• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN PERLAKUAN EKSTRAKSI TERHADAP DAYA KECAMBAH BENIH LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN PERLAKUAN EKSTRAKSI TERHADAP DAYA KECAMBAH BENIH LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

103

PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN PERLAKUAN EKSTRAKSI

TERHADAP DAYA KECAMBAH BENIH LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

EFFECT OF

FRUIT MATURITY AND EXTRACTION TREATMENT ON GERMINATION

PERCENTAGE OF LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq))

Arif Irawan1*, Iwanuddin2, Jafred E Halawane3 dan Fuad Muhammad4 1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Diponegoro

Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 5, Semarang Kode Pos 50241 Tel. (024) 8453635 *E-mail: arif_net23@yahoo.com

2Taman Nasional Wakatobi

Jl. Dayanu Iksanuddin No.71 Kota Baubau-Sulawesi Tenggara 93724

3Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado, Sulawesi Utara 95259 Telp. +62 85100666683

4Departemen Biologi Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang Semarang Kode Pos 50275

Diterima: 2 September 2020; Direvisi: 9 Oktober 2020; Disetujui: 23 November 2020

ABSTRAK

Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) merupakan salah satu diantara flora endemik Sulawesi yang keberadaannya semakin langka. Usaha untuk menjaga keberadaan jenis Ficus minahasae dengan mengetahui informasi teknik budidaya jenis langusei khususnya mengenai teknik perkecambahan yang sesuai perlu menjadi perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai terhadap daya kecambah benih langusei. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak lengkap yang disusun dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah klasifikasi tingkat kemasakan benih yang dibedakan berdasarkan kategori warna buah : 1) Buah berwarna oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna oranye-kemerahan, 3) Buah berwarna merah, dan 4) Buah berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor kedua adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri dari : 1) Ektraksi dengan perlakuan kering angin selama 24 jam, 2) Ektraksi dengan perlakuan jemur selama 12 jam, dan 3) Ektraksi dengan perlakuan rendam air selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai untuk menghasilkan daya kecambah benih langusei yang optimal adalah pada kondisi buah pra-masak (warna buah oranye-kecokelatan dan oranye-kemerahan) dengan perlakuan ektraksi yang digunakan adalah direndam selama 24 jam.

Kata kunci: daya kecambah, ekstraksi, kemasakan buah, langusei

ABSTRACT

Langusei(Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) is one of the endemic flora of Sulawesi which existence is increasingly threatened. Attempts to maintain the existence of Ficus minahassae species by understanding the cultivation techniques of the langusei species, especially regarding the appropriate germination techniques, need to be addressed. This study aims to determine the level of fruit maturity and the appropriate extraction treatment for the germination of langusei seeds. The experimental design used in this study was a complete randomization design which is arranged in a factorial pattern. The first factor is the classification of the level of seed maturity based on fruit color categories: 1) Orange-brown fruit, 2) Orange-reddish fruit, 3) Red fruit, and 4) Red-black fruit, while the second factor is the fruit extraction treatment which consists of: 1) Extraction with dry wind treatment for 24 hours, 2) Extraction with drying treatment for 12 hours, and 3) Extraction with water treatment for 24 hours. The results showed that the fruit maturity level and the appropriate extraction treatment to produce optimal langusei seed germination were in the orange-brown and orange-reddish fruit (mature fruits prior to ripening) which was soaked in water for 24 hours.

(2)

104

PENDAHULUAN

Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan

wallaceae yang memiliki arti penting karena di dalamnya terdapat banyak jenis-jenis flora endemik, langka serta unik. Langusei (Ficus minahassae

(Teysm.et.Vr.) Miq) merupakan salah satu diantara flora endemik Sulawesi yang tersebar di Pulau Sulawesi bagian utara, kepulauan Sangir dan Talaud. Tanaman ini dapat dijumpai di hutan-hutan primer, terutama di sepanjang sungai, sampai dengan ketinggian lokasi 135 dari permukaan laut. Pitopang

et al., (2008) menyatakan bahwa pohon Ficus minahassae berukuran kecil, batang mengeluarkan getah warna putih, batangnya sering ditutupi rapat oleh buah yang panjang dan rapat menyerupai janggut yang tergantung. Seperti fungsi Ficus pada umumnya, langusei juga memiliki kemampuan menyimpan cadangan air pada musim penghujan dengan baik dan mengeluarkannya pada musim kemarau secara teratur.

Keberadaan Langusei menjadi penting bagi Sulawesi Utara karena bersama fauna tarsius telah dijadikan maskot provinsi ini. Selain itu Mogea (2002) juga menyampaikan bahwa Ficus minahassae

diketahui merupakan salah satu habitat satwa kuskus, monyet/yaki, dan buahnya merupakan makanan satwa hutan. Langusei oleh masyarakat Sulawesi Utara juga dikenal sebagai salah satu tanaman obat yang biasa digunakan untuk membantu proses kehamilan dan bersalin (Kaunang dan Samuel, 2017). Lebih lanjut diketahui bahwa daun langusei juga digunakan sebagai antirematik dan dapat menyembuhkan bisul dan memar (Olowa et al., 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Simbala (2007) diketahui bahwa langusei merupakan salah satu jenis tanaman yang semakin langka keberadaannya, hasil pengamatan yang dilakukan dikawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBW) menyatakan bahwa jenis ini sudah semakin sulit ditemukan (hanya terdapat pada lokasi tertentu misalnya di Hutan Tumokang dan Hutan G. Kabila). Yanengga et al. (2015) juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan,

Ficus minahassae berada pada 3 tingkatan jumlah individu terendah yang ditemukan dari penghitungan 9 (sembilan) jenis Ficus di kawasan Taman Hutan Raya Gunung Tumpa. Lebih lanjut juga disampaikan bahwa penyebaran kelompok Ficus berdasarkan tingkat tumbuh secara umum menunjukkan bahwa angka tertinggi terdapat pada fase pohon dan tiang,

sedangkan angka terendah pada fase sapihan diikuti oleh semai. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan adanya kesulitan jenis Ficus untuk beregenerasi secara alami. Usaha untuk menjaga keberadaan jenis Ficus minahassae selayaknya perlu menjadi perhatian, hal ini berkaitan dengan terus meningkatnya degradasi lahan dan deforestasi yang tentunya sangat mempengaruhi keberadaan dan kelestarian Ficus minahassae. Mengantisipasi permasalahan tersebut, salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah mengetahui informasi budidaya jenis Langusei khususnya mengenai teknik perkecambahan yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemasakan buah optimal dan perlakuan ekstraksi yang sesuai terhadap daya kecambah benih langusei.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Mei Tahun 2019 di Persemaian Permanen BPDASHL Tondano Kima Atas yang berada di komplek kantor Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Provinsi Sulawesi Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah langusei yang berasal dari Desa Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Peralatan yang digunakan berupa bak tabur, media pasir, label, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Buah langusei yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah yang diunduh langsung dari pohon yang terdapat di sekitar kawasan wisata air terjun Kima Atas. Buah dipisahkan berdasarkan tingkat kemasakan dan selanjutnya diekstraksi menggunakan beberapa perlakuan. Klasifikasi tingkat kemasakan benih dibedakan berdasarkan kategori warna buah (oranye-kecokelatan; oranye-kemerahan; merah; dan merah-kehitaman). Buah tersebut selanjutnya diekstraksi menggunakan beberapa perlakuan seperti ekstraksi kering (kering angin dan penjemuran) dan ekstraksi basah berupa perendaman. Ekstraksi kering dilakukan dengan mengeringkan buah terlebih dahulu dengan kondisi kering angin selama 24 jam dan dijemur di bawah sinar matahari selama 12 jam untuk menghilangkan air dan kandungan minyak yang terdapat pada buah. Setelah kondisi kering, buah disaring untuk memisahkan antara daging buah dan benih langusei. Sedangkan untuk perlakuan

(3)

105 perendaman dilakukan dengan merendam buah

dalam air selama 24 jam dan selanjutnya setelah daging hancur benih dipisahkan menggunakan saringan kain untuk mendapatkan benihnya. Setiap

perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali dengan masing-masing ulangan terdiri dari 50 benih. Setiap ulangan ditabur pada bak plastik dan selanjutnya dilakukan pengamatan.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak lengkap yang disusun dengan pola faktorial dengan faktor pertama adalah klasifikasi tingkat kemasakan benih yang dibedakan berdasarkan kategori warna buah : 1) Buah berwarna oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna oranye-kemerahan, 3) Buah berwarna merah, dan 4) Buah berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor kedua adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri dari : 1) Ektraksi dengan perlakuan kering angin selama 24 jam, 2) Ektraksi dengan perlakuan jemur selama 12 jam, dan 3) Ektraksi dengan perlakuan rendam air selama 24 jam. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali dengan masing-masing ulangan terdiri dari 50 benih. Setiap ulangan ditabur pada bak plastik dan selanjutnya dilakukan pengamatan daya kecambah benihnya dengan rumus:

Keterangan :

∑KN = Jumlah benih yang berkecambah normal N = Jumlah benih yang ditabur

Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam dan untuk melihat perbedaan signifikansi dilakukan uji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range

Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa interaksi perlakuan tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya berkecambah benih langusei (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kemasakan buah dan perlakuan awal sebelum benih Langusei disemai sangat mempengaruhi kemampuan berkecambah benih langusei tersebut.

Gambar 1. (a) Buah langusei yang masih melekat pada tangkai buah, (b) Perlakuan tingkat kemasakan benih Langusei berdasarkan warna buah, 1) Buah berwarna oranye-kecokelatan; 2) Buah berwarna oranye-kemerahan; 3) Buah berwarna merah; dan 4) Buah berwarna merah-kehitaman, (c) Benih Langusei setelah diektraksi, 1) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna oranye-kecokelatan; 2) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna oranye-kemerahan; 3) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna merah; dan 4) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna merah-kehitaman.

(1)

(2)

(3)

(4)

(c) (b) (a)

(1)

(2)

(3)

(4)

(a)

(4)

106

Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi terhadap daya berkecambah benih langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

Sumber Variasi Derajat

Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah

Tingkat kemasakan buah 3 6.630,56 2.210,19*

Perlakuan ekstraksi 2 9.908,22 9.908,22*

Interaksi 6 6.715,78 1.119,29*

Galat 24 482,67 20,11

Total 35 23.737,22

Keterangan : * = nyata pada tingkat kepercayaan 95 % Uji lanjut untuk mengetahui daya kecambah terbaik dari pengaruh interaksi tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi benih ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji lanjut pengaruh interkasi tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi terhadap daya kecambah benih langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

No Perlakuan Daya berkecambah (%) 1. Oranye-kecokelatan*rendam 82,67 a 2. Oranye-kemerahan*rendam 78,00 ab 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Oranye-kemerahan*kering angin Oranye-kecokelatan*jemur Merah*kering angin Merah*rendam Merah-kehitaman*kering angin Oranye-kemerahan*jemur Oranye-kecokelatan*kering angin Merah-kehitaman*rendam 72,67 bc 65,33 cd 64,67 d 64,00 d 60,67 d 52,67 e 48,00 e 48,00 e 11. 12. Merah*jemur Merah-kehitaman*jemur 2,67 f 0,00 f Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama

dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa daya kecambah tertinggi dari interaksi perlakuan tingkat kemasakan buah dengan perlakuan ekstraksi dihasilkan dari buah langusei berwarna oranye-kecokelatan dengan perlakuan ekstraksi direndam selama 24 jam, walaupun hasil tersebut secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan buah langusei berwarna oranye-kemerahan dengan perlakuan ekstraksi rendam selama 24 jam. Lestari dan Surahman (2012) menyatakan bahwa tingkat kemasakan buah berpengaruh nyata terhadap viabilitas benih. Benih yang telah masak secara fisiologis biasanya dihasilkan dari buah yang telah masak secara morfologi. Ningsih (2012) menyatakan bahwa proses pematangan fisiologis pada buah dan benih biasanya terjadi secara bersamaan, sehingga waktu matangnya buah biasanya bersamaan dengan waktu matangnya benih. Penentuan tingkat kemasakan buah bervariasi tergantung pada jenisnya

(Wulananggraeni et al., 2016). Tingkat kemasakan buah (masak fisiologis) penting diketahui guna menentukan waktu panen buah yang tepat, karena waktu pemanenan sangat mempengaruhi vigor dan viabilitas benih (Surahman et al., 2012). Salah satu kriteria yang sering digunakan dalam menentukan tingkat kemasakan buah adalah warna kulit buah (Sutan, 2015). Tingkat warna buah berkaitan erat dengan proses pemasakan buah atau benihnya (Yuniarti et al., 2016).

Langusei memiliki karakteristik waktu kemasakan buah yang tidak seragam, dalam satu tangkai biasanya terdapat beberapa rumpun buah, dan setiap rumpun buah tersusun atas beberapa polong buah yang masih muda hingga buah yang telah tua. Seymour et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat kemasakan fisiologis pada setiap tanaman bervariasi bahkan dalam satu pohon juga bervariasi. Tingkat kemasakan buah langusei dapat dilihat dari Gambar 1. Buah pra-masak ditandai dengan warna kulit buah oranye-kecoklatan dengan kulit agak keras, selanjutnya buah berubah menjadi oranye-kemerahan dengan kulit buah sedikit lunak, kemudian berubah menjadi warna merah dan terakhir menjadi warna merah-kehitaman dengan kulit buah yang sangat lunak. Setyowati dan Fadli (2015) menyatakan bahwa perubahan warna yang tejadi pada buah disebabkan peningkatan produksi gula dan kadar air pada daging buah sehingga buah berubah menjadi lunak. Lebih lanjut disampaikan bahwa terjadinya perubahan warna pada buah disebabkan karena menurunnya kadar klorofil disertai dengan meningkatnya kadar karotenoid dan antosianin. Sutan (2015) menambahkan bahwa perubahan warna kulit juga sejalan dengan terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia yang terjadi pada buah baik kulit maupun pada daging buah. Perubahan fisik yang dapat dilihat secara visual adalah perubahan warna, sedangkan perubahan fisik yang harus dirasakan dengan menggunakan panca indera diantaranya adalah kekerasan. Selanjutnya Sutan (2015) juga menyatakan bahwa faktor kekerasan daging buah

(5)

107 sangat dipengaruhi oleh tingginya protopektin pada

kulit buah yang tinggi, sedangkan pada kulit buah yang lunak protopektin sudah terombak menjadi pektin.

Buah langusei dengan warna oranye-kecokelatan pada dasarnya masih merupakan buah kategori pra-masak karena masih memiliki kulit buah sedikit keras. Berdasarkan hasil ini dapat terlihat bahwa benih langusei telah memasuki masa masak secara fisiologis sejak buah pada kondisi pra-masak (warna oranye-kecokelatan). Masak fisiologis akan menentukan waktu pengunduhan dan kualitas buah yang dipanen (Perotti et al., 2014). Pada tingkatan ini, benih telah memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio secara sempurna. Cadangan makanan dalam benih merupakan bahan yang akan dihidrolisis selama perkecambahan dan ditransfer ke poros embrio untuk pertumbuhan semai (Setyowati dan Fadli, 2015). Buah yang dipanen tepat waktu atau pada saat masak fisiologis akan menghasilkan benih yang berkualitas lebih baik dibandingkan dengan buah yang dipanen pada awal dan akhir masak fisiologis (Aminah dan Siregar, 2019).

Kondisi masaknya benih sebelum masaknya buah pada benih Langusei juga terjadi pada benih lain seperti benih tembesu dan salam. Junaidah et al.

(2014) menyatakan buah tembesu yang muda (berwarna hijau) memiliki daya vigor yang lebih baik dibandingkan benih yang berasal dari buah tembesu yang matang dan tingkat kematangan buah yang lebih lanjut berpotensi menurunkan kemampuan benih untuk berkecambah. Sedangkan Setyowati dan Fadli (2015) menyatakan bahwa untuk keperluan benih salam (Syzygium polyanthum), buah dapat dipanen pada tingkat kematangan pra-matang dengan ciri warna buah hijau kemerahan. Walaupun terdapat juga benih yang masak fisiologis bersamaan dengan masaknya buah seperti yng terjadi pada benih kepuh (Sterculia foetida Linn.) (Sudrajat et al., 2011); dan jarak pagar (Lestari dan Surahman, 2012). Nilai daya berkecambah buah Langusei pra-masak yang lebih baik dibandingkan kondisi buah masak dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah perubahan fisiologis tanaman selama proses pemasakan benih. Beberapa teori umumnya mengaitkan adanya perubahan kondisi fisiologi selama proses pemasakan benih yang dapat berbeda intensitasnya antar jenis tumbuhan, seperti dalam hal penurunan kadar air, ketersediaan enzim dan aktivitas metabolisme yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan kemampuan benih untuk berkecambah

(Schmidt, 2000).

Metoda ekstraksi benih dari buah ditentukan oleh karakteristik dari masing-masing buah (Yuniarti et al., 2013). Lebih lanjut disampaikan bahwa metoda ekstraksi benih akan mempengaruhi mutu fisik dan fisiologis benih yang dihasilkan. Benih langusei terdapat dalam polong buah yang dilapisi cairan berminyak yang sulit dipisahkan jika tanpa perlakuan ekstraksi. Perlakuan ekstaksi rendam air selama 24 jam merupakan perlakuan ekstraksi yang sesuai untuk benih langusei terutama jika dibandingkan dengan perlakuan ekstraksi jemur. Perlakuan sejenis juga sesuai dengan benih Macaranga gigantea

(Susanto et al., 2016) dan Piper aduncum (Susanto et al., 2018).

Interaksi perlakuan ekstraksi jemur dengan buah warna merah dan merah-kehitaman memberikan nilai persen terendah dibandingkan perlakuan interaksi lainnya. Setyowati (2009) menyatakan bahwa apabila ditinjau dari kondisi kadar air, biji pra-masak mempunyai kadar air awal yang lebih tinggi dari pada biji masak. Yuniarti et al. (2016) menyatakan bahwa buah trema yang masih belum masak fisiologis (warna hijau) mempunyai kadar air buah dan kadar air benih paling tinggi kemudian nilainya menurun pada warna buah coklat hingga titik nilai terendah pada buah berwarna hitam. Buah langusei dengan warna merah dan merah-kehitaman diduga memiliki kandungan kadar air yang lebih rendah jika dibandingkan dengan buah berwarna oranye-kecoklatan dan oranye-kemerahan. Perlakuan penjemuran yang dilakukan terhadap buah Langusei berwarna merah dan merah-kehitaman mengakibatkan benih berada dibawah kadar air kritis sehingga benih sudah tidak mampu berkecambah.

Benih langusei dapat dikategorikan benih yang peka terhadap pengeringan sehingga pengeringan cepat (langsung dibawah sinar matahari) akan menurunkan daya berkecambah benih dibandingkan pengeringan secara perlahan (kering angin). Benih langusei merupakan benih yang membutuhkan kadar air yang tinggi untuk dapat berkecambah secara optimal. Benih dengan karakteristik tersebut merupakan salah sau ciri yang dimiliki benih reklsitran atau semi rekalsitran, hal ini disebabkan karena benih dengan kategori tersebut akan mengalami penurunan daya kecambah apabila terjadi penurunan kadar air benih. Berjak dan Pammenter

(2013) menyatakan bahwa benih rekalsitran merupakan benih yang memiliki kadar air tinggi, hanya dapat disimpan dalam jangka waktu yang pendek (berkisar dari beberapa hari hingga beberapa

(6)

108

bulan, tergantung dari jenisnya), sangat mudah terhidrasi, tidak tahan dengan pengeringan yang intensif dan sensitif terhadap suhu rendah. Hasil dari penelitian benih Langusei yang menunjukan bahwa daya kecambah dari perlakuan penjemuran yang lebih rendah pada setiap perlakuan tingkat kemasakan mengindikasikan penurunan kadar air benih yang disebabkan perlakuan penjemuran berpengaruh terhadap daya kecambahnya. Yuniarti et al. (2016) juga menambahkan bahwa benih rekalsitran tidak tahan terhadap pengeringan dan disimpan pada temperatur rendah. Halimursyadah (2012) juga menjelaskan bahwa secara struktural kadar air tinggi diperlukan untuk mempertahankan struktur sel benih rekalsitran. Perlakuan ekstraksi penjemuran cenderung lebih sesuai untuk benih-benih ortodok yang tidak mengharuskan kadar air benih yang tinggi untuk berkecambah. Yuniarti et al. (2013) menyatakan bahwa metode ekstraksi benih yang terbaik untuk benih krasikarpa sebagai benih ortodok yaitu dengan cara pengeringan seed drier

selama 4 jam atau dengan cara penjemuran sinar matahari selama 3 hari. Sedangkan Arifin et al.

(2018) menyatakan bahwa perlakuan cara ekstraksi kering dengan penjemuran selama dua hari untuk menghilangkan daging buah yang menempel pada biji jabon merah menghasilkan daya berkecambah yang rendah yaitu 27,25 %. Lebih lanjut disampaikan bahwa hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kadar air yang terkandung dalam benih jabon merah yang diekstraksi dengan cara penjemuran selama dua hari. Jabon merah diketahui juga merupakan salah satu jenis benih yang tergolong benih rekalsitran atau semirekalsitran (Yudohartono, 2013). Surahman et al. (2012) menyatakan bahwa metode pengeringan seringkali merupakan faktor yang sangat kritis pada tahap pengolahan benih, karena memberikan resiko yang tinggi terhadap kemunduran benih. Pendugaan karakterisik benih Ficus minahassae yang dihasilkan dalam penelitian ini juga sejalan dengan yang disampaikan oleh (Effendi, 2012) mengenai karakteristik benih sejenis yaitu benih nyawai (Ficus variegata Blume) yang tidak dapat disimpan lama atau tergolong jenis semi rekalsitran.

KESIMPULAN

Tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai untuk menghasilkan daya kecambah benih langusei yang optimal adalah pada kondisi buah pra-masak (warna buah oranye-kecokelatan dan oranye-kemerahan) dengan perlakuan ektraksi yang digunakan adalah direndam selama 24 jam.

SARAN

Perlu dilakukan uji coba lebih lanjut untuk mengetahui kandungan kadar air dan daya simpan optimal benih langusei.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala BP2LHK Manado, Mochlis, S.Hut.T, MP, Manajer Persemaian Permanen BPDASHL Tondano Kima Atas, Prayitno, S.Hut serta petugas persemaian Eky Kaeng dan Opa (Agustinus Pangeke).

KONTRIBUSI

Arif Irawan berperan sebagai kontributor utama, serta Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad berperan sebagai kontributor anggota dalam artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, A., & Siregar, N. (2019). Pengaruh waktu pengunduhan dan warna kulit buah terhadap daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi (Melia azedarach Linn). JurnalPerbenihan Tanaman Hutan, 7(1), 21-30.

Arifin, Wardah, & Irmasari. (2018). Uji mutu benih jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil) pada berbagai cara ekstraksi benih. Jurnal Warta Rimba, 6(1), 32-38.

Berjak, P., & Pammenter, N. W. (2013). Implications of the lack of desiccation tolerance in recalcitrant seeds.

Frontiers in Plant Science, 4, 1–9.

Effendi, R. (2012). Kajian keberhasilan pertumbuhan tanaman nyawai (Ficus variegata Blume) di KHDTK Cikampek, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 9(2), 95 – 104.

Halimursyadah. (2012). Pengaruh kondisi simpan terhadap viabilitas dan vigor benih Avicennia marina

(Forsk.)Vierh. pada beberapa periode simpan. Jurnal Agrotropika, 17(2), 43-51.

Junaidah, Sofyan, A., & Nasrun. (2014). Pengaruh tingkat kemasakan buah terhadap potensi dan perkecambahan benih tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Galam, VII(1), 1-7.

Kaunang, E, N, S., & Semuel, M, Y. (2017). Botanical and phytochemical constituents of several medicinal plants from mount Klabat North Minahasa. Journal of Medicinal Plants Studies, 5(2), 29-35.

Lestari, Y, K., & Surahman, M. (2012). Perkecambahan benih pada berbagai tingkat kemasakanbuah beberpa aksesi jarak pagar. Jurnal Agrivigor, 9(2), 122-134. Mogea, J, P. (2002). Preliminary studi on the palm flora of

the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Biotropia, 18, 1-20.

Ningsih, E, T. (2012). Pengaruh Tingkat Kematangan Buah Terhadap Daya Berkecambah Benih. Skripsi tidak diterbitkan, Politeknik Negeri Lampung.

Olowa, L, F., Torres, M, A, J., Aranico, E, C., & Demayo, C, G. (2012). Medicinal plants used by the higaonon tribe of rogongon, Iligan City, Mindanao, Philippines.

(7)

109

Advances in Environmental Biology, 6(4), 1442-1449. Perotti, V, E., Moreno, A., & Podesta, F. (2014).

Physiological aspect of fruit ripening. Mitochondrion, 17, 1–6.

Pitopang, R., Khaeruddin, I, Tjoa, A., Burhanuddin, I, F. (2008). Pengenalan Jenis-Jenis Pohon yang Umum di Sulawesi. Palu (ID): UNTAD Press.

Schmidt, L. (2000). Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan.

Setyowati, N. (2009). The effect of seed maturity, temperature and storage period on vigor of Picrasma javanica Bl. seedling. Biodiversitas, 10(1), 50–53. Setyowati, N., & Fadli, A. (2015). Penentuan tingkat

kematangan buah salam (Syzgium polyanthum (WIGHT) WALPERS) sebagai benih dengan uji kecambah dan vigor biji. Widyariset, 1(1), 31–40. Seymour, G, B., Ostergaard, L., Chapman N, H., Knapp, S.,

& Martin, C. (2013). Fruit development and ripening.

Annu. Rev. Plant Biol. 64, 219–241.

Simbala, H, E, I. (2007). Keanekaragaman Kloristik dan Pemanfaatannya sebagai Tanaman Obat di Kawasan Konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Disertasi tidak diterbitkan, IPB, Bogor.

Sudrajat, D, J., Nurhasybi, & Syamsuwida, D. (2011). Teknologi untuk memperbaiki perkecambahan benih kepuh (Sterculia foetida Linn.). Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 8(5), 301-314.

Surahman,M., Murniati,E., & Nisya, F, N. (2012). Pengaruh tingkat kemasakan buah, metode ekstraksi buah, metode pengeringan, jenis kemasan, dan lama penyimpanan pada mutu benih jarak pagar (Jatropha curcas). JurnalIlmu Pertanian Indonesia, 18(2), 73-78. Susanto, D., Ruchiyat, D., Sutisna, M., & Amirta, R. (2016). Flowering, fruiting, seed germination and seedling growth of Macaranga gigantea. Biodiversitas, 17(1), 192-199.

Susanto, D., Sudrajat., Suwinarti, W., & Amirta, R. (2018). Seed germination and cutting growth of Piper aduncum.

Earth and Enviromental Science, 144, 1-7.

Sutan, S, M. (2015). Karakteristik sifat fisik-kimia buah manggis pada beberapa umur panen. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas, 19(2), 7-44

Wulananggraeni, R., Damanhuri., & Purnamaningsih, S, L. (2016). Pengaruh perbedaan tingkat kemasakan buah pada 3 genotip mentimun (Cucumis sativus L.) terhadap kualitas benih. JurnalProduksi Tanaman, 4(5), 332-341.

Yanengga, A., Langi, M, A., Kainde, R, P., & Nurmawan, W. (2015). Penyebaran Ficus spp. di hutan Gunung Tumpa, Provinsi Sulawesi Utara. Cocos, 6(3), 1-8. Yudohartono, T, P. (2013). Potensi dan penanganan benih

jabon merah (Anthocephalus Macrophyllus Roxb.) dari provenan Sulawesi Utara. Tekno Hutan Tanaman,.6(1), 21–27.

Yuniarti, N., Kurniaty, R., Danu, & Siregar, N. (2016). Mutu fisik, fisiologis, dan kandungan biokimia benih trema (Trema orientalis linn. blume) berdasaran tingkat kemasakan buah. JurnalPerbenihan Tanaman Hutan, 4(2), 53-65.

Yuniarti, N., Megawati, & Leksono, B. (2013). Pengaruh metode ekstraksi dan ukuran benih terhadap mutu fisik-fisiologis benih Acacia crassicarpa. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(3), 129 – 137.

Yuniarti, N., Nurhasybi, & Darwo. (2016). Karakteristik benih kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack)Jacobs).terhadap tingkat pengeringan dan ruang penyimpanan. JurnalPenelitian Hutan Tanaman, 13(2), 105–112.

Gambar

Gambar 1.  (a) Buah langusei yang masih melekat pada tangkai buah, (b) Perlakuan tingkat kemasakan benih  Langusei  berdasarkan  warna  buah,  1)  Buah  berwarna  oranye-kecokelatan;  2)  Buah  berwarna  oranye-kemerahan; 3) Buah berwarna merah; dan 4) Bua
Tabel 1.    Hasil  analisis  ragam  pengaruh  perlakuan  tingkat  kemasakan  buah  dan  perlakuan  ekstraksi  terhadap  daya berkecambah benih langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat diidentifikasi masalah yang terjadi sebagai berikut: Motivasi belajar siswa belum meningkat; Minat

Sebagian masyarakat Ponorogo masih meyakini bahwa dhadhak merak yang dilapisi dengan kulit macan asli mempunyai tuah khusus yang akan sangat berpengaruh langsung pada para

Meneruskan hasil ketikan surat undangan rapat/kunjungan kerja Komisi D dan B ke Bagian Umum, memfotokopi surat undangan rapat dan kunjungan kerja Komisi D dan B, menstempel

Dengan menggunakan statement Imports maka class library tersebut hanya dapat diakses di file itu sendiri (pada aplikasi diatas filenya Form1.vb), jadi ketika

Media informasi dan promosi yang dibutuhkan pada jurusan Sistem Komputer STMIK Raharja adalah video profile yang menggunakan alur cerita yang menarik yang tentunya

Simulasi ini mengambil sampel sebanyak 4 titik, dimana titik tersebut dapat mewakili dari titik yang lainnya. Grafik-grafik yang dihasilkan tersebut akan menghasilkan suatu

Syariah di Indonesia yang tercatat pada Otoritas Jasa Keuangan yang menyediakan pembiayaan musyarakah dan mudharabah serta laba bersih periode 2010-2013 dengan analisis

peningkatan. Hasil belajar peserta didik antara pre-test dengan post test mengalami peningkatan. Berdasarkan analisis uji peningkatan atau uji N-Gain juga terlihat