• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISTILAH PERLENGKAPAN SESAJI JAMASAN NYAI SETOMI DI SITI HINGGIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT. (Suatu Tinjauan Etnolinguistik) UNG GARBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISTILAH PERLENGKAPAN SESAJI JAMASAN NYAI SETOMI DI SITI HINGGIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT. (Suatu Tinjauan Etnolinguistik) UNG GARBA"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ISTILAH PERLENGKAPAN

SESAJI JAMASAN NYAI SETOMI DI SITI HINGGIL

KERATON SURAKARTA HADININGRAT

(Suatu Tinjauan Etnolinguistik)

UNG GARBA

Disusun Oleh :

Ita Suci Lestari ( k 1208098) M.Baharudi Diajukan untuk Memenuhi sebagai Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

ANDINA DYAH SITARESMI CO105007

JURUSAN SASTRA DAERAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ii

ISTILAH PERLENGKAPAN SESAJI

JAMASAN NYAI SETOMI

DI SITI HINGGIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT

(Suatu Tinjauan Etnolinguistik)

Disusun oleh

ANDINA DYAH SITARESMI C0105007

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing I

Drs. Sujono, M. Hum. NIP 131287425

Pembimbing II

Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum. NIP 131569259

Mengetahui

Ketua Jurusan Sastra Daerah

Drs. Imam Sutarjo, M.Hum. NIP 131695222

(3)

iii

ISTILAH PERLENGKAPAN

SESAJI JAMASAN NYAI SETOMI

DI SITI HINGGIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT

(Suatu Tinjauan Etnolinguistik)

Disusun oleh

ANDINA DYAH SITARESMI CO105007

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada tanggal

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Sekretaris Penguji I Penguji II

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M.A NIP 131472202

(4)

iv

PERNYATAAN

Nama : Andina Dyah Sitaresmi NIM : C0105007

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuarkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citosi (kutipan) dan ditujukan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta,

Yang membuat pernyataan,

(5)

v MOTTO

Penulis yang mengambil bahan dari sebuah buku adalah bagaikan orang yang meminjam uang hanya untuk dipinjamkan lagi

(Kahlil Gibran)

Hidup adalah pilihan dan menyerah sebelum bertanding adalah kebodohan

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Untuk orang-orang yang telah menjadi lentera hidupku: Mama dan Papa sebagai sumber nafasku.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah mengizinkan penulis menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat (Suatu Tinjauan Etnolinguistik)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Sastra jurusan Sastra Daerah FSSR UNS Surakarta.

Penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Sudarno, M. A., selaku Dekan FSSR UNS Surakarta yang telah memberikan kesempatan serta ilmunya untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. Imam Sutarjo, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan ilmunya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 3. Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra

Daerah, Koordinator Bidang Linguistik, dan pembimbing kedua yang senantiasa mencurahkan waktu, ilmu, serta memberi masukan pada penulisan skripsi ini.

4. Drs. Sujono, M. Hum., selaku pembimbing pertama yang telah berkenan mencurahkan waktu, ilmu, serta memberikan masukan hingga penulisan skripsi ini selesai.

5. Dra. Sundari, M. Hum., selaku pembimbing akademik yang telah

membimbing penulis sejak awal hingga akhir studi di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen yang telah memberikan ilmunya serta staf-staf UNS yang telah memberikan pelayanan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

7. Reza, Ochi, Wening, Yuli, Arin, Bram, Herda kalian merupakan sumber inspirasi dan motivator dalam hidupku.

(8)

viii

8. Teman-teman SASDA angkatan 2005: Suko, Nopi, Sulis, Dani, dan semua

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih karena telah menemani hari-hari penulis selama berada di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

9. Teman-teman Wiswokarman: Meta, Mas Arif, Kenthir, Doni, Aris, Bie, dll. Semoga semuanya menjadi orang yang berhasil dan sukses, Amin. 10.Para nara sumber: K.G.P.H. Puger, B.A., Ibu Suryo Samtono, KRAr.

Winarnokusuma, Ibu Muji Sujirah, dan Ibu Sri Sumarni yang telah memberikan informasinya kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

11.Perpustakaan UNS, Perpustakaan FSSR, dan Perpustakaan Sasono Pustaka

yang telah memberikan referensi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12.Berbagai pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, maka diharapkan saran dan kritik yang konstruktif. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Surakarta,

(9)

ix DAFTAR ISI JUDUL………..………...…..…………i PERSETUJUAN………ii PENGESAHAN………..……….……...………...……iii PERNYATAAN………..……….……….…………...………..…iv MOTTO………..……….….…...…..…v PERSEMBAHAN……….…...………..……vi KATA PENGANTAR………..………...….….…………...vii DAFTAR ISI………...………...…………..………..…ix

DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN………..……...……...xi

ABSTRAK………...……...………..………...xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….…………1

B. Pembatasan Masalah………....…………..6

C. Rumusan Masalah………...…...7

D. Tujuan Penelitian………...….………...7

E. Manfaat Penelitian.………...………...8

F. Sistematika Penulisan………..…..8

BAB II LANDASAN TEORI A. Istilah………..10 B. Sesaji………..………10 C. Jamasan……….……….11 D. Nyai Setomi………..…………..…….……….….…….12 E. Bentuk………..…..14 F. Makna……….………...…….16 G. Siti Hinggil ………..………..………18

H. Keraton Surakarta Hadiningrat ………...……….…...……..19

I. Asal mula dan Pengertian Etnolinguistik……….……....…….19

(10)

x

K. Bahasa dan Pandangan Hidup………..……….21

L. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan……….…21

M. Bahasa dan Perubahan Dalam Masyarakat………22

N. Kerangka Pikir………..……….……22

BAB III METODE PENELITIAN A. Sifat Penelitian……...………..………...….…..………24

B. Lokasi Penelitian………..….….…..………..25

C. Data dan Sumber Data……….……..………26

D. Alat Bantu………..….……..………….27

E. Metode Pengumpulan Data………..….…….27

F. Metode Analisis Data……….….…….…..28

G. Metode Penyajian Hasil Penelitian……….…..……….30

BAB IV ANALISIS DATA A. Bentuk Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat………..……31

1. Monomorfemis………..…………....………31

2. Polimorfemis………..…..…….………33

B. Makna Leksikal Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat………..41

C. Makna Kultural Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat……….……….69

BAB V PENUTUP A. Simpulan………..………84

B. Saran………..………..85 DAFTAR PUSTAKA

(11)

xi

DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN

A. DAFTAR TANDA

‘…’ : Glos sebagai penjepit terjemahan

“…” : Tanda petik menandakan kutipan langsung

→ : Tanda panah artinya merubah menjadi

/ : Garis miring adalah menyatakan atau

[…] : Pengapit Fonetis

+ : Ditambah

Tanda ε : Dibaca seperti pada kata elek [εlεk] ‘jelek’

Tanda ǝ : Dibaca seperti pada kata kembang [kǝmbaŋ] ‘bunga’

Tanda ɔ : Dibaca seperti pada kata lunga [luŋɔ]

Tanda e : Dibaca seperti pada kata lele [lele] ‘ikan lele’

Tanda U : Dibaca seperti pada kata sesuk [sesU?] ‘besuk’

Tanda ŋ : Dibaca seperti pada kata mangan [maŋan]

Tanda ǩ : Dibaca seperti pada kata kyai [ǩai] ‘kyai’ Tanda ň : Dibaca seperti pada kata nyai [ňai] ‘nyai’

Tanda ? : Dibaca seperti pada kata kolak [kola?] ‘kolak’

B. DAFTAR SINGKATAN

Adj : Adjektif (kata sifat)

dll : dan lain-lain

(12)

xii

FSSR : Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Hlm : Halaman

KGPH : Kanjeng Gusti Pangeran Haryo

N : Nomina

Swt : Subhanahu wata’ala

UNS : Universitas Sebelas Maret Surakarta

VOC :Veerenigde Oost Indische Company

(13)

xiii ABSTRAK

Andina Dyah Sitaresmi. CO105007. 2009. Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasaan

Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat (Suatu Tinjauan Etnolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimanakah bentuk istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat? (2) bagaimanakah makna leksikal istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat? (3) bagaimanakah makna kultural istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat?

Tujuan penelitian ini adalah (1) mandeskripsikan bentuk istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. (2) mandeskripsikan makna leksikal istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. (3) mandeskripsikan makna kultural istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Data penelitian berupa data lisan dan data tulis. Sumber data yaitu lisan berasal dari informan dan data tulis berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan istilah perlengkapan sesaji. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak. Metode analisis yang digunakan adalah metode distribusional dan metode padan. Metode penyajian hasil penelitian adalah metode deskriptif informal dan metode deskriptif formal.

Dari hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal (1) bentuk istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat berupa monomorfemis dan polimorfemis. Bentuk polimorfemis berupa pengimbuhan atau afiksasi, reduplikasi, dan kata majemuk. (2) makna leksikal dari istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. (3) makna kultural dari istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat berdasarkan pada budaya masyarakat setempat yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat setempat.

(14)

xiv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang tidak dapat dipisahkan dengan manusia, karena dalam kesehariannya manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa juga mencerminkan kebudayaan suatu daerah karena bahasa mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia. Etnolinguistik merupakan perpaduan antara etnologi dan linguistik, sehingga dengan mempelajari etnolinguistik kita dapat mengetahui hubungan antara kebudayaan dengan masalah bahasa.

Istilah etnolinguistik itu sendiri baru ditemukan pada awal abad 20 oleh para ahli antropologi. Etnolinguistik merupakan gabungan dari kata etnologi dan linguistik. Etnolinguistik pertama kali dikemukakan oleh Edward Sapir yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Benjamin Lee Whorf.

Istilah ’etnolinguistik’ berasal dari kata ’etnologi’ berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan ’linguistik’ berarti ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini antropologi budaya) (Sudaryanto, 1996: 9).

Menurut Kridalaksana etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan; cabang linguistik antropologi yang menyelidiki

(15)

xv

hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relativitas bahasa (Kridalaksana, 1982 : 42). Dari pengertian tersebut mengandung dua unsur yang saling berhubungan yaitu bahasa dan budaya masyarakat.

Kebudayaan dalam suatu masyarakat menunjukkan tinggi rendahnya paradaban masyarakat itu sendiri. Kebudayaan timbul karena suatu kebiasaan yang dilakukan manusia dalam suatu lingkup sosial tertentu dan dilakukan terus menerus secara turun-temurun.

Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan cikal bakal dari kebudayaan Jawa. Keraton Surakarta Hadiningrat dibangun pada tahun 1745 yaitu pada masa pemerintahan Pakubuwana II. Pada waktu itu Sunan Pakubuwana II baru kembali dari Ponorogo dan langsung menuju ke Keraton Kartasura. Setibanya di Keraton beliau mendapati Keraton Kartosura dalam keadaan benar-benar rusak parah serta tidak punya lagi tuah, dan apalagi pernah diduduki bala tentara orang-orang China (Hamaminatadipura, 2006: 187). Oleh karena itu Sunan Pakubuwana II memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala. Penamaan Desa Sala sendiri diambil dari nama pimpinan desa tersebut pada waktu itu, yaitu seorang abdi

dalem Kerajaan Pajang dengan pangkat bekel bernama Kiai Sala

(Hamaminatadipura, 2006: 200). Sampai saat ini Keraton Surakarta Hadiningrat masih sangat dihormati keberadaannya oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa menganggap bahwa Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan pusat dan sumber Kebudayaan Jawa.

(16)

xvi

Hingga saat ini masih banyak sekali upacara-upacara adat Keraton Surakarta Hadiningrat yang masih dilaksanakan. Upacara-upacara adat Keraton Surakarta Hadiningrat ini menjadi tradisi setiap tahunnya dan masih sangat sakral. Masyarakat Jawa percaya bahwa upacara-upacara adat yang dilakukan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat pasti akan membawa berkah tersendiri bagi mereka. Upacara-upacara tradisional yang masih dilaksanakan hingga sekarang antara lain suran, grebeg sekaten, jamasan pusaka-pusaka, dan masih banyak lagi. Upacara adat yang paling sering dilaksanakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu upacara jamasan pusaka-pusaka. Salah satu upacara jamasan

yang masih sering dilaksanakan yaitu upacara jamasan pusaka Nyai Setomi. Nyai Setomi ini merupakan salah satu pusaka Keraton Surakarta Hadiningrat berbentuk meriam yang berada di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat, tepatnya berada di Bangsal Witana.

Upacara jamasan Nyai Setomi ini biasanya dilakukan satu tahun dua kali yaitu pada bulanBesar dan bulan Muluddimana upacara tersebut dilakukan di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Secara etimologi, kata Siti Hinggil berarti ‘siti’ tanah dan ‘hinggil’ tinggi jadi Siti Hinggil adalah tanah yang dibangun tinggi. Siti Hinggil sendiri dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana III yaitu pada tahun 1701 Jawa atau 1774 Masehi. Di tengah Siti Hinggil terdapat sebuah pendapa yang diatasnya terdapat bangunan kecil berbentuk kaca berisi meriam yang dikeramatkan yaitu Meriam Nyai Setomi. Meriam Nyai Setomi ini berasal dari Benteng Portugis di Malaka yang kemudian di bawa Belanda dan dijadikan pengawal benteng V.O.C. di Batavia. Meriam Nyai Setomi ini

(17)

xvii

mempunyai pasangan yang bernama Kyai Setama yang sekarang tersimpan di museum Fatahilla Jakarta.

Setiap malam Jumat Meriem Nyai Setomi ini biasanya menjadi salah satu tempat tirakat bagi masyarakat Jawa khususnya. Banyak sekali masyarakat yang masih percaya dengan melakukan tirakat (nyenyuwun) ini maka kedudukan serta rejeki mereka akan terangkat. Biasanya mereka datang tidak dengan tangan kosong saja, tetapi mereka membawa sajen yang berupa bunga-bungaan dan juga dupa untuk menghormati roh-roh leluhur. Pada hari-hari tertentu meriam Nyai Setomi itu di jamasi dan bagi sebagian masyarakat yang masih mempercayainya air bekas jamasan itu dipercaya akan membawa keberuntungan. jamasan Nyai Setomi ini sudah dilakukan secara turun temurun pada masa Pakubuwana II

hingga sekarang masa Pakubuwana XIII. Jamasan Nyai Setomi merupakan salah

satu upacara adat di Keraton Surakarta Hadiningrat yang sangat perlu untuk dilestarikan walaupun kenyataannya generasi muda dewasa ini sudah banyak yang melupakan tradisi jamasan tersebut.

Berdasarkan pencarian peneliti sampai saat ini belum ada penulisan mengenai istilah sesaji dalam jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan kajian etnolinguistik antara lain sebagai berikut.

Iswati, 2004, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Unsur-Unsur Sesaji Dalam Upacara Nyadranan di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan

Pondok Kabupaten Bantul” membahas bentuk dan makna dari istilah

(18)

xviii Kabupaten Bantul.

Istiana Purwarini, 2006, dalam skripsi yang berjudul “Istilah

Perlengkapan Dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa di Kecamatan

Mojolaban Kabupaten Sukoharjo” membahas tentang bentuk, makna leksikal,

dan makna kultural perlengkapan upacara perkawinan adat Jawa di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

Hidhawatari, 2008, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Unsur-Unsur Sesaji Dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang Kecamatan Gondang

Kabupaten Sragen” yang membahas tentang makna leksikal dan kultural

perlengkapan sesaji bersih desa.

Evi Mukti Rachmawati, 2006, dalam skripsinya berjudul “Istilah Rias

Pengantin Putri Basahan Adat Surakarta dan Perkembangannya” (Kajian

Etnolinguistik) membahas tentang bentuk, makna dan perkembangan istilah rias pengantin putri basahan adat Surakarta.

Retno Wulandari, 2004, skripsi berjudul “Istilah Gerak Tari Klasik Gaya

Surakarta” (Kajian Etnolinguistik) mengkaji tentang bentuk dan makna istilah

gerak tari klasik gaya Surakarta dan perkembangan serta kesamaan bentuknya istilah tari klasik tersebut.

Sesaji dalam jamasan Nyai Setomi ini mempunyai beberapa perbedaan dengan sesaji dalam upacara-upacara adat lainnya yang pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Sesaji jamasan Nyai Setomi ini memiliki beberapa keunikan tersendiri, misalnya bekakak tiyang berbentuk tubuh manusia melambangkan lingga dan yoni yang merupakan bentuk kelamin manusia (pria dan wanita),

(19)

xix

clorot yang dibuat dari tepung ketan kemudian diberi pewarna (hijau, putih, merah, orange, abu-abu, kuning, hitam, dan biru) dan kemudian ketujuh warna tersebut dibungkus sendiri-sendiri dengan daun pisang berbentuk kerucut yang melambangkan jumlah hari.

Dengan pendekatan etolinguistik penulis mengambil judul: Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Adapun alasannya sebagai berikut.

1. Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi ini belum pernah diteleti.

2. Jamasan Nyai Setomi merupakan upacara adat di Keraton Surakarta

Hadiningrat yang merupakan salah satu aset wisata yang perlu dilestarikan. 3. Jamasan Nyai Setomi ini perlu diketahui sejarah dan perkembangannya,

sehingga masyarakat awam dapat mengenal upacara tradisi tersebut.

4. Sesaji yang digunakan dalam jamasan Nyai Setomi ini mempunyai keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan sesaji-sesaji upacara adat lain yang berada di Keraton Surakarta Hadiningrat.

5. Sesaji yang digunakan dalam jamasan Nyai Setomi ini memiliki makna tersendiri, oleh karena itu perlu untuk dimengerti dan dipahami oleh generasi muda yang nantinya akan meneruskan tradisi tersebut.

B. Pembatasan Masalah

Penelitian yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat” ini dikaji menggunakan teori etnolinguistik.

Untuk mempermudah penelitian dan tidak melebar dari permasalahan yang ada maka permasalahan dibatasi pada masalah bentuk istilah, makna leksikal, dan makna

(20)

xx

kultural istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah Bentuk Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat?

2. Bagaimanakah Makna Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat?

3. Bagaimanakah Makna Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat?

D. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk :

1. mendeskripsikan Bentuk Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

2. mendeskripsikan Makna Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

3. mendeskripsikan Makna Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

(21)

xxi

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan praktis. 1. Manfaat teoretis

Penelitian yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat” diharapkan dapat memberikan manfaat untuk melengkapi teori linguistik, khususnya teori etnolinguistik Jawa.

2. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat tentang pengetahuan makna leksikal dan kultural serta dapat bermanfaat sebagai bahan acuan untuk para peneliti selanjutnya. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh generasi muda dan Diparta (Dinas Pariwisata) sebagai aset wisata.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan peneliti untuk membuat penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab I : Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan teori, yang meliputi arti dari istilah, sesaji, jamasan, bentuk, makna, Siti Hinggil, Keraton Surakarta Hadiningrat, asal mula dan pengertian etnolinguistik, kajian etnolinguistik, bahasa dan pandangan hidup, bahasa dan cara

(22)

xxii

memandang kenyataan, bahasa dan perubahan dalam masyarakat, dan kerangka pikir.

Bab III : Metode Penelitian, yang meliputi sifat penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil penelitian.

Bab IV : Analisis data yang memuat tentang analisis dari bentuk, makna leksikal, dan makna kultural istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi.

(23)

xxiii BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut.

A. Istilah

Istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti yang tertentu di lingkungan suatu ilmu pengetahuan, pekerjaan, atau kesenian (Poerwadarminto, 1976: 388). Istilah adalah suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (KBBI: 390).

menurut pendapat Suwardi Notosudirjo istilah adalah kata atau frase yang diberi makna khusus untuk suatu konsep dalam bidang ilmu dan harus dibandingkan dengan makna di dalam kosakata umum yang lebih luas dan bebas (1991: 30). Istilah (term) adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Kridalaksana, 1993: 86). Menurut Prawiroatmojo dalam kamus Bausastra Jawa istilah yaitu tembung (tetembungan) sing mengku teges, kaanan, sipat, lan mirunggan ing babagan tartamtu

“kata yang mengandung makna, keadaan. Sifat, dan sebagainya yang sesuai pada bagian tertentu (1993: 287).

B. Sesaji

Sesaji hingga sekarang masih digunakan bagi masyarakat Jawa yang

(24)

xxiv

mempercayai tradisi sesaji tersebut. Tetapi dalam kehidupan masyarakat modern tradisi sesaji sudah tidak dilakukan lagi karena mereka memandang hal ini di luar irasional mereka dan juga dilarang agama. Padahal bagi masyarakat Jawa tradisi sesaji merupakan salah satu cara menghormati roh-roh leluhur.

Sajen adalah makanan (bunga-bungaan dan sebagainya) disajikan kepada orang halus dan sebagainya. Saji, bersaji yaitu mempersembahkan sajian berupa makanan dan benda lain dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolik dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Sedangkan sajian berupa makanan, bunga-bungaan dan sebagainya yang dipersembahkan pada kekuatan-kekuatan gaib dalam upacara bersaji (Hasan Alwi, 2002: 979).

Menurut Suwardi Endraswara sesaji juga merupakan wacana symbol yang digunakan sebagai sarana untuk ‘negosiasi’ spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia (2006: 247).

Sedangkan menurut Edi Wirabumi ‘sesaji saka tembung sajen. Tegese barang mligine arupa dhaharan sing diladekake. Tujuanne kang baku kanggo sarana nyuwun keslametan kanthi cara nyelarasake hubungan jagad cilik-jagad gedhe (mikro-makrokosmo). Geseh ing antarana kekaroe dipercaya bisa mahanani rasa nora tentrem. Karana kuwi sesaji uga asring katelah caos dhahar utawi wilujengan’ sesaji dari tembung saji. Artinya barang penting berupa makanan yang disajikan. Tujuan utamanya yaitu sebagai sarana meminta

(25)

xxv

keselamatan dengan cara menyelaraskan hubungan dunia kecil-dunia besar (mikro-makrokosmo). Yang dipercaya bisa membuat rasa tenteram. Selain itu sesaji juga bisa untuk memberi makan atau selamatan (Edi Wirabumi, Jumat 12 Mei 2009).

Sesaji merupakan suatu sarana berupa makanan atau bunga-bungaan yang diberikan kepada pusaka-pusaka maupun tempat yang dikeramatkan dengan tujuan untuk menghormati. Sesaji juga dapat dipergunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan roh-roh halus. Dengan kita memberikan sesaji kepada pusaka-pusaka maupun tempat-tempat yang dianggap keramat maka dipercaya roh-roh halus yang berada disitu akan senantiasa menjaga serta tidak menggangu kita. Sesaji yang disediakan berdasarkan tradisi dan merupakan manifestasi sebagai doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, antara lain:

Clorot, clorot merupakan sesaji yang terbuat dari tepung ketan kemudian di masak dengan santan dan gula serta diberi pewarna (hijau, putih, merah, orange, abu-abu, hitam, kuning, dan biru) setelah itu di bungkus dengan daun pisang berbentuk kerucut. Hal ini melambangkang jumlah hari yang ada tujuh.

Bekakak tiyang, merupakan sesaji berbentuk tubuh manusia melambangkan lingga dan yoni yang merupakan bentuk kelamin manusia (pria dan wanita).

Uler-uleran, merupakan sesaji yang berbentuk uler terbuat dari tepung ketan dan diberi warna merah, putih, hijau, orange, abu-abu, kuning, hitam, dan biru yang melambangkan jumlah hari.

(26)

xxvi terletak di lingkup Karaton Surakarta Hadiningrat

C. Jamasan

Peristiwa Satu Sura bagi manusia Jawa sering dianggap momen yang sakral. Mereka ada yang melakukan ritual khusus seperti jamasan (siraman) pusaka dan semedi pada tempat-tempat tertentu (Suwardi Endraswara, 2006: 85).

Di dalam Kamus Pepak Basa Jawa jamas berarti keramas, sedangkan

jamasan berarti memandikan (Slamet Mulyono, 2008: 132). Menurut Haryono Haryoguritno, tradisi jamasan ini didorong oleh rasa hormat untuk melaksanakan pesan dari orang yang telah mempercayakan atau meninggalkan keris tersebut seperti orang tua dan guru (2006: 378).

Jamasan dapat diartikan siraman yaitu memandikan secara keseluruhan. Orang Jawa masih sangat percaya bahwa setiap hari-hari tertentu pusaka-pusaka yang dimiliki harus melakukan jamasan yaitu memandikan pusaka tersebut yang bertujuan untuk menghormati pusaka tersebut.

D. Bentuk

1. Monomorfemis

Monomorfemis adalah kata bermorfem satu. Monomorfemis

(monomorphemic) terjadi dari satu morfem, morfem (morphemic) merupakan satu bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya (ter-) (di-) (Harimurti Kridalaksana, 1993: 148).

(27)

xxvii

Menurut Djoko Kentjono satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata, kata dalam hal ini satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri, mempunyai makna dan berkategori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata (1982: 44-45).

2. Polimorfemis

Polimorfemis adalah kata yang bermorfem lebih dari satu. Polimorfemis merupakan kata yang telah mengalami proses morfologis. Proses morfologis sendiri meliputi:

a. Afiksasi

Kata-kata yang berafiks dapat dibagi atas kata-kata yang mengandung: prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Menurut Gorys Keraf Prefiks atau awalan adalah suatu unsur yang secara struktural diikatkan di depan sebuah kata dasar atau bentuk dasar, sufiks atau akhiran adalah semacam morfem terikat yang diletakkan dibelakang suatu morfem dasar, infiks adalah semacam morfem terikat yang disisipkan pada sebuah kata antara konsonan pertama dan vokal pertama, dan konfiks adalah gabungan dari dua macam imbuhan atau lebih yang bersama-sama membentuk satu arti (1984: 94)

b. Pengulangan atau reduplikasi

Reduplikasi (reduplication) adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonetis atau gramatikal (Harimurti

(28)

xxviii Kridalaksana, 1993: 186).

c. Kata majemuk

Kata majemuk atau kompositum dapat diungkapkan sebagai berikut: gabungan dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan arti (Gorys Keraf, 1984: 124).

Menurut Kridalaksana kata majemuk yaitu gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (2001: 99).

E. Makna

Dalam perkembangannya teori tanda kemudian dikenal dengan semiotik dibagi menjadi tiga cabang, yakni: semantik, sintaksis, dan pragmatik ( Fatimah Djajasudarma, 1999: 21). Semantik sangat erat hubungannya dengan tanda, karena semantik merupakan ilmu yang mempelajari tentang makna tanda.

Pengertian sence ‘makna’ dibedakan dari meaning ‘arti’ di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tatanan bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Makna dapat diteliti melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi hubungan antar unsur. Dengan demikian, kita mengenal makna leksikal dan makna gramatikal (Fatimah Djajasudarma, 1993: 4).

(29)

xxix

Menurut Gorys Keraf semantics adalah bagian dari tatabahasa yang meneliti makna dalam bahasa tertentu, mencari asal mula dan perkembangan dari arti suatu kata. Jadi dalam semantik hanya dibicarakan tentang makna kata dan perkembangan makna kata (1984: 129).

Makna atau arti adalah hubungan antara tanda berupa lambang bunyi-ujaran dengan hal atau barang yang dimaksudkan (Gorys Keraf, 1984: 130). Semantik selalu berkaitan dengan makna karena ruang lingkup semantik selalu berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri meskipun faktor non-simbolik mempengaruhi fungsi bahasa yang non-simbolik. Bahasa adalah suatu sitem yang dipelajari seseorang dari orang lain yang menjadi anggota masyarakat penutur bahasa tersebut, pendapat tersebut menyatakan bahwa objek semantik adalah makna (Fatimah Djajasudarma, 1993: 4).

Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal adalah makna kata-kata yang dapat berdiri sendiri, baik dalam bentuk tuturan maupun dalam bentuk dasar (Fatimah Djajasudarma, 1993: 13). Menurut Gorys Keraf bermacam-macam lambang bunyi ujaran dari gejala-gejala sekitar kita biasanya dikumpulkan dalam sebuah buku, dengan diberi penjelasan-penjelasan mengenai hubungan antara bentuk dan gejala-gejala tersebut. Buku-buku semacam ini disebut leksikon. Sebab itu arti dari kata yang sesuai dengan apa yang kita jumpai dalam leksikon disebut makna leksikal (1984: 130). Makna leksikal yaitu makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dll. Makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Harimurti Kridalaksana, 2001: 133).

(30)

xxx

Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999: 3). Makna kultural

adalah makna bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan setempat

(Http://pustaka.uns.ac.id). Makna kultural yaitu makna yang berkembang di

masyarakat, dengan begitu kita dapat mengetahui arti-arti dari istilah sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Karaton Surakarta hadiningrat ini.

F. Nyai Setomi

Meriam Nyai Setomi berasal dari Benteng Portugis di Malaka, kemudian dibawa oleh Belanda dan dijadikan pengawal benteng V.O.C. di Batavia. Meriam

Nyai Setomi ini mempunyai pasangan yang bernama Kyai Setama yang sekarang tersimpan di museum Fatahilla Jakarta.

Meriam Nyai Setomi ini merupakan salah satu benda pusaka Keraton Surakarta Hadiningrat yang dikeramatkan. Banyak sekali masyarakat yang masih percaya dengan melakukan tirakat (nyenyuwun) ini maka kedudukan serta rejeki mereka akan terangkat. Biasanya mereka datang tidak dengan tangan kosong saja, tetapi mereka membawa sajen yang berupa bunga-bungaan dan juga dupa untuk menghormati roh-roh leluhur. Pada hari-hari tertentu meriam Nyai Setomi itu

dijamasi dan bagi sebagian masyarakat yang masih mempercayainya air bekas

jamasan itu dipercaya akan membawa keberuntungan. Jamasan Nyai Setomi ini dilakukan satu tahun dua kali dan dilakukan pada bulan Besar (dua hari sebelum Sura) dan bulan Mulud (satu hari sebelum gending sekaten di tabuh). Jamasan Nyai Setomi ini sudah dilakukan secara turun temurun pada masa Pakubuwana II

(31)

xxxi hingga sekarang masa Pakubuwana XIII.

G. Siti Hinggil

Secara etimologi Siti Hinggil berarti ‘Siti’ tanah dan ‘Hinggil’ tinggi, jadi Siti Hinggil berarti tanah yang ditinggikan. Siti Hinggil merupakan salah satu bangunan yang digunakan untuk upacara di Keraton Surakarta Hadiningrat. Siti Hinggil dibangun pada masa Pakubuwana III yaitu setelah Keraton Mataram pindah ibukota dari Kartasura ke Desa Sala yang akhirnya menjadi Surakarta Hadiningrat. Pada jaman dahulu Siti Hinggil digunakan oleh Raja untuk memerintahkan masyarakat atau abdi dalem pada masa itu dan juga untuk upacara-upacara adat Keraton.

H. Keraton Surakarta Hadiningrat

Keraton Surakarta Hadiningrat dibangun pada tahun 1745 yaitu pada masa pemerintahan Pakubuwana II Pada waktu itu Sunan Pakubuwana II baru kembali dari Ponorogo dan langsung menuju ke Keraton Kartasura. Setibanya di Keraton beliau mendapati Keraton Kartosura dalam keadaan benar-benar rusak parah serta tidak punya lagi tuah, dan apalagi pernah diduduki bala tentara orang-orang China (Hamaminatadipura, 2006: 187). Oleh karena itu Sunan Pakubuwana II memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala. Penamaan Desa Sala sendiri diambil dari nama pimpinan desa tersebut pada waktu itu, yaitu seorang abdi

dalem Kerajaan Pajang dengan pangkat bekel bernama Kiai Sala

(32)

xxxii

daerah yang menjadi pilihan Sunan Pakubuwana II yaitu Desa Kadipala dan Desa Sanasewu. Tetapi karena secara spiritual kedua daerah itu nantinya tidak akan membuat Keraton maju dan berkembang maka dipilihlah Desa Sala yang menurut pandangan spiritual para ahli nujum akan membuat Keraton menjadi lebih maju dan makmur. Semenjak pindahnya Keraton Kartasura ke Desa Sala maka Keraton disebut dengan Keraton Surakarta Hadiningrat.

Keraton Surakarta Hadiningrat ini merupakan cikal bakal dari kebudayaan Jawa. Hingga sekarang masyarakat Jawa, khususnya Surakarta masih sangat kental dengan spiritual dan masih melihat Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai pandangan hidup mereka. Bagi masyarakat Sala, Keraton Surakarta Hadiningrat masih dianggap mempunyai daya spiritual yang tinggi dan hal ini terbukti dengan masih dilakukannya upacara-upacara adat setempat setiap tahunnya.

I. Asal Mula dan Pengertian Etnolinguistik

Etnolinguistik merupakan ilmu linguistik yang baru ditemukan pada awal abad 20 hingga sekarang. Etnolinguistik berasal dari kata etnologi dan linguistik, yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 5).

Menurut Andri etnolinguistik atau antropologi linguistik adalah suatu ilmu bagian yang pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi. Penelitiannya berupa daftar kata-kata, pelukisan tentang ciri bahasa dan tata bahasa dari berbagai bahasa suku bangsa yang tersebar di berbagai tempat di bumi

(33)

xxxiii

ini yang terkumpul bersama-sama dengan bahan kebudayaan suku bangsa (1999: 11).

Etnolinguistik atau antropologi linguistik adalah suatu ilmu bagian yang pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi. Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat (Harsojo, 1967: 13).

Didalam sejarah linguistik, perintis dari etnolinguistik adalah Edward Sapir yang menelaah hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Kemudian pandangan Sapir dikembangkan oleh muridnya yang bernama Benjamin Lee Whort, sehingga muncullah hipotesis Sapir-Whorf yang disebut dengan relativisme bahasa (language relativism) dari pikiran Boas (Samson dalam laporan penelitian Edi Subroto.dkk, 2003: 6).

J. Kajian Etnolinguistik

Kajian etnolinguistik dibagi menjadi dua, yaitu (1) kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan (2) kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi linguistik. Etnologi adalah cabang dari antropologi budaya yang mempelajari kebudayaan manusia dengan mengadakan pendekatan perbandingan dari kebudayaan-kebudayaan secara individual yang terdapat di muka bumi (Harsojo, 1967: 24). Menurut Sudaryanto etnolinguistik (etnolinguistic) adalah ilmu yang meneliti seluk beluk hubungan aneka pamakaian bahasa dengan pola kebudayaan (1996: 7).

(34)

xxxiv

tersebut. Seorang ahli bahasa tidak mampu menggali berbagai dimensi semantis dari suatu kata, karena ini memerlukan penelitian lapangan dengan waktu yang cukup lama. Dalam konteks inilah para ahli etnologi dapat memberikan sumbangan pada linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 9).

K. Bahasa dan Pandangan Hidup

Bahasa dan pandangan hidup suatu masyarakat dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan-tingkatan leksikon bahasa, yaitu ngoko dan krama. Bagi masyarakat Jawa, bahasa Jawa ngoko dipandang sebagai bahasa yang paling kasar, sedangkan bahasa krama merupakan bahasa Jawa yang dianggap halus. Dari tingkatan-tingkatan bahasa Jawa ini kita dapat mengetahui pandangan hidup suatu masyarakat setempat. Contoh penerapan dalam hal ini penyebutan perlengkapan sesaji berupa nasi golong dalam bahasa Indonesia, sega golong

dalam bahasa Jawa ngoko, dan sekul golong dalam bahasa Jawa krama alus.

L. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan

Selain tentang pandangan hidup, kajian bahasa dan maknanya akan membawa kita pada cara memandang kenyataan masyarakat setempat. Sehingga kita dapat mengetahui dimensi-dimensi kenyataan yang mereka anggap penting dan relevan dalam hidup mereka.

Bahasa merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, terutama untuk berkomunikasi dengan dunianya. Bahasa menurut sifat dan hakikatnya adalah

(35)

xxxv

metafori (Cassirer, 1987: 166 dalam Suwanto, 2002: 8). Manusia memandang bahwa bahasa itu adalah kenyataan dan mereka menganggap bahwa ritual itu penting walaupun pada kenyataannya hal tersebut jarang dilakukan.

M. Bahasa dan Perubahan dalam Masyarakat

Kajian tentang bahasa bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan masyarakat setempat. Dengan begitu kita dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi didalam suatu masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Perubahan-perubahan terlihat dari bertambah atau berkurangnya kosakata

yang ada dan dipakai dalam suatu masyarakat. Dalam hal jamasan Kanjeng Nyai

Setomi sesaji yang digunakan sudah berkurang bila dibandingkan dengan jamasan Kanjeng Nyai setomi pada masa pemerintahan Pakubuwana III hingga Pakubuwana X.

N. Kerangka Pikir

Dalam penelitian ini kerangka pikir digunakan untuk menguraikan tentang istilah sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Istilah sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat ini meneliti tentang bentuk dan makna dari sesaji. Bentuk berupa polimorfemis dan monomorfemis, sedangkan makna berupa makna leksikal dan makna kultural. Penelitian ini akan dikaji secara etnolinguistik.

(36)

xxxvi

Bagan Kerangka Pikir

Kajian Etnolinguistik

Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti

Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat Bentuk: 1. Monomorfemis 2. Polimorfemis Makna: 1. Leksikal 2. Kultural

(37)

xxxvii BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan agar dapat terkupas secara tuntas. Di dalam melakukan penelitian harus menggunakan metode-metode penelitian untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian serta menjadi salah satu faktor penentu keberhasilah sebuah penelitian. Dalam metode penelitian ini akan menjelaskan tentang sifat penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

A. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu berusaha mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta hasilnya berbentuk deskriptif, fenomena yang muncul tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan variable (Aminudin, 1990: 6).

Istilah deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Penelitian kualitatif data yang terkumpulkan berbentuk kata atau gambar-gambar bukan angka-angka, yang selanjutnya diolah secara cermat dengan menggunakan pengkartuan data, sehingga menghasilkan penafsiran yang kuat dan obyektif.

(38)

xxxviii

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat” adalah di Keraton Surakarta Hadiningrat. Penulis memilih melakukan penelitian ini karena Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan pusat kebudayaan Jawa. Keraton Surakarta Hadiningrat ini masih sangat kental dengan spiritualnya dan juga merupakan asal-mula dari masyarakat Sala. Hingga sekarang sebagian besar kehidupan di Kota Sala ini mengacu pada Keraton Surakarta Hadiningrat baik dari segi tata krama sampai pada perkembangan-perkembangan bangunan di Kota Sala ini. Hingga sekarang upacara-upacara adat pun masih dilakukan dan dijunjung tinggi. Tetapi sayang kebudayaan yang telah ada semakin lama terlupakan oleh generasi muda sekarang ini. Oleh sebab itu, penulis ingin sekali ikut melestarikan kebudayaan Jawa yang hampir hilang tersebut di mata generasi muda sekarang ini.

C. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Di dalam penelitian ini menggunakan dua macam data yaitu data lisan dan data tulis. Data lisan merupakan data primer yang berupa istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta, sedangkan data tulis merupakan data sekunder yang diperoleh peneliti dengan mencari referensi dari buku-buku yang terkait dengan upacara jamasan tersebut.

Sumber data adalah si penghasil atau si pencipta bahasa yang sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud, biasanya disebut dengan

(39)

xxxix

nara sumber (Sudaryanto, 1990: 35). Sumber data lisan berasal dari informan berupa tuturan yang mengandung istilah sesaji perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat, adapun kriteria sebagai berikut.

1. Penutur asli bahasa Jawa. 2. Penduduk asli daerah setempat. 3. Pelaku upacara jamasan Nyai Setomi

4. Berusia 21-70 tahun yang dirasa betul-betul sepenuhnya memahami dan berpengalaman mengenai upacara jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

5. Memahami bahasa dan budaya Jawa.

6. Memiliki alat ucap sempurna.

7. Berprofesi sebagai pelaku upacara adat setempat. 8. Bisa berbahasa Indonesia.

9. Bersedia menjadi informan atau bersedia diwawancara dan mempunyai waktu

cukup untuk diwawancarai.

10.Bersikap terbuka, sabar, ramah, dan tidak mudah tersinggung. Informan yang dimaksud adalah:

1. K.G.P.H. Puger selaku pemimpin upacara Jamasan Nyai Setomi.

2. Ibu Suryo Samtono selaku juru masak dari sesaji Jamasan Nyai Setomi

tersebut.

3. Ibu Muji Sujirah selaku abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat yang mengikuti Jamasan Nyai Setomi tersebut.

(40)

xl

4. KRAr. Winarnokusumo selaku abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat yang bekerja di Sasono Wilapa dan juga pambiwara.

5. Ibu Sri selaku pelaku Jamasan Nyai Setomi.

Sumber data tulis berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan istilah-istilah sesaji, antara lain: Iswati. 2004. Istilah Unsur-Unsur Sesaji Dalam Upacara Nyadranan Di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak Kabupaten Banul. Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Senirupa.

D. Alat Bantu

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama yaitu peneliti sendiri yang terjun langsung dalam upacara jamasan Nyai Setomi, sedangkan alat bantu yang digunakan adalah kertas, bolpoint, MP4, walkman, kamera, dan komputer.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode yaitu cara teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan, dsb); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan (Fatimah,1993:1).

Dalam penelitian yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat” ini menggunakan dua metode yaitu simak atau menyimak yang diawali dengan pengamatan (observasi) dan metode cakap (wawancara). Metode simak atau menyimak yaitu metode

(41)

xli

pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133), sedangkan wawancara adalah suatu teknik yang digunakan apabila seseorang untuk suatu tugas tertentu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari responden dengan percakapan serta berhadapan muka dengan orang tersebut (HB. Sutopo, 1988:24).

1. Metode Simak

Metode simak atau menyimak yaitu metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Metode simak ini menggunakan teknik dasar sadap dan teknik lanjutan simak libat cakap, rekam, catat, dan kerjasama.

1) Teknik sadap yaitu menyadap penggunaan bahasa dari objek penelitian dengan cara mengerahkan segenap kemampuan dan pikiran menyadap pemakaian bahasa di masyarakat. Teknik sadap ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar.

2) Teknik rekam didapatkan dengan cara merekam pemakaian bahasa lisan yang

bersifat spontan. Hal ini berfungsi untuk mengabadikan data dari hasil wawancara dengan informan, untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian, merekam secara wajar terhadap satuan lingual yang terlepas dari konteks atau kalimat, dan mempermudah memerikan bentuk satuan lingual yang diteliti, maknanya dan fonetisnya.

3) Teknik catat yaitu memperoleh data dengan mencatat data kebahasaan atau istilah-istilah yang relevan sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian.

(42)

xlii

diwawancarai adalah penutur asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti yaitu memberi informasi kebahasaan yang dikehendaki oleh peneliti dan peneliti yang merencanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Metode Cakap

Metode cakap yaitu percakapan dan terjadi kontak antara peneliti dan penutur selaku nara sumber (Sudaryanto, 1993: 137). Teknik dasar yang digunakan yaitu teknik pancing, cakap semuka, dan rekam.

(1) Teknik Pancing

Peneli mendapatkan data yang diinginkan harus dengan kecerdikannya agar informan yang dituju dapat terpancing untuk berbicara lebih lanjut mengenai istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

(2) Teknik cakap semuka

Teknik ini dilakukan dengan cara memancing pembicaraan informan dan dilakukan dengan tatap muka secara langsung. Teknik cakap semuka ini diharapkan agar dalam pembicaraan tetap terkendali dan terarah sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti, sehingga mendapatkan data yang selengkap-lengkapnya mengenai sesaji jamasan Nyai Setomi. (3) Teknik rekam

Teknik rekam ini sama dengan teknik rekam yang digunakan dalam metode simak dimana dalam melakukan wawancara peneliti merekam pembicaraan yang dilakukan dengan informan tersebut.

(43)

xliii

F. Metode Analisis Data

Dalam penelitian yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat” ini penulis menggunakan metode distribusional dan metode padan.

a. Metode Distribusional

Metode distribusional merupakan metode analisis data yang penentunya unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode ini digunakan untuk menganalisis bentuk dari istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat yang berbentuk polimorfemis dan monomorfemis.

b. Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang penentuannya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan ini digunakan untuk menganalisis makna istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

Adapun penerapan kedua metode tersebut sebgai berikut.

i. Bekakak tiyang → [bəkaka? tiyaŋ] ‘sesaji yang berbentuk sepasang

manusia’ N + N→ FN

Makna leksikal dari bekakak tiyang yaitu sesaji yang terbuat dari tepung terigu kemudian dibentuk seperti manusia (pria dan wanita).

(44)

xliv

yang merupakan bentuk kelamin manusia (pria dan wanita). ii. Clorot [clɔrɔt] → N

Makna leksikal dari clorot yaitu sesaji yang dibuat dari tepung ketan yang diberi pewarna (merah, kuning, hitam, hijau, abu-abu, biru, dan putih) dan kemudian ketujuh warna tersebut dibungkus sendiri-sendiri dengan daun pisang berbentuk kerucut.

Makna kultural dari clorot yaitu melambangkan jumlah hari. iii. ketan werna-werni [kǝtan wǝrnɔ wǝrni]

N + Adj → Nomina

Makna leksikal dari ketan werna werni adalah makanan yang terbuat dari beras ketan yang diberi warna merah, kuning, hijau, dan putih.

Makna kultural dari ketan werna-werni adalah melambangkan empat sifat dasar manusia yaitu amarah, aluamah, sufiah, dan mutmainah.

G. Metode Penyajian Hasil Penelitian

Metode penyajian hasil penelitian data ini menggunakan metode deskriptif yaitu informal dan formal. Metode deskriptif merupakan metode yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta dan atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 62).

Metode deskriptif informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa atau sederhana agar dapat mempermudah pemahaman kita terhadap hasil penelitian. Sedangkan metode deskriptif formal adalah perumusan yang menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang (menggunakan dokumentasi yang berupa foto

(45)

xlv sebagai lampiran dalam hasil penelitian)

(46)

xlvi BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Bentuk istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti

Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat berupa bentuk

monomorfemis berupa kata dasar yang ditemukan 15 istilah dan polimorfemis berupa afiksasi, reduplikasi, dan kata majemuk yang ditemukan 36 istilah.

2. Istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat mengandung makna leksikal. Penentuan makna leksikal tersebut berdasarkan pada istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil yang dipakai oleh masyarakat Keraton Surakarta Hadiningrat dan sekitarnya.

3. Istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat mengandung makna kultural. Makna kultural pada istilah sesaji jamasan Nyai Setomi ini ditentukan oleh budaya masyarakat Keraton Surakarta Hadiningrat dan sekitarnya.

(47)

xlvii B. Saran

Penelitian ini hanya mengkaji bentuk, makna leksikal, dan makna kultural istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat saja, sehingga masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan kajian yang berbeda oleh peneliti selanjutnya.

Bagi pihak Keraton Surakarta Hadiningrat hendaknya

memperhatikan bahwa pembuat sesaji-sesaji upacara adat Keraton Surakarta Hadiningrat sudah semakin tua dan hingga saat ini mereka belum tahu siapa yang akan menggantikannya untuk membuat sesaji-sesaji tersebut. Alangkah baiknya bila hal tersebut diperhatikan sedini mungkin dan ditindaklanjuti agar kedepannya dapat memudahkan masyarakat umum untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang sesaji yang ada di Keraton Surakarta Hadiningrat.

(48)

xlviii

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Aminuddin. 2001. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

_________. 1990. Penelitian Kualitatif Dalam Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.

Andri Astuti Prawoto. 1999. Antropologi Budaya (BPK). Surakarta: Sebelas Maret Press.

Edi Subroto, D. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Stuktural. Surakarta. Sebelas Maret University Press.

Edi Subroto. dkk. 2003. Laporan Penelitian: Kajian Etnolinguistik terhadap

Paribasan, Bebasan, Saloka, Pepindhan dan Sanepa. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret Press.

Djoko Kentjono. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra Indonesia.

Fatimah Djadjasudarma, T. 1993. Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT Eresco.

___________.1999. Semantik II Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT

Eresco.

Gorys Keraf. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah

Hamaminatadipura, R.T. 2006. Babad Keraton Mataram. Semarang: Intermedia Paramadina bekerja sama dengan Kartipraja Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat.

Harimurti Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

(49)

xlix

Haryono Suryoguritno. 2006. Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar. Jakarta: PT. Indonesia Kebanggaanku.

Hasan Alwi. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

Hidhawatari. 2008. ”Istilah Unsur-Unsur Sesaji Dalam Tradisi Bersih Desa di

Desa Gondang Kecamatan Gondang Kabupaten Sragen. Skripsi.

Surakarta: Fakultas Sastra dan Senirupa.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Purwadi. ___________. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

S. Prawiroatmojo. 1993. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung.

Saifudin Azwar, MA. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shri Ahimsa Putra. 1997. Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian. Makalah.

Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 26-27 Maret 1997

Slamet Mulyono. 2008. Kamus Pepak basa Jawa. Yogyakarta: Pustaka

Widyatama.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik.

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

__________. 1992. Metode Linguistik Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

__________. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

__________. 1996. Linguistik: Identitasnya, Cara Penanganan Obyeknya, dan

Hasil Kajiannya. Yogyakarta: Yayasan ekalawya bekerja sasa dengan

Duta Wacana University Press.

Suwardi Endraswara. 2006. Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan

Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Suwardi Notosudirjo. 1991. Kosakata Istilah Linguistik. Yogyakarta: Kanisius.

Wakit Abdullah. 1999. ”Bahasa Jawa Dialek Masyarakat Samin di Kabupaten Blora” Laporan Penelitian Dasar. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni

(50)

l Rupa UNS didanai oleh Dirjen Dikti.

W.J.S Purwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. PN

(51)
(52)

lii Serabi [sərabi] (1) Lemet [lǝmεt] (2) Pohong [pohoŋ] (3) Tela [telɔ]

(53)

liii

(4) Clupak [clupa?]

(5) Kelapa [kǝlɔpɔ]

(6) Clorot [clɔrɔt]

(54)

liv

(8) Legandha [lǝgɔnDɔ]

(9) Degan [dǝgan]

(10)Dhawet [Dawǝt]

(55)

lv

(12)Gudhangan [guDaŋan]

(13)Jajanan [jajanan]

(14)Tumpeng janganan [tumpǝŋ jaŋanan]

(56)

lvi

(16)Uler-uleran [ulǝr ulǝran]

(17)Oseng-oseng [osεŋ osεŋ]

(18)Enten-enten [ǝntεn ǝntεn]

(57)

lvii

(20)Jongkong dan inthil [jɔŋkɔŋ inTIl]

(21)Jenang sumsum [jǝnaŋ sumsUm]

(22)Gedhang raja [gǝDaŋ rɔjɔ]

(58)

lviii

(24)Tumpeng kendhit [tumpǝŋ kǝnDit]

(25)Tumpeng slewah [tumpǝŋ slewah]

(26)Tumpeng megana [tumpǝŋ mǝgɔnɔ]

(59)

lix

(28)Golong manis [gɔlɔŋ manIs]

(29)Rujak manis [ruja? manIs]

(30)Rujak pedhes [ruja? pǝdǝs]

(60)

lx

(32)Rujak emas [ruja? ǝmas]

(33)Kolak ketan [kola? kǝtan]

(34)Gecok kembang [gǝcɔ? Kmbaŋ]

(61)

lxi

(36)Ketan werna-werni [kǝtan wǝrnɔ wǝrni]

(37)Jenang abang putih [jǝnaŋ abaŋ putIh]

(38)Jenang katul [jǝnaŋ katUl]

(62)

lxii

(40)Ayam gesang [ayam gǝsaŋ] Tumpeng panggang ayam

(41)Jadah werna pitu Sekul werna-werni [sǝkUl wǝrnɔ wǝrni]

Referensi

Dokumen terkait

Saran dari penulis adalah dilakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap penggunaan sambiloto untuk menurunkan tekanan darah.. Kata kunci : Sambiloto, tekanan darah,

[r]

menunjukkan bahwa nilai signifikan yang didapatkan ,0315 (> 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan perilaku premarital seksual pada

Berdasarkan hasil pengujian dari penggunaan deteksi tepi mempergunakan operator sobel untuk segmentasi menggunakan profil proyeksi pada citra dokumen beraksara Jawa,

Jumlah koleksi literatur anak berdasarkan tahun terbit 2004-kebawah sebanyak 19 judul buku, tahun terbit 200-2009 sebanyak 35 judul buku, tahun terbit 2010- keatas sebanyak 38

Salah satu usaha yang dilakukan adalah menerapkan pendekatan green productivity dengan mencari solusi alternatif – alternatif perbaikan untuk meningkatkan produktivitas dengan

Subnetting adalah teknik memecah suatu jaringan besar menjadi jaringan yang lebih kecil dengan cara mengorbankan bit Host ID pada subnet mask untuk dijadikan Network ID baru..

3. Penyimpanan data/informasi. Data yang terkumpul dan terolah menjadi informasi perlu disimpan