• Tidak ada hasil yang ditemukan

berlangsung kurang lebih antara 150 sampai 300 tahun, yang memiliki kurve statistic logistic, maka fase sebaliknya, yakni fase-b, bukan merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "berlangsung kurang lebih antara 150 sampai 300 tahun, yang memiliki kurve statistic logistic, maka fase sebaliknya, yakni fase-b, bukan merupakan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI SISTEM DUNIA

Dari tiga aliran utama teori pembangunan, hanya teori sistem dunia yang secraa sungguh-sungguh memanfaatkan dunia sebagai unit analisis. Oleh karena itu, dengan keunikan pendekatan ini, teori sistem dunia mampu memberikan sumbangan yang berarti, untuk menguji dinamika global dunia, yang biasanya diabaikan oleh modernisasi maupun teori dependensi.

Pada bab ini akan disampaikan dua hasil karaya penelitian berskala global.

Pertama, akan diuraikan secara ringkas karya Wallerstein tentang fase penurunan

sistem ekonomi-kapitalis dunia pada abad ke-17. Kedua, akan di uraikan hasil kajian Bergesen dan Schoenberg tentang lahir, perkembangan, dan runtuhnya gelombang panjang kolonialisme, sejak abad ke-15 sampai sekrang. Dalam uraian ini juga akan terlihat pula ciri-ciri pokok dari masing-masing gelombang kolonialisme, dan secra mendasar pada karakteristik tersebut bagaimana prediksi terhadap kemungkinan munculnya gelombang kolonialisme dimasa depan diciptakan. Diharapkan dari dua hasil karya ini dapat diamati bagaimna asumsi dasar dan bangunan teori sistem dunia mewujudkan dalam rumusan pertanyaan yang mereka ajukan, metode penelitian yang mereka gunakan, data penelitian yang mereka kumpulkan, dan kesimpulan yang mereka tawarkan.

Wallerstein: Fase Penurunan Sistem Ekonomi-Kapitalis Dunia

Dengan mendasarkan diri pada asumsi, bahwa setiap dan semua proses ekonomi terjadi di dalam kerangka sistem ekonomi-kapitalis dunia, Wallerstein berpendapat bahwa “pembangunan” atau “keterbelakangan dari suatu wilyah geografis tertentu tidak dapat dianalisis tanpa meletakkan wilayah geografir tersebut dalam konteks irama siklus dan kecenderungan perputaran ekonomi dunia secara keseluruhan.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa sistem ekonomi dunia memiliki dua perangkat irama siklus. Pertama, sistem ekonomi dunia memiliki siklus Kondratieff dengan fase Ekspansi-A dan fase Kontraksi-B, yang setiap siklusnya kurang lebih berlamgsung sekitar 40 sampai 55 tahun. Di samping itu, sistem ekonomi dunia juga mempunyai irama siklus yang lebih panjang, yang

(2)

berlangsung kurang lebih antara 150 sampai 300 tahun, yang memiliki kurve statistic logistic, maka fase sebaliknya, yakni fase-B, bukan merupakan fase kontraksi tetapi merupakan fase stagnasi.

Dengan mengikuti pola pikir tersebut, Wellerstein menguji akibat yang di timbulkan oleh irama siklus yang terjadi disekitar tahun 1450 sampai dengan tahun 1750. Menurut Wellerstein, siklus logistic yang terjadi pada waktu tersebut penting karena pada waktu itulah tersedia cuku bukti tentang lahirnya tata ekonomi kapitalis dunia. Ini terjadi karena siklus logistic ini berbeda dengan irama siklus yang terjadi pada masa sebelumnya, yakni pada masa Abad pertengahan (1100-1450). Eks;pansi dan Kontraksi pada masa Abad pertengahan terjadi dengan bentuk bangunan yang kurang lebih merata keseluruh daratan Eropa, semntara siklus logistic ini (1450-1750) melahirkan gejala adanya bentuk bangunan asimetris (ketimpangan) dari berbagai daerah geografis di benua Eropa. Untuk sekedar menyebut contoh, dibelahan eropa barat terjadi konsentrasi pergulatan aparat politik, sementara di belahan Eropa Timur terjadi sebaliknya. Bahkan feodalisme justru berkembang pesat di Eropa Timur.

Pertama yang dujawan kemudian adalah mencari penjelasan atau faktor yang bertanggung jawab terhadap munculnya bentuk bangunan asimetris tersebut, yang sebelumnya belum lahir. Untuk menemukan jawaban ini Wallerstein secara saksama memperhatika fase-B dari krisis pada abad ke-17. Ia mencoba menguji bagaimana suatu bentuk fase-B yang sama dapat memberikan akibat yang berbeda pada tiga daerah gografis (sentral, pinggiran, dan semi-pinggiran) dari tata ekonomi-kapitalis dunia.

Daerah sentarl

Secara umumfase penurunan sistem ekonomi dunia memberikan pengaruh yang sama untuk semua wilayah. Permintaan dan keuntungan menurun. Untuk mengatasi persoalan ini, khususnya untuk mempertahankan tingkat laba yang telah dicapai, tersedia dua pilihan kebijaksanaan ekonomi. Pertama, mengurangi biaya,khususnya biaya produksi yang dapat dilakukan dengan meningkatkan efesiensi atau dengan meningkatkan pengambilan nilai lebih yang dihasilkan oleh tenaga kerja, dan kedua, dengan meningkatkan pangsa pasar yang dapat dilakukan dengan melakukan penjualan dibawah harga pasar, melakukan kebijaksanaan

(3)

monopoli, dan atau mencoba mengambil manfaat dari kebangkrutan pesaing. Sekalipun hampursama pelaku ekonomi berusaha mencoba melaksanakan berbagai pilihan kebijaksanaan tersebut, namun demikian dapat di pastikan hanya sedikit yang berhasil dengan baik. Oleh karena itu fase penurunan sistem ekonomi-kapitalis juga berarti atau paling tida menyediakan kesempatan untuk timbulnya konsentrasi modal. Wallerstein melihat bahwa, konsentrasi modal tidak hanya terjadi pada tingkat perusahaan, tetapi juga terjadi pada skala dunia, yakni pada keseluruhan tata ekonomi-kapitalis dunia.

Fase-B dari krisis abad ke-17 lebih ditandai oleh usaha negara sentral (Belanda, Inggris Raya, dan Prancis) untuk mencoba melanjutkan kebijaksanaan penurunan biaya produksi dengan meningkatkan teknologi produksi tekstil dan gandum mereka. akibatnya, produk yang melimpah dari negara sentral di Eropa Barat ini menggeser hasil produksi dari negara-negara Eropa Timur dan Eropa Selatan. Pada gilirannya proses ini mengakibatkan meningkatnya pangsa pasar negara sentral,dan pada akhirnya menumbuhkan konsentrasi modal pada negara sentral dengan kerugian dan beban biaya yang harus ditanggung oleh negara pinggiran.

Kolonialisme merupakan cara lain yang lebih bersifat politik yang dapat dilakukan oleh negara sentral untuk melakukan konsentrasi modal. Fase penurunan ekonomi pada awal adab ke-17 menjadikan negara sentra di belahan timur-utara Eropa mencoba menciptakan dan mnguasai wilaya-wwilayah baru untuk melakukan eksplorasi kemungkinan keuntungan ekonomis dari wilayah tersebut. Inilah yang menimbulkan terjadinya persaingan ketat untuk merebut koloni gula karibia. Dan karena semangat ini pula yang menimbulkan terjadinya usah koloni kedua Amerika.

Namun demikian negara sentral tidak hanya berusaha dan bersaing untuk merebut wilayah koloni batu, mereka juga bertarung untuk memperebutkan posisi hegemoni di antara mereka sendri di dalam tatanan ekonomi-kapitalis dunia ini. pada masa ini misalnya pernah terjadi hegemoni Belanda. Dengan kuatnya belanda mampu menguasai industry pertania, perdagangan, dan komersial. Tak lama setelah itu, untuk melawan hegemoni belanda ini, Inggris dan Prancis menjalankan kebijaksanaan merkantilisme yang diharapkan mampu, dalam masa

(4)

persaingan masa ekonomi yang ketat, melindungi ekonomi dalam mereka. hasilnya nampak ketika kemudian Inggris dan Prancis mempu menggeser posis hegemoni Belanda sekitar tahun 1672.

Wilayah Pinggiran

Tidak jauh berbeda dengan negra sentarl, negara pinggiran, yang lebih bergantung pada industry bahkan makana pokok, juga mencoba menanggapi krisis abad ke-17 dengan berbagai alternative kebijaksanaan ekonomi yang tersedia. Menurut Wallerstein, negara pinggiran juga menerapkan kebijaksanaan penekanan biaya, khususnya biaya produksi.

Negara-negara pinggira Eropa Timur yang merupakan tempat berkumpulnya para produsen besar bahkan makanan pokok, melakukan kebijaksanaan penurunan biaya produksi dengan menggunakan kombinasi kekuasaan ekonomi dan politis yang mereka miliki terhadap tenaga kerja pedesaan. Dalam rangka menaikkan hasil produksi ini para produsen melakukan pemberhentian sepihak dari perjanjian sewa-menyewa tanah yang sebelumnya telah saling mereka setujui, dan kemudian memaksa para bekas penyewa tanah tersebut menjadi budak tenak kerja paksa, semi paksa atau tenaga kerja upahan.

Dengan kata lain, pada negara pinggiran penigkatan produksi yang kemudian diharapkan akan mampu meningkatkan pangsa pasarnya terjadi hanya dengan pengorbanan para produsen kecil dan produsen-penyewa. Secara singkat, perluasan pangsa pasar diikuti seiring dengan meningkatnya tenaga kerja tobangan. Di satu sisi, ini berarti para budak dan para pekerja tersebut memiliki kesempatan dan waktu yang lebih sedikit untuk menjadi produsen independen, dank arena itu mereka tidak lagi memproduksi produk yang memiliki nilai kompetitif yang berarti, yang pada gilirannya akan kalah bersaing dengan hasil produksi pengusaha besar. Si sisi lain, di negara pinggiran mulai tersedia peluang besar, yang telah di tinggal oleh pengusaha kecil, untuk barang hasil produksi pengusaha yang diperlukan untuk menjamin keperluan para budak dan tenaga kerja tersebut. Disinilah mulai terjadi perubahan yang berarti. Pasar yang mereka miliki tidak lagi berupa pasar global dunia, tetapi telah berubah menjadi pasar regional.

(5)

Seperti yang sudah dapat diduga, pasar regional ini hanya akan mampu menghasilkan labah yang lebih sedikit di bandingkan pasar global yang perna mereka miliki sebelumnya. Oleh karena itu, para pengusaha besar di Eropa Timur berusaha memulihkan penghasilan dengan menciptakan kembali industry kecil dan industry rumah tangga untuk keperluan pasar regional . inilah yang menjadi sebab munculnya kembali industry tekstil bukan mewah dan industry perah di Eropa Timu.

Bagi Wallerstein lahirnya konsentrasi modal pada produsen besar di Eropa Timur ini berjalan seiring dengan kekuasaan politik dan hukum yang mereka pegang. Oleh karena itu, tidak heran, jika kemudian, menurut Wallerstein, kekuasaan negara secara terus-menerus berkurang seperti yang terjadi di Polandia, atau secara keseluruhan menjadi tergantung sepenuhnya pada negar asing, seperti yang terjadi di HUngaria.

Wilayah Semi-Pinggiran

Pada wilyah semi-pinggiran, Wallerstein membedakannya dalam dua kategori berdasarkan proses lahrnya. Pertama, negara semi-pinggiran yang terjadi karenan prose penurunan, Kedua, negara semi-pinggiran yang muncul karena proses meningkatnya posisi relatifnya.

Pada negara semi-pinggiran yang termasuk dalam kategori pertama, seperti Polandia dan Portugis, mereka memiliki jalan sejarah yang tidak berbeda dengan negara pinggiran. Mereka mengalami penurunan kapasitas produksinya, dan sekaligus penurunan peran kekuasaan. Oleh karena itu, tidak heran, jika Wallerstein mengatakan bahwa mereka mendewakan negara tersebut untuk ikut mencampur mengurusi persoalan intern mereka. Wallerstein melihar bahwa “Portugis, secara ekonomis, mejadi sateli, dan sabuk transmisi dari kepentingan, yaitu Belanda, dan kemudian Inggris, sementara spanyol menjalankan peran yang sama untuk Prancir”. Ini juga merupakan era lahirnya peruses deindustrialisasi Spayol, yang kemudian melibatkan proses pemindahan besar-besaran ivestasi modal dari industry ke pertanian.

Bagi negara semi-pinggiran yang temasuk dalam kategori kedua, sepeti misalnya Swedia, menikmati beberapa keuntungan seperti yang dinikmati degara

(6)

sentral. Dari sinilah mereka mulai menciptakan basis pernikahan pajak yang kuat, kekuatan militer yang tangguh, dan negara yang kuat, yang kemudian menjadikan meteka kurang lebih mampu melaksanakan kebijaksanaan merkantilis. Menurut Wllerstain, negara semi-pinggiran inilah, yang dengan cerdik melakukan kebijaksanaan alianasi politik yang selalu berpindah-pindah dan dengan pemanis kemampuan ekonomisnya, yang mampu memanfaatkan suasana permusuhan diantara negara sentral untuk kepentingan pembangunan internal mereka.

Wilayah Luar

Sejak abad ke-16 atau bahkan sebelumnya, bebarapa negera seperti Rusia, India, dan Afrika Barat telah menjalin perdagangan dengan sistem ekonomi dunia-Eropa. Pada fase-B abad ke-17, ketika negara sentral sedang memusatkan tenaga dan waktunya terutama untuk memperubutkan persaingan dan posisi domina diantara mereka sendiri, mereka tidak lagi memiliki sisah tenaga dan waktu yang diperlukan untuk mengurangi, melemahkan, dan atau menghancurkan sama sekali kekuatan politik negera-negara dari wilayah luar yang tidak terlibat ini. Jika demikian halnya, Wallersteinberpendapat bahwa negara-negara ini tetap berada dan tinggal di luar sistem ekonomi-kapitalis dunia ketika krisis abad ke-17 itu terjadi.

Secara ringkas, Wallerstein menyimpilkan bahwa alokasi peranan dari masing-masing negara di dalam sistem ekonomi kapitalis dunia tidak statis. Secara khusus nampat terlihat pada masa terjadinya fase-B, ketika perubahan posisi secara drastic terjadi. Oelh karena itu, seklipun secara keseluruhan fase-B lebih ditandai oleh suasanu stgnasi secara menyeluruh, tetapi pada masa ini juga terjadi kemungkinan kenaikan konsentrasi modal yang berarti di suatu wilayah geografis tertentu, yang pada gilirannya menimbulkan semakin lebarnya plorasi dan derefensiasi. “ini tadak akan memperlambat jalannya roda kerja kapitalisme, ini jutru merupakan bagian integral (yang tek terpisahkan) dari kapitalisme itu sendiri.”

Upaya Wallerstein untuk mengkaji dinamika global dunia menjadikan terbukanya jendela masalah baru, yang kemudian mewujud dalam agenda penelitian yang menjadi perhatian dari para kolega barunya, seperti yang terlihat

(7)

pada bagian berikut ini, yakni tentang gelombang panjang ekspansi dan kontraksi kolonialisme.

Bergesen dan Schoenberg: Gelombang Panjang Kolonialkisme

Menurut Bergesen dan Schoenberg kebanyakan studi tentang kolonialisme dibuat dengan hanya menggunakan satu titik tolak, yakin dari sudut pandang negara sentral saja atau sudut pandang negara penggiran saja. Sangat jarang, untuk mengatakan sama sekali tidak ada, hasil penelitian yang menguji kolonialisme dari dua sudut pandang secara bersamaan. Dalam hal ini, kolonialisme dapat dilihat sebagai milik sah sistem ekonomi dunia yang kapitalis ini, yang berfungsi sebagai jembatan structural yang menghubungkan antar negara sentral dengan negara pinggiran. Oleh karena itu, tujuanhasil kajian Bergesen dan Schoenberg ini mencoba menjelaskan kolonialisme sebagai suatu bentukdinamika kolektif yang khas dari tata ekonomi-kapital dunia, dan menggiring analisis colonialism pada dataran eropa timur ini berjalan seiring dengan kekuasaan politik dan hukum yang mereka pegang. Oleh karena itu, tidak heran, jadi kemudian, menurut Wellerstain, kekuasaan negara secara terus-menerus berkurang seperti yang terjadi di Polandia, atau secara keseluruhan menjadi tergantung sepenuhnya pada negara asing, seperti yang terjadi di Hungaria.

Wilaya Semi-Pinggiran

Pada wilayah negara semi pinngiran, Wellerstain membedakannya dalam 2 kategori berdasarkan proses lainnya. Pertama, negara semi pinggiran yang terjaddi karena proses penurunan, kedua, negara semi pinggriran yang muncul karena proses meningkatnya posisi relatifnya.

Pada negara semi pinggiraan yang termasuk dalam kategori pertama, seperti Polandia dan Portugis, mereka memiliki jalan sejarah yang tidak berbeda dengan negara pinggiran. Mereka mengalami penurunan kapasitas produksinya, dan sekaligus penurunan peran kekuasaan negara. Oleh karena itu, tidak heran, jika Wellerstain mengatakan bahwa mereka mendewakan negara tersebut untuk ikut campur mengurusi persoalan intern mereka. Wellerstain melihat bahwa “Portugis, secara ekonomis, menjadi satelit, dan sabuk transmisi dari kepentingan,

(8)

yaitu belanda, dan kemudian Inggris, sementara Spanyol menjalankan perani modal dari industry yang sama untuk Prancis.” Ini juga merupakan era lahirnya proses deindustrialisasi Spanyol, yang kemudian melibatkan proses pemindahan besar-besaran infestasi modal dari industry kepertanian.

Bagi negara semi-pinggiran yang termasuk dalam kategori kedua, seperti misalnya Swedia, menikmati beberapa keuntungan sepertiyang dinikmati negara sentral. Disinilah mereka mulai menciptakan basis penarikan pajak yang kuat, kekuatan militer yang tangguh, dan negara yang kuat, yang kemudian menjadikan mereka kurang lebih mampu melaksanakn kebijaksanaan merekantilis. Menurut Wellerstain, negara semi-pinggiran inilah, yang dengan cerdik melakukan kebijaksanaan aliansi politik yang selalu berpindah-pindah dan dengan pemanis kemampuan ekonomisnya, yang mampu memanfaatkan suasana permusuhan diantara negara sentran untuk kepentingan pembangunan internal mereka.

Wilayah Luar

Sejak abad ke-16 atau bahkan sebelumnya beberapa negara seperti Rusia, India, dan Afrika Barat telah menjalin perdagangan dengan sistem ekonomi dunia-Eropa. Pada fase-B abad ke-17, ketika negara sentral sedang memusatkan tenaga dan waktunya terutama untuk memperebutkan persaingan dan posisi dominan di antara mereka sendiri, mereka tidak lagi memiliki sisah tenaga dan waktu yang diperlukan untuk mengurangi, melemahkan, dan atau menghancurkn sama sekali kekuatan politik negara-negara di wilaya luar yang tidak terlibat ini. jika demikian halnya Wallerstain berpendapat bahwa negara-negara ini tetap berada dan tinggal diluar sistem ekonomi-kapitalis dunia ketika krisis abad ke-17 itu terjadi.

Secara ringkas, Wallerstain menyimpulkan bahwa lokasi peranan dari masing-masing negara di dalam sistem ekonomi-kapitalis dunia tidak statis. Secara khusus nampak terlihat pada masa terjadinya fase-B, ketika perubhan posisi secara drastic terjadi. Oleh karena itu, sekalipu secara keseluruhan fase-B lebih ditandai oleh suasana stagnasi secra menyeluruh, tetapi pada masa ini juga terjadinya kemungkinan kenaikan konsertasi modal yang berarti disuatu wilayah gografis tertentu, yang pada gilirannya menimbulkansemakin lebarnya polarisa dan deferensiasi. “ini tidak akan memperlambat jalannya roda kerja kapitalisme,

(9)

ini justru merupakan bagian integral (yang tek terpisahkan) dari kapitalisme itu sendiri”.

Upaya Wallerstein untuk mengkaji dinamika global dunia menjadikan terbukanya jendela masalah baru, yang kemudian mewujud dalam agenda penelitian yang menjadi perhatin dari pada kolega barunya, seperti yang terlihat pada bagian berikut ini, yakni tentang gelombang panjang ekspansi dan kontraksi kolonialisme.

Bergesen dan Schoenberg: Gelombang Panjang Kolonialisme

Menurut Bergesen dan Schoenberg kebanyakan studi tetang kolonialisme dibuat dengan hanyan menggunakan satu titik tolak, yakni dari sudut pandang negara sentral saja atau sudut pandang negara pinggiran saja. Sangat jarang, untuk mengatakan sama sekali tidak ada, hasil penelitian yang menguji kolonialisme dari dua sudut pandang secara bersamaan. Dalam hal ini, klonialisme dapat dilihat sebagai milik sah sistemekonomi dunia,yang kapitalis ini, yang berfungsi sebagai jembatan structural yang menghubungakan antara negara sentral dan negara pinggiran. Oleh karena itu, tujuan halis kajian Bergesen dan Schoenberg ini mencoba menjelaskan kolonialisme sebagai suatu bentuk dinamika yang kolektif yang khas dari tata ekonomi-kapitalis dunia, yang menggiring analisa kolonialisme pada dataran analisa yang lebih tinggi dan abstar dari sekedar tingkat nasional yang diskrit.

Pengukuran Kegiatan Kolonialisme

Pernyaataan yang muncul dari pendekatan ini adalah bagaimana mengukur kolonialisme pada dataran skala global dunia.Untuk ini, menurut Bergesen dan Schoenberg, diperlukan satu sistem matrik yang konstan untuk menangkap gejala dan gerak gelombang panjang kolonialisme dari sejak lahirnya di abad ke-16 sampai pada masa kini. Dengan mendasarkan pada studi Henige, Bergesen dan Schoenberg menggunakan “ukuran kehadiran pemerintah colonial” sebagai tolak ukur kolonialisme. Menurt mereka, tolak ukur ini akan mampu mencatat,

pertama, jumlah koloni yang pernah ada dari tahun 1415 sampai dengan tahun

(10)

tahunnya; dan ketiga, jumlah bersih kumulatif koloni yang masi ada setiap tahunnya.

Hasil penelitian

Dengan menunjuk pada negara koloni, jumlah semburan kolonialisme muncul pada abad ke-19 dengan tetap mengingat behwa lahirnya kegiatan colonial juga dapat dijumpai pada abad-abad sebelumnya, yakni abad ke-17, pada pertengan ke dua abad ke-18 dan pada pertengan abad ke-18.

Berakhirnya kedudukan koloni lebih banyak terjadi padadua skala waktu yang khusus, yakni pada seperempat abad pertama dari abadd ke-19 dengan menunjuk pada runtuhnya koloni Spanyol di Amerika Latin, dan pada tahun setelah tahun 1945, yang berupa merdekanya banyak negara di benua Afrika dan Asia.

Jumlah bersih kumulatif koloni dapat dijumpai pada dua gelobang waktu yang khas dari kolonialisme. Putaran pertama tejadi mulai tahun 1415 dan mencapai puncaknya pada tahun 1770 dengan jumlah koloni 147 koloni, dan kemudian menurun di tahun 1825 sampai “hanya” sekitar 18 koloni. Putaran kedua dimulai sekitar tahun 1826, dan mencapai puncaknya pada tahun 1921 dengan 168 kolono, dan kemudian menurun sampai menjadi 58 koloni di tahun 1969.

Dengan membandingkan dua gelombang panjang kolonialisme ini, Bergesen dan Schoenberg melihat bahwa adanya peningkatan peluasan dan frekuensi dari putaran global.putaran pertama berlangsung kurang lebih selama 410 tahun yang dapat diartikan bahwa setiap koloni didirikan dengan tingkat 0,530 per tahun selama masa pasang naik kolonialisme (1415-1770, dan koloni berakhir dengan tingkat 1,900 per tahun selama masa surutnya (1775-1825). Di pihak lain, putaran kedua hanya berlangsung sekitar 143 tahun. Pada masa ini pendirian dan berakhirnya koloni dilakukan dengan kecepatan dan percepatan yang jauh lebih cepat dibanding pada putaran pertama. Pada putaran kedua ini setiap koloni didirikan dengan tingkat 1,452 per tahun pada masa pasang neiknya (1825-1921), dan berkhirnya koloni berjalan dengan tingkat 2,953 per tahun pada masa surutnya (1926-1969).

(11)

Bagi Bergesen dan Schoenberg, meningkatnya keluasan dan frekuensi dari putaran gelobang panjang kolonialisme ini merupakan refleksi dari peningkatan kemakmuran dan kekayaan sistem ekonimi-kapitalis dunia itu sendiri. Bagi mereka, hanya dengan melakukan pengujuian dengan menggunakan alat ukur agregratif dan makro dari keseluruhan proses kolonialisme sejak dari awal perkembangan sampai pada masa berkembang subur dan berakhirnya (1415-1969), berulah peneliti dapat malakukan identifikasi kekayaan kolektif dari tata ekonomi kapitalis dunia jika demikian halnya, pertanyaan yang perlu mereka jawab kemudian adalah bagaimana mereka menjelaskan perubahan yang terus-menerus dari sistem ekonomi dunia ini terefleksikan di dalam gelombang panjang kolonialisme.

Model Teoritis

Rumusan teoritis yang di ajukan oleh Bergesen dan Schoenberg bertumpu pada tugi faktor yang saling berkaitan, yakni, pertama, distribusi kekuasaan di antara negara-negara sentral; kedua, stabilitas negara-negara sentral; dan ketiga, jawaban sistematik yang terwujud dalam bentuk kolonialisme dan merkantilisme. Jika terjadi penyebaran kekuasaan yang saling bersaing dan berebut untuk menguasai dan memperoleh posisi dominan di dalam tatanan ekonomi kapitalis dunia. Ditengah situasi ketidakstabilan dan konflik ini, sistem-dunia “menarik dirinya sendiri secara menyeluruh dari tatanan yang sudah ada, dan sekaligus menegarkan kehadirannya kembali dalam tata sosialnya. Kolonialisme, kemudian, menjadi suatu mekanisme ekstra-ekonomi yang dapat digunakan untuk menata kembali bangunan hubungan dasar dari negara sentral dan pinggiran dalam pembagian kerja internasiaonal di dalam situasi ketidakstabilan didalam wilayah negara-negara sentral dan munculnya kolonialisme, kebijaksanaan politik perdagangan antara negara sentral dan negara pinggiran yang berupa kebijaksanaan merkantilisme, yang antara lain terwujud dalam bentuk peningkatan tarif, pembatasan impor, dan kebijaksanaan proteksi yang lain, lahir dan berkembang. Secara ringkas, situasi menyebarnya kekuasaan pada berbagai negara sentral merupakan situasi menyebarnya kekuasaan pada berbagai negara sentral merupakan sebab tumbuhnya ketidakstabilan, tumbuh dan meluasnya

(12)

kolonialisme dan munculnya merkantilisme. Dalam situasi demikian, terjaga utuhnya sistem dunia lebih mengandalkan pada perhitungan dan hubungan politik. Pada situasi sebalikanya, jika terjadi konsentrasi kekuasaan pada satu atau sedikitnya dari negara-negara sentral (a unicentric core), negara yang memang posisi hegemoni akan menyediakan mekanisme yang dari padanya diharapkan akan mampu merealisir semua, paling tidak sebagian besar, kepentingan negara-negara sentral. Dalam situasi yang demikian stabil tidak nampak secara riil kebutuhan kebijaksanaan politik untuk mengatur hubungan sentral dan pinggiran. Dengan kata lain, konsentrasi hegemoni dan stabilitas negara-negara sentral berkaitan erat dengan proses dekolonialisasi dan runtuhnya kebijaksanaan merkantilisme. Dalam situasi yang demikian, utuh dan terjaganya sistem dunia lebih bergantung pada mekanisme ekonomi dibanding dengan kebijaksanaan politk.

Gelombang Panjang Kolonialisme

Bergesen dan Schoenberg membedakan lima fase perjalanan sejarah kolonialisme. Pertama, periode antar tahun 1500 dan 1851 ditandai ketidakstabilan negara sentral. Setelah runtuhnya feodalisme, adanya berbagai bentuk negara yang mewakili sistem negara-negara di Eropa mengarah pada struktur yang tidak stabil. Ini terjadi karena tidak satupun dari berbagai negara tersebut berada dalam posisi hegemoni yang mampu memegang kendali kekuasaan untuk memberikan jaminan kestabilan politik jangka panjang. Struktur yang tersebar ini hanya menghadirkan perang dan konflik yang berkepanjangan.

Dalam periode ini, gelombang pertama ekspansi kolonialisme dilakukan oleh Spanyol yang terpusat di Amerika. Hubungan ekonomis antara negara pinggiran dan sentral sangat structural dan siatus secra politis. Kebijaksanaan merkantilisme dari perdagangan colonial dijalankan sepenuhnya berdasarkan aturan politik yang ketat. Negara penjajah memberlakukan larangan bagi kapal asing untuk mengankut barang atau sekedar berlabu dipelabuhan negara koloni. Pangiriman barang-barang impor dan ekspor dari produk negara-negara koloni hanya diperbolehkan melalui pelabuhan negara sentral. Dan lebih dari itu negara

(13)

koloni dibatasi hanya untuk menghasilkan barang-barang yang khusunya diperlukan oleh negara sentral.

Kedua, adanya periode stabil di wilayah sentral, yang terjadi antara tahun

1851 sampai dengan tahun 1870. Setelah Inggris muncul sebagai pemegang hegemoni dunia, negara-negara sentral secrah keseluruhan lebih bertindak ke arah bentuk-bentuk kerja sama, Pax Britannica. Konflik berkepanjangan yang terjadi pada masa sebelumnya berakhir, dan lahir periode damai yang panjang. Dengan stabilitas yang demikian terjamin di negara-negara sentral, dominasi politik riil dari negara sentral terhadap negara pinggiran, paling tidak untuk sementara waktu, mengendur. Dari sinilah terjadi kontraksi kolonisasi, misalnya yang terjadi pada proses dekolonisasi Amerika. Demikian pula kebijaksanaan merkantilisme mulai tidak laku, dan ea perdagangan bebas mulai bangkit.

Ketiga, antara periode tahun 1870 sampai pada tahun 1945 yang lebih

ditandai oleh ketidak stabilan negara-negara sentral. Hegemoni Inggris mulai menurun, sementara Jerman dan Amerika mulai menpilkan diri sebagai negara adikuasi baru. Dari sinilah muncul persaingan internasional, yang kemudian membawa akibat pada timbulnya friski, krisis, dan kemudian akhirnya lahir konflik yang terang-terangan, yang kemudian dikenal dengan sebutan “perang 30 tahun kedua”, dari tahun 1914 sampai dengan tahun 1945. Kestabilan diwilah sentral ini pada gilirannya menimbulkan akibat yang sistematis dibelahan dunia negara pinggiran. Disinlah lahir gelombang kedua ekspansi kolonialisme kedua yang terpusat di Afrika, India, dan Asia; dan sejak ini pulah hubungan ekonomi pinggiran dan sentral lebih diatur secara politis yang dalam bentuk nyatanya mewujudkan dalam pelaksanaan kebijaksanaan dalam merkantilisme.

Keempat, lahirnya kembali periode stabil diwilayah sentral, yang terjadi

sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1973. Wilayah sentral didominasi oleh satu negara adikuasa yakni Amerika Serikat, dan karenanya terjadilah suasana damai diantara bebrapa, kalau bukan semua, negara sntral. Pax Britannica. Dengan kestabilan negara-negara sentral ini, terjadi lagi gerak dekolonisasi, yakni yang terjadi di Afrika, India, dan Asia, dan sekaligus juga muncul kecenderunagn untuk kembali berlakunya perdagangan bebas.

(14)

Gelombang terakhir, berkaitan dengan pertanyaan, apa yang telah dan sedang terjadi setelah tahun 1973. Menurut Bergesen dan Schoenberg, “kita nampaknya sedang memasuki suatu putaran global dari gelombang ke tiga kolonialisme”. Sekalipun mereka menyadari tentang telah tidak adanya kolonialisme formal, Bergesen dan Schoenberg menyebut berbagai karakteristik yang menurut mereka dapat digunakan sebagai indicator tentang sedang terjadinya ekspansi kolonialisme. Pertama, nampak terlihat jelas bahwa hegemoni Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia menurun, dan ini, menurut Bergesen dan Schoenberg, membuka peluang besar untuk terciptanya suasana ketidak stabilan di antara negara-negara sentral. Jepang, Jerman, dan Uni Soviet mulai menunjukan gejala menantang menantang hegemoni Amerika Serikat. Kedua, untuk yang ketiga kalinya terlihat jelas tanda-tanda lahirnya pelaksanaan pengaturan politik untuk urusan perdagangan internasional, yang terlihat jelas wujudnya dengan munculnya berbagai kebijaksanaan proteksi dan pembatasan impor. Ketiga, mulai terlihatnya usaha-usaha negara-negara sentral untuk lebih terang-terangan secara politik mengendalikan wilayah negra pinggiran melalui perdagangan senjata. Gejalah ini lebih dipertegas dengan semakin tidak jelasnya posisi gerakan nonblok negara-negara Dunia Ketiga, yang nampaknya memiliki kecenderungan untuk segerah, atau bahkan sudah, bahwa mereka semakin terlihat terpecah-pecah seiring dengan pengaruh politk yang diterima dari berbagai negra sentral.

Kecenderunga Jangka Panjang

Dengan menganalisis dan membandingkan ketiga gelombang panjang kolonialisme yang telah dan sedang terjadi, Bergesen dan Schoenberg melihat bahwa, seiring dengan perjalanan waktu, gelobang kolonialisme memiliki cirri-ciri “merusak” yang semakin berkurang, berlangsung lebih pendek , tetapi memiliki jangkauan wilayah yang lebih luas.

Berkaitan dengan akibat kolonialisme, gelombang pertama yang lebih dikenal sebagai bentuk “penjajahan kependudukan “ disini tidak hanya menggambarkan upaya pemaksaan peniruan model masyarakat negara sentral di

(15)

negara jajahan, tetapi juga sekaligus untuk menunjukan betapa negara sentral telah secara sungguh sungguh-sungguh mencibaa mencabut akar budaya masyarakat setempat, dengan mewujudkan berbagai bentuk dan macam perbudakan, dan secara total hendak menghapuskan pranata sosial yang selama ini dimiliki oleh negara jajahan. Ketika gelobang kedua kolonialisme lahir, karena skala dan jumlah akibat perusaknya lebih kecil, gelobang ini lebih bersifat “penguasaan” dari pada sebagai upaya pengganti total dari satu perangkat pranat sosial masyarakat tertentu dengan pranata sosial yang lain, dari negara penjajah. Gelombang kolonialisme ketiga, yang sekarang ini sedang terjadi, lebih merupakan munculnya satu situasi “ketergantungan” negara pinggiran dan berkembang dan dominannya “pengaruh” negara sentral.

Sejalan dengan waktu terjadinya, semakin belakang munculnya gelombang kolonialisme, semakin pendek waktu yang digunakan. Gelombang pertama berlangsung kurang lebih lama dari 100 tahun. Jika kecenderungan gelombang ketiga ini tetap berjalan, Bergesen dan Schoenberg menduga bahwa, gelombang ini akan lebih pendek dibandingkan gelombang kedua.

Namun demikian, yang tidak kalah menariknya, ternyata jangkauan wilaya geografis negarah jajahan yang terlibat dalam tatana ekonomi kapitalis dunia semakin luas seiring dengan urutan waktu lahirnya gelobang kolonialisme. Gelombang pertama mencapai puncak pada di tahun 1770 debfab 147 wilayah colonial. Sementara gelombang kedua mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1921 memiliki 168 negarah jajahan. Bergesen dan Schoenberg berpendapat bahwa gelobang ketiga ini akan melibatkan wilayah geografis yang lebih luas dibandingkan gelombang-gelombang sebelumnya, khususnya jika dilihat dari jumlah dan intensitas penjual senjata, yang telah melibatkan Amerika Latin, yang sebelumnya, dalam gelombang kedua kolonialisme, merupakan wilayah-wilayah negara yang “merdek” dan tidak terlibat sama sekali.

Pernyataan terakhir yang hendak diajukan Bergesen dan Schoenberg berkaitan dengan mencari jawaban terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik gelombang kolonialisme, yang semakin tidak merusak, semakin pendek, tetapi lebih berjangkauan luas. Mereka berpendapat bahwa kecenderungan ini berkaitan erat dengan sifat ekstensif dan intesif pembangunan

(16)

jangka panjang dari pembangunan ekonomi kapitalis dunia itu sendri. Gelombang kolonialisme pertama sangat berakibat merusak dan berjangka panjang karena gelombanng ini lebih merupakan perwujudan dari usaha untuk menghancurkan dan mnyusun kembali wilayah-wilayah sistem ekonomi dunia, untuk kemudian menjadikan wilayah tesebut terlibat dengan pembagian kerja internasional dari sistem ekonomi-kapitalis dunia tersebut. Upaya menyusun mode produksi lokal untuk menjadi bagian yang fungsional dari pembagian kerja dunia memerlukan tenaga dan kekuatan yang luar biasa besarnya. Penaklukan, penjarahan, perbudakan, dan pencabutan akar budaya lokal merupakan bagian tak terpisahkan untuk mencapai tujuan usaha penggabungan berbagai wilayah kelokari kedalam tatanan ekonomi dunia yang terintegrasi.

Setelah berbagai perasaan dasar dari wilayah pinggiran tertata semakin rapi segaris dengan keperluan pembagian kerja internasional, barulah kemudian hubungan ekonomi, khususnya hubungan perdagangan, tumbuh dan berkembang, dan akhirnya menjadikan hubungan ekonomi inilah yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap intergrasi dan utuhnya keseluruhan sistem. Oleh karena itu, Bergesen dan Schoenberg berkesimpulan bahwa “semakin kuat sistem duniah tumbuh, maka sestem itu akan semakin mampu memikul beban kenyataan dan kebutuhan kolektif sistem dunia itu sendri, dan karenanya semakin tidak diperlukan hubungan di luar kepentingan ekonomi (extra-economic linkages), dan jika demikian halnya maka kolonialisme dan kebijaksanaan perdagangan yang bersifat politik semakin sedikit di perlukan dan semakin pendek jangkauan waktunya. Semakin luasnya jangkauan wilayah yang terlibat juga nerupakan refleksi dari keseluruhan proses ekspansi dari sistem itu sendri.

Namun demikian, jika sistem ekonomi dunia mengalami kesulitan, nampaknya selalu ada kecenderungan untuk kembali yang menggunakan hubungan diluar kepentingan ekonomi, yang kemudian nampaknya selalu ada kecenderungan untuk kembali yang menggunakan hubungan diluar kepentingan ekonomi, yang kemudian nampak wujudnya dengan lahirnya kembali kolonialisme.sekalipun demikian sistem ekonomi dunia tidak dapat bergerak mundur atau kembali seperti ketika awalnya terbentuk, karena sistem ini telah dan selalu semakin kuat dibanding masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, jika

(17)

kolonialisme muncul kembali, sistem dunia hanya memerlukan sedikit usaha di luar kepentingan ekonomi (extra-economic efforts) untuk membawa kembali kepada operasi normalnya. Ini merupakan jawaban mengapa gelobang kedua kolonialisme berlangsung lebih pendek dan memiliki akibat yang kurang merusak dibandingakan gelombang pertama.

Dengan mengikuti garis pembahasan tersebut, nampaknya gelombang kolonialisme untuk masa yang akan datang selalu semakin pendek waktunya dan semakin ringan akibatnya, dan pada gilirannya nanti tidak akan pernah mewujud kwmbali. Nemun demikian, Bergesen dan Schoenberg masih tetap berspekulasi bahwa “periode krisis kepitalisme akan selalu memerlukan semacam model akumulasi modal secara primitive untuk membawa kembali sistem itu berpijak secara teguh. Jika demikian halnya, ketika suatu saat kita mengalami terjadinya masa surut yang berat dari sistem ekonomi dunia, kebijaksanaan dan pengaturan politk akan muncul kembali, yang diperlukan untuk mengatur kembali mekanisme yang telah ada dan membimbing berlanjtnya kembali sistem itu”.

Secara ringkas, dari keseluruhan penjelasan tentang gelombang panjang kolonialisme dari Bergesen dan Schoenberg, tidak berlebuhan jika dikatakan bahwa mereka telah secara teliti dan berhasil dengan baik mengambil dan menggunakan struktur teori dan konsep sistem dunia.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi keuangan perusahaan manufaktur yang seperti ini memberikan gambaran bahwa ada perusahaan tertentu yang mana kondisi kas yang dimiliki tidak terlalu besar dan ukuran

“Kakak, kenapa kita tidak boleh menangkap ikan lompa dan bermain seluncuran?” tanya Alfren..

Selain itu, pengaplikasian Kaedah Fiqhiyyah oleh para hakim dalam kes-kes yang dilaporkan juga telah menepati maksud dan tujuan sesuatu Kaedah Fiqhiyyah6. Kaedah

PBI No.6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas PBI No.2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan ketentuan tentang Fasilitas Pembiayaan

Pengelolaan efektif didefinisikan sebagai “(tingkat) sejauh mana upaya-upaya pengelolaan memberikan hasil atau dampak yang positif baik bagi sumberdaya hayati dalam kawasan maupun

1) Kota Manado Penyerapan tenaga kerja menurut sektor ekonomi dengan pertumbuhan terbesar di Kota Manado adalah sektor keuangan sebesar 19,17 sedangkan yang paling kecil

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa skema back-off pada protokol IEEE 802.11p yang diterapkan di VANETs pada skenario node sesuai dengan kondisi Kota Makassar memiliki rata-

Model tersebut menunjukkan bahwa angka kematian bayi akan meningkat satu satuan pada rata-rata 0,299 berat badan bayi lahir rendah dan angka kematian bayi akan meningkat pada