• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penyesuaian Diri

2.1.1 Pengertian Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi, dan relasi sosial. Berdasarkan definisi penyesuaian sosial Schneiders tersebut, kapasitas artinya kemampuan yang dimiliki individu untuk berhubungan dengan teman sebayanya. Efektif artinya hubungan yang dilakukan individu dengan teman sebaya dapat membawa hasil. Wajar artinya hubungan tersebut sesuai dengan keadaan yang ada. Selanjutnya relasi sosial anak adalah hubungan anak dengan teman sebaya di lingkungan sekolah. Penyesuaian diri dengan teman sebaya di lingkungan sekolah merupakan salah satu bentuk penyesuaian sosial. Hal tersebut berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa kanak-kanak.

Faktor penting dalam bersosialisasi dengan teman sebaya di sekolah adalah penyesuaian diri. Anak biasanya berusaha menyesuaikan diri terhadap teman sepermainannya di sekolah. Penyesuaian diri merupakan dasar bagi anak untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan teman sebayanya.

Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian merupakan proses yang mencakup respon mental dan perilaku di dalam mengatasi tuntutan sosial yang membebani dirinya dan dialami dalam relasinya dengan lingkungan sosial. Proses dalam penyesuaian merupakan runtunan perkembangan kemajuan hubungan anak

(2)

7 dengan teman sebaya. Respon mental dan perilaku yaitu tanggapan anak berupa pikiran dan perilaku di dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya. Tuntutan sosial berupa keinginan dan harapan dari teman sebaya yang dapat membebani anak dalam hubungannya dengan teman sebaya di sekolah.

Dalam hidupnya seorang individu akan terus menerus melakukan penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Menurut Schneiders (dalam Sudrajat, 2012), adjustment dibagi menjadi empat, yaitu penyesuaian diri (personal adjustment), penyesuaian sosial (social adjustment), penyesuaian pernikahan (marital adjustment), dan penyesuaian terhadap pekerjaan (vocational adjustment). Schneiders mengungkapkan penyesuaian diri tidak hanya di lingkungan keluarga saja, tetapi juga di lingkungan teman sebaya. Berdasarkan empat bentuk penyesuaian yang dikemukakan oleh Schneiders, penelitian ini mengarah pada penyesuaian sosial (social adjustment). Termasuk di dalam penyesuaian sosial tersebut adalah penyesuaian diri terhadap teman sebaya di sekolah.

Sebagai bentuk dari penyesuaian diri dengan teman sebaya di sekolah, anak sebagai makhluk sosial dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik. Kegagalan anak dalam menguasai kemampuan sosial akan menyebabkan anak sulit untuk menyesuaikan diri dengan teman sebayanya. Ketidakmampuan anak menyesuaikan diri dengan teman sebayanya tersebut terlihat dari ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial, serta memiliki sikap-sikap yang menolak realitas dan lingkungan sosial teman sebayanya. Anak yang mengalami perasaan itu merasa terasing dari

(3)

teman-8 temannya, akibatnya anak tersebut tidak mengalami kebahagiaan dalam berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.

Pada masa kanak-kanak, anak diharapkan mampu mencapai tugas-tugas perkembangan pada masanya. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1991) salah satu tugas perkembangan anak pada usia masa kanak-kanak akhir adalah belajar menyesuaiakan diri dengan teman-teman seusianya.

Hurlock (1991) yang merupakan seorang ahli psikologi perkembangan juga membahas mengenai penyesuaian diri pada masa kanak-kanak. Belajar menyesuaian diri dengan teman sebaya merupakan salah satu tugas perkembangan pada akhir masa kanak-kakak yang harus dicapai oleh setiap individu. Kegagalan dalam tugas-tugas perkembangan akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit bagi anak untuk diterima oleh teman-teman sebayanya.

Hurlock (1990) berpendapat bahwa istilah penyesuaian diri mengacu pada seberapa jauhnya kepribadian seorang individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat. Anak berpenyesuaian diri yang baik memiliki semacam harmoni dalam yang artinya anak tersebut puas dengan dirinya dan kemampuan yang dimiliki. Walaupun sewaktu-waktu ada kekecewaan dan kegagalan, namun mereka terus berusaha untuk mencapai tujuan.

Disamping membuat penyesuaian pribadi yang baik, anak yang baik penyesuaiannya mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang sekeliling mereka. Orang sekeliling mereka ini termasuk didalamnya adalah keluarga, masyarakat sekitar, dan teman sebayanya di lingkungan sekolah. Penyesuaian diri disini lebih ditekankan pada penyesuaian diri dengan teman sebayanya di lingkungan sekolah.

(4)

9 Setelah masuk ke bangku sekolah dasar, penerimaan kelompok teman sebaya sangatlah penting. Anak lalu berusaha mengembangkan sifat-sifat yang dikagumi oleh teman sebayanya. Anak yang diterima dalam kelompok sosial teman sebayanya akan lebih mengembangkan rasa percaya diri, pandai membawakan diri, dan akan mendapat lebih banyak teman (Hurlock, 1990).

Hurlock (1990) juga menambahkan, jika anak gagal memperoleh penerimaan sosial dari kelompok teman sebayanya, ada kemungkinan anak tersebut akan mempersalahkan keadaan dirinya yang tidak sesuai dengan harapan teman sebayanya. Anak akan mengomel dengan nasib mereka, merasa iri akan nasib orang lain, dan merasa tidak seberuntung teman-temannya. Jadi kebiasaan ini merupakan hambatan untuk penyesuaian pribadi dan sosial yang baik.

Anak yang menerima dirinya, cukup menyukai dirinya, mereka akan menunjang penerimaan sosial teman sebayanya. Semakin banyak teman yang menyukai dan menerima mereka, semakin senang anak dengan dirinya dan semakin kuat anak tersebut menerima diri sendiri. Hal tersebut akan menunjang penyesuaian diri yang baik.

Hurlock (1990) menjelaskan bahwa terdapat dua kondisi penting agar anak mampu mencapai penyesuaian diri yang baik. Pertama ialah bimbingan untuk membantu anak belajar menjadi realitistis tentang dirinya dan kemampuannya. Anak yang realistis tentang dirinya tidak mengharap sesuatu yang melebihi kemampuannya sendiri. Kodisi kedua adalah bimbingan dalam mengembangkan pola penyesuaian yang akan memenuhi pola yang disetujui oleh kelompok teman sebayanya.

(5)

10 Berdasarkan pendapat dari Hurlock tersebut, penulis menyimpulkan bahwa penyesuaian diri dalam lingkungan teman sebaya adalah seberapa jauh aspek psikis dan fisik seorang individu berfungsi secara efisien dalam lingkungan masyarakat, terutama dalam lingkungan teman sebaya. Penyesuaian diri penting dilakukan oleh setiap individu terutama pada masa kanak-kanak agar mendapatkan penerimaan yang menyeluruh dari teman sebaya di lingkungan sekolah.

Masalah penyesuaian diri tersebut bukanlah masalah yang sepele. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang serius oleh pihak sekolah, khususnya guru BK maupun wali kelas. Apabila masalah penyesuaian diri tidak ditangani secara baik, dikhawatirkan akan mengganggu proses belajar-mengajar, terutama yang berkaitan dengan hubungan sosial. Hubungan sosial dapat berupa hubungan kerjasama kelompok antar siswa, maupun hubungan belajar-mengajar antara guru dan siswa.

2.1.2 Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Baik

Menurut Hurlock (1990), ciri-ciri penyesuaian diri yang baik menurut usia dan kemampuan adalah :

1) Mampu menerima tanggung jawab yang sesuai dengan usia.

2) Berpartisipasi dengan gembira dalam kegiatan yang sesuai untuk tiap tingkat usia dan kemampuan yang dimilikinya, misal kegiatan olahraga, pramuka, dll.

3) Bersedia menerima tanggung jawab yang berhubungan dengan peran mereka dalam hidup, mengadakan komunikasi dengan lingkungan.

(6)

11 4) Segera menangani masalah yang menuntut penyelesaian masalah misalnya

konflik dalam pribadi.

5) Senang memecahkan dan mengatasi berbagai hambatan yang mengancam kebahagiaan. Misalnya mengadakan pergaulan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler.

6) Mengambil keputusan dengan senang tanpa konflik dan tanpa banyak menerima nasehat. Artinya segala sesuatu yang diputuskan itu benar tanpa mendapat bantuan dari orang lain.

7) Belajar dari kegagalan dan tidak mencari-cari alasan untuk menjelaskan kegagalan. Anak mampu menilai dari kegagalan untuk dijadikan dasar mengadakan perubahan dalam tindakan berikutnya.

8) Dapat mengatakan “tidak” dalam situasi yang membahayakan kepentingan sendiri. Hal ini biasanya diucapkan atau dilakukan anak dalam kelompok mereka.

9) Dapat mengatakan “ya” dalam situasi yang pada akhirnya akan menguntungkan. Pernyataan ini juga dapat dilakukan oleh anak-anak pada kelompok tertentu.

10) Dapat menunjukkan kasih sayang secara langsung dengan cara dan takaran yang sesuai dengan kondisi lingkungan.

11) Dapat menahan sakit dan frustrasi, emosional bila perlu. Pernyataan-pernyataan ini biasanya dilakukan oleh anak dalam pembelaan terhadap kelompoknya maupun pembelaan terhadap pribadi.

12) Dapat berkomunikasi bila menghadapi kesulitan. Hal ini menunjukkan anak ada kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam lingkungannya.

(7)

12 13) Dapat memusatkan energi pada tujuan yang penting artinya anak lebih

melakukan kegiatan-kegiatan yang positif.

2.2 Bimbingan Kelompok

2.2.1 Pengertian Bimbingan Kelompok

Menurut Winkel & Sri Hastuti (2006), Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan kepada individu dalam hal memahamai diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntuta lingkungan. Sedangkan konseling merupakan serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap masalah yang dihadapinya.

Winkel & Sri Hastuti (2006) menyebutkan bahwa terdapat dua bentuk bimbingan, yaitu bimbingan individual bilamana siswa yang dilayani hanya satu orang, dan bimbingan kelompok bilamana siswa yang dilayani lebih dari satu orang. Dalam upaya meningkatkan penyesuaian diri siswa yang jumlahnya lebih dari satu orang, penulis menggunakan bentuk bimbingan kelompok dengan teknik permainan sosial.

Menurut Romlah (1989), bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu yang berupa penyampaian informasi yang tepat mengenai masalah pendidikan, pekerjaan, pemahaman pribadi, penyesuaian diri, dan masalah hubungan antar pribadi dimana kegiatan tersebut dilakukan dalam kelompok.

(8)

13 Kegiatan bimbingan kelompok berupa penyampaian informasi yang tepat mengenai masalah pendidikan, pemahaman pribadi, penyesuaian diri, dan masalah hubungan antar pribadi. Informasi tersebut diiberikan terutama dengan tujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan pemahaman diri individu dan pemahaman terhadap orang lain.

Prayitno (1995) berpendapat bahwa bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Artinya semua peserta dalam kegiatan kelompok saling berinteraksi, bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi, memberi saran, dan lain sebagainya. Apa yang dibicarakan dalam kegiatan kelompok tersebut semuanya bermanfaat untuk diri peserta yang bersangkutan sendiri maupun untuk peserta lainnya.

2.2.2 Tujuan Bimbingan Kelompok

Kesuksesan layanan bimbingan kelompok sangat dipengaruhi sejauh mana tujuan yang akan dicapai dalam layanan bimbingan kelompok yang diselenggarakan.

Tujuan bimbingan kelompok yang dikemukakan oleh Prayitno (1995) adalah sebagai berikut :

1) Tujuan Umum

Tujuan umum dari layanan bimbingan kelompok adalah berkembangnya sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi anggota kelompok.

2) Tujuan Khusus

Bimbingan kelompok bermaksud membahas topik-topik tertentu. Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu

(9)

14 mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi verbal maupun non verbal ditingkatkan.

Dengan diadakannya bimbingan kelompok ini dapat bermanfaat bagi siswa sebab dengan bimbingan kelompok akan timbul interaksi dengan anggota-anggota kelompok mereka, memenuhi kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya dan diterima oleh mereka, kebutuhan bertukar pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan, dan kebutuhan untuk menjadi lebih mandiri.

2.2.3 Tahap-tahap Bimbingan Kelompok

Tahap-tahap perkembangan kelompok dalam bimbingan melalui pendekatan kelompok sangat penting yang pada dasarnya tahapan perkembangan kegiatan bimbingan kelompok sama dengan tahapan yang terdapat dalam konseling kelompok.

Menurut Prayitno (1995), dalam kegiatan bimbingan kelompok terdapat empat tahap, yaitu : tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan dan tahap pengakhiran.

1) Tahap Pembentukan

Dalam kegiatan awal ini dimulailah pengumpulan para calon anggota kelompok dalam rangka kegiatan kelompok yang direncanakan. Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri, atau tahap memasukkan diri dalam kehidupan suatu kelompok. Para anggota saling memperkenalkan

(10)

15 diri dan juga mengungkapkan tujuan atau harapan-harapan yang ingin dicapai baik oleh masing-masing, sebagian, maupun seluruh anggota.

Dalam tahap pembentukan ini, peranan pemimpin kelompok sangatlah penting untuk membantu para anggota kelompok mencapai tujuan mereka. Pemimpin kelompok perlu menampilkan tingkah laku dan komunikasi yang mengandung unsur ketulusan hati, kehangatan, empati, dan menghormati anggota kelompok.

Dengan demikian pemimpin kelompok perlu memusatkan usahanya pada penjelasan tujuan kegiatan, penumbuhan rasa saling mengenal antar anggota, dan penumbuhan sikap saling percaya dan menerima. Diharapkan pada tahap awal ini dapat terbangun kebersamaan antar anggota kelompok demi kelancaran dalam tahap-tahap selanjutnya.

2) Tahap Peralihan

Setelah suasana kelompok terbentuk dan dinamika kelompok sudah mulai tumbuh, kegiatan kelompok hendaknya dibawa lebih jauh oleh pemimpin kelompok menuju ke kegiatan kelompok yang sebenarnya. Untuk itu perlu diselenggarakan tahap peralihan.

Pada tahap ini pemimpin kelompok menjelaskan peranan para anggota kelompok. Kemudian pemimpin kelompok menawarkan apakah para anggota sudah siap memulai kegiatan lebih lanjut itu. Perlu ditegaskan kembali beberapa hal seperti tujuan kegiatan kelompok, asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, dan sebagainya agar para anggota lebih mantap dan siap untuk memasuki tahap selanjutnya.

(11)

16 3) Tahap Kegiatan

Tahap ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Namun kelangsungan kegiatan pada tahap ini sangat tergantung pada hasil dari dua tahap sebelumnya. Dalam tahap ketiga ini para anggota kelompok saling tukar pengalaman dalam bidang suasana perasaan yang terjadi, pengutaraan, penyajian dan pembukaan diri berlangsung dengan bebas.

Para anggota bersikap saling membantu, saling menerima, saling kuat-menguatkan, dan saling berusaha untuk memperkuat rasa kebersamaan. Dalam suasana seperti ini kelompok membahas hal-hal yang bersifat nyata yang benar-benar sedang mereka alami.

Kegiatan pembahasan diakhiri dengan peninjauan atas hasil pembahasan. Apabila pembahasan yang dilakukan melalui kegiatan kelompok dengan ketua kelompok tersendiri, peninjauan hasil pembahasan tersebut dilakukan langsung di bawah pimpinan pemimpin kelompok. Pembahasan lanjutan tersebut dilakukan sampai seluruh anggota menanggapi bahwa permasalahan yang ditugaskan tersebut telah dibahas secara tuntas.

4) Tahap Pengakhiran

Dalam tahap pengakhiran ini membahas tentang frekuensi pertemuan dan kapan pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan. Ketika kelompok memasuki tahap ini, kegiatan kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok akan mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka pelajari dalam kelompok pada kehidupan nyata mereka sehari-hari.

(12)

17 Peranan pemimpin kelompok adalah memberikan penguatan (reinforcement) terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh kelompok tersebut, khususnya terhadap keikutsertaan secara aktif para anggota dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh masing-masing anggota kelompok.

2.3 Teknik Permainan 2.3.1 Pengertian Permainan

Menurut Schaefer & Reid (dalam Suwarjo & Eliasa, 2011) bermain dipandang sebagai suatu perilaku yang muncul secara alamiah yang dapat ditemukan dalam kehidupan manusia dan binatang. Ada kalanya bermain merupakan aktivitas sukarela dan spontan yang tidak memiliki titik akhir atau tujuan tertentu. Bermain secara intrinsik didorong oleh hasrat untuk bersenang-senang.

Yalom (dalam Schaefer, 2010) menyebutkan kegunaan dari adanya kelompok dalam kegiatan bermain yaitu: (1) dapat meningkatkan harapan; (2) membentuk rasa memiliki; (3) berbagi informasi; (4) mengurangi sisi altruism; (5) mengoreksi kesalahan fungsi keluarga; (6) membangun kecakapan sosial; (7) memfasilitasi kemasyarakatan; (8) sebagai model kecakapan berelasi; (9) membentuk dukungan secara emosi dan katarsis; (10) membangun antar sesama; (11) membangun suasana hidup lebih bermakna dan bertujuan.

Schaefer (2010) menguraikan beberapa teknik pendekatan dalam teknik permainan yang disesuaikan dengan permasalahan yang dialami konseli dalam play therapynya, yaitu (1) dramatic role play dengan drama therapy, psychodrama, improvisational play in couple therapy; (2) therapeutic humor dengan jenis therapeutic humor with depressed and suicidal elderly; (3) sandplay

(13)

18 dengan konseli yang mengalami somatic conscious atau dementia; (4) play groups using games with adults, hypnoplay,client-centered play,play therapy for dissociative disorder.

Berdasarkan teori sosial Vigotsky (dalam Suwarjo & Eliasa, 2011) menerangkan bahwa bermain merupakan alat untuk sosialisasi. Dengan bermain bersama orang lain, maka akan tumbuh dan berkembang kemampuan memahami perasaan, ide dan kebutuhan orang lain yang menjadi dasar dari kemampuan sosial.

Seperti yang dikemukakan Hurlock (1991) bahwa bermain memiliki andil yang sangat besar terhadap perkembangan anak. Pengaruh bermain bagi perkembangan anak adalah dapat mengembangkan otot dan melatih seluruh bagian tubuh, belajar berkomunikasi, penyaluran bagi energy emosional yang terpendam, penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan. Selain itu bermain dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk mempelajari berbagai hal, merangsang kreativitas, membandingkan kemampuan yang mereka miliki dengan kemampuan orang lain, belajar bermasyarakat, belajar bekerja sama, sportivitas, melatih kejujuran dan sebagainya.

Ketika bermain seorang anak harus mengerti dan dimengerti oleh teman-temannya. Dalam bermain anak dapat belajar bagaimana mengungkapkan pendapatnya dan juga belajar mendengarkan pendapat orang lain. Selain itu ketika bermain sangat mungkin akan timbul konflik apalagi permainan yang bersifat berkelompok, oleh karena itu anak-anak dapat belajar alternatif untuk menyikapi atau menangani konflik dengan teman mainnya tersebut.

(14)

19 Pamela (2006 dalam Suwarjo & Eliasa, 2011) penggunaan media bermain dapat digunakan dalam pelaksanaan layanan bimbingan. Media bermain berfungsi dalam pekerjaan konselor karena :

a. Anak biasanya tidak mempunyai kemampuan verbal untuk bertanya, menolongdan membantu permasalahannya, bermain merupakan salah satu cara berkomunikasi dengan anak.

b. Media permainan dilihat sebagai salah satu metode membantu anak mengekspresikan perasaannya dan membangun sikap positif bagi dirinya dan temannya. c. Strategi mebangun hubungan yang digunakan sebagai

peningkatan tingkah laku dan klarifikasi perasaan. d. Adanya keterbatasan tipe tingkah laku.

Pada intinya permainan bersifat sosial, melibatkan proses belajar, mematuhi peraturan, pemecahan masalah, disiplin diri dan kontrol emosional dan adopsi peran-peran pemimpin dengan pengikut yang kesemuanya merupakan komponen penting dari sosialisasi (Serok & Blum dalam Suwarjo & Eliasa, 2011).

2.3.2 Jenis-jenis Permainan

Menurut Piaget (dalam Suwarjo, 2010) jenis permainan dilihat dari jumlahnya dapat dikelompokkan dalam bermain sendiri (soliteir play) seperti anak perempuan berbicara dengan bonekanya, anak laki-laki bermain dengan miniatur mobilnya, sampai bermain secara kooperatif yang menunjukkanadanya perkembangan sosial anak. Pendapat ini sejalan dengan Gordan & Browne (dalam Suwarjo, 2010) yang menjelaskan bahwa kegiatan bermain ditinjau dari dimensi perkembangan sosialnya, digolongkan menjadi 4 bentuk, yaitu:

a. Bermain soliter

Bermain sendiri atau tanpa dibantu oleh orang lain. Para peneliti menganggap bermain soliter mempunyai fungsi

(15)

20 yang sangat penting, karena setiap kegiatan bermain jenis

ini, 50 % akan menyangkut kegiatan edukatif dan 25 % menyangkut kegiatan otot.

b. Bermain paralel

Bermain paralel yaitu bermain sendiri namun berdampingan. Jadi tidak ada interaksi anak satu dengan yang lain. Selama bermain, anak sering menirukan apa yang dilakukan temannya. Dengan meniru anak belajar tema bermain yang dimiliki anak lain.

c. Bermain asosiatif

Bermain asosiatif terjadi bila anak bermain bersama dalam kelompoknya, seperti bermain bola bersama.

d. Bermain kooperatif

Bermain kooperatif bila naka-anak mulai aktif menggalang teman untuk membicarakan, merencanakan dan melaksanakan permainan.

2.3.3 Fungsi Permainan

Musfiroh (dalam Suwarjo, 2010) menjelaskan tentang fungi bermain dalam perkembangan sosial yaitu :

a. Meningkatkan Sikap Sosial

Ketika bermain anak-anak harus memperhatikan cara pandang lawan mainnya, dengan demikian akan mengurangi egosentrisnya. Dalam permainan itu pula anak-anak dapat mengetahui bagaimana bersaing dengan jujur, sportif, tahu akan hak dan peduli akan hak orang lain. Anak juga dapat belajar bagaimana sebuah tim dan semangat tim.

b. Belajar Berkomunikasi

Agar dapat melakukan permainan, seorang anak harus mengerti dan dimengerti oleh teman-temannya, karena permainan anak-anak dapat belajar bagaimana mengungkapkan pendapatnya dan juga mendengarkan pendapat orang lain.

(16)

21 c. Belajar Berorganisasi

Permainan sering kali menghendaki adanya peran yang berbeda oleh karena itu dalam permainan anak-anak dapat belajar berorganisasi sehubungan dengan penentuan „siapa‟ yang menjadi „apa‟. Dengan permainan anak dapat belajar bagaimana membuat peran yang harmonis dan melakukan kompromi.

2.3.4 Langkah-langkah Permainan

Menurut Romlah (1989), langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam permainan adalah :

1) Menentukan peserta permainan yang terdiri dari :

a. Fasilitator yang bertugas memimpin permainan simulasi.

b. Penulis bertugas mencatat segala sesuatu yang terjadi selama permainan berlangsung.

c. Pemain adalah individu-individu yang memegang tanda bermain, menjawab dan mendiskusikan permainan.

d. Pemegang peran adalah individu-individu yang berperan sebagai orang atau tokoh yang berada dalam skenario bermain.

e. Penonton adalah mereka yang ikut menyaksikan permainan dan berhak mengemukakan pendapat.

2) Menyediakan alat permainan beserta kelengkapannya.

3) Fasilitator menjelaskan tujuan permainan. Dalam kegiatan bimbingan kelompok yang menjadi fasilitator adalah konselor, guru atau wali kelas. 4) Menentukan pemain, pemegang peran, dan penulis.

(17)

22 6) Bermain dan berdiskusi.

7) Menyimpulkan hasil diskusi setelah seluruh permainan selesai, dan mengemukakan masalah-masalah yang belum sempat diselesaikan pada saat itu. 8) Menutup permainan dan menentukan waktu dan tempat bermain berikutnya.

2.4 Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelitian dari Permana (2009), mengenai Program Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Anak, menjelaskan bahwa program bimbingan kelompok terbukti dapat meningkatkan rata-rata kemampuan siswa dalam pemahaman dan pengetahuan juga implementasi dalam melakukan penyesuaian diri baik dengan pribadi, sosial dan lingkungan.

Menurut penelitian Rosidah (2013) yang mengenai efektivitas teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa, menggunakan uji-t independen sampel tes dengan asumsi kedua varians sama besar yang memberikan hasil t = 8.386 dengan derajat kebebasan 38 dan p-value (2-tailed) = 0.000. oleh karena hasil p-p-value = 0.000 yang dinyatakan lebih kecil dari α = 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa hasil skor rerata kelompok eksperimen yang diberikan treatment berupa penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok lebih besar diandingkan dengan skor rerata kelompok kontrol. Sehingga rerata data antara pre-test dan post-test berbeda secara signifikan. Berdasarkan hasil tersebut maka teknik permainan dalam bimbingan kelompok efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa.

Selain itu, juga telah dibuktikan oleh Sukma (2011) dalam penelitiannya mengenai teknik permainan simulasi dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa

(18)

23 kelas X SMA Laboratorium Percontohan UPI Bandung Tahun Pelajaran 2010/2011, menerangkan bahwa teknik permainan simulasi efektif digunakan untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa.

2.5 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Layanan bimbingan kelompok dengan teknik permainan dapat meningkatkan secara signifikan penyesuaian diri siswa kelas V SD Negeri Salatiga 12.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian dari hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa Kompetensi Sumber Daya Manusia, dan Sistem Pengendalian Intern berpengaruh terhadap kualitas

Yöntemler: Çalışmada 23 Ekim 2011 tarihinde Van’da yaşanan deprem öncesi ve sonrası altı aylık dönemde, 0-14 yaş grubu çocuklara ait Adenovirüs, Rotavirüs, He

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran karakter religius, bentuk-bentuk pembinaan karakter religius, faktor pendukung dan faktor peng- hambat pembinaan

Transaksi-transaksi Enron yang tidak diinginkan keberadaannya dalam laporan keuangan (karena dapat menurunkan laba bersih perusahaan atau menunjukkan posisi keuangan

Pengukuran kualitas layanan dengan SERVQUAL seharusnya diikuti dengan pengaplikasian QFD untuk memperjelas action plan yang harus dilakukan untuk menutup gap

Seperti yang sering dibicarakan di masyarakat, ternyata data yang diperoleh.. dari respon jawaban peserta didik yang menjadi sampel pada bagian ketiga, yaitu sikap/ perilaku

Hasil keluaran dari sistem ini yaitu pada pengiriman sms yang telah terenkripsi akan terkirim apabila ≤ 160 karakter, dan sms tidak akan terkirim apabila ≥ 160 karakter, pada

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Informasi yang benar serta lengkap dari suatu produk barang/ jasa harus disertakan oleh produsen. Label sebagai wujud hak