• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan kajian pustaka yang memaparkan mengenai landasan teoritik dari permasalahan yang dikaji. Dalam melaporkan hasil kajian, peneliti membandingkan, mengontraskan, meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang diteliti dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian peneliti disertai alasan-alasannya. Telaah teoritis dimaksudkan untuk menampilkan “mengapa dan bagaimana” teori dan hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan oleh peneliti. Merujuk pada pedoman penulisan karya ilmiah UPI bahwa kajian pustaka harus memuat hal-hal berikut:

1. apakah teori-teori utama dan teori-teori turunannya dalam bidang yang dikaji. 2. apa yang telah dilakukan oleh orang lain atau peneliti lain dalam bidang yang

diteliti, bagaimana mereka melakukannya dan temuannya.

3. posisi teoritik peneliti yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.

Pada umumnya penelitian tentang pemikiran Ibn Khaldun sudah banyak ditulis, baik oleh para penulis Barat maupun Timur. Beberapa ilmuwan Barat yang melakukan kajian terhadap karya Ibn Khaldun diantaranya G.H. Bousquet dalam karyanya Ibn Khaldun : Les Textes Sociologique et Economique de la Muqaddima yang terbit pada tahun 1965 membahas pemikiran sosiologis dan ekonomis Ibn Khaldun. M.A. Lahbabi yang berjudul Ibn Khaldun Presentation Choix ed Textes,

(2)

Arab Philosophy of History dengan terjemahan teks Muqaddimah. Yves Lacoste, Ibn Khaldun: Naissance de I’Historie du Tiers Mende hadir dengan karya terbaik

yang diwarnai dengan tinjauan kontemporer (Khudairi, 1987:1).

Peneliti lainnya yakni Zainab al Khudhairi, seorang Ilmuwan wanita yang berasal dari Mesir dengan karyanya Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Ia mengupas hampir seluruh pemikiran Ibn Khaldun. Namun sampai saat ini, penulis belum mendapatkan karya-karya mereka dalam bentuk aslinya. Penelitian sebelumnya mengenai pemikiran Ibn Khaldun dalam bentuk skripsi penulis dapatkan dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) yang berjudul ‘Ashabiyah dan Proses Integrasi Sosial: Membaca Kasus Indonesia di Era

Reformasi (Telaah atas Konsep ‘Ashabiyah) karya Suparman (2001). Karya

lainnya berjudul Konsep ‘Ashabiyah menurut Ibn Khaldun yang diteliti oleh Muhammad Iqbal (2007).

Kedua penelitian tersebut membahas tentang konsep ‘ashabiyah yang tidak terlalu jauh berbeda. Suparman mengidentifikasi konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun dengan meneliti relevansinya pada kondisi Indonesia saat ini. Menurut Suparman,

‘ashabiyah adalah sebuah konsepsi tentang bagaimana manusia mampu

mengintegrasikan, mengakomodir dan menciptakan sebuah sistem yang mampu melahirkan rasa solidaritas sosial yang kuat dengan tujuan dan cita-cita bersama. Dalam konteks ini, Suparman memandang bahwa ‘ashabiyah dan kekuasaan bersifat koheren artinya ‘ashabiyah dipandang sebagai alat pemersatu yang sanggup mengikat sejumlah individu untuk memperoleh sebuah kekuatan untuk hidup bersama.

(3)

Pada konteks Indonesia saat ini, menurut Suparman rasa ‘ashabiyah bangsa Indonesia sudah mulai luntur. Ia menyebutnya dengan ”peragian politik” (political

decay) dan disintegrasi. Disintegrasi muncul karena adanya keinginan untuk

”berkebangsaan” berdasarkan kebudayaan, bahasa, dan kesukuan (etnisitas). Wujud disintegrasi ini terlegitimasi dalam bentuk tuntutan pengakuan identitas etnis untuk memerdekakan diri (etno nationalism) seperti yang terjadi di Irian Jaya dan Riau. Selain itu, bentuk lain dari disintegrasi itu antara lain adanya konflik horisontal untuk mempertahankan identitas etnis dan agama seperti di Ambon, Halmahera, Poso, Sambas dan NTT serta adanya perjuangan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap eksplorasi sumber daya alam sekitarnya.

Penelitian Muhammad Iqbal lebih menitikberatkan penelitian pada aspek sosiologis. Ia memandang konsep ’ashabiyah sebagai solidaritas organik untuk mempertahankan kelangsungan negara atau dinasti dengan melihat peran, fungsi dan tujuan ’ashabiyah. Kedua penelitian tersebut menurut penulis merupakan sebuah karya yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena telah melalui suatu proses pengujian sidang skripsi. Penelitian-penelitian tersebut membantu penulis untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pemikiran Ibn Khaldun.

Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya yakni dalam hal fokus kajian. Jika penelitian sebelumnya fokus pada konsep ’ashabiyah sebagai bagian dari ilmu sosiologi, maka penelitian ini menitikberatkan pada kajian politik dan negara

(4)

dengan menggunakan konsep ’ashabiyah. Adapun beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang negara, ’ashabiyah dan nasionalisme.

A. Teori Negara dan Legitimasinya

Negara berasal dari kata staat dalam bahasa Jerman atau state dalam bahasa Inggris. Berdasarkan dua kata ini, menurut Franz Magnis Suseno (2001:170) negara memiliki dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu, yang menata kemudian menguasai wilayah itu. Misalnya pulau-pulau nusantara merupakan satu negara Indonesia (’’negara” dalam arti pertama) karena mereka berada di bawah satu negara (”negara” dalam arti kedua). Sedangkan suku-suku Papua tidak merupakan negara karena berada di bawah satu lembaga pemerintahan.

Menurut Soehino (2004:11) pemikiran tentang asal mula negara baru muncul ketika negara telah berdiri. Artinya keberadaan negara itu mendahului pemikiran tentang negara dan hukum. Negara-negara ini telah ada sejak sekitar abad ke XVIII SM dengan sistem pemerintahannya yang absolut. Pemikiran tentang asal mula negara muncul sebagai sebuah fenomena sosial kemasyarakatan yang menampakan diri setelah berabad-abad negara itu ada ketika negara memberikan kebebasan berfikir kritis dan berpendapat kepada rakyatnya.

Fenomena kebebasan berpendapat dan berfikir kritis inilah yang mendukung Aristoteles melahirkan teori asal mula negara (384-322 SM). Menurut Aristoteles (dalam Rapar, 1989:33) ”negara merupakan persekutuan hidup politis

(5)

yang berbentuk polis (negara kota)”. Berdasarkan definisi tersebut maka terdapat beberapa hal penting dalam suatu negara. Pertama, negara tidak hanya instrumen atau kumpulan yang teratur dari organisasi atau bagian-bagian tertentu melainkan suatu persekutuan hidup yang menunjukkan adanya keterhubungan yang bersifat organik antara warga negara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah suatu organisme.

Kedua, persekutuan hidup politis bermakna keterhubungan orang-orang

yang berada dalam satu polis (negara kota), yang disebut sebagai warga negara harus bersifat erat, akrab, khusus dan lestari. Ketiga, jika aspek pertama dan kedua telah terpenuhi maka akan tercapai kesatuan dan keutuhan negara yang didambakan akan tercipta dengan sendirinya. Keempat, ukuran negara ideal adalah polis (negara kota) dan bukan kerajaan yang seluas dunia. Negara yang telampau kecil akan sulit mempertahankan eksistensinya sedangkan negara yang terlampau besar akan sulit untuk menciptakan, memelihara dan menjamin kesatuan serta keutuhan negara sebagai salah satu faktor kelangsungan negara.

Menurut Aristoteles negara adalah persekutuan hidup paling akhir dalam perkembangan persekutuan hidup manusia, maka Ia menempati posisi paling atas, paling tinggi dan sempurna. Persekutuan hidup terkecil yang dibentuk manusia bermula dari keluarga. Selanjutnya keluarga berkembang menjadi desa, sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan sosial manusia. Sesudah itu, desa tumbuh dan berkembang terus menjadi negara kota (polis). Negara adalah akhir dari proses persekutuan hidup manusia.

(6)

Maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan negara bermula dari kodrat alam. Mula-mula oleh kodrat pria dan wanita bergabung membentuk keluarga, kemudian keluarga berkembang menjadi banyak keluarga yang kemudian bergabung membentuk desa. Desa terus tumbuh dan berkembang menjadi banyak desa yang akhirnya bergabung dan terbentuklah polis (negara kota). Negara adalah akhir dari proses pertumbuhan dan perkembangan (Rapar, 1989:39).

Tujuan negara menurut Aristoteles adalah kepentingan umum sebab yang diutamakan dalam kebahagiaan negara adalah kebahagiaan masyarakat. Selain itu, Ia berpendapat bahwa tidak ada pemerintahan yang abadi karena dalam tiap diri manusia terdapat karakter untuk melakukan revolusi. Golongan inilah yang merupakan benih-benih revolusi yang setiap waktu dapat meletus, ingin menggulingkan pemerintahan yang ada. Maka untuk meminimalisir hal tersebut, menurut Aristoteles bentuk negara yang terbaik itu adalah Republik Konstitusional.

Menurut Thomas Aquinas tujuan negara adalah tujuan penciptaan manusia, sehingga tujuan berdirinya negara adalah untuk mencapai kemuliaan abadi dalam kehidupan manusia setelah mati (dalam Suhelmi, 2004:94). Kemuliaan abadi ini hanya dapat dicapai oleh tuntutan gereja. Maka tugas negara adalah memberi kesempatan kepada manusia agar tuntutan dari gereja dapat dilaksanakan. Negara bertugas agar terjadi keseimbangan kekuasaan antara negara dan gereja. Oleh karena itu kedudukan gereja dan negara berada pada posisi yang sama. Tugas negara adalah bergerak dalam hal-hal keduniawian sedangkan gereja bertugas bergerak dalam hal-hal kerohanian dan keagamaan.

(7)

Menurut Thomas Aquinas bentuk negara terbaik adalah monarki karena pemerintahan satu orang lebih memungkinkan terciptanya perdamaian dan kesatuan negara. Selain itu, penguasa tunggal sesuai dengan hakikat hukum kodrat yakni alam selalu diperintah oleh satu oknum yang disebut hati. Negara yang baik adalah negara yang penguasanya selalu mewujudkan kebaikan bersama sedangkan yang buruk penguasanya memiliki vested interest yang mementingkan kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri (Suhelmi, 2004:102).

Bentuk pemerintahan terburuk menurut Aquinas adalah tyrani. Ini dapat muncul apabila penguasa tunggal tidak memiliki pengawasan atau kontrol terhadap kekuasaannya yang berbasiskan kekuatan turun temurun. Beberapa hal yang perlu dilakukan agar tidak muncul penguasa tyran menurut Aquinas adalah dengan melakukan beberapa hal yakni pertama, pemilihan penguasa tunggal harus berdasarkan kemauan masyarakat dan kualitas pribadinya. Pengangkatan pemimpin harus didasari oleh basis teologis dan tidak turun menurun karena pengangkatan penguasa merupakan ketetapan Tuhan. Kedua, kekuasaan penguasa tunggal harus dibatasi dengan undang-undang atau konstitusi. Keempat, harus ada

sharing of power dalam pemerintahan.

Apabila keempat hal di atas telah dilakukan namun penguasa tetap tyran maka rakyat diperbolehkan untuk mentolerir tirani itu. Kemungkinan terburuk jika rakyat melakukan perlawanan adalah akan terjadi malapetaka politik dan kezaliman dari penguasa baru yang terkadang dapat lebih buruk, zalim dan kejam dari penguasa tyran sebelumnya. Penguasa tyran tidak boleh dibunuh karena itu bertentangan dengan ajaran Kristiani namun apabila revolusi itu telah terjadi atas

(8)

kehendak umum dan sang raja terbunuh maka ini dapat diterima. Maka, solusi dari permasalahan ini adalah dengan berdo’a kepada Tuhan agar penguasa berubah hatinya dari bengis dan kejam menjadi lemah lembut dan baik hati.

Menurut Jean Bodin tujuan negara adalah kekuasaan dan penguasa pertama adalah pemimpin militer yang memperlihatkan kekuasaannya. Maka, negara adalah perwujudan dari kekuasaan. Kekuasaan menurutnya memerlukan kedaulatan. Kedaulatan adalah ”kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyatnya, tanpa ada suatu pembatasan apapun dari undang-undang” (Soehino, 2004:79). Sifat dari kedaulatan ini adalah tunggal yang berarti hanya negaralah yang memiliki, tidak ada kekuasaan lain yang berhak memiliki; asli maksudnya tidak berasal atau diturunkan dari kekuasaan lain; abadi maksudnya bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah negara; tidak

dapat dibagi-bagi artinya kedaulatan tidak dapat diserahkan kepada badan atau

pemerintahan lain, baik sebagian atau seluruhnya.

Konsep kedaulatan dan kekuasaan yang dikembangkan adalah absolut karena Ia tidak menghendaki adanya badan perwakilan yang mempunyai kekuasaan selain raja. Ia tidak membedakan antara negara dan pemerintah karena hal ini dapat mengakibatkan pada pembagian kekuasaan. Sedangkan menurut aliran modern, keberadaan negara harus dipelajari berdasarkan fakta sebagai suatu kenyataan, yang terikat pada keadaan, tempat dan waktu (Soehino, 2004:141). Menurut Kranenburg negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Maka, menurutnya syarat primer berdirinya suatu negara adalah masyarakat manusia yang disebut dengan bangsa

(9)

yang harus terlebih dahulu ada. Sementara negara merupakan syarat sekunder, yang menyusul kemudian. Pandangannya tentang bangsa didasari oleh formasi-formasi kerjasama internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukan perserikatan negara-negara.

Menurut Logeman bahwa negara adalah ”suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa” (dalam Soehino, 2004:143). Melalui definisi ini, ia berupaya untuk menjelaskan bahwa negara berawal dari kumpulan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan yang kemudian bergabung membentuk suatu negara. Pandangannya bertolak belakang dengan Kranenburg karena baginya yang primer adalah negara sedangkan bangsa adalah syarat sekunder. Jika menurut Kranenburg bangsa yang menciptakan negara sedangkan menurut Logeman negara atau organisasi itulah yang menciptakan bangsa, maka bangsa tergantung pada organisasi.

Perbedaan keduanya terletak pada konsep bangsa, baik ditinjau secara ethnologis maupun bangsa dalam arti rakyat. Bangsa menurut Ernest Renan adalah ”suatu nyawa, suatu azas akal” (dalam Soehino, 2004:143 ), yang terjadi karena dua hal: pertama, adanya satu riwayat kebersamaan pada masa lalu dan

kedua adanya kemauan dan keinginan untuk hidup bersama. Persatuan harus

didasari oleh persamaan-persamaan kebudayaan, nasib, sejarah dan lain sebagainya serta adanya kesadaran atas persamaan-persamaan tersebut.

Menurut Ibn Khaldun negara ibarat suatu makhluk hidup yang lahir, mekar, menjadi tua dan akhirnya hancur yang memiliki usia tiga generasi yakni sekitar 120 tahun. Pemikirannya tentang negara didasari bahwa manusia adalah makhluk

(10)

sosial (social animal) yang tidak mampu bertahan hidup dan mempertahankan diri sendiri tanpa bantuan yang lain. Selain itu, manusia memiliki karakter saling menyerang antara satu dan lainnya, maka negara berfungsi untuk melindungi manusia dari manusia lainnya serta untuk mewujudkan fitrahnya sebagai manusia untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Kepemimpinan yang kuat harus didasari oleh karisma dan wibawa serta mulk (kekuasaan wibawa) agar dipatuhi oleh pengikutnya.

Negara merupakan suatu kekuatan yang berada di atas masyarakat dan bukan kekuatan terpadu dalam suatu masyarakat dan terbentuk melalui tahap-tahap tertentu. Negara lahir dari keadaan primitif, kemudian tumbuh sampai mencapai puncak kekuatan dan kebudayaan kota, kemudian memasuki masa kehancurannya dan digantikan oleh negara lain (dalam Khudhairi, 1987:187). Kerangka konsep negara merupakan siklus umum yang melalui tahap dasar pembentukan negara, pemusatan kekuasaan, kesantaian dan kesenangan, ketundukan dan kemalasan, akhirnya tahap foya-foya dan penghamburan kekayaan. Perkembangan negara seperti itu berbentuk spiral yakni masing-masing negara merupakan salah satu lingkaran dan keseluruhan lingkaran itu maju ke depan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik persamaan bahwa pada dasarnya negara memiliki unsur yang disebut dengan kekuasaan. Kekuasaan agar mantap harus memiliki legitimasi atau legalitas. Kekuasaan lahir karena didasari oleh tiga hal yaitu sumber kekuasaan, pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dan pengesahan kedaulatan. Ketiga komponen ini merupakan

(11)

legitimasi penguasa untuk menyempurnakan kekuasaannya. Sumber kekuasaan mempersoalkan tentang asal atau sumber kekuasaan yang ada dalam negara. Sumber kekuasaan sebagai legitimasi memiliki dua teori yaitu teori teokrasi dan teori hukum alam.

Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah Tuhan. Teori ini berkembang pada masa abad pertengahan yaitu abad V sampai abad XV. Penganut teori ini adalah Thomas Aquinas, Augustinus dan Marsilius. Sedangkan teori alam mengemukakan bahwa asal atau sumber kekuasaan berasal dari rakyat. Teori ini dipelopori oleh Thomas Hobes dan Rousseau. Menurut Hobes dan Rousseau, pada mulanya kekuasaan itu ada pada setiap individu kemudian diserahkan kepada raja melalui suatu perjanjian dengan masyarakat yang disebut dengan kontrak sosial. Kekuasaan tersebut diserahkan kepada masyarakat sebagai satu kesatuan maka pada dasarnya rakyat hanya menyerahkan sebagian kekuasaan bukan kedaulatan.

Pemegang kekuasaan tertinggi erat kaitannya dengan pemilik kekuasaan dalam suatu negara yang berarti kedaulatan tertinggi. Menurut Jean Bodin, sarjana Perancis Abad XVI ”kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli, abadi dan tidak terbagi”. Berdasarkan konsepsi ini, maka lahirnya dua jenis kedaulatan yang dikenal dan dipergunakan sampai saat ini yaitu kedaulatan ke dalam (interne

souvereiniteit) dan kedaulatan ke luar (externe souvreiniteit). Kedua kedaulatan

(12)

Teori kedaulatan ini dibagi dalam empat jenis yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan negara, teori kedaulatan hukum dan teori kedaulatan rakyat.

Pertama, teori kedaulatan Tuhan menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi

dalam suatu negara ada pada Tuhan, teori ini berkembang pada abad pertengahan (abad V-XV). Menurut Augustinus, wakil Tuhan dimuka bumi adalah paus sedangkan menurut Marsilius adalah raja. Thomas Aquinas menghasilkan sintesis dari kedua pendapat itu bahwa wakil Tuhan dimuka bumi adalah paus dan raja sehingga antara raja dan paus kedudukannya sama-- yang berbeda adalah tugasnya. Apabila paus bergerak dalam bidang keagamaan maka raja bergerak dalam bidang keduniawian.

Kedua, teori kedaulatan negara yang menyatakan bahwa kedaulatan negara

berada pada negara. Negara adalah pencipta hukum yang harus dipatuhi dan bersifat memaksa baik itu bersifat absolut maupun terbatas. Penganut teori negara adalah Jean Bodin dan George Jellinek. Menurut Jellinek negara adalah satu-satunya sumber hukum dan memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan (dalam Soehino, 2004:155). Maka, tidak ada satu orang pun yang berwenang menciptakan hukum selain negara. Hukum adalah penjelmaan dari kehendak dan kemauan negara.

Ketiga, teori kedaulatan hukum yang lahir sebagai penegas dari teori

kedaulatan negara yang mendasarkan kedaulatan pada hukum. Menurut Krabbe yang berdaulat bukanlah negara tetapi hukum atau recht souvereiniteit. Sumber hukum adalah rasa hukum yang terdapat dalam masyarakat dalam bentuk yang masih sederhana dan primitif dinamakan dengan instink hukum. Menurut

(13)

Kranenburg teori ini harus memiliki keseimbangan setelah diadakan penyelidikan empiris analitis karena rasa hukum itu dapat berubah sewaktu-waktu. Maka, teori ini harus senantiasa berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Keempat, teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa sumber hukum

tertinggi adalah rakyat, masing-masing individu menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa yang disebut raja melalui perjanjian masyarakat. Raja atau penguasa ini lahir dari suatu hukum alam, ini adalah dasar kekuasaan raja sebelum Ia menjadi raja. Teori ini dipelopori oleh J.J Rousseau dan Thomas Hobes. Menurut mereka, rakyat adalah kesatuan individu-individu yang mempunyai kehendak, setelah bersatu maka kehendak ini menjadi kehendak umum. Teori ini didukung oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang dibatasi oleh undang-undang yang dirumuskan oleh rakyat, maka rakyat adalah penjelmaan dari kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, pengesahan kekuasaan dapat tercapai jika sumber kekuasaan dan pemegang kekuasaan tertinggi telah tercapai. Kedua aspek ini dapat menentukan bentuk dan tujuan negara.

Ibn Khaldun berasumsi bahwa sumber kekuasaan dalam suatu negara adalah rakyat dan Tuhan. Dengan demikian, pernyataan Ibn Khaldun ini merupakan sintesa dari teori theokrasi dan teori hukum alam. Menurut teori theokrasi, sumber kekuasaan berasal dari Tuhan. Ibn Khaldun menggunakan gagasan ini dalam menjelaskan tentang khilafah bahwa khalifah adalah bayangan Tuhan di muka bumi dan secara umum pada dasarnya manusia adalah khalifah bagi dirinya

(14)

sendiri. Setiap individu memiliki potensi sebagai khalifah (pemimpin) sejak Ia tercipta dan terlahir di muka bumi. Teori theokrasi yang digagas Ibn Khaldun ini berbeda dengan Barat pada abad pertengahan yang dinisbatkan pada paus dan raja karena dalam Islam tidak dikenal dikotomi peran duniawi dan akhirat melainkan universalisme Islam, raja adalah penguasa sekaligus pemimpin agama.

Teori hukum alam menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat (alam kodrat), kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang yang disebut raja untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat (Soehino, 2004:150). Hal ini terjadi pada konsep pemikiran Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa sumber kekuasaan berasal dari rakyat karena adanya hubungan kepemilikan. Teori ini serupa dengan pemikiran Hobes dan Rousseau yang baru muncul pada sekitar abad XVII. Menurut Ibn Khaldun kedaulatan tertinggi dalam suatu negara adalah solidaritas sosial (’ashabiyah) yang kuat harus dimiliki oleh pemimpinnya. Kedaulatan pada hakikatnya adalah kekuatan untuk menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tidak ada satu penguasa pun yang berada di atasnya. Menurutnya, sudah seharusnyalah negara berdasarkan agama agar segala sesuatunya berada di bawah naungan pengawasan Tuhan pemberi hukum.

B. ’Ashabiyah sebagai Sumber Kekuasaan Negara

Definisi ’ashabiyah berdasarkan kitab muqaddimah terbitan Beirut 1886 sebagai berikut:

’Ashabiyah ialah hendaknya seseorang membela keluarganya dan

(15)

’ashabiyah yaitu keluarga-keluarga dari orang tersebut dari garis ayahnya,

sebab mereka adalah para pembela orang-orang di atas mereka sampai ke pokoknya (dalam Khudhairi, 1987:141).

Menurut ensiklopedi Islam,” ’ashabiyah berasal dari bahasa arab al

’ashabiyah yang artinya semangat, fanatisme atau kefanatikan golongan”.

Keterikatan seseorang yang sangat kuat terhadap kelompok atau jama’ahnya untuk membela dan mempertahankan prinsip-prinsipnya. Osman Raliby mengartikannya dengan rasa golongan, Muhsin Mahdi mengartikannya sebagai

social solidarity, Frans Rosenthal seorang orientalis membahasakannya dengan group feeling, Charles Issawi mengartikannya dengan solidarity sedangkan Philip

K Hitti menyebutnya dengan tribal spirit (semangat kesukuan) atau the spirit of

the clan.

Abd al-Raziq al Makki menjelaskan bahwa ’ashabiyah berasal dari kata ’ashab yang berarti hubungan dan ’ishabah yang artinya ikatan. Maka secara bahasa ’ashabiyah merujuk pada ikatan mental yang menghubungkan orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan karena keluarga dalam bahasa arab berarti ’ashabah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ’ashabiyah erat kaitannya dengan solidaritas kesukuan, kekeluargaan dan keturunan (dalam Khudairi, 1987:144).

Mengamati sejarahnya, ’ashabiyah dilarang dalam Islam seperti yang dikemukakan dalam sebuah hadits Jami’ as- Shaghir bahwa ’barang siapa yang menyeru pada ’ashabiyah tidaklah termasuk kita, barang siapa berperang karena

’ashabiyah tidaklah termasuk kita dan barang siapa mati dalam keadaan

(16)

1987:141-142). Pengharaman ’ashabiyah jenis ini karena tidak dilandasi agama yakni ’ashabiyah yang dilandasi fanatisme kesukuan. ’Ashabiyah tipe ini terwujud dalam bentuk dukungan seseorang terhadap orang-orang yang satu kelompok dengannya, terlepas orang-orang tersebut termasuk penindas atau tertindas. Namun ’ashabiyah yang digagas oleh Ibn Khaldun, menurut Khudhairi adalah diperbolehkan karena termasuk ’ashabiyah terpuji. Hal ini didukung oleh Deliar Noer (1982:60) bahwa ” ’Ashabiyah yang disertai agama akan bertambah kuat, sehingga golongan tersebut akan tumbuh bersatu. Rasa agama yang melemah dapat melemahkan ’ashabiyah.

Dengan demikian, ’Ashabiyah yang dimaksud adalah ’ashabiyah yang meliputi satu keluarga saja dengan perasaan solidaritas yang harus didasarkan pada agama. Maka, agama menjadi motivasi satu-satunya untuk melakukan penaklukan dan bergabung dalam solidaritas ’ashabiyah. Ia lebih melihat definisi

’ashabiyah sebagai makna yang mengisyaratkan berbagai unsur yang kompleks.

Kata ’ashabiyah tidak hanya mengisyaratkan perasaan atau perilaku psikologis saja, tetapi juga mengisyaratkan suatu relitas yang sangat kompleks yakni realitas sosial-politik yang pada akhirnya realitas-realitas ini menimbulkan akibat psikologis yang sangat penting.

Maka konsep ’ashabiyah ini tidak hanya bermakna sosial tetapi dapat juga bermakna politis. Makna sosial dalam konsep ’ashabiyah solidaritas kesukuan, namun ini bukanlah ikatan sosial seperti ikatan dalam keluarga atau keturunan melainkan solidaritas diantara suku-suku terutama kesukuan dikalangan orang-orang desa, sementara dikalangan orang-orang-orang-orang kota rasa ’ashabiyah telah

(17)

memudar. Dengan demikian, hanya kehidupan desalah yang dapat melahirkan

’ashabiyah dengan syarat pertamanya adalah adanya struktur kesukuan.

Kehidupan masyarakat desa lebih mampu menjaga garis keturunan, karena kondisi masyarakatnya terisolasi. Bentuk ’ashabiyah yang terjadi pada masyarakat desa adalah ’ashabiyah keturunan dan kekerabatan. Ikatan inilah yang membuat

’ashabiyah menjadi lebih kuat. Faktor lain yang memperkuat ’ashabiyah pada

masyarakat desa adalah kerasnya kehidupan yang mereka jalani membuat mereka menjadi survive dan bahu membahu untuk melawan serangan dari luar sehingga musuh pun segan untuk menyerang. Sementara masyarakat kota tidak memerlukan ’ashabiyah karena keamanan mereka telah ditangani oleh polisi dan tentara.

Charles Issawi mengidentifikasi ’ashabiyah sebagai ’solidaritas sosial’, De Slane mengungkapkannya sebagai ’semangat kelompok’. Hal ini terjadi karena keduanya menerjemahkan ’ashabiyah sebagai keluarga, kelompok para sahabat, semangat ras dan kelompok, patriotisme, nasionalisme dan semangat nasional. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa konsep ’ashabiyah bukan sebagai gejala atau fenomena umum yang terjadi pada setiap masyarakat. Maka konsep ini tidak dapat digunakan dan digeneralisasi pada setiap masyarakat dan pemerintahan.

Menurut Osman Raliby (1978:156) ’ashabiyah adalah konsep yang mendasari kekuatan suatu negara. Tujuan dari konsep ini adalah pertahanan dari penyerangan hanya dapat terwujud dari orang-orang yang seketurunan. ’Ashabiyah pun dapat terbentuk dari persahabatan sejak zaman kanak-kanak dan

(18)

merupakan saudara sesusuan serta bersama-sama dalam menghadapi segala permasalahan hidup yang menyangkut hidup dan mati. Proses ini melahirkan rasa cinta dan tolong menolong serta gotong royong, ’ashabiyah yang melalui proses ini memiliki akar ’ashabiyah yang kokoh.

’Ashabiyah lemah terjadi ketika individu tidak memiliki ’ashabiyah seketurunan dan kekerabatan karena kerjasama akan sulit terwujud. Terlebih ketika sudah tidak begitu memahami mengapa ikatan nasab itu terjalin dan mulailah ’ashabiyah itu melemah. Hal ini terjadi ketika para pemimpin daulah (negara) mulai mempekerjakan orang asing yang tidak memiliki ikatan ’ashabiyah karena mereka hanya berorientasi pada materi dan kedudukan. Pembelaan yang mereka lakukan pada negara bukan didasari oleh ikatan ’ashabiyah tetapi tergantung pada materi yang mereka terima.

Wujud ’ashabiyah di perkotaan muncul pertama kali ketika kota dalam keadaan kekosongan kekuasaan (vacum of power) melalui proses interaksi akrab antar individu yang dilanjutkan dengan perkawinan. Perkawinan melahirkan golongan-golongan yang ikatannya perorangan dalam wujud kabilah-kabilah. Diantara mereka sering terjadi konflik dan saling menyerang. Kehadiran pemimpin yang memiliki mulk (kekuasaan wibawa) sangat diperlukan untuk mencegah hal itu.

Setelah satu ’ashabiyah memiliki kekuatan dalam kelompoknya. Ia akan melakukan perluasan wilayah melalui penaklukan sampai terciptalah sebuah kerajaan dengan wilayah yang luas. Proses peralihan kekuasaan pada generasi selanjutnya dilakukan melalui pewarisan turun temurun pada generasi seketurunan

(19)

(’ashabiyah). ’Ashabiyah yang berkuasa ini adalah yang paling kuat diantara yang lainnya setelah mengalami peleburan dengan ’ashabiyah-’ashabiyah lainnya. ’Ashabiyah itu memiliki superioritas untuk memaksa orang lain agar menerima kekuasaan pemerintahannya. ’Ashabiyah ini adalah ’ashabiyah al kubra (’ashabiyah terbesar) yang hanya terdapat pada rakyat yang memiliki keluarga yang kuat dan kepemimpinan (riyasah) diantara suku-sukunya. Namun ketika sebuah negara sudah pada tahap perkembangannya dan memiliki kedudukan yang kuat selama beberapa generasi, ’ashabiyah akan diabaikan oleh orang-orang. Pada tahap ini ’ashabiyah mulai melemah dan mendekati masa tuanya.

Oposisi dari ’ashabiyah yaitu ’ushbah (golongan-golongan) yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa hanya memiliki ’ashabiyah sendiri-sendiri karena tidak ada ’ashabiyah dominan yang dapat mempersatukan mereka. Seperti yang terjadi pada Bani Israil yang terdiri dari suku bangsa Palestina, Kan’an, Bani Esau, Bani Median, Bani Luth, Edom, Armenian, Amalekit, Girgasy dan Nabatea. Sulit sekali bagi Bani Israil untuk mendirikan suatu negara yang kuat karena mulk yag dimilikinya tidak kuat sehingga Ia berkali-kali dikalahkan oleh bangsa Persia, Yunani dan Romawi sampai akhirnya porak poranda. Sebaliknya amatlah mudah mendirikan suatu negara yang bebas dari golongan-golongan seperti Mesir dan Syria. Mesir mampu menjadi suatu negara yang kuat dan tenteram karena hanya memiliki sedikit pengikut khawarij ataupun kabilah-kabilah.

Ibn Khaldun mendefinisikan ’ashabiyah sebagai ikatan solidaritas yang muncul karena pertalian darah (keturunan) atau pertalian yang mempunyai arti yang sama seperti sesusuan atau sahabat akrab sejak kecil. Kekuatan pertalian

(20)

darah melahirkan ikatan untuk saling membela dan ikut merasakan kesakitan yang menimpa kaumnya. Jika ikatan darah ini jauh, maka ’ashabiyahnya pun lemah sehingga yang lahir adalah rasa kefamilian dan persaudaraan.

Persaudaraan dapat melahirkan semangat kerjasama dan tolong menolong ketika saudara atau keluarganya yang lain dalam bahaya. Meskipun ’ashabiyah ini masih lemah karena lebih bersifat emosional daripada objektif. Ikatan ini hanya berguna untuk mendekatkan hati dan kecintaan. Apabila Ia hanya didasarkan pada keturunan dari nenek moyang yang sama, maka Ia akan lemah dan memperoleh pengaruh yang rendah terhadap perasaan dan hanya sedikit berdampak pada mulk (kekuasaan wibawa). Interaksi ini akan melahirkan sifat kepemimpinan yang didasari oleh solidaritas satu keturunan (’ashabiyah) yang diperoleh atas rakyat golongan.

’Ashabiyah pun dapat timbul dari persekutuan seperti yang terjadi pada hubungan antara dinasti dengan perbudakan dan penyewaan tentara. Maka rasa kekeluargaan merupakan efek yang ditimbulkannya. Sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam muqaddimah bahwa ”bilamana suatu kelompok ’ashabiyah mempekerjakan suatu kelompok yang bukan keturunan mereka dan mengambil para budak serta kaum mawali sebagai budak maka kedua kelompok terakhir itu bergabung dengan mereka”. Garis keturunan kaum mawali dan para penggabung itu pun termasuk dalam ’ashabiyah.

Menurut penulis, ’ashabiyah dapat ditafsirkan dalam makna sosial dan politik. Bermakna sosial karena ’ashabiyah lahir dari nilai-nilai sosial, terbentuk dari perasaan emosional baik itu ’ashabiyah yang terbentuk dari keturunan

(21)

maupun melalui kefamilian. Bermakna politik ketika ’ashabiyah menjadi kekuatan bagi tegaknya daulah (negara), ikatan ini beralih dari ikatan sosial persaudaraan menjadi ikatan politik yakni ketundukan dan kepatuhan terhadap pemimpin yang memang memiliki ’ashabiyah yang sama. Pada akhirnya ’ashabiyah menjadi suatu ikatan yang dapat melahirkan kekuatan negara dalam sistem politik

C. ’Ashabiyah, Negara dan Nasionalisme

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ’ashabiyah memiliki makna sosial dan politik. Bermakna sosial ketika ’ashabiyah dengan solidaritas sosialnya mampu mewujudkan nilai-nilai dasar manusia sebagai makhluk sosial untuk saling menolong dan membantu sehingga terwujud dalam kesatuan suatu negara. Bermakna politis ketika ’ashabiyah mampu menjadi perekat untuk menegakan dan mempertahankan suatu negara. Apabila suatu

’ashabiyah kuat maka negara pun akan kuat tetapi jika ’ashabiyahnya lemah maka

akan berdampak pada lemahnya stabilisasi suatu negara.

Negara menjadi sebuah wadah bagi legitimasi ’ashabiyah karena Ia merupakan sumber kedaulatan bagi suatu negara yang berasal dari rakyat. Ia menjadi suatu kekuasaan yang sempurna ketika mampu menyatukan semua unsur kesukuan dan memaksakan kehendak penguasa untuk dipatuhi. ’Ashabiyah yang memegang kendali dalam suatu negara disebut sebagai ’ashabiyah al kubra. Ia adalah pemenang dari ’ashabiyah-ashabiyah yang ada, tidak dikendalikan dan berada di bawah ’ashabiyah manapun.

(22)

Saat ini konsep ’ashabiyah kurang begitu dikenal dalam suatu negara

karena tergantikan dengan konsep nasionalisme. Kedua konsep ini merupakan bagian dari politik bernegara yang terkadang diidentikan atau dibedakan sama sekali karena memiliki persamaan dan perbedaan. Secara umum nasionalisme adalah sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada kegiatan bangsa atas nama sebuah bangsa. Maka, nasionalisme erat kaitannya dengan konsep nation dan isme yang dinamakan paham kebangsaan.

Nasionalisme menurut Kamus Webster dideskripsikan sebagai loyalitas dan kecintaan kepada suatu bangsa, khususnya rasa kesadaran memuliakan satu bangsa di atas yang lain dan menempatkan penekanan utama pada mempropagandakan kebudayaan dan kepentingan sebagai saingan terhadap bangsa-bangsa yang lain atau kelompok-kelompok supranasional. Sedangkan dalam kamus Britanica, nasionalisme berarti: filosofi politik atau sosial dimana kesejahteraan negara adalah sebuah entitas yang dirasa penting (dalam http://pangkep.ning.com/profiles/blogs/nasionalisme-vs--nasionalisme [24January 2009] )

Menurut Ernest Renan nasionalisme merupakan ’rasa kesadaran yang kuat yang berlandaskan atas kesadaran akan pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan atas kemauan menderita hal-hal serupa itu dimasa depan’(dalam F. Isjwara, 1992:126-127). Sementara Hans Kohn memberikan arti nasionalisme sebagaimana diterjemahkan oleh Sumantri Mertadipuro (1984:11) bahwa nasionalisme adalah ”suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan

(23)

tertinggi individu, harus diserahkan pada negara kebangsaan, perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi didaerahnya selalu ada disepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.

Soekarno mengartikan nasionalisme sebagai berikut:

Nasionalisme adalah suatu tekad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Nasionalisme berawal dari kesamaan sejarah, yang didalamnya terdapat rakyat yang memiliki tekad untuk bersatu dalam suatu bangsa yang utuh tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan dan memiliki sebuah ikatan yang sangat kuat yang tidak akan mudah lepas apabila ada pihak yang ingin melepaskan ikatan (Soekarno,1965:3).

Nugroho Notosusanto dengan mengutip George Mc. T. Kahin mengungkapkan nasionalisme sebagai berikut:

Nasionalisme adalah sebuah ide yang mengisi hati manusia dengan pikiran baru dan yang mendorong untuk menterjemahkan kesadarannya dalam tindakan berupa aksi yang diorganisasi. Karena itu nasionalisme bukan semata-mata suatu kelompok yang diikat dan dijiwai oleh kesadaran bersama, melainkan juga merupakan suatu hal yang ingin mengungkapkan dirinya ke dalam apa yang dianggapnya bentuk tertinggi daripada kegiatan yang terorganisasi yakni negara yang berdaulat. Nasionalisme merupakan spirit, semangat, moril yang hidup pada diri manusia yang dipersembahkan bagi keagungan bangsa (dalam Yumarlia, 2005:35).

Menurut Limas Sutanto ”nasionalisme di Indonesia memiliki peran dalam menegakan kemerdekaan dan kebangsaan sebagai hal yang fundamental bagi perjuangan bangsa Indonesia” (Sutanto, 2005:36) . Kebangsaan itu telah menjiwai dan mengantar pergerakan rakyat Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka karakteristik nasionalisme dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

(24)

1. persamaan asal keturunan bangsa (etnik), misalnya bangsa Indonesia berasal dari rumpun bangsa melayu yang merupakan bagian dari ras mongoloid dan kemudian diperkaya oleh variasi percampuran darah antar ras.

2. persamaan pada kebudayaan, terutama cara-cara hidup sebagai suku-suku petani dan pelaut.

3. persamaan tempat tinggal yang disebut dengan nama khas. 4. persamaan nasib kesejahteraannya.

5. persamaan cita-cita hidup bersama.

Adapun pandangan Islam terhadap nasionalisme, pada umumnya menolak terutama nasionalisme sempit karena konsep ini bertentangan dengan universalisme Islam. Maryam Jameelah (1965:232) misalnya menolak nasionalisme Islam karena bertentangan dengan konsep universalitas Islam. Menurutnya, ukhuwah dalam Islam tidak dibatasi dengan sekat-sekat negara. Selain itu, perkembangan nasionalisme sempit merusak solidaritas masyarakat Islam karena memandang Islam sebagai nasionalisme bentuk lain. Konsep nasionalisme Islam hanya mendikotomikan Islam sebagai sistem politik, ekonomi dan sosial semata yang bercorak material.

Menurut Roger Garaudy (1982:244), nasionalisme merupakan warisan kolonialisme yang memecah belah umat Islam. Ia juga menolak pendapat Rousseau bahwa masyarakat terbentuk dari perjanjian sosial tetapi didasarkan atas keyakinan tiap-tiap orang untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan mulia dalam rangka mengurus semua kepentingan keseluruhan manusia dalam sejarah.

(25)

Masyarakat memiliki sifat universal karena setiap anggotanya terpadu dengan anggota-anggota lain dan dengan segala perbedaannya.

Hasan al Banna (2006:39-40) mengungkapkan bahwa nasionalisme itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan universalisme Islam. Nasionalisme Islam menurutnya adalah cinta tanah air yang tidak dibatasi oleh batas-batas teritorial negara dan geografi. Oleh karena itu, batasan nasionalisme Islam adalah aqidah. Semua muslim dibumi manapun merupakan saudara dan keluarga yang harus dibela kepentingan-kepentingannya. Nasionalisme cinta tanah air merupakan fitrah yang terdapat pada tiap manusia, karena ia dapat memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warga negara untuk kepentingan bersama. Ia adalah perjuangan untuk membela dan membebaskan tanah air dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme merupakan suatu keharusan karena Islam pun menghendaki demikian.

Terlepas dari berbagai pandangan di atas, menurut penulis negara dan nasionalisme tidak dapat dipisahkan. Keduanya sangat erat kaitannya dengan bangsa, wilayah dan waktu. Sepintas lalu, ’ashabiyah memiliki persamaan dengan nasionalisme karena keduanya merupakan alat pemersatu untuk mempertahankan negara, suatu pengorbanan dan perjuangan untuk negara apabila makna

’ashabiyah yang digunakan adalah solidaritas kesukuan. ’Ashabiyah menyatukan

seluruh ’ashabiyah dengan kekuatan diantara ’ashabiyah lain sehingga ’ashabiyah yang lemah harus tunduk, patuh dan melebur pada ’ashabiyah yang paling kuat. Demikian pula dengan nasionalisme yang merupakan upaya penyatuan seluruh

(26)

suku dan suku yang paling dominan kekuatan sosial politiknya menjadi identitas nasionalisme.

Namun jika merujuk pada kriteria nasionalisme maka ’Ashabiyah berbeda dengan nasionalisme. Perbedaan pertama terletak pada awal mula terbentuknya

’ashabiyah dan nasionalisme. ’Ashabiyah terbentuk atas dasar paksaan dan

penaklukan sedangkan nsionalisme terbentuk atas dasar kesadaran dan persamaan sejarah sebagai akibat dari kolonialisme dan imperialisme. Kedua, ruang lingkup

’ashabiyah menurut Ibn Khaldun tidak hanya seketurunan dan keluarga tetapi

juga seagama, maka agama menjadi batas dari ’ashabiyah sedangkan nasionalisme dibatasi oleh batas-batas negara tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan. Ketiga, nasionalisme adalah konsep yang baru muncul pada masa modern sehingga tidak dapat disamakan dengan ’ashabiyah pun keduanya memiliki latar belakang historis yang berbeda. Keempat, konsep

’ashabiyah tidak dapat digunakan dan digeneralisasi pada setiap masyarakat dan

Referensi

Dokumen terkait

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi infasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi

Oleh karena itu penelitian yang berjudul Prinsip Kesantunan Berbahasa Pembawa Acara Bukan Empat Mata di stasiun televisi Trans7 Bulan Juni penting untuk dilakukan..

Berdasarkan tabel 4.6 di atas tentang jawaban responden mengenai kinerja karyawan, maka diperoleh nilai mean sebesar 4,39 dan indikator yang memiliki nilai mean yang

Yaitu data yang berhubungan dengan angka-angka, baik yang diperoleh dari hasil pengukuran maupun dari nilai-nilai sebuah data yang diperoleh dengan jalan mengubah

Desain grafis adalah suatu bentuk komunikasi visual yang menggunakan teks dan atau gambar untuk menyampaikan.. informasi

Ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat jawa.. Kepercayaan animisme dan dinamisme sangat mempercayai

a) Pasukan Penyiasat bertanggungjawab menyediakan Laporan Hasil Siasatan atau Laporan Akhir dan kemukakan kepada Urusetia Kehilangan dan Hapuskira dalam tempoh dua

Dan semakin menunjukkan bahwa dalam hal penangguhan upah, DiJjen Binawas KetenagakeJjaan lebih memihak kepada pengusaha, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya