• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Menurut Ali Undangan Siregar dalam tugas akhir yang berjudul “Perancangan Alternatif Penanganan Kerusakan di Daerah Berbukit Pada Ruas Jalan Cukul - Cisewu - Sukarame, Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat”, tahun 2004. Ruas jalan Cukul – Cisewu – Sukarame – Ranca Buaya sepanjang 33 Km, terbuat dari konstruksi Penetrasi Macadam, kondisinya rusak akibat tidak adanya drainase permukaan jalan. Ukuran dari keberhasilan Perencanaan dan Pelaksanaan jalan berkaitan erat dengan, ketahanan dari struktur perkerasan dan tingkat pelayanan jalan yang akan menghasilkan suatu keamanan dan kenyamanan bagi pemakai jalan. Masalah penting yang seringkali terabaikan atau kurang mendapat perhatian, tetapi memberikan sumbangan terhadap nilai keberhasilan perencanaan dan konstruksi jalan ialah drainase.

Menurut Hurri Agustianri dalam tugas akhir yang berjudul “Perencanaan Tebal Lapis Tambah (Overlay) Berdasarkan Data Falling Weight Deflectometer (FWD) Pada Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Di Kabupaten Bengkalis Riau” tahun 2004. Dari sekian banyak ruas jalan yang ada di Kabupaten Bengkalis, salah satunya adalah ruas arteri primer Jalan Harapan dimana pada ruas jalan ini merupakan jalur lintas tengah Sumatra dan keberadaannya sangat penting, karena pada jalur ini merupakan pusat Industri, Perdagangan, Perusahaan dan bongkar muat Pelabuhan. Dari hasil pengujian dilapangan dengan menggunakan alat Falling Weight Deflectometer (FWD) didapat penurunan kemampuan pelayanan struktur jalan yang melebihi dari yang diperhitungkan. Untuk merencanakan perbaikan atau peningkatan terhadap struktur jalan tersebut yang sebelumnya adalah perkerasan lentur, dilakukan penambahan lapisan

tambah/ overlay dengan menggunakan data Falling Weight Deflectometer (FWD)

yang tebal lapis perkerasannya dihitung dengan menggunakan metode AASHTO

1993 dan dibandingkan dengan perhitungan dengan metode lendutan.                  

(2)

Menurut Immanuel Syam Naek Nababan dalam tugas akhir yang berjudul “Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang”, tahun 2008. Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang. Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang.

Tabel dibawah ini adalah menjelaskan perbedaan hasil penelitian penulis dengan hasil penelitian tugas akhir lainnya adalah sebagai berikut :

                 

(3)

Tabel 2.1. Perbedaan Hasil Penelitian Penulis dengan Hasil Penelitian Tugas Akhir Lainnya

Sumber : Hasil Analisa

No. Hurri Agustianri (2004) Ali Undangan Siregar (2004) Immanuel Syam Naek Nababan (2008) Nurwansyah (2013)

1. Judul Tugas Akhir Perencanaan Tebal Overlay berdasarkan data Falling Weight Deflectometer (FWD) menggunakan metoda AASHTO 1993 pada Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Sta 182 + 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

Perancangan Alternatif Penanganan Kerusakan Perkerasan Di Daerah Berbukit, Pada Ruas Jalan Cukul – Cisewu – Sukarame, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat

Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang

Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum - Rajamandala - Batas Kota Padalarang (Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat

2. Ruang Lingkup Perencanaan Tebal Overlay Berdasarkan data Falling Weight Deflectometer (FWD) menggunakan metoda

AASHTO 1993 pada Jalur Lintas Tengah Sumatra

Jalan Harapan Sta 182 + 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

Perbaikan Kerusakan Perkerasan dan Perbaikan Sistem Drainase Permukaan Jalan, dengan Mempertahanakan Kondisi Kemiringan yang ada.

Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada

Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang

Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Menggunakan Metode Pd. T-05-2005-B. Perencanaan Bangunan Pelengkap Jalan Berupa Saluran Samping dengan Berpedoman pada Pd. T-06-2006-B. Perencanaan Perlengkapan Jalan Berupa Marka Jalan yang Berpedoman pada Pd. T-12-2004-B dan Rambu Jalan yang

Berpedoman pada Peraturan No. 01/P/BNKT/1991 di Ruas Jalan Citarum – Rajamandala – Batas Kota Padalarang ( Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800 ) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

3. Manfaat Perancangan Meningkatkan Kinerja Perkerasan Jalan pada Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Sta 182 + 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

Penanganan Kerusakan Perkerasan Jalan di daerah Berbukit pada Ruas Jalan Cukul – Cisewu – Sukarame, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat

Meningkatkan Kinerja Perkerasan Jalan pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang

Meningkatkan Kinerja Perkerasan pada Ruas Jalan Citarum – Rajamandala – Batas Kota Padalarang ( Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800 ) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

                 

(4)

Tabel 2.1. Perbedaan Hasil Penelitian Penulis dengan Hasil Penelitian Tugas Akhir Lainnya

Sumber : Hasil Analisa

No. Hurri Agustianri (2004) Ali Undangan Siregar (2004) Immanuel Syam Naek Nababan (2008) Nurwansyah (2013)

4. Lokasi Penelitian Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Sta 182 + 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

Ruas Jalan Cukul – Cisewu – Sukarame,

Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang Ruas Jalan Citarum – Rajamandala – Batas Kota Padalarang ( Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800 ) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

5. Analisa Perancangan NSPM NSPM NSPM NSPM

6. Metodologi Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode

Benkelman Beam, Perancangan Tebal Lapis Tambah

dengan Metode AASHTO 1993

Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode Analisa Komponen 1987 dan Perancangan Design Drainase Permukaan Jalan

Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Metode 05-2005-B dan Program RDS 501 serta Membuat Gambar Detail Engineering Design (DED)

Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Menggunakan Metode Pd. T-05-2005-B. Perencanaan Bangunan Pelengkap Jalan Berupa Saluran Samping dengan Berpedoman pada Pd. T-06-2006-B. Perencanaan Perlengkapan Jalan Berupa Marka Jalan yang Berpedoman pada Pd. T-12-2004-B dan Rambu Jalan yang

Berpedoman pada Peraturan No. 01/P/BNKT/1991 7. Persamaan Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan

Lentur Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan Lentur Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan Lentur Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan Lentur 8. Perbedaan Melakukan Korelasi Nilai Lendutan FWD Menjadi

Lendutan Benkelman Beam, Perancangan Tebal

Lapis Tambah dengan menggunakan Benkelman Beam, Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan

Metode AASHTO 1993

Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode Analisa Komponen 1987 dan Perancangan Design Drainase Permukaan Jalan

Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Metode 05-2005-B dan Program RDS 501 serta Membuat Gambar Detail Engineering Design (DED)

Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Menggunakan Metode Pd. T-05-2005-B. Perencanaan Bangunan Pelengkap Jalan Berupa Saluran Samping dengan Berpedoman pada Pd. T-06-2006-B. Perencanaan Perlengkapan Jalan Berupa Marka Jalan yang Berpedoman pada Pd. T-12-2004-B dan Rambu Jalan yang

Berpedoman pada Peraturan No. 01/P/BNKT/1991                  

(5)

2.2Dasar Teori

2.2.1 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan Metode Pd.T-05-2005-B

Benkelman Beam adalah alat untuk mengukur lendutan balik dan lendutan

langsung perkerasan yang menggambarkan kekuatan struktur perkerasan jalan. Pengukuran lendutan pada permukaan perkerasan jalan dengan alat Benkelman Beam dengan cara pemberian beban roda yang diakibatkan oleh beban tertentu,

dimaksudkan sebagai pegangan dalam pengujian perkerasan jalan dengan mengukur gerakan vertikal pada permukaan lapis jalan.

Sumber : Pd. T-05-2005-B

Gambar 2.1. Alat Benkelman Beam

Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Benkelman Beam

diletakkan di antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan jenis dan beban sumbu standar, posisi ujung batang Benkelman Beam

seperti pada gambar 2.2.

Sumber : Pd.T-05-2005-B

Gambar 2.2. Posisi Benkelman Beam

Kriteria truk yang digunakan sebagai penyebab beban pada titik yang hendak diukur lendutannya adalah:

1. Berat kosong truk (5 ± 0,1 ton)

2. Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda                  

(6)

3. Beban masing-masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045 ton) atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama dengan sumbu standar 18.000 pon.

Adapun Prosedur perhitungan Metode Lendutan dengan menggunakan BB (Benkelman Beam) sesuai Pd.T-05-2005-B adalah :

1.) Menghitung repetisi beban lalu lintas (CESA)

a. Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan ( C )

Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan.

Tabel 2.2. Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur

L < 4,5 m 4,5 m ≤ L < 8,00 m 8.00 m ≤ L < 11,25 m 11,25 m ≤ L < 15,00 m 15,00 m ≤ L < 18,75 m 18,75 m ≤ L < 22,50 m 1 2 3 4 5 6 Sumber Pd T-05-2005-B                  

(7)

Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada lajur rencana ditentukan sesuai Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Sumber Pd T-05-2005-B

Ketarangan : *) Mobil penumpang **) Truk dan Bus

b. Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan ( E )

Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus 2.1 s/d 2.4

Angka ekivalen STRT = * + ... (2.1) Angka ekivalen STRT = * + ... (2.2) Angka ekivalen STRT = * + ... (2.3) Angka ekivalen STRT = * + ... (2.4)

c. Faktor umur rencana dan perkembangan lalu lintas faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas ditentukan menurut Rumus 2.5.



           r r r r N n n 21 1 1 1 1 2 1 1 ... (2.5)

Jumlah Lajur Kendaraan Ringan* Kendaraan berat**

1 arah 2 arah 1 arah 2 arah

1 1,00 1,00 1,00 1,00 2 0,60 0,50 0,70 0,50 3 0,40 0,40 0,50 0,48 4 - 0,30 0,45 5 - 0,25 0,43 6 - 0,20 0,40                  

(8)

Tabel 2.4 Faktor Hubungan Antara Umur Rencana dengan Perkembangan Lalu lintas (N) r (%) 2 4 5 6 8 10 n (Tahun) 1 1.01 1.02 1.03 1.03 1.04 1.05 2 2.04 2.08 2.10 2.12 2.16 2.21 3 3.09 3.18 3.23 3.28 3.38 3.48 4 4.16 4.33 4.42 4.51 4.69 4.87 5 5.26 5.52 5.66 5.81 6.10 6.41 6 6.37 6.77 6.97 7.18 7.63 8.10 7 7.51 8.06 8.35 8.65 9.28 9.96 8 8.67 9.40 9.79 10.19 11.06 12.01 9 9.85 10.79 11.30 11.84 12.99 14.26 10 11.06 12.25 12.89 13.58 15.07 16.73 11 12.29 13.76 14.56 15.42 17.31 19.46 12 13.55 15.33 16.32 17.38 19.74 22.45 13 14.83 16.96 18.16 19.45 22.36 25.75 14 16.13 18.66 20.09 21.65 25.18 29.37 15 17.47 20.42 22.12 23.97 28.24 33.36 20 24.54 30.37 33.89 37.89 47.59 60.14 25 32.35 42.48 48.92 56.51 76.03 103.26 30 40.97 57.21 68.1 81.43 117.81 172.72 Sumber: Pd T-05-2005-B                  

(9)

d. Akumulasi ekivalen beban sumbu standar (CESA)

Dalam menentukan akumulasi beban sumbu lalu lintas (CESA) selama umur rencana ditentukan dengan Rumus 2. 6.

  MP Trailer Traktor xExCxN mx CESA 365 ... (2.6) dengan pengertian :

CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar

m = jumlah masing-masing jenis kendaraan

365 = jumlah hari dalam satu tahun

E = ekivalen beban sumbu

C = koefisien distribusi kendaraan

N = faktor hubungan umur rencana yang sudah

disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas 2.) Lendutan dengan Benkelman Beam (BB)

Lendutan yang digunakan untuk perencanaan adalah lendutan balik. Nilai lendutan tersebut harus dikoreksi dengan, faktor muka air tanah (faktor musim) dan koreksi temperatur serta faktor koreksi beban uji (bila beban uji tidak tepat sebesar 8,16 ton). Besarnya lendutan balik adalah sesuai Rumus 2.7.

dB = 2 x (d3 – d1) x Ft x Ca x FKB-BB ……… (2.7) dengan pengertian :

dB = lendutan balik (mm)

d1 = lendutan pada saat beban tepat pada titik pengukuran

d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik pengukuran

Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 350C, sesuai Rumus 2.8 untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih kecil 10 cm atau Rumus 2.9 untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih besar atau sama dengan 10 cm atau menggunakan Tabel 2.5 atau pada Gambar 2.3 (Kurva A untuk HL < 10 cm dan Kurva B untuk HL > 10 cm).                  

(10)

= 4,184 x TL-0,4025, untuk HL< 10 cm ... (2.8) = 14,785 x TL-0,7573, untuk HL> 10 cm ... (2.9)

TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil pengukuran langsung dilapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara,yaitu:

TL = 1/3 (Tp + Tt + Tb) ………. (2.10)

Tp = temperatur permukaan lapis beraspal

Tt = temperatur tengah lapis beraspal

Tb = temperatur bawah lapis beraspal Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)

= 1,2 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim kemarau atau muka air tanah rendah

= 0,9 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim hujan atau muka air tanah tinggi

FKB-BB = faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB)

= 77,343 x (Beban Uji dalam ton)(-2,0715) ……… (2.11) Cara penyusunan lendutan balik pada SNI 03-2416-1991 (Metoda Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur dengan Alat Benkelman Beam) dan gambar alat Benkelman Beam. Grafik dan tabel faktor koreksi lendutan terhadap temperatur standar (Ft) dapat dilihat pada Gambar 2.3 , Tabel. 2.5 dan Tabel 2.6

Sumber : Pd T 05-2005

Gambar 2.3. Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur                  

(11)

Tabel 2.5 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft)

Sumber Pd T-05-2005-B

Tabel 2.6 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal Berdasarkan Data Temperatur Udara (Tu) dan

Temperatur Permukaan (Tp) Tu + Tp

(0C)

Temperatur lapis beraspal (0C) pada kedalaman

2,5 cm 5cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm 45 26,8 25,6 22,8 21,9 20,8 20,1 46 27,4 26,2 23,3 22,4 21,3 20,6 47 28,0 26,7 23,8 22,9 21,7 21,0 48 28,6 27,3 24,3 23,4 22,2 21,5 49 29,2 27,8 24,7 23,8 22,7 21,9 50 29,8 28,4 25,2 24,3 23,1 22,4 51 30,4 28,9 25,7 24,8 23,6 22,8 52 30,9 29,5 26,1 25,3 24,0 23,3 53 31,5 30,0 26,6 25,7 24,5 23,7 54 32,1 30,6 27,1 26,2 25,0 24,2 55 32,7 31,2 27,6 26,7 25,4 24,6 56 33,3 31,7 28,1 27,2 25,9 25,1 57 33,9 32,2 28,6 27,6 26,3 25,5 58 34,5 32,8 29,1 28,1 26,8 26,0                  

(12)

Tu + Tp (0C)

Temperatur lapis beraspal (0C) pada kedalaman

2,5 cm 5cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm 59 35,1 33,4 29,6 28,6 27,2 26,4 60 35,7 33,9 30,0 29,1 27,7 26,9 61 36,3 34,5 30,5 29,5 28,2 27,3 62 36,9 35,1 31,0 30,0 28,6 27,8 63 37,5 35,6 31,5 30,5 29,1 28,2 64 38,1 36,2 32,0 31,0 29,5 28,7 65 38,7 36,7 32,5 31,4 30,0 29,1 67 39,3 37,3 32,9 31,9 30,6 29,6 68 39,9 37,8 33,4 32,4 30,9 30,0 69 40,5 38,4 33,9 32,9 31,4 30,5 70 41,1 39,0 34,4 33,3 31,8 30,9 71 41,7 39,5 34,9 33,8 32,3 31,4 72 42,2 40,1 35,4 34,3 32,8 31,8 73 42,8 40,6 35,8 34,8 33,2 32,3 74 43,4 41,2 36,3 35,2 33,7 32,8 75 44,0 41,7 36,8 25,7 34,1 33,2 76 44,6 42,3 37,3 36,2 34,6 33,7 77 45,2 42,9 37,8 26,7 35,0 34,1 78 45,8 43,4 38,3 37,1 35,5 34,6 79 46,4 44,0 38,7 37,6 36,0 35,0 80 47,0 44,5 39,2 38,1 36,4 35,5 81 47,6 45,1 39,7 38,6 36,9 35,9 82 48,2 45,6 40,2 39,0 37,3 36,4 83 48,8 46,2 40,7 39,5 37,8 36,8 84 49,4 46,8 41,2 40,0 38,3 37,3 85 50,0 47,3 41,6 40,5 38,7 37,7

Sumber. Bina Marga Pd. T-05-2005-B.

3.) Keseragaman Lendutan

Perhitungan tebal lapis tambah dapat dilakukan pada setiap titik pengujian atau berdasarkan panjang segmen (seksi). Apabila berdasarkan panjang seksi maka cara menentukan panjang seksi jalan harus dipertimbangkan terhadap keseragaman lendutan. Keseragaman yang dipandang sangat baik mempunyai rentang faktor keseragaman antara 0 sampai dengan 10, antara 11 sampai dengan                  

(13)

20 keseragaman baik dan antara 21 sampai dengan 30 keseragaman cukup baik. Untuk menentukan faktor keseragaman lendutan adalah dengan menggunakan Rumus 15 sebagai berikut:

% 100 x d s FK R< FK ijin ……… (2.12) dengan pengertian : FK = faktor keseragaman

FK ijin = faktor keseragaman yang diijinkan = 0 % - 10%; keseragaman sangat baik = 11% - 20%; keseragaman baik = 21% - 30%; keseragaman cukup baik dR = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan

dR =

s s n n d 1 ………. (2.13)

s = deviasi standar = simpangan baku

=

 

1 2 1 1 2              

s s a a s n n d d n s s ……… (2.14) d = nilai lendutan balik (dB) atau lendutan langsung (d1) tiap titik

pemeriksaan pada suatu seksi jalan

ns = jumlah titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan 4.) Lendutan wakil (Dwakil)

Untuk menentukan besarnya lendutan yang mewakili suatu sub ruas/seksi jalan, digunakan rumus :

- Dwakil = dR + 2s (jalan arteri/Tol tingkat kepercayaan 98%)…. (2.15) - Dwakil = dR + 1,64s (jalan kolektor tingkat kepercayaan 98%) . (2.16) - Dwakil = dR + 1,28s (jalan lokal tingkat kepercayaan 98%) …. (2.17) dengan pengertian

Dwakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan                  

(14)

dR = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan sesuai rumus (2.13)

s = deviasi standar sesuai rumus (2.14) 5.) Lendutan ijin (Dijin)

Untuk menentukan besarnya lendutan yang ijin dengan alat Benkelman Beam

adalah dengan menggunakan rumus :

Dijin = 22,208 x CESA-0,2307 ... (2.18) 6.) Tebal lapis tambah (H0)

Untuk menentukan tebal lapis tambah dengan menggunakan rumus :

... (2.19) Keterangan :

Ho = tebal lapis tambah sebelum dikoreksi dengan temperatur rata – rata tahunan

Dsblov = lendutan balik sebelum lapis tambah ( = Dwaki ) dalam satuan mm

Dstlov = lendutan balik setelah lapis tambah ( lendutan balik izin ) dalam satuan mm

7.) Faktor koreksi lapis tambah (Fo)

Faktor koreksi lapis tambah akibat perbedaan temperatur lokasi jalan dengan temperatur standar dengan menggunakan rumus :

Fo = 0,5032 x ... (2.20)

Keterangan :

Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah

TPRT = temperatur perkerasan rata – rata tahunan untuk daerah atau kota tertentu                  

(15)

8.) Tebal lapis tambah terkoreksi (Ht)

Perhitungan tebal lapis terkoreksi ( Ht ) dengan mengalikan Ho dengan faktor koreksi lapis tambah Fo, dengan menggunakan rumus :

Ht = Ho x Fo... (2.21) 9.) Koreksi Tebal Lapis Tambah

Koreksi tebal lapis tambah jika jenis lapis tambah yang digunakan tidak lapis beton aspal dengan modulus resilient ( MR ) = 2000 Mpa dan stabilitas Marshall minimum 800 kg dengan menggunakan rumus :

FKTBL = 12,51 x MR-0,333 ... (2.22)                  

(16)

2.2.2 Perencanaan Sistem Drainase Jalan Berdasarkan Pd T-02-2006-B Sistem drainase adalah serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan ke badan air atau ternpat peresapan buatan. Bangunan sistem drainase dapat terdiri atas saluran penerima, saluran pembawa air berlebih, saluran pengumpul dan badan air penerima.

1. ) Umum

Langkah urnum perencanaan sistem drainase jalan :

a. Perencanaan dimulai dengan memplot rute jalan yang akan ditinjau di peta topografi yang akan menentukan batas-batas daerah layanan maupun data - data lain untuk mengenal/mengetahui daerah layanan, sehingga dapat diperkirakan kebutuhan penempatan bangunan drainase penunjang, menentukan penempatan awal bangunan seperti saluran samping jalan, fasilitas penahan air hujan dan bangunan pelengkap.

b. Perencanaan sistem drainase jalan harus memperhatikan pengaturan air yang ada di permukaan (drainase permukaan) maupun yang ada di bawah permukaan. Perencanaan-perencanaan tersebut harus mengikuti ketentuan teknis yang ada tanpa mengganggu stabilitas konstruksi jalan.

2.) Ketentuan Teknis Perencanaan Drainase Permukaan

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada perencanaan drainase permukaan sebagai berikut.

1. Plot rute jalan dipeta topografi (L)

a. Plot rute jalan rencana pada topografi diperlukan untuk mengetahui gambaran topografi atau daerah kondisi sepanjang trase jalan yang akan dilalui.

b. Kondisi terrain pada daerah layanan diperlukan untuk menentukan bentuk dan kemiringan yang akan mempengaruhi pola aliran.

2. Inventarisasi data bangunan drainase (gorong gorong, jembatan, dll.). Eksisting

meliputi lokasi, dimensi, arah aliran pembuangan dan kondisi, Data ini digunakan agar perencanaan sistem drainase yang telah ada.

                 

(17)

3.) Panjang Segmen Saluran (L)

Penentuan panjang segmen saluran (L) didasarkan pada :

a. Kemiringan rute jalan disarankan kemiringan saluran mendekati kemiringan rute jalan.

b. Adanya tempat buangan air seperti badan air (misalnya sungai, waduk, dll) c. Langkah coba-coba, sehingga dimensi saluran paling ekonomis.

4.) Luas Daerah Layanan (A)

a. Perhitungan luas daerah layanan didasarkan pada segmen jalan yang ditinjau b. Luas daerah layanan (A) untuk saluran samping jalan perlu diketahui agar dapat diperkirakan daya tampungnya terhadap curah hujan atau untuk memperkirakan volume limpasan permukaan yang akan ditampung saluran samping jalan.

c. Luas daerah layanan terdiri atas luas setengah badan jalan (A1), luas bahu jalan (A2) dan luas daerah di sekitar (A3).

d. Batasan luas daerah layanan tergantung dari daerah sekitar dan topografi dan daerah sekelilingnya. Panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan terdiri atas setengah lebar badan jalan (I1), lebar bahu jalan (I2), dan daerah sekitar (I3) yang terbagi" atas daerah perkotaan yaitu ± 10,00 m dan daerah luar kota yang didasarkan pada topografi daerah tersebut.

e. Jika diperlukan, pada daerah perbukitan, direncanakan beberapa saluran untuk menampung limpasan dari daerah bukit dengan batas daerah layanan adalah puncak bukit tersebut tanpa merusak stabibitas lereng.

                 

(18)

Sehingga saluran tersebut hanya menampung air dari luas daerah layanan daerah sekitar (A3) Gambar denah pengaliran saluran samping jalan dan panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5

Sumber : Pd T-02-2006-B

Gambar 2.4. Daerah Pengaliran Saluran Samping Jalan

Keterangan Gambar:

l1 ditetapkan dari as jalan sampai bagian tepi perkerasan l2 ditetapkan dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan l3 tergantung daerah setempat:

- Perkotaan (daerah terbangun) ± 10 m

- Luar kota (rural area) tergantung topografi ± 100m

Gambar 2.5. Panjang Daerah Pengaliran                  

(19)

5.) Koefisien Pengaliran (C)

Koefisien pengaliran (C) dipengaruhi kondisi permukaan tanah (tata guna lahan) pada daerah layanan dan kemungkinan perubahan tata guna lahan. Angka ini akan mempengaruhi debit yang mengalir, sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran. Untuk itu perlu peta topografi dan melakukan survai lapangan agar corak topografi daerah proyek dapat lebih diperjelas. Diperlukan pula jenis sifat erosi dan tanah pada daerah sepanjang trase jalan rencana, antara lain tanah dengan permeabilitas tinggi (sifat lulus air) atau tanah dengan tingkat erosi permukaan. Secara visual akan nampak pada daerah yang menunjukkan alur-alur pada permukaan.

                 

(20)

6.) Faktor Limpasan (fk)

a. Merupakan faktor atau angka yang dikalikan dengan koefisien run off biasa

dengan tujuan agar kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang terlalu luas. Harga faktor limpasan (fk) disesuaikan dengan kondisi permukaan tanah (Tabel 2.7)

Tabel 2.7. Harga Koefisien Pengaliran (C) dan Faktor Limpasan (fk)

No. Kondisi Permukaan

Tanah Koefisien Pengaliran ( C ) Faktor Limpasan (fk) Bahan 1.

Jalan beton dan jalan

aspal 0,70 - 0,95

2.

Jalan kerikil dan jalan

tanah 0,40 - 0,70

3. Bahu jalan

- Tanah berbutir halus 0,40 - 0,65 - Tanah berbutir kasar 0,10 - 0,20 - Batuan masif keras 0,70 - 0,85 - Batuan masif lunak 0,60 - 0,75

TATA GUNA LAHAN

1. Daerah perkotaan 0,70 - 0,95 2

2. Daerah pinggir kota 0,60 - 0,70 1,5

3. Daerah industri 0,60 - 0,90 1,2

4. Permukiman padat 0,40 - 0,60 2

5.

Permukiman tidak

padat 0,40 - 0,60 1,5

6. Taman dan kebun 0,20 - 0,40 0,2

7. Persawahan 0,45 - 0,60 0,5

8. Perbukitan 0.70 - 0,80 0,4

9. Pegunungan 0,75 - 0,90 0,3

Sumber : Pd T-02-2006-B

Keterangan:

- Harga koefisien pengaliran (C) untuk daerah datar diambil C yang terkecil dan untuk daerah lereng diambil nilai (C) yang besar.

- Harga Faktor limpasan (fk) hanya digunakan untuk guna lahan disekitar saluran selain bagian jalan.

                 

(21)

b. Bila daerah pengaliran atau daerah layanan terdiri dari dari beberapa tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai C yang berbeda. Harga C rata – rata ditentukan dengan persamaan 2.23. berikut :

... ( 2.23 ) dengan :

C1, C2, C3 koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan. A1, A2, A3 luas daerah pengaliran (Km2) yang diperhitungkan sesuai dengan

kondisi permukaan (lihat Gambar 2.4).

fk Faktor limpasan sesuai tata guna lahan (Tabel 2.7) 7.) Waktu Konsentrasi (Tc)

a. Waktu terpanjang yang dibutuhkan untuk seluruh daerah layanan dalam menyalur aliran air secara simultan (run off) setelah melewati titik – titik

tertentu.

b. Waktu konsentrasi untuk saluran terbuka dihitung dengan persamaan 2.24 berikut. ... ( 2.24 ) ( ) ... ( 2.25 ) ... ( 2.26 ) dengan :

Tc = waktu konsentrasi (menit).

t1 = waktu untuk mencapai awal saluran dari titi terjauh (menit).

t2 = waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit). L0 = jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m).

L = panjang saluran (m).

nd = koefisien hambatan (Tabel 2.8).

is = kemiringan saluran memanjang (%)

V = kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik).                  

(22)

Tabel 2.8. Koefisien Hambatan (nd) Berdasarkan Kondisi Permukaan

No. Kondisi Lapis Permukaan nd

1 Lapisan semen dan aspal beton 0,01

2 Permukaan licin dan kedap air 0,02

3 Permukaan licin dan kokoh 0,10

4 Tanah dengan rumput tipis dan gundul dengan permukaan sedikit kasar 0,20

5 Padang rumput dan rerumputan 0,40

6 Hutan gundul 0,60

7 Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang

sampai rapat 0,80

Sumber: Bina Marga Pd. T-02-2006

Kurva basis

Lamanya intensitas hujan rencana dapat diturunkan dari kurva basis (lengkung intensitas standar) seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Kurva Basis 8.) Analisa Hidrologi

a. Data Curah Hujan

- Merupakan data curah hujan harian maksimum dalam setahun

dinyatakan dalam mm/hari. Data curah hujan ini diperoleh dari Badan Meteologi dan Geofisika (BMG) atau Dinas PSDA yaitu stasiun curah hujan yang terletak pada daerah layanan saluran samping jalan.                  

(23)

- Jika daerah layanan tidak memiliki data curah hujan, maka dapat digunakan data dari stasiun di luar daerah layanan yang dianggap masih dapat mewakili. Jumlah data curah hujan yang di perlukan minimal 10 tahun terakhir.

b. Periode Ulang

Karakteristik hujan menunjukan bahwa hujan yang besar tertentu mempunyai periode ulang tertentu. Periode ulang untuk pembangunan saluran drainase ditentukan 5 tahun, disesuaikan dengan peruntukannya.

c. Intensitas Curah Hujan

Adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi. Intensitas curah hujan (I) mempunyai satuan mm/jam, berarti tinggi air persatuan waktu, misalnya mm dalam kurun waktu menit, jam atau hari.

Formulasi perhitungan intensitas curah hujan sesuai SNI 03-2415-1991 dengan Metode Gumbel.

Perhitungan curah hujan rencana menurut Metode Gumbel mempunyai persamaan rumus sebagai berikut:

̅ ∑ ... (2.27)

Sx = √∑ ̅

... (2.28)

Dimana :

̅ = harga rata-rata sampel curah hujan (mm/hari)

Sx = simpangan baku n = jumlah data (buah)                  

(24)

9.) Debit Aliran Air (Q)

Q = C x I x A ... (2.29) dimana :

Q = debit aliran air (m3/detik)

C = koefisien pengaliran rata-rata dari C1, C2, C3

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

A = luas daerah layanan (km2) terdiri atas A1, A2, A3

10.) Saluran Terbuka

a. Perencanaan saluran terbuka secara hidrolika, jenis aliran yang terjadi adalah aliran terbuka (open chanel), yaitu pengaliran air dengan permukaan bebas. Perencanaan ini digunakan untuk perencanaan saluran samping jalan maupun gorong-gorong.

b. Bahan bangunan saluran ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air yang mengalir di saluran samping jalan tersebut (Tabel 2.9) Tabel 2.9. Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Jenis Material

Jenis Bahan Kecepatan Aliran Air yang diizinkan (m/detik)

Pasir halus Lempung kepasiran Lanau aluvial Kerikil halus Lempung kokoh Lempung padat Kerikil kasar Batu – batu besar

Pasangan batu Beton Beton bertulang 0,45 0,50 0,60 0,75 0,75 1,10 1,20 1,50 1,50 1,50 1,50

Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B

c. Kemiringan saluran ditentukan berdasarkan bahan yang digunakan.

Hubungan antara bahan yang digunakan dengan kemiringan saluran arah memanjang dapat dilihat pada Tabel 2.10 berikut.

                 

(25)

Tabel 2.10. Kemiringan Saluran (is) Berdasarkan Jenis Material

Jenis Material Kemiringan Saluran (is%)

Tanah asli Kerikil Pasangan batu 0-5 5-7,5 7,5

Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B

d. Pematah arus untuk mengurangi kecepatan aliran diperlukan untuk saluran yang panjang dan mempunyai kemiringan cukup besar (Gambar 2.7). Pemasangan jarak pematah arus (Ip) harus sesuai Tabel 3.11.

Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B

Gambar 2.7. Pematah Arus

Tabel 2.11. Hubungan Kemiringan Saluran (is) dan Jarak Pematah Arus (Ip)

is (%) 6 7 8 9 10

Ip (m) 16 10 8 7 6

catatan: Penampang minimum saluran 0,50m2

Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B

11.) Perhitungan Dimensi Saluran Samping ( Side Ditch )

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan saluran adalah jenis aliran, kapasitas saluran, luas keliling dan penampang basah saluran, kecepatan aliran dan bangunan pematah arus.

1.Jenis aliran

Tujuan perencanaan sistem drainase permukaan adalah untuk mempermudah operasi dan pemeliharaannya, maka jenis aliran yang terjadi sedapat mungkin harus direncanakan sebagai aliran bebas atau                  

(26)

aliran saluran terbuka, yaitu aliran air dengan permukaan bebas (free surface flow).

Anggapan-anggapan yang dipakai dalam perencanaan suatu sistem drainase dengan aliran saluran terbuka adalah : aliran yang terjadi merupakan aliran seragam (uniform flow), yaitu suatu kondisi aliran dengan ciri-ciri utama sebagai berikut :

a. Kedalaman, luas basah, kecepatan dan debit pada setiap penampang dibagian saluran yang lurus adalah tetap.

b. Garis energi, muka air dan dasar saluran adalah saling sejajar, berarti kimiringan saluran dianggap sejajar dengan kemiringan muka air dan kemiringan garis energi.

Akibat pengaruh gaya tarik bumi (gravitasi) terhadap aliran, maka dalam saluran terbuka dimungkinkan terjadinya beberapa jenis aliran, yaitu aliran sub kritis dan super kritis.

Batas aliran kritis dinyatakan dengan bilangan “Froude”, yaitu : F

√g.d ……… ( )

Jika : F = 1, terjadi aliran kritis, tidak dibutuhkan pematah arus F < 1, terjadi aliran sub kritis, tidak dibutuhkan pematah arus F > 1, terjadi aliran super kritis, butuh pematah arus

dengan :

V = kecepatan aliran rata-rata (m/detik) g = percepatan gravitasi (m/detik2) d = kedalaman hidraulik (m)

Aliran sub kritis, adalah aliran dengan kedalaman air diatas kedalaman kritis, aliran ini biasanya ditandai dengan kecepatan air yang lambat serta landai saluran yang kecil.

Aliran super kritis, adalah aliran dengan kedalaman air dibawah/kurang dari kedalaman kritis. Aliran super kritis ditandai dengan aliran yang sangat cepat serta kemiringan saluran yang curam. Aliran ini biasanya terjadi pada saluran di daerah pegunungan atau disaluran pada lokasi-lokasi yang mempunyai lereng alami yang curam.

                 

(27)

Perencanaan saluran dengan aliran super kritis harus sedapat mungkin dihindarkan, karena akan menyebabkan ketidak setabilan saluran dan biaya kontruksi yang mahal. Jika suatu saluran alirannya berubah dari sub kritis menjadi super kritis kemudian berubah lagi menjadi sub kritis, maka pada ruas saluran tersebut akan terjadi loncatan hidrolis. Kondisi perubahan aliran seperti itu biasanya terjadi di peredam energi, yang digunakan dengan maksud agar pengaruh erosi di saluran dapat dilokalisir.

12.) Kapasitas Saluran

Kapasitas saluran terbuka dapat dihitung dengan menggunakan “rumus Manning” sebagai berikut :

V = ... (2.31)

dan rumus kontinuitas :

Q = F.V ... (2.32) dengan :

V = kecepatan aliran rata-rata ( m/detik ) R = jari-jari hidrolis ( m ) = A/P

F = luas penampang basah ( m2 ) P = keliling penampang basah ( m ) i = kemiringan dasar saluran

Q = debit rencana saluran ( m3/detik )

n = koefisien kekasaran Manning (lihat Tabel 2.12)                  

(28)

Tabel 2.12. Koefisien Kekasaran (Manning)

Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B

SALURAN BUATAN

1 Saluran tanah, lurus teratur 0,017 0,020 0,023 0,025

2 Saluran tanah yang dibuat dengan excavator 0,023 0,028 0,030 0,040 3 Saluran pada dinding batuan, lurus teratur 0,020 0,030 0,033 0,035 4 Saluran pada dinding batuan, tidak lurus, tidak teratur 0,035 0,040 0,045 0,045 5 Saluran pada batuan yang diledakkan, ada tumbuh-tumbuhan 0,025 0,030 0,035 0,040 6 Dasar saluran dari tanah, sisi saluran berbatu 0,028 0,030 0,033 0,035 7 Saluran lengkung dengan kecepatan aliran rendah 0,020 0,025 0,028 0,030

SALURAN ALAM

8 Bersih, lurus, tidak berpasir dan tidak berlubang 0,025 0,028 0,030 0,033 9 Seperti no. 8 tapi ada timbunan atau kerikil 0,030 0,033 0,035 0,040 10 Melengkung, bersih, berlubang dan berdinding pasir 0,030 0,035 0,040 0,045 11 Seperti no. 10, dangkal, tidak teratur 0,040 0,045 0,050 0,055 12 Seperti no. 10, berbatu dan ada tumbuh-tumbuhan 0,035 0,040 0,045 0,050 13 Seperti no. 11, sebagian berbatu 0,045 0,050 0,055 0,060 14 Aliran pelan, banyak tumbuh-tumbuhan dan berlobang 0,050 0,060 0,070 0,080

15 Banyak tumbuh-tumbuhan 0,075 0,100 0,125 0,150

SALURAN BUATAN, BETON, ATAU BATU KALI

16 Saluran pasangan batu, tanpa penyelesaian 0,025 0,030 0,033 0,035 17 Seperti no. 16, tapi dengan penyelesaian 0,017 0,020 0,025 0,030

18 Saluran beton 0,014 0,016 0,019 0,021

19 Saluran beton halus dan rata 0,010 0,011 0,012 0,013

20 Saluran beton pracetak dengan acuan baja 0,013 0,014 0,014 0,015 21 Saluran beton pracetak dengan acuan kayu 0,015 0,016 0,016 0,018

Tipe saluran Baik

sekali Baik Sedang Jelek

No.                  

(29)

13.) Komponen Penampang Saluran

Tabel 2.13. Komponen penampang saluran

Komponen Jenis Penampang

Trapesium Segi empat

Dimensi

Lebar atas (b) b+2xz b

Tinggi muka air (h) H H

Faktor kemiringan (z) 1:1 → z h 1:1,5 → z 1,5h 1:2 → z 2h Penampang basah Luas (F) (b+z)xh bxH Keliling (P) B+2xH b+2xh Jari-jari hidrolis (R) √ Kecepatan (V) V = V = Debit (Q) F x V F x V Segitiga Lingkaran

Lebar atas (b) 2xz 2x (h-0,5D)tan

Tinggi muka air (h) H H

Faktor kemiringan (z) 1:1 → z h 1:1,5 → z 1,5h 1:2 → z 2h = Penampang basah Luas (F) Zxh (1- Keliling (P) 2xh Jari-jari hidrolis (R) √ (1- tan 〕/ Kecepatan (V) V = V =                  

(30)

Debit (Q) F x V F x V Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B

dengan pengertian:

b = lebar saluran (m)

h = kedalaman saluran yang tergenang air (m) r = jari-jari lingkaran (m)

R = jari-jari hidrolis

D = diameter saluran berbentuk lingkaran (m) n = angka kekasaran manning (Tabel 3.14) z = perbandingan kemiringan talud

θ = besar sudut dalam radial

Jika digunakan saluran samping berbentuk trapesium atau segitiga, untuk menekan biaya pembebasan tanah dan galian serta mempertimbangkan stabilitas tebing saluran , kemiringan tebing vertikal : horisontal = 1 : m. Nilai m seperti terlihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14. Kemiringan talud minimum saluran pembuang

Kedalaman galian, D ( meter ) Kemiringan minimum talud “m”

D 1 1 < D 2 D > 2 1,0 1,5 2,0 Sumber : Manual Hidraulika untuk Pekerjaan Jalan dan Jembatan No. 01-2/BM/2005, Ditjen Bina Marga                  

(31)

Ada beberapa bentuk saluran samping, antara lain: 1. Saluran bentuk trapesium

Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.8 . Saluran Bentuk Trapesium 1.Saluran bentuk segi empat

Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.9 . Saluran Bentuk Segi Empat

14.) Kecepatan Aliran

Perencanaan kecepatan aliran berdasarkan pertimbangan agar tidak terjadi sedimentasi dan erosi di permukaan saluran yang direncanakan. Faktor paling menentukan dalam perencanaan saluran yang tahan terhadap erosi adalah pemilihan kemiringan saluran samping arah memanjang dan bahan saluran. Tiap jenis bahan memiliki ketahanan terhadap erosi yang berbeda, sehingga kecepatan aliran maksimum dan kemiringan saluran yang diijinkan untuk tiap jenis bahan berbeda, seperti terlihat dalam Tabel 2.15 dan Tabel 2.16.                  

(32)

Tabel 2.15. Kecepatan aliran air yang diijinkan berdasarkan jenis bahan saluran

Jenis bahan Kecepatan aliran air yang

diizinkan (m/det) Pasir halus Lempung kepasiran Lanau alluvial Kerikil halus Lempung kokoh 0,45 0,50 0,60 0,75 0,75 Lempung padat Kerikil kasar Batu-batu besar Pasangan batu Beton Beton bertulang 1,10 1,20 1,50 1,50 1,50 1,50 Sumber : Manual Hidraulika untuk Pekerjaan Jalan dan Jembatan No. 01-2/BM/2005, Ditjen Bina Marga

Tabel 2.16. Hubungan kemiringan selokan samping jalan (i) dan jenis material

Jenis material Kemiringan selokan samping (i %) Tanah asli Kerikil Pasangan 0 – 5,0 5 – 7,5 7,5 Sumber : Manual Hidraulika untuk Pekerjaan Jalan dan Jembatan No. 01-2/BM/2005, Ditjen Bina Marga 15.) Kemiringan Bahu Jalan

Kemiringan melintang dan bahu jalan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1) Daerah jalan yang datar dan lurus

a. Kemiringan perkerasan dan bahu jalan mulai dari tengah perkerasan menurun / melandai ke arah saluran drainase jalan ( seperti pada Gambar 2.10).                  

(33)

b. Besarnya kemiringan bahu jalan lebih besar daripada kemiringan permukaan jalan.

c. Kemiringan melintang normal pada perkerasan jalan dapat dilihat pada Tabel 2.17

Bahu Perkerasan jalan Bahu

i %

Keterangan gambar:

im kemiringan melintang perkerasan jalan ib kemiringan bahu ( im+2%)

Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B

Gambar 2.10. Kemiringan Melintang Normal pada Daerah Datar dan Lurus

Tabel 2.17. Kemiringan melintang perkerasan dan bahu jalan

No Jenis lapisan perkerasan jalan

Kemiringan melintang

Im (%)

1 Aspal, Beton 2-3

2 Japat (jalan yang dipadatkan)

2-4

3 Kerikil 3-6

4 Tanah 4-6

Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B

2) Daerah jalan yang lurus pada tanjakan / turunan perlu dibuat suatu saluran inlet dengan sudut kemiringan ± 60°-75°. Untuk mentukan kemiringan perkerasan jalan menggunakan nilai-nilai dari Tabel 2.17 3) Pada daerah tikungan :

im%

Selokan

ib% im% ib%

                 

(34)

a. Harus mempertimbangkan kebutuhan kemiringan jalan menurut persyaratan alinemen horisontal jalan (menurut ketentuan yang berlaku).

b. Kemiringan perkerasan jalan harus dimulai dari sisi luar tikungan menurun/melandai ke sisi dalam tikungan.

c. Besarnya kemiringan daerah ini ditentukan oleh nilai maksimum kebutuhan kemiringan menurut keperluan drainase.

d. Besarnya kemiringan bahu jalan ditentukan dengan kaidah – kaidah seperti pada Gambar 2.11.

e. Kedalaman saluran ditepi luar jalan pada tikungan harus

memperhatikan kesesuaian rencana pengaliran sistem drainase saluran tersebut.

4) Pemeriksaan kemiringan lahan eksisting

Penentuan kemiringan lahan eksisting pada lokasi pembangunan saluran, gorong-gorong didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan dengan Persamaan 2.33.

i1 = ...(2.33) dengan pengertian

i1 = kemiringan lahan eksisting pada lokasi saluran elev1 = tinggi tanah di bagian tertinggi (m)

elev2 = tinggitanah di bagian terendah (m)

L = panjang saluran (m)

Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B                  

(35)

Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.12. Kemiringan lahan

Kemiringan talud pada penampang saluran trapesium tergantung dari besarnya debit (lihat Tabel 2.18)

Tabel 2.18. Kemiringan talud berdasarkan debit N o Debit air Q (m3/detik) Kemiringan Talud (1:m) 1 2 3 0.0 – 0.75 0.75 – 15 15 - 80 1 : 1 1 : 1.5 1 : 2 Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B

Tinggi jagaan (W) untuk saluran drainase jalan bentuk trapesium dan segi empat ditentukan berdasarkan Persamaan 2.34.

W =√ ... (2.34)

Dengan pengertian: W = tinggi jagaan (m)

H = kedalaman air yang tergenang dalam saluran (m)

Sta 1 L (m) Sta 2 elev2 (m) elev1(m) m i1 %                  

(36)

2.2.3. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapis di bawahnya.Konstruksi ini terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi menerima beban lalu lintas dan menyebarkan beban tersebut ke lapisan di bawahnya (Sukirman, 1999). 1.) Konstruksi Perkerasan Lentur

Menurut Silvia Sukirman (2010) dalam bukunya Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur 2010, fungsi utama perkerasan adalah untuk memikul beban lalu lintas secara aman dan nyaman selama umur rencana tidak terjadi kerusakan yang berarti. Adapun susunan lapisan perkerasan seperti pada Gambar berikut:

Sumber : Perkerasan Lentur Jalan Raya, Silvia Sukirman, 2010 Gambar 2.13. Susunan Lapis Perkerasan Lentur

                 

(37)

2.2.4 Pemasangan Sarana dan Pengaturan Lalu Lintas

Pemasangan sarana dan pengaturan lalu lintas sangat perlu dilakukan untuk sebagai pengendali lalu lintas yang diperlukan oleh pengguna jalan yang berfungsi sebagai penuntun, pengarah, pemberi peringatan atau larangan.

1.) Rambu Lalu Lintas

Rambu jalan adalah papan informasi yang menunjukkan arah dan jarak tertentu untuk suatu kota yang akan dituju pada ruas tertentu dan diletakkan pada lokasi bahu jalan atau pada persimpangan jalan yang mudah dibaca oleh pemakai jalan. Rambu lalu lintas merupakan salah satu bangunan perlengkapan jalan dalam bentuk tertentu yang memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan di antaranya, yang digunakan untuk member peringatan, larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan.

a. Jenis – Jenis Rambu  Rambu Peringatan

Rambu Peringatan adalah rambu yang memberikan petunjuk kepada pemakai jalan mengenai bahaya yang akan dihadapi serta memberitahukan sifat bahaya tersebut. Contoh rambu peringatan adalah:

Sumber : Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991

Gambar 2.14 Rambu Peringatan                  

(38)

 Rambu Larangan dan Perintah

Rambu Larangan adalah rambu yang menyatakan perbuatan yang dilarang oleh pengguna jalan berupa batasan atau larangan. Rambu larangan mempunyai dasar warna merah dan/ atau putih. Contoh Rambu larangan adalah

Sumber : Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991

Gambar 2.15 Rambu Larangan

Rambu perintah adalah rambu yang memberi perintah mengenai kewajiban yang harus diikuti oleh pengemudi. Rambu perintah mempunyai dasar warna biru dan gambar warna putih. Contoh Rambu perintah adalah :

Sumber : Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991

Gambar 2.16 Rambu Perintah                  

(39)

 Rambu Petunjuk

Rambu Petunjuk adalah rambu yang memberikan petunjuk kepada pemakai jalan mengenai arah, tempat dan informasi, yang meliputi rambu pendahuluan, rambu jurusan (arah), rambu penegasan, rambu petunjuk batas wilayah dan rambu lain yang memberikan keterangan serta fasilitas yang bermanfaat bagi pemakai jalan. Contoh Rambu petunjuk adalah :

Sumber: Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991

Gambar 2.17 Rambu Petunjuk 2.) Marka Jalan

Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas permukaan jalan berupa peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas. Ketentuan umum Marka jalan adalah:

a. Marka jalan yang melekat pada perkerasan jalan harus memiliki ketahanan permukaan yang memadai.

b. Penempatan marka jalan harus diperhitungkan untuk dapat meningkatkan keselamatan lalu lintas. Pengaturan dengan marka jalan harus diupayakan untuk mampu memberikan perlindungan pada pengguna jalan yang lebih lemah, seperti sepeda dan pejalan kaki.

c. Marka jalan yang dipasang harus memiliki keseragaman dan konsistensi yang mudah untuk ditafsirkan oleh pemakai jalan.

d. Pada jalan tanpa penerangan, marka jalan harus mampu memantulkan sinar lampu kendaraan sehingga terlihat jelas oleh pengemudi pada saat gelap.                  

(40)

e. Permukaan marka jalan tidak boleh licin dan tidak boleh menonjol lebih dari 6 milimeter diatas permukaan jalan.

3.) Ketentuan Teknis Marka Jalan a. Bahan marka jalan

1) Kualitas bahan marka jalan harus mengacu pada SNI No.06 - 4825 -1998 tentang spesifikasi cat marka jalan

2) Pembuatan marka jalan dapat menggunakan bahan- bahan sebagai berikut a) cat;

b) thermoplastik;

c) pemantul cahaya (reflectorization);

d) marka terpabrikasi (prefabricated marking);

e) resin yang diterapkan dalam keadaan dingin (cold applied resin based markings).

b. Warna marka

Seluruh jenis marka berwarna putih, kecuali untuk marka larangan parkir yang diharuskan mengikuti ketentuan sebagai berikut :

1) warna Kuning berupa garis utuh pada bingkai jalan yang menyatakan dilarang berhenti pada daerah tersebut.

2) marka membujur berwarna kuning berupa garis putus-putus pada bingkai jalan yang menyatakan dilarang parkir pada daerah tersebut. 3) marka berupa garis berbiku-biku berwarna kuning pada sisi jalur lalu

lintas yang menyatakan dilarang parkir pada jalan tersebut. 4.) Jenis - Jenis Marka Jalan

a. Marka Membujur

Marka yang sejajar dengan sumbu jalan a. Marka membujur garis utuh

Marka ini hanya berlaku untuk jalan dengan lebar perkerasan lebih dari 4.50 meter. Marka ini berupa garis utuh yang dipasang membujur pada bagian tepi perkerasan tanpa kerb, dan berfungsi sebagai batas lajur lalu lintas bagian tepi perkerasan, yang terdiri atas :

                 

(41)

- Marka garis tepi perkerasan jalan

 Panjang (L) minimum marka jalan ini 20,00 m

 Lebar garis utuh (W) pada marka jalan ini minimal 0,10 meter maksimal 0.15 meter sebagaimana tercantum dalam Gambar 3.17.

Sumber. Marka Jalan, Pd T-12-2004-B

Gambar 2.18. Marka Membujur Garis Tepi Perkerasan Jalan  Penempatan

Marka jalan ini ditempatkan pada perkerasan jalan dibagian tepi dalam maupun tepi luar perkerasan sebagaimana dalam Gambar 3.18.

Sumber. Marka Jalan, Pd T-12-2004-B

Gambar 2.19. Penempatan Marka Tepi Perkerasan - Marka Garis Larangan

Marka garis utuh membujur pada daerah tertentu atau tikungan dengan jarak pandang terbatas. Marka ini berfungsi sebagai tanda larangan bagi kendaraan untuk tidak melewati garis marka karena jarak pandang yang tebatas seperti ditikungan, lereng bukit atau pada bagian jalan sempit.  Panjang (L) minimum marka jalan ini 20,00 meter

 Lebar garis utuh (W) pada marka jalan ini minimal 0,10 meter maksimal 0.15 meter.

Penempatan marka ini pada sumbu perkerasan jalan setelah marka peringatan sebagaimana tercantum dalam Gambar 3.19.

                 

(42)

2.2.5 Analisis Harga Satuan, Ditjen Bina Marga 2010

Perkiraan biaya adalah estimasi besarnya biaya yang diperlukan untuk membangun suatu ruas jalan sesuai dengan hasil perencanaan teknik dengan ketentuan spesifikasi yang telah disusun. Dalam estimasi biaya, pada umumnya tidak termasuk biaya pengadaan / pembebasan lahan. Analisa Harga Satuan terdiri dari 3 kelompok yitu Harga Satuan Upah, Harga Satuan Bahan dan Harga Satuan Peralatan. Dalam membuat Analisa harga satuan setiap satuan pengukuran memerlukan asumsi metoda pelaksanaan pekerjaan atau cara kerja yang digunakan sehingga rumusan analisa harga satuan yang diperoleh mencerminkan harga aktual di lapangan.

Perhitungan harga satuan dalam penerapannya, harus disesuaikan dengan Spesifikasi Teknis yang digunakan, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, serta pertimbangan teknis (Engineering judgement) terhadap situasi dan kondisi lapangan setempat.

1.) Bahan

Harga satuan dasar bahan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu : 1. harga satuan dasar bahan baku, misal: batu, pasir, dan lain-lain

2. harga satuan dasar bahan olahan, misal: agregat kasar dan agregat halus. 3. harga satuan dasar bahan jadi, misal tiang pancang beton pracetak, geosintetik

dan lain lain.

Bahan baku biasanya diperhitungkan dari sumber bahan ( quarry ) tetapi dapat pula diterima di base camp/gudang setelah memperhitungkan ongkos bong-kar muat dan pengangkutannya.

Bahan olahan merupakan hasil produksi dari pabrik atau dibeli dari produsen diluar proyek.

Bahan jadi diperhitungkan diterima di base camp /Gudang atau dipabrik setelah memperhitungkan ongkos bongkar muat dan pengangkutann serta biaya pemasangan tergantung perjanjian.

                 

(43)

2.) Alat

Masukan yang diperlukan dalam perhitungan biaya alat yaitu biaya pemakaian peralatan per satuan waktu, antara lain :

a. Jenis Alat, adalah jenis peralatan yang dipergunakan seperti Wheel Loader, Backhoe-Excavator, concrete pan mixer (batching pant dan, truck mixer. b. Kapasitas Alat, adalah kapasitas peralatan yang dipergunakan, misalnya

concrete pan mixer (batching pant 9,96m3/jam (kapasitas produksi per jam), Wheel Loader 1,20 m3 (kapasitas bucket untuk tanah gembur, kondisi heaped).

c. Umur Ekonomis Alat, dihitung berdasarkan kondisi penggunaan dan pemeliharaan yang normal, dengan menggunakan standar dari pabrik pembuat.

d. Jam Kerja Alat Per Tahun, adalah jumlah jam kerja peralatan dalam 1 (satu) tahun.

e. Harga Pokok Alat, adalah harga peralatan yang dipakai dalam perhitungan biaya alat pada Analisa harga satuan pekerjaan.

f. Nilai Sisa Alat, tergantung pada kondisi pemakaian dan pemeliharaan selama waktu pengoperasian. Untuk perhitungan Analisa harga satuan ini maka nilai sisa alat dapat diambil rata-rata10% dari harga pokok alat, tergantung dari karakteristik (dari pabrik pembuat) dan kemudahan pemeliharaan alatnya. g. Tingkat Suku Bunga, merupakan tingkat suku bunga bank pinjaman

investasi yang berlaku pada waktu pembelian peralatan yang bersangkutan. Perencana teknis / Pengguna jasa menentukan nilai suku bunga ini dengan mengambil nilai rata-rata dari beberapa bank komersil terutama di wilayah tempat proyek berada.

h. Asuransi dan Pajak, besarnya nilai asuransi dan pajak kepemilikan peralatan ini umumnya diambil rata-rata per tahun sebesar 0,1% untuk asuransi dan 0,1% untuk pajak, atau dijumlahkan menjadi sebesar 0,2% dari harga pokok alat, atau 2% dari nilai sisa alat (apabila nilai sisa alat = 10% dari harga pokok alat).

i. Tenaga Mesin, merupakan kapasitas tenaga mesin penggerak dalam horsepower (HP).                  

(44)

j. Upah Tenaga, terdiri dari biaya upah operator/driver dan pembantu operator/driver dalam Rp./jam.

k. Harga Bahan Bakar dan Pelumas, yang dipakai dalam perhitungan biaya operasi peralatan adalah harga bahan bakar dan minyak pelumas serta minyak hidrolik setempat.

3.) Tenaga Kerja

Biaya tenaga kerja standar dapat dibayar dalam sistim hari orang standar atau jam orang standar. Besarnya sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan lokasi pekerjaan. Secara lebih rinci faktor tersebut dipengaruhi antara lain oleh:

- keahlian tenaga kerja - jumlah tenaga kerja - faktor kesulitan pekerjaan - ketersediaan peralatan - pengaruh lamanya kerja.

- pengaruh tingkat persaingan tenaga kerja.

4.) Daftar Kuantitas dan Harga atau Bill of Quantity

Bill of Quantity ( BOQ ) adalah daftar rincian pekerjaan yang disusun secara sistimatis menurut kelompok/bagian pekerjaan, disertai keterangan mengenai volume dan satuan tiap jenis pekerjaan, mata uang, harga satuan, hasil kali volume dengan harga satuan setiap jenis pekerjaan dan jumlah seluruh hasil pekerjaan sebagai total harga pekerjaan. Jumlah perkiraan Biaya Proyek dapat dibuat dengan mengalikan kuantitas satuan pekerjaan dengan harga satuan pekerjaan.                  

(45)

2.2.6 Pengujian Lendutan dengan Menggunakan Alat Benkelman Beam

Metode Benkelman Beam ini dikembangkan oleh AC Benkelman pada

awal 1950. Sesuai buku “Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam” bahwa cara tersebut digunakan untuk mendapatkan data lendutan akibat beban. Batang Benkelman yang digunakan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian dengan perbandingan 1:2 oleh sumbu O dengan panjang total batang adalah 366 ± 0,16 cm. Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut :

Sumber : Pd.T-05-2005-B

Gambar 2.20. Alat Benkelman Beam

Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Benkelman Beam

diletakkan di antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan jenis dan beban sumbu standar, posisi ujung batang Benkelman Beam

seperti pada gambar 3.6.

Sumber : Pd.T-05-2005-B

Gambar 2.21. Posisi Benkelman Beam

Kriteria truk yang digunakan sebagai penyebab beban pada titik yang hendak diukur lendutannya adalah:

 Berat kosong truk (5 ± 0,1 ton).

 Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda.                  

(46)

 Beban masing-masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045 ton) atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama dengan sumbu standar 18.000 pon.

Temperatur udara dan temperature permukaan jalan diukur bersamaan dengan pengukuran lendutan dengan menggunakan alat seperti pada Gambar 3.8.

Gambar 2.22. Alat Pengukur Temperatur Permukaan (a) (b) dan Temperatur Udara (c)

Alat Benkelman beam digunakan untuk mengukur lendutan balik, lendutan balik titik belok, lendutan maksimum, dan cekung lendutan. Lendutan balik (rebound deflection) adalah besarnya lendutan vertical akibat pada titik pengamatan dihilangkan, lendutan balik ini umum digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan. Pengukuran dilakukan setelah truk bergerak maju ke depan sejarak 6 m dari titik pengamatan dengan kecepatan 5 km/jam. Gambar 3.9. menunjukkan posisi beban pada saat pengukuran lendutan balik. Besarnya lendutan balik dipengaruhi oleh temperatur, beban dan muka air tanah pada saat pengukuran.                  

(47)

Gambar 2.23 Hubungan lendutan dengan pembacaan dial alat Benkelman Beam                  

(48)

2.2.7 Pengujian Lendutan dengan Menggunakan Alat FWD

Beban yang digunakan pada alat FWD untuk mengukur lendutan adalah beban dinamis. Beban dinamis ini merupakan beban, pelat (massa) yang dijatuhkan (falling weight) pada ketinggian tertentu kepermukaan jalan melalui pelat dasar bundar berdiameter tertentu, sehingga akan menimbulkan gaya dan reaksi dari jalan berupa tegangan dibawah pelat dasar atau dipermukaan jalan dan penurunan permukaan jalan (lendutan).

Untuk mengetahui berapa besar nilai lendutan sebenarnya berdasarkan beban yang diinginkan, maka harus dicek gaya atau tegangan tersebut diatas terhadap gaya atau tegangan rencana (hasil perhitungan) dengan perbedaan/toleransi tertentu, tergantung dan tujuan/sasaran dilakukan pengujian.

Sebagai contoh untuk penelitian diambil maksimum toleransi 2 % bila diinginkan nilal lendutan sebagai perbandingan tujuan atau sasaran, kemudian bila diinginkan nilai E sebagai perbandingan sasaran maka dapat diambil maksimum toleransi 5 %, sedangkan untuk pengujian rutin maksimum 10 % (rekomendasi dan team Denmark) Gaya rencana yang dimaksud tersebut adalah beban satu kelompok roda sumbu belakang kendaraan standar (untuk beban standar 8,2 ton, maka gaya adalah 4,1 ton atau 41 kN) dan tegangan rencana adalah gaya (41 kN) per luas pelat dasar bundar FWD (1/4 πD) 580 KP a.

Tegangan atau gaya yang terjadi dilapangan tergantung dan kekuatan jalan dan kondisi lingkungan pada saat dilakukan pengujian. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengujian harus disesuaikan terhadap tegangan atau gaya rencana dengan toleransi sebagaimana ditunjukkan diatas, yaitu dengan merubah tinggi jatuhnya.                  

(49)

2.2.8 Fungsi dan Cara Kerja Peralatan Unit Pencampur Aspal Panas 1.) Peralatan Unit Pencampur Aspal Panas Tipe Takaran (Batch Tipe)

Pada tipe takaran atau batch tipe maka proses pencampurannya

dilaksanakan tiap kali sesuai jumlah besaran takaran (batch type). Pencampuran agregat panas dengan aspal panas pada peralatan pencampur aspal panas (AMP) tipe batch terjadi di dalam pencampur atau pugmill setelah sejumlah agregat panas yang terdiri dari beberapa fraksi ataupun hanya satu fraksi yang sudah ditimbang dalam jumlah berat tertentu dituangkan ke dalam pugmill kemudian disemprotkan aspal panas ke dalamnya dalam jumlah tertentu sesuai formula yang direncanakan. Komponen utama yang penting pada peralatan pencampur aspal panas (AMP) jenis takaran (tipe batch) adalah :

 Bin dingin (Cold Bin)

Bin dingin atau Cold Bin ini adalah bak tempat menampung material agregat dari tiap-tiap fraksi mulai dari agregat halus sampai agregat kasar yang diperlukan dalam memproduksi campuran aspal panas atau hotmix tiap-tiap fraksi agregat ditampung dalam masing-masing bak sendiri-sendiri. Maksudnya adalah agar banyaknya agregat dari masing-masing fraksi yang diperlukan untuk produksi campuran aspal panas sesuai formula campuran kerja (Job Mix Formula) yang direncanakan sudah dapat diatur pada saat pengeluarannya dari bin dingin. Bin dingin ini berbentuk tirus dengan permukaan pengisian di sebelah atas lebih lebar dibanding permukaan pengeluaran di bagian bawahnya.

Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.24 Bin Dingin                  

(50)

 Pengangkut Agregat Dingin

Agregat dingin dari beberapa fraksi yang sudah ditampung pada ban berjalan kolektor (Collecting Belt Conveyor) selanjutnya dibawa untuk dituangkan ke dalam alat pengering atau dryer dengan cara dibawa oleh ban berjalan (belt conveyor) lainnya, atau dengan cara dibawa oleh elevator dingin (cold elevator). Elevator dingin atau cold elevator ini berupa mangkok-mangkok atau bucket-bucket kecil yag dipasang pada rantai yang berputar naik ke atas, di mana setelah sampai di atas agregat dingin yang berada dalam mangkok-mangkok tersebut akan tumpah dan masuk ke dalam alat pengering (dryer).

Pengaliran agregat dingin dari bin dingin menuju ke dalam alat pengering atau dryer berjalan dalam udara terbuka. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan terjadinya penguapan air di dalam agregat dingin sehingga akan menurunkan kadar airnya. Kelancaran aliran agregat dingin akan memberikan pengaruh dalam produksi campuran panasnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah tercampurnya fraksi agregat yang berbeda di dalam bin dingin karena tidak ada pembatas antara pada mulut (bagian atas) bin dingin yang satu dengan yang lainnya, disamping itu kapasitas ban berjalan dan atau elevator dingin (cold elevator) harus cukup untuk membawa sejumlah agregat dingin setiap jamnya disesuaikan dengan rencana produksi yang sudah ditentukan (misalnya 30 TPH atau 50 TPH atau lainnya).

Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007

Gambar 2.25 Pengangkutan Agregat Dingin ke Dryer                  

(51)

 Pengering (Dryer)

Pengering ini berbentuk silinder dengan panjang dan diameter tertentu berdasarkan kapasitas maksimum produksi yang direncanakan per jamnya. Peletakan silinder pengering di atas 2 (dua) pasang bantalan rol putar, serta silinder pengering ini dalam proses pengeringan agregatnya bergerak berputar, melalui roda gigi sekeliling silinder yang dihubungkan dengan motor listrik. Di bagian dalam dinding silinder pengering ini dilas sudu-sudu yang terbuat dari pelat baja cekung atau biasa disebut lifting flights.

Sudu-sudu ini ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat

mengangkat agregat yang sedang dikeringkan ke atas dan sekaligus menjatuhkannya sehingga agregat yang jatuh tersebut dapat membentuk tirai. Pemanasan agregat di dalam silinder pengering (dryer) dilaksanakan dengan memakai alat penyembur api atau burner yang ditempatkan di muka ujung silinder pengering (dryer) tempat agregat panas keluar.

Dengan tekanan yang cukup tinggi solar disemprotkan melalui nozzle pada burner ke dalam silinder pengering. Untuk kesempurnaan pengapian serta untuk mengatur jauh dekatnya semburan api dari burner tersebut, diperlukan tambahan tekanan udara yang diperoleh dari blower yang dipasang menyatu dengan burner. Penambahan tekanan solar serta tekanan angin dari blower tersebut akan menambahkan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dan jelas akan menambah kalori yang dihasilkan, serta menambah jauh jangkauan semburan apinya, sehingga dapat menambah panas agregat dan mempercepat penurunan kadar air agregat. Penyetelan api dari penyembur api atau burner ini tidak diperbolehkan terlalu tinggi sebab akan mempengaruhi karakteristik dari agregatnya, yaitu agregat menjadi rapuh dan pecah karena terlalu panas.

Untuk melindungi panas dari api pada penyembur api (burner) ini, maka disekeliling nozzle dipasang dinding pelindung yang terbuat dari batu tahan api. Bentuk tirai dari agregat yang jatuh tersebut memberikan efisiensi dalam pemanasan dan pengeringan agregat secara merata. Alat

pengering atau dryer ditempatkan dengan posisi miring, untuk

                 

(52)

memberikan kesempatan kepada agregat dingin yang dituangkan ke dalam pengering (dryer) dari ujung yang satu (yang letaknya lebih tinggi), dapat keluar lagi dari ujung yang lainnya (yang letaknya lebih rendah) setelah melalui proses pemanasan dan pengeringan selama waktu tertentu.

Besar sudut kemiringan letak silinder pengering ini sudah

ditentukan oleh pabrik berdasarkan rencana desain kapasitas produksi dan rencana desain mutu produksi yang ingin dihasilkan. Makin besar sudut kemiringan (lebih besar dari sudut kemiringan yang telah ditentukan pabrik), akan mengakibatkan agregat yang masuk akan cepat keluar lagi, sehingga agregat dingin mengalami pemanasan yang pendek. Akibatnya adalah agregat yang keluar temperaturnya masih rendah serta kadar airnya masih cukup tinggi. Sebaliknya apabila kemiringannya lebih rendah, maka agregat terlalu lama dalam silinder yang berakibat temperatur agregat terlalu tinggi, namun kapasitas per jamnya rendah, sehingga silinder akan cepat penuh diisi agregat dingin.

Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007

Gambar 2.26 Alat Pengering Dryer                  

Gambar

Tabel dibawah ini adalah menjelaskan perbedaan hasil penelitian penulis  dengan hasil penelitian tugas akhir lainnya adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3. Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur          
Tabel  2.6  Temperatur Tengah (T t ) dan Bawah (T b ) Lapis Beraspal  Berdasarkan Data Temperatur Udara (T u ) dan
Gambar 2.4.  Daerah Pengaliran Saluran Samping Jalan
+7

Referensi

Dokumen terkait

pembangunan  pertanian  Indonesia  2002,  yaitu  membangun  pendekatan  agroekologi  (Kasryno  et aI., 2002).  Menurut  Wiradisastra  (1996),  pembangunan 

Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari suatu siklus hidup organisme, dengan mengetahui biologi reproduksi ikan dapat memberikan keterangan yang berarti mengenai

Untuk tujuan ini, baik Fakultas maupun Sekolah menyediakan sumber daya akademik maupuan sumber daya pendukung akademik (laboratorium, studio, perpustakaan), bukan

5.2 Perbedaan Rerata Tekanan Intraokuli dan Faktor Risiko pada Penduduk Bali Usia 50 Tahun keatas di daerah Pedesaan ( rural ) dan Perkotaan ( urban )

Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji Syukur Kehadirat Allah Swt Yang Telah Melimpahkan Rahmat Dan Karunianya Sehingga Penulis Dapat Menyusun Dan Menyelesaikan Skripsi Dengan

Seakan-akan Setelah menjadi salah satu “wali Allah” orang tersebut tidak merasa terikat dan tidak perlu taat dengan berbagai macam aturan Allah untuk orang awam,

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Tujuan dari pengerjaan tugas akhir ini adalah untuk membangun sebuah program aplikasi penjadwalan mata kuliah yang berjalan pada PC / Laptop dan Sistem Operasi Berbasis