• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SENAM OTAK DENGAN FUNGSI KOGNITIF LANSIA DEMENSIA DI PANTI WREDHA DARMA BAKTI KASIH SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SENAM OTAK DENGAN FUNGSI KOGNITIF LANSIA DEMENSIA DI PANTI WREDHA DARMA BAKTI KASIH SURAKARTA"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai Gelar Sarjana Keperawatan”

Oleh :

Rochmad Agus Setiawan NIM S10040

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

STIKES KUSUMA HUSADA

SURAKARTA

2014

(2)
(3)
(4)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi yang berjudul “ PENGARUH SENAM OTAK DENGAN FUNGSI

KOGNITIF LANSIA DEMENSIA DI PANTI WREDHA DHARMA BHAKTI KASIH SURAKARTA”. Skripsi ini disusun dengan maksud untuk

memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat kelulusan STIKes Kusuma Husada Surakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, Proposal Skripsi ini tidak diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi selanjutnya. Ucapan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada yang terhormat :

1. Ayah dan Ibuku tercinta, terima kasih atas do’a dan dukungan yang senantiasa engkau berikan untuk keberhasilanku, serta segala kesabaranmu dalam mendidik dan membesarkanku selama ini. Kuhadiahkan kelulusan ini padamu, meski tak sebanding dengan pengorbananmu selama ini.

2. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta.

(5)

Utama yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan kepada penulis.

5. Bapak Ari Setiyajati S.Kep.,Ns, Selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan kepada penulis.

6. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes. yang telah menguji dengan sabar dan memberi arahan kepada penulis.

7. Teman-teman mahasiswa Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta,dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu- persatu, yang telah memberikan dukungan moral dan spiritual.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis membuka kritik dan saran demi kemajuan penelitian selanjutnya. Semoga Proposal Skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb Surakarta, 19 Juni 2014 Penulis (RochmadAgusSetiawan) NIM. S10040 v

(6)

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

SURAT PERNYATAAN iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR GRAFIK DAN BAGAN xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

ABSTRAK xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang 1 1.2 RumusanMasalah 5 1.3 TujuanPenelitian 5 1.3.1 TujuanUmum 5 1.3.2 TujuanKhusus 5 1.4 ManfaatPenelitian 5 vi

(7)

2.1 Tinjauan Teori ... 8

2.1.1 Lanjut Usia ... 8

1. Definisi Lansia ... 8

2. Klasifikasi Lansia... 8

3. Tipe Lansia ... 9

4. Perubahan Proses Menua... 10

2.1.2 Demensia ... 12 1. Definisi Demensia ... 12 2. Klasifikasi Demensia ... 13 3. Penyebab Demensia ... 13 4. Stadium Demensia ... 14 5. Pemeriksaan Demensia ... 15 2.1.3 Kognitif ... 16 1. Definisi Kognitif ... 16 2. Fungsi Kognitif ... 16

3. Instrumen Pengukuran Kognitif ... 17

2.1.4 Senam otak ... 18

1. Definisi Senam otak ... 18

2. Manfaat Senam otak ... 19

3. Pelaksanaan Gerakan Senam otak ... 20

4. Contoh Gerakan Senam otak ... 20

2.2 Kerangka Teori ... 24

2.3 Kerangka Konsep ... 25

2.4 Hipotesis Penelitian ... 25

(8)

3.2.1 Populasi 26

3.2.2 Sampel 26

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3.4 Variabel, Definisi, dan Skala Pengukuran ... 27

3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ... 29

3.5.1 Alat Instrumen ... 29

3.5.2 Cara Pengumpulan Data ... 30

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data ... 31

3.6.1 Teknik Pengolahan Data ... 32

3.6.2 Analisa Data ... 33

3.7 Etika Penelitian... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Responden... ... 36

4.1.1 Jenis Kelamin... ... 36

4.1.2 Usia ... 37

4.1.3 Pendidikan ... 37

5.2 Analisis Univariat... ... 38

4.2.1 Fungsi Kognitif Sebelum Diberikan Senam Otak ... 38

4.2.2 Fungsi Kognitif Sesudah Diberikan Senam Otak ... 38

5.3 Analisis Bivariat ...39 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Usia... ... 41 5.1.2 Jenis Kelamin... ... 42 5.1.3 Pendidikan... ... 43 viii

(9)

5.3 Analisis Bivariat... 46 6.1 Simpulan... ... 49 6.2 Saran... ... 50 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

(10)

Tabel 1.2 Keaslian Penelitian ...6

Tabel 2.1 Variabel, Definisi Operasional dan Skala pengukuran...27

Tabel 4.1 Jenis Responden...36

Tabel 4.2 Usia...37

Tabel 4.3 Pendidikan...37

Tabel 4.4 Fungsi Kognitif Sebelum Senam Otak...38

Tabel 4.5 Fungsi Kognitif Sesudah Senam Otak...38

Tabel 4.6 Uji Normalitas Shapiro-wilk...39

Tabel 4.7 Uji Paired Sample t-test...40

(11)

GAMBAR 2.1 : Senam Otak Coretan Ganda... 21

GAMBAR 2.2 : Senam Otak Burung Hantu... 22

GAMBAR 2.3 : Senam Otak Pasang Telinga... 23

(12)

BAGAN 2 : Kerangka Konsep ...25

(13)

Lampiran 1 : F.01 Usulan Topik Penelitian Lampiran 2 : F.02 Pengajuan Judul Skripsi Lampiran 3 : F.03 Pergantian Judul Skipsi Lampiran 4 : F.04 Pengajuan Studi Pendahuluan Lampiran 5 : F.05 Lembar Oponen Sidang Proposal

Lampiran 6 : F.06 Lembar Audience Ujian Sidang Proposal Lampiran 7 : Surat Studi Pendahuluan

Lampiran 8 : Surat Balasan Studi Pendahulun Lampiran 9 : Jadwal Penelitian

Lampiran 10 : Surat Ijin Penelitian

Lampiran 11 : Surat Balasan Ijin Penelitian

Lampiran 12 : Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 13 : Lembar Konsultasi Skripsi

Lampiran 14 : Data Demografi Partisipan

Lampiran 15 : Lembar Kuesioner Nilai Skor Mental State Examination Lampiran 16 : Data Karakteristik Responden

Lampiran 17 : Hasil Uji SPSS Lampiran 18 : Penjelasan Penelitian Lampiran 19 : SOP Senam Otak Lampiran 20 : Dokumentasi Penelitian

(14)

Rochmad Agus Setiawan

Pengaruh Senam Otak Dengan fungsi Kognitif Lansia Demensia

Abstrak

Demensia merupakan sindroma klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Senam otak adalah metode gerak aktif dan latih otak untuk mengaktifkan dua belah otak dan memadukan fungsi semua bagian otak sehingga dapat meningkatkan fungsi kognitif.

Desain penelitian ini adalah quasy experiment dengan pre and post test

without controldengan tehnik total sampling.Sample dalam penelitian ini adalah

lansia yang berada di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta sebanyak 15 orang. Alat pengumpulan data yangdigunakan kuesioner Mini Mental Status

Examination.

Analisis uji statistik ini menggunakanPaired sample t test. Hasil penelitian ini menunjukkan t hitung (8,500) > t table (6,714) dan p value0,000 < 0,05 sehingga Ho ditolak artinya ada pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia.

Senam otak efektif untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia demensia. Diharapkan lansia dapat melakukan senam otak secara teratur.

Kata Kunci : Senam otak, Lansia, Fungsi Kognitif, Demensia Daftar Pustaka :45 (2003-2013)

(15)

Rochmad Agus Setiawan

THE EFFECT OF BRAIN GYMNASTICS ON COGNITIVE FUNCTION OF THE DEMENTIA ELDERLY

ABSTRACT

Dementia is a clinical syndrome which includes the severe loss of intellectual function and memory so that it causes dysfunctions in their daily life. Brain gymnastics is an active motion method and a brain exercise to activate the two halves of the brain and to integrate all of the functions of the two halves so as to improve the cognitive functions.

The objective of this research is to investigate the effect of brain gymnastics on cognitive function of the dementia elderly.

This research used the quasi experimental research method with the pretest and posttest without control design. The samples of the research were taken by using the total sampling technique. They consisted of the dementia elderly as many as 15 person living in Darma Bakti Kasih Nursing Home of Surakarta. The data of the research were gathered through questionnaire of Mini Mental Status Examination. The data of the research were statistically analyzed by using the paired sample t test.

The result of the research shows that the value of tcount is 0.000, which is

smaller than that of α =0.05 so that Ho is rejected, meaning that there is an effect

of brain gymnastics on cognitive function of the dementia elderly.

Thus, a conclusion is drawn that the brain gymnastics is effective to improve the cognitive function of the dementia elderly. The elderly are expected to carry out the brain gymnastics regularly.

Keywords: Brain gymnastics, elderly, cognitive function, and dementia

References: 45 (2003-2013)

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan (Maryam 2011). Usia permulaan tua menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang lanjut usia menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia tua. (Nugroho 2008). Proses menua dan usia lanjut merupakan proses alami yang dialami setiap orang (Atun 2008). Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak proporsional (Nugroho 2008).

Jumlah penduduk lansia di indonesia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19 juta (8,9%) dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, tahun 2010 sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Badan Pusat Statistika 2010). Jumlah tersebut termasuk terbesar keempat setelah China, India dan Jepang (Badan Pusat Statistik, 2010). Di wilayah Asia Pasifik, jumlah lanjut usia akan meningkat dengan pesat dari 410 juta tahun 2007 menjadi 733 juta pada 2025, dan di perkirakan menjadi 1,3 miliar pada tahun 2050 (Murwani 2011).

(17)

Jumlah penduduk lanjut usia atau yang berusia 60 tahun ke atas di kota yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2005 sebesar 6,13% dengan usia harapan hidup pada laki-laki 66,38 dan untuk perempuan 70,25 sedangkan pada tahun 2007 sebesar 9,2% dengan usia harapan hidup pada laki-laki 67,1 tahun dan untuk perempuan 71,1 tahun (murwani 2011). Data penduduk lanjut usia di Surakarta tercatat jumlah yang berusia 65 tahun keatas sebanyak 23.496 orang (Badan Pusat Statistika Surakarta 2012). Lansia merupakan seseorang yang karena usianya yang lanjut mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatanya. Oleh karena itu, kesehatan pada lanjut usia perlu mendapat perhatian khusus dengan tetap memberikan motivasi agar lansia dapat hidup secara produktif sesuai dengan kemampuanya (UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 pasal 138).

Meningkatnya populasi lansia akan dapat menimbulkan masalah – masalah penyakit pada usia lanjut. Menurut Departemen Kesehatan tahun 1998, terdapat 7,2 % populasi usia lanjut 60 tahun keatas untuk kasus demensia. Sebanyak 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan akan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45% pada usia diatas 85 tahun (Nugroho, 2008). Demensia merupakan suatu gangguan fungsi daya ingat yang terjadi perlahan – lahan, serta dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan sehari – hari (Atun 2010).

(18)

Demensia di tandai dengan adanya gangguan mengingat jangka pendek dan mempelajari hal – hal baru, gangguan kelancaran berbicara (sulit menyebutkan nama benda dan mencari kata – kata untuk diucapkan), keliru mengenai tempat - waktu – orang atau benda, sulit hitung menghitung, tidak mampu lagi membuat rencana, mengatur kegiatan, mengambil keputusan, dan lain – lain (Sumijatun 2005).

Cara untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia adalah terapi aktifitas kelompok dengan terapi Reminiscene ini memberikan manfaat untuk memelihara identitas individu dan juga dapat meningkatkan fungsi kognitif, karena lansia akan menggunakan masa lalunya untuk mempertahankan pendapatnya dari kritik (Johnson 2005). Cara lain yang dapat digunakan untuk meningkatan fungsi kognitif yaitu brain gym atau senam otak/olahraga. Senam otak tidak saja akan memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak, tetapi juga merangsang kedua belahan otak untuk bekerja (Tammase 2009).

Berdasarkan penelitian dengan judul pengaruh senam otak terhadap peningkatan konsentrasi belajar siswa umur 11-12 tahun terdapat peningkatan konsentrasi belajar pada siswa didapatkan hasil yang signifikan p (= 0,01) (Noviana 2010). Menurut penelitian dengan judul pengaruh senam otak terhadap fungsi memori jangka pendek anak dari keluarga status ekonomi rendah terdapat peningkatan yang bermakna fungsi memori jangka pendek setelah pelaksanaan senam otak 3 kali seminggu selama 2 bulan pada anak dan keluarga status ekonomi rendah (Puji 2009).

(19)

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta terdapat jumlah lansia 52 orang dan yang mengalami demensia berjumlah 15 orang. Hasil wawancara dari 15 orang lansia di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta yang mengalami demensia mengatakan keluhan yang sering dirasakan lansia di panti yaitu sering lupa saat menaruh barang, mudah lupa dengan nama sesama lansia di panti dan sering kebingungan saat di tanya seseorang. Hal yang mendasari tempat penelitian di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta dikarenakan di panti tersebut terdapat paling banyak lansia yang mengalami demensia dari panti yang lain.

Berdasarkan fenomena yang terjadi di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta peneliti ingin mengambil judul yaitu pengaruh senam otak (brain

gym) dengan fungsi kognitif lansia demensia. 1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat diambil rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif pada lansia demensia.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menggambarkan fungsi kognitif sebelum diberikan senam otak pada lanjut usia yang mengalami demensia.

(20)

2. Untuk menggambarkan fungsi kognitif sesudah diberikan senam otak pada lanjut usia yang mengalami demensia.

3. Untuk mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah diberikan senam otak dengan fungsi kognitif pada lanjut usia yang mengalami demensia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi pra lansia

Hasil penelitian tentang terapi senam otak ini diharapkan dapat digunakan bagi pra lansia yang belum mengalami demensia serta mencegah terjadinya tingkat demensia yang lebih berat.

1.4.2 Manfaat bagi Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta:

Hasil penelitian ini diharapkan untuk memberikan informasi dan masukan secara obyektif mengenai penanganan pada lansia yang mengalami demensia untuk mengoptimalkan fungsi kognitif dengan senam otak (brain gym).

1.4.3 Manfaat bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya mengembangkan program dalam rangka meningkatkan kesehatan lansia dengan senam otak sebagai salah satu cara untuk mengoptimalkan fungsi kognitif pada lansia.

1.4.4 Manfaat bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dalam penelitian selanjutnya serta tindakan lain seperti terapi kognitif

(21)

untuk mengoptimalkan fungsi kognitif pada usia lanjut dengan demensia.

1.4.5 Manfaat bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti sendiri dalam melaksanakan penelitian tentang demensia pada lansia khususnya dalam mengoptimalkan fungsi kognitif dengan senam otak (brain gym).

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan peneliti melalui penelusuran jurnal, peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu tentang pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta. Namun demikian, beberapa penelitian yang hampir serupa pernah dilakukan, seperti berikut ini:

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Nama Peneliti Judul

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Lisnaini 2012 “Senam vitalitas otak dapat meningkatkan fungsi kognitif usia dewasa muda” Desain penelitian adalah Quasy exsperiment group designs dengan rancangan post test group Fungsi kognisi menunjukkan rerata sebelum senam 9,15 (±1,7) dan rerata setelah senam 15,85 (±1,13). Terdapat peningkatan 6,7 nilai digit span setelah senam vitalitas otak (p 0,05). Senam vitalitas otak dapat

(22)

designs. meningkatan fungsi kognitif pada usia muda. Festi 2010 ”Pengaruh brain gym terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia di karang werdha peneleh Surabaya” Desain penelitian ini adalah quasy experiment dengan teknik Random sampling.

Ada pengaruh brain gym terhadap fungsi kognitif lansia Hasil tabulasi kemudian diuji dengan uji statistic McNemar dan Chi-Square dengan taraf signifikansi (α) = 0.05 dengan hasil P = 0.016 pada uji McNemar dan pada uji Chi Square dengan hasil P = 0,03.. Anton surya prasetya 2010 “Pengaruh terapi kognitif dan senam latih otak terhadap tingkat depresi dengan harga diri rendah pada klien lansia di panti tresna wredha bakti yuswa natar lampung”. Metode penelitian yang digunakan yaitu quasy experiment, desain pre-post test design with control group.

Hasil penelitian ini didapatkan tingkat depresi menurun lebih bermakna pada kelompok intervensi yang mendapatkan terapi kognitif dan senam otak dibanding kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi kognitif yaitu selisih 1,18 poin (p value < 0,005).

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan teori 2.1.1. Lansia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) adalah 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho 2008). Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4), UU No. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usioa lebih dari 60 tahun (Maryam 2011). Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Nugroho 2008).

2.1.1.1 Klasifikasi Lansia

Klasifikasi lansia dibagi menjadi 5 yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, lansia potensial. Pralansia (prasenelis) adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. Lansia yaitu

(24)

seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih untuk Lansia Resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan bermasalah dengan kesehatan seperti menderita rematik, demensia, mengalami kelemahan dan lain-lain, lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Darmojo 2009).

Batasan-batasan lanjut usia menurut WHO, dikelompokkan menjadi 4 meliputi usia pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly),antara 60-70 tahun, usia lanjut tua (old),antara 70-75 tahun, usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun (Maryam 2008).

2.1.1.2 Tipe-Tipe Lansia

Tipe lansia dibagi menjadi 5 tipe yaitu tipe arif bijaksana, tipe mandiri, tipe tidak puas, tipe pasrah dan tipe bingung.

1. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

2. Tipe mandiri, yaitu mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

(25)

3. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut. 4. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik,

mengikuti kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja. 5. Tipe bingung yaitu kaget, kehilangan,kepribadian, mengasingkan

diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh (Nugroho 2008).

2.1.1.3 Perubahan proses menua

Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas organ-organya makin besar. Penurunan anatomik dan fungsi organ tersebut tidak dikaitkan sengan umur kronologik akan tetapi sengan umur biologiknya (Darmojo 2009). Perubahan ini terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial, dan psikologis (Maryam 2008). 1. Perubahan fisik

Perubahan fisik yang dapat di temukan pada lansia ada berbagai macam yang antara lain :

a. Kardiovaskuler : kemampuan memompa darah menurun, elastis pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

(26)

b. Respirasi : elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, dan terjadi penyempitan bronkus.

c. Persyarafan : saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stres.

d. Muskuloskeletal : cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendiaan membesar dan menjadi kaku.

e. Gastroientestinal : esofagus membesar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltik menurun.

f. Vesika urinaria : otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urine.

g.Kulit : keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban), dan kalenjar keringat menurun (Nugrho 2011).

2. Perubahan sosial

Perubahan fisik yang dialami lansia seperti berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya menyebabkan gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia, misalnya badanya membungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur sehingga sering menimbulkan keterasingan. Keterasingan ini akan

(27)

menyebabkan lansia semakin depresi, lansia akan menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain (Darmojo 2009).

3. Perubahan psikologis

Pada lansia pada umumnya juga akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia semakin lambat. Sementara fungsi psikomotorik meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi menurun, yang berakibat lansia menjadi kurang cekatan (Nugroho 2011).

2.1.2 Demensia

2.1.2.1 Pengertian

Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya sehingga menggangu aktivitas sehari-hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori/daya ingat atau pelupa (Nugroho,2008). Demensia atau pikun adalah penurunan fungsi intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan akibat menurunya fungsi bagian luar jaringan otak, sehingga memengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari seperti menurunya kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan

(28)

sehari-hari, kemampuan dalam berkomunikasi dan berbahasa, serta dalam pengendalian emosi ( Atun 2010). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan demensia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kognitif yang diawali dengan kemunduran daya ingat sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari.

2.1.2.2 Klasifikasi demensia

Demensia terbagi atas 2 dimensi menurut umur dan menurut level kortikal. Demensia menurut umur terbagi atas, Demensia senilis lansia yang berumur > 65 tahun dan demensia presenilis lansia yang berumur < 65 tahun. Sedangkan demensia menurut level kortikal terbagi atas, Demensia kortikal terjadi karena adanya gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia sedangkan demensia subkortikal terjadi gangguan yaitu apatis,

forgetful, lamban, adanya gangguan gerak (Sjahrir 2004). 2.1.2.3 Penyebab demensia

Beberapa penyebab demensia antara lain adanya tumor pada jaringan otak atau metastasis tumor dari luar jaringan otak, mengalami trauma atau benturan yang mengakibatkan perdarahan dan terjadinya infeksi kronis kelainan jantung dan pembuluh darah. Demensia juga disebabkan oleh kelainan kongenital seperti penyakit Huntington, dan penyakit Metachromatic leukodystrophy (kelainan dari bagian putih jaringan otak) (Atun 2010).

(29)

2.1.2.4 Stadium Demensia

Stadium demensia di bagi menjadi 3 yaitu stadium awal, stadium menengah, stadium akhir.

1. Stadium awal

Gejala stadium awal yang dialami lansia menunjukan gejala sebagai yaitu kesulitan dalam berbahasa dan komunikasi mengalami kemunduran daya ingat serta disorientasi waktu dan tempat.

2. Stadium menengah

Pada stadium menengah, demensia ditandai dengan mulai mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan menunjukan gejala seperti mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan nama orang. Tanda lainnya adalah sangat bergantung dengan orang lain dalam melakukan sesuatu misalnya ke toilet, mandi dan berpakaian.

3. Stadium lanjut

Pada stadium lanjut, lansia mengalami ketidakmandirian dan in aktif yang total serta tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal). Lansia juga sukar memahami dan menilai peristiwayang telah dialaminya (Nugroho 2008).

(30)

2.1.2.5 Pemeriksaan demensia.

Untuk pemeriksaan pada lansia yang mengalami dimensia dibagi atas pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain :

1. Riwayat medik umum

Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada lansia demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.

2. Riwayat neurologi umum

Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.

3. Riwayat neurobehavioral

Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Hal ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian,

(31)

mengurus uang dan membuat keputusan. (Asosiasi Alzheimer Indonesia 2003).

2.1.3 Kognitif

2.1.3.1 Pengertian

Kognitif merupakan istilah ilmiah untuk proses berpikir. Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu (Ramdhani 2008). Kognitif merupakan kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berfikir dan memperoleh pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami, menilai, membayangkan dan berbahasa (Johnson 2005). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pengertian dari kognitif yaitu proses berfikir seseorang untuk memperoleh pengetahuan dengan cara mengingat, memahami, menilai sesuatu.

2.1.3.2 Fungsi kognitif

Pada lanjut usia selain mengalami kemunduran fisik juga sering mengalami kemunduran fungsi intelektual termasuk fungsi kognitif. Kemunduran fungsi kognitif dapat berupa mudah lupa (forgetfulness) bentuk gangguan kognitif yang paling ringan diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia yang berusia 50-59 tahun, meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80

(32)

tahun.. Mudah lupa ini bisa berlanjut menjadi gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat.

2.1.3.3 Instrumen pengukuran fungsi kognitif Mini Mental Status Examination (MMSE)

Mini Mental Status Examination merupakan pemeriksaan

status mental singkat dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif. Mini Mental

Status Examination menjadi suatu metode pemeriksaan status

mental yang digunakan paling banyak di dunia. Tes ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan telah digunakan sebagai instrumen skrining kognitif primer pada beberapa studi epidemiologi skala besar demensia (Zulsita 2010).

Mini Mental Status Examination (MMSE) merupakan suatu

skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi 7 kategori terdiri dari orientasi terhadap tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah

(33)

diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda, mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar) (Asosiasi Alzheimer Indonesia 2003).

Skor Mini Mental Status Examination (MMSE) diberikan berdasarkan jumlah item yang benar sempurna; skor yang makin rendah mengindikasikan gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara 0-30, untuk skor 27-30 menggambarkan kemampuan kognitif sempurna. Skor MMSE 22-26 dicurigai mempunyai kerusakan fungsi kognitif ringan. Selanjutnya untuk skor MMSE ≤ 21 terdapat kerusakan aspek fungsi kognitif berat dan nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia 2003).

2.1.4 Senam otak 2.1.4.1 Pengertian

Senam otak dikenal di Amerika, dengan tokoh yang menemukannya yaitu Paul E. Denisson seorang ahli pelopor dalam penerapan penelitian otak, bersama istrinya Gail E. Denisson seorang mantan penari. Senam otak atau brain gym adalah serangkaian latihan berbasis gerakan tubuh sederhana. Gerakan itu dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan (dimensi lateralitas), meringankan atau merelaksasi belakang otak dan bagian depan

(34)

otak (dimensi pemfokusan), merangsang sistem yang terkait dengan perasaan/emosional , yakni otak tengah (limbik) serta otak besar (dimensi pemusatan) (Denisson 2009).

2.1.4.2 Manfaat senam otak

Senam otak atau brain gym dapat memberikan manfaat yaitu stress emosional berkurang dan pikiran lebih jernih, hubungan antar manusia dan suasana belajar/kerja lebih rileks dan senang (Hocking 2007). Manfaat lain dari senam otak (brain gym) yaitu kemampuan berbahasa dan daya ingat meningkat, orang menjadi lebih bersemangat, lebih kreatif dan efisien, orang merasa lebih sehat karena stress berkurang dan prestasi belajar dan bekerja meningkat (Denisson 2009).

Otak sebagai pusat kegiatan tubuh akan mengaktifkan seluruh organ dan sistem tubuh melalui pesan-pesan yang disampaikan melewati serabut saraf secara sadar maupun tidak sadar. Pada umumnya otak bagian kiri bertanggung jawab untuk pergerakan bagian kanan tubuh dan sebaliknya. Akan tetapi, otak manusia juga spesifik tugasnya, untuk aplikasi gerakan senam otak dipakai istilah dimensi lateralis untuk belahan otak kiri dan kanan, dimensi pemfokusan untuk bagian belakang otak (batang otak dan

brain stem) dan bagian otak depan (frontal lobus), serta dimensi

pemusatan untuk sistem limbik (midbrain) dan otak besar (cerebral

(35)

2.1.4.3 Pelaksanaan gerakan senam otak

Pelaksanaan senam otak juga sangat praktis, karena bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Porsi latihan yang tepat adalah sekitar 10-15 menit, sebanyak 2-3 kali dalam sehari (Andri 2013). Senam otak ini melatih otak bekerja dengan melakukan gerakan pembaruan (repatteing) dan aktivitas

brain gym. Latihan ini membuka bagian-bagian otak yang

sebelumnya tertutup atau terhambat. Disamping itu, senam otak tidak hanya memperlancar aliran darah dan oksigen keotak juga merangsang kedua belah otak untuk bekerja sehingga didapat keseimbangan aktivitas kedua belahan otak secara bersamaan (Denisson 2009).

2.1.4.4 Gambar Senam Otak

1. Lateralitas (sisi)

Cara melakukan gerakan : Menggambar dengan kedua tangan pada saat yang sama, ke dalam, ke luar, ke atas dan ke bawah. Coretan ganda dalam bentuk nyata seperti : lingkaran, segitiga, bintang, hati, dsb. Lakukan dengan kedua tangan. Fungsi :

a. Kesadaran akan kiri dan kanan.

b. Memperbaiki penglihatan perifer

c. Kesadaran akan tubuh, koordinasi, serta keterampilan khusus tangan

(36)

dan mata.

d. Memperbaiki kemampuan olahraga dan keterampilan gerakan.

Gambar 2.1 Coretan ganda (Double doodle) ( Denisson 2009).

Otak kita terdiri dari dua bagian, masing-masing belahan otak mempunyai tugas tertentu. Secara garis besar, otak bagian kiri berpikir logis dan rasional, menganalisa, bicara, berorientasi pada waktu dan hal-hal terinci. Otak bagian kanan intuitif, merasakan, musik, menari, kreatif, melihat keseluruhan dan ekspresi badan. Otak belahan kiri mengatur badan bagian kanan, mata dan telinga kanan. Otak belahan kanan mengontrol badan bagian kiri, mata dan telinga kiri. Dua belahan otak disambung dengan corpus callosum yaitu simpul saraf kompleks dimana terjadi transmisi informasi antara kedua belahan otak (Denisson 2009).

(37)

2. Fokus

Gerakan Cara melakukan gerakan dan Fungsinya

Cara melakukan gerakan : Urutlah otot bahu kiri dan kanan. Tarik napas saat kepala berada di posisi tengah, kemudian embuskan napas ke samping atau ke otot yang tegang sambil relaks. Ulangi gerakan dengan tangan kiri.

Fungsi :

a. Melepaskan ketegangan tengkuk dan bahu yang timbul karena stress. b. Menyeimbangkan otot

leher dan tengkuk (Mengurangi sikap tubuh yang terlalu condong ke depan)

c. Menegakkan kepala (Membantu mengurangi kebiasaan memiringkan kepala atau bersandar pada siku

Gambar 2.2 Burung hantu (The Owl) (Denisson 2009). Fokus adalah kemampuan menyeberangi garis tengah partisipasi yang memisahkan bagian belakang dan depan tubuh, dan juga bagaian belakang (occipital) dan depan otak (frontal

lobus). Perkembangan refleks antara otak bagian belakang dan

bagian depan yang mengalami fokus kurang (underfocused) disebut kurang perhatian, kurang mengerti, terlambat bicara, atau hiperaktif. Pada perkembangan refleks antara otak bagian depan

(38)

dan belakang mengalami fokus lebih (overfocused) dan berusaha terlalu keras (Denisson 2009).

3. Pemusatan

Cara melakukan gerakan: Pijit daun telinga pelan-pelan, dari atas sampai ke bawah 3x sampai dengan 5x.

Fungsi :

a. Energi dan nafas lebih baik

b. Otot wajah, lidah dan rahang relaks.

c. Fokus perhatian meningkat

d. Keseimbangan lebih baik

Gambar 2.3 Pasang telinga (The Tinking Cap) (Denisson 2009). Pemusatan adalah kemampuan untuk menyeberangi garis pisah anatara bagian atas dan bawah tubuh dan mengaitkan fungsi dari bagian atas dan bawah otak. Ketidakmampuan untuk mempertahankan pemusatan ditandai dengan ketakutan yang tak beralasan dan ketidakmampuan untuk menyatakan emosi (Denisson 2009).

2.1.4.5 Standar prosedur senam otak

Panduan senam otak yang dipakai di penelitian ini sesuai dengan teori yang telah dikemukakan di atas di buat dalam bentuk SOP dapat dilihat dilampiran 18.

(39)

2.2 Kerangka Teori

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Sumber : Nugroho 2008, Festi 2010, Atun 2010, Denisson 2009 dan Johnson 2005. Perubahan proses menua : 1. Perubahan Fisik 2. Peubahan Sosial 3. Perubahan Psikososial Penyebab Demensia 1. Tumor pada jaringan otak. 2. Trauma atau benturan yang mengakibatkan perdarahan. 3. Infeksi kronis kelainan jantung dan pembuluh darah. Demensia Tingkat Kognitif Management untuk meningkatkan fungsi kognitif : Terapi Kognitif Terapi Reminiscene Terapi Senamotak

(40)

2.3 Kerangka Konsep

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis

Ho : Tidak ada pengaruh terapi senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia

H1 : Ada pengaruh terapi senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia. Fungsi Kognitif pre test Perlakuan Senam otak Fungsi Kognitif post test

(41)

37

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi

eksperiment. Quasi eksperiment adalah penelitian yang menguji coba suatu

intervensi pada sekelompok subjek dengan atau tanpa kelompok pembanding namun tidak dilakukan randomisasi untuk memasukan subjek ke dalam kelompok perlakuan atau kontrol (Dharma 2011).

Desain penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif dengan pre and

post test without control. Pada desain penelitian ini, peneliti hanya

melakukan intervensi pada satu kelompok tanpa pembanding. Efektifitas perlakuan dinilai dengan cara membandingkan nilai post test dengan pre test (Dharma 2011). Adapun skema desain pre and post test without control sebagai berikut:

Keterangan :

R : Responden penelitian

X1 : Pre test sebelum diberikan senam otak X2 : Post test setelah diberikan senam otak

R X1 X2

(42)

3.2 Populasi dan Sample

1. Populasi

Populasi adalah sekelompok subyek yang menjadi sasaran penelitian (Nursalam 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang mengalami demensia berjumlah 15 orang.

2. Sample

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk bisa mewakili populasi (Notoatmojo 2010). Teknik sampling dalam penelitian ini adalah total sampling dimana semua populasi menjadi sampel (Sugiyono 2008). Alasan peneliti mengambil total sampling karena jumlah populasi hanya 15 orang yang memenuhi kriteria yang diinginkan yaitu lansia dengan demensia. Jumlah populasi yang hanya 15 menjadi alasan peneliti mengambil tehnik total sampling agar hasil yang didapatkan lebih signifikan, yang memenuhi kriteria.

Kriteria inklusi :

a. Lansia yang berusia 60 tahun keatas b. Lansia yang mengalami demensia c. Bersedia menjadi responden penelitian

Kriteria eksklusi :

a. Lansia yang mengalami sakit

b. Lansia yang mengalami gangguan penglihatan c. Tidak mengalami penurunan kesadaran.

(43)

3.3 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 Februari sampai dengan 1 Maret 2014.

4.3 Definisi Operasional

Tabel 2.1 Definisi Operasional Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Indikator Penelitian Skala data Skor Independ en senam otak Senam otak atau brain gym adalah serangkaian latihan berbasis gerakan tubuh sederhana untuk merangsang otak kiri dan kanan, meringankan atau merelaksasi belakang otak dan depan otak, merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau - - - -

(44)

emosional. Dependen Fungsi kognitif Kognitif adalah proses berfikir seseorang untuk memperoleh pengetahuan dengan cara mengingat, memahami, menilai, membayangkan dan berbahasa. Kuesioner Mini mental status eximinitat ion (MMSE) sejumlah 11pertany aan. Penilaian Mini mental status eximinitati on (MMSE) Ordinal 1.Normal : 26-30 2.Skor kognitif ringan: 21-25 3.Skor kognitif sedang:2 0-19 4.Skor kogniti f berat:

(45)

0-18

3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

3.5.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Audio visual senam otak, laptop, LCD (liquid crstal display) dan lembar kuesioner Mini mental status eximinitation (MMSE). Pengumpulan data tentang fungsi kognitif terdiri dari 11 pertanyaan dengan butir penilaian berjumlah 30. Setiap butir penilaian jika di jawab benar memiliki nilai 1 dan apabila dijawab salah diberi nilai 0. Fungsi kognitif lansia dikatakan normal apabila nilai yang diperoleh 26-30, jika nilai fungsi kognitif dikatakan ringan nilai yang diperoleh 21-25, untuk nilai fungsi kognitif sedang nilai yang diperoleh 20-19 dan nilai fungsi kognitif berat bila nilai yang diperoleh 0-18.

(46)

3.5.2 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas 1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan apakah alat ukur itu mampu mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo 2010). Kuesioner untuk demensia menggunakan MMSE (Mini Mental State Examination) tentang gangguan kognitif yang sudah dibakukan oleh asosiasi alzheimer indonesia oleh POKDI Fungsi Luhur Perdossi (Modifikasi Folstein) sehingga tidak perlu dilakukan uji validitas lagi (Kusumoputro 2004).

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Saryono 2008). Uji reliabilitas dilakukan hanya pada soal yang telah dinyatakan valid. Uji reliabilitas menggunakan alpha Cronbach, dimana instrumen penelitian dinyatakan reliabel bila diperoleh nilai alpha minimal 0,60. Pada penelitian ini kuesioner sudah baku sehingga tidak di uji reliabilitas berarti kuesioner layak untuk digunakan.

3.5.3 Cara Pengumpulan Data

Berdasarkan studi pendahuluan lansia yang berada di panti wredha berjumlah 52 lansia dari krieteria lansia yang telah ditentukan lansia yang mengalami demensia didapatkan berjumlah 15 orang, untuk memastikan lansia tersebut mengalami demensia

(47)

peneliti menggunakan data rekam medik dari diagnosa dokter. Setelah itu peneliti mengajukan surat izin penelitian dari ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta dan kepala Panti Wreda Darma Bakti Kasih Surakarta. Peneliti bekerja sama dengan perawat Panti wreda untuk menghubungi lansia dengan tujuan menjelaskan penelitian yang akan dilakukan yaitu tentang terapi senam otak serta tujuan penelitian, apabila lansia bersedia maka peneliti memberikan lembar persetujuan menjadi responden penelitian untuk ditandatangani serta kontrak waktu untuk melakukan senam otak.

Lansia yang bersedia menjadi responden di lakukan pre test terlebih dahulu dengan diberikan kuesioner Mini Mental Status

Examination untuk menilai fungsi kognitif, dalam kuesioner

tersebut terdapat 11 pertanyaan yang harus dijawab oleh lansia untuk mengetahui skor fungsi kognitif. Setelah dilakukan pre test, selanjutnya peneliti dan perawat memanggil responden untuk berkumpul diaula panti untuk diberikan perlakuan senam otak dengan alat bantu video selama ± 15 menit selama 3 minggu dari tanggal 10 Februari-1Maret 2014. Post test dilakukan 3 hari setelah perlakuan dengan menggunakan pertanyaan dari kuesioner Mini

mental status eximinitation untuk mengetahui fungsi kognitif pada

lansia, dan pada referensi buku tentang senam otak tidak ada yang mendasari ditentukanya senam otak harus dilakukan berapa kali

(48)

hanya saja ada penjelasan yang mengatakan bahwa senam otak dilakukan 2 x sehari selama 10-15 menit.

3.6 Pengolahan Data

Data yang telah di kumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS melalui beberapa tahapan yaitu:

1. Editing

Editing atau mengedit data, dimasukan untuk mengevaluasi

kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian kriteria data yang diperlukan untuk menguji hipotesis atau menjawab tujuan penelitian.

2. Coding

Coding atau mengkode data, merupakan suatu metode untuk

mengobservasi data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam symbol yang cocok untuk keperluan analisis terhadap hasil observasi yang dilakukan. Dalam penelitian ini coding dilakukan dengan menggunakan angka 1,2,3, dan seterusnya.

3. Entry data

Entry data merupakan proses memasukkan data yaitu jawaban

dari masing-masing responden dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau software komputer.

4. Tabulating

Tabulating merupakan proses mengklasifikasikan data menurut

(49)

5. Cleaning

Setelah semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan data (data cleaning) ( Sugiyono 2008).

3.7 Analisis Data

Analisa data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian. Untuk alasan tersebut dipergunakan uji statistik yang cocok dengan variabel penelitian, data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan teknik statistik kuantitatif .

3.7.3 Analisis univariat

Analisis univariat adalah analisa data yang diperoleh dari hasil pengumpulan serta disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik (Saryono 2013). Analisis univariat yang dilakukan untuk menganalisis variabel-variabel yang ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi data demografi yang terdiri dari jenis kelamin, umur dan pendidikan.

3.7.2 Analisis bivariat

Analisis bivariat adalah analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif (Saryono 2013). Sebelum dilakukan analisis bivariat, dilakukan uji normalitas untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas disini menggunakan uji Shapiro wilk test karena sample data kurang

(50)

dari 50 (Sopiyudin 2013). Hasil uji normalitas adalah 0,484 untuk pre test dan 0,637 untuk nilai dari post test sehingga data berdistribusi normal. Analisis bivariat selanjutnya menggunakan uji Paired sample

t-test.

Menurut Sugiyono 2008, rumus Paired sample t-test

ݐ ൌ ܦഥ ൬ܵܦ

ξܰ൰ Keterangan :

t = Nilai hitung

ܦഥ = Rata-rata selisih pengukuran 1 &2

ܵܦ= Standar devisiasi selisih pengukuran 1 & 2 ܰ = Jumlah sample

Nilai t hitung < t tabel maka Ho diterima artinya tidak ada pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia dan apabila nilai t hitung > dari t tabel maka Ho ditolak artinya ada pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif lansia dengan demensia.

3.8 Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian seorang peneliti harus menerapkan etika penalitian sebagai berikut :

1. Persetujuan riset (informed concent)

Informed concent merupakan proses pemberian informasi yang

(51)

dalam suatu penelitian. Hal ini meliputi pemberian informasi kepada responden tentang hak-hak dan tanggung jawab mereka dalam suatu penelitian dan mendokumentasikan sifat kesepakatan dengan cara menandatangani lembar persetujuan riset bila responden bersedia diteliti, namun apabila responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa.

2. Anonymity (tanpa nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Kerahasiaan (confidentiality)

Tanggung jawab peneliti untuk melindungi semua informasi ataupun data yang dikumpulkan selama dilakukannya penelitian. Informasi tersebut hanya akan diketahui oleh peneliti dan pembimbing atas persetujuan responden, dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan sebagai hasil penelitian.

(52)

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Panti Wredha Dharma Bhakti Kasih Surakarta selama 3 minggu yaitu pada tanggal 10 Februari hingga 1 Maret 2014. Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian, lansia yang memenuhi kriteria inklusi adalah 15 orang responden. Semua responden tersebut diberikan terapi senam otak yang dilakukan secara bersamaan di aula yaitu 2 kali sehari dalam waktu 15 menit selama 3 minggu. Adapun hasil penelitian ini adalah

4.1. Karakteristik Responden 4.1.1 Jenis kelamin

Tabel 4.1

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin (n = 15)

B e

rdasarkan Tabel 4.1 dapat ketahui bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 4 responden (27%), sedangkan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 11 responden (73%).

Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)

Laki-laki 4 27

Perempuan 11 73

Jumlah 15 100

(53)

4.1.2 Usia

Tabel 4.2

Distribusi responden berdasarkan umur (n = 15)

Usia (tahun) Jumlah (n) Persentase % 60-74 tahun

(lanjut usia dini) 75-90 tahun (lanjut usia tua)

11

4

53

27

Jumlah 15 100

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa usia responden terbanyak adalah usia 60-74 tahun (53%) sebanyak 11 orang dan usia 75-90 tahun (27%) sebanyak 4 orang.

4.1.3 Pendidikan

Tabel 4.3

Distribusi responden berdasarkan pendidikan (n = 15) Pendidikan Jumlah (n) Persentase % Tidak sekolah 2 20

SD 6 40

SMP 5 27

SMA 2 13

(54)

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketaui tingkat pendidikan responden yang tidak bersekolah sebanyak 2 responden (20%), pendidikan SD sebanyak 6 responden (40%), pendidikan SMP sebanyak 5 responden (27%) dan pendidikan SMA sebanyak 2 responden (13%)

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Fungsi kognitif sebelum diberikan senam otak Tabel 4.4

Distribusi fungsi kognitif MMSE sebelum dilakukan senam otak (n=15) Klasifikasi Jumlah (n) Persentase %

Normal 0 0

Kognitif Ringan 3 20 Kognitif Sedang 7 47 Kognitif Berat 5 33

Jumlah 15 100

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa nilai kognitif responden sebelum diberikan terapi senam otak dengan nilai kognitif ringan sebanyak 3 responden (20%), nilai kognitif sedang sebanyak 7 responden (47%) dan nilai kognitif berat sebanyak 5 responden (33%).

4.2.2 Fungsi kognitif sesudah diberikan senam otak Tabel 4.5

(55)

Klasifikasi Jumlah (n) Persentase % Normal 0 0 Kognitif Ringan 8 53 Kognitif Sedang 5 33 Kognitif Berat 2 14 Jumlah 15 100

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa nilai kognitif responden sesudah diberikan terapi senam otak dengan nilai kognitif ringan sebanyak 8 responden (53%), nilai kognitif sedang sebanyak 5 responden (33%) dan nilai kognitif berat sebanyak 2 orang (14%).

4.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif (Saryono 2013). Sebelum dilakukan analisis bivariat, dilakukan uji normalitas untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Shapiro- wilk karena sample data kurang dari 50 (Sopiyudin 2013). Hasil uji normalitas Shapiro-wilk dapat dilihat pada Tabel 4.6.

(56)

Tabel 4.6

Uji Normalitas Shapiro- wilk (n = 15) Variabel Shapiro- wilk

P value

Pre test 0,484 Post test 0,637

Berdasarkan Tabel 4.6, uji shapiro wilk test diperoleh p value sebelum intervensi 0,484 dan p value sesudah intervensi 0,637 sehingga

p value yang diperoleh > 0,05 maka berdistribusi normal dan uji statistik

yang digunakan adalah statistik parametrik dengan uji Paired Sample t-

test.

Berdasarkan Tabel 4.7 didapatkan hasil mean pre test 19.20 dan untuk mean post test 20.33 sehingga dapat dilihat adanya peningkatan fungsi kognitif sebelum dan sesudah perlakuan 1,13. Hasil t hitung sebesar 8,500 > t table 6,714 dengan nilai p value 0,000 sehingga Ho

Tabel 4.7

Uji Paired Sample t-test (n=15)

Variabel Mean t P value

Pre test fungsi kognitif

19.20

8.500 .000 Post test fungsi

kognitif

(57)

ditolak artinya ada pengaruh sebelum dan sesudah senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta.

(58)

37

BAB V PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan tentang pembahasan hasil penelitian dan membandingkan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dan teori-teori yang mendukung atau berlawanan dengan temuan baru. Pembahasan pertama dengan interpretasi dan diskusi hasil penelitian tentang karrakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, senam otak dan demensia. Pada bagian berikutnya akan dibahas tentang hasil analisis untuk variabel demensia sebelum dan sesudah dilakukan senam otak. Hasil penelitian yang dapat diterapkan dan diaplikasikan pada praktek keperawatan dalam rangka meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada lansia demensia.

5.1. Karakteristik responden 5.1.1 Usia

Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas usia responden yang mengalami demensia paling banyak berumur 60-74 tahun sebanyak 11 responden (53%).

Hasil analisis mendapatkan faktor umur adalah salah satu yang mempunyai risiko terhadap demensia. Semakin meningkat umur responden semakin tinggi resiko demensia (Japardi 2003). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu bahwa jumlah lansia yang mengalami demensia lebih besar pada umur 60-75 tahun yaitu (75%) (Marhamah 2009). Berdasarkan penelitian Roan (2009) juga

(59)

menyatakan demensia juga dapat terjadi pada setiap umur, tetapi lebih banyak pada lansia untuk rentang umur 65-74 tahun (50%). Hasil penelitian Watson (2003) juga menyatakan bahwa lansia yang berumur 60 tahun keatas prevalensi terjadinya demensia akan meningkat dua kali lipat setiap kenaikan 5 tahun usia lansia.

Data dari World Health Organization tahun 2003, memperlihatkan demensia dialami oleh lansia yang berumur 60-74 tahun sebesar 15-20 %, 75-85 tahun sebesar 5-15%. Berdasarkan analisis statistik disimpulkan ada perbedaan signifikan rata-rata skor MMSE lansia umur 60-75 tahun dengan umur > 76 tahun. Semakin bertambah umur maka semakin besar prevalensi dan semakin berat tipe demensia yang dialami lansia. Hal ini disebabkan karena umur merupakan faktor resiko mayor terjadinya demensia (Japardi 2003). 5.1.2 Jenis kelamin

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jenis kelamin responden paling banyak adalah berjenis perempuan sebanyak 11 responden (73%). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Rekawati (2004), yang menyatakan bahwa usia harapan hidup perempuan lebih lama dibandingkan dengan laki-laki. Semakin tinggi usia harapan hidup perempuan maka semakin lama kesempatan lansia perempuan untuk hidup, sehingga semakin besar kemungkinan mengalami demensia.

(60)

5.1.3 Tingkat pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui pendidikan terbanyak responden adalah pendidikan SD yaitu 6 responden 40%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rekawati (2004) yang menyatakan bahwa lansia yang berpendidikan rendah mempunyai risiko terjadinya demensia sebesar 2,025 kali lebih dibandingkan dengan usia lanjut yang berpendidikan tinggi, karena jika seseorang jarang menggunakan otak untuk berfikir akan menimbulkan risiko terjadinya penurunan kognitif. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Hartati (2010) yang menyatakan bahwa lansia yang berpendidikan rendah akan mengalami penurunan fungsi kognitif dikarenakan kurangnya untuk berfikir sehingga mengakibatkan jaringan pada otak akan mati dan menyebabkan seseorang tersebut mengalami penurunan kognitif secara signifikan sebesar( 65%). Hasil penelitian Ros endah (2009) menyatakan seseorang yang berpendidikan tinggi juga dapat mengalami demensia dengan cepat karena ada penyakit vaskuler pada otak.

5.2 Analisis Univariat

5.2.1 Fungsi kognitif sebelum senam otak

Berdasarkan hasil penelitian nilai kognitif responden sebelum diberikan senam otak terbanyak dengan nilai kognitif sedang berjumlah 7 responden (47%). Hasil ini sesuai dengan penelitian

(61)

sebelumnya yang menunjukan nilai kognitif sebelum diberikan senam otak adalah kognitif sedang sebanyak (60%) (Festi 2010).

Menurut Pudjiastuti (2003) bahwa menurunnya kemampuan fungsi kognitif lansia dikarenakan susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia, berat otak lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrite dan badan sel saraf mengalami banyak perubahan, dendrit yang berfungsi sebagai sarana untuk komunikasi antar sel saraf mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel saraf, daya hantar saraf mengalami penurunan sehingga gerakan menjadi lamban..

Hasil kuesioner menunjukkan fungsi kognitif sedang dalam kuesinoer Mini mental Status Examination dalam menjawab 2 pertanyaan dari 11 pertanyaan lansia memperoleh nilai rata –rata pada pertanyaan no 1 tentang orientasi waktu mampu menjawab 3 dari 5 butir pertanyaan dan pada pertanyaan no 8 tentang bahasa juga mampu menjawab 2 dari 3 butir pertanyaan hal ini memberi alasan kebanyakan lansia mengalami penurunan fungsi kognitif sedang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Feri, 2005), menyatakan bahwa kira-kira 5% usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun

(62)

mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20 % sisanya 15-35% disebabkan demensia lainya (Wibowo, 2007). Menurut Shah (2004), prevalensi demensia dan tipe atau golonganya bervariasi berdasarkan wilayah negara dan etnis yang berbeda. Prevalensi kasus demensia di negara maju di Amerika pada lanjut usia 10-15% atau sekitar 3- 4 juta orang dan di Eropa sekitar 50-70% (Hendrie 2003).

5.2.2 Fungsi kognitif sesudah senam otak

Hasil penelitian sesudah diberikan senam otak pada lansia yang mengalami demensia didapatkan dimana nilai kognitif ringan sebanyak 8 orang (53%).

Menurut teori senam otak pada buku brain gym Paul dan Gail E. dennison menyatakan bahwa gerakan senam otak dapat merangsang seluruh bagian otak untuk bekerja sehingga dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Gerakan senam otak juga mempunyai fungsi meningkatkan kewaspadaan, konsentrasi dan memori misalnya dengan gerakan 8 tidur (lazy 8 yang berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi dan memori. Hasil wawancara peneliti pada 15 ketika ditanya menyebutkan nama benda, pengurangan angka dan nama bulan dapat menjawab dengan baik dan tepat.

(63)

Ada beberapa cara untuk mengatasi terjadinya demensia pada lansia baik secara farmakalogis maupun nonfarmakalogi. Pada penelitian ini menggunakan cara non farmakalogi yaitu terapi senam otak diberikan selama 15 menit setiap hari selama 2 kali secara teratur selama 3 minggu. Selain itu peneliti ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh seorang ahli yang menemukan gerakan senam otak di Amerika yang menyatakan bahwa terapi senam otak yang dilakukan selama 2 xsehari dalam 15 menit selama 3 minggu, secara teratur dapat mengurangi terjadinya penurunan fungsi kognitif (Denisson 2009).

5.3 Analisis Bivariat

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lisniani (2010) bahwa senam otak dapat meningkatan fungsi kognitif dengan nilai yang signifikan sebelum 9,15 dan sesudah 15,85 dengan selisih 6,7. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa senam otak dapat meningkatkan daya ingat lansia dengan nilai signifikan yaitu p=0,005 (p<0,05) (Paula 2010). Senam otak juga dapat memberikan manfaat yaitu stress emosional berkurang, pikiran lebih jernih, hubungan antar manusia dan suasana belajar/kerja lebih rileks dan senang, kemampuan berbahasa dan daya ingat meningkat, orang menjadi lebih bersemangat, lebih kreatif

(64)

dan efisien, orang merasa lebih sehat karena stress berkurang, prestasi belajar dan bekerja meningkat (Denisson 2009).

Prinsip senam latih otak adalah mengaktifkan otak kedalam tiga fungsi yakni, dimensi silateralis (otak kiri-kanan), dimensi pemfokusan (otak depan-belakang), dimensi pemusatan (otak atas-bawah), masing-masing dimensi memiliki tugas tertentu, sehingga gerakan senam yang harus dilakukan dapat bervariasi (Denisson 2009). Gerakan-gerakan ringan dengan permainan melalui olah tangan dan kaki dapat memberikan rangsangan atau stimulus pada otak. Gerakan yang menghasilkan stimulus tersebut merupakan gerakan yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif (kewaspadaan, konsentrasi, kecepatan, persepsi, belajar, memori, pemecahan masalah dan kreativitas). selain itu kegiatan – kegiatan yang berhubungan dengan spiritual sebaiknya digiatkan agar dapat memberi ketenangan pada lansia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Menurut Penelitian Sapardjiman (2007) menyatakan bahwa senam otak juga bermanfaat untuk membuka bagian-bagian otak yang sebelumnya tertutup atau terhambat sehingga kegiatan belajar atau bekerja berlangsung menggunakan seluruh otak (whole brain), mengurangi stress emosional dan pikiran lebih jernih, menjadikan orang lebih bersemangat, lebih konsentrasi, lebih kreatif dan efisien, kemampuan berbahasa dan daya ingat meningkat, hubungan antar manusia dan suasana belajar/bekerja lebih rileks dan senang.

(65)

Hasil uji normalitas dengan uji shapiro- wilk test diperoleh p value sebelum intervensi 0,484 dan p value sesudah intervensi 0,637 sehingga p

value yang diperoleh > 0,05 maka data berdistribusi normal dan uji

statistik yang digunakan adalah statistik parametrik dengan uji Paired

Sample t-test. Hasil dari uji Paired Sample t-test didapatkan mean pre test

19.20 dan untuk mean post test 20.33 sehingga dapat dilihat adanya peningkatan fungsi kognitif sebelum dan sesudah perlakuan 1,13. Hasil t hitung sebesar 8,500 > t table 6,714 dengan nilai p value 0,000 sehingga Ho ditolak artinya ada pengaruh sebelum dan sesudah senam otak dengan fungsi kognitif lansia demensia di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa senam otak secara signifikan bermanfaat dalam meningkatkan fungsi kognitif lansia yang mengalami demensia dibuktikan dengan hasil yang bermakna skor nilai fungsi kognitif setelah dilakukan senam otak.

Berdasarkan Pengalaman peneliti lansia yang mengalami demensia di Panti Wredha Darma Bakti Kasih tersebut kognitifnya meningkat ditunjukkan dengan saat di tanya tentang hari, jam dan nama sesama lansia dapat menjawab dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa senam otak efektif untuk meningkatkan fungsi kognitif lansia demensia.

(66)

5.4 Keterbatasa Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah

1. Peneliti memerlukan bantuan orang lain atau rekan dalam membimbing gerakan senam otak.

2. Lansia cepat merasakan lelah karena kondisi lansia yang mengalami penurunan fungsi tubuh, sehingga lansia harus dibrikan waktu istirahat. 3. Mengajarkan senam otak pada lansia secara berurutan sehingga lansia

fokus dengan urutan gerakan dan tidak menyebabkan kebingungan dalam melakukan senam otak.

4. Menurut peneliti, solusi yang dilakukan selanjutnya yaitu peneliti ingin memberikan dan melatih senam otak secara mandiri sesuai kemampuan lansia, jadi tidak semua gerakan harus dilakukan dalam satu waktu.

Gambar

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian  Nama Peneliti  Judul
Gambar 2.2 Burung hantu (The Owl) (Denisson 2009).
Gambar 2.4 Kerangka Teori
Gambar 2.5 Kerangka Konsep  2.4  Hipotesis
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian adanya penurunan lebih tinggi kondisi depresi lansia dengan harga diri rendah yang mendapatkan terapi kognitif dan senam latih otak (kelompok

Hasil penelitian adanya penurunan lebih tinggi kondisi depresi lansia dengan harga diri rendah yang mendapatkan terapi kognitif dan senam latih otak (kelompok

Distribusi tingkat fungsi kognitif pada lansia sebelum diberi senam otak ( pre test ) pada kelompok perlakuan mayoritas yaitu sebanyak 12 lansia (80%) mempunyai tingkat

Untuk mengetahui signifikan adanya pengaruh penambahan resistance exercise training pada senam vitalisasi otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia sebelum

Berdasarkan distribusi frekuensi fungsi kognitif lansia dengan dimensia sebelum senam otak dapat disimpulkan bahwa dari 32 lansia di Unit Pelayanan Sosial Lanjut

melakukan pengukuran tingkat kognitif pada lansia sebelum senam otak dan melakukan pengukuran tingkat kognitif kembali sesudah dilakukan senam otak dengan

Bagi praktek keperawatan diharapkan dapat memperhatikan gangguan kognitif lansia dengan meningkatkan terapi senam otak sehingga lansia tidak mengalami resiko terjadinya

Hasil penelitian adanya penurunan lebih tinggi kondisi depresi lansia dengan harga diri rendah yang mendapatkan terapi kognitif dan senam latih otak (kelompok