• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat:

Sebuah Tawaran dalam Mengentaskan Kemiskinan

Musa

STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia musaradit@gmail.com

Abstrak

Pemberdayaan dan debat teoritisnya masih menarik untuk didiskusikan. Banyak definisi dan implementasi pemberdayaan yang berbeda yang dipengaruhi oleh berbagai paradigma membuat diskusi semakin berkembang. Untuk itu tulisan ini akan membahas yang terdiri dari tiga bagian, secara umum berfokus pada analisis teoritis tentang bagaimana perbedaan paradigma mendefinisikan dan mempraktikkan pemberdayaan. Bagian pertama adalah kata pengantar, menggambarkan masalah sosial dan beberapa elemen yang mempraktikkan pemberdayaan yaitu pemerintah, perusahaan, dan masyarakat madani. Bagian kedua mendiskusikan konteks sejarah di mana istilah pemberdayaan terungkap sebagai respon 'pembangunan kembali'. Ini memberi penjelasan tentang bagaimana perkembangan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun tidak memberantas kemiskinan atau menyediakan lapangan kerja dengan kecepatan yang diantisipasi, dan dalam banyak kasus, ketidaksetaraan meningkat. Pada bagian terakhir, pembahasan tentang peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat dengan penjelasan bahwa pemerintah berfungsi sebagai regulator, dinamistor, dan fasilitator yang ketiganya harus beriringan tanpa ada yang dipisahkan.

Kata kunci; pemberdayaan, pemerintah, peran

Received: 04-06-2017; accepted: 16-06-2017; published: 01-07-2017 Citation: Musa, ‘Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tawaran Mengentaskan Kemiskinan’, Mawa’izh, vol. 8, no. 1 (2017), pp. 107-125

(2)

A. Pendahuluan

emberdayaan atau empowerment merupakan bagian konsep pembangunan masyarakat dalam bidang ekonomi dan politik yang bercirikan people centered, participatory, empowering, and sustainable, atau dengan kata lain pemberdayaan yakni upaya membangun daya masyarakat dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi diri yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya ke arah yang positif. Dalam terminologi pembangunan, secara praktis diartikan sebagai upaya untuk melibatkan, dan memberikan tanggungjawab yang jelas kepada masyarakat dalam pengelolaan pembangunan bagi kepentingan kesejahteraan.

Pada hakekatnya pemberdayaan berada pada diri manusia, sedangkan faktor di luar diri manusia hanyalah berfungsi sebagai stimulus, perangsang munculnya semangat, rasa atau dorongan pada diri manusia untuk memberdayakan dirinya sendiri, untuk mengendalikan dirinya sendiri, untuk mengembangkan dirinya sendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya. Jadi, memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, yang merupakan upaya memampukan dan memandirikan masyarakat.

Menurut Gunawan Sumodiningrat, bahwa arah pemberdayaan masyarakat secara umum berpangkal pada dua sasaran utama, yaitu : Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, mempererat posisi masyarakat dalam struktur kekuasaan. Untuk sampai pada dua sasaran tersebut, maka proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) Inisial: dari pemerintah, oleh pemerintah dan untuk rakyat, (2) Partisipatoris : dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, untuk rakyat, (3) Emansipatori: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan didukung oleh pemerintah bersama rakyat. Dengan demikian, peran serta pemerintah untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian masyarakat sangat diperlukan dalam setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat yang tentunya diinisiasi langsung oleh pemerintah setempat.

(3)

Masalah sosial, terutama kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan menjadi fokus utama pemerintah Indonesia, dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan sampai Orde Reformasi sekarang ini. Berbagai analisa, pendekatan, dan strategi diimplementasikan untuk menghapuskan kemiskinan. Akan tetapi, hingga saat ini data masih menunjukkan adanya pasang surut kondisi masyarakat miskin. Meskipun demikian, tidaklah kemudian hal tersebut menjadi sebuah justifikasi untuk membiarkan atau bahkan melanggengkan kemiskinan yang terjadi di republik ini.

Pembahasan mengenai kemiskinan dan segala hal yang berkaitan dengannya mulai dari penyebab, penanggulangan, dan caranya seperti tidak ada habisnya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa jumlah kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebenarnya sangat cukup untuk melepaskan rakyatnya dari masalah kemiskinan serta mensejahterakan mereka. Dengan seluruh kekayaan dan potensi yang dimiliki, seharusnya masyarakat Indonesia dapat hidup dengan layak dan sejahtera. Ironisnya, kondisi masyarakat sangat berbeda dengan apa yang diidealkan. Sampai saat ini, kemiskinan justru merupakan masalah utama di tengah-tengah potensi dan kekayaan alam yang berlimpah itu.

Kenyataan tersebut memunculkan banyak pertanyaan, apakah benar bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia terutama adalah kemiskinan, atau sebenarnya adalah masalah ketidakadilan distribusi kekayaan? Bagaimana pengaruh globalisasi sistem ekonomi terhadap kemiskinan global? Faktor-faktor apa saja yang dominan dan mempengaruhi kemiskinan dan kompleksitasnya? Usaha-usaha apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya sehingga masyarakat bisa hidup sejahtera dan berdaya? Untuk memahami permasalahan tersebut bukanlah hal yang mudah, karena memerlukan pemikiran dan analisis yang komprehensif.

Berkaitan dengan kondisi kemiskinan yang demikian, dalam konteks masyarakat Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya, pemberdayaan masyarakat menjadi fokus publik dan dinilai sebagai salah satu pendekatan yang sesuai dalam mengatasi masalah sosial, terutama kemiskinan. Permberdayaan masyarakat pun dilaksanakan berbagai elemen mulai dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melalui Organisasi Masyarakat Sipil. Meskipun dengan cara pandang dan landasan teori yang berbeda, program pemberdayaan tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai usaha untuk

(4)

menyelesaikan atau paling tidak mengurangi dampak masalah sosial. Implementasi pemberdayaan masyarakat tidak sama antara satu konteks masyarakat dengan konteks masyarakat yang lain. Secara umum, pemerintah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan dan berbagai macam program pemberdayaan dan perlindungan sosialnya; dunia usaha dengan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dengan aktivitas akar rumputnya sebagaimana yang dijelaskan pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Pelaku Pemberdayaan Masyarakat

Adapun tulisan ini akan membahas dan memaparkan tentang konsep pemberdayaan yang mencakup sejarah kemunculannya, perbedaan pendefinisian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan paradigma, serta implikasinya terhadap strategi dan program pemberdayaan yang diterapkan di lapangan sebagai salah satu solusi dalam mengentaskan kemiskinan yang selalu menjadi momok yang menakutkan.

B. Sejarah Lahirnya Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Empowerment atau pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat Barat, terutama Eropa. Konsep ini muncul sejak dekade 70an dan kemudian terus berkembang sampai saat ini. Kemunculannya hampir bersamaan dengan aliran-aliran seperti eksistensialisme, fenomenologi, personalisme, dan kemudian lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, Freudianisme, Strukturalisme, dan Sosiologi kritik Frankfurt School. Bersamaan itu juga muncul konsep-konsep elit, kekuasaan, anti-establishment, gerakan populis, anti-struktur, legitimasi, ideologi pembebasan, dan civil society. Konsep pemberdayaan juga dapat dipandang sebagai bagian dari aliran-aliran paruh abad ke-20, atau yang dikenal dengan aliran post-modernisme, dengan penekanan sikap dan

(5)

pendapat yang orientasinya adalah anti-sistem, anti-struktur, dan anti-determinisme, yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.

Diawali pada akhir tahun 1960-an, para ahli menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak langsung terkait dengan tujuan pembangunan yang lain seperti penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan kesenjangan, serta peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar. Bahkan dibeberapa negara seperti Iran, Kenya, Meksiko, Nikaragua, Pakistan, dan Afrika Selatan yang pencapaian pertumbuhan ekonominya tinggi, justru muncul masalah ‘maldevelopment’1. Pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi kemiskinan dan tidak menciptakan pertumbuhan lapangan pekerjaan sebagaimana diprediksikan, bahkan dalam beberapa kasus kesenjangan ekonomi justru meningkat. Pada tahun 1970, sejumlah 944 juta orang, atau 52 persen dari total penduduk Negara Selatan masih hidup dibawah garis kemiskinan. Data juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengangguran, terutama dibidang pertanian, dan peningkatan kesenjangan pendapatan. Tahun 1970an benar-benar merupakan periode dimana pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang diikuti dengan meningkatnya kesenjangan.

Permasalahan ‘maldevelopment’ sebagaimana dijelaskan, memunculkan beberapa pandangan yang berbeda. Perbedaan tersebut dilandasi oleh paradigma atau cara pandang yang sangat berpengaruh terhadap teori-teori yang digunakan sebagai alat analisis atas realitas sosial. Teori mencakup empat fungsi dasar yaitu: penjelasan, prediksi, control, dan pengelolaan perubahan. Pemberdayaan masyarakat adalah praktek berdasarkan empat fungsi tersebut: menggambarkan kejadian; menjelaskan sebab-sebab kejadian tersebut; memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya (termasuk apa yang akan terjadi apabila dilakukan intervensi atau tidak dilakukan intervensi); dan berusaha untuk mengelola dan mengontrol terhadap perubahan pada semua level aktifitas masyarakat2.

Menurut Fakih3, salah satu dari banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya sebuah teori adalah apa yang disebut sebagai paradigma. Pembahasan mengenai

1 John Brohman, Popular Development: Rethinking the Theory and Practice of Development, (New York: Blackwell Publishers, 2001), p. 202.

2 Bob Mullaly, Challenging Oppression: A Critical Social Work Approach (Oxford University Press Canada, 2002), p. 2.

3 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press, 2003), p. 17.

(6)

paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya pengaruh paradigma terhadap teori dan analisis atas realitas sosial, karena pada dasarnya tidak ada satu pandangan atau satu teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan bergantung terhadap paradigma yang digunakan. Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution” menjelaskan bahwa suatu aliran ilmu lahir dan berkembang sebagai proses revolusi paradigma, dimana sutau pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan sebuah teori.

Dalam konteks pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap sebagai masalah ketidakberdayaan itu, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan intervensi atas masalah tersebut. Begitu juga paradigma akan mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita ketahui. Paradigma pula yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai apa yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu program dalam memecahkan masalah sosial. Dalam konteks ini, Freire4 menjelaskan klasifikasi ideologi teori sosial yang terbagi kedalam tiga kesadaran yaitu: kesadaran magis (magical consciousness); kesadaran naif (naival consciousness); dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Pertama, kesadaran magis yaitu suatu keadaan kesadaran yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketidakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun supernatural. Dalam teori perubahan sosial, apabila proses analisis sebuah teori tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, teori tersebut disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis dan kaitan antara sistem dan struktur terhadap masalah sosial. Masyarakat secara dogmatik menerima kebenaran dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.

(7)

Dalam konteks masyarakat muslim, orang yang memahami masalah sosial dengan menggunakan kesadaran magis ini akan melihat bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat merupakan takdir atau ketetapan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa arti dan hikmah dibalik ketentuan tersebut. Makhluk, termasuk umat Islam tidak tahu tentang gambaran besar skenario Tuhan akan perjalanan umat manusia. Bagi mereka, masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak ada kaitannya dengan globalisasi dan modernisasi, bahkan sering dianggap sebagai ‘ujian’ atas keimanan dan kita tidak tahu manfaat dan mudaratnya, malapetaka apa yang dibalik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat umat manusia dan lingkungan dimasa mendatang. Pandangan didasarkan pada teologi Sunni mengenai

predeterminism atau takdir, yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum alam diciptakan.

Kedua, kesadaran naif, yang melihat ‘aspek manusia’ sebagai akar penyebab masalah dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreatifitas dan ‘need for achievement’ dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis kemiskinan mereka berpendapat bahwa masyarakat miskin karena kesalahan mereka sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya pembangunan dan seterusnya. Oleh karena itu, man power development adalah sebuah jalan keluar yang diharapkan dapat memicu perubahan. Teori perubahan dalam konteks ini adalah teori yang tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan karena itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai perubahan yang bersifat reformatif.

Masyarakat muslim yang memiliki kesadaran ini pada dasarnya sepaham dengan pikiran modernisasi sekuler mengenai kemiskinan dan ketidakberdayaan. Mereka percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin berakar dari persoalan karena ada yang salah dengan sikap mental, budaya, ataupun teologi mereka. Kemiskinan umat Islam tidak ada sangkut pautnya dengan menguatnya paham neoliberalisme maupun globalisasi. Mereka menyerang teologi Sunni yang dijuluki teologi fatalistik sebagai penyebabnya.

(8)

Kesadaran ini memiliki pendekatan dan analisis yang sama dengan penganut paham modernisasi sekuler yang menjadi aliran mainstream pembangunan. Menurut mereka, kemiskinan yang terjadi di Indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka cenderung melihat nilai-nilai (values) sikap mental, kreativitas, budaya dan paham teologi sebagai pokok permasalahan, dan tidak melihat struktur kelas, gender, dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat. Bagi mereka, umat harus berpartisipasi dan mampu bersaing dalam proses industrialisasi dan globalisasi serta proses pembangunan. Mereka tidak mempersoalkan globalisasi dan pembangunan itu sendiri sepanjang diterapkan melalui pendekatan dan metodologi yang benar, serta dikelola oleh pemerintahan yang bersih (clean government).

Bagi penganut paham ini, permasalahan globalisasi lebih pada sejauh mana mereka mampu menyiapkan sumber daya manusia yang cocok dan dapat bersaing dalam sistem pasar bebas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi kapitalisme dan menguatnya liberalisme, para intelektual muslim yang memiliki kesadaran naïf ini justru menggali ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan modernisasi dan liberalisme, melakukan penafsiran ulang atas ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa mempersoalkan secara mendasar masalah yang diakibatkan oleh neoliberalisme.

Ketiga, kesadaran kritis, yaitu paradigma yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya, serta bagaimana keterkaitan aspek-aspek tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur tersebut bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog ‘penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil’. Kesadaran ini disebut sebagai kesadaran transformatif.

Masyarakat muslim yang memiliki kesadaran ini percaya bahwa ketidakberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat muslim disebabkan oleh

(9)

ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan budaya. Bagi mereka, agenda yang harus dilakukan adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental lebih baik dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Mereka menyadari bahwa transformasi meliputi proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa represi dan kultur tanpa hegemoni, serta penghargaan terhadap HAM. Dengan mendasarkan pada prinsip keadilan, fokus kerja kaum ini adalah mencari akar teologi, metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial.

Keberpihakan mereka terhadap kaum miskin dan tertindas (dhu’afa) tidak hanya diilhami oleh sumber-sumber ajaran agama, tetapi juga didasarkan pada analisis kritis terhadap struktur yang ada. Islam bagi mereka dipahami sebagai agama pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil. Globalisasi, serta berbagai proyek kapitalisme yang lain bagi golongan ini menjadi salah satu penyebab yang memiskinkan, memarginalisasi dan mengalienasi masyarakat. Selain usaha praktis untuk membantu memecahkan persoalan ekonomi, politik, dan budaya keseharian melalui proyek-proyek pengembangan ekonomi berbasis masyarakat, mereka juga mengaitkannya dengan melakukan advokasi untuk mempengaruhi kebijakan Negara baik di level nasional maupun lokal yang memarginalkan kaum miskin dan pinggiran.

C. Definisi Pemberdayaan Masyarakat

Berikut adalah berbagai definisi mengenai pemberdayaan masyarakat dari kelompok pendukung aliran developmentalisme:

1. Adams5 dari Kamus Pekerjaan Sosial: “ the user participation in services and to

self-help movement generally, in which group take action on their own behalf, either in cooperation with, or independently of, the statutory services.” Berdasarkan definisi tersebut, Adams sendiri mengartikan pemberdayaan sebagai alat untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat supaya mereka mampu mengelola lingkungan dan mencapai tujuan mereka, sehingga mampu bekerja dan membantu diri mereka dan orang lain untuk memaksimalkan kualitas hidup.

5 Robert Adams, Social Work and Empowerment. 3nd ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2003), p. 190.

(10)

2. Surjono & Nugroho6, pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat (khususnya yang kurang memiliki akses terhadap pembangunan) didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Model-model pemberdayaan: People Centre Development (i.e. IDT, Proyek Kawasan Terpadu (PKT), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Raskin, BLT); Model Lingkaran Setan Kemiskinan; Model Kemitraan, dll.

3. Wrihatnolo & Nugroho7, konsep pemberdayaan mencakup pengertian

community development (pembangunan masyarakat) dan community-based development pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat.

Menurut kelompok pertama ini, pemberdayaan dapat diartikan sebagai pembagian kekuasaan yang adil dengan meningkatkan kesadaran politis masyarakat supaya mereka bisa memperoleh akses terhadap sumber daya. Sasaran dari pemberdayaan adalah mengubah masyarakat yang sebelumnya adalah ‘korban’ pembangunan menjadi ‘pelaku’ pembangunan. Kelompok ini beranggapan bahwa kegagalan pembangunan terjadi karena pendekatan konvensional yang diterapkan diantaranya adalah transplantative planning, top down, inductive, capital intensive, west-biased technological transfer, dan sejenisnya. Oleh karena itu, muncul konsep-konsep baru pemberdayaan diantaranya adalah community development (pembangunan masyarakat) dan community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat). Tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat.

Pandangan yang kedua adalah anti-developmentalisme yang mulai berkembang pada tahun 1980an, yang mempertanyakan gagasan dasar dari diskursus

6 Agus Surjono & Trilaksono Nugroho, Paradigma, Model, Pendekatan Pembangunan, dan

Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), p. 123.

7 Randy R.Wrihatnolo & Riant Nugroho D. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan

(11)

pembangunan. Pandangan ini menggunakan pendekatan kritis sebagai landasan dan alat analisa atas realitas sosial. Kritik atas pembangunan ini mengundang banyak kajian yang diantara hasilnya menunjukkan bahwa modernisasi dan developmentalisme adalah bungkus baru dari kapitalisme. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa ideologi pembangunan atau developmentalisme adalah salah satu produk dari proyek pencerahan (enlightenment), yang memiliki prinsip dasar penduniawian (sekularisasi); penalaran (rasionalisasi); dan individualisasi. Ketiga landasan tersebut mendorong dilakukannya revolusi industri, revolusi ilmu pengetahuan, dan reformasi politik8.

Sedangkan kelompok kedua (anti-developmentalisme) mendefinisikan pemberdayaan diantaranya sebagai berikut:

1. Menurut John Friedman (1992)9, Pemberdayaan dapat diartikan sebagai alternative

development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty.

2. Jim Ifeb10 membagi pandangan pemberdayaan ke dalam beberapa kelompok:

pertama, penganut strukturalis memaknai pemberdayaan sebagai upaya pembebasan, transformasi struktural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang opresif; kedua, kelompok pluralis memandang pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya seseorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule ofthe game’ tertentu; ketiga, kelompok elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elit-elit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan struktur yang elitis; dan keempat, kelompok post-strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah diskursus serta menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial.

8 Pranarka dan Vidhyandika M., dalam Onny S.P. dan A.M.W. Pranarka (ed). Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi, (Jakarta: CSIS, 1996); lihat juga A.S. Hikam, "Kekerasan Negara, Militer, Budaya Politik dalam Ideologisasi Pembangunan di Indonesia”, dalam Suaedy, ed. Kekerasan dalam Perspektif Pesantren (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000).

9 Ginanjar K., Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan: Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan, 1997, p. 55.

10 Jim Ife, Rethinking Social Work towards Critical Parctice, (Longman, 1997), dapat juga dilihat di Jim Ife & Frank Tesoriero, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi: Community Development, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), p. 27.

(12)

3. Menurut Pranarka11, konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain.

Konsep pemberdayaan yang diusung oleh anti-developmentalisme tersebut menjelaskan bahwa pemberdayaan merupakan upaya pembebasan dari determinisme dan kekuasaan yang absolut, dengan mendasarkan pada aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan, yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan kemanusiaan yang adil dan beradab dalam sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itu, pemberdayaan bukanlah sebuah istilah yang netral, tetapi memiliki keberpihakan yang jelas terhadap masyarakat grass-root yang menjadi pihak yang dirugikan dalam relasi sistem dominan-subordinat. Perbedaan yang sangat signifikan dari kedua pandangan tersebut adalah pada sasaran utama pemeberdayaan, apabila aliran pertama menekankan pada perubahan manusia supaya dapat menyesuaikan dengan sistem, aliran kedua justru menekankan pada perubahan sistem dan struktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang lebih adil dan lebih baik, sehingga dengan sendirinya masyakat akan berdaya dari determinisme kekuasaan yang absolut.

D. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat

Kemandirian masyarakat adalah wujud dari pengembangan kemampuan ekonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan dan memperbaiki material secara adil dan merata yang ujungnya berpangkal pada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sendiri berdiri pada satu pemikiran bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat diberi hak mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dan menggunakannya untuk pembangunan masyarakatnya.

Fungsi pemerintah dalam kaitannya dengan pemberdayaan yakni mengarahkan masyarakatnya pada kemandirian dan pembangunan demi terciptanya kemakmuran didalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan masyarakat berarti tidak bisa dilepaskan dan diserahkan begitu saja kepada masyarakat yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat yang optimal agar mampu memberdayakan diri menjadi lebih baik harus dengan terlibatnya pemerintah secara optimal dan mendalam.

11 Pranarka & Vidhyandika M., dalam Onny S.P. dan A.M.W. Pranarka (ed). Pemberdayaan: Konsep,

(13)

Dengan berbagai interpretasi yang bervariasi, saat ini hampir semua Departemen maupun Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) memiliki program pemberdayaan masyarakat sebagaimana terefleksi dalam Renstranya masing-masing. Demikian juga di daerah, hampir semua Dinas/lnstansi juga memiliki program yang serupa. Beberapa daerah bahkan membentuk unit kerja otonom untuk mengawal proses koordinasi yang lebih baikdan menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif dibawah Gubernur/Bupati/Walikota yakni Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM).

Berbagai model pemberdayaan masyarakat dalam dinamika pengembangannya, tidak luput dari peran pemerintah dalam memberdayakan masyarakat. Banyak program pemberdayaan masyarakat yang digulirkan pemerintah melalui Departemen maupun Lembaga Pemerintah Non Departemen seperti PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), PENP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir), PDM-DKE (Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), KUBE (kelompok Usaha Bersama), dan lain sebagainya. Program-program tersebut diyakini sebagai salah satu peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan menuju kemandirian masyarakat.

Dari sekian banyak program yang digulirkan, sebagian besar mengarah pada aspek kemandirian ekonomi. Hal ini sejalan dengan arah pemberdayaan masyarakat guna melepaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan dalam dimensi ekonomi seperti ini dimaknai sebagai akses masyarakat atas sumber pendapatan untuk hidup layak. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri dan berdaya guna yakni melalui Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM). Pemerintah tentunya memiliki peranan penting sebagai pemegang kebijakan (regulator), penggerak (dinamisator), dan fasilitator dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui UKM. Berikut ini adalah peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat;

1. Pemerintah sebagai Regulator

Peran Pemerintah sebagai Regulator adalah menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan (menerbitkan peraturan-peraturan dalam rangka efektifitas dan tertib administrasi pembangunan). Sebagai regulator, pemerintah memberikan acuan dasar yang selanjutnya diterjemahkan oleh masyarakat

(14)

sebagai instrumen untuk mengatur setiapkegiatan pelaksanaan pemberdayaan di masyarakat. Pemberdayaan masyarakatdari segi ekonomi akan dikaitkan dengan kebijakan yang mendukung dalam pengembangan usahanya. Adapun kebijakan yang diarahkan yakni kebijakan di bidang permodalan guna mendukung kegiatan usaha masyarakat dan dianggarkan dari APBN/APBD dan kebijakan di bidang perizinan pendirian usaha untuk mempermudah proses perizinan menjadi lebih efektif dan efisien.

2. Pemerintah sebagai Dinamisator

Peran pemerintah sebagai dinamisator adalah menggerakan partisipasi multipihak tatkala stagnasi terjadi dalam proses pembangunan (mendorong dan memelihara dinamika pembangunan daerah). Sebagai dinamisator, pemerintah berperan melalui pemberian bimbingan dan pengarahan yang intensif dan efektif kepada masyarakat. Bimbingan dan pengarahan sangat diperlukan dalam memelihara dinamika. Pemerintah melalui tim penyuluh maupun badan tertentu memberikan bimbingan maupun pelatihan kepada masyarakat.

3. Pemerintah sebagai Fasilitator

Peran pemerintah sebagai Fasilitator adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan (menjembatani kepentingan berbagai pihak dalam mengoptimalkan pembangunan daerah). Sebagai fasilitator, pemerintah berusaha menciptakan atau menfasilitasi suasana yang tertib, nyaman dan aman, termasuk menfasilitasi tersedianya sarana dan prasarana pembangunan. Fasilitasi dalam UKM misalnya, pemerintah memberikan fasilitas untuk mencapai tujuan pengembangan usaha yang dimiliki oleh UKM.

Salah satu tugas fasilitator diantara ada dua yang mendasar, yaitu; 1. Fasilitator di Bidang Pendampingan.

Pendampingan sangat diperlukan untuk bisa mandiri dalam melanjutkan dan meningkatkan usaha. Pendampingan ini bisa diimplementasikan dengan pemberian pelatihan, pendidikan, dan peningkatan keterampilan.

2. Fasilitator di Bidang Pendanaan dan Permodalan.

Di samping pemberian bantuan pendampingan, juga diperlukan fasilitasi dalam bidang pendanaan maupun permodalan. Peran pemerintah dalam hal ini adalah membantu mencari jalan keluar untuk memperoleh pendanaan yang diperlukan.

(15)

Berikut ini adalah peran strategis pemerintah terhadap upaya pemberdayaan masyarakat melalui program-program pemberdayaan ekonomi rakyat yang dikeluarkan Depkop dan PKM.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pemberdayaan bertujuan untuk mengubah prilaku masyarakat agar mampu berdaya sehingga ia dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya. Namun, keberhasilan pemberdayaan tidak sekedar menekankan pada hasil, tetapi juga pada prosesnya melalui tingkat partisipasi yang tingi, yang berbasis kepada kebutuhan dan potensi masyarakat setempat. Untuk meraih keberhasilan itu, agen pemberdayaan dapat melakukan pendekatan bottom-up, dengan cara menggali potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat. Potensi atau kebutuhan tersebut tentu saja sangat beragam walaupun dalam satu komunitas yang sama. Dalam hal ini agen pemberdayaan dapat menetukan skala prioritas yang dipandang sangat perlu untuk dikembangkan. Kondisi seperti inilah yang menjadi acuan agen pemberdayaan untuk menentukan perencanaan pemberdayaan (tujuan, materi, meode, alat, evaluasi) yang dirumuskan bersama-sama dengan klien atau sasaran. Keterlibatan sasaran dalam tahapan perencanaan ini, merupakan salah satu cara untuk mengajak mereka aktif terlibat dalam proses pemberdayaan. Dengan keterlibatan tersebut, mereka memiliki ikatan emosional untuk menyukseskan program pemberdayaan.

Dalam melaksanakan pemberdayaan perlu dilakukan melalui berbagai pendekatan. Menurut Suharto yang dikutip oleh Oos M. Anwas12, penerapan pendekatan pemberdayaan dapat dilakukan melalui 5P yaitu; pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan.

Adapun penjelasan dari 5 P di atas dapat dipaparkan sebagai berikut;

1. Pemungkinan; menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekarat-sekarat cultural dan struktur menghambat. 2. Penguatan; memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat

dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka.

(16)

3. Perlindungan; melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan yang lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan kepada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

4. Penyokongan; memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan perannya dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.

5. Pemeliharaan; memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memeroleh kesempatan berusaha.

Kehidupan dan realitas dalam masyarakat sangat heterogen. Begitu pula dalam masyarakat, keragaman karakter akan mempengaruhi terhadap agen pemberdayaan dalam memilih dan memilah cara atau teknik pelaksanaan pemberdayaan. Pemilihan cara atau teknik ini tentu saja akan memengaruhi tahap keberhasilan proses dan hasil dari kegiatan pemberdayaan tersebut. Dalam hal ini, Dubois dan Miley menurut Suharto yang dikutip oleh Oon M. Anwar13 menjelaskan empat cara dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, yaitu;

1. Membangun relasi pertolongan yang diwujudkan dalam bentuk merefleksikan respon rasa empati terhdap sasaran, menghargai pilihan dan hak kien/sasaran untuk menentukan nasibnya sendiri (selfl determination), menghargai perbedaan dan keunikan individu, serta menekankan kerjasama klien (client partnerships).

2. Membangun komunikasi yang diwujudkan dalam bentuk: menghormati dan harga diri klien/sasaran, mempertimbangkan keragaman individu, berfokus pada klien, serta menjaga kerahasiaan yang dimiliki oleh klien/sasaran.

3. Terlibat dalam pemecahan masalah yang dapat diwujudkan dalam bentuk: memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah, menghargai hak-hak klien, merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan

(17)

belajar, serta melibatkan klien/sasaran dalam membuat keputusan dan kegiatan evaluasinya.

4. Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan social yang diwujudkan dalam bentuk: ketaatan terhadap kode etik profesi; keterlibatan dalam pengembangan professional, melakukan riset, dan perumusan kebijakan; penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu public, serta penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.

Di samping itu juga, beragam kegiatan dapat dilaksanakan untuk memotivasi masyarakat menemukan potensi diri dalam rangka meningkatkan dan kesejahteraan hidupnya. Pengembangan kapasitas masyarakat (pemberdayaan masyarakat) dapat diupayakan dengan berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi dan berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat. Diantara lain strategi pemberdayaan dapat juga dilakukan antara lain:

1. Peningkatan mutu dan kuantitas pendidikan formal dan non formal

Peningkatan pendidikan merupakan suatu usaha untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan masyarakat sesuai dengan bidang keahlian yang dibutuhkan. Pendidikan tidak selalu harus bernuansa formal, tetapi dapat juga dituangkan sebagai pendekatan pendidikan non formal. Misalnya melalui pelatihan, praktek lapangan, magang, studi banding, dll).

2. Peningkatan mutu dan frekuensi penyuluhan

Penyuluhan adalah salah satu dari contoh pendidikan non formal yang pembahasan materinya sangat, penyuluhan diterapkan dengan sistem pendidikan orang dewasa dengan sasarannya adalah orang-orang yang sudah mempunyai banyak pengalaman di bidangnya.

3. Kegiatan Pendampingan

Untuk membantu masyarakat menemukan potensi diri untuk menanggulangi masalah yang dihadapi. Pendampingan masyarakat konsepnya adalah menjembatani masyarakat untuk lebih akses terhadap berbagai kebutuhan baik yang bersifat materil maupin non materil.

4. Penyebaran informasi

Kurangnya akses informasi yang dibutuhkan masyarakat dapat disebabkan oleh 2 (dua) permasalahan pokok. Pertama, karena informasi yang masih

(18)

bersifat eksklusif (dengan sengaja informasi tidak tersebar kepada umum, kecuali dengan korbanan tertentu misalnya informasi yang ada di internet, informasi yang ada di berbagai lembaga pemerintah yang tidak disebarluaskan. Kedua adalah kelemahan masyarakat sendiri dalam mengakses informasi yang sebenarnya sudah tersedia di lingkungan mereka. 5. Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat

Salah satu yang menjadi hal terpenting adalah dibentuknya lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok sebagai sarana masyarakat untuk berdiskusi membicarakan hal-hal yang dianggap penting

E. Penutup

Pemberdayaan merupakan bagian terpenting yang harus mendapat perhatian khusus bagi pemerintah. Sebagaimana dalam pemberdayaan pemerintah mempunyai peran serta baik sebagai regulator, dinamisator, dan fasilitator yang tentunya tidak hanya sekedar jadi sebutan semata, namun perlu diimplementasikan agar antara ucapan dan prakteknya dapat berjalan sesuai dengan harapan. Pemerintah harus jeli melihat keadaan yang ada pada masyarakat, kemudian selalu mencari alternatif-alternatif lain untuk membantu masyarakat untuk mencari ide atau gagasan yang dapat dijadikan sebagai peluang dalam kontek pemberdayaan.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Robert, Social Work and Empowerment, 3rd ed, New York: Palgrave Macmillan, 2003.

Anwas, Oos M, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global, Bandung: Alfabeta, 2003.

Ardianto, Alif., Pemberdayaan Peran Pemerintah Daerah Sebagai Regulator, Fasilitator Dan Katalisator Dalam Usaha Pemulihan Sektor Usaha Kecil DanMenengah Di Wilayah Erupsi Merapi 2010, Artikel Ilmiah. Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.

Brohman, John, Popular Development: Rethinking the Theory and Practice of Development, New York: Blackwell Publishers, 2001.

Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press, 2003. Jim Ife & Frank Tesoriero, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi:

Community Development, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Kartasasmita, G, Pembangunan untuk Rakyat, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996.

Khoerunnisa, Lina, Peran Pemerintah dalam Memberdayakan Potensi Masyarakat Petani melalui Perpustakaan Umum Sederhana, 2011, Artikel Ilmiah

http://www.pemustaka.com/peran-pemerintah-dalam-memberdayakan-potensi-masyarakat-petani-melalui-perpustakaan-umum-sederhana.html Muflich, Ayip, Masalah dan Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat dalam Mendukung

Ketahanan Pangan. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa (DEPDAGRI), 2006.

Mullaly, Bob, Challenging Oppression: A Critical Social Work Approach (Oxford University Press Canada, 2002.

Notoatmodjo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2015.

Nurdin, Fauzie. A, Pemberdayaan Da’i dalam Masyarakat Lokal, Yogyakarta: Gama Media, 2009.

Prijono OS, Pranarka AMW, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi,

Jakarta: CSIS, 1996.

Sumodiningrat, Gunawan, Membangun Perekonomian Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Sutrisno, Lukman, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yokyakarta: Kanisius, 1995.

Gambar

Gambar 1. Pelaku Pemberdayaan Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti memberikan saran yaitu untuk memperoleh harga jual yang lebih rendah dan untuk mencapai laba yang optimal, sebaiknya Percetakan Pelangi melakukan

Analisis data penelitian ini bersifat komparatif-deskriptif, yaitu membandingkan 3 (tiga) objek yang diduga memiliki persamaan dan perbedaan (Ratna, 2010: 333), yakni menguraikan

Kelebihan dari Algoritma Artificial Bee Colony adalah sangat efisien dalam mencari solusi optimal, dapat mengatasi masalah optimasi lokal maupun global, dapat dijalankan

bagi anak usia dini, stimulasi perkembangan motorik kasar anak tidak hanya menunggu ketiaka anak sudah berada di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), akan tetapi dapat

penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum di dalam memahami penulisan secara keseluruhan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Pelaku tindak

 Mengevaluasi solusi yang diberikan untuk melihat seberapa efektifnya soslusi tersebut dalam menyelesaikan masalah yang ada, dan merumuskan langkah yang akan diambil jika

Pemisahan fisik dalam stadia hidup ikan (life-history stages) merupakan suatu strategi dimana ikan melakukan migrasi pemijahan yang kemudian melepaskan telur dan larva pada habitat

Berdasarkan paparan tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Faktor Harga, Tempat, dan Waktu terhadap Keputusan Konsumen Dalam