• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Ikan di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Ikan di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO

Sampel Air

Sampel Putih / Cokelat

Sampel Cokelat

Sampel Kuning Pucat

Sampel Biru

Bening

Hasil DO

1 ml MnSO4

1 ml KOH-KI Kocok

Diamkan

1 ml H2SO4

Kocok Diamkan

Diambil 100 ml Tambah Na2S2O3

Amilum 5 tetes

(3)
(4)
(5)

Lampiran 4. Taksonomi Ikan Hasil Penelitian

Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Chordata Actinopterygii Cypriniformes Cyprinidae Mystacoleucus Mystacoleucus Marginatus

Siluriforrmes Loricariidae Liposarcus Liposarcus Pardalis

Bagridae Mystus M.gulio M.nigriceps

Osteoglossiformes Notopteridae Notopterus Notopterus borneensis

Perciformes Eleotridae Oxyeleotris Oxyeleotris Marmorata

Pisces Gobioidea Gobiidae Glossogobius Glossogobius giuris

Ostariophysi Ariidae Arius Arius sagor

(6)

Lampiran 5. Jumlah dan Jenis Ikan yang Tertangkap di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang

No Nama Ikan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Jumlah

1 Mystacoleucus marginatus 6 12 1 1 20

2 Tor tambra 2 ~ ~ ~ 2

3 Arius sagor 1 ~ ~ 1 2

4 Barbodes schwanenfeldii 8 7 19 8 42

5 Tor soro 1 1 ~ ~ 2

6 Hampala macrolepidota 1 2 ~ ~ 3

7 Liposarcus pardalis ~ 1 19 11 31

8 Oreochromis niloticus ~ ~ 4 1 5

9 Osteochilus hasseltii ~ ~ 30 6 36

10 Oxyeleotris marmorata ~ ~ 4 ~ 4

11 Mystus gulio ~ ~ 41 6 47

12 Mystus nigriceps ~ ~ 3 3 6

13 Glossogobius giuris ~ ~ 1 1

14 Notopterus borneensis ~ ~ ~ 3 3

(7)

Lampiran 6. Hasil Perhitungan Indeks Kelimpahan Relatif (KR), Keanekaragaman (H′), Keseragaman (E), dan Dominansi Ikan (C) pada Stasiun Pengamatan

Stasiun I

No Nama Ikan P1 P2 P3 P4 Jumlah pi ln pi H′ E C KR

1 Mystacoleucus marginatus 2 2 1 1 6 0,315789 -1,15268 0,3640041 0,203155 0,099723 31,579

2 Tor tambra 1 1 0 0 2 0,105263 -2,251292 0,2369781 0,13226 0,01108 10,526

3 Arius sagor 0 0 1 0 1 0,052632 -2,944439 0,1549705 0,086491 0,00277 5,2632

4 Barbodes schwanenfeldii 0 1 4 3 8 0,421053 -0,864997 0,3642094 0,203269 0,177285 42,105

5 Tor soro 1 0 0 0 1 0,052632 -2,944439 0,1549705 0,086491 0,00277 5,2632

6 Hampala macrolepidota 0 0 1 0 1 0,052632 -2,944439 0,1549705 0,086491 0,00277 5,2632

Jumlah 4 4 7 4 19 1 1,430103 0,798156 0,296399 100

Stasiun II

No Nama Ikan P1 P2 P3 P4 Jumlah pi ln pi H′ E C KR

1 Mystacoleucus marginatus 7 5 0 0 12 0,521739 -0,65059 0,339437 0,210904 0,272212 52,17391 2 Barbodes schwanenfeldii 1 4 2 0 7 0,304348 -1,18958 0,362047 0,224953 0,092628 30,43478

3 Tor soro 1 0 0 0 1 0,043478 -3,13549 0,136326 0,084704 0,00189 4,347826

4 Hampala macrolepidota 0 1 1 0 2 0,086957 -2,44235 0,212378 0,131958 0,007561 8,695652 5 Liposarcus pardalis 1 0 0 0 1 0,043478 -3,13549 0,136326 0,084704 0,00189 4,347826

(8)

Stasiun III

No Nama Ikan P1 P2 P3 P4 Jumlah pi ln pi H′ E C KR

1 Mystacoleucus marginatus 0 0 0 1 1 0,008197 -4,804021 0,0393772 0,017921 6,72E-05 0,8197 2 Barbodes schawanenfeldii 5 2 9 3 19 0,155738 -1,859582 0,289607 0,131806 0,024254 15,574 3 Hyposarcus pardalis 8 7 2 2 19 0,155738 -1,859582 0,289607 0,131806 0,024254 15,574 4 Oreochromis niloticus 1 1 2 0 4 0,032787 -3,417727 0,1120566 0,050999 0,001075 3,2787 5 Osteochilus hasseltii 7 0 4 19 30 0,245902 -1,402824 0,3449566 0,156997 0,060468 24,59 6 Oxyeleotris marmorata 0 0 0 4 4 0,032787 -3,417727 0,1120566 0,050999 0,001075 3,2787 7 Mystus gulio 2 0 0 39 41 0,336066 -1,090449 0,3664624 0,166784 0,11294 33,607 8 Mystus nigriceps 1 0 0 2 3 0,02459 -3,705409 0,0911166 0,041469 0,000605 2,459 9 Glossogobius aureus 0 0 0 1 1 0,008197 -4,804021 0,0393772 0,017921 6,72E-05 0,8197

Jumlah 24 10 17 71 122 1 1,6846174 0,766702 0,224805 100

Stasiun IV

No Nama Ikan P1 P2 P3 P4 Jumlah pi ln pi H′ E C KR

1 Mystacoleucus marginatus 0 0 0 1 1 0,025 -3,68888 0,092222 0,041972 0,000625 2,5

2 Arius sagor 1 0 0 0 1 0,025 -3,68888 0,092222 0,041972 0,000625 2,5

3 Barbodes schawanenfeldii 0 4 3 1 8 0,2 -1,60944 0,321888 0,146497 0,04 20

4 Hyposarcus pardalis 9 0 0 2 11 0,275 -1,29098 0,355021 0,161577 0,075625 27,5 5 Oreochromis niloticus 1 0 0 0 1 0,025 -3,68888 0,092222 0,041972 0,000625 2,5

6 Osteochilus hasseltii 1 4 1 0 6 0,15 -1,89712 0,284568 0,129512 0,0225 15

7 Mystus gulio 1 3 0 2 6 0,15 -1,89712 0,284568 0,129512 0,0225 15

8 Mystus nigriceps 0 2 0 1 3 0,075 -2,59027 0,19427 0,088416 0,005625 7,5

9 Notopterus borneensis 0 2 0 1 3 0,075 -2,59027 0,19427 0,088416 0,005625 7,5

(9)

Lampiran 7. Hasil Perhitungan Rata-rata Indeks Kelimpahan Relatif (KR), Keanekaragaman (H′), Keseragaman (E), dan Dominansi Ikan (C) selama Penelitian

H′ E C

Stasiun I 1.43 0,79 0,29

Stasiun II 1,18 0,73 0,37

Stasiun III 1,68 0,76 0,22

Stasiun IV 1,91 0,86 0,17

(10)

Lampiran 8. Output regresi antara Faktor Fisika Kimia Air dengan Keanekaragaman (H′), Keseragaman (E) dan Dominansi Ikan (C)

a. Predictors: (Constant), KEDALAMAN, PH, KEKERUHAN, SUHU,

(11)

2. KESERAGAMAN JENIS IKAN (E)

a. Predictors: (Constant), KEDALAMAN, PH, KEKERUHAN, SUHU,

(12)

3. DOMINANSI JENIS IKAN (C)

a. Predictors: (Constant), KEDALAMAN, PH, KEKERUHAN, SUHU,

(13)

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

Pengukuran Suhu Pengukuran pH

Pengambilan Sampel Kekeruhan Pengukuran Kedalaman

(14)

Jala Tebar Nelayan

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Ardani, B dan Organsastra. 2009. Struktur Komunitas Ikan di Danau Bagamat Petuk Bukit. Jurnal of Tropical Fisheries 4 (1): 356-367.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press. Medan.

Bhagawati, D. 2012. Karakter Mulut dan Variasi Struktur Gigi pada Familia Bagridae yang Tertangkap di Sungai Serayu Kabupaten Banyumas. Jurnal Depik, 1(3): 144-148 ISSN 2089-7790.

BPS Kabupaten Deli Serdang. 2014. Jumlah penduduk dan tenaga kerja di Kabupaten Deli Serdang. www.deliserdangkab.bps.go.id. Diakses Tanggal 10 Februari 2014.

Cahaya, I. 2003. Ikan Sebagai Alat Indikator Pencemaran. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius, Yogyakarta.

Fadil, M.S. 2011. Kajian Beberapa Aspek Parameter Fisika Kimia Air dan Aspek Fisiologis Ikan yang ditemukan pada Aliran Buangan Pabrik Keret di Sungai Batang Arau. Artikel Pascasarjana. Universitas Andalas.

Fisesa, D.E., Setyobudiandi, I., dan Krisanti, M. 2014. Kondisi Perairan dan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Depik 3(1): 1-9.

Genisa, S.A. 2006. Keanekaragaman Fauna Ikan di Perairan Mangrove Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 41: 39-53 ISSN 0125-9830.

Haryono. 2006. Aspek Biologi Ikan Tambra (Tor tabroides Blkr.) yang Eksotik dan Langka sebagai Dasar Domestikasi. Jurnal Biodiversitas Vol. 7 No.2 Hal: 195-198. ISSN: 1412-033X.

Katimpali, P.D., Paransa, J.I., dan Kayadoe, M.E. 2012. Pengaruh Penambahan Bentangan Horizontal pada Pancing Dasar terhadap Hasil Tangkapan Ikan-ikan karang. Jurnal Ilmu Teknologi PerIkan-ikanan Tangkap 1(2): 50-56.

Kottelat, M dan Anthony, J.W. 1993. Frehwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition Limited, Singapura.

(16)

Maryono, A. 2007. Restorasi Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Muchlisin, Z.A., Azizah, S., Huat, K.K., dan Rudi, E. 2003. Keanekaragaman

Ikan Air Tawar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Indonesia. Jurnal of Tropical Fisheries 3 (1): 1-9.

Mulya, B.M. 2004. Keanekaragaman Ikan di Sungai Deli Provinsi Sumatera Utara serta Keterkaitannya dengan Faktor Fisika Kimia Perairan. Jurnal Komunikasi Penelitian Volume 16 (5).

Mulyanto, H.R. 2007. Sungai Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Graha Ilmu. Semarang Nursyahra. 2012. Jenis-Jenis Ikan yang Tertangkap di Batang Air Dingin

Kelurahan Balai Gadang Kecamatan Koto Tengah Kota Padang. E-Jurnal STKIP PGRI Sumbar Vol. 4 No. 2.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Prasetyo, D. 2006. Kegiatan Penangkapan Ikan di Suaka Perikanan Sungai Sambujur Daerah Aliran Sungai Barito Bagian Tengah, Kalimantan Tengah. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.). VII (2): 239-246 ISSN: 0853-6384.

Qudus, R.R. 2012. Pengaruh Pada Pemberian yang Berbeda Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Tor soro (Tor soro). Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, Mo. 4, Hal: 253-260.

Rachmawati, D. 2006. Penambahan HalQuinol dalam Pakan Buatan untuk Meningkatkan Petumbuhan Benih Ikan Baung (Mystus nemurus). Jurnal Perikanan VIII(1): 92-100.

Rahardjo, M.F., D. Sjafei., R. Affandi dan Sulistiono. 2011. Iktiology. Lubuk Agung. Bandung.

Resmiati, T., Diana, S., Satuty, A. 2002. Komposisi Jenis Alat Tangkap yang Beroperasi di Perairan Teluk Banten, Serang. Laporan Penelitian Universitas Padjajdaran.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Binacipta, Bogor. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan II. Binacipta, Bogor. Siagian, C. 2009. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Serta Keterkaitannya

(17)

Siahaan, R., Andry, I., Dedi, S dan Lilik, B.P. 2011. Kualitas Air Sungai Cisadane, Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Sains Vol 11 No.2 Hal: 268-273. Simanjuntak, C.PH. 2012. Keragaman dan Distribusi Spasio-Temporal Iktiofauna

Sungai Asahan bagian Hulu dan Anak Sungai. Prosiding Seminar Nasional Ikan VII. 43-60.

Situmorang, S.H., Muda, I., Dalimunthe, D.MJ., Fadli dan Syarief, F. 2010. Analisis Data untuk Riset Manajemen dan Bisnis. USU Press. Medan. Suharna, C. 2006. Kajian Sistem Manajemen Mutu pada Pengolahan “Ikan

Jambal Roti” di Pangandaran kabupaten Ciamis. Tesis Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro, Semarang.

Suin, N.M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas, Padang.

Syahrir, M. 2013. Kajian Aspek Pertumbuhan Ikan di Perairan Pendalaman Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18 No. 2 ISSN 1402-2006.

Tarigan, P.A. 2013. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Ikan yang Tertangkap di Sungai Naborsahan, Danau Toba Sumatera Utara. Skkripsi Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Widi, R. K. 2000. Sungai Sebagai Salah Satu Sumber Kehidupan Bagi Makhluk Hidup. Buletin Pusat Studi Lingkungan Ubaya. Edisi 6: 1-3.

(18)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang pada 4 (empat) stasiun berbeda, yaitu Stasiun I di desa Bandar Labuhan, Stasiun II di kecamatan Tanjung Morawa. Stasiun III di desa Aras Kabu,serta Stasiun IV di kecamatan Beringin. Adapun identifikasi ikan dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Peta lokasi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang

(19)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring insang (gill net) dengan ukuran mata jaring 2 inch, jala tebar dengan ukuran mata jaring 1 inch, alat tulis menulis, ember plastik, toples, botol sampel air, botol Winkler, pipet tetes, erlenmeyer, kamera, buku identifikasi ikan Kottelat et al. (1993) dan Saanin (1984), thermometer, pH meter, GPS, dan batang bambu. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ikan hasil tangkapan, alkohol 96 %, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3 dan amillum.

Prosedur Penelitian

Penentuan Lokasi Sampling

Penelitian ini mengambil 4 (empat) titik stasiun sesuai dengan kondisi sungai. Stasiun-stasiun tersebut antara lain:

1) Stasiun I

Stasiun ini terletak di desa Bandar Labuhan yang secara geografis terletak pada 3o29 47,82 LU dan 98o46 5,55 BT. Lokasi ini merupakan daerah tanpa aktifitas rutin dan lingkungan masih dikelilingi oleh pepohonan. Kondisi stasiun I dapat dilihat pada Gambar 3.

(20)

2) Stasiun II

Stasiun ini terletak di kecamatan Tanjung Morawa yang secara geografis terletak pada 3o31 30,4 LU dan 98o47 11,9 BT. Lokasi ini terletak dibelakang PDAM dan belakang rumah sakit serta banyak aktivitas masyarakat. Kondisi stasiun II dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Stasiun II 3) Stasiun III

Stasiun ini terletak di desa Aras Kabu yang secara geografis terletak pada 3o37 2,2 LU dan 98o50 2,8 BT. Lokasi ini berupa muara pertemuan Sungai Batu

Gingging dan Sungai Belumai yang terdapat aktifitas penangkapan. Kondisi stasiun III dapat dilihat pada Gambar 5.

(21)

4) Stasiun IV

Stasiun ini terletak di kecamatan Beringin yang secara geografis terletak pada 3o38 1,9 LU dan 98o50 6,3 BT. Lokasi ini dibagian bawah muara dan aktivitas penangkapan ikan sangat tinggi. Kondisi stasiun IV dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Stasiun IV

Metode Pengambilan Sampel

Metode yang digunakan dalam penentuan titik stasiun penangkapan sampel ikan ialah Purpossive Sampling (sampel bertujuan) yang diharapkan dapat mewakili keadaan sungai Belumai. Pada setiap masing-masing stasiun ditebar jala dengan mata jaring 1 inch dilakukan pada waktu pagi hari. Jala merupakan alat tangkap yang terbuat dari benang atau tali nilon yang dianyam, berbentuk kerucut dan bagian bawahnya bulat. Pada bagian bawah terpasang rantai untuk pemberat serta terdapat lipatan berupa kantong untuk wadah ikan (Prasetyo, 2006).

(22)

mempunyai besar mata jaring yang disesuaikan dengan sasaran ikan yang akan ditangkap. Ikan yang tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya.

Alat tangkap pancing hanya sebagai alat bantu tambahan dalam menangkap ikan. Menurut Katiandagho dan Kumajas (1987) dalam Katimpali (2012), pancing merupakan salah satu alat tangkap yang selektif dan cenderung ramah lingkungan.

Sampel ikan yang tertangkap dimasukkan kedalam toples yang berisi alkhohol 96 %, kemudian dianalisis menggunakan buku identifikasi ikan Kottelat et al., (1993) dan Saanin (1984), serta diukur panjang total (TL) setiap jenis

sampel ikan di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter fisika kimia air yang mencakup suhu, kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus, pH, DO dilakukan secara Insitu pada saat pengambilan sampel ikan di sungai Belumai. Pengambilan sampel baik sampel ikan maupun fisika kimia air dilaksanakan setiap 2 (dua) minggu sekali selama 2 (dua) bulan. Parameter-parameter fisika kimia biologi perairan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Kedalaman Batang bambu Insitu

Kecepatan arus Bola duga Insitu

(23)

Analisa Kualitas Air

Parameter Fisika

1) Suhu

Suhu diukur dengan menggunakan thermometer dengan cara memasukkan thermometer air raksa kedalam air selama ± 1 menit. Setelah itu thermometer diangkat dan amati batas titik yang dicapai air raksa, skala yang terlihat itulah yang merupakan nilai suhu yang ingin diketahui.

2) Kekeruhan

Kekeruhan perairan diukur dengan mengambil sampel air kemudian sampel dibawa ke Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Medan.

3) Kedalaman

Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan alat sederhana yaitu potongan batang bambu, penerapannya dengan cara mencelupkan batang bambu ke dalam air sungai yang ingin diamati sampai ke dasar. Kemudian diangkat batang bambu dan diukur dengan menggunakan meteran pada bagian bambu yang tenggelam. Pengukuran kedalaman dilakukan pada tepi kiri, tepi kanan dan tengah sungai. Selanjutnya didapatkan rata-rata kedalaman pada setiap masing-masing stasiun.

4) Kecepatan Arus

(24)

Parameter Kimia

1) Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter dengan cara mencelupkan sensor pH ke dalam air sampel yang ingin diamati, layar pada pH meter akan menunjukkan nilai pH.

2) Oksigen Terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dengan menggunakan metode Winkler yaitu dengan cara titrasi larutan-larutan tambahan seperti MnSO4, KOH-KI, H2SO4,

Na2S2O3 dan amilum ke dalam sampel air.

Analisa Data

Data yang diperoleh berupa jenis ikan dan jumlah populasi ikan dianalisis diolah dengan cara tabulasi data kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan berbagai indeks.

1) Indeks Kelimpahan Relatif (KR)

Perhitungan kelimpahan relatif menggunakan rumus Brower et al., (1990) dalam Mulya (2004).

�� =

∑ � �

��

%

Keterangan:

KR = Kelimpahan relatif

ni = Jumlah individu suatu spesies N = Total seluruh individu

(25)

2) Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman untuk mengetahui keanekaragaman jenis ikan yang ada dalam perairan. Analisa keanekaragaman menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dalam Mulya (2004).

= − ∑ �� ��

�=

Keterangan:

H

= Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener

pi = Perbandingan jumlah individu jenis i dengan keseluruhan jenis ln = Logaritma nature

s = Jumlah semua jenis

i = Jumlah total individu jenis ke-i 3) Indeks Keseragaman

Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui keseragaman jumlah individu dari suatu komunitas pada masing-masing stasiun pengamatan. Analisa keseragaman menggunakan indeks Evennes dalam Ardani dan Oragansastra (2009).

� =

� ��

�′

Keterangan :

E = Indeks keseragaman

H

= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

(26)

Menurut Krebs (1985) dalam Mulya (2004) menyatakan bahwa nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Bila nilai indeks keseragaman mendekati 0 berarti keseragaman jenis suatu individu rendah, sedangkan bila mendekati 1 keseragaman tinggi.

4) Indeks Dominansi

Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui banyaknya kelimpahan individu dari suatu jenis ikan dalam suatu komunitas pada masing-masing stasiun. Analisa dominasi menggunakan indeks Simpson dalam Ardani dan Organsastra (2009).

� = ∑ ��/�

Keterangan :

C = Indeks dominasi ni = Jumlah individu ke-1 N = Jumlah total individu

Analisis Hasil Data

(27)

Interpretasi dari besarnya nilai hubungan antara keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan dengan sifat fisika dan kimia perairan dapat diklasifikasikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Koefisien Korelasi dan Interpretasinya

Nilai Korelasi (R) Interpretasi

0,00 – 0,199 Hubungan Sangat Tidak Erat 0,20 – 0,399 Hubungan Tidak Erat

0,40 – 0,599 Hubungan Cukup Erat

0,60 – 0,799 Hubungan Erat

0,80 – 1,000 Hubungan Sangat Erat

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Parameter fisika dan kima perairan yang diukur pada penelitian ini adalah suhu, kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus, pH, DO. Pengukuran parameter fisika kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan tidak dalam waktu yang bersamaan. Nilai rata-rata parameter fisika dan kimia yang diperoleh masih berada pada ambang batas untuk perairan daerah tropis dan mendukung untuk keberlangsungan hidup ikan. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Rata-rata Parameter Fisika dan Kimia Perairan pada

(29)

sebanyak 9 jenis, terendah pada stasiun I dan II sebanyak 6 dan 5 spesies. Jenis-jenis ikan yang diperoleh selama penelitian di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat pada Tabel 5.

(30)

Tabel 6. Nilai Kelimpahan Relatif Stasiun Pengamatan

Nilai Kelimpahan Relatif (KR) Total Selama Penelitian

Nilai kelimpahan relatif total tertinggi terdapat pada spesies Mystus gulio sebesar 23% dan terendah pada spesies Glossogobius giuris sebesar 0,49%. Hasil kelimpahan relatif (KR) total selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Kelimpahan Relatif Total Selama Penelitian

No. Spesies Persentase Ikan yang Tertangkap (%)

1. Mystacoleucus marginatus 9,80

2. Tor tambra 0,98

3. Arius sagor 0,98

4. Barbodes schwanenfeldii 20,58

5. Tor soro 0,98

6. Hampala macrolepidota 1,47

7. Liposarcus pardalis 15,19

8. Oreochromis niloticus 2,45

9. Osteochilus hasseltii 17,64

10. Oxyeleotris marmorata 1,96

11. Mystus gulio 23,03

12. Mystus nigriceps 2,94

13. Glossogobius giuris 0,49

14. Notopterus borneensis 1,47

(31)

Indeks Keanekaragaman (H′), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Stasiun Pengamatan

Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 1,91 dan terendah pada stasiun II sebesar 1,18. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 0,86 dan terendah pada stasiun II sebesar 0,73 serta nilai indeks dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,37 dan terendah pada stasiun IV sebesar 0,17. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan dapat dilihat pada Gambar 7 dengan rincian perjenis dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 7. Grafik Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Ikan pada setiap Stasiun

Indeks Keanekaragaman (H′), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Total Selama Penelitian

Hasil yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman (H ) sebesar 1,59. Nilai indeks keseragaman (E) sebesar 0,78 dan

nilai indeks dominansi sebesar 0,26. Nilai tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

(32)

Gambar 8. Grafik Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Selama Penelitian

Nilai Analisis Regresi Antara Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Ikan dengan Faktor Fisika Kimia Perairan

Hubungan parameter fisika dan kimia perairan (X) seperti suhu, kecepatan arus, kekeruhan, kedalaman, pH dan DO terhadap keanekaragaman (Y1),

keseragaman (Y2) dan dominansi ikan (Y3) dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisis Regresi Parameter Fisika dan Kimia terhadap Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Ikan.

No. Parameter (X) Komponen Hasil Analisis Regresi

(33)

Pembahasan Suhu

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran suhu yang diperoleh berkisar antara 28 - 30oC. Pada stasiun I sebesar 28,75oC, stasiun II, III dan IV

sebesar 29,75oC. suhu tertinggi pada stasiun II, III dan IV dan terendah pada stasiun I sebesar 28,75oC. Adanya variasi temperatur pada setiap stasiun diduga disebabkan karena perbedaan waktu pengambilan maupun kondisi lingkungan di setiap stasiun, suhu yang relatif rendah didapatkan pada pengambilan sampel pada pagi hari (pukul 07.30 WIB).

Menurut Barus (2004), Temperatur air sangat mempengaruhi aktivitas fisiologis dari organisme air, seperti dijelaskan oleh hukun Van’t Hoffs kenaikan temperatur sebesar 100C akan meningkatkan metabolisme sebesar 2-3 kali lipat,

yang menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen didalam air menjadi berkurang. Setiap organisme air mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap nilai temperatur air. Organisme yang mempunyai kisaran toleransi yang luas (euryterm) dan ada jenis yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit (stenoterm).

Kisaran suhu optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis antara 28oC

32 oC. Pada suhu 18oC – 25oC ikan masih dapat bertahan hidup, tetapi nafsu makannya mulai menurun. Apabila suhu 12 oC – 18 oC mulai berbahaya bagi ikan sedangkan pada suhu dibawah 12oC ikan tropis akan mati kedinginan. Suhu

(34)

suhu artinya bila suhu meningkat maka kelarutan oksigen dalam air akan berkurang (Kordi dan Tancung, 2007).

Konsumsi oksigen akan meningkat tajam ketika temperatur meningkat. Pada ikan konsumsi oksigen senantiasa meningkat bilamana suhu naik disebabkan oleh meningkatnya laju metabolisme untuk memproduksi panas tubuh agar sesuai dengan lingkunganya (Yuwono dan Sukardi, 2008). Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan dilokasi penelitian sangat mendukung kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Suhu di Sungai Belumai berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 masih berada dalam ambang batas baku mutu.

Kekeruhan

Nilai kekeruhan dari kempat stasiun pengamatan berkisar antara 3,25 – 14,98 NTU. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun III dan IV serta nilai terendah pada stasiun I. Nilai kekeruhan pada stasiun III berkisar antara 5,38 – 34,7 NTU dan pada stasiun IV berkisar antara 3,34 – 36,5 NTU Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun III dan IV disebabkan karena terjadinya akumulasi limbah-limbah dari berbagai aktivitas yang berasal dari hulu sampai ke hilir serta adanya aktivitas pengerukan pasir yang dilakukan oleh masyarakat sekitar yang mengakibatkan naiknya substrat lumpur sehingga nilai kekeruhan menjadi tinggi.

(35)

air sungai. Berdasarkan penelitian Siahaan dkk., (2011) kualitas air di Sungai Cisadane Jawa Barat, nilai kekeruhan yang diperoleh berkisar antara 8 – 114 mg/l. Hal ini mengindikasi bahwa nilai hasil kekeruhan di Sungai Belumai lebih rendah dibandingkan nilai kekeruhan di Sungai Cisadane.

Kedalaman

Nilai kedalaman air pada stasiun pengamatan berkisar antara 0,78 – 2,59 m. Kedalaman tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 2,58 m, hal ini dikarenakan stasiun IV merupakan muara sehingga pengaruh gelombang pasang juga berpengaruh terhadap kedalamannya. Kedalaman terendah terdapat pada stasiun II sebesar 0,78 m, rendahnya nilai kedalaman pada stasiun II dikarenakan banyaknya penumpukan sampah-sampah domestik sehingga terjadinya pendangkalan dan penyempitan badan sungai. Berdasarkan penelitian Fisesa (2014), pada sungai yang sama kedalaman Sungai Belumai berkisar antara 2,5 – 3,1 m. Hal ini terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kedalaman sungai Belumai yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Kecepatan Arus

(36)

perubahan kisaran arus pada Sungai Belumai tidak berubah signifikan selama rentang satu tahun.

Menurut Mason (1993) dalam Fisesa (2014), perairan dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat deras jika kecepatan arus > 1 m/det, berarus deras yaitu 0,5 – 1 m/det, berarus sedang yaitu 0,25 – 0,5 m/det, berarus lambat 0,1 – 0,5 m/det dan berarus sangat lambat yaitu 0,1 – 0,25 m/det. Berdasarkan kategori tersebut stasiun I dan II tergolong sungai yang berarus deras, stasiun III tergolong sungai berarus lambat dan stasiun IV tergolong kategori sungai berarus sangat lambat.

pH (Derajat Keasaman)

Nilai pH air keempat stasiun pengamatan berkisar antara 5,9 – 7,2. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun I dan terendah pada stasiun III. Rendahnya pH di stasiun III disebabkan letak stasiun yang menjadi titik pertemuan antara Sungai Kualanamu dan Sungai Belumai sehingga limbah-limbah yang terbawa akan terakumulasi menjadi satu. Limbah-limbah domestik maupun industri seperti pabrik kertas yang mengandung unsur logam seperti kalsium, magnesium, besi dan sulfida langsung limbahnya ke Sungai Belumai membuat menurunnya nilai pH pada stasiun III.

(37)

pH air yang tercemar beragam tergantung dari jenis buangannya. Menurut Effendi (2003), kehidupan dalam air masih dapat bertahan bila perairan mempunyai kisaran pH 5-9. Batas organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, adanya berbagi anion dan kation serta jenis organisme. Dengan demikian pH perairan di lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya.

DO (Oksigen Terlarut)

Berdasarkan hasil pengamatan pada keempat stasiun, nilai oksigen terlarut diperoleh kisaran antara 1,81 – 5,02 mg/l. Oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun I dan terendah pada stasiun IV. Berdasarkan PP RI No.82 Tahun 2001 kisaran oksigen terlarut untuk kebutuhan baku mutu air kelas II yang diperuntukan sebagai budidaya air tawar yaitu 4 mg/l. Nilai oksigen terlarut di stasiun I dan II masih dalam batas baku mutu air kelas II dan nilai oksigen terlarut di stasiun III dan IV diambang batas baku mutu air. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi beban pencemaran yang sangat besar pada stasiun III dan IV. Berdasarkan dialog bersama nelayan setempat bahwasanya sering terjadi pembuangan limbah dari perusahaan kertas di daerah sekitar berupa lendir-lendir. Limbah-limbah tersebut sering merusak jaring-jaring nelayan sehingga ikan tidak tersangkut pada jaring.

(38)

oksigen terlarut hanya stasiun I dan II yang masih dapat berlangsungnya kehidupan ikan. Namun demikian, pada stasiun III dan IV pengukuran oksigen terlarut diambil pada saat siang hari dengan suhu yang tinggi maka biota-biota perairan khususnya ikan akan melakukan metabolisme tubuh untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ikan dan biota-biota lainnya memerlukan oksigen lebih untuk proses metabolisme tubuh. Hal ini berarti, turunnya kadar DO pada stasiun III dan IV selain faktor pencemaran juga berhubungan dengan kenaikan suhu perairan dan sistem metabolisme biota-biota peraiaran.

Jenis-jenis Ikan Hasil Penelitian

Pada Tabel 4 terdapat 14 spesies ikan yang tertangkap di Sungai Belumai baik dengan menggunakan jaring insang (gill net), jala tebar maupun pancing. Jeni-jenis ikan di Sungai Belumai diduga lebih dari 14 spesies, tetapi karena prilaku ikan yang berbeda-beda sehingga ada kemungkinan tidak tertangkap pada saat penangkapan ikan. Adapun penjelasan dari 14 spesies ikan yang diperoleh dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Cencen (Mystacoleucus marginatus)

(39)

gelap dibagian punggung. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu atau kekuningan, dan sirip ekor bercagak dalam dengan lobus membulat, sirip dada berwarna kuning dan sirip dubur berwarna orange terang (Gambar 9).

Gambar 9. Mystacoleucus marginatus 2. Jurung (Tor Tambra)

(40)

Gambar 10. Tor tambra 3. Arius sagor

Jumlah individu ikan Arius sagor selama penelitian diperoleh 2 ekor masing-masing pada stasiun I dan IV. Panjang total berkisar antara 230 - 290 mm dan berat total berkisar antara 199 – 160 gr. Mempunyai empat pasang sungut, sirip ekor bercagak, dan memiliki sirip tambahan (adifose fin) yang terletak di belakang sirip dorsal, gigi langit-langit mulut berbentuk seperti parut berkumpul dalam dua kelompok pada masing-masing sisi membentuk barisan melintang, permukaan kepala dilapisan butir-butir kasar sampai bagian depan kepalanya (Gambar 11). Menurut Suharna (2006), Arius sagor adalah ikan dasar (demersal), hidup di air tawar, estuari dan laut. Umumnya ikan ini hidup di dua habitat, mula-mula di air tawar lalu beruaya ke perairan estuari untuk memijah.

(41)

4. Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii)

Jumlah individu ikan Barbodes schwanenfeldii selama penelitian diperoleh sebanyak 42 ekor. Pada stasiun III jumlah ikan Lemeduk yang tertangkap sebanyak 19 ekor selebihnya tertangkap pada stasiun I, II dan IV. Panjang total berkisar antara 150 – 300 mm dan berat total berkisar antara 54 – 429 gr. Mempunyai gurat sisi sempurna, 13 sisik sebelum awal sirip punggung, 8 sisik antara sirip punggung dan gurat sisi. Badan bewarna perak dan kuning keemasan, sirip punggung merah dengan bercak hitam pada ujungnya. Sirip dada, perut dan dubur bewarna merah, sirip ekor bewarna oranye atau merah dengan pinggiran garis hitam dan putih sepanjang cuping sirip ekor (Gambar 12).

Gambar 12. Barbodes schwanenfeldii 5. Batak (Tor soro)

(42)

umumnya memiliki tubuh pipih memanjang, moncong agak meruncing, mulut tebal letaknya inferior atau subinferior, bibir bawah tidak terputus dengan ada atau tidaknya cuping (Gambar 13).

Gambar 13. Tor soro 6. Sebarau (Hampala macrolepidota)

Jumlah individu ikan Hampala macrolepidota selama penelitian diperoleh sebanyak 3 ekor tertangkap pada stasiun I dan II. Panjang total berkisar antara 160 – 230 mm dan berat total berkisar antara 52 – 105 gr. Pada ikan dewasa memiliki

bercak hitam antara sirip punggung dan sirip perut, lateral line berkisar antara 28 -29. Badan pipih bewarna perak dan kuning keemasan, sirip punggung merah dengan bercak hitam pada ujungnya. Sirip ekor bewarna oranye atau merah dengan pinggiran garis hitam dan putih sepanjang cuping sirip ekor (Gambar 14).

(43)

7. Sapu Kaca (Liposarcus pardalis)

Jumlah individu ikan Liposarcus pardalis selama penelitian diperoleh sebanyak 31 ekor. Ikan tertangkap tertinggi pada stasiun III sebanyak 19 ekor, pada stasiun I ikan Liposarcus pardalis tidak ada tertangkap. Panjang total berkisar antara 140 – 300 cm dan berat total berkisar antara 24 – 185 gr. Ikan Liposarcus pardalis memiliki tubuh yang ditutupi dengan sisik keras kecuali

bagian perutnya, bentuk tubuh pipih, kepala lebar, mulut terletak dibagian kepala dan berbentuk cakram, memiliki adifose fin yang berduri. Semua sirip kecuali ekor selalu diawali dengan jari keras. Sirip punggung lebar dengan 10-13 jari-jari lemah (Gambar 15).

Gambar 15. Liposarcus pardalis 8. Nila (Oreochromis niloticus)

(44)

dada terdapat 14 ruas, sirip ekor terdapat 18 ruas dan pada sirip anal terdapat 15 ruas (Gambar 16).

Gambar 16. Oreochromis niloticus 9. Paitan (Osteochilus hasseltii)

Jumlah individu ikan Osteochilus hasseltii selama penelitian diperoleh sebanyak 36 ekor tertangkap pada stasiun III dan IV. Panjang total berkisar antara 100 – 300 mm dan berat total berkisar antara 10 – 199 gr. Terdapat 5,5 sisik antara awal sirip punggung dan gurat sisi, tidak ada tubus keras pada moncong, 6 - 9 baris bintik-bintik berwarna pada barisan sisik (walau tidak selalu jelas). Terdapat bintik bulat besar pada batang ekor, batang ekor dikelilingi 16 sisik dan bagian depan sirip punggung dikelilingi 26 sisik. 12 – 18 jari-jari bercabang pada sirip punggung (Gambar 17).

(45)

10. Gabus Macan/Bodo (Oxyeleotris marmorata)

Jumlah individu ikan Oxyeleotris marmorata selama penelitian diperoleh sebanyak 4 ekor tertangkap pada stasiun III. Panjang total berkisar antara 190 – 250 mm dan berat total berkisar antara 87 – 191 gr. Terdapat 6 jari-jari keras pada sirip punggung, 10 jari-jari keras pada sirip anal, 10 jari-jari keras pada sirip punggung kedua. Motif corak tubuh seperti macan dan pada bagian pangkal ekor bercorak seperti tanda lebih kecil (<) berwarna hitam. Sisik di depan sirip punggung berkisar antara 60 – 65 dan 80 - 90 deret sisik sepanjang sisi badan (Gambar 18).

Gambar 18. Oxyeleotris marmorata 11. Lundu (Mystus gulio)

Jumlah individu ikan Mystus gulio selama penelitian diperoleh sebanyak 47 ekor yang tertangkap pada stasiun III dan IV. Panjang total berkisar antara 130 – 190 mm dan berat total berkisar antara 31 – 80 gr. Terdapat sirip lemak yang

(46)

bergerigi tajam. Badan berwarna coklat kehitaman, terdapat bintik-bintik kecil di atas kepala, sedangkan bentuk sirip ekor bercagak (Gambar 19).

Gambar 19. Mystus gulio 12. Mystus nigriceps

Jumlah individu ikan Mystus nigriceps selama penelitian diperoleh sebanyak 6 ekor yang tertangkap pada stasiun III dan IV. Panjang total berkisar antara 130 – 180 mm dan berat total berkisar antara 18 – 46 gr. Mempunyai sirip lemak yang lebih panjang daripada sirip dubur dan bersambung dengan sirip punggung, memiliki 4 sungut pasang, sungut rahang atas mencapai pangkal ekor atau melampaui sirip ekor, dahi memanjang sampai ke pangkal tonjolan dibelakang kepala. Ikan ini memiliki bentuk tubuh kombinasi dengan mulut berada pada posisi subterminal, garis rusuk (linea lateralis) lurus memanjang mulai dari belakang tutup insang (Gambar 20).

(47)

13. Gabus Pasir Putih (Glossogobius giuris)

Jumlah individu ikan Glossogobius giuris selama penelitian sebanyak 1 ekor yang tertangkap pada stasiun III. Panjang total 215 mm dan berat total 89,1 gr. Mempunyai bintik hitam terang pada batang ekor, badan bercak hitam, sirip punggung pertama memiliki 6 jari-jari keras dan sirip punggung kedua 10 jari-jari keras. Sirip ekor dan sirip punggung kedua memiliki motif bercak yang sama, sirip dubur memliki 9 jari-jari keras. Memiliki tubuh langsing memanjang lateral dikompresi, dengan mendalam datar batang ekor dan sangat besar, luas, dan panjang kepala (Gambar 21).

Gambar 21. Glossogobius giuris 14. Putak (Notopterus borneensis)

(48)

Gambar 22. Notopterus borneensis

Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa Stasiun I diperoleh 6 spesies ikan yaitu Mystacoleucus marginatus, Tor tambra, Arius sagor, Barbodes schwanenfeldii,

Tor soro dan Hampala macrolepidota. Stasiun II diperoleh 5 spesies ikan yaitu

Mystacoleucus marginatus, Barbodes schwanenfeldii, Tor soro, Hampala

macrolepidota dan Liposarcus pardalis. Stasiun III diperoleh 9 spesies ikan yaitu

Mystacoleucus marginatus, Barbodes schwanenfeldii, Liposarcus pardalis,

Oreochromis niloticus, Osteochilus hasseltii, Oxyeleotris marmorata, Mystus

gulio, Mystus nigriceps, dan Glossogobius giuris. Stasiun IV diperoleh 9 spesies

ikan yaitu Mystacoleucus marginatus, Arius sagor, Barbodes schwanenfeldii, Liposarcus pardalis, Oreochromis niloticus, Osteochilus hasseltii, Mystus gulio,

Mystus nigriceps dan Notopterus borneensis. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa

stasiun III dan IV merupakan stasiun yang memiliki jumlah spesies yang paling banyak. Dari data diatas dapat dilihat bahwa pada setiap stasiun ditemukan ikan Mystacoleucus marginatus dan Barbodes schwanenfeldii disebabkan karena

(49)

Nilai Kelimpahan Relatif (KR)

Berdasarkan data nilai kelimpahan relatif pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa spesies ikan yang memiliki kelimpahan relatif tertinggi pada stasiun I adalah ikan Barbodes schwanenfeldii dengan persentase 42,10%. Karakteristik stasiun I yang

sedikit aktivitas masyarakat dan tergolong berarus deras serta masih banyaknya pepohonan di sekitar bantaran sungai membuat keberadaan ikan Barbodes schwanenfeldii banyak di jumpai. Kelimpahan relatif tertinggi pada stasiun II

adalah Mystacoleucus marginatus sebesar 52,17%. Karakteristik Stasiun II yang berarus deras mendukung bagi kehidupan ikan Mystacoleucus marginatus. Menurut Kottelat et al., (1993), ikan Mystacoleucus marginatus merupakan salah satu ikan asli Indonesia. Ikan ini dalam habitat aslinya adalah ikan yang berkembang biak di sungai, danau dan rawa-rawa dengan lokasi yang disukai adalah terdapat aliran air. Ikan ini memiliki sifat biologis yang membutuhkan banyak oksigen dan hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22 - 280C, serta pH 7 sehingga keberadaan ikan Mystacoleucus marginatus ini banyak di jumpai pada staiun II.

Kelimpahan relatif tertinggi pada stasiun III adalah Mystus gulio sebesar 33,60%. Ikan Mystus gulio sering ditemukan karena habitat ikan ini hidup diperairan agak berlumpur, suka bersembunyi di batang-batang pohon yang telah membusuk di sungai. Hal ini, disampaikan oleh nelayan yang seringa menangkap ikan pada staiun III. Kelimpahan relatif tertinggi pada stasiun IV adalah Liposarcus pardalis sebesar 27,5%. Stasiun IV merupakan muara dari sungai

(50)

yang tahan terhadap segala kondisi lingkungan perairan. Umumnya, semakin banyak kandungan limbah di perairan maka kelimpahan ikan Liposarcus pardalis akan semakin meningkat pula. Menurut Siregar (1993) dalam Fadil (2011), ikan yang terkenal dengan sebutan ikan sapu-sapu ini dapat bertahan hidup pada area lingkungan perairan yang tercemar dan mengalamai deoksigenasi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Liposarcus pardalis dapat dijadikan sebagai objek bioindikator dari pencemaran perairan tawar.

Pada Tabel 7 nilai kelimpahan relatif total selama penelitian tertinggi adalah ikan Mystus gulio sebesar 23,03%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa besarnya persentase kelimpahan ikan Mystus gulio disebabkan karena kondisi perairan yang mendukung bagi kehidupan ikan tersebut. Menurut Bhagawati (2012) ciri-ciri ikan Lundu ini memiliki bentuk kombinasi dengan posisi mulut subterminal. Memiliki sungut 4 pasang, panjang sungut rahang atas mencapai dubur, dan sungut hidung mencapai belakang mata. Badan berwarna coklat kehitaman, terdapat bintik-bintik kecil di atas kepala, sedangkan bentuk sirip ekor bercagak.

(51)

Indeks Keanekaragaman (H′), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Berdasarkan Gambar 7 dan 8 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan indeks keanekaragaman ikan (H ) pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 1,18

– 1,91 dengan nilai indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiun III

dan IV sebesar 1,63 dan 1,91 serta terendah pada stasiun II sebesar 1,18. Nilai indeks keanekaragaman ikan (H ) total selama penelitian sebesar 1,59. Secara

keseluruhan nilai indeks keanekaragaman pada keempat stasiun tergolong keanekaragaman sedang (moderat). Menurut Ardani dan Organsastra (2009), keanekaragaman rendah H < 1, keanekaragaman sedang apabila 1 < H < 3 dan

keanekaragaman tinggi apabila H > 3. Jumlah spesies terbanyak ditemukan pada

stasiun III dan IV sebanyak 9 spesies ikan. Menurut Fachrul (2007) dalam Tarigan (2013), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan kelimpahan masing-masing spesies tinggi, sebaliknya keanekaragaman spesies rendah apabila hanya terdapat beberapa jenis yang melimpah.

(52)

penyebaran individu antar jenis relatif sama. Berdasarkan hasil indeks keanekaragaman ikan (H ) dan keseragaman jenis ikan (E) yang ada di sungai

Belumai ini tergolong masih beranekaragam (1 < H < 3) dan E mendekati 1. Indeks keseragaman jenis ikan merupakan gambaran dari sebaran dan kepadatan ikan-ikan pada suatu ekosistem dimana ikan itu tertangkap kemudian gambaran itu digunakan untuk melihat dominansi suatu jenis ikan dan juga kestabilan ekosistem (Siagian, 2009). Hal ini berarti keseragaman jenis ikan pada stasiun IV lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun-stasiun lainnya. Sebaliknya, nilai keseragaman jenis ikan pada stasiun II lebih rendah maka ada sifat yang mendominasi dari satu spesies ikan tertentu yang berjumlah tinggi pada stasiun tersebut dibandingkan dengan stasiun lainnya.

Dari Gambar 7 dan 8 dapat dilihat bahwa nilai indeks dominansi jenis ikan (C) tertinggi ditemukan pada stasiun II sebesar 0,37 yang berarti bahwa ada satu spesies yang mendominasi dan diikuti dengan nilai indeks keseragaman jenis ikan yang kecil, sedangkan nilai dominansi terendah ditemukan pada stasiun IV sebesar 0,17 yang berarti bahwa tidak ada spesies yang mendominasi pada stasiun tersebut dan diikuti dengan indeks keseragaman jenis ikan yang besar. Hal ini sesuai dengan Ardani dan Organsastra (2009) yang menyatakan bahwa nilai indeks dominansi berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai D mendekati 0 maka dominansi rendah artinya tidak ada satu spesies yang mendominasi, sebaliknya jika nilai D mendekati 1 maka dominansi tinggi artinya ada satu spesies yang mendominasi yakni Mystacoleucus marginatus pada stasiun II.

(53)

dalam kategori rendah artinya masih banyak ditemukan berbagai jenis spesies ikan atau struktur komunitas perairan stabil.

Nilai Analisis Regresi Antara Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Ikan dengan Faktor Fisika Kimia Perairan

Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa persamaan regresi antara keanaekaragaman ikan (H ) dengan suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman yang diperoleh adalah Y1 = 3,642 - 0,37X1 - 0,247X2 + 0,006X3 -

0,013X4 - 0,026X5 + 0,002X6. Dari persamaan tersebut dapat diartikan bahwa

apabila nilai suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman adalah nol, maka akan menaikan nilai dari keanekaragaman jenis ikan.

(54)

Nilai koefisien determinasi (R2) untuk nilai Y1 yang dilihat pada Tabel 8

sebesar 0,900 mengartikan bahwa suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH , DO dan kedalaman memberi pengaruh terhadap keanekaragaman jenis ikan sebesar 90% sedangkan 10% lainnya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Menurut Situmorang dkk., (2010), menyatakan bahwa interval korelasi antara 0,8 – 0,99 adalah tergolong sangat erat.

Dari Tabel 8 diketahui bahwa persamaan regresi antara keseragaman jenis ikan (E) dengan suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman yang diperoleh adalah Y2 = 1,239 - 0,018X1 - 0,022X2 + 0,001X3 - 0,003X4 + 0,004X5 +

0,001X6. Dari persamaan tersebut dapat diartikan bahwa apabila nilai suhu,

kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman adalah nol, maka akan menaikan nilai dari keseragaman jenis ikan.

(55)

Nilai koefisien determinasi (R2) untuk nilai Y2 yang dilihat pada Tabel 8

sebesar 0,871 mengartikan bahwa suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH , DO dan kedalaman memberi pengaruh terhadap keseragaman jenis ikan sebesar 87% sedangkan 13% lainnya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa hubungan antara suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH , DO dan kedalaman terhadap keseragaman jenis ikan tergolong sangat erat. Sesuai dengan Situmorang dkk., (2010), menyatakan bahwa interval korelasi antara 0,8 – 0,99 adalah tergolong sangat erat.

Dari Tabel 8 diketahui bahwa persamaan regresi antara dominansi jenis ikan (C) dengan suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman yang diperoleh adalah Y3 = -0,308 + 0,020X1 + 0,074X2 - 0,002X3 + 0,001X4 + 0,007X5

- 0,001X6. Dari persamaan tersebut dapat diartikan bahwa apabila nilai suhu,

kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman adalah nol, maka akan menurunkan nilai dari dominansi jenis ikan.

(56)

Nilai koefisien determinasi (R2) untuk nilai Y3 yang dilihat pada Tabel 8

sebesar 0,866 mengartikan bahwa suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH , DO dan kedalaman memberi pengaruh terhadap keseragaman jenis ikan sebesar 86% sedangkan 14% lainnya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa hubungan antara suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman terhadap keseragaman jenis ikan tergolong sangat erat. Sesuai dengan Situmorang dkk., (2010), menyatakan bahwa interval korelasi antara 0,8 – 0,99 adalah tergolong sangat erat.

Secara keseluruhan terdapat hubungan yang sangat erat antar komponennya. Hal ini dapat dilihat dari kisaran nilai koefisien determinasi (R2)

berkisar antara 0,866 – 0,900. Dapat dikemukakan bahwa perairan sungai Belumai memiliki keanekaragaman jenis-jenis ikan yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari ditemukannya 14 spesies ikan selama penelitian. Disamping itu, pencemaran juga terus meningkat setiap tahunnya baik dari domestik maupun industri yang ada di sekitar bantaran sungai Belumai. Hal tersebut jika tidak adanya pengelolaan yang baik lambat laun akan terjadi kerusakan terhadap sungai khususnya bagi jenis-jenis ikan akan terancam habitatnya.

Pengelolaan sungai perlu dilakukan agar sistem dan fungsi utama sungai tetap terjaga. Menurut Patriono (2007), sungai merupakan suatu ekosistem yang mempunyai keanekaragaman organisme yang sangat kompleks. Adapun rekomendasi pengelolaan sungai Belumai yang dapat dilakukan agar fungsi sungai semestinya tetap terjaga adalah:

(57)

kerusakan, pencemaran limbah dan exploitasi dapat dihindari sehingga kelestarian ikan dapat dipertahankan.

2. Perlu adanya pengawasan secara berkala baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat agar bersama-sama memonitoring aktivitas-aktivitas yang ada disekitar sungai sehingga tidak membuat kerusakan atau pencemaran terhadap sungai tersebut.

3. Perlu adanya kegiatan konservasi seperti Lubuk Larangan di Tapanuli Selatan

(58)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Nilai kelimpahan relatif (KR) tertinggi terdapat pada ikan Mystus gulio sedangkan yang terendah terdapat pada ikan Glossogobius giuris. Tingkat keanekaragaman jenis ikan di sungai Belumai berdasarkan nilai keanekaragaman (H ) adalah 1,42 tergolong sedang (moderat). Indeks

keseragaman (E) adalah 0,78 ini menunjukan bahwa keseragaman jenis ikan di sungai Belumai tergolong hampir sama. Sedangkan indeks dominansi (C) adalah 0,26 ini menunjukkan tingkat dominansi jenis ikan di sungai Belumai rendah.

2. Nilai koefisien determinasi (R2) kenanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan berkisar antara 0,866 – 0,900 mengartikan bahwa faktor fisika kimia perairan seperti suhu, kecepatan arus, kekeruhan, pH, DO dan kedalaman berhubungan sangat kuat terhadap keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan.

Saran

(59)

TINJAUAN PUSTAKA

Sungai

Sejak jaman purba sungai merupakan suatu unsur alam yang berperan di dalam membentuk corak kebudayaan suatu bangsa. Ketersediaan airnya, lembahnya yang subur, dan lain-lain potensinya menarik manusia untuk bermukim di sekitarnya. Kehidupan sehari-hari manusia tidak akan lepas dari memanfaatkan sungai dengan konsekuensi manusia akan melakukan rekayasa terhadapnya untuk lebih banyak mengambil manfaat darinya dan lambat laun akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi manusia sendiri (Mulyanto, 2007).

Sungai terbentuk oleh sumber air tanah atau oleh air permukaan tanah, air sungai akan terus menerus mengalami perubahan karena larutan benda-benda organik, erosi dan pengendapan. Temperatur air berfluktuasi, tetapi termperatur lapisan atas dan bawah umumnya hampir seragam. Umumnya air sungai jernih, mengandung oksigen terlarut, cahaya dan substratnya tidak banyak mengandung bahan organik karena faktor terbawa arus (Widi, 2000).

Sungai mempunyai fungsi vital kaitannya dengan ekologi. Sungai dan bantarannya merupakan habitat yang kaya akan flora dan fauna sekaligus barometer kondisi ekologi daerah tersebut. Sungai yang masih alamiah dapat berfungsi sebagai aerasi alamiah yang akan meningkatkan atau menjaga kandungan oksigen air sungai (Maryono, 2005).

(60)

terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berpengaruh menjadi satu kesatuan dan memiliki kemampuan untuk membuat sistem aturannya sendiri. Pengaruh kompenen fisik misalnya kecepatan aliran sungai, substrat, salinitas, kualitas air, iklim mikro, karakteristik penyinaran matahari, dan pengaruh temperatur sangat menentukan jenis-jenis fauna yang ada pada wilayah sungai tersebut.

Dewasa ini terdapat berbagai klasifikasi atau pengelompokan sungai besar, sungai menengah, dan sungai kecil. Klasifikasi biasanya berdasarkan pada lebar sungai, kedalaman sungai, kecepatan aliran sungai, debit dan luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari sudut ekologi klasifikasi berdasarkan vegetasi yang hidup di tebing atau pinggir sungai. Menurut Kern (1994) dalam Maryono (2005), klasifikasi sungai dibedakan menjadi 3 (tiga) berdasarkan lebar sungai dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Sungai Berdasarkan Lebar Sungai

(61)

dengan hulunya berada di Kabupaten Simalungun, dan Karo. Pada umumnya sub DAS ini dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan sebagai upaya peningkatan produksi pertanian (BPS Deli Serdang, 2014).

Sungai Belumai sendiri Daerah Aliran Sungai (DAS) + 78.624,55 ha dengan melintasi 3 kecamatan yaitu: Kecamatan STM hilir, Kecamatan Tanjung Morawa dan Kecamatan Beringin. Aktivitas yang ada di sepanjang aliran Sungai Belumai meliputi industri, pertanian, PDAM rumah sakit dan perumahan. Masyarakat di Sungai Belumai masih memanfaatkan sungai untuk kegiatan penangkapan ikan, mandi, cuci dan kakus (MCK) (Fisesa, 2014).

Menurut Batubara (2011) dalam Fisesa (2014), menyatakan bahwa masyarakat yang sering memanfaatkan air Sungai Belumai lebih rentan terjangkit penyakit kulit dan iritasi mata. Data BPS Deli Serdang pada tahun 2012 terdapat 12.397 unit industri di Kabupaten Deli Serdang baik industri skala besar, menengah dan kecil diantaranya pabrik kertas, perusahaan ternak ayam, perakit mesin minyak kelapa sawit, pabrik sarung tangan, pabrik kayu, pabrik pengecoran logam, dan pabrik tekstil. Umumnya industri ini membuang limbah baik yang telah diolah maupun tidak melalui Sungai Belumai sehingga patut diduga telah memberikan dampak pada perubahan kualitas perairan ini.

(62)

Ikan

Ikan merupakan organisme air yang bernafas menggunakan insang dan bergerak menggunakan sirip (fin). Ikan juga memiliki gelembung udara yang berfungsi sebagai alat mengapung, melayang atau menenggelamkan diri pada dasar perairan. Ikan tersebar diberbagai jenis perairan diseluruh permukaan bumi. Ikan mempunyai pola adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang baik, sehingga ikan mempunyai penyebaran yang luas. Hal ini dikarenakan ikan memiliki mobilitas yang tinggi (Barus, 2004).

Menurut Tjakrawidjaya (2001) dalam Nursyahra (2012), menyatakan bahwa ikan termasuk hewan bertulang belakang, berdarah dingin, berinsang dan hidup di perairan. Diantara hewan bertulang belakang (vertebrata), ikan merupakan kelompok terbesar dengan jumlah jenis terbanyak yaitu 42,6 % dari jumlah vertebrata yang sudah dikenal. Kelompok ikan ini mempunyai keanekaragaman yang cukup tinggi baik dalam bentuk, ukuran, prilaku maupun habitatnya.

(63)

Ikan dapat digunakan sebagai bioindikator karena mempunyai daya respon terhadap adanya bahan pencemar. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu (Cahaya, 2003).

Rahardjo (2011), menyatakan bahwa ikan terbagi kedalam 3 (tiga) kelas berdasarkan taksonominya, yaitu:

1) Kelas Cephalaspidomorphi

Ciri ikan ini tidak memiliki rahang, sungut, tidak mempunyai lengkungan insang sejati untuk menyokong dan melindungi insang dan sebagai gantinya mempunyai suatu kantung yang terletak diluar insang, arteri insang dan saraf insang terletak didalamnya. Satu lubang hidung, tidak mempunyai sirip berpasangan, sirip dorsal satu atau dua. Salah satu contoh spesies ikan ini ialah ikan Lamprey. Ikan ini tergolong jenis parasit atau predator dan jumlah anggota spesies ini tercatat hampir 40 spesies.

2) Kelas Elasmobranchii

Ciri ikan ini mempunyai rahang. Jumlah insang dan celah insang berkisar antara 5-7 pasang, lengkung insang berupa tulang rawan yang didalamnya terdapat arteri insang dan saraf insang dan mempunyai sirip yang berpasangan.

3) Kelas Actinopterygii

(64)

Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai

Diperkirakan terdapat 50.000 jenis ikan yang hidup di perairan seluruh dunia dan hanya 22.000 - 25.000 jenis saja yang telah diberi nama. Di Indonesia terdapat tidak kurang 4000 jenis ikan, 800 jenis diantaranya merupakan ikan tawar dan payau (Djajadireja, 1977 dalam Muchlisin dkk, 2003).

Jumlah jenis ikan yang hidup di perairan Indonesia mungkin sudah jauh bertambah seiring dengan ditemukannya jenis-jenis baru dan bahkan genus baru, selama kurun waktu 30 tahun terakhir. Kottelat et al., (1993), melaporkan paling kurang ada 900 jenis ikan air tawar baik bersifat hidup menetap maupun sementara berada di kawasan Indonesia bagian barat dan Sulawesi, sebagai pembanding di perairan Amerika Utara hanya hidup 2500 jenis ikan saja.

Menurut Lloyod & Ghelardi (1964) dalam Genisa (2006), menyatakan bahwa keanekaragaman tinggi apabila banyak jenis yang mendominasi ekosistem tersebut, dan keanekaragaman rendah bila hanya satu jenis saja yang terdapat di dalamnya mendominasi komunitas tersebut. Tinggi rendahnya keanekaragaman dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu faktor adalah kualitas lingkungan.

Beragamnya habitat yang ada, akan memberikan relung yang luas bagi tingginya keanekaragaman dan populasi ikan, sehingga sumberdaya ikan akan berlimpah. Kondisi ini memicu terjadinya tingkat eksploitasi ikan yang cukup tinggi, apabila tidak diantisipasi maka akan terjadi menurunnya keanekaragaman dan populasi ikan yang ada (Syahrir, 2013).

(65)

Simanjuntak (2012), pada sungai Asahan ditemukan 31 spesies dan 11 famili. Cyprinidae umumnya paling banyak tertangkap. Sungai Deli dan sungai Asahan memiliki karakteristik hampir sama dengan Sungai Belumai.

Menurut nelayan di sekitar Sungai Belumai keanekaragaman jenis ikan yang ada cukup tinggi seperti ikan Jurung, Baung, Lemeduk, Hampala, Siakap, Paitan dll. Namun, semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk maupun industri-industri di sekitar DAS Sungai Belumai membuat kondisi ini membahayakan bagi organisme-organisme air khususnya ikan.

Menurut Kottelat et al., (1993), ancaman yang serius terhadap kelangsungan hidup dan habitat ikan adalah penggundulan hutan. Ada 4 (empat) alasan yang mendukung hal ini yaitu: Pertama, banyak jenis ikan yang hidupnya bergantung kepada bahan yang berasal dari binatang dan tumbuhan yang jatuh ke dalam air serta vegetasi yang menggantung di atas air. Kedua, kenaikan suhu yang disebabkan berkurangnya naungan. Dengan naiknya suhu air maka konsentrasi oksigen terlarut dalam air akan menurun pula. Ketiga, meningkatnya kekeruhan air karena endapan yang menumpuk, yang berasal dari tanah yang terhanyut dalam sungai. Lumpur ini dapat menyebabkan kematian ikan, alga dan organisme lainnya serta menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Keempat, adanya hutan terutama hutan-hutan yang tergenang air akan menciptakan habitat yang beragam dan bersifat heterogen yang tercermin dari keanekaragaman hayatinya.

(66)

pembuangan, serta limbah industri yang berupa bahan pewarna dan logam berat, serta pestisida dan herbisida yang digunakan untuk kegiatan pertanian.

Fisika Kimia Air

Menurut Suin (2002), mengatakan bahwa faktor fisika kima perlu diukur dalam penelitian ekologi perairan, antara lain:

1) Suhu

Diukur dengan menggunakan termometer Hg. Kisaran suhu yang optimal untuk pertumbuhan dan kehidupan ikan berkisar antara 15-30oC. Suhu juga

merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran ikan di perairan.

2) Kecepatan Arus

Kecepatan arus suatu perairan juga menentukan jenis ikan yang ada pada suatu perairan. Biasanya sungai berarus deras bentuk tubuh ikan pipih memanjang sebab sifat ikan akan melawan arus dan membutuhkan tenaga yang lebih.

3) Kekeruhan

Kekeruhan salah satu indikasi tingginya kelimpahan ikan. Kondisi ini berkaitan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan. Semakin tinggi kecerahan maka semakin tinggi kelimpahan ikan.

4) Kedalaman

(67)

5) pH Air

Kisaran pH atau derajat keasaman perairan yang cocok untuk ikan berkisar antara 6 - 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena dapat mengganggu sistem metabolisme dan respirasi tubuh.

6) DO (Oksigen Terlarut)

(68)

Latar Belakang

Sungai Belumai merupakan salah satu sungai di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Daerah aliran sungai (DAS) + 78.624,55 ha dengan melintasi 3 kecamatan yaitu: Kecamatan STM hilir, Kecamatan Tanjung Morawa dan Kecamatan Beringin. Aktivitas yang ada di sepanjang aliran Sungai Belumai meliputi industri, pertanian, PDAM rumah sakit dan perumahan. Masyarakat di Sungai Belumai masih memanfaatkan sungai untuk kegiatan penangkapan ikan, mandi, cuci dan kakus (MCK) (Fisesa, 2014).

Keanekaragaman jenis ikan di Indonesia cukup tinggi. Ikan yang hidup di perairan Indonesia ada + 4.000 jenis, 800 jenis diantaranya hidup di air tawar dan payau (Arifin, 1997 dalam Nursyahra, 2012). Menurut masyarakat nelayan di sekitar Sungai Belumai keanekaragaman jenis ikan yang ada cukup tinggi seperti ikan Jurung, Baung, Lemeduk, Hampala, Siakap, Paitan dll. Namun, semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk maupun industri-industri di sekitar DAS Sungai Belumai membuat kondisi ini membahayakan bagi organisme-organisme air khususnya ikan.

(69)

biak dengan baik harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dimana ikan itu hidup.

Menurut data BPS Deli Serdang (2014), terdapat 12.397 unit industri di Kabupaten Deli Serdang baik industri skala besar, menengah dan kecil diantaranya pabrik kertas, perusahaan ternak ayam, perakit mesin minyak kelapa sawit, pabrik sarung tangan, pabrik kayu, pabrik pengecoran logam, dan pabrik tekstil. Umumnya industri ini membuang limbah baik yang telah diolah maupun tidak melalui Sungai Belumai sehingga patut diduga telah memberikan dampak pada perubahan kualitas perairan ini.

Banyaknya aktivitas yang terjadi di Sungai Belumai baik dari kegiatan domestik maupun industri yang menghasilkan limbah-limbah akan berpengaruh pula terhadap faktor fisika, kimia, maupun biologi yang ada pada sungai tersebut. Ada beberapa peneliti dahulu yang menjadikan Sungai Belumai ini menjadi objek penelitian salah satunya ialah tentang makroozobentos. Untuk itu diperlukan juga suatu penelitian mengenai keanekaragaman ikan yang ada di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang ini.

Perumusan Masalah

Dampak dari adanya ativitas manusia di daerah aliran sungai akan mempengaruhi faktor fisika, kimia dan biologi air di sungai Belumai. Sehingga pada akhirnya berdampak terhadap keanekaragaman ikan di sungai tersebut. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

(70)

Sungai Belumai

Fisika Kimia Perairan Aktivitas

Masyarakat

PDAM Industri

Kelimpahan Relatif, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Ikan

2. Bagaimana hubungan kualitas air dengan keanekaragaman ikan di Sungai Belumai?

Kerangka Pemikiran

Keanekaragaman ikan di sungai merupakan salah satu indikasi suatu perairan dikatakan baik. Namun, tingginya aktivitas manusia di sungai juga membuat keanekaragaman ikan akan berkurang. Sehingga perlu untuk mengetahui keanekaragaman ikan di Sungai Belumai. Secara ringkas, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

(71)

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keanekaragaman, kelimpahan relatif, keseragaman dan

dominansi jenis ikan pada Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang. 2. Mengetahui hubungan fisika kimia perairan terhadap indeks

keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis ikan.

Manfaat Penelitian

(72)

ABSTRAK

M. MAHROZI SAGALA. Keanekaragaman Ikan di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan DESRITA.

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2014 di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kelimpahan relatif, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis ikan serta hubungannya terhadap faktor fisika kimia perairan. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah “Purpose Random Sampling”. Alat tangkap yang digunakan untuk sampling ikan adalah jaring insang, jala tebar dan pancing. Data dianalisis secara deskriptif dan dilakukan analisis regresi berganda. Hasil penelitian diperoleh 8 famili, 12 genus, 14 spesies dan 204 individu ikan. Kelimpahan relatif tertinggi adalah ikan Mystus gulio sebesar 23,03% dan terendah ikan Glossogobius giuris sebesar 0,49%. Indeks keanekaragaman yang diperoleh adalah 1.59, indeks keseragaman 0,78, dan indeks dominansi 0,26. Suhu air berkisar 28 – 29,75oC, kekeruhan 3,25 – 14,98 NTU, kedalaman 0,78 – 2,58 m, kecepatan arus 0,18 – 0,77 m/det, pH 5,9 – 7,2 dan DO 1,81 – 5,02 mg/l. Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat hubungan yang sangat kuat antar kompenen. Hal ini dilihat dari kisaran nilai koefisien determinasi (R2) antara 0,866 – 0,900.

Gambar

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang
Gambar 3. Stasiun I
Gambar 4. Stasiun II
Gambar 6.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada Stasiun dua nilai K, KR, dan FK tertinggi didapatkan pada jenisMystacoleucus marginatusmasing masing sebesar 0,021ind/m 2 , 33,17%, 20% dan tidak terdapat pada

Menurut nelayan di sekitar Sungai Belumai keanekaragaman jenis ikan yang ada cukup tinggi seperti ikan Jurung, Baung, Lemeduk, Hampala, Siakap,. Paitan

Nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh jumlah individu seluruh spesies yang ditemukan pada masing-masing stasiun, dari penelitian di Sungai Lais tidak ditemukan

Indeks dominansi tertinggi terdapat pada titik 4 bulan Januari yang berarti terdapat satu jenis spesies yang mendominansi dan diikuti dengan nilai indeks

Indeks keanekaragaman (H’) merupakan gambaran kekayaan spesies ikan yang dapat dilihat dari kehadiran jumlah spesies dalam suatu komunitas dengan kelimpahan

Penghitungan karakter meristik berupa jumlah jari-jari sirip dorsal (D) pada ikan Lemeduk di keempat stasiun menunjukkan kisaran hasil yang sama yaitu 3 buah

berkisar antara 0,24 – 0,25. Nilai Indeks Keseragaman dan nilai Indeks Dominansi makrozoobentos pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 4. Parameter fisika dan

ti = jumlah stasiun dimana spesies ke-i yang tertangkap % T = jumlah semua stasiun Indeks keanekaragaman Untuk menentukan keanekaragaman ikan digunakan indeks Shannon-Wiener Fachrul,