• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat RISANI GAZI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat RISANI GAZI"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

(Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju

Provinsi Sulawesi Barat

RISANI GAZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2008

Risani Gazi

(3)

ABSTRACT

Risani Gazi. The Analysis of Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) Nesting

Ground Condition at Mamuju Regency West Sulawesi Province. Supervised by Ani Mardiastutiand Yeni. A. Mulyani.

The maleo (Macrocephalon maleo) is one of Sulawesi`s endemic birds. It is

known that as megapode, maleo lays eggs in communal nesting grounds and the eggs were incubated by solar or geothermal heat sources. Recently, almost all nesting grounds show increasing vulnerability associated with the destruction of nesting ground condition, intensive disturbance to the nesting ground, limited acces for maleos, and overgrown by secondary vegetation. Those resulted on the abandonment of nesting ground by maleos. I surveyed 23 nesting grounds in Mamuju Regency at West Sulawesi Province, and located 18 active nesting grounds, two abandoned nesting grounds, three nesting grounds with unknown status, and eight new confirmed active sites. Out of the 18 active nesting ground sites, ten (55.6%) were in partly destroyed condition, six (33.3%) nesting grounds were in destroyed condition and two (11.1%) nesting grounds were in extremely destroyed condition. All nesting ground sites were in unprotected status area. I recommend eight (44.4%) nesting ground areas the first priority conservation where efforts are required to protect their habitats, seven (38.9%) nesting ground areas as second priority where efforts are required to improve the habitats, and three (16.7%) nesting ground areas as third priority where efforts are required to sustain maintenance.

(4)

RINGKASAN

Risani Gazi. Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Dibawah Bimbingan Ani

Mardiastutidan Yeni. A. Mulyani.

Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) merupakan salah satu burung endemik

yang terdapat di Sulawesi. Dikenali sebagai megapoda, Maleo senkawor meletakkan telur pada lokasi bertelur komunal di dalam lubang berpasir, kemudian telur di inkubasi dengan sumber panas berasal dari sinar matahari atau aktivitas vulkanis. Saat ini, hampir semua lokasi bertelur menunjukkan kerawanan karena tindakan pengrusakan kondisi lokasi bertelur, gangguan intensif pada lokasi bertelur, akses terbatas bagi Maleo senkawor, dan invasi vegetasi sekunder di lokasi bertelur. Semua hal tersebut berakibat pada ditinggalkannya lokasi bertelur oleh Maleo senkawor. Survei dilakukan pada 23 lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Ditemukan 18 lokasi bertelur aktif, 2 (dua) lokasi bertelur yang telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor, 3 (tiga) lokasi bertelur yang statusnya tidak diketahui, dan 8 (delapan) lokasi bertelur baru ditemukan. Dari 18 lokasi bertelur yang aktif digunakan oleh Maleo senkawor, 10 (sepuluh) lokasi bertelur dalam kondisi sebagian rusak, 6 (enam) lokasi bertelur yang dalam kondisi rusak, dan 2 (dua) lokasi bertelur yang dalam kondisi sangat rusak. Semua lokasi bertelur dalam kawasan yang tidak terlindungi. Saya menyarankan, 8 (delapan) atau 44% lokasi bertelur pada prioritas I dengan tujuan melindungi lokasi bertelur, 7 (tujuh) atau 38.9% lokasi bertelur pada prioritas II dengan tujuan memperbaiki kondisi lokasi bertelur, dan 3 (tiga) atau 6.7% lokasi bertelur pada prioritas III dengan tujuan melakukan pengelolaan terpadu pada lokasi bertelur.

(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik

atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebaggian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(6)

Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

(Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju

Provinsi Sulawesi Barat

RISANI GAZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(7)

Judul

Tesis

: Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo

Senkawor (

Macrocephalon maleo

) di

Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi

Barat

Nama :

Risani

Gazi

NRP :

P052050071

Program Studi

: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan

Sekolah

Pascasarjana

Institut Pertanian

Bogor

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc

Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS

Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas selesainya penulisan tesis ini dengan judul; “Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi

Barat”. Atas rahmat-Nya hingga pada akhirnya penulis dapat mengikuti program pendidikan S2 dan hingga selesai dengan baik. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hasilnya diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan kepada pihak- pihak yang terkait dalam pelaksanaan konservasi suatu kawasan, khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi- tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc dan Dr. Ir. Yeni. A. Mulyani, M.Sc atas kesediaannya sebagai komisi pembimbing penelitian ini. Bimbingan, arahan dan saran yang diberikan sangat berarti bagi penulis sejak dalam persiapan sampai akhir penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS atas perhatiannya selama ini.

Ungkapan rasa terima kasih penulis sampaikan kepada aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih dan penghargaan kepada segenap masyarakat di setiap lokasi penelitian yang terlibat langsung membantu proses pengambilan data.

Terima kasih penulis sampaikan kepada IdOU, PILI, WCS, Burung Indonesia, Kelompok Diskusi dan Pemerhati Burung yang memberikan masukan dan arahan selama penulisan tesis ini. Buat Mr. Edwar Hung terima kasih banyak atas kontribusi yang besar dalam memberikan informasi satwa endemik Indonesia.

(9)

Kepada rekan-rekan di IPB, khususnya PSL 2005 yang penuh suka dan duka, terimakasih untuk selalu membagi kebahagiaan. Buat Sandi Prasetyo,ST,M.Si, Teh Hijau, tetap jaya!. Kepada segenap penghuni Asrama Mahasiswa Sul-Sel Latimojong II, terima kasih untuk rasa senasib sepenanggungan di perantauan.

Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Drs. H. Gazi Manan dan Hj. Salma Ibrahim, serta kedua saudara tercinta Oche Sulawijaya, SH (beserta keluarga kecilnya) dan Adiat Gazi, SE. Terima kasih atas dorongan, harapan, semangat, kasih sayang, doa dan materi yang tiada henti diberikan.

Akhirnya penulis persembahkan buah pikir yang sederhana ini untuk membantu segala upaya dalam perlindungan satwa yang terancam punah seperti Maleo senkawor. Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Amien!

Bogor, Februari 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 12 Juni 1979 dari pasangan Drs. H. Gazi Manan dan Hj. Salma Ibrahim. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 1994 penulis lulus dari SMP Negeri I8 Makassar. Pada tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri 11 Makassar dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan pada Fakultas Peternakan, Jurusan Produksi Ternak di Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 2004 dengan mempertahankan skripsi dengan judul Karakteristik Telur Maleo (Macrocephalon maleo) pada Habitat Bertelur yang Berbeda. Tahun 2005 penulis mendapatkan

kepercayaan untuk mengikuti program pendidikan S2 di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... vii

PRAKATA ... viii

RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Permasalahan ... 3 1.3. Kerangka Pemikiran... 3 1.4 Tujuan Penelitian ... 4 1.5 Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Gambaran Umum tentang Maleo Senkawor ... 6

2.2 Karakteristik Telur Maleo Senkawor ... 7

2.3 Habitat Maleo Senkawor ... 7

2.4 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ... 8

2.5 Karakteristik Vegetasi ... 9

2.6 Suhu Lubang Peneluran ... 9

2.7 Sifat Tanah ... 10

2.8 Musuh Alami ... 12

2.9 Makanan ... 12

2.10 Degaradasi Habitat ... 13

III. METODE PENELITIAN ... 14

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 15

(12)

3.3.1 Penentuan Lokasi Bertelur ... 16

3.3.2 Analisis Kondisi Lokasi Bertelur ... 16

3.3.3 Analisis Pemahaman Masyarakat ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 22

4.1.1 Lokasi Penelitian... 22

4.1.2 Tanah dan Geologi ... 22

4.1.3 Iklim... 22

4.1.4 Flora dan Fauna ... 24

4.1.5 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju ... 24

4.2 Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju... 35

4.2.1 Kondisi Fisik Lokasi Bertelur... 38

4.2.2 Gangguan ... 41

4.2.3 Invasi Vegetasi Sekunder ... 42

4.2.4 Akses ... 44

4.3 Adaptasi Maleo Senkawor ... 45

4.3.1 Bentuk Adaptasi Maleo Senkawor... 46

4.3.2 Syarat Adaptasi Maleo Senkawor di Lokasi Bertelur... 49

4.4 Aspek Sosial ... 51

4.4.1 Sikap dan Perilaku Masyarakat ... 53

4.4.2 Pemahaman Masyarakat ... 53

4.5 Prioritas Konservasi... 54

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tekstur Tanah ... 11

2. Penilaian Kriteria Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ... 17

3. Penilaian Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor... 19

4. Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju... 25

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 4

2 . Peta Lokasi Penelitian ... 14

3. Diagram Alir Penelitian ... 15

4. Peta Penyebaran Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju... 23

5. Lokasi Bertelur Aktif yang Digunakan Maleo Senkawor... 26

6. Lokasi Bertelur yang telah Ditinggalkan Maleo Senkawor ... 24

7. Peta Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Wilayah ... 28

8. Lokasi Bertelur dengan Tanggul Pelindung... 29

9. Lokasi Bertelur dengan Hutan Mangrove ... 30

10. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Dataran Rendah... 31

11. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Berbukit... 32

12. Lokasi Bertelur di dalam Perkebunan Perseorangan ... 33

13. Lokasi Bertelur di antara Tumbuhan Semak Tinggi ... 33

14. Lokasi Bertelur di Pasir Longsoran Perbukitan ... 34

15. Peta Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju... 37

16. Hasil Penilaian Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor... 39

17. Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor... 40

18. Hasil Penilaian Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor... 41

19. Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor... 42

20. Hasil Penilaian Keberadaan Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ... 42

21. Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ... 43

22. Hasil Penilaian Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur... 44

23. Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur... 45

24. Lokasi Bertelur di Tobinta... 46

25. Lubang Galian yang Berada di Tepi Jalan ... 47

26. Lokasi Bertelur di Antara Lahan Perkebunan... 49

27. Persentase Tingkat Pendidikan Masyarakat di Sekitar Lokasi Bertelur Maleo Senkawor... 51

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil Penilaian Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

di Kabupaten Mamuju ... 60 2. Hasil Penilaian Gangguan di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

di Kabupaten Mamuju ... 61 3. Hasil Penilaian Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur

Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju... 62 4. Hasil Penilaian Akses Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

di Kabupaten Mamuju ... 63 5. Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan

Karakteristik Wilayah ... 64 6. Profil Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Lokasi Bertelur .... 65 7. Hasil Penilaian Aspek Sosial Masyarakat di Kabupaten Mamuju ... 66 8. Hasil Penilaian Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap

Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju... 67 9. Hasil Penilaian Pemahaman Masyarakat terhadap

Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju... 68 10. Tally Sheet Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ... 69 11. Kuisioner Aspek Sosial Masyarakat di sekitar Lokasi Bertelur

Maleo Senkawor... 74 12. Tally Sheet Pembobotan Kondisi Lokasi Bertelur

(16)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sulawesi merupakan pulau terbesar dalam sub-kawasan Wallacea yang juga menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) adalah salah satu satwa yang penyebarannya hanya

terbatas di pulau Sulawesi (endemik), yang memiliki keunikan tersendiri dan menarik untuk dikaji lebih dalam (Dekker, 1990). Maleo senkawor adalah bangsa

aves yang memiliki perilaku yang unik dan aneh. Tidak seperti bangsa aves pada

umumnya, Maleo senkawor tidak memiliki perilaku mengerami telurnya, melainkan membenamkan telurnya dalam lubang galian di tanah berpasir. Maleo senkawor juga mempunyai telur dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan telur ayam, meskipun ukuran tubuh kedua induk tidak terpaut jauh (Dekker, 1990).

Maleo senkawor hidup dan mendiami daerah pesisir pantai hingga daerah berbukit-bukit dan hutan primer dataran rendah dengan ketinggian hingga 1.200 meter di atas permukaan laut (Dekker, 1990). Maleo senkawor tersebar luas di berbagai lokasi di Sulawesi Utara, Tenggara, Tengah, dan Barat, kecuali di Sulawesi Selatan (Mallombasang, 1995). Penyebaran Maleo senkawor di Sulawesi Barat terkonsentrasi di Kabupaten Mamuju, namun masih membutuhkan konfirmasi mengenai penyebaran dan status lokasi bertelur Maleo senkawor (Dekker, 1990). Beberapa lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor. Populasi Maleo senkawor saat ini diperkirakan 4000-7000 pasang dan tersebar di 131 tempat bertelur di Sulawesi Utara, sementara di Sulawesi Tengah dan Barat Maleo senkawor tersebar di 63 lokasi (Buchart dan Baker, 1999). Diperkirakan jumlah Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju tidak lebih dari 100 ekor (Gazi, 2004).

Maleo senkawor mempunyai dua tipe lokasi bertelur, lokasi bertelur di tepi pantai dan lokasi bertelur di dalam hutan. Pada lokasi bertelur di tepi pantai, Maleo senkawor menggunakan tanah berpasir di pesisir pantai untuk aktivitas bertelur. Sumber panas untuk proses inkubasi embrio sebagian besar diperoleh dari radiasi sinar matahari.

(17)

Lokasi bertelur di dalam hutan merupakan lokasi bertelur yang tidak umum tersedia berupa suatu kawasan yang keadaan vegetasinya tidak terlalu rapat. Keadaan vegetasi tersebut memudahkan akses Maleo senkawor menuju ke dan dari lokasi tersebut. Sumber panas bagi embrio di dalam telur berasal dari aktivitas vulkanis di dalam tanah (Gunawan, 2000). Maleo senkawor menggali lubang dan meletakkan telur dengan suhu berkisar antara 34.00–40.70oC

(Gunawan, 1994).

Maleo senkawor memanfaatkan lokasi bertelur selama lokasi tersebut masih dapat memberi daya dukung. Daya dukung lokasi digambarkan dengan kemudahan Maleo senkawor mencapai lokasi bertelur, kenyamanan bagi Maleo senkawor dengan ketersediaan lokasi bertelur yang sunyi dan tenang dari gangguan manusia dan predator sehingga aktivitas bertelur berjalan lancar, dan keamanan Maleo senkawor dari gangguan selama aktivitas bertelur (Buchart dan Baker, 1999). Aktivitas manusia seperti pembabatan hutan serta konversi lahan telah berdampak pada menurunnya daya dukung ekosistem. Aktivitas tersebut disadari telah menjadi faktor utama hilangnya habitat hutan, terjadinya degradasi hutan, dan fragmentasi habitat (Buchart dan Baker, 1999). Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap upaya pelestarian Maleo senkawor mengakibatkan pemanfaatan telur yang tidak terkendali. Pemahaman yang kurang pada fungsi lokasi bertelur berdampak pada terabaikannya fungsi penting mempertahankan lokasi bertelur dalam kondisi yang baik (Gunawan, 2000).

Kondisi Maleo senkawor kini di ambang kepunahan akibat aktivitas perburuan burung maupun telurnya, konversi hutan dan aktivitas pertanian yang tidak terkendali kian mempercepat laju kepunahan Maleo senkawor padahal satwa ini telah dilindungi oleh undang sejak 1931 berdasarkan Undang-undang binatang liar tahun 1931 dan peraturan perlindungan binatang liar tahun 1931 kemudian pada tahun 1970 dipertegas kembali statusnya sebagai satwa dilindungi. Sementara itu IUCN (International Union of Conservation for Nature and Nature Reserve) dalam red data book memasukkan Maleo senkawor dalam

(18)

Kondisi ideal suatu lokasi bertelur bagi Maleo senkawor dapat dinilai berdasarkan komponen-komponen penting yang memberi daya dukung seperti kemudahan, kenyamanan, dan keamanan. Faktor yang selalu ada pada lokasi bertelur yang telah ditinggalkan dapat dipandang sebagai komponen ancaman terhadap lokasi bertelur. Sikap dan perilaku masyarakat di sekitar lokasi bertelur juga turut memberi kontribusi terhadap perubahan kondisi lokasi bertelur.

1.2 Permasalahan

Lokasi bertelur Maleo senkawor merupakan salah satu habitat penting yang harus tersedia dalam menunjang keberlangsungan hidup Maleo senkawor. Berangkat dari latar belakang penelitian ini maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Pertama, lokasi bertelur dapat terus aktif

digunakan oleh Maleo senkawor selama komponen pendukung (kemudahan, kenyamanan, dan keamanan) dapat terus terjaga. Kedua, beberapa lokasi

bertelur di Kabupaten Mamuju telah kehilangan daya dukung yang diakibatkan gangguan manusia dan alam sehingga ditinggalkan oleh Maleo senkawor.

Ketiga, Maleo senkawor masih menggunakan lokasi bertelur yang terganggu,

tapi menunjukkan perkembangan ke depan akan ditinggalkan terlihat dari semakin menurunnya jumlah Maleo senkawor yang menggunakan lokasi tersebut. Keempat, lemahnya pemahaman masyarakat terhadap upaya

pelestarian Maleo senkawor dan mempertahankan lokasi bertelur Maleo senkawor makin mempercepat laju kepunahan Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju.

1.3 Kerangka Pemikiran

Maleo senkawor seperti halnya satwa endemik kawasan Sub-Wallacea lainnya memiliki ketergantungan yang tinggi pada komponen ekosistem. Salah satu komponen yang dibutuhkan Maleo senkawor adalah tersedianya lokasi bertelur. Lokasi bertelur letaknya terpisah dengan habitat hidup Maleo senkawor. Berdasarkan letaknya, lokasi bertelur Maleo senkawor terdapat di 2 (dua) tempat, yaitu di dalam hutan dan di pesisir pantai. Terjadinya degradasi habitat di sekitar lokasi bertelur menyebabkan terjadinya perubahan pada kondisi fisik lokasi bertelur, meningkatnya gangguan, invasi vegetasi sekunder, serta sulitnya akses bagi Maleo senkawor menuju lokasi bertelur.

(19)

Lokasi Bertelur

Gangguan Akses Pesisir Pantai Pedalaman Hutan

Degradasi Habitat di Lokasi Bertelur

Invasi Vegetasi Sekunder

Lokasi Bertelur yang Telah Ditinggalkan

Penentuan Kriteria Lokasi Bertelur

Status Konservasi Berdasarkan Kondisi Lokasi Bertelur

Perubahan yang terjadi pada suatu lokasi bertelur berakhir dengan ditinggalkan suatu lokasi bertelur. Lokasi bertelur ditinggalkan oleh Maleo senkawor apabila telah kehilangan daya dukung. Berdasarkan keadaan umum yang ada di lokasi bertelur kemudian dianalisis kondisi lokasi bertelur Maleo senkawor yang ada di Kabupaten Mamuju. Selanjutnya, dengan mengetahui penyebaran Maleo senkawor, kondisi daya dukung lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju, maka diharapkan kita mendapat gambaran tingkat keterancaman lokasi bertelur Maleo senkawor berdasarkan atribut gangguannya masing-masing sehingga dapat menentukan status konservasi lokasi bertelur tersebut. Bagan alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Kondisi Fisik Lokasi Bertelur

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

1.4 Tujuan

Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

a) Mengevaluasi penyebaran dan status lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat;

b) Menganalisis kondisi umum lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat;

(20)

d) Mengkaji pemahaman masyarakat terhadap upaya pelestarian Maleo senkawor dan lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat;

e) Menetapkan prioritas konservasi lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat.

1.5 Manfaat

Penelitian

Manfaat penelitian ini :

a) Berperan sebagai langkah awal dalam upaya konservasi kawasan bertelur Maleo senkawor dengan mengetahui tingkat keterancaman dan kemungkinan akan ditinggalkannya lokasi bertelur di masa yang akan datang;

b) Pengembangan ilmu pengetahuan dengan pembaharuan data tentang ditemukan, ditinggalkan, dan perubahan kondisi lokasi bertelur Maleo senkawor yang belum atau pernah tercatat oleh peneliti sebelumnya;

c) Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju untuk usaha pelaksanaan konservasi kawasan yang merupakan lokasi bertelur Maleo senkawor.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum tentang Maleo Senkawor

Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) merupakan bangsa burung

endemik yang memiliki keunikan pada perilaku bertelur. Maleo senkawor tidak menggunakan panas tubuh untuk mengerami telur, tetapi memanfaatkan daya dukung alam untuk menyukseskan proses pengeraman. Berikut susunan taksonomi Maleo senkawor : Kingdom : Animalia; Phylum : Chordata; Kelas : Aves; Orde : Galliformes; Famili : Megapodiidae; Genus : Macrocephalon;

Spesies : Macrocephalon maleo (Sumangando, 2002). Famili Megapodiidae

terdiri atas 2 genus, yaitu Macrocephalon dengan satu spesies Macrocephalon maleo dan Megapodius dengan 9 spesies, Megapodius cumingii, Megapodius nicobarienssis, Megapodius bernsteinii, Megapodius reindwardii, Megapodius freycinet, Megapodius affinis, Megapodius. Evemita, Megapodius

layordi

, dan

Megapodius

wallacei

(White dan Bruce, 1986). Maleo senkawor memiliki bentuk badan memanjang, dan bulu didominasi oleh warna putih agak kemerahan dan hitam, dan memiliki sepasang kaki yang kuat dengan empat kuku yang tajam. Salah satu anggota tubuh yang dimiliki oleh Maleo senkawor adalah tonjolan keras pada bagian kepala yang menyerupai mahkota yang diduga berfungsi sebagai pendeteksi suhu selagi Maleo senkawor hendak meletakkan telurnya dalam lubang (Dekker, 1990).

Penamaan Maleo senkawor bervariasi bervariasi disetiap daerah, yaitu : Senkawor, Sengkawur, Songkel, Melaosan, (Minahasa), Saungke (Bintauna), Tuanggoi (Bolaang Mongondow), Tuangoho (Bolaang Itang), Bagoho (Suwawa), Momongo, Panua (Gorontalo), Molo (Sulawesi Utara), dan Mamuang (Mamuju) (Anonim, 1994; Jones dkk, 1995). Menurut konsensus penulisan nama burung yang di gunakan di Indonesia, nama Maleo adalah Maleo senkawor (Coates dkk, 2000). Maleo senkawor hidup dan mendiami daerah pesisir pantai hingga daerah berbukit-bukit dan hutan primer dataran rendah dengan ketinggian hingga 1.200 meter di atas permukaan laut (Dekker, 1990). Maleo senkawor tersebar luas di berbagai lokasi di Sulawesi Utara, Tenggara, Tengah, dan Barat kecuali di Sulawesi Selatan (Mallombasang, 1995).

(22)

Di Sulawesi Barat Maleo senkawor terkonsentrasi di Kabupaten Mamuju, namun demikian hal tersebut masih membutuhkan konfirmasi mengenai penyebaran dan status lokasi bertelur (Dekker, 1990). Beberapa lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor. Populasi Maleo senkawor saat ini diperkirakan 4000-7000 pasang dan tersebar di 131 tempat bertelur di Sulawesi Utara, sementara di Sulawesi Tengah dan Barat Maleo senkawor tersebar di 63 lokasi (Buchart dan Baker, 1999). Diperkirakan jumlah Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju tidak lebih dari 100 ekor (Gazi, 2004).

2.2 Karakteristik Telur Maleo Senkawor

Maleo senkawor merupakan bangsa burung yang mempunyai telur yang sangat besar bila dibandingkan dengan ukuran tubuh, yaitu 10 sampai 17 persen dari ukuran tubuh. Sebagai gambaran, berat telur ayam kampung (Gallus domesticus) hanya 3 (tiga) persen dari ukuran tubuh dimana ukuran tubuh kedua

induk tidak terpaut jauh (Dekker dan Wattel, 1987).

Ukuran telur Maleo senkawor adalah sebagai berikut berat telur: 215.71 + 24.81 g, panjang telur: 101.84 + 2.87 cm, dan lebar telur: 61.06 + 2.22 cm. Proporsi telur Maleo senkawor didominasi dengan jumlah kuning telur yang banyak. Kandungan kuning telur pada Maleo senkawor sebesar 67.8%. Hal ini menjadikan telur Maleo senkawor sangat menarik untuk dikonsumsi oleh manusia dibandingkan telur ayam kampung yang beratnya hanya berkisar antara 50–60 g dengan kandungan kuning telur 30% (Gazi, 2004).

2.3 Habitat Maleo Senkawor

Habitat mempunyai peranan penting bagi setiap organisme di dalamnya, setidaknya fungsi habitat sebagai penyedia makanan, serta air, dan sebagai pelindung. Berdasarkan komponennya, habitat dibedakan atas komponen fisik dan komponen biotik, dan kedua komponen ini saling berinteraksi sehingga dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Secara terperinci komponen fisik terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikro dan makro, fauna, serta adanya manusia (Alikodra, 2002).

(23)

Maleo senkawor adalah bangsa burung yang hidup pada daerah hutan primer dataran rendah yang aktivitasnya meliputi tidur, beristirahat, mencari makan, bertelur, dan aktivitas sosial lainnya. Aktivitas pada hutan sekunder hampir mirip dengan aktivitas pada hutan primer, namun burung Maleo senkawor jarang menggunakan kawasan hutan sekunder sebagai tempat tidur. Beberapa populasi aleo juga menggunakan daerah berpasir di tepi pantai untuk bertelur (Gunawan, 1994).

2.4 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

Keberadaan lokasi bertelur sangat berperan penting sesuai dengan perannya sebagai penyokong kehidupan bagi Maleo senkawor. Lokasi bertelur dipergunakan untuk mencari makan, minum, dan menjalankan aktivitas reproduksinya. Dalam hal aktivitas reproduksi, Maleo senkawor menggunakan lokasi bertelur untuk membantu proses pengeraman telur, hal ini terkait dengan perilaku Maleo senkawor yang tidak mempunyai naluri mengerami telur dan mengasuh anak (Dekker dan Wattel, 1987). Lokasi bertelur bagi Maleo senkawor merupakan suatu lokasi yang memiliki sumber panas yang dapat membantu proses pengeraman telur. Lokasi bertelur terbagi dua tipe yaitu lokasi bertelur di dalam hutan dan lokasi bertelur di tepi pantai.

Lokasi bertelur di dalam hutan biasanya merupakan suatu areal yang tidak umum tersedia karena merupakan tempat yang cukup terbuka dan memiliki vegetasi yang tidak terlalu rapat. Sumber panas bagi telur Maleo senkawor dapat berasal dari aktivitas vulkanis di dalam tanah, aliran air panas dalam tanah, proses dekomposisi daun lapuk oleh jasad renik, atau panas sinar matahari (Gunawan, 2000). Lokasi bertelur di tepi pantai merupakan daerah berpasir yang digunakan Maleo senkawor untuk meletakkan telurnya yang letaknya terpisah dari habitat hutan yang merupakan tempat hidupnya. Biasanya Maleo senkawor menggali lubang dalam kelompok yang terdiri atas beberapa pasang secara bersama-sama. Aktivitas bertelur ini dilakukan pada pagi hingga siang hari dan kegiatan penggalian dilakukan oleh kedua induk Maleo senkawor. Sumber panas bagi telur Maleo senkawor di dalam tanah diperoleh dari radiasi sinar matahari (Argeloo, 1991).

(24)

Faktor kunci bagi Maleo senkawor dalam memilih lokasi bertelur adalah: 1) sumber panas, (2) aksesibilitas, (3) keamanan dari gangguan, dan (4) musim (untuk lokasi bersumber panas matahari). Dalam menentukan sarang untuk meletakkan telur, Maleo senkawor cenderung lebih menyukai tempat dengan kondisi: (1) aman dari gangguan manusia, (2) efektivitas sumber panas, (3) kelembaban tanah, (4) pengaruh iklim mikro di atas permukaan tanah (terutama hujan), dan (4) keamanan dari predator (Gunawan, 2000).

2.5 Karakteristik Vegetasi

Habitat satwa terdiri atas dua komponen penting, yaitu lokasi geografis dan vegetasi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya suatu jenis satwa liar mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah satunya oleh faktor karakteristik vegetasinya (Copperider dkk, 1988). Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan karakteristik vegetasi adalah :

a) Struktur vegetasi yang terdiri atas tinggi pohon, kerapatan semak, persentase penutupan tajuk;

b) Komposisi vegetasi.

Khusus untuk Maleo senkawor, suatu habitat yang terdapat vegetasi sekunder dengan kerapatan yang tinggi maka struktur dan kerapatan vegetasi tersebut dipandang sangat penting (Zieren, 1985). Komponen-komponen tersebut amat berperan di dalam aktivitas rutin selama musim bertelur dari Maleo senkawor. Aktivitas tersebut adalah :

a) Hinggap; b) Bertengger;

c) Menghindari bahaya/gangguan (berlari dan terbang);

d) Jarak antarpohon, semak, dan perakaran agar memungkinkan penggalian lubang peneluran;

2.6 Suhu Lubang Peneluran

Maleo senkawor, seperti telah disebutkan di atas, merupakan burung yang tidak memiliki naluri mengerami telur dan mengasuh anak. Setelah meletakkan telur, Maleo senkawor akan kembali ke dalam hutan dan tidak memperdulikan terhadap telur yang telah ditimbun dalam lubang.

(25)

Maleo senkawor membenamkan telurnya kedalam lubang galian kemudian selanjutnya alam akan mengambil alih peran induk untuk memberi sumber panas untuk perkembangan embrio dalam telur. Setelah telur menetas, maka anak Maleo senkawor akan mencari makan sendiri tanpa bantuan dari induk. Menurut Gunawan (1994) temperatur di lubang peneluran berkisar antara 34.00-40.70oC.

Temperatur di lubang peneluran di daerah Tambun Sulawesi Utara berdasarkan lubang kedalaman lubang yang berbeda beda secara berturut-turut adalah; 29.4-31.0oC, 30.9-32.7oC, 32.1-34.3oC, dan 33.8-36oC untuk kedalaman lubang 20,

30, 40, dan 50 cm (Dekker, 1990). Kelembaban tanah di sekitar lokasi bertelur Maleo senkawor tercatat bervariasi mulai 6.3-11%.

2.7 Sifat Tanah

Maleo senkawor meletakkan telurnya di lubang yang memiliki kondisi tertentu, salah satunya adalah sifat tanah yang berpasir. Tekstur tanah yang berpasir memudahkan induk Maleo senkawor untuk menggali lubang untuk pengeraman telur. Sifat tanah berpasir juga tidak mengikat dan cepat melepaskan air sehingga temperatur tanah di sekitar telur tidak terlalu terpengaruh oleh genangan air dan sifatnya yang relatif konstan. Menurut Gunawan (1994), sifat tanah di empat lokasi bertelur Maleo senkawor di Taman Nasional Dumoga Bone (TNDB), yaitu Tambun, Matayangan, Tapakolintang, dan Bakan memiliki kelas tekstur berlempung, lempung berpasir, lempung berdebu, dan pasir berlempung, tanah keempat lapangan peneluran tersebut memiliki kandungan utama berupa pasir yang berkisar antara 41.67-82.12%.

(26)

Menurut Beckman dan Brady (1969) dalam Alikodra (2002), tekstur tanah

dibagi dalam beberapa tekstur sesuai dengan keadaannya. Pengelompokan tekstur tanah disajikan lebih jelas pada Tabel 1.

Tabel 1 Tekstur Tanah

Tekstur tanah

Keadaan

Pasir 1. Rasa kasar sangat jelas 2. Tidak melekat

3. Tidak dapat dibentuk bola dan gulungan Pasir

berlempung

1. Rasa kasar jelas 2. Sedikit melekat

3. Dapat dibentuk bola gulungan yang mudah sekali hancur Lempung

berpasir

1. Rasa kasar agak jelas 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola, mudah hancur Lempung 1. Rasa tidak kasar dan tidak licin

2. Agak melekat

3. Dapat membentuk bola agak teguh, dapat sedikit dibuat gulungan dengan permukaan mengkilat

Lempung berdebu

1. Rasa licin 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit dibuat gulungan dengan permukaan mengkilat

Debu 1. Rasa licin sekali

2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat

Lempung berkilat 1. Rasa agak licin 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit dibuat gulungan agak mudah hancur

Lempung liat berpasir

1. Rasa halus dengan sedikit bagian kasar 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat dibentuk gulungan agak mudah hancur

Lempung liat berdebu

1. Rasa halus agak licin 2. Melekat

3. Dapat dibuat bola teguh, gulungan mengkilat Liat berpasir 1. Rasa halus, berat berat tapi terasa sedikit kasar

2. Melekat

3. Dapat dibentuk bola teguh, mudah digulung Liat berdebu 1. Rasa halus, berat, agak licin

2. Sangat lekat

3. Dapat dibentuk bola teguh, mudah digulung Debu 1. Rasa berat, halus

2. Sangat lekat

(27)

2.8 Musuh Alami

Maleo senkawor memiliki musuh alami antara lain biawak (Varanus salvator), babi hutan (Sus celebensis), ular sanca (Phyton reticulatus), elang

(Spizaetus lanceolatus), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), dan anjing (Canis canis). Keberadaan musuh alami dipandang bukanlah merupakan ancaman yang

serius terkait dengan keseimbangan ekosistem yang dalam keadaan alami selalu stabil, manusia dengan kegiatan memburu burung dan mengambil telur merupakan ancaman yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup Maleo senkawor. Keberadaan satwa domestikasi juga terbukti mempengaruhi populasi Maleo senkawor seperti sapi, kelinci, dan kambing yang berkompetisi dalam hal ketersediaan lahan dan jenis pakan tertentu (Gunawan, 1994).

2.9 Makanan

Berbagai jenis pepohonan membantu Maleo senkawor dalam hal menyediakan berbagai jenis buah-buahan, biji-bijian, serta sebagai tempat berlindung dan beristirahat. Maleo senkawor menyukai pohon yang pertajukan atau percabangan ranting cukup besar dan kokoh yang mampu menahan beban tubuh Maleo senkawor, seperti; kemiri (Aleuritus moluccana), nibung

(Oncosperma filamentosum), rao (Dracontomelon mangiferum), nantuk

(Endiandra sp), Ficus sp., dan Macaranga sp. Wilayah jelajah untuk mencari

pakan (Feeding territory) Maleo senkawor utamanya bukan di lokasi bertelur,

tetapi di dalam hutan tropis dataran rendah. Meskipun demikian, jika di lokasi bertelur tersedia makanan, maka Maleo senkawor akan mencari makan baik sebelum bertelur maupun sesudah bertelur. Maleo senkawor termasuk omnivora atau pemakan segala, makanannya meliputi buah-buahan, biji-bijian, serangga, invertebrata lantai hutan, siput dan kepiting. Maleo senkawor mencari makan di lantai hutan dengan cara mencakar-cakar atau mengais serasah, Maleo senkawor juga mancari makan di tepi-tepi sungai, tepi rawa, atau tepi danau (Gunawan, 2000).

(28)

2.10 Degradasi Habitat

Degradasi habitat merupakan bentuk perubahan kondisi habitat yang mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas yang tersedia bagi spesis tertentu. Hilangnya habitat dapat diakibatkan oleh penebangan hutan, konversi hutan menjadi lahan pertanian, dan pembangunan kota. Kehilangan habitat untuk kegiatan pembangunan kota meliputi semua bentuk bangunan seperti perumahan dan jalan raya (Dekker dan McGowan, 1995).

Kehilangan habitat dikarenakan pemenuhan sektor pertanian merupakan semua bentuk konversi habitat yang masih baik menjadi lahan pertanian. Kerusakan habitat adalah berkurangnya kualitas habitat dengan cara berkurangnya lindungan vegetasi, kerusakan habitat diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan juga disebabkan oleh over grazing oleh ternak.

(29)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 1 (satu) tahun dengan perincian; awal Januari hingga akhir Juli penelusuran pustaka,dan pengumpulan data sekunder. Penelitian lapangan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yaitu mulai pada awal bulan Agustus hingga awal bulan November tahun 2007. Lokasi penelitian sebanyak 23 lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat (Gambar 2).

(30)

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini terdiri atas peta lokasi skala 1 : 250.000, kompas, GPS (Global Positioning System), teropong binokular, dan kamera. Alat yang dibutuhkan untuk pengolahan data adalah perangkat komputer dengan program ArcView GIS 3.3.

Penentuan Lokasi Bertelur

- Aktif

- Telah ditinggalkan - Status tidak diketahui - Penemuan Lokasi Baru - Pengelompokan Lokasi Bertelur - Pengamatan Langsung - Studi Pustaka Analisis Data Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Metode Penelitian Analisis Pemahaman Masyarakat - Wawancara - Kuisioner - Pengamatan Langsung - Studi Pustaka Kondisi Fisik - Tipe Lokasi Bertelur - Luas Lokasi Bertelur - Tekstur Tanah

- Jarak dengan Bibir Pantai

Akses - Jarak dengan Hutan - Jarak dengan Jalan - Jarak dengan

Permukiman

Invasi Vegetasi Sekunder - Luas Tutupan Vegetasi

Sekunder - Jenis Vegetasi Gangguan - Kehadiran Manusia - Bentuk Gangguan - Frekuensi Gangguan Kondisi - Baik - Sedang - Kurang - Tidak Baik

Invasi Vegetasi Sekunder - Bersih - Agak Tertutup - Sebagian Tertutup - Tertutup Akses - Bebas - Terbatas - Terganggu - Tidak Ada Akses

Gangguan - Tidak Ada - Kurang - Sering - Ada Gangguan

Prioritas Konservasi - Sikap dan Perilaku Lokasi Bertelur Aktif

- Pemahaman Penyebaran dan Status

Lokasi Bertelur

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu penentuan lokasi bertelur dan analisis lokasi bertelur. Tahap analisis lokasi bertelur dibagi menjadi analisis kondisi lokasi bertelur dan analisis pemahaman masyarakat (Gambar 3).

(31)

3.3.1 Penentuan Lokasi Bertelur

Survei pendahuluan dan studi pustaka dilakukan untuk mengetahui gambaran umum lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju. Selanjutnya metode tersebut dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai keadaan suatu individu, gejala atau kelompok tertentu (Walpole, 1992). Lebih lanjut, hal ini akan dianalisis berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan. Analisis dalam penentuan lokasi bertelur dilakukan secara sengaja atau

purposive sampling (Nawawi, 1995). Penentuan lokasi mengacu pada referensi

peneliti sebelumnya (Gazi, 2004; Buchart dan Baker, 1999; Mallombasang, 1995). Pada tahap ini, dilakukan inventarisasi ulang lokasi bertelur dan kemungkinan ditemukannya lokasi bertelur baru.

3.3.2 Analisis Kondisi Lokasi Bertelur

a. Penilaian Kriteria Lokasi Bertelur

Pada tahap ini dilakukan inventarisasi pada beberapa komponen yang berperan penting untuk menilai kondisi suatu lokasi bertelur. Metode survei dianalisis secara deskriptif dengan pengamatan langsung dan berdasarkan studi pustaka. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan penjelasan dan uraian berdasarkan data dan informasi yang akan diperoleh selama penelitian. Penilaian terhadap kriteria lokasi bertelur (Tabel 2) yaitu :

a) Dimensi lokasi: luas lokasi bertelur Maleo senkawor;

b) Tipe lokasi: apakah tiap lokasi bertelur merupakan tipe lokasi bertelur tepi pantai atau lokasi bertelur di tengah hutan yang ditentukan berdasarkan karakertistik lokasi bertelur;

c) Jarak dengan jalan terdekat: diukur jarak antara tepi jalan raya dengan titik tengah lokasi bertelur. Pengukuran berdasarkan acuan peta jalan dan dihubungkan dengan penentuan lokasi bertelur dengan bantuan GPS;

d) Jarak terdekat dengan bibir pantai: diukur jarak batas air di bibir pantai dengan titik tengah lokasi bertelur;

(32)

e) Jarak terdekat dengan perkampungan: diukur jarak terdekat titik tengah lokasi bertelur dengan permukiman masyarakat;

f) Jarak dengan hutan: diukur jarak terdekat titik tengah lokasi bertelur dengan batas wilayah hutan terdekat. Semua pengukuran dilakukan dengan satuan meter dengan alat GPS;

g) Kondisi vegetasi sekunder: dicatat keberadaan vegetasi sekunder, luas tutupan vegetasi;

h) Kondisi lubang peneluran: dimensi dan jumlah lubang peneluran; i) Kondisi pasir: dicatat jenis pasir yang terdapat di lokasi bertelur;

j) Predator: dihitung apakah terdapat atau tidak pemangsa, jumlah dan jenis pemangsa yang ada di lokasi bertelur;

k) Jumlah pasangan Maleo senkawor yang menggunakan lokasi bertelur: dihitung dengan mengamati secara langsung dari tempat tersembunyi, dari hasil wawancara dengan masyarakat pengumpul telur, atau dari referensi peneliti sebelumnya jumlah pasangan Maleo senkawor yang mendatangi lokasi bertelur;

l) Pengumpulan telur: dihitung ada atau tidaknya aktivitas pengambilan telur oleh masyarakat;

m) Gangguan manusia: ada atau tidaknya aktivitas manusia disekitar lokasi bertelur, bentuk gangguan, serta frekuensi terjadinya gangguan manusia di lokasi bertelur.

Tabel 2 Penilaian Kriteria Lokasi Bertelur

Atribut

Kriteria

Metode Pengambilan Data

Kondisi fisik 1. Tipe Lokasi 2. Luas Lokasi 3. Tekstur Tanah

4. Jarak dengan Bibir Pantai 5. Kondisi Lubang

1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka

Akses 1. Jarak dengan Hutan 2. Jarak dengan Jalan 3. Jarak dengan Permukiman

1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka Invasi Vegetasi Sekunder 1. Jenis Vegetasi

2. Luas Tutupan Vegetasi

1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka

Gangguan 1. Kehadiran Manusia 2. Bentuk Gangguan 3. Frekuensi Gangguan

1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka

(33)

b. Analisis Data Kondisi Lokasi Bertelur

Dalam analisis kondisi lokasi bertelur, dilakukan pendekatan menggunakan metode dari peneliti sebelumnya yang telah dimodifikasi (Gorog dkk, 2005) yaitu metode evaluasi terhadap 4 (empat) atribut dasar untuk menilai lokasi habitat bertelur, teknik kuisioner juga dilakukan dengan berbagai pihak antara lain kepala desa serta pengumpul telur yang berada di sekitar lokasi bertelur Maleo senkawor yang dimodifikasi dari (Christy dan Lentey, 2001). Empat atribut dasar dalam analisis kondisi lokasi bertelur antara lain:

a) Kondisi: kondisi lokasi bertelur yang ditentukan dengan luas lokasi bertelur, tekstur pasir yang ada di lokasi bertelur, kondisi di dalam lubang peneluran serta jarak dengan bibir pantai;

b) Akses: akses menuju lokasi bertelur ditentukan dengan kedekatan antara lokasi bertelur dengan hutan;

c) Invasi Vegetasi Sekunder: ditentukan berdasarkan penutupan lokasi bertelur oleh tanaman semak dan perdu;

d) Gangguan: penilaian ini ditentukan berdasarkan kehadiran manusia di lokasi bertelur, bentuk gangguan, serta frekuensi terjadinya gangguan di lokasi bertelur.

Tahapan selanjutnya dari penelitian ini adalah penentuan derajat kepentingan tiap atribut yang ada. Analisis data lokasi bertelur ditentukan berdasarkan derajat kepentingan atau bobot dari setiap atribut yang telah ditetapkan. Penentuan bobot ini dinilai sangat penting karena akan mempengaruhi nilai total akhir dari setiap pilihan keputusan. Penentuan bobot dilakukan dengan pemberian bobot secara langsung kepada setiap atribut (Ma`arif dan Tanjung, 2003). Penentuan bobot untuk setiap atribut dalam menilai kondisi lokasi bertelur adalah: kondisi fisik (0.30), gangguan (0.30); akses (0.20), dan invasi vegetasi sekunder (0.20). Skor derajat kepentingan diberikan angka 1-4, dimana angka empat (4) menyatakan kondisi baik dan satu (1) menyatakan kondisi buruk.

(34)

Faktor-faktor dengan tingkat pengaruh yang terbesar akan menempati urutan teratas dengan memperoleh pembobotan yang terbesar. Faktor-faktor dengan tingkat pengaruh yang rendah atau kecil akan menempati urutan berikutnya. Penjelasan pada tiap-tiap atribut, yaitu kondisi, akses, invasi vegetasi sekunder dan gangguan manusia, pembobotan, dan skor dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Penilaian Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

Kriteria

Kategori

Penilaian

Skor Bobot

Atribut

Dasar

Lokasi bertelur tersedia cukup luas (+ 1 km2) dan jarak lokasi

dengan bibir pantai cukup jauh > 100 m

Lokasi bertelur memiliki luas 500-1000 m2, dengan jarak

bibir pantai 75-100 m

Lokasi bertelur memiliki luas < 500 m2 dengan jarak terdekat

dengan bibir pantai < 50 m Lokasi bertelur kecil dan letaknya terpisah-pisah, lokasi sangat dekat dengan bibir pantai Baik Sedang Kurang Tidak Baik 4 3 2 1 0.30 Kondisi Fisik

Sangat sedikit bahkan tidak ada gangguan manusia

Terdapat kehadiran manusia dalam jumlah kecil 1 bulan sekali

Terdapat aktivitas rutin tiap minggu oleh masyarakat dan pengumpul telur Maleo senkawor

Setiap hari lokasi bertelur dikunjungi masyarakat untuk mengambil telur Maleo senkawor dan untuk kepentingan lainnya Tidak Ada Kurang Sering Aktif 4 3 2 1 0.30 Gangguan

(35)

Tabel 3 Lanjutan ...

Kriteria

Kategori

Penilaian

Skor Bobot

Atribut

Dasar

Lokasi bertelur bersih dari tanaman semak dan perdu Lokasi bertelur ditutupi oleh tanaman sekunder dalam jumlah yang sedikit < 50% luas lokasi bertelur

Lokasi bertelur ditutupi oleh tanaman sekunder hingga 75%

Lokasi bertelur tertutup oleh tanaman sekunder sehingga Maleo senkawor tidak dapat menggali lubang peneluran.

Bersih Kurang Sebagian Tertutup Tertutup 4 3 2 1 0.20 Invasi Vegetasi Sekunder

Lokasi bertelur langsung dikelilingi oleh hutan primer > 50% dari pinggiran, yang memungkinkan Maleo senkawor untuk menjangkau

lokasi tersebut tanpa gangguan

Tempat bertelur dikelilingi hutan primer < 50 % dari batas luarnya menghalangi Maleo senkawor dari hutan primer;

Tempat bertelur dikelilingi hutan < 25%, Maleo senkawor hanya memiliki satu jalur akses menuju lokasi bertelur

Tempat bertelur benar-benar terpisah dari hutan primer dan Maleo senkawor tidak dapat menjangkau tempat bertelur tanpa melintasi lahan pertanian, vegetasi sekunder atau gangguan lainnya oleh aktivitas manusia. Bebas Terbatas Terganggu Tak Ada Akses 4 3 2 1 0.20 Akses

(36)

Berdasarkan hasil penjumlahan bobot dan skor kemudian diperoleh nilai untuk menentukan kondisi lokasi bertelur Maleo senkawor. Nilai > 3.00 menyatakan kondisi lokasi bertelur baik, nilai 2.01-3.00 menyatakan kondisi lokasi yang sedang, nilai 1.01-2.00 menyatakan kondisi umum lokasi bertelur yang buruk dan nilai 1.00 menyatakan kondisi lokasi bertelur yang sangat buruk.

3.3.3 Analisis Pemahaman Masyarakat

Penelitian pada tahap ini digolongkan ke dalam penelitian deskriptif. Menurut Walpole (1992), penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai keadaan suatu individu, gejala atau kelompok tertentu, dalam hal ini lebih lanjut akan dianalisis berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan. Analisis pemahaman masyarakat dilakukan secara sengaja atau purposive sampling (Nawawi, 1995). Pada tahap

ini, dilakukan evaluasi pada data dasar keberadaan masyarakat berupa data dari kantor administratif setempat. Penentuan responden juga didasarkan pada kedekatan pemukiman penduduk dengan lokasi bertelur yang sebelumnya telah diketahui.

Pengumpulan data melalui wawancara dan kuesioner dilakukan untuk mendapatkan (i) tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi bertelur; (ii) pemahaman masyarakat di sekitar lokasi bertelur terhadap lokasi bertelur Maleo senkawor; dan (iii) sikap dan perilaku masyarakat di lokasi bertelur Maleo senkawor. Penentuan responden dilakukan secara sengaja atau

purposive sampling (Nazir, 1999). Koentjaraningrat (1983) memberi batasan

ukuran sampel yang diambil untuk penelitian deskriptif minimal 10 persen dari populasi, sedangkan untuk ukuran populasi yang sangat kecil minimal 20 persen.

(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Lokasi Penelitian

Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan atau pada bagian barat dari pulau Sulawesi, yaitu terletak pada posisi : 0o 52` 10`` - 2o 54`52`` Lintang Selatan dan 11o 54`47`` -

13o5`35`` Bujur Timur. Batas wilayah administratif Kabupaten Mamuju adalah;

sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah timur dengan Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majene, Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Gambar 4.

Luas wilayah Kabupaten Mamuju adalah 11.057.81 km2 dan memiliki luas

kawasan hutan menurut fungsinya sebesar 849.777 Ha. Dengan perincian hutan lindung 505.156 Ha, hutan produksi 195.615 Ha, hutan produksi tetap 51.250 Ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 97.876 Ha, sedangkan hutan suaka alam pada daerah ini belum ada (Bappeda dan Kantor Statistik Mamuju, 1992).

4.1.2 Tanah dan Geologi

Keadaan tanah di wilayah Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat umumnya berasal dari endapan dan pasir, sedangkan jenis tanahnya adalah tanah-tanah aluvial coklat kekelabuan (Bappeda dan Kantor Statistik Mamuju, 1992).

4.1.3 Iklim

Berdasarkan klasifikasi curah hujan oleh Schmidt dan Ferguson (Mallombasang, 1995), Kabupaten Mamuju termasuk dalam tipe E dengan nilai Q = 125 %, dengan rata-rata curah hujan setiap tahun berkisar antara 34 mm sampai 375 mm (Bappeda dan Kantor Statistik Mamuju, 1992).

(38)

Gambar 4 Peta Penyebaran Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju

(39)

4.1.4 Flora dan Fauna

a) Flora

Secara umum vegetasi hutan di Kabupaten Mamuju termasuk tipe hutan hujan tropis dataran rendah dan pada umumnya dijumpai jenis-jenis pohon antara lain

Diospirus sp, Kemiri (Aleurites moluccana), Dracontomelon mangiferum, Instia bijuga, Alstonia sp. Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ficus sp, dan sebagainya.

Vegetasi berupa semak didominasi oleh Lantana camara dan Alang-alang

(Imperata cilindrica) (Whitten dkk., 1987).

b) Fauna

Menurut Whitten, dkk (1987) jenis-jenis fauna yang dijumpai di daerah ini antara lain : Dare (Macaca maura), Mandar Sulawesi (Aramidopsis plateni), Nuri

(Tanygnathus megalorhynchus), Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi),

Rangkong (Rhyticeros cassidix), jenis-jenis Kuntul dan Maleo senkawor

(Macrocephalon Maleo senkawor).

4.1.5 Lokasi Bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju

Maleo senkawor tersebar dan bertelur pada beberapa tempat di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Berdasarkan hasil penelitian setidaknya terdapat 23 lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju. Lokasi bertelur digunakan Maleo senkawor untuk membuat lubang dan meletakkan telur. Di Kabupaten Mamuju terdapat 18 lokasi bertelur yang masih aktif digunakan Maleo senkawor, 2 (dua) lokasi bertelur yang telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor, dan 3 (tiga) lokasi bertelur yang tidak diketahui statusnya (Tabel 4). Tipe lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju umumnya merupakan lokasi bertelur pesisir pantai yakni sebanyak 17 lokasi bertelur dan hanya 1 (satu) lokasi bertelur yang merupakan lokasi bertelur di dalam hutan, yaitu terdapat di lokasi bertelur Tobinta.

(40)

Tabel 4 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju

No Lokasi

bertelur

Koordinat

Status

1 Tobinta 01o57’53.3”S 119o19’44.3”E Aktif 2 Lelo losso 01o57’47.4”S 119o16’23.9”E Aktif 3 Tambung Tangnga 01o57’05.7”S 119o16’42.9”E Aktif 4 Tikke 01o20’58.4”S 119o19’55.5”E Ditinggalkan 5 Terbao 01o01’22.3”S 119o28’22.7”E Ditinggalkan 6 Koloe 01o21’44.4”S 119o19’21.6”E Aktif 7 Lemo 01o22’13.8”S 119o18’41.7”E Aktif 8 Pambua 00o52’50.3”S 119o32’07.3”E Aktif 9 Bambamata 00o59’54.3”S 119o28’52.7”E Aktif 10 Kasoloang 01o00’33.6”S 119o28’40.7”E Aktif 11 Randomayang 01o03’15.8”S 119o28’12.0”E Aktif 12 Kayumoloa 01o05’47.1”S 119o26’46.8”E Aktif 13 Tanjung Tambue 01o09’37.6”S 119o22’48.7”E Aktif 14 Padongga 01o17’27.5”S 119o18’53.3”E Aktif 15 Belang-belang 02o27’51.2”S 119o07’38.2”E Aktif 16 Barang-barang 02o28’59.5”S 119o06’51.9”E Aktif 17 Malasigo 02o28’57.6”S 119o07’07.6”E Aktif 18 Tambung 02o34’44.7”S 119o01’58.5”E Aktif 19 Tapanduli 02o40’20.6”S 118o47’20.3”E Aktif 20 Udung Butung 02o48’02.6”S 118o45’43.0”E Aktif 21 Lariang 01o25’S 119o17’E Status tidak diketahui

22 Tanjung Dapuran 01o45’S 119o20’E Status tidak diketahui 23 Mamuju 02o40’S 118o55’E Status tidak diketahui

a. Penemuan Lokasi Bertelur Baru

Dari 23 lokasi bertelur yang dilakukan inventarisasi, ditemukan 8 (delapan) lokasi bertelur aktif baru ditemukan, dan belum pernah disebutkan sebelumnya. Lokasi tersebut adalah Tobinta, Lelo Losso, Tambung Tangnga, Barang-barang, Malasigo, Tambung, Tapanduli dan Udung Butung (Gambar 4). Penemuan lokasi bertelur tersebut berdasarkan penelusuran informasi dari berbagai sumber antara lain penduduk lokal, dan aparat pemerintahan terkait.

b. Lokasi Bertelur Aktif

Suatu lokasi bertelur dikatakan sebagai lokasi aktif digunakan Maleo senkawor selama atau jika lokasi bertelur tersebut secara simultan dikunjungi Maleo senkawor untuk bertelur. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan terhadap lokasi bertelur yang terdapat di Kabupaten Mamuju, terdapat 18 lokasi aktif yang digunakan oleh Maleo senkawor.

(41)

Status aktif diberikan pada suatu lokasi berdasarkan beberapa penilaian yaitu melalui pertama; referensi peneliti sebelumnya, kedua; pertemuan penduduk

lokal dengan Maleo senkawor ataupun aktivitas pengumpulan telur di lokasi bertelur yang informasi tersebut diperoleh dari penyebaran kuesioner, ketiga;

melalui bukti fisik yang ditinggalkan Maleo senkawor di lokasi bertelur seperti guguran bulu, jejak kaki yang masih segar, bongkahan pasir galian yang menandakan penggalian yang belum begitu lama terjadi, kondisi areal peneluran yang masih bersih dari kotoran dedaunan yang terbawa angin. Selanjutnya, berdasarkan uji lapang kemudian ditetapkan suatu lokasi bertelur masih aktif digunakan Maleo senkawor untuk meletakkan telur. Gambaran mengenai lokasi bertelur yang aktif digunakan oleh Maleo senkawor disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Lokasi Bertelur Aktif yang Digunakan oleh Maleo Senkawor

c. Lokasi Bertelur yang Telah Ditinggalkan

Lokasi bertelur yang dinyatakan sebagai lokasi bertelur yang telah tidak aktif atau telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor ditetapkan berdasarkan 3 (tiga) pendekatan yaitu, pertama; referensi dari peneliti sebelumnya, kedua; informasi

dari penduduk terdekat dengan lokasi bertelur melalui kuesioner, ketiga; melalui

bukti fisik yang tersisa di lokasi bertelur. Hasil gambaran di lokasi bertelur Maleo senkawor menunjukkan bahwa, lokasi bertelur yang telah ditinggalkan umumnya merupakan lokasi yang telah terinvasi oleh tanaman sekunder, lokasi bertelur telah berganti fungsi sebagai lahan yang telah dikelola oleh manusia. Kondisi tersebut tidak memberikan ruang dan waktu untuk Maleo senkawor agar dapat menjalankan aktfitas bertelur Maleo senkawor dengan baik.

(42)

Lokasi bertelur yang telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor sebagai tempat bertelur adalah Tikke dan Terbao. Kondisi terakhir di daerah tersebut, merupakan kawasan pesisir pantai yang telah menjadi hunian penduduk, daerah yang dulunya diperkirakan sebagai hutan mangrove, sekarang telah dikonversi dan dikelola penduduk desa menjadi petak-petak tambak (Gambar 6).

Gambar 6 Lokasi Bertelur yang Telah Ditinggalkan oleh Maleo Senkawor

d. Lokasi Bertelur yang Statusnya Tidak Diketahui

Hasil inventarisasi lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju menunjukkan, bahwa 3 (tiga) lokasi bertelur yang informasinya diperoleh dari peneliti sebelumnya, yaitu Tanjung Dapuran, Lariang, dan Mamuju tidak dapat ditemukan titik tepat lokasi tempat Maleo senkawor meletakkan telur. Tanjung Dapuran tidak dapat diakses dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. Lariang merupakan nama suatu daerah yang dibelah oleh sungai besar dimana menurut beberapa narasumber, sempadan sungai tersebut dahulu digunakan oleh Maleo senkawor untuk bertelur. Saat ini aktivitas penambangan pasir sungai aktif dilakukan dan sudah tidak ada jejak lokasi bertelur Maleo senkawor di daerah tersebut.

Mamuju merupakan Ibu kota Provinsi Sulawesi Barat yang sudah ramai dengan pelbagai aktivitas manusia. Berdasarkan informasi dari penduduk kota Mamuju dahulu memang terdapat beberapa titik tempat Maleo senkawor bertelur, namun saat ini telah menjadi hunian padat atau dijadikan tempat pusat kegiatan ekonomi kota sehingga lokasi tersebut sudah sangat tidak layak disebut sebagai lokasi bertelur Maleo senkawor.

(43)

e. Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik

Wilayah

Hasil penelitian di 18 lokasi aktif yang digunakan Maleo senkawor untuk bertelur menunjukkan, bahwa lokasi bertelur Maleo senkawor memiliki karakteristik yang cukup beragam mulai dari letak areal peneluran di pantai hingga vegetasi hutan yang menjadi koridor penghubung bagi Maleo senkawor menuju lokasi bertelur (Gambar 7).

Gambar 7 Peta Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Wilayah

(44)

1. Lokasi Bertelur dengan Tanggul Pelindung

Lokasi bertelur memiliki karakteristik semacam tanggul yang letaknya antara 20 hingga 30 meter dari lokasi bertelur. Lokasi bertelur lebih aman dari jangkauan gelombang pasang dikarenakan adanya tanggul pelindung alami sehingga lokasi bertelur tidak bersentuhan langsung dengan laut lepas. (Gambar 8).

Gambar 8 Lokasi Bertelur dengan Tanggul Pelindung

Lokasi bertelur dapat dengan mudah dibedakan dibandingkan daerah berpasir lainnya karena adanya semacam kubangan-kubangan yang merupakan lubang yang telah turun temurun digunakan oleh Maleo senkawor (Lampiran 6). Masyarakat yang mengambil hasil laut pada saat air surut acap kali menyaksikan Maleo senkawor bertelur dan selanjutnya mengintai dari kejauhan untuk menunggu proses bertelur selesai dan mengambil telur Maleo senkawor. Masyarakat dapat mencapai menuju lokasi bertelur dari dua arah, yaitu dari hamparan pantai pasang surut dan dengan melewati hutan. Tipe pantai dengan keadaan alam seperti ini tidak umum tersedia dan hanya terdapat di 2 (dua) lokasi bertelur, yaitu di Barang-barang dan Udung Butung.

2. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Mangrove

Lokasi bertelur dengan vegetasi mangrove merupakan suatu areal tepi pantai yang berhadapan dengan laut lepas. Lapangan peneluran posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal yang membedakan dibandingkan tipe lokasi bertelur lainnya adalah terdapat hutan mangrove yang selalu terisi air pada saat keadaan pasang.

(45)

Maleo senkawor yang menggunakan lokasi bertelur dengan tipe seperti ini harus melewati hutan mangrove terlebih dahulu. Lokasi bertelur dengan vegetasi mangrove letaknya cukup jauh dari permukiman penduduk, akses manusia menuju lokasi bertelur hanya dapat ditempuh dengan menggunakan sampan. Sistem perakaran pohon bakau sangat sulit dilalui dan berlumpur, hal tersebut menyebabkan akses darat melalui hutan bakau yang sulit dilalui.

Terdapat 3 (tiga) lokasi yang memiliki tipe dengan vegetasi mangrove sebagai hutan penghubung bagi Maleo senkawor dari hutan primer menuju lokasi bertelur. Lokasi tersebut adalah Lelo Losso, Tambung dan Padongga yang secara lengkap tersaji pada Gambar 9.

Gambar 9 Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Mangrove

3. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Landai Dataran Rendah

Topografi wilayah yang rata dan landai merupakan kondisi umum wilayah pantai yang ada di Kabupaten Mamuju. Lokasi bertelur dengan kondisi demikian ini paling banyak dijumpai selama penelitian. Karakteristik lokasi bertelur tersebut ditandai dengan lapangan peneluran yang lebar, lokasi bertelur berada di tepi pantai yang secara langsung berbatasan laut lepas tanpa sekat apapun seperti halnya tanggul pelindung. Meskipun lokasi bertelur langsung berhadapan dengan lautan lepas, tetapi dengan kondisi lokasi bertelur yang tersedia cukup lebar, maka hal ini akan menjamin lokasi bertelur aman dari pengaruh pasang surut air laut.

(46)

Lubang-lubang tempat Maleo senkawor meletakkan telurnya berada di lapangan terbuka yang bebas dari naungan. Lubang galian sangat mudah dikenali oleh karena keadaannya yang bersih dari semak rendah. Lubang bertelur dapat berjumlah lebih dari satu hingga memiliki bentuk seperti kubangan pasir, ataupun dapat terpisah satu dengan yang lainnya dalam kawasan yang cukup luas.

Terdapat 7 (tujuh) lokasi bertelur dengan karakteristik hutan dataran rendah yang keadaannya landai, yaitu Koloe, Lemo, Pambua, Bambamata, Kasoloang, Tanjung Tambue, dan Belang-belang. Lokasi bertelur yang landai seperti ini tersebar di bagian utara Kabupaten Mamuju di mana di bagian wilayah tersebut kondisi alam lebih rata dengan sedikit daerah berbukit. Secara rinci, gambaran mengenai lokasi bertelur dengan karakteristik vegetasi hutan landai dataran rendah disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Landai Dataran Rendah

4. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Berbukit

Lokasi bertelur dengan kondisi alam hutan berbukit terdapat di bagian selatan Kabupaten Mamuju. Dua lokasi bertelur yang memiliki karakteristik tersebut adalah lokasi bertelur di Tapanduli dan Udung butung. Lapangan peneluran yang tersedia tidak terlalu luas dan letak lubang terpisah satu dengan lainnya. Lokasi bertelur umumnya berada di bawah naungan pepohonan yang tajuknya cukup jarang ataupun pohon kelapa dan semak. Maleo senkawor dapat menjangkau lokasi bertelur langsung dari kawasan hutan berbukit.

(47)

Menurut informasi penduduk lokal mengatakan, bahwa mereka beberapa kali mendapati Maleo senkawor terbang meluncur dari pepohonan di perbukitan menuju pepohonan yang lebih rendah di sekitar lokasi bertelur. Deskripsi mengenai lokasi bertelur yang berbatasan dengan hutan berbukit dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Berbukit

5. Lokasi Bertelur di Dalam Perkebunan Perseorangan

Perkebunan masyarakat yang kebanyakan menanam pohon kelapa sebagai komoditas andalan banyak terdapat di Kabupaten Mamuju. Kepemilikan lahan ini kebanyakan dikuasai secara perseorangan sehingga terdapat banyak petakan-petakan pagar hidup di antara kebun kelapa. Kebun kelapa yang berada di tepi pantai berpasir juga digunakan Maleo senkawor untuk bertelur, biasanya Maleo senkawor memilih perkebunan kelapa yang jarang dikunjungi pemiliknya seperti yang terdapat di lokasi bertelur Tapanduli, Kayumaloa, dan Malasigo. Lokasi bertelur di Randomayang merupakan lahan pertanian yang sepertinya belum lama dikelola oleh penduduk lokal, hal ini di tandai dengan tanaman yang terlihat baru di tanam.

Pada dasarnya bukanlah Maleo senkawor yang memilih untuk bersarang di perkebunan penduduk, namun areal tersebut diduga sejak awal digunakan Maleo senkawor untuk bertelur, kemudian setelah pembukaan lahan dan pengelolaan lahan intensif dilakukan hingga ke pelosok-pelosok desa maka terbentuklah lokasi bertelur Maleo senkawor di dalam kawasan yang dimanfaatkan oleh masyarakat.

(48)

Kondisi lokasi bertelur Maleo senkawor di dalam lahan pemanfaatan oleh manusia dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Lokasi Bertelur di Dalam Perkebunan Perseorangan

6. Lokasi Bertelur di Antara Semak Tinggi

Lokasi bertelur dengan kondisi yang tersembunyi oleh semak yang kurang lebih 1 (satu) meter merupakan salah satu tipe lokasi yang tidak umum ditemukan di Kabupaten Mamuju dan hanya terdapat di lokasi bertelur Udung Butung. Maleo senkawor menggali lubang di bawah semak-semak yang umumnya didominasi oleh Lantana camara. Lokasi

bertelur cukup sulit diketahui karena tersembunyi di balik semak-semak yang cukup tinggi. Keadaan lokasi bertelur yang tertutup oleh tanaman semak justru berperan sebagai kamuflase yang sempurna bagi induk selama melakukan aktivitas bertelur dan juga untuk melindungi lokasi bertelur dari penglihatan pemangsa. Gambaran jelas mengenai lokasi bertelur di antara semak tinggi dapat dilihat pada Gambar 13.

(49)

7. Lokasi Bertelur di Longsoran Perbukitan Berpasir

Satu-satunya lokasi bertelur yang tidak berada di pesisir pantai adalah lokasi bertelur di Tobinta. Merupakan lokasi bertelur yang terletak di pinggir hutan yang terbentuk oleh longsoran perbukitan berpasir. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang bermukim disekitar lokasi bertelur tersebut, bahwa lokasi bertelur Tobinta awalnya merupakan kawasan berhutan. Terjadinya longsor dibagian tebing menciptakan kawasan berpasir yang kontras keadaannya dengan daerah bervegetasi di sekitarnya, dan pada akhirnya digunakan oleh Maleo senkawor sebagai lokasi bertelur (Gambar 14).

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 3 Diagram Alir Penelitian
Tabel 2 Penilaian Kriteria Lokasi Bertelur
+7

Referensi

Dokumen terkait

tidak tembus awan, beroperasi untuk deteksi kapal hanya malam hari Tembus Awan dan dapat beroperasi pagi/siang/mala m Limitasi dalam hal data VMS dapat dimatikan, tapi

Indikator rendahnya keinovatifan guru PAUD sebagai berikut: (1) Guru tidak mengkaji ulang model pembelajaran baru setiap awal semester; (2) Guru tidak menggunakan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada beberapa keywords dalam penelitian ini yang bisa diambil, diantaranya Minangkabau, kebudayaan, arsitektur, bentuk

Darul A’mal Kota Metro Tahun Pelajaran 2019/2020 yang berhasil dikumpulkan melalui metode angket, observasi, wawancara/intervieu dan dokumentasi, maka langkah

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang prevalensinya tiap tahun meningkat di dunia maupun di Indonesia. Kelelahan yang parah dapat

Penelitian dilakukan pada puskesmas rawat inap yang ada di Kota Denpasar untuk mengeksplorasi variabel – variabel yang mempengaruhi budaya patient safety di

Pergerakan terbentuk akibat adanya aktifitas yang dilakukan bukan di tempat tinggalnya. Artinya keterkaitan antar wilayah ruang sangatlah berperan dalam menciptakan perjalanan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 33 (50,8%) responden sudah baik dalam melakukan upaya pencegahan ulang pneumonia pada balita, tetapi ada sebanyak