• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF POSITIF DAN NEGATIF DIGLOSIA SEBAGAI FENOMENA KEBAHASAAN DALAM MASYARAKAT MULTBAHASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSPEKTIF POSITIF DAN NEGATIF DIGLOSIA SEBAGAI FENOMENA KEBAHASAAN DALAM MASYARAKAT MULTBAHASA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF POSITIF DAN NEGATIF DIGLOSIA SEBAGAI FENOMENA

KEBAHASAAN DALAM MASYARAKAT MULTBAHASA

Ria Dwi Puspita Sari

Program Studi Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret

riapuspita@student.uns.ac.id

Abstract: This study aims to describe (1) a positive perspective; and (2) the negative perspective of diglosis as a linguistic phenomenon in multilingual society. The method in this research is literature or literature review then described in a qualitative descriptive manner. Data and data sources used in this study include secondary data types in the form of scientific journals both national and international. Data analysis techniques used are data reduction, data presentation, and drawing conclusions with verification. The results showed (1) the positive perspective of diglosis as a linguistic phenomenon is to add to the linguistic treasures and can provide community understanding in using language variations wisely and in accordance with their functions. In addition, it can uphold Indonesian as a national and unifying language, and still preserve low-diversity languages as local languages. Next can overcome the shift in national languages due to other languages such as slang. (2) the negative perspective of diglossia as a linguistic phenomenon is that if people who are multilingual are unable to use the concept of diglossia properly and correctly can intervene in the use of high and low variety languages. If in education can interfere with the native language of students and teachers, especially those from different countries. Furthermore, it can trigger shifts and even lead to the extinction of both high (H) and low (L) variance. Keywords: multilingual society, diglosia, positive and negative perspectives.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) perspektif positif; dan (2) perspektif negatif diglosia sebagai fenomena kebahasaan dalam masyarakat multibahasa. Metode dalam penelitian ini adalah literatur atau kajian kepustakaan kemudian diuraikan secara deskripstif kualitatif. Data dan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini termasuk jenis data sekunder berupa jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional. Teknik analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya. Hasil penelitian menunjukkan (1) perspektif positif diglosia sebagai fenomena kebahasaan adalah menambah khazanah kebahasaan dan dapat memberikan pemahaman masyarakat dalam menggunakan variasi bahasa dengan bijaksana serta sesuai dengan funginya. Selain itu, dapat menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan pemersatu, dan tetap melestarikan bahasa ragam rendah sebagai bahasa lokal. Berikutnya dapat mengatasi pergeseran bahasa nasional akibat adanya bahasa lain seperti bahasa gaul. (2) perspektif negatif diglosia sebagai fenomena kebahasaan adalah apabila masyarakat yang memiliki multibahasa tidak mampu menggunakan konsep diglosia dengan baik dan benar dapat mengintervensi penggunaan bahasa ragam tinggi maupun ragam rendah. Apabila dalam pendidikan dapat mengganggu bahasa asli siswa maupun guru, terutama yang berasal dari beda negara. Selanjutnya dapat memicu pergeseran bahkan menimbulkan kepunahan bahasa baik ragam tinggi (H) maupun ragam rendah (L).

Kata Kunci: masyarakat multibahasa, diglosia, perspektif positif dan negatif.

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multibahasa. “Multilingualism relates to speaking or using several languages, so it is possible for an individual or a society to be multilingual” (Ayeomoni and Omoniyi, 2012, hlm. 12). Kenyataan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah terjadinya pemakaian bahasa yang dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain, daerah yang berbeda, kelompok atau keadaan sosial yang berbeda, situasi berbahasa, dan tingkat formalitas yang berbeda (Nababan dalam Noveria, 2008, hlm. 100). Hal inilah yang menyebabkan timbulnya ragam bahasa atau dapat disebut juga fenomena kebahasaan. Salah satu fenomena yang dapat terjadi adalah diglosia.

(2)

aery dioergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed oariety, the aehicle of a large and respected body of written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any section of the community for ordinary conversation”

Pada awalnya, istilah diglosia mengacu kepada situasi yang dialami oleh dua varian dari bahasa yang sama. Satu varian mengemban fungsi tinggi (H) dan lainnya mengemban fungsi rendah (L). Kehadiran dua bahasa dalam suatu masyarakat akan membuat pilihan untuk menentukan pilihan tersebut, yakni pilihan bahasa apa yang akan digunakan dalam berkomunikasi (Suryadi, 2015, hlm. 4)

Gaya juga berkaitan dengan diglosia yaitu situasi yang menuntut pemakaian dua ragam pokok bahasa secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda. Ragam pokok yang pertama disebut ragam tinggi (formal style), yaitu ragam yang biasa dipakai untuk sarana kepustakaan dan kesusasteraan yang muncul pada satuan masyarakat bahasa. Ragam pokok yang kedua disebut ragam rendah (informal style) yang muncul dan tumbuh dalam berbagai rupa dialek rakyat. Ragam tinggi digunakan untuk berbagai keperluan seperti, pidato resmi, khotbah atau ceramah, penyiaran, penulisan yang bersifat resmi termasuk tajuk rencana dan artikel dalam surat kabar, dan susastra. Ragam rendah biasa digunakan untuk percakapan yang akrab, tawar menawar dalam jual beli, tulisan tak resmi seperti dalam surat antarpribadi, dan dalam kolom khusus surat kabar yang sengaja memeragakan ragam itu (Alwi dalam Nuryadi, 2011, hlm. 80).

Kenyataan dilapangan fenomena kebahasaan berupa diglosia ada yang memandang dari persepktif positif dan negatif. Perspektif di sini tidak hanya dari segi sudut pandang saja, namun juga melihat kenyataan atau kondisi yang sesuai dengan konteks dari efek yang ditimbulkan akibat adanya fenomena diglosia ini. Terdapat beberapa faktor terjadinya masyarakat yang mengalami fenomena diglosia. Cutting dan Hanks (dalam Lenchuk dan Ahmed, 2013, hlm. 84) berpendapat bahwa interpretasi dari tindak tutur tergantung pada konteks, yang meliputi dunia fisik langsung dari lawan bicara, serta pengetahuan sosial, budaya, dan sejarah yang mereka miliki. Berdasarkan beberapa faktor tersebut sangat memungkinkan terjadinya fenomena diglosia. Selain itu, Shams dan Afghari (2011, hlm. 279) juga mengemukakan bahwa budaya adalah komunikasi, dan sebaliknya karena mempengaruhi praktik-praktik sosial secara umum, dan wacana khususnya.

Semua faktor yang mendasari terjadinya femonema diglosia menjadi menarik apabila dikaitkan dengan sudut pandang atau perspektif positif dan negatif mengenai diglosia itu sendiri. Setelah mengetahui beberapa efek positif dan negatif dari diglosia, maka kita sebagai masyarakat multibahasa akan mampu memahami dengan baik hakikat dari diglosia dan bijak dalam menggunakan ragam bahasa sesuai dengan fungsinya tanpa menimbulkan efek negatif.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif kualitatif. Menurut Jhon W.C (dalam Patilima, 2012: 3) penelitian kualitiatf sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau manusia berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Data dan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini termasuk jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara berupa jurnal ilmiah nasional dan internasonal. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur atau metode penelitian kepustakaan. Metode kepustakaan adalah Serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian. (Mestika, 2008: 3).

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perspektif Positif Diglosia sebagai Fenomena Kebahasaan dalam Masyarakat Multibahasa

Sisi positif dari diglosia adalah dapat menggunakan bahasa sesuai dengan fungsinya masing-masing, hal itu akan membuat bahasa nasional seperti bahasa Indonesia semakin stabil, berdaya guna dan merata penyebarannya (R. Hery Budhiono, 2014). Khundaru dkk, (2015, hlm. 33) berpendapat bahwa sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia membawa beberapa fungsi yaitu simbol kebanggaan nasional, lambang identitas nasional yang bersatu bagi masyarakat dari berbagai latar belakang sosial budaya dan bahasa, perangkat kohesif antara wilayah dan budaya.

Selain fenomena diglosia di daerah perbatasan, sisi positif dari diglosia juga dijumpai dalam penggunaan bahasa di siaran televisi dari negara Arab. Penggunaan bahasa disesuaikan dengan ragam bahasa tinggi maupun rendah, selain itu disesuaikan dengan pemirsa yang melihat siaran televisi. Sehingga tidak terjadi penyalahgunaan ragam bahasa. Semua digunakan sesuai fungsinya. (Hassan Alshamrani, 2012). Sejalan dengan itu penelitian lain yang menunjukkan perspektif positif dari diglosia sebagai fenomena kebahasaan yakni meneliti dampak dari diglosia dan karakteristik dari bahasa Arab, pada pengembangan kemampuan fonologi dalam percakapan dan bentuk-bentuk bahasa sastra. (A. Asadi dan Raphiq Ibrahim, 2014). Hasilnya menunjukkan fenomena diglosia yang dialami siswa tidak mempengaruhi kemampuan fonologi mereka, justru menambah khazanah bahasa mereka yang masih dalam satu lingkup negara yakni Arab. Diglosia bukan merupakan masalah apabila penuturnya sadar betul dalam pemakaian bahasanya patuh dengan acuan fungsi masing-masing bahasa tersebut. (Suryadi, 2015, hlm. 4).

Contoh lain perspektif positif diglosia sebagai fenomena kebahasaan adalah dapat membantu mengatasi pergeseran bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa gaul. (Arum & Rahayu, P, 2015). Fenomena lain sebagai perspektif positif dari diglosia adalah fenomena bahasa dari Nigeria. Negara Nigeria adalah negara yang multibahasa dan terdapat diglosia di dalamnya, namun keberagaman bahasa dan adanya diglosia tidak mengganggu penggunaan bahasa. Semua bahasa digunakan sesuai dengan konteks dan keperluan (Ayeomoni dan Moses, 2012)

2. Perspektif Negatif Diglosia sebagai Fenomena Kebahasaan dalam Masyarakat Multibahsa

Sisi negatif diglosia sebagai fenomena kebahasaan antara lain dapat membuat bahasa daerah terpinggirkan, dan sebaliknya bahasa daerah dapat merembes ke atas sehingga mengganggu kestabilan bahasa tinggi (R. Hery Budhiono, 2014). Perspektif negatif yang lain dari diglosia adalah dalam proses pembelajaran siswa di sekolah. Apabila siswa berasal dari negara yang berbeda dan bersekolah di tempat yang sama maka akan memicu kehilangan karakteristik bahasa asli atau bahasa ibu siswa. (Qasem Nawaf Al- Brri, 2015). Berikutnya adalah dapat memicu kepunahan bahasa (Abdurahman Adisaputera, 2009).

Apabila komunitas penutur bahasanya monolingual dan secara kolektif tidak menggunakan bahasa lain, maka dengan jelas ini berarti bahwa komunitas bahasa tersebut mempertahankan pola penggunaan bahasanya (Mardikantoro, 2012, hlm. 207-208).

Efek negatif lain yang ditimbulkan oleh fenomena diglosia adalah dalam kegiatan pembelajaran siswa di sekolah yang berasal dari negara yang berbeda. Sejumlah siswa di Arab yang berasal dari Lebanon mengalami kesulitan dalam mempelajari kosakata Arab karena masih terpengaruh dengan bahasa sendiri yakni bahasa Lebanon (Fedda, et.al, 2012. Hlm. 351-361). Language learners whose culture is perceived to be closer to the culture of the target language society

(4)

Penelitan lain tentang perspektif negatif diglosia sebagai fenomena kebahasaan adalah fenomena diglosis untuk bahasa Arab yakni ragam-ragam dalam bahasa Arab yang memiliki fungsi, warisan tradisi tulis, pemerolehan, pembakuan, tata bahasa, leksikon dan fonologi yang berbeda. Bahasa nasional mereka dapat terancam bergerser, berubah dan lain sebagainya. Apabila hal ini terjadi berlarut-larut akan mengganggu kestabilan bahasa nasional mereka. (Ummi Nurun Ni’mah, 2009). Bahasa nasional dikembangkan dan digunakan sebagai simbol nasional dan fungsinya adalah sebagai identitas bangsa dan alat pemersatu (Nuryadi, 2011, hlm. 79).

Selanjutnya efek negatif diglosia guru dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia kelas X Siswa SMA negeri 2 SEMAPURA (Deva, 2015). Hasil penelitianya adalah dalam penelitian ini ditemukan (1) kebocoran diglosia berjumlah 35 kebocoran, (2) faktor penyebab kebocoran diglosia adalah latar belakang siswa yang sebagian besar berasal dari desa. kemampuan siswa dalam memahami arti kata dalam bahasa Indonesia masih kurang.

Hasil penelitian lain tentang fenomena diglosia yang bocor adalah dalam tradisi siklus kehidupan jawa yakni pada adat pernikahan yang teralkulturasi oleh budaya barat dengan adanya standing party, menyebabkan gaya acara pernikahan dan bahasanya mengalami perubahan (Suryadi, 2015). Penurunan linguistik memang harus dihadapi secara bijak dan bersama-sama. “The decrease of linguistic diversity is a challenge faced by different areas of the planet and which must be faced together (Pérez, 2015, hlm. 115).

KESIMPULAN

Diglosia sebagai suatu fenomena kebahasaan dalam masyarakat multibahasa dapat dipandang dari dua perspektif, yakni positif dan negatif. Pertama, Perspektif positif diglosia sebagai fenomena kebahasaan adalah menambah khasanah kebahasaan dan dapat memberikan pemahaman masyarakat dalam menggunakan variasi bahasa dengan bijaksana serta sesuai dengan funginya. Selain itu dapat menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan pemersatu, dan tetap melestarikan bahasa ragam rendah sebagai bahasa lokal. Berikutnya dapat mengatasi pergeseran bahasa nasional akibat adanya bahasa lain seperti bahasa gaul. Selanjutnya dalam bidang pendidikan, dapat memicu timbulnya strategi para guru dan orangtua dalam upaya mengatasi fenomena diglosia yang dialami siswa. Kedua, Perspektif negatif diglosia sebagai fenomena kebahasaan adalah apabila masyarakat yang memiliki multibahasa tidak mampu menggunakan konsep diglosia dengan baik dan benar dapat mengintervensi penggunaan bahasa ragam tinggi maupun ragam rendah. Apabila dalam pendidikan, dapat mengganggu bahasa asli siswa maupun guru, terutama yang berasal dari beda negara. Selanjutnya dapat memicu pergeseran bahkan menimbulkan kepunahan bahasa baik ragam tinggi (L) maupun ragam rendah (H).

DAFTAR PUSTAKA

Adisaputera, Abdurahman. (2009). Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, 1, 45-54 Alshamrani, Hassan. (2012). Diglossia in Arabic TV stations. Journal of King Saud University

Languages and Translation, 24, 57–69

Asad, Ibrahim A. and Ibrahim, Raphiq. 2014. The Influence of Diglossia on Different Types of Phonological Abilities in Arabic. Journal of Education and Learning; 3, 45-55

Ayeomoni, Moses Omoniyi. (2012). The Languages in Nigerian Socio-political Domains: Features and Functions. Journal English Language Teaching; 10, 12-19

(5)

Fedda, Darwiche, Olfat, Oweini, dan Ahmada. (2012). The Effect of Diglossia on Arabic Vocabulary Development in Lebanese Students. Journal Educational Research and Reviews, 16, 351-361

Ferguson, Charles A. (1959). Diglossia. Dalam Word,15:325-3

Lenchuk, Iryna and Ahmed, Amer. (2013). Teaching Pragmatic Competence: A Journey from Teaching Cultural Facts to Teaching Cultural Awareness iryna lenchuk & amer ahmed. Journal /Re Vue Tesl Du Canada, 30, 7

Mardikantoro, Hari Bakti. (2012). Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam Ranah Keluarga. Jurnal Litera, 2, 204-215

Mestika, Zed. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ni’mah, Ummi Nurun. (2009). Bahasa Arab sebagai Bahasa Diglosis. Jurnal Adabiyyāt, 1, 29-48 Noveria, Ena. 2008. Ragam Fungsiolek Bahasa Penyiar Radio SIPP FM Padang: Suatu Tinjauan

Sosiolinguistik. Jurnal Bahasa dan Seni, 9(2) :99-108

Nuryadi. (2011). Bahasa dalam Masyarakat: Suatu Kajian Sosiolinguistik. Jurnal Makna, 1(2):75-8 Patilima, Hamid. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Pérez, Isabel Corral. (2015). Indigenous Languages, Identity And Legal Framework In Latin America: An Ecolinguistic Approach. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 212, 111 – 116

Qasem Nawaf Al- Brri. (2015). Diglossia among Students: The Problem and Treatment. Journal of Education and Practice, 32, 14-20

Rafieyan, Vahid dkk. (2014). Relationship between Cultural Distance and Pragmatic Comprehension. Journal English Language Teaching, 2, 103-109

Rahayu, Arum Putri. (2015). Menumbuhkan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dalam Pendidikan dan Pengajaran. Jurnal Paradigma, 1

Saddhono, K, Rakhmawati, A. & Hastuti. S. (2016). Indoglish Phenomenon: The Adaptation Of English Into Indonesian Culture. International Scientific Researches Journal, 3, 29-35 Shams, Rabe’a and Afghari, Akbar. (2011). Effects of Culture and Gender in Comprehension of

Speech Acts of Indirect Request. Journal English Language Teaching, 4, 279-287

Sugit, Deva Nirmala. (2015). Diglosia Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas Xa SMA Negeri 2 Semarapura. Jurnal Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1

Suryad, M.. (2015). Keunikan Tuturan Halus Basa Semarangan Sebagai Salah Satu Bentuk Kesantunan Bertutur Pada Masyarakat Jawa Pesisir. Jurnal Parole, 1, 1-11

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dinasti Abbasiyah terutama pada fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur, Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun, merupakan khalifah-khalifah yang sangat

Dalam analisis ini data diambil sample untuk mencari nilai GINI pdays, sehingga dari hasil perhitungan pdays yang digunakan untuk menggantikan data adalah ≤ 158 dan > 158

Rapat Direksi yaitu rapat yang pesertanya terdiri dari Direktur dan para Rapat Direksi yaitu rapat yang pesertanya terdiri dari Direktur dan para Kepala

Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, maka diperlukan sebuah sistem yang efektif dan efisien dalam melakukan pembayaran.Dari rumusan masalah tersebut

Dengan demikian, kiranya ekonomi pasar yang menjadi sasaran kiritik Polanyi adalah yang kini kita kenal sebagai neoliberalisme, di mana ekonomi mendominasi kehidupan sosial, di

Pengguna akan berinteraksi dengan sistem melalui antarmuka GUI (Graphical User Interface).Pada sistem ini, seperti terlihat pada gambar 1, arsitektur perangkat