• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Tingkat Proactive Coping pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan UI Tahun Pertama dan Tahun Terakhir Perkuliahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Tingkat Proactive Coping pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan UI Tahun Pertama dan Tahun Terakhir Perkuliahan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Perbedaan Tingkat Proactive Coping pada Mahasiswa Fakultas Ilmu

Keperawatan UI Tahun Pertama dan Tahun Terakhir Perkuliahan

Rahmadini dan Adriana S. Ginanjar

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Program Reguler

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat proactive

coping pada mahasiswa tahun pertama dan mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI). Partisipan penelitian ini adalah 150 mahasiswa FIK UI yang berada pada tahun pertama dan tahun terakhir perkuliahan. Tingkat proactive coping diukur dengan menggunakan alat ukur hasil adaptasi dari Proactive Coping Inventory (PCI) yang dikembangkan oleh Esther Greenglass. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkatan proactive coping pada mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat proactive coping pada mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir FIK UI jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin. Namun terdapat perbedaan bila dilihat dari kepemilikan dukungan sosial.

Kata kunci: proactive coping, Fakultas Ilmu Keperawatan Abstract

This study aimed to determine whether there are differences in the level of proactive coping in the first year and last year student in the Faculty of Nursing, University of Indonesia. Participants of this study were 150 the first year and last year students of the Faculty of Nursing, University of Indonesia. Level of proactive coping was measured using an adaptation instrument developed by Greenglass. The results of this study indicate that there is no significant difference between the levels of proactive coping in the first-year and last year student Faculty of Nursing, University of Indonesia (FIK UI). In addition, there is no significant difference between the levels of proactive coping in the first-year and last year students of FIK UI when viewed from the difference between the sex. But there is a significant relationship between the first-year and last year students of FIK UI when viewed from a difference of social support ownership.

Keyword: proactive coping, Faculty of Nursing

Pendahuluan

Pekerjaan sebagai perawat membutuhkan ketrampilan khusus dan juga kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasien dan keluarganya. Bila terjadi konflik atau muncul ketidakpuasan dari pasien, maka hal tersebut akan menimbulkan stres dan tekanan bagi perawat. Hasil penelitian Simbolon dkk (2007) menunjukkan bahwa menurut mahasiswa keperawatan, adanya pasien (dan keluarga pasien) yang kontra dengan pekerjaan mereka, merupakan suatu hal

(2)

yang cukup menimbulkan tekanan bagi mereka. Sebuah penelitian lain terkait hubungan perawat dan pasien menunjukkan bahwa ketidakmampuan perawat (yang masih mahasiswa) dalam menjalankan tugasnya, berpengaruh terhadap keadaan stres pasien dan ketidakmampuan itu disebabkan oleh tingkat psychological distress yang tinggi (Stallman, 2008). Fenomena ini menjadi semakin menarik lagi ketika peneliti menemukan penelitian yang menyatakan bahwa pada mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) terdapat tingkat

psychological distress tinggi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa dari sebelas

fakultas lainnya (Utama, 2010).

Keperawatan didefinisikan oleh the Royal College of Nursing sebagai penggunaan nilai klinis dan ketentuan perawatan yang memungkinkan individu mempromosikan, meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan, atau (jika datang kematian) meninggal dalam keadaan damai (www.rcn.org.uk). Dunia keperawatan memiliki beberapa peran, diantaranya adalah mengenal dasar-dasar keperawatan yang rupanya melampaui semua spesialisasi medis. Dalam proses perawatan, perawat bertanggung jawab tidak hanya dalam merawat, tetapi juga memberikan diagnosa awal serta memberikan resep obat ketika mereka sudah mulai terjun dalam pekerjaan mereka dan berinteraksi dengan pasien. Mengenai tujuan utama dari keperawatan, salah satunya adalah untuk memungkinkan adaptasi dan coping dari pasien terhadap keadaan yang sedang dihadapi. (Castledine, 2009). Peran-peran ini sedikit banyak sudah mulai diajarkan kepada para mahasiswa keperawatan. Pada mahasiswa keperawatan UI, peran ini mulai diaplikasikan langsung kepada pasien sejak semester genap ditahun kedua perkuliahan.

Bagi mahasiswa, awal mula memasuki dunia perkuliahan merupakan suatu pengalaman yang penuh dengan tekanan (Gan, Y. dkk, 2010). Pada mahasiswa tahun pertama, perkuliahan menjadi kian menekan. Selain menjalani serangkaian tugas perkembangan usia remaja, mereka juga harus beradaptasi dalam kehidupansebagai mahasiswa. Pada kenyataannya, banyak perbedaan dari antara kehidupan sekolah dengan perkuliahan. Sekolah memberi kesempatan bagi para siswa untuk bergantung pada guru-guru dalammemahami materi. Sedangkan didunia perkuliahan, kebanyakan dosen justru menugaskan para peserta didiknya untuk mendalami sendiri materi yang telah diajarkan melalui tugas-tugas yang diberikan. Demikian juga dalam hal jam pelajaran, kurikulum, cara mengajar para pengajar, serta beragam perubahan baru lainnya yang terjadi dilingkungan sekitar mahasiswa. Permasalahan seputar adaptasi dengan dunia

(3)

perkuliahan ini memungkinkan timbulnya stres yang tinggi pada mahasiswa tahun pertamaUtama (2010). Sedangkan pada mahasiswa yang lebih senior, umumnya mereka sudah mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Tuntutan dalam tugas perkuliahan pun kian berkurang dan menjadi satu tuntutan yaitu tugas akhir. Pada mahasiswa yang lebih senior, ketergantungan mereka terhadap orang tua mulai berkurang, khususnya dalam hal finansial. Wen (2012) menyatakan bahwa salah satu stressor pada mahasiswa senior adalah mulai mencari tahu dan memikirkan tentang karir. Pendapat ini didukung oleh teori Greenberg (2004) yang menekankan bahwa perihal karir merupakan salah satu sumber stres pada mahasiswa senior dan bukan pada mahasiswa yang lebih muda (junior). Seperti yang lazim diketahui, bahwa bekerja dan berkarir merupakan tahap lanjutan dari kegiatan perkuliahan. Hal ini lah yang juga menjadi salah satu penyebab mengapa mahasiswa yang lebih senior menaruh perhatian lebih besar pada dunia karir dibandingkan mahasiswa yang masih baru menempuh tahap perkuliahan.

Wen (2012) menyimpulkan bahwa mahasiswa berada pada masa kritis dimana mereka akan memasuki tahap dewasa. Pada tahap ini, mereka mengorganisasikan diri dan mengalami kebingungan peran. Menurut Wen, sumber utama stres pada mahasiswa berasal dari tes-tes dibidang akademik, hubungan interpersonal, permasalahan dalam hubungan, perubahan kehidupan, dan mencari tahu tentang karir. Pada mahasiswa keperawatan, selain faktor-faktor umum penyebab stres pada mahasiswa, mereka juga memiliki sumber stres lainnya. Selain harus fokus dalam hal kesehatan, mahasiswa keperawatan juga harus peduli serta mempertimbangkan hal-hal terkait kondisi psikologis pasien, hukum yang berlaku seputar pengobatan dan keperawatan, serta isu-isu politik yang mungkin memengaruhi pasien-pasiennya atau bahkan diri mereka sendiri (Castledine, 2009).

Berhadapan dengan keadaan yang menekan dapat membuat seseorang mengalami depresi dan kecemasan (Mirowsky & Ross, 2003). Kedua hal tersebut dapat menyebabkan seseorang memiliki perasaan sedih, tidak bersemangat, tidak memiliki harapan, gelisah, tegang, mudah marah sehingga dapat memengaruhi keadaan tubuh menjadi lesu, sakit kepala, sakit perut, serta pusing. Secara alami seseorang akan melakukan satu atau lebih kegiatan untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan tuntutan-tuntutan dari lingkungan atau perasaan dari dalam diri sebagai representasi adanya potensi ancaman, bahaya, atau kerugian. Kegiatan tersebut dikatakan oleh Folkman dan Lazarus (1984) sebagai coping.

(4)

Pada awalnya Lazarus dan Folkman (1984) membagi coping kedalam dua dimensi besar, yaitu problem focused coping (PFC)dan emotion focused coping (EFC). Pada PFC, individu melakukan coping dengan cara menemukan masalah, menghasilkan alternatif solusi, mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan alternatif solusi yang ada sebelum kemudian memilih salah satu alternatif solusi tersebut, dan lalu mengeksekusi solusi. Sedangkan pada EFC, individu melakukan coping dengan cara mengurangi emosi-emosi negatif yang ditimbulkan

stressor, menghindari stressor, meminimalisasi dampak dari stressor, dan berusaha memunculkan

nilai positif dari masalah yang ada. Schwarzer dan Taubert (2002; dalam Gan, dkk, 2010) mengatakan bahwa kedua dimensi besar tersebut menekankan pada sikap reaktif seseorang dan memfokuskan perhatian pada bagaimana seseorang mengatasi stress masa lalu atau yang sedang berlangsung. Schwarzer dan Taubert menyebut dua dimensi besar coping ini sebagai reactive

coping.

Selain reactive coping, Schwarzer (dalam Gan et al, 2010) menyebutkan proactive

coping dan preventive coping sebagai jenis coping menurut perspektif waktu. Proactive coping

didasari oleh penilaian individu terhadap adanya kesempatan sedangkan preventive coping didasari oleh penilaian inividu terhadap adanya ancaman. Menjadikan Schwarzer sebagai acuan, Greenglass (2002) menyebutkan bahwa pada proactive coping, individu memiliki visi. Mereka melihat resiko, penekanan, dan peluang dimasa depan, namun mereka tidak menilai itu semua sebagai kerugian, ancaman, atau sesuatu yang berbahaya. Sebaliknya, mereka melihat situasi-situasi tersebut sebagai tantangan untuk menuju visinya.

Sebuah penelitian mengenai proactive coping menunjukkan bahwa proactive coping memberikan pengaruh positif yang diasosiasikan kepada fungsi psikologis yang lebih baik (Greenglass, 2009), tingkatan depresi yang rendah, dan tingkatan well being yang tinggi pada individu (Greenglass dkk, 2006). Terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi proactive

coping pada individu, seperti dukungan sosial, (Greenglass, 2002) serta usia (Sollar & Sollarova,

2009). Pada penelitian tahun 2006 bersama dengan kedua temannya, Greenglass menemukan bahwa dukungan sosial berkorelasi positif dengan proactive coping. Terdapat beberapa cara untuk melihat adanya dukungan sosial pada responden penelitian. Dalam penelitiannya, Greenglass dkk (2006) mengukur dukungan sosial dengan melihat jumlah orang yang akan menawarkan dukungan kepada responden jika dibutuhkan. Sementara Utama (2010) mengukur

(5)

ketersediaan dukungan sosial pada responden dengan pertanyaan mengenai kepemilikan kelompok teman. Dukungan sosial yang dimaksudkan termasuk didalamnya adalah dukungan emosional, bantuan praktis, serta saran atau bimbingan (Greenglass dkk, 2006).

Terkait dengan usia, penelitian mengenai proactive coping oleh Sollar & Sollarova (2009) dengan merujuk pada penelitian sebelumnya oleh Cornelius dan Caspi pada tahun 1987, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan proactive coping. Pada penelitian tersebut, Sollar & Sollarova membedakan usia kedalam tiga kelompok yaitu <18 tahun, 18-35 tahun, dan >35 tahun. Pada kelompok usia > 35 tahun, rata-rata mereka menerapkan

proactive coping lebih baik dibandingkan dengan dua kelompok usia lainnya. Gan dkk (2010)

melakukan penelitian terkait proactive coping dengan membandingkan dua kelompok mahasiswa yaitu yang datang dari luar daerah dengan yang berasal dari daerah tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proactive coping memainkan peranan penting dalam penyesuaian diri mahasiswa di universitas. Mahasiswa yang memiliki tingkat proactive coping tinggi mampu melihat adanya berbagai kesempatan dan dapat meningkatkan kapasitas diri mereka sendiri dalam berbagai aspek kehidupan. Penelitian ini menunjukkan bahwa proactive coping penting dimiliki oleh mahasiswa agar dapat mempermudah mereka dalam melihat kesempatan-kesempatan yang ada, membantu mereka beradaptasi, serta meningkatkan kapasitas diri.

Pada kenyataannya, penelitian mengenai proactive coping pada mahasiswa masih sangat minim. Belum ada penelitian proactive coping pada mahasiswa di Indonesia. Mengingat bahwa stressor pada mahasiswa sudah menjadi sedemikian bervariasi dan dapat mengakibatkan sekian banyak kejadian yang tidak diinginkan serta adanya data bahwa terdapat tingkatan stress yang tinggi pada mahasiswa (FIK UI), maka peneliti tertarik untuk meneliti strategi proactive coping pada mahasiswa tahun pertama dan mahasiswa tahun terakhir di Fakultas tersebut.

Tinjauan Teoritis

Folkman dan Lazarus (1985) (dalam Aspinwall dan Taylor,1997) mendefinisikan coping sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan tuntutan-tuntutan dari lingkungan atau perasaan dari dalam diri sebagai representasi adanya potensi ancaman, bahaya, atau kerugian. Lazarus (1993) berpendapatcoping dapat memediasi perubahan emosi, dari emosi yang negatif mengarah ke emosi yang lebih positif

(6)

atau tingkat negatif pada emosi tersebut berkurang. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa coping merupakan sebuah reaksi. Coping adalah reaksi berupa kegiatan yang ditujukan untuk menghadapi keadaan yang dinilai mengancam atau membahayakan bagi individu. Coping sebagai reaksi ini disebut oleh Greenglass dan Fiksenbaum (2009) sebagai reactive coping. Folkman dan Lazarus (1984) membagi reactive coping menjadi dua jenis, yaitu problem-focused

coping dan emotion-focused coping.

Setelah merangkum beragam definisi terbaru dari para psikolog mengenai coping, Greenglass dan Fiksenbaum (2009) mendefinisikan coping sebagai respon dari penilaian individu bahwa tujuan-tujuan pentingnya telah hilang atau terancam. Para psikolog juga telah mengevaluasi coping terutama dalam hal efektivitas pengaturan hal-hal yang dapat mengancam individu untuk menggapai tujuannya. Maksudnya adalah hal-hal yang dinilai dapat mengancam individu untuk mencapai tujuannya dapat diatur sedemikian rupa agar tidak terlalu menimbulkan stres. Pada intinya, coping dikonseptualisasi sebagai sesuatu yang dapat dilakukan oleh individu sebelum stres terjadi (Greenglass & Fiksenbaum, 2009).

Hasil evaluasi para psikolog tentang coping yang dapat dilakukan oleh manusia sebelum stres terjadi disebut oleh Greenglass (2002) sebagai proactive coping. Greenglass menerangkan bahwa proactive coping merupakan sebuah strategi coping yang mengintegrasikan proses manajemen kualitas hidup pribadi dengan pencapaian tujuan self-regulatory. Secara teoritis,

proactive coping didorong oleh sikap proaktif, didalamnya mencakup kepercayaan diri yang kuat

dalam potensi perubahan besar yang dibentuk untuk mengembangkan diri dan lingkungan seseorang. Tanggung jawab, nilai- nilai, akal, serta visi seseorang juga turut mendukung perilaku

proactive copingnya.

Proactive coping berorientasi pada masa depan dan terdiri dari upaya membangun

sumber daya umum yang dapat memfasilitasi tercapainya tujuan-tujuan yang menantang serta pengembangan diri manusia. Pelaku strategi proactive coping memiliki visi. Mereka melihat resiko, tuntutan, dan peluang di masa depan, namun mereka tidak menilai hal-hal tersebut sebagai ancaman atau sesuatu yang dapat merusak atau menghilangkan tujuan-tujuan mereka. Sebaliknya, mereka memandang berbagai situasi sulit sebagai tantangan. Dapat disimpulkan bahwa proactive coping merupakan strategi coping yang aktif dan positif, melibatkan pengendalian internal yang kuat, serta didasari oleh keinginan individu untuk mengubah diri.

(7)

Individu yang menerapkan strategi proactive coping secara aktif melakukan perbaikan dalam hidup dan tidak hanya bereaksi terhadap suatu kesulitan. Proactive coping berpengaruh langsung dalam pengurangan hal-hal negatif seperti depresi, kelelahan emosi, sinisme, dan perasaan marah. Hal ini dikarenakan proactive coping merupakan strategi positif sehingga tidak hanya mengurangi hal-hal negatif saja tetapi juga menjadi sarana pengembangan diri, pencapaian tujuan, serta kepuasan hidup. Pada mahasiswa, proactive coping memegang peranan penting dalam kemampuan merkea untuk beradaptasi (Gan dkk, 2010).

Greenglass (2002) telah mengembangkan sebuah alat ukur proactive coping (Proactive

Coping Inventory). Proactive Coping Inventory (PCI) ini dikembangkan dengan meminta

kesediaan mahasiswa Kanada sebagai sampel, kemudian pengujian oleh sampel Polandia-Kanada, lalu divalidasi dengan sampel orang-orang dewasa di Kanada. Pada akhirnya PCI hadir dengan tujuh subskala, yaitu proactive coping scale, reflective coping scale, strategic planning,

preventive coping, instrumentral support seeking, emotional support seeking, dan avoidance coping.

Terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi proactive coping. Greenglass (2002) menyebutkan bahwa hal-hal yang dapat memengaruhi proactive coping pada individu bersumber dari dalam diri (internal) dan lingkungan (eksternal) individu tersebut. Self efficacy dan optimisme merupakan hal yang dapat memengaruhi individu secara internal dan dukungan sosial (informasi, bantuan langsung, dan berbagi perasaan) secara eksternal. Perpaduan antara kedua faktor tersebut akan mendukung individu untuk menerapkan strategi proactive coping sehingga individu tersebut dapat mencapai kepuasan dalam hidup dan mendapatkan perlakuan yang adil di lingkungannya. Sedangkan individu yang tidak memiliki kedua faktor tersebut akan kesulitan untuk menerapkan strategi proactive coping dan dapat mengakibatkan depresi serta kemarahan. Hasil dari penelitian oleh Greenglass, Fiksenbaum, dan Eaton (2006) memperkuat pendapat tersebut. Penelitian ini menyebutkan bahwa dukungan sosial berkorelasi positif dengan proactive

coping dan berkorelasi negatif dengan depresi dan gangguan pada peran.

Hal lainnya yang juga memengaruhi proactive coping adalah usia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sollar dan Sollarova (2009) diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor proactive coping pada setiap kelompok usia. Skor proactive coping paling tinggiditunjukkan oleh kelompok yang paling tua. Menurut Sollar dan Sollarova (2009) hal ini

(8)

dikarenakan individu-individu dengan usia yang lebih tua berorientasi secara aktif terhadap perbaikan diri dan lingkungan mereka dibandingkan hanya bereaksi terhadap situasi yang terjadi.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.Penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif karena bertujuan untuk melihat menggambarkan secara sistematis mengenai suatu situasi, masalah, program, atau fenomena tertentu (Kumar, 2005).

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah desain penelitian non-eksperimental, artinya variabel dalam penelitian ini (proactive coping) merupakan sesuatu yang tidak dapat peneliti kontrol atau manipulasi secara langsung (Kerlinger & Lee, 2000). Berdasarkan proses pengambilan data yang dilakukan, penelitian ini tergolong kedalam cross-sectional study design karena hanya dilakukan satu kali pengambilan data terhadap masing-masing responden.

Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa aktif di Fakultas Ilmu Keperawatan UI (FIK UI) yang sedang berada pada tahun pertama dan tahun terakhir perkulihan. Jumlah total 150 mahasiswa yang menjadi partisipan dalam penelitian ini dengan pembagian 70 mahasiswa tahun pertama dan 80 mahasiswa tahun terakhir. Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobabilitysampling dengan teknik snowball sampling.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur Proactive Coping

Inventory (PCI) yang dikonstruksi dan dikembangkan oleh Greenglass (2002). Alat ukur ini

sudah dipublikasikan kedalam dunia maya dan dapat diakses melalui internet pada situs http://www.psych.yorku.ca/greenglass.

Penelitian ini menggunakan beberapa metode analisis data dengan tujuan yang berbeda. Metode analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif serta Independent Sampel t-test dan ANOVA (Analysis of Variance). Statistik deskriptif digunakan untuk memperoleh karakteristik subyek penelitian dengan melihat frekuensi dan presentase. Teknik yang digunakan antara lain distribusi frekuensi dan penghitungan rata-rata (Mean). Independent Sampel t-test dan ANOVA (Analysis of Variance)

Independent Sampel t-test digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan rata-rata

(9)

perbedaan rata-rata dua kelompok atau lebih. Untuk menentukan signifikansi dari koefisien t-test dan koefisien anova, dapat dilihat dari batas signifikansinya, yaitu p<0.05 atau p<0.01.

Hasil Penelitian

 Tabel Gambaran Umum Partisipan

Kategori Frekuensi (Persentase)2009 Frekuensi (Persentase)2012

Jenis kelamin Laki-laki 4 (2.7%) 4 (2.7%) Perempuan 76 (50.6%) 66 (44%) Usia <18 0 65(43.3%) >18 80 (53.3%) 5 (3.3%)

Tabel Mean Total N Mean SD Nilai min Nilai maks 150 43.02 4.546 22 55

TabelGambaran Proactive Coping

N Mean SD Std. Erorr

Measurement

2009 80 43.46 3.680 .411

2012 70 42.51 5.351 .640

Berdasarkan tabel Mean total dan tabel gambaran proactive copingdiatas, dapat dilihat gambaran mengenai proactive coping keseluruhan memiliki nilai mean sebesar 43.02, nilai mean pada kelompok mahasiswa tahun terakhir sebesar 43.46, dan nilai mean pada kelompok mahasiswa tahun pertama perkuliahan sebesar 42.51. Mengacu pada nilai mean kelompok mahasiswa tahun akhir perkuliahan, terdapat 37 mahasiswa yang memiliki skor total dibawah nilai mean dan 43 mahasiswa yang memiliki skor diatas nilai mean. Sedangkan pada mahasiswa tahun pertama, terdapat 29 mahasiswa yang memiliki skor total dibawah nilai mean dan 41 mahasiswa yang memiliki skor total diatas nilai mean kelompok. Dan jika mengacu pada mean keseluruhan, terdapat 43 mahasiswa tahun akhir dan 34 mahasiswa tahun pertama perkuliahan

(10)

yang memiliki skor total diatas mean, serta 37 mahasiswa tingkat akhir dan 36 mahasiswa tahun pertama perkuliahan yang memiliki skor total dibawah mean. Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai mean mahasiswa pada tahun terakhir lebih besar daripada nilai mean mahasiswa tahun pertama perkuliahan.

Tabel Hasil Uji t test untuk skor total proactive coping T Sig. (2-tailed) Mean difference

1.277 .204 .948

1.247 .215 .948

Berdasarkan perhitungan t-test dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan proactive

coping yang signifikan antara mahasiswa FIK UI tahun terakhir dengan tahun pertama

perkuliahan. Namun demikian, terdapat perbedaan yang signifikan pada skor proactive coping jika dikelompokkan kedalam dua kelompok usia seperti pada tabel berikut:

Tabel Gambaran Proactive Coping berdasarkan Usia N Mean SD Std. Erorr Measurement Usia <18 tahun >18 tahun .652 .413 65 42.12 5,254 85 43.71 3.810

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa kelompok usia >18 tahun memiliki nilai mean lebih tinggi daripada kelompok usia <18 tahun, yaitu sebesar 43.71. Sedangkan kelompok usia <18 tahun memiliki nilai mean sebesar 42.12.

Tabel Hasil Uji t test untuk skor total proactive coping dibedakan berdasarkan usia T Sig. (2-tailed) Mean difference

-2.138 .034 -1.583

-2.051 .043 -1.583

Berdasarkan perhitungan t-test yang membandingkan mean kedua kelompok mahasiswa berdasarkan usia, didapatkan tingkat signifikansi 0.05 nilai sig. (2 tailed) sebesar 0.034. Angka ini (sig. 2 tailed = 0.034) menunjukkan bahwa p<0.05, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat proactive coping yang signifikan antara mahasiswa FIK UI yang berusia <18 tahun dengan yang berusia >18 tahun. Pemilihan usia delapan belas sebagai batasan pengelompokkan usia dikarenakan dalam rentang usia 16 – 23 tahun, usia delapan belas tahun

(11)

merupakan batasan perubahan masa perkembangan. Lebih tepatnya mahasiswa <18 tahun masih berada dalam tahapan perkembangan remaja, sedangkan mahasiswa >18 tahun berada dalam tahapan perkembangan dewasa muda (Hurlock, 1980).

Tabel Gambaran Proactive Coping berdasarkan tahun perkuliahan dan kepemilikan dukungan sosial

N Mean SD Nilai min Nilai maks

2009 tidak punya teman curhat 5 45.40 3.578 42 50

punya teman curhat 75 43.33 3.674 33 52

2012 tidak punya teman curhat 5 37.80 5.495 32 45

punya teman curhat 65 42.88 5.207 22 55

Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa mahasiswa tahun terakhir yang tidak memiliki teman curhat merupakan kelompok subyek yang memiliki mean skor proactive coping paling tinggi yaitu sebesar 45.40. Sedangkan kelompok mahasiswa tahun pertama yang tidak memiliki teman curhat merupakan kelompok subyek yang memiliki mean skor paling rendah, yaitu sebesar 37.80.

 Tabel Nilai Signifikansi Perbedaan Mean Kelompok Berdasarkan Tahun Perkuliahan dan kepemilikan dukungan sosial.

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 173.258 3 57.753 2.902 0.037

Within Groups 2905.682 146 19.902

Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa nilai perbedaan antara mean proactive coping kelompok subyek yang dibagi berdasarkan kepemilikan dukungan sosial menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.037 (p<0.05) yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir perkuliahan jika dilihat dari perbedaan kepemilikan dukungan sosial. Untuk melihat perbedaan kelompok mana yang bernilai signifikan, peneliti

(12)

melakukan analisis dengan menggunakan teknik post hoc Tukey dan R-E-G-W-Q. Dari analisis ini, peneliti melihat bahwa perbedaan yang paling signifikan terdapat pada kelompok mahasiswa tahun terakhir yang tidak memiliki teman curhat dengan kelompok mahasiswa tahun pertama yang tidak memiliki teman curhat. Perbedaan mean kedua kelompok ini adalah sebesar 7.600. setelah dianalisis dengan ANOVA, perbedaan ini bernilai 0.039. ini berarti perbedaan tahun perkuliahan dan kepemilikan dukungan sosial memengaruhi proactive coping.

Tabel Gambaran Proactive Coping berdasarkan tahun perkuliahan dan jenis kelamin N Mean SD Nilai min Nilai maks

2009 Perempuan 76 43.50 3.729 33 52

Laki-laki 4 42.75 2.872 39 45

2012 Perempuan 66 42.74 4.849 32 55

Laki-laki 4 38.75 11.354 22 47

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa kelompok mahasiswi tahun terakhir perkuliahan merupakan kelompok subyek yang memiliki mean skor paling tinggi, yaitu sebesar 43.50. sedangkan kelompok mahasiswa tahun pertama perkuliahan merupakan kelompok dengan mean skor paling rendah, yaitu sebesar 38.75.

Tabel Nilai Signifikansi Perbedaan Mean Kelompok Berdasarkan Tahun Perkuliahan dan Jenis Kelamin.

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 95.819 3 31.940 1.563 0.201

Within Groups 2983.121 146 20.432

Dari tabel diatas, dapat terlihat bahwa nilai perbedaan antara mean proactive coping kelompok subyek yang dibagi berdasarkan jenis kelamin menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.201 (p>0.05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir perkuliahan jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin.

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkatan proactive coping pada mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI). Lebih dari 50% mayoritas mahasiswa yang menjadi partisipan penelitian memiliki skor diatas rata-rata keseluruhan dan kelompok. Hal ini

(13)

menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa FIK UI tahun pertama dan terakhir perkuliahan memiliki tingkat proactive coping yang cukup tinggi.

Skor tingkat proactive coping yang sama-sama tinggi pada kedua kelompok ini sangat mungkin disebabkan karena mayoritas mereka memiliki dukungan sosial yang baik. Greenglass (2002) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat membantu individu untuk menerapkan strategi

proactive coping. Dukungan sosial yang diperoleh mahasiswa yang menjadi partisipan penelitian

ini memang hanya dilihat dari kepemilikan teman dekat atau tidak. Namun ternyata dukungan sosial yang mereka dapatkan tidak hanya dari berasal dari teman dekat, tetapi juga berasal dari grup-grup kecil yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini terbukti dari apa yang peneliti lihat dan dengar ketika proses pengambilan data berlangsung. Mereka sedang melakukan diskusi dan berbagi cerita serta perasaan yang meliputinya baik di ruang kelas maupun di ruang-ruang diskusi yang tersedia. Kenyataan tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian berikutnya agar lebih spesifik dalam menentukan variabel dukungan sosial atau memvariasikan bentuk dukungan sosial yang mungkin ada.

Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut juga dapat disebabkan oleh ketiadaan enam subskala selain subskala proactive coping dalam penelitian ini. Sekalipun penggunaan subskala proactive coping dalam penelitian ini diperbolehkan oleh Greenglass selaku pembuat alat ukur Proactive Coping Inventory, namun keberadaan enam subskala lain boleh jadi memiliki pengaruh pada skor total dari alat ukur ini.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor total yang signifikan pada mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir perkuliahan jika dibagi berdasarkan jenis kelamin. Terlepas dari jumlah partisipan yang berbeda jauh antara partisipan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, pada penelitian-penelitian sebelumnya, skor pada skala proactive

coping memang tidak berbeda secara signifikan jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin. Skor

yang berbeda secara signifikan jika dibandingkan antara jenis kelamin hanya tampak pada skala

instrumental support seeking dengan p= 0.002 (p<0.05) (Sollar & Sollarova, 2009).

Hasil penelitian yang melihat nilai proactive coping berdasarkan kelompok usia, menunjukkan perbedaan nilai proactive coping yang signifikan. Nilai proactive coping pada mahasiswa berusia <18 tahun berbeda secara signifikan dengan nilai proactive coping pada mahasiswa berusia >18 tahun dan signifikan dengan p= 0.034 (p<0.05). Hasil penelitian ini turut

(14)

mendukung hasil penelitian sebelumnya oleh Sollar & Sollarova (2009) yang menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia maka individu semakin mengembangkan serta melakukan perbaikan pada diri sendiri dan kemudian menerapkan strategi proactive coping.

Kesimpulan

Dari hasil paparan penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkatan proactive coping pada mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI). Terdapat perbedaanproactive coping yang signifikan antara mahasiswa FIK UI yang berusia <18 tahun dengan yang berusia >18 tahun, dimana kelompok usia >18 tahun memiliki tingkat proactive coping yang lebih tinggi. Jenis kelamin tidak memengaruhi tingkatan proactive copingsedangkan kepemilikan dukungan sosial memengaruhi tingkatan proactive coping pada mahasiswa tahun pertama dan tahun terakhir FIK UI.

Saran

Dalam penelitian selanjutnya, seluruh skala dari proactive coping sebaiknya digunakan sehingga dapat diperoleh data yang lebih komprehensif. Disamping itu, pengukuran variabel dukungan sosial yang memengaruhi proactive coping perlu dilakukan secara lebih teliti. Variabel lain yang dapat diteliti adalah prestasi akademik dan sumber stres yang sedang dihadapi.

Kepustakaan

Aspinwall, L. G., & Taylor, S. E. (1997). A Stitch in Time: Self-Regulation and Proactive Coping.

Psychological Bulletin, 121:3, 417-436.

Castledine. (2009). Defining Nursing. 3-12.

Gan, Y., Hu, Y., & Zhang, Y. (2010). Proactive and Preventive Coping in Adjustment to College.

The Psychological Record, 60, 643-658.

(15)

Greenglass, E. R. (2002). Proactive Coping. Beyond coping: Meeting Goals, visions, and

challenges, 37-62.

Greenglass, E. R., Fiksenbaum, L., & Eaton, J. (2006). The Relationship Between Coping, Social Support, Functional Disability and Depression in the Elderly. Anxiety, Stress, and Coping, 19:1, 15-31.

Greenglass, E. R. & Fiksenbaum, L. (2009). Proactive coping, Positive Affect, and Well-Being.

European Psychologist, 14:1, 29-39.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Terj. Dra. Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.

Kerlinger, F. L. (2000). Foundations of Behavioral Research. California: Hartcourt College Publishers.

Kumar, R. (2005). Research Methodology. London: SAGE Publications Ltd.

Lazarus, R. S. & Folkman, S. (1984). Stress Apraisal and Coping. New York: Springer.

Lazarus, R.S. (1993). Coping Theory and Research: Past, Present, and Future. Psychosomatic

Medicine, 55, 234-247.

Mirowsky, J. & Ross, C. E. (2003). Social causes of psychological distress. New York: Aldine de Gruyter.

Simbolon, D., Mardalena, I., & Ernawati. (2007). Sumber Stres dan Mekanisme Koping Mahasiswa D III Keperawatan di Propinsi Bengkulu Menghadapi Praktik Klinik Keperawatan. Media Informasi Kesehatan, 4, 173-183.

Sollar, T. & Sollarove, E. (2009). Proactive Coping from the Perspective of Age, Gender, and Education. Studia Psychologica, 51, 2-3.

Stallman, H. M. (2008). Prevalence of Psychological Distress in University Students Implications for Service Delivery. Australian Family Physician, 37, 673-677.

Utama, B. (2010). Kesehatan Mental dan Masalah-Masalah Pada Mahasiswa S1 Universitas

(16)

Wen, C. K. (2010). A Study of Stress Among College Students in Taiwan. Journal of Academic

and Business Ethics, 1-8.

Referensi

Dokumen terkait

pengetahuan komunitas tersebut yang terkait dengan kesehatan.. seperti tv, radio, Koran atau

Penggunaan istilah hujatan yang unik tersebut terkadang tidak bisa dipahami secara literal, diperlukan analisa kontekstual dan interpretasi sosial untuk itu. Peneliti menggunakan

waktu ± 6 bulan ke depan. ฀aya tidak mempermasalahkan bila berat badan meningkat ketika saya memutuskan untuk berhenti merokok.. SS S

Selanjutnya dari praktik baik ( best practice ) tersebut dikembangkan draf model implementasi kebijakan sistem pelayanan perijinan terpadu satu loket yang efektif yang

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini dilakukan untuk (1) menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan

Menyatakan bahwa Tesis dengan judul : "PENGARUH MODAL, HUTANG DAN EFISIENSI OPERASIONAL TERHADAP NILAI PERUSAHAAN MELALUI PROFITABILITAS PADA BANK-BANK YANG TERDAFTAR DI BURSA

Salah satu cara untuk menentukan ukuran dan jumlah plot sampel adalah dengan menggunakan Area kurve spesies, yang pada prinsipnya mengikuti prosedur sbb:..