yang artinya melihat. Selain itu amanah yang di sampaikan oleh syech Al-Banjari bahwa ketika anak itu di lahirkan ke dunia, maka akan dikirimi kitab suci Al-Quran dan nantinya disaat kitab suci ini di buka pada suatu ketika maka ia akan menjadi seorang anak yang pandai mengaji.

Wujud dalam kemampuan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dari keturunan syech Al-Banjari sampai saat ini masih tetap terjaga secara baik. Tradisi membaca Al Qur’an diwariskan secara turun temurun.

(25)

4.4 Prosesi Pelaksanaan Ritual Badabus

4.4.1 Panji Kebesaran Para Wali Ahli Tarekat

Panji kebesaran para wali ahli Tarekat dalam melaksanakan ritual sala satu kelengkapanya yakni panji atau bendera yang merupakan lambang kebesaran kelompok badabus (Taji Besi) sekaligus sebagai gambaran dari Tarekat yang di anut oleh kelompok badabus (Taji Besi) . panji kelengkapan Badabus (Taji Besi) dari kelompok Tarekat naksyabaniah pada masyarakat Tidore terdiri dari dua panji, yang satu panji berwarna puti dan satunya lagi berwarna merah. Panji-panji ini bertuliskan kalimat-kalimat dan merupakan puji-pujian akan keagungan Allah sang pencipta alam semesta.

Kedua panji ini di tempatkan berdampingan di dapan ke dua sisi dari Syech Badabus (Taji Besi) maksud penetapan ini agar setiap peserta yang akan mengunakan Badabus (Taji Besi) selalau dalam lindungan Allah, sesuwai kalimat-kalimat yang tercantum dalam ke dua panji. Dalam konteks makna, ke dua panji yang berwarna puti ini sebagai perlambangan kebersihan jiwa dan keberanian jiwa dari para pelaku Badabus (Taji Besi). Posisi Syech Badabus (Taji Besi) dalam ritual ini di apait oleh ke dua panji ini. Apa maksud dari syech yang berada di tengah ke dua panji ini tidak di jelskan para pengikut Badabus (Taji Besi) kelompok Naksyabaniah. Akan tetapi dari hasil pengamatan terhadap posisi duduk syech yang di apit oleh dua panji menyiratkan ada hubungan antara doa yang di lafalkan dengan kalimat-kalimat yang tertuliskan pada panji.

(26)

Pada mulanya panji-panji ini melambangkan kelompok Tarekat tertentu, misalnya Rifa’iya atau Naksyabania akan tetapi ini kemudian berubah, panji-panji ini tidak lagi menggambarkan Tarekat atau keolompok Badabus (Taji Besi) tertentu akan tetapi telah menjadi simbol kekuwatan bagi pelaku Thareqat.

Simbol dalam bentuk apapun, tetap di butukan untuk member kepercayaan bagi pelaku ritual simbol yang terpasang di dekat syech Badabus (Taji Besi) akan memberi kekuatan spiritual bagi setiap pelaksanaan Badabus (Taji Besi). Setidaknya simbol akan memberi rangsangan keberanian bagi pelaku Badabus (Taji Besi) dan simbol-simbol ini akan memberi kekuatan ataupun melindung mereka dari bahaya dalam pelaksanaan ritual.Untuk jelasnya bagaimana posisi panji dapat di lihat pada gambar 1

Para pemain Badabus (Taji Besi) ketiaka akan memulai aksinya, bersimpuh di hadapan ke dua syech dan di apit oleh panji Badabus (Taji Besi). Tujuan dari bersimpuh atau bersujud pada syech yang kemudian di apit oleh ke dua panji ini untuk mendapatkan restu dan kekuatan dalam melaksanakan ritual. Kekuatan yang di peroleh dari restu ini nantinya ia tidak akan tertembus oleh senjata tajam yakni Badabus (Taji Besi) yang di pakai ketika menusuk bagian-bagian tubuhnya. Untuk menjelaskan mengenai posisi ketika pelaku melakukan sujut dangan di apit oleh bendera lihat ganbar ke dua.

(27)

4.4.2 Badabus/ Taji Besi

Jika pada awal munculnya, ritual badabus di gunakan oleh setiap kelompok debus cukup berfariasi, ada yang mengunakan pisau, pedang dan jenis senjata lainya, maka dalam perkembangan kemudian, yang di gunakan hanyalah sepotong besi tajam yang ukuranya di sesuwaikan dan pada salah satu ujungnya di pasang kayu dan rantai untuk pemberat.

Setiap unjung besi nantinya di gunakan untuk menusuk dada para pemain debus akan di asah setajam mungkin. Pemberat dari kayu dan rantai besi ini akan berfungsi untuk memberi kekuatan dorongan di saat besi di ayunkan ke dada. Lihat gambar 3 Lampiran.

4.4.3 Tempat Pembakaran Dupa

Dupa atau kemenyan merupakan kelengkapan ritual. Dupa ini memberikan keharuman dalam ruangan acara. Dupa ini dalam konsep keyakinan masyarakat setempat sebagai penghantar tahlilan untuk menghadirkan kekuwatan terutama kekebalan yang nantinya di miliki oleh setiap peserta ritual. Asap yang di keluarkan menjadi penghatar mantra untuk mendapatkan kekabalan tubuh sehingga senjata tajam tidak akan melukai para pelaku taji besi. Gambar 4. Dupa atau kemenyan sebagai kelengkapan rituwal badabus(taji besi). Lammpiran

(28)

4.4.4 Air pada Mangkuk Putih.

Mangkuk putih yang berisi air merupakan kelengkapan rituwal. Makna simbolis dari air pada mangkuk putih ini sebagai kebersihan jiwa atau keteduhan hati yang akan mendinginkan sikap emosioal yang meluap-luap sebagai pelembang api. Api melambangkan kekuatan dan kemurkaan dan akan di netlarisir oleh air sebagai pelambang kesucian dan kebersihan jiwa.

4.4.5 Bantal dan Lefo (Kitap Amalan)

Bantal yang di pakai pada ritual semata-mata berfungsi untuk menempatkan kitap amalan yang biyasa di sebut Lefo. Kitab lefo yang di tempatkan diatas bantal sebagai lambang sakralnya kitap, dan untuk menjaga agar isi kitabnya tetap bertuah maka ia harus di hormati atau dijaga termasuk dalam hal tempat di mana kitap itu di letakan untuk dibaca.

Lefo merupakan kitap yang berisi ajaran tarekat dan lefo ini biyasanya akan selalu di jaga, dipelajari oleh parah syehk, dari lofo inilah kauum syehk di Tidore mewariskan ajaran-ajaran tarekat dari generasi ke generasi.

Lefol merupakan manuskrip yang di tulis dengan tangan kebanyakan berisi ajaran Islam dalam tingkatan syariat, tharikat, hakikat, dan marifat, sebagian besar masyarakat menjadikan manuskip-manuskrip ini sebagai pedoman dalam melaksanakan ajaran Islam. Dalam tingkat tarekat. Hal ini demikian karna manuskip-manuskip Islam di tulis oleh para mubalik yang datang menyiarkan Islam di Tidore. Akan tetapi dari pemeriksaan Lefo, di ketahui bahwa ada juga yang di tulis oleh sesepuh –sesepuh Islam Tidore yang bias di sebut Sara. Lefo-lefo ini sangat di sakralakan, hal ini pada prisipnya untuk melanggengkan ajaran-ajaran Islam yang di tuangkan dalam manuskip.

(29)

Bahan-bahan unttuk menulis manuskip adalah kertas dari kulit kayu dan kertas (Wawancara. Ishak Naser. 21 April 2012 )

4.4.6 Minuman Sarbat (sarabati)

Minuman sarbat atau sarbati merupakan minuman yang terbuat dari jeruk nipis,jahe,dan gula merah. Sarabati menjadi menimunan yang dinikmati pada saat akhir ritual. Minuman ini menrut pengakuan dari Masmin faroek, seorang syehk taji besi merupakan minuman yang diwariskan oleh mubaligh yang datang menyiarkan islam di Tidore.

Menurut para peserta ritual, setelah meneguk sarbati, rasa letih akan segera hilang karna diyakini menimun ini mempunyai kekuatan untuk menghilangkan lelah dan letih sehabis beraktifitas yang menguras tenaga.

4.4.7 Rabana.

Rabana yakni gedang berukuran kecil dan pipih yang biasanya di tabuh secara beirama untuk mengeringi untuk mengiringi prosesi ritual. Rebana ukuranya antara satu dengan lainya tidak terpaut jauh.

4.4.8 Musik penggiring.

Dalam pelaksanaan pementasan badabus (taji besi) setiap peserta memegang rebana. Rebana-rebana ini akan di tabuh secaa berirama mengiringi zikir.

Alunan rebana ini terkadang lambat dan juga cepat, seakan mengikuti lantunan zikir yang di bicarakan oleh syehk dan di ikuti oleh peserta rituwal. Jadi di

(30)

saat menabuh rebana, peserta jugamelantunkan bait-bait zikir yang merupakan kalimat tarekat. Dengan iringan music berirama dari rebana ini ,lantunan zikir bersahut sahutan mengiringi para pemain badabus (taji besi). Irama rebana ini akan semakin gencar di tabuh apabila para pemain debus mulai beraksi. Lantunan zikir yang di iringi dengan music rebana menjadi tren dalam setiap permainan badabus (taji besi)

4.4.9 Pertunjukan Badabus (Taji Besi)

Sesudah semua intrumen ritual disiapkan mulai dari panji kebesaran ritual, badabus (taji besi), bantal, lefo, dupa, mangkuk berisi air putih, bantal tempat meletakan lefo, minuman sarbati dan rebana. Langka-langka selanjudnya yakni dengan meletakan semua instrument ritual sesuwai tatacara ritual.

Ketika ritual di mulai, seluruh tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan tarekat di persilakan untuk mengambil posisi sesuwai yang sudah di atur oleh pelaksana ritual atau keluwarga yang melakukan hajatan ini harus sesuwai dengan petunjuk dari syech badabus.

Pada permulaan pertunjukan, syech mengambil tempat duduk di maqam.kemudian syech membuka lefo atau kitab tarekat dan di tepatkan di atas bantal yang telah disiapkan. Sesudah membuka kitap syech kemudian membakar dupa lalu sejenak bertafakur untuk kemudian membaca secara berturut-turut surat Al-Fatiha kepada Rasulullah S.A.W serta para wali-wali tertentu seperti para syech Abdulkadir Jaelan, Ahmadul Kabi Rurerfai, Ahmad Ibnu Alwan, Zunaed Al Bugdadi, Abdullah Ibnu Abubakar Al Idrus, serta para masyaih-masyaih dan guru-guru ahli

(31)

thareqat yang lain. Kemudian secara berurutan membacakan suratul Iklas, Al-falaq, An-Nas , Al- Fatiha, Al- Baqarah dan ayat kursi sesuwai dengan tata cara atau petunjuk kemudian panji-panji kebesaran ritual yang terdiri dari warna merah dan putih di asapi dan diikuti kemudian dengan mengasapi taji besi dengan doa-doa khusus pengasapan dengan dupa ini juga menurut pengakuan dari syech badabus untuk mensterilkan unjung besi runcing yang sudah di asah dari keratin yang dapat mendatangkan infeksi bagi peserta ritual. (di sterilkan dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an).

Dao-doa yang dilafalkan pada saat mengasapi panji-panji dan badabus tidak di perdengarkan dan ini merupakan rahasia dari suatu doa. Doa yang di bacakan bukan merupakan mantra seperti halnya di Aceh maupun Banten. Menurut pengakuan syech badabus, bahwa ritual badabus di Benten dan di Aceh sangat berbeda. Aceh mengandung hal-hal yang mistis seperti Banten sedangkan Tidore menghilangkan unsur mistis. Pengakuan ini juga pernah di sampaikan dalam pementasan debus di Jakarta dimana dengan penuh keyakinana di nyatakan oleh Masmin Faruk bahwa debus kami tidak mengunakan mantra seperti Aceh dan Banten. (Wawancara. Yusup Muhammad Saleh, 23 April 2013)

Pada saat taji besi di asapi oleh Syech, senjata ini di gerakan tiga kali di depan Zikir. Kemudian debus di letakan di atas bantal, sesudah itu syech memegang rebana seraya melantungkan zikir/rasidahan dengan tabuhan rebana di ikuti oleh seluruh jamaah atau peserta ritual.

Ketika memainkan badabus (taji besi), para pelaku mengambil dua taji besi yang ada di hadapan syech yang apit oleh dua panji. Sebelum mengambil taji besi, tafakur sejenak kemudian taji besi di angkat dan di panggul di bahu kanan lalu kiri

(32)

seterusnya pelaku mulai memainkan dengan menggoyang-goyang taji besi lalu dengan penuh tenaga di tikam kedada berulang-ulang.

Tikaman demi tikaman ini terjadi berulang-ulang, sehabis peserta yang satu di lanjutkan dengan lainnya atau secara serempat dua atau tiga orang melakukan aksi dengan penuh sadar tanpa kesurupan. Aksi-aksi pertunjukan ini seakan tanpa rasa lelah dan enak di tonton. Dalam aksi-aksinya sering ada beberapa peserta yang sedikit mengeluarkan darah tetapi ini sangat sedikit dan tidak membahayakan pelaku ritual karena besi yang menancap ke dada tidak dalam.

Adanya darah yang keluar di antara para peserta di saat pertunjukan bagi kita yang kurang memahaminya mungkin ini di benak kita sangat membahayakan diri peserta, akan tetapi sesungguhnya tidak demikian karena pada kulit yang tertembus tidak mencapai satu inchi dan akan segera hilang bersamaan dengan berakhirnya ritual. Bekas-bekas hantaman badabus di bagian dada peserta akan terlihat menyembul untuk beberapa kasus, tetapi hal ini ketika berjalan beberapa waktu, kulit akan pulih seperti sedia kala. Bukan halangan bagi setiap peserta yang mengalami kasus adanya bekas hantaman taji besi di dada untuk kembali melakukan aksi-aksinya setiap kali ada hajatan kemudian taji besi atau Badabus dipertunjukan. Mereka dengan penuh semangat kembali akan beraksi seakan tanpa memikirkan bekas hantaman taji besi sebelumnya. Gambar 10. Peserta taji besi memulai aksi dengan mengangkat dua badabus (taji besi)

Dalam pengamatan yang dilakukan terhadap pelaksanaan ritual taji besi, Nampak nyata bahwa dalam aksi-aksinya, peserta terlihat sadar tidak seperti orang

(33)

kesurupan. Zikir dan ratib rebana yang mengiringi jalannya ritual menjadi penyemangat para peserta untuk melakukan aksi-aksinya dengan berbagai macam gaya yang eksentrik. Ayunan taji besi yang penuh tenaga di arahkan ke dada seakan membentur tembok tebal dan kemudian terpukul kembali dan seterusnya di ulangi berkali-kali. Menurut mereka aksi-aksi ini sungguh mengasyikan, seakan tidak berbeda di bawah bayang-bayang yang membahayakan nyawa para peserta.Gambar 11. Para peserta hendak berdiri untuk memulai aksinya.

Banyaknya peserta yang tampil dalam pertunjukan, tergantung dari luasnya ruangan. Semakin luas ruangan maka yang tampil semakin banyak. Aksi-aksi atau gerakan yang dilakukan oleh setiap peserta terjadi secara bervariasi. Ada yang tidak terlalu banyak meliukan badan untuk menggerakkan tangan untuk melahirkan tenaga yang kuat tetapi ada yang dengan penuh semangat melenggang dan meliukan badan dan tidak sekedar untuk memperoleh kekuatan penuh guna mengayunkan badabus tetapi juga untuk melahirkan aksi-aksi yang menapjukan.

Perlu saya jelaskan juga di sini bahwa gerakan permulaan tidak selamanya di mulai dari duduk tatapi langsung berdiri sambil memegang badabus kemudian bertafakur sejenak lalu mulai menggerakan kedua taji besi untuk memulai aksi menikam dada secara berulang-ulang dengan tetap di bawa iringan rabana dan zikir yang bersahut-sahutan. Para peserta yang memainkan badabus setiap kali dilakukan yang dapat dirasakan hanyalah rasa gatal setiap kali besi menancap di dada. Semakin dilakukan berulang-ulang rasa gatal itu kian bertambah dan seakan semakin memacu semangat peserta untuk terus mengayunkan badabus tanpa henti.

(34)

Pada waktu peserta memainkan badabus, iringan zikir bersahut-sahutan mengiringi jalannya pertunjukan. Alunan zikir pengantar yang dibacakan yakni; Lailaha Illallah-Lailaha Illalla- Daim-Lailaha Illallah Yuhyil Qalbi-Bidzikirulah. Kiasanya : Tiada tuhan selain allah-tiada tuhan selain allah yang bersembunyi, tiada tuhan selain allah yang hidup di hati kami hanya dengan menyebut namamu ya allah. Setelah lantunan zikir ini selesai syech membacakan syair-syair yang mengandung nasihat seperti :

Hukumun adzimun fiddunya sarafun wagatuha,…Al-mautu harakun wal-kabaru muadzbun.

Kiasannya : Apalah arti bersenag-senang di atas dunia ini padahal maut akan menjemput kita dan mengantarkan kita ke alam kubur dan di sana pasti ada adzab. Gambar 12. Para peserta mulai mengankat badabus (taji besi) dan di arahkan ke dada . Langka ini merupakan persiapan untuk berdiri dan memulai aksinya

Lantunan zikir debuspun demikian sesuai peminat. Setelah selesai berzikir dan sebagainya, syech dan para jamaah berdiri dan syech bermunajjah kepada auliya yang bersangkutan sesuai dengan niat dan hajatan. Selesai bermunajjah syech mengucapkan kalimat dzikir di sertai dengan lantunan rabana yang di sebut mengantar syech karena pada awal upacara menghadirkan roh para syech, maka pada akhir kegiatan mengantarkan kembali. Kemudian syech membacakan ayat Qur’an untuk mendapatkan dari sang Khalid. Contoh : surat Al-khafi ayat 28 dan ayat 107 s/d ayat 110. Selesai syech membacakan ayat-ayat pilihan tersebut syech dan para jamaah duduk kembali kemudian syech membacakan surat Al-Fatiha kepada

(35)

Rasullullah S.A.W, kepada para waliyullah dan guru-guru. Setelah itu baru sang syech membacakan dan terutama niat dan hajatan kemudian dilanjutkan dengan doa ungkapan syukur dan terima kasih. Selesai maka syech dan para jamaah saling bersalaman dengan ucapan “ Sallallah alaa Muhammad, Sallallah alaihi Wasllam “ di akhiri dengan “Wa alaa Alihi Wa-ashabihi Saa’datiddunnya Wamulikil uhra alfattihah”.

Kiasannya : Kesejaterahaan dan keselamatan atas diri Muhammad bersama para keluarga dan sahabatnya sesungguhnya dialah raja di dunia dan dia pula yang raja di hari kemudian. Seraya secara ramai-ramai membacakan Surat Al-Fatiha maka usailah sudah acara tahlilan dengan memakai rabana dan debus.

Di lihat dari prosesi awal hingga akhir pertunjukan, untuk kasus debus Tidore terlihat cukup sederhana dan tidak memiliki instrument yang banyak untuk pelaksanaan ritual. Terlihat sederhana instrumennya, tetapi dibawah lantunan rabana dan bacaan zikir seakan ritual ini terlihat sebagai pertunjukan mega. Aksi-aksi para peserta yang penuh tenaga sesungguhnyalah yang menyulap kondisi kesederhanaan menjadi sesuatu yang mega dalam pertunjukan. Rasa takjub dari setiap orang yang menonton telah menjadikan pertunjukan ini dibawah instrumen yang cukup sederhana menjadi pertunjukan akbar.

Para peserta sesudah akhir pertunjukan punya kebanggaan tersendiri. Bahkan sebagian membuat pengakuan bahwa ritual seakan mengembalikan kestabilan atau mengembalikan kekuatan dari tenaga yang terkuras akibat aktivitas keseharian yang dilakukan. Bagi setiap orang yang melakukan ritual ini mereka sangat bangga karena

(36)

bias tampil, apalagi jika aksi-aksi yang dilakukan terbilang berani dan penuh dengan aksi-aksi yang eksenrtik, ini bagi mereka akan membangun rasa percaya diri yang tinggi.

Pada akhir pertunjukan para peserta yang meneguk sarbati mampu mengembalikan stamina atau menstabilkan kembali tenaga yang terkuras selama pertujukan. Minuman akan dinikmati oleh seluruh peserta dengan kesungguhan dan penuh harapan untuk memulihkan tenaga pasca pertunjukan.

4.4.10 Pelaku dan kelompok Badabus (taji besi). a) Pelaku Badabus (taji besi)

Seni pertunjukan Badabus (taji besi) di pimpin oleh seorang guru mursid atau syech sebagai penaggaung jawap. Untuk permainan Badabus (taji besi) adalah para jamaah/orang islam yang sudah akil balik atau bersunat jadi para pelaku taji besi bagi masyarakat Tidore patokan utamanya adalah orang sudah akil balik.

Syech atau guru mursid sebagai pemimpin utama Badabus (taji besi) merupakan tokoh yang memeliki kemampuan dalam bidang ilmu-ilmu agama terutama tingkat penguasaan ilmu Thariqat yang sempurna. Tokoh-tokoh yang seperti dalam masyarakat Tidore sengat di segani karna memiliki kewibawaan yang luar biyasa sejak zaman dahulu para mursid selalu mendapatkan tempat istimewa di dalam masyarakat.

Para syech Badabus (taji besi) dalam penilaian pengikutnya merupakan seseorang yang menguasai dengan sempurna ilmu thariqat. Sufisme yang

(37)

berkembang di Tidore cukup popular dalam tataran sufisme/sinkristesme. Sufisme/sik ristisme ini merupakan fenomena yang banyak kita temui di kalangan pengikut tharikat tertentu.

Syech atau guru mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam tharekat. Ia tidak saja merupakan pemimpin seorang pemimpin yang mengawasi murid-murinya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus ke dalam ma’siat, berbuat dosa besar atau dosa kecil, yang segera harus di tegurnya, tetapi ia merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi sekali dalam tharekat itu ia merupakn perantara ibadat anatara mururi dan tuhan oleh karna itu jambatan ini tidaklah dapat di pangkuh oleh sembarang orang, meskipun ia mempunyai pengetahuan tentang suatu tharekat, tetapi yang penting adalah ia harus mempunyai kebersiahan rohani dan kehidupan batin yang murni. Syech yang berperan penting dan selaku jabatan dalam organisasi tharekat dan ritual Badabus secara personal merukan jabatan yang penuh kharismatik dalam konteks ritual.

Makna Syech ialah orang sudah mencapai maqam rijalul kamal, seorang yang sudah sempurna seluknya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut Qur’an, sunah, dan ijama,dan yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pelajaranya dari seorang musrid, yang sudah sampai kepada maqam yang tinggi itu, dari tinggkat-ke tinggkat hingga kepada nabi kita Muhamad SAW dan kepada Allah SWT dengan melakukan kesungguhan, ikatan-ikatan janji dan wasiat, dan memperoleh ijin dan ijazah, untuk menyampaikan ajaran-ajaran seluk itu pada orang lain (Wawancara M.Saleh Yasin,25 April 2013)

b) Kelompok Ritual Badabus (taji besi)

Sejarah pertumbuhan Badabus (taji besi) di tidore pada permulaa n terdiri atas empat kelompok besar pelaku Badabus (taji besi). Ke empat kelompok taji besi itu adalah Ikapita, Doyodo, Jawa turu, dan Fabanyo. Thareqat yang di anut oleh ke empat kelopok taji besi awal ini yakni: Doyado dan Kapita menganut tarekat,

(38)

Nasabadiah, Jawanuru, dan Fabanyo menganut Tharekat rifa’iyah. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Badabus (taji besi) melebur ke berbagai marga dan saa’at inilah thareqat taji besi menjadai variatif termaksuk yang dominaan tharekat lokal yang merupakan sufisme-sinkristisme

Keempat kelompok Badabus (taji besi) yang terbentuk pertama kali ini memeliki panji sendiri-sendiri akan tetapi karna taji besi telah melebur ke dalam rakyat Tidore, kelompok - kelompok Badabus (taji besi) tidak memilihara lagi panji-panji kelompok Badabus (taji besi) masing-masing.

Kelompok-kelompok Badabus (taji besi) yang terbentuk pertam kali dalam ritual tidak hanya Badabus (taji besi) yang di pakai untuk menusuk-nusuk bagian tubuhnya akan tetapi juga benda lainya seperti batu yang di pakai untuk memukul-mukul, pedang (peda) untuk mengiris-iris lida atau memotong-motong angota tubuh, belati untuk menikam badan dan api untuk injak dalam ritual. Jenis benda-benda ritual ini lambat laun hilang dan di tinggal hanyalah Badabus (taji besi)

Badabus (taji besi) yang telah merakyat memungkinkan hilangnya kelompok-kelompok Badabus (taji besi). Hampir di setiap hajatan pementasan Badabus (taji besi) seiring di lakukan tampa lagi di bawa kendali kelompok. Kelompok-kelompok Badabus (taji besi) dapat di katakana hilang. Panji-panji kelompok yang pada tahap awal seiring ada sudah tidak tampak lagi di hampir seluruh pertunjukan Badabus (taji besi). Panji yang ada hanyalah lambang-lambang kesultan dan lambang umum yang di gunakan dalam pementasan Badabus (taji besi).

(39)

4.5 Makna, Tujuan ,Perangkat,dan Pelaku dalam Rituwal Badabus (taji besi) 4.5.1 Makna Badabus (taji besi)

Taji besi atau lajim di sebut Badabus berasal dari bahasa arap yaitu sepotong besi tajam yang berukuran panjang minimal 30 cm dengan lingkaran inci di. Konsep pengertian Badabus tidak mengalami perubahan makna dan konteksnya tetap sama dengan istila Taji besi yaitu nama salah satu benda tajam yang di gunakan dengan pertunjukan kekabalan tubuh. Benda tajam tersebut terbuat dari besi dan di gunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh karna itu, kata taji besi di sini di artikan juga sebagai debus.

Filosofi dari tradisi Badabus (taji besi) pada masyarakat tidore adalah kepasraan kepada sang pencipta Allah Swt. Menyebabkan mereka memeliki kekuatan untuk menghadapi bahaya seperti yang di lakukan dengan benda-benda tajam dan panas yang di gunakan dalam tradisi.

4.5.2 Tujuan Pelaksanaan Badabus (taji besi)

Di semua daerah yang ada di Indonesia dan pada sebagian besar waktu, seni pertunjukan adalah lebih dari pada hanyalah hiburan. Sebagai tambahan dalam menyediakan kenikmatan estetis, pembebasan emosional lewat respon yang tegas, dan bahkan satu alat untuk melengkapi perayaan komunal bagi peristiwa-peristiwa rituwal, seni pertunjuan juga berfungsi sebagai satu saluran komunikasi

Berpijak dari konsep di atas mengenai tujuan pelaksaan barbagai pegelaran di setiap daerah merupakan fakta universal. Berbagai petunjuk yang di selenggarakan

(40)

oleh suku-suku bangsa tak terkecuwali masyarakat Tidore yang juga memeliki persamaan dan kesamaan dalam tujuan.

Dalam pentas Badabus tujuan dari pelaksanaannya semata-mata untuk menambah serta meningkatkan kenyakinan akan ajaran-ajaran Islam yang di bawakan oleh para pendahulu terutama para Wali, sekaligus sebagai siar Islam. Membuktikan Islam adalah agama yang benar dan di ridhai Allah. Sehingga lewat sebuh atraksi besi yang tajam di tikam pada diri manusia yang beriman tidak termakan. Dan ini di praktekan sejak dahulu kala oleh para wali-wali dalam menyiarkan agama Islam, yang kemudian di Maluku Utara. Upacara Badabus (taji besi) di sesuwaikan dengan Najar/niat lewat amalan Thariqat. Tujuan Badabus (taji besi) ini jelas merupakan suatu respon komunal dalam rituwal ke agamaan.

Kembali pada sejarah tumbuhnya empat kerajaan di Maluku Utara yang kita kenal Tidore, Ternate, Bacan, dan Jailolo kempat kerajaan ini menjalankan empat pilar agama yakni Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat. Dengan pembagian tugas masing-masing maka kesultanan/kerajaan Tidore menegakan dan menyebar luaskan pendidikan ilmu Thariqat, namut secara harafiah ke empat Kesultanan ini menegakan empat pilar agama tersebut dan menyebarluaskan kepada semua warga masyarakat khusus yang beragama Islam.

Waktu pelaksanaan upacara di sesuwaikan dengan niat dari seseorang yang melakukan hajatan, ini dapat di laksankan kapan saja namun lazim di laksankan pada tahlilan hari kematian yakni hari ke 10, hari ke 40, hari ke 100, hari ke 300 dan hari ke 360. Selain dina kematian acara ini juga di laksankan pada memasuki rumah baru.

(41)

4.5.3 Perangkat Ritual Badabus (taji besi)

Dalam pelaksanaan Badabus (taji besi) benda-benda upacara yang di butukan meliputi;

1. Panji kebesaran para wali ahli Thariqat 2. Badabus (taji besi)

3. Tempat pembakaran dupa 4. Tempat Air pada mangkuk puti 5. Bantal dan levo (kitap amalan) 6. Minumanan sarbat (sarabati)

4.5.4 Fungsi Dari Setiap Perangkat Ritual

Fungsi dari setiap benda yang di gunakan ritual Badabus (taji besi) adalah masing-masing sebagai berikut;

1.) Panji-panji kebesaran adalah salah satu persyaratan pelengkap upacara. Panji-panji ini merupakan lambang kebesaran keagamaan sekaligus lambang kelompok Badabus (taji besi) tertentu.

2.) Badabus (taji besi) sebagai pelengkap rituwal merupakan sejanta tarian yang di gunakan oleh pelaku rituwal untuk di tusu-tusuk ke dada pada saat ritual berlangsung.

3.) Tempat pembakatan dupa sebagai alat pelengkap memberikan pengharuman dalam ruangan acara. Dupa ini dalam konsep keyakinan

(42)

masyrakat setempat sebagai penghantar tahlilan untuk menghasilkan kekuatan terutama kekabalan terhadap senjata tajam Badabus (taji besi) 4.) Air pada mangkuk puti sebagai pelengkap api : makna simbolis dari panas

dan dingin api lawanya harus air. Air melambangakan kekuatan dan kemurkaan dan akan di netralisir oleh air sebgai pelambang kesucian dan kebersihan jiwa.

5.) Bantal dan lefo (kitap amal) membaca riwayat para auliya dan silsilahnya. Merupakan pegangan utama yang berisi doa

6.) Minuman sarbat no 1 s/d 7 semua isi sebagai syarat dalam pelaksanaan acara tahlilan dengan mempergunakan rebana dengan taji besi

4.5.5 Musik pengiring

Selama pertunjukan, isntrumen pengiring yang di gunakan adalah beberapa rabana besar dan kecil. Rebana ini sebagai intrumen pengiring zikir yang di sesuaikan dengan irama atau lagu.

Dengan iringan musik berirama dari rebana ini, lantunan zikir bersahut-sahutan beriiringi para pemain Badabus (taji besi). Irama rebana ini akan semakin gencar di tabuh apabila para pemain Badabus (taji besi) mulai beraksi lantunan zikir yang di iringi dengan music rebana menjadi tren dalam setiap pemain Badabus (taji besi).

(43)

4.6. Perkembangan dan keyakinan Ritual Badabus

Ritual Badabus di Tidore mulai menyeluruh di laksanakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Ritual Badabus yang pada mulanya hanya di laksanakan dalam kelompok-kelompok sesuwai tarekat dan juga di kalangangan prajurit-prajurit kesultanan, pada ahinya secara bebas di laksanakan tampa melihat waktu dan kelompok tharekat tertentu.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebebasan menjalankan berbagai ritual keagamaan yang di berikan seluas-luasnya sejauh tidak menggangu eksistensi pemerintahan, telah mendorong lahinya pelaksanaan ritual Badabus secara masal di kalangan masyarakat Tidore dengan membongkar sekat-sekat ritual yang terbangun secara kelompok.

Kondisi pelaksanaan ritual Badabus di Tidore sepanjang kekuasaan pemerintah Orde baru dan dan kemudian era reformasi di lakukan hampir setiap hajatan dan tampa melalui sarat-sarat yang khusus. Setiap kali hendak di lakukan cukup meminta restu dan kehadiran dari sala seorang syech, kemudian ritual ini biasa dilakukan.

Jika pada masa VOC ritual ini dilakukan dalam kelompok-kelompok tharekat dan masing-masing kelompok memeliki syech tersendiri maka di era Orde Baru dan Reformasi, syech ini sangat banyak dan tidak berdasarkan atas tharekat tertentu.

Pelaksanaan ritual Badabus pada masa Orde Baru hingga Reformasi menurut penyampaian para informan, dilaksanakan secara merata di setiap desa atau

(44)

kelurahan. Para syech sudah tidak lagi menonjolkan aspek tharekatnya, sehingga dalam pelaksanaan kita tidak lagi melihat adanya cirri yang menonjol dari ajaran tharekat tertentu.

Para pengikut ritual lebih banyak di dominasi oleh generasi muda, dengan terlebih dahulu di dahului oleh kelompok tua. Para pemuda ini sangat bersemangat dalam melaksanakan ritual, dan mereka biyasanya selalu mengharapkan agar setipkali ada acara syukuran harus di pentaskan ritual Badabus.

Dalam penulusuran pelaksanaan ritual Badabus. Di hampir setiap kelurahan di ketahui bahwa seluruh laki-laki baik generasi tua maupun muda menjadi peserta ritual asalkan ada syech yang memandu jalanya Badabus. Selain itu yang cukup menonjol dalam pelaksanaan ritual Badabus di era Orde Baru dan Reformasi, waktu pelaksanaanya tidak lagi pada kondisi yang spesifik akan tetapi setiap ada sukuran dan niat dari keluwarga yang hendak melakukan ritual Badabus dapat di laksanakan. Setiap orang boleh melaksankan ritual ini asalkan punya niat.

Gambar

Tabel 2 Data Penduduk Perkecamatan Kota Tidore Kepulauan

Referensi

Dokumen terkait

I-2 : Citra CP Prima yang sedang menurun memang membutuhkan proses atau waktu yang tidak singkat untuk mengembalikannya seperti sebelumnya tetapi saya sangat yakin bahwa

Pentingnya ketentuan Majelis Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan sebagai acuan penyelenggaraan pendidikan profesi dokter hewan (PPDH) dalam mencapai Standar

Di samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai pelestarian lingkungan dalam sastra lisan pantun dan pepatah memengaruhi peneliti untuk lebih kritis dalam menganalisis

a. Peredaran gelap narkoba di wilayah Kabupaten Boyoali setiap tahunya mengalami peningkatan, Adapun penyebab berkembangnya peredaran gelap Narkoba yang ada di wilayah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang sejak tahun 1957 dan selanjutnya secara formal dituangkan dalam Keputusan DPRD

Satu hal lagi pemikiran dari Lenin yang disimpulkan oleh Arif dan Prasetyo yaitu adanya Revolusi Permanen. Ketika kita berbicara mengenai revolusi sosialis, Lenin juga

Bila suara anda bergetar atau anda berbicara sangat cepat, jelaslah bahwa anda merasa

Jadi dalam penelitian ini fenomena yang akan diteliti adalah mengenai keadaan penduduk yang ada di Kabupaten Lampung Barat berupa dekripsi, jumlah pasangan usia