Studi Kualitas Lingkungan di Sekitar Pelabuhan Bongkar Muat Nikel (Ni) dan
Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Desa Motui
Kabupaten Konawe Utara
Environmental Quality Study at Nickel Mining Port and Its Relation with Community Structure of Makrozoobentos in Motui, North Konawe
Wa Ode Asriani *), Emiyarti **), dan Ermayanti Ishak ***)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232
E-mail: *wa_ode_asriani@yahoo.co.id, **emiyarti@ymail.com, dan *** amekoe_81@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas lingkungan perairan disekitar areal pelabuhan hasil galian tambang nikel (Ni) dan pengaruh kegiatan pertambangan terhadap biota perairan khususnya terhadap struktur komunitas makrozoobentos. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012 di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui adanya hubungan pelabuhan pertambangan terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan disekitar pelabuhan tersebut dan kaitannya dengan struktur komunitas makrozoobentos. Hasil pengukuran beberapa parameter menunjukan nilai: suhu berkisar 34,25-35,75oC, kecepatan arus 0,053-0,059 m/det, kedalaman 1,52-1,96 m, kecerahan 100%, salinitas 26,75-28,75, pH air 7-8, DO 7,54-7,81 mg/l, TSS 0,9-1,13 mg/l, nikel 0,015-0,021 ppm, pH subtrat 6,10-6,20, tekstur substrat dominan pasir dan kandungan bahan organik substrat 0,16-1,05%. Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian terdiri dari 2 kelas yakni 18 spesies kelas gastropoda dan 8 spesies kelas bivalvia. Indeks keanekaragaman diperoleh kisaran nilai antara 0,224-0,514. Indeks dominansi berkisar antara 0,535-0,814. Nilai indeks dominansi ini menunjukkan nilai dominansi yang tinggi.
Kata Kunci : Struktur Komunitas, Makrozoobentos, Logam Berat Nikel (Ni)
Abstract
This research aimed to know the effect of environmental quality around nickel mine port and mining activity to to community structure of makrozoobentos. This research executed in from Maret-April 2012 in coastal of water territory of countryside Motui sub-province Konawe Utara. Data obtained in this research analysed descriptively to know existence of the relation of mining port to change of water territory environmental quality is around by the port and its the bearing with community structure makrozoobentos. Result of measurement some parameters shows value: temperature shifts 34,25-35,750C, water current was range 0,053-0,059 m/s, depth of 1,52-1,96 m, water brightness/clarity 100%, salinity was range 26,75-28,75, pH of water was range from 7-8, DO (Dissolved Oxygen) was range from 7,54-7,81 mg/l, TSS (Total Suspendend Solid) was range from 0,9-1,13 mg/l, nickel shifts 0,015-0,021 ppm, pH of substrate was range from 6,10-6,20, sand dominance substrate texture and substrate organic material content shifts 0,16-1,05%. Makrozoobentos found during research consisted of 2 class namely 18 class specieses gastropoda and 8 class species bivalvia. Diversity index is obtained the range of value from 0,224-0,514. Index dominansi ranges from 0,535-0,814. This dominansi index value shows value dominansi which high.
Keyword : Community Structure, Makrozoobentos, Heavy metal Nickel (Ni) Pendahuluan
Perairan Desa Motui yang terletak di Kecamatan Motui Kabupaten Konawe Utara merupakan daerah yang perairan pantainya dijadikan tempat penimbunan dari aktivitas
pertambangan nikel. Hal pertama yang dapat dilihat akibat penimbunan ini adalah tertutupnya sedimen pantai yang tentu saja dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian bagi organisme bentos yang hidup pada substrat baik hewan maupun tumbuhan. Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 03 No. 12 Sep 2013 (22 – 35) ISSN : 2303-3959
Selain itu dengan adanya aktivitas pertambangan tersebut telah terjadi sedimentasi di daerah muara sungai.
Salah satu lokasi penambangan nikel yang berada di Kabupaten Konawe Utara adalah di wilayah Desa Motui, Kecamatan Motui. Perusahaan pertambangan nikel yang melakukan kegiatan penambangan dan telah melakukan beberapa kali aktifitas pengapalan hasil galian tambang Nikel (Ni). Untuk melancarkan kegiatan pengangkutan hasil tambang nikel, perusahaan telah membangun fasilitas penunjang seperti pelabuhan. Aktifitas penimbunan bahan galian tambang disekitar pelabuhan sebelum pengangkutan diduga dapat menyebabkan terjadinya perubahan kualitas lingkungan perairan di areal tersebut.
Pesisir pantai Desa Motui memiliki
keanekaragaman hayati laut, salah satu
diantaranya yaitu makrozoobentos. Bentos
adalah organisme dasar perairan yang hidup
di permukaan (epifauna) atau di dalam
(infauna) substrat dasar. Bentos terdiri dari
organisme nabati (fitobentos) dan hewani
(zoobentos) (Odum, 1993). Bentos dibagi
dalam
tiga
kelompok
besar
yaitu
makrobentos, meiobentos, dan mikrobentos.
Makrobentos adalah semua organisme
bentos yang berukuran lebih besar dari 1,0
mm, seperti moluska. Meiobentos adalah
semua organisme bentos yang berukuran
antar 0,1 mm sampai 1,0 mm, seperti
cidaria. Mikrobentos adalah organisme
bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1
mm.
Makrozoobentos,
terutama
yang
bersifat herbivor dan detritivor, dapat
menghancurkan makrofit akuatik yang hidup
maupun yang mati dan serasah yang masuk
ke dalam perairan menjadi
potongan-potongan
yang lebih kecil, sehingga
mempermudah
mikroba
untuk
menguraikannya
menjadi
nutrien
bagi
produsen perairan.
Nikel adalah salah satu jenis logam
berat yang memiliki sifat toksik. Batas
maksimum kadar limbah nikel adalah 1,0
mg/l (Lee, et al., 2011). Keberadaan logam
berat nikel dalam air laut dan sedimen dapat
mengakibatkan berkurangnya organisme
makrozoobentos karena makrozoobentos
hidup di dasar perairan. Nikel juga dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
tetapi mereka biasanya mengembangkan
perlawanan terhadap nikel setelah beberapa
saat. Ketoksikan nikel pada kehidupan
akuatik bergantung pada spesies, pH,
kesadahan dan faktor lingkungan lain.
Dari permasalahan tersebut maka
dianggap sangat penting untuk diadakan
penelitian mengenai perubahan kualitas
lingkungan perairan disekitar pelabuhan
bongkar muat nikel (Ni) dan kaitannya
dengan struktur komunitas makrozoobentos
guna menduga sejauh mana terjadinya
perubahan kualitas lingkungan setelah
perusahaan tambang nikel mulai beroperasi
serta
pengaruhnya
terhadap
strutktur
komunitas makrozoobentos.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas lingkungan perairan di sekitar areal pelabuhan bongkar muat nikel (Ni) di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara dan untuk mengetahui pengaruh kegiatan pertambangan terhadap biota perairan khususnya pengaruhnya terhadap struktur komunitas makrozoobentos.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai bahan informasi ilmiah bagi pemerintah maupun masyarakat sehubungan dengan adanya pelabuhan hasil galian tambang tersebut serta sebagai masukan bagi pihak perusahaan untuk memperhatikan kondisi lingkungan perairan di wilayah tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Maret-April 2012 yang bertempat di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari parameter pendukung dan parameter inti. Parameter pendukung yaitu parameter fisika dan parameter kimia. Parameter fisika kimia perairan dan kualitas substrat terdiri dari suhu, kecepatan arus, kedalaman, kecerahan, salinitas, pH air, oksigen terlarut (DO), TSS,
tekstur substrat, pH substrat, bahan organis substrat dan logam berat nikel (Ni). Parameter inti yaitu parameter biologi makrozoobentos yang terdiri dari jenis dan komposisi, kepadatan, keanekaragaman dan dominansi.
Stasiun pengamatan ditentukan secara sengaja atau purposive sampling. Setiap lokasi penelitian berjarak 200 meter dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini diasumsikan untuk mewakili seluruh areal lokasi penelitian.
1. Stasiun I : Terletak di sebelah kiri pelabuhan, dengan karakteristik lokasi yaitu merupakan areal pemukiman penduduk; 2. Stasiun II ; Terletak di sebelah kanan
pelabuhan dengan jarak 200 m dari pelabuhan;
3. Stasiun III ; Terletak disebelah kanan pelabuhan dengan jarak 200 m dari stasiun II, dengan karakteristik lingkungan yang alami, dimana tidak berada daerah pemukiman penduduk.
Pengukuran parameter kualitas air dan kualitas substrat seperti suhu, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, salinitas, pH, DO, TSS dan pH substrat dilakukan melalui pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan. Pengukuran tekstur substrat, bahan organik substrat dan logam berat nikel (Ni) dilakukan dengan cara mengambil substrat disetiap stasiun pengamatan. Untuk tekstur substrat dianalisis dengan menggunakan metode pipet, bahan organik substrat dianalisis dengan menggunakan metode titrasi dan logam berat nikel (Ni) dianalisis dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorbtion
Spectrophotometer). Pengambilan sampel
parameter biologi (makrozoobentos) dilakukan dengan menggunakan metode transek. Transek yang digunakan berukuran 1 x 1 meter. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan meletakkan transek secara acak pada setiap stasiun pengamatan. Sampel makrozoobentos disimpan pada kantung plastik berlabel dan ditambahkan larutan formalin 7% sebagai bahan pengawet untuk selanjutnya dilakukan penyortiran. Setiap pengambilan sampel dilakukan dengan 1 kali ulangan pada setiap stasiun pengamatan.
Analisis Data 1. Kepadatan
Kepadatan merupakan jumlah individu dalam suatu luasan tertentu. Kepadatan digunakan untuk melihat apakah suatu tempat merupakan habitat yang sesuai bagi organisme tertentu. Dengan demikian bila kepadatan tersebut rendah maka tempat tersebut tidak sesuai bagi organisme. Untuk menghitung kepadatan digunakan rumus yang dikemukakan oleh Soegianto (1994):
Dimana:
Di= Kepadatan makrozoobentos jenis ke-i (ind/m2);
ni = Jumlah individu makrozoobentos jenis ke-i (individu);
A = Luas plot yang digunakan (m2) . 2. Keanekaragaman
Menurut Odum (1993), indeks keanekaragaman jenis adalah indeks keanekaragaman yang menunjukkan banyak tidaknya jenis dan individu yang ditemukan pada suatu perairan. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut:
H’ = -∑ pi log pi
Dimana :
H’ = Indeks keanekaragaman shannon- Wienner;
Pi = Populasi jumlah individu sampel pada spesies tersebut (ni/N);
Ni = Jumlah individu ke-I; N = Jumlah total individu. Dengan kriteria :
H’ < 1 : Keanekaragaman rendah; 1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang; H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi. 3. Dominansi
Untuk menghitung dominansi jenis tertentu dalam suatu komunitas makrozoobentos digunakan indeks Dominansi Simpson digunakan rumus yang dikemukakan oleh (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
∑ ( )
Dimana:
D = Indeks dominansi simpson S = Jumlah spesies makrozoobentos ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Jumlah total individu keseluruhan spesies Dengan kriteria:
D=0 dominansi rendah, artinya tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau strktur komunitas dalam keadaan stabil;
D=1 dominansi tinggi, artinya terdapat spesies yang mendominasi jenis yang lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis (stress).
Hasil
1. Keadaan Lokasi Penelitian
Kabupaten Konawe Utara dengan ibukota Wanggudu merupakan pemekaran dari Kabupaten Konawe, yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Konawe Utara di Propinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis Kabupaten Konawe Utara terletak di bagian Selatan khatulistiwa, melintang dari Utara ke Selatan antara 02o97’ dan 03o86’ lintang Selatan, membujur dari Barat ke Timur antara 121o49’ dan 122o49’ Bujur Timur.Luas wilayah Kabupaten Konawe Utara yaitu 500.339 ha atau 13,38 persen dari luas wilayah Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan laut (termasuk Perairan Kabupaten Konawe Selatan
dan Kabupaten Konawe ) ±11.960 km2 atau 10,87 persen dari luas perairan Sulawesi Tenggara. Kabupaten Konawe Utara terdiri dari tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Motui, Lembo, Lasolo, Molawe, Asera, Langgikima dan Wiwirano. Sebagaimana yang menjadi lokasi penelitian ini yaitu di Perairan Desa Motui merupakan bagian wilayah dari Kabupaten Konawe Utara yang terletak di Kecamatan Motui, secara administratif Desa Motui mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Puuwonggia
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lambuluwo
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Bende
- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut B anda
Desa Motui mempunyai kondisi topografi yang berbukit-bukit, dataran tinggi pegunungan, lereng gunung, tipe pantai berpasir, kawasan rawa, kawasan gambut, aliran sungai dan bantaran sungai. Luas wilayah Desa Motui 60 Ha yang terdiri dari tanah sawa, tanah kering, tanah basah, tanah perkebunan dan tanah hutan. Desa Motui juga merupakan lokasi pertambangan, dimana keadaan lingkungannya banyak dipengaruhi oleh aktivitas tambang. Dilihat dari aspek sosial dan ekonomi, penduduk Desa Motui mayoritas memiliki tingkat mata pencaharian bertani.
2. Kondisi Fisika-Kimia Perairan
Hasil pengamatan kondisi fisika-kimia perairan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Nilai rata-rata fisika-kimia perairan selama penelitian
Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Suhu oC 34,5 34,25 35,75 Kecepatan arus m/s 0,057 0,053 0,059 Kedalaman m 1,96 1,52 1,8 Kecerahan (%) 100 100 100 Salinitas ppt 28 28,75 26,75 pH - 8 7 7 DO (Dissolved Oxygen) mg/l 7,81 7,64 7,54
Tabel 2. Nilai rata-rata parameter kualitas substrat selama penelitian
Stasiun Tekstur Kelas BO (%) pH Nikel (Ni)
Debu % Liat % Pasir %
I 0,10 0,01 99,88 Pasir 0,16 6 0,021
II 0,12 0,01 99,87 Pasir 0,46 6 0,015
III 0,09 0,01 99,90 Pasir 1,05 7 0,017
3. Struktur Komunitas Makrozoobentos a. Komposisi dan Jenis Makrozoobentos
Komposisi relatif masing-masing kelas makrozoobentos selama penelitian terdiri dari 2 kelas yakni kelas gastropoda dan bivalvia dengan jumlah spesies 26 jenis. Jumlah
masing-masing spesies setiap kelas terdiri atas 18 spesies atau 69% dari kelas Gastropoda dan 8 spesies atau 31% dari kelas bivalvia. Untuk melihat komposisi relatif masing-masing kelas makrozoobentos di Perairan Desa Motui Selama Penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Komposisi relatif masing-masing kelas makrozoobentos di perairan desa motui selama penelitian
b. Kepadatan Makrozoobentos
Kepadatan organisme makrozoobentos yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 16,25-24 ind/m2. Untuk melihat
rata-rata kepadatan makrozoobentos pada masing-masing stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 3.
Tabel
3. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan
Stasiun Kepadatan Satuan
I 16 ind/m2
II 18 ind/m2
III 24 1nd/m2
c. Keanekaragaman dan Dominansi Makrozoobentos
Keanekaragaman makrozoobentos pada
setiap stasiun pengamatan berkisar antara
0,223-0,514 dan dominansi makrozoobentos
pada setiap stasiun pengamtan berkisar
antara 0,535-0,814. Untuk melihat nilai
keanekaragaman
dan
dominansi
pada
masing-masing stasiun pengamatan dapat
dilihat pada Tabel 4.
69% 31%
Gastropoda Bivalvia
Tabel 4. Nilai keanekaragaman dan dominansi makrozoobentos pada masing-masing stasiun
Stasiun H' D I 0,514 0,535 II 0,223 0,814 III 0,292 0,767 Pembahasan1. Kondisi Fisika-Kimia Perairan a. Suhu
Parameter fisika-kimia perairan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan organisme dalam suatu perairan. Kualitas perairan baru dapat dikatakan baik apabila organisme tersebut dapat melakukan pertumbuhan dan perkembangbiakan dengan baik. Organisme perairan dapat hidup dengan layak bila faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti fisika-kimia perairan berada dalam batas toleransi yang dikehendakinya.Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas (Nybakken, 1988). Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologi dan fisiologi di dalam ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air. Apabila suhu naik maka akan mengakibatkan peningkatan aktifitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat (Sastrawijaya, 2000).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai rata-rata suhu pada setiap stasiun berkisar antara 34,25-35,75 oC, dimana kisaran suhu tersebut termasuk suhu yang normal. Suhu pada ketiga stasiun tersebut relatif sama, tidak mengalami fluktuasi, karena keadaan cuaca pada saat pengukuran relatif sama dan jarak pengukuran setiap stasiun juga tidak terlalu jauh, sehingga suhu tidak mengalami perubahan yang jauh. Secara umum kisaran tersebut merupakan kisaran yang normal bagi kehidupan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suriawira (1996), bahwa batas toleransi hewan bentos terhadap suhu tergantung pada spesiesnya, umumnya suhu di atas 35oC
dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos.
Nilai suhu tertinggi berada pada stasiun III, dimana stasiun ini merupakan area yang terbuka, sehingga cahaya matahari langsung masuk ke perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004), bahwa pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kedalaman, intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Selain dipengaruhi oleh faktor kerapatan vegetasi mangrove rendahnya nilai suhu pada stasiun tersebut diduga adanya pengaruh aliran air tawar di stasiun tersebut. Nilai suhu tertinggi berada pada daerah dengan vegetasi tutupan pohon yang jarang atau perairan yang terbuka.
b. Kecepatan Arus
Secara umum yang dimaksud dengan arus adalah gerakan massa air laut ke arah horizontal dalam skala besar. Besar kecilnya kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: a) kecepatan angin, b) tahanan dasar, c) gaya coriolis, d) perbedaan densitas, e) gelombang, f) refraksi gelombang, g) difraksi gelombang dan h) refleksi gelombang (Wibisono, 2005).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai rata-rata kecepatan arus pada setiap stasiun berkisar antara 0,053-0,059 m/detik dimana arus ini relatif cepat. Kondisi arus ini merupakan kondisi yang normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1996), bahwa arus merupakan faktor yang membatasi penyebaran makrozoobentos, dimana kecepatan arus ini akan mempengaruhi tipe atau ukuran subtrat dasar perairan yang merupakan tempat hidup bagi hewan bentos. Selanjutnya berdasarkan penelitian Nurul dkk. (2010), menyatakan bahwa pengukuran kecepatan arus di estuaria Kuala
Sugihan Provinsi Sumatera Selatan pada bulan November 2009 berkisar 0,037-0,512 m/detik, dimana menjadi arus yang baik bagi hewan bentos.
Perbedaan kecepatan arus pada lokasi penelitian dengan kecepatan arus tertinggi pada stasiun III disebabkan karena stasiun ini berada pada daerah terbuka sehingga arus yang masuk menjadi lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1993), bahwa beberapa faktor kecepatan arus air antara lain kecepatan angin dan kondisi perairan yang terbuka tanpa ada peredam masa air yang masuk. Selanjutnya berdasarkan penelitian Rosyadi (2010), didapatkan bahwa daerah yang memiliki arus tercepat berada pada stasiun I. Tinggi kecepatan arus pada stasiun ini diduga karena kondisi stasiun yang berada paling terluar atau paling mendekati laut bebas.
c. Kedalaman
Kedalaman sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hewan bentos. Kedalaman suatu perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk sampai ke dasar perairan, jika kedalaman perairan tersebut dangkal maka cahaya akan masuk sampai kedasar perairan.
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai rata-rata kedalaman pada setiap stasiun berkisar antara 1,52-1,96 m, ini termasuk perairan yang dangkal dan juga merupakan habitat dari makrozoobentos, sehingga penetrasi cahaya sampai ke dasar perairan menyebabkan tingginya suhu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992), bahwa semakin dangkal suatu perairan maka cahaya yang masuk akan sampai ke dasar menyebabkan semakin tinggi tingkat suhunya.
Berdasarkan penelitian Rosyadi, dkk. (2009), menyatakan bahwa yang mengambil sampel pada kedalaman kurang dari 2 m yaitu kisaran 0,53-1,78 m. Selanjutnya berdasarkan penelitian Nurul dkk. (2010), menyatakan bahwa kedalaman perairan yang terukur pada saat penelitian berkisar antara 125-300 cm. Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah jenis makrozoobentos. Semakin dalam dasar suatu perairan, semakin sedikit jumlah jenis makrozoobentos karena hanya makrozoobentos tertentu yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya (Odum, 1996).
d. Kecerahan
Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah, karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena itu, secara tidak langsung kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna bentos yang hidup didalamnya. Disamping itu kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai rata-rata kecerahan pada semua stasiun yaitu 100%. Ini dikarenakan kedalaman perairan sangat dangkal sehingga cahaya matahari tembus sampai ke dasar perairan meskipun tingkat partikelnya cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1996), bahwa interaksi antara faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan, selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan fauna makrozoobentos.
e. Salinitas
Salinitas merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang membedakannya dengan air tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat stenohaline dan
euryhaline. Biota yang mampu hidup pada
kisaran yang sempit disebut sebagai biota bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang mampu hidup pada kisaran luas disebut sebagai biota euryhaline (Supriharyono, 1978).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai rata-rata salinitas pada setiap stasiun berkisar antara 26,75-28,75 ppt. Nilai kisaran salinitas tersebut relatif sama, tidak menunjukkan perbedaan yang jauh dan merupakan nilai salinitas yang rendah bagi kehidupan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutabarat dan Evans (1985), bahwa kisaran normal untuk kehidupan makrozoobentos yaitu berkisar antara 32-37,5 ppt. Rendahnya salinitas disetiap stasiun disebabkan karena lokasi penelitian berada pada
disekitar lokasi penelitian terutama pada stasiun I yang paling terkena dampak dari asupan air tawar tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2000), bahwa salinitas pada perairan yang dekat pantai biasanya lebih rendah karena pengaruh aliran sungai sedangkan pada daerah dengan penguapan tinggi salinitas bisa meningkat juga.
f. pH
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2000), menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai rata-rata pH pada setiap stasiun berkisar antara 7-8. Kisaran nilai pH di Perairan Desa Motui ini dikatakan normal apabila dibandingkan dengan daftar baku mutu air laut untuk biota laut (KepMen KLH No. 51 tahun 2004) masih memenuhi syarat yaitu 7- 8,5.
Nilai pH tertinggi berada pada stasiun I, ini disebabkan pada stasiun ini berada pada daerah pemukiman dimana terdapat buangan limbah yang bersifat basa seperti limbah deterjen sehingga pH sedkit berbeda dibandingkan stasiun II dan III. Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1993), bahwa dalam mintakat reduksi lebih banyak dijumpai Hidrogen Sulfida (H2S), Besi (Fe2+), Metana
(CH4) dan Ammonia (NH3) yang diikuti pula
oleh keasaman yang tinggi dan bau yang khas dari sedimen yang bewarna kehitam-hitaman. g. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken, 1988). Oksigen terlarut digunakan dalam degradasi bahan-bahan organik dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut pada tingkat konsentrasi tertentu, banyak organisme akuatik tidak bisa hidup dalam air. Banyak organisme air mati bukan diakibatkan oleh toksisitas zat pencemar langsung, tetapi dari kekurangan oksigen sebagai akibat dari penguraian oksigen untuk menguraikan zat-zat
pencemar, kekurangan oksigen terjadi karena pembusukan zat organik (Jaenuru, 2004).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai rata-rata DO pada setiap stasiun berkisar antara 7,54-7,81 mg/l. Kisaran nilai DO di Perairan Desa Motui ini tergolong baik yaitu diantara 6-8 mg/l. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1988), bahwa nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi proses kehidupan bentos. Selanjutnya Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Perairan dengan kandungan oksigen seperti diatas menurut Sinambela (1994), bahwa sudah cukup untuk memenuhi kehidupan organisme karena kandungan oksigen terlarut di air sebanyak 2 mg/l sudah dapat menunjang kehidupan normal asalkan tidak mengandung senyawa beracun. h. TSS (Total Suspended Solid)
Total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat disaring dengan kertas miliopore berpori-pori 0,45 mikrometer. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari kedalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Monoarfa 2008).
Berdasarkan Gambar 10, didapatkan nilai rata-rata TSS pada setiap stasiun berkisar antara 0,9-1,13mg/l. Nilai kisaran TSS tersebut relatif sama, tidak menunjukkan perbedaan yang jauh dan merupakan nilai TSS yang rendah bagi kehidupan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan (2004), bahwa nilai standar untuk TSS untuk perairan <50.
Rendahnya nilai TSS diduga karena pada lokasi penelitian di Perairan Desa Motui memiliki substrat yang dominan yaitu substrat pasir, sehingga padatan tersuspensi juga rendah. Nilai TSS yang tinggi dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan oleh berbagai keadaan limbah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya senyawa-senyawa baik senyawa organik maupun anorganik yang sukar terdekomposisi secara biologis. Banyaknya zat-zat organik yang tidak bisa diuraikan secara biologis mudah diuraikan oleh reaksi kimia
Andrews, 1997). Selanjutnya dikatakan bahwa tingginya tingkat pencemaran bahan organik di dalam air akan mempercepat penurunan oksigen terlarut.
2. Parameter Kualitas Substrat a. Tekstur Substrat
Substrat dasar perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan hewan makrozoobentos yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat (Barnes and Mann, 1994).
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan hasil pengukuran tekstursubstrat yang di peroleh dari tiga stasiun penelitian yaitu berupa debu, liat dan pasir. Substrat yang dominan pada semua stasiun penelitian memiliki yaitu pasir berkisar 99-87-99,90%, sedangkan tekstur lainnya berupa debu dengan kisaran 0,09-0,12% dan tekstur liat dengan nilai 0,01% pada semua stasiun. Tingginya tekstur substrat pasir di lokasi penelitian dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah pesisir pantai. Hal ini didiukung oleh Efriyeldi (1997), menyatakan bahwa karakteristik sedimen mempengaruhi distribusi, morfologi, fungsional dan tingkah laku organisme bentos. Tipe substrat merupakan faktor utama yang dapat mengendalikan distribusi dan adaptasi organisme bentos serta menentukan morfologi dan cara makan organisme tersebut.
Tekstur substrat di Perairan Desa Motui memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi daripada kandungan debu dan liat. Semua stasiunnya memiliki tekstur yang didominasi oleh pasir. Komposisi debu dan liat hampir sama di setiap stasiun karena pengaruh arus relatif menjadi lebih cepat sehingga sedimentasi partikel suspensi halus lebih sulit terjadi. Arus deras yang terjadi di musim hujan memiliki kemampuan membawa partikel lebih besar sehingga pasir mudah terbawa.
b. pH Substrat
Nilai derajat keasaman (pH) sedimen bersama redoks potensial menunjukkan sifat kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik. Romimohtarto (2003), menyatakan bahwa ditinjau dari segala segi substrat yang miliki pH antara 6-7 merupakan pH terbaik, suasana
biologi dan penyediaan hara umumnya berada pada tingkat terbaik pada kisaran pH tersebut.
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai rata-rata pH substrat pada setiap stasiun berkisar antara 6-7. Nilai pH substrat tersebut tidak memiliki perbedaan yang besar setiap stasiunnya, karena kondisi substrat pada semua stasiun didominasi oleh pasir. Kisaran pH tersebut tergolong normal bagi kehidupan hewan bentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syafriel (2008), bahwa nilai pH 6-7 kisaran ini cenderung bersifat asam sampai netral. Hal ini hubungannya dengan bahan organik, tipe substrat dan kandungan oksigen. Kisaran nilai tersebut masih mendukung kelangsungan hidup bagi organisme makrozoobentos. Selanjutnya Hutabarat dan Evans (1985), menyatakan bahwa pH substrat yang dibutuhkan oleh moluska berkisar antara 5,7-8,4.
c. Bahan Organik Substrat
Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan bentos (Barnes dan Mann, 1994).
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai rata-rata kandungan bahan organik substrat pada setiap stasiun berkisar antara 0,16-1,05%. Bahan organik substrat tertinggi berada pada stasiun III yaitu 1,05 %, sedangkan nilai bahan organik substrat terendah berada pada stasiun I yaitu 0,16 %. Secara keseluruhan nilai bahan organik substrat yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian di Perairan Desa Motui ini tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wa Iba (1999), bahwa tipe substrat berpasir memiliki kandungan oksigen yang tinggi karena memiliki pori-pori yang cukup besar sehingga memudahkan percampuran intensif dengan air yang ada diatasnya jika dibandingkan dengan tipe substrat yang lebih halus namun substrat berpasir memiliki kandungan bahan organik yang sangat rendah atau bahkan tidak ada. Hal ini didukung oleh pernyataan Nybakken (1992),
mengandung bahan organik dimana bahan organik tersebut hanyut terbawa arus air.
Bahan organik yang rendah dipengaruhi oleh substrat dasar atau partikel substrat itu sendiri. Substrat dasar yang dengan partikel kasar memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ita & Wibowo (2009), bahwa adanya perbedaan ukuran partikel sedimen memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik, dimana perairan dengan sedimen yang halus memiliki presentase bahan organik yang tinggi karean kondisi perairan yang tenang yang memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang kasar memiliki kandungan organik yang rendah karena partikel yang lebih kasar susah untuk mengendap.
d. Logam Berat Nikel (Ni)
Kontaminasi logam berat dilingkungan merupakan masalah besar dunia saat ini. Persoalan spesifik logam berat di lingkungan terutama karena akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya di alam, serta meningkatnya sejumlah logam berat yang menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara, dan air. Proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap peningkatan kontaminasi tersebut (Effendi, 2003).
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai rata-rata logam berat (nikel) pada setiap stasiun berkisar antara 0,015-0,021 ppm. Nilai logam berat pada setiap stasiun relatif sama atau tidak memiliki perbedaan yang jauh dan kandungan logam beratnya tergolong normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa kadar Ni pada perairan laut berkisar antara 0.005 – 0.007 mg/l dan untuk melindungi kehidupan organisme akuatik, kadar Ni sebaiknya tidak melebihi 0.025 mg/l.
Nilai logam berat tertinggi berada pada stasiun I dikarenakan pada stasiun II terdapat lokasi pertambangan sehingga unsur logam yang jatuh keperairan tidak langsung mengendap melainkan terbawa oleh arus kearah stasiun I. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibisono (2005), bahwa distribusi unsur partikel yang terdapat diperairan dipengaruhi oleh keadaan arus yang membawa partikel kecil seperti unsur
3. Struktur Komunitas Makrozoobentos a. Komposisi dan Jenis Makrozoobentos
Jenis makrozoobentos yang ditemukan di 3 stasiun pengamatan terdiri dari 2 kelas yakni kelas Gastropoda dan Bivalvia dengan jumlah spesies 26 jenis. Jumlah masing-masing spesies setiap kelas terdiri atas 18 spesies dari kelas Gastropoda dan 8 spesies dari kelas Bivalvia. Adapun komposisi relatif dari masing-masing kelas makrozoobentos di Perairan Desa Motui adalah 69 % (Gastropoda) dan 31 % (Bivalvia).
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa komposisi jenis kelas Gastropoda menempati tingkat tertinggi dibandingkan dengan kelas bivalvia. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan adaptasi yang baik oleh kelas Gastropoda pada semua tipe substrat. Seperti yang dinyatakan oleh Barnes (1987) dalam Irawati (2001) bahwa gastropoda telah melakukan adaptasi sangat ekstensif terhadap kehidupan pada semua bentuk dasar laut dan kehidupan pelagis, demikian juga pada perairan tawar dan daratan. Lebih lanjut dikatakan bahwa luasnya penyebaran dan bervariasinya kondisi habitat gastropoda disebabkan oleh kemampuan adaptasinya yang tinggi terhadap berbagai jenis lingkungan.
Dari hasil penelitian terhadap organisme makrozoobentos, dari seluruh stasiun pengamatan ada yang memiliki kesamaan jenis makrozoobentosnya. Jenis-jenis makrozoobentos yang sering dijumpai pada setiap stasiun yaitu kelas gatropoda dengan jenis yang mendominasi yaitu Elaphrocancha javacensis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosyadi, dkk. (2009), menyatakan bahwa organisme yang dominan pada suatu lokasi tercemar merupakan organisme indikator yang memiliki daya toleransi yang besar terhadap perubahan kualitas air, sehingga jenis tersebut cenderung ditemukan pada setiap pengamatan, dari setiap stasiun pengamatan dan perulangannya.
b. Kepadatan Makrozoobentos
Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobentos dalam suatu areal tertentu biasanya dalam satuan meter kuadrat (Soegianto, 1994).
Berdasarkan Tabel 3, diperoleh kepadatan organisme makrozoobentos yang
berkisar antara 16-24 ind/m2. Diantara ke-3 stasiun pengamatan, stasiun III memiliki nilai kepadatan makrozoobentos yang tertinggi dan kepadatan terendah terdapat pada stasiun I.
Berdasarkan Lampiran 4, bahwa pada stasiun I, II dan III spesies dengan kepadatan tertinggi berada pada jenis Elaphrocancha
javacensis dengan kepadatan masing-masing
yaitu 12, 16 dan 21 ind/m2, sedangkan kepadatan terendah berada pada beberapa jenis seperti
Corbicula javanica, Corbicula rivalis, Hiatula chinensis, Cyclotus discoideus, Mactra grandis, Fragum unedo, Fragum fragum, Terebra succincta, Septifer bilocularis dan lain-lain yaitu
0,25 ind/m2.
Spesies Elaphrocancha javacensis
merupakan spesies yang paling dominan diantara spesies lain, ini dikarenakan spesies
Elaphrocancha javacensis memiliki toleransi
yang besar terhadap kondisi lingkungan bersubstrat pasir. Hal ini sesuai dengan penelitian Heryanto (2008), menyatakan bahwa
Elophroconcha lebih cocok hidup pada substrat
berpasir sehingga kepadatannya lebih tinggi daripada jenis yang lain.
c. Keanekaragaman dan Dominansi Makrozoobentos
Indeks keanekaragaman (H') makrozoobentos sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan berdasarkan komponen biologisnya. Sedangkan indeks dominansi jenis (D) makrozoobentos digunakan untuk menghitung adanya spesies tertentu yang mendominasi suatu komunitas makrozoobentos. Dengan melihat besarnya nilai indeks tersebut dapat diduga tingkat kestabilan suatu lingkungan perairan. Kondisi lingkungan suatu perairan dikatakan masih baik (stabil) apabila diperoleh nilai indeks keanekaragaman tinggi serta indeks dominansi rendah. (Emiyarti, 2004).
Berdasarkan Tabel 4, hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis pada setiap stasiun pengamatan diperoleh kisaran nilai antara 0,224-0,514. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun II. Terlihat nilai indeks keanekaragaman jenis makrozoobentos di Perairan Desa Motui berada pada kriteria rendah yaitu dibawah 1.
Rendahnya nilai indeks keanekaragaman spesies disetiap stasiun selain dipengaruhi oleh
juga disebabkan oleh adanya dominansi dari salah satu spesies tertentu. Berdasarkan hal tersebut diiduga bahwa terjadi persaingan atau kompetisi dari spesies organisme makrozoobentos sehingga ada spesies tertentu yang mengalami tekanan dari spesies lain di lokasi penelitian. Soegianto (1994), menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi jika komunitas disusun oleh banyaknya spesies dengan kelimpahan spesies atau dengan kata lain bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh jumlah spesies dan jumlah total individu masing-masing spesies pada suatu komunitas.
Adanya perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis organisme pada setiap stasiun menunjukan bahwa kekayaan jenis dari setiap stasiun yang ditemukan sangat bervariasi. Keadaan ini menunjukan bahwa bervariasinya organisme pada lokasi penelitian. Hal ini di duga disebabkan oleh adanya pengaruh kondisi lingkungan perairan pada setiap stasiun penelitian tempat dimana ditemukannya organisme makrozoobentos, dalam hal ini perkembangan pola adaptasi organisme dalam menempati ruang untuk perekembangbiakan dan pertumbuhan serta persaingan untuk mendapatkan makanan bergantung pada kondisi lingkungan perairan, serta tekstur substrat dan kandungan bahan organik yang terdapat dalam substrat.
Indeks dominansi jenis makrozoobentos digunakan untuk melihat apakah dalam suatu komunitas terdapat jenis organisme makrozoobentos yang dominan. Sebaliknya apabila nilai dominansi rendah, maka tidak terdapat adanya organisme yang dominan dalam suatu komunitas. Efriyeldi (1997), menyatakan bahwa pada perairan dengan spesies makrozoobentos yang banyak, akan mempunyai nilai indeks dominansi yang rendah dibanding dengan jenis yang sedikit dengan catatan jumlah masing-masing individu sama.
Nilai Indeks Dominansi jenis makrozoobentos di Perairan Desa Motui pada setiap stasiun berkisar antara 0,535-0,814, lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai indeks dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II dan indeks dominansi terendah terdapat pada stasiun I. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), menyatakan bahwa D=0 berarti dominansi
mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. D=1 berarti dominansi tinggi, artinya terdapat spesies yang mendominasi jenis yang lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis (stress). Nilai rata-rata indeks dominansi dari setiap stasiun menunjukkan nilai dominansi yang tinggi.
Tingginya indeks dominansi pada stasiun II, ini terjadi karena adanya spesies dari jenis Elaphrocancha javacensis yang mendominasi jumlah individu dalam komunitas pada stasiun tersebut. Sedangkan pada stasiun dengan nilai indeks dominansi yang rendah, terlihat bahwa tidak adanya jenis organisme yang mendominasi dari spesies tertentu pada setiap stasiun dalam komunitas.
Hasil perhitungan nilai indeks dominansi menunjukkan bahwa ada beberapa stasiun yang jumlah individunya dalam satu spesies lebih dominan dari spesies lain dalam komunitas. Berdasarkan hal tersebut, diduga bahwa terjadi persaingan atau kompetisi bagi setiap jenis organisme makrozoobentos, sehingga ada spesies tertentu yang mengalami tekanan dari spesies lain, dalam hal penempatan ruang dan persaingan untuk mendapatkan makanan. Selain itu, kondisi lingkungan perairan termasuk parameter fisik, kimia perairan dan karakteristik substrat berpengaruh terhadap indeks dominansi pada lokasi penelitian.
Bahan organik
yang rendah diduga
berasal dari laut karena laut adalah daerah
yang oligotrofik (miskin bahan organik).
Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab
tingginya
indeks
dominansi.
Indeks
dominansi yang tinggi menunjukan adanya
tekanan ekologis yang kuat sehingga
organisme yang yang tidak mamu menahan
ekologis ini cenderung untuk menghilang
atau mencari tempat lain yang lebih sesuai,
sedangkan organisme yang mampu bertahan
hidup dan beradaptasi dengan kondisi
lingkungan tersebut akan terus menetap.
Simpulan
Kualitas lingkungan perairan di
sekitar areal pelabuhan bongkar muat nikel
(Ni) di Perairan Desa Motui Kabupaten
Konawe Utara masih berada dalam kisaran
normal dan kegiatan pertambangan di
sekitar pelabuhan bongkar muat nikel (Ni)
menyebabkan rendahnya kepadatan dan
keanekaragamanorganisme makrozoobentos.
Persantunan
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. LM. Aslan, M.Sc selaku dekan FPIK Unhalu yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penenlitian, Emiyarti, S.Pi., M.Si dan Ermayanti Ishak, S.Pi., M.Si atas bimbingannya selama penelitian, Ruslaini, S.Pi., M.Pi atas pinjaman alat penelitian serta Prof. H. La Onu La Ola, SE. MS penasehat akademik selama kuliah.
Daftar Pustaka
Barnes, R,S.K. & K.H.Mann. 1994.
Fundamental Of Aquatic Ecology.
Backwell Scientific Publications. Oxford.
Barus, T.A. 1996. Metode Ekologi Untuk Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik. Program Studi Biologi USU FMIPA-USU, Medan.
_____, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosisitem Daratan. Program Studi Biologi USU FMIPA. Medan. C.K.Yap, S.M. Al-Barwani.2012. A
Comparative Study of Condition
Indices and Heavy Metals in Perna Viridis Populations at Sebatu and Muar, Peninsular Malaysia. Journal
Malaysian. Vol (9): 1063-1069.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia Jilid II. Lipi.
Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 Hlm.
Efriyeldi, 1997. Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Keterkaitannya dengan Karakteristik Sedimen di Perairan Muara Sungai Banten Tengah, Bengkalis. Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor.
Emiyarti. 2004. Karakteristik Fisika Kimia Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos
di Perairan Teluk Kendari. Tesis Pasca Sarjana. IPB, Bogor.
Ending Rochaytun, Abdul Rozak. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Vol (11): 28-36.
Fitriana, Y.R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas 7 (1) : 67-72.
Harimurthy, S. 2002. Tipologi Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan di Muara Sungai Donan, Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Heryanto. 2008. Ekologi Keong di Taman
Nasional Gunung Ciremai. Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI. Jurnal Biologi Indonesia. 4(5). Hlm. 359-370.
Hutabarat, S dan S M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Irawan, A. 2003. Asosiasi Makrozoobentos Berdasarkan Letak Padang Lamun Estuaria Bontang Kuala, Kota Bontang Kalimantan Timur. [Tesis]. Program Pasca Sarjana. IPB.
Irwana, 2000. Kelimpahan dan Tipe Distribusi Makrozoobentos pada Zona Intertidal Perairan Pomalaa Kabupaten Kolaka. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.
Irawati, Nur. 2001. Analisis Tingkat Pencemaran Teluk Kendari dengan Makrozoobentos Sebagai Bioindikator. Skripsi. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari. 18-38p.
Ita. R., E. K. Wibowo. 2009. Substrat Dasar dan Parameter Oseanografi Sebagai Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. 14(1). Hlm. 50-59.
Jaenuru, L. 2004. Struktur Komunitas
Kambu Kota Kendari. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.
Kementerian Lingktrngan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. ]akarta: MENKLH.
Kegley and Andrews. 1997. The Chemistry of
Water. Univ. Science Book.
California. 71 p.
Monoarfa, W., 2000. Pengelolaan Kualitas Air. Universitas Hasanuddin. Makassar. ______ 2008. Dampak Pembangunan Bagi
Kualitas Air di Kawasan Pesisir Pantai Losari. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Pradyna Paramita. Jakarta.
Nasim Ahmad Khan, Shaliza Ibrahim, Piarapakaran Subramaniam. 2004.
Elimination of Heavy Metals From Wastewater Using Agricultural Wastes as Adsorbents. Malaysian Journal of
Science (23): 43-51.
Nontji, A. 2000. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Pp 157-171.
Nurul, R.I., Zulkifli. H., dan Hendri. H. 2010. Struktur komunitas Makrozoobentos di estuaria Kuala Sugihan Provinsi Sumatera Selatan. Program Studi llmu Kelautan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya, Indralaya. Maspari Journa. 1(1). Hlm. 53-58. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu
Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan dari Marine Biology an Ecological Approach oleh M. Eidman. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. ______. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan
Ekologis. Terjemahan oleh Eidman, D.Y Bengen dan Koesbiono. Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
_______. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta (Penerjemah Tjahjono Samingar). Hlm. 370, 374-375, 386. Pennak, R.W. 1978. Fresh Water Invertebrates
Willey Interscience Publ. John Willey amd Sons, New York.
Rahmania, R. 2001. Analisis Kualitas Air Dengan Bioindikator Plankton di Sungai Wanggu Kotamadya Kendari. Skripsi.jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.
Rizky Nurul Irmawan, Hilda Zulkifli, Muhammad Hendri. 2010. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuaria Kuala Sugihan Provinsi Sumatera Selatan. Maspari Journal. Vol (01): 53-58.
Romimohtarto. K., dan S. Juwana, 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. Rosyadi, Nasution, S., Thamrin. 2009.
Distribusi dan Kelimpahan Makrozoobenthos Di Sungai Singingi Riau. PPs Universitas Riau, Pekanbaru :3 (1). Hlm 5-10.
Sastrawijaya, T.A. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta. ______, T.A. 2000. Pencemaran Lingkungan.
Edisi Kedua. Rineka Cipta. Jakarta. Saw Ai Yin, Ahmad Ismail, Syaizwan Zahmir
Zulkifli. 2012. Heavy Metals Uptake
by Asian Swamp Eel, Monopterus Albus From Paddy Fields of Kelautan,
Peninsular Malaysia: Perliminary
Study. Tropical Life Sciences
Research. Vol (3) No (2): 27-38. Setyowati, Y., Iriani, A. H. Ramelan. 2012.
Pengaruh Rapat Arus Terhadap Ketebalan dan Struktur Kristal Lapisan Nikel Pada Tembaga. Indonesian Journal of Applied Physics. Vol (2) No (1): 1.
Shoedharma, D. 1994. Keanekaragaman Makrobentos dan Hubungannya dengan Kualitas Lingkungan Pesisir Teluk Lampung. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. II. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha
Nasional Surabaya-Indonesia.
Supriharyono, 1978. Kondisi Kualitas Air di Saluran Daerah Persawahan. Persawahan-Pemukiman dan Pemukiman Delta Upang Sumatera Selatan. Fak. Pascasarjana, IPB Bogor. Surianto, W.A., 2001. Struktur Komunitas
Kualitas Air Di Perairan Pantai Desa Torekeku Kecamatan Tinanggea Kabupaten Kendari. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo.
Suriawira, U. 1996. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Edisi 1. Alumni. Bandung. Hlm 1-6.
Syafikri, 2008. Studi Struktur Komunitas Bivalvia dan Gastropoda di Perairan Muara Sungai Kerian dan Sungai Simbat Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Syafriel, 2008. Struktur Komunitas Dan Komposisi Jenis Serta Penyebaran Makrozoobentos di Kawasan Hutan Mangrove. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo Gramedia Widiarsarana Indonesia. Jakarta. 224 hal.
Yuniar Andri S, Hadi Endrawati, Muhammad Zainuru. 2012. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Morosari Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Journal of Marine Research. Vol (1) No (2): 235-242.
Zulfandi, Muhammad Zainuru, Retno Hartati. 2012. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pandasari Kecamatan Sayung. Kabupaten Demak. Journal of Marine Research. Vol (1) No (1) : 62-66.