• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif tentang Derajat Kompetensi Interpersonal pada Siswa Program Akselerasi si SMA "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif tentang Derajat Kompetensi Interpersonal pada Siswa Program Akselerasi si SMA "X" Bandung."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

ABSTRAK

Penelitian ini diadakan untuk mengetahui gambaran derajat kompetensi

interpersonal pada siswa program akselerasi di SMA “X” Bandung. Penelitian

ini dilakukan terhadap seluruh siswa akselerasi baik tahun pertama maupun tahun kedua yang berjumlah 28 orang.

Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah 40 item Interpersonal Competence Questionaire (ICQ) yang dikembangkan oleh Buhrmester (1988), namun dimodifikasi oleh peneliti menjadi 50 item. Setelah melalui proses validasi item, terdapat 36 item yang valid. Di samping itu reliabilitas alat ukur ini tergolong tinggi (0,789).

Hasil penelitian yang diperoleh adalah 82,14% siswa program akselerasi memiliki derajat kompetensi interpersonal yang tinggi dan 18,86% lainnya rendah. Selain itu siswa dengan derajat kompetensi interpersonal yang tinggi 84,64% mendapatkan dukungan berelasi dari teman sebaya dan 81,84% mendapatkan dukungan berelasi dari orang tua.

(2)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

ABSTRACT

This study was conducted to describe the degree of interpersonal competence on accelerated program students at senior high school "X" Bandung. The research was conducted on the entire first-year either second year students, amounting to 28 people.

In this study measuring instruments used are 40 items Interpersonal Competence Questionnaire (ICQ) developed by Buhrmester (1988), but modified by researcher to 50 items. After going through the items validation process, there were 36 valid items. In addition, the reliability of this instrument was high (0.789).

The result of this study was 82,14% accelerated program students have a high degree of interpersonal competence and 18,86% are low. In addition, students with a high degree of interpersonal competence also have 84,64% support from peers and 81,84% support from parents.

(3)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR ISI

Lembar Judul

Lembar Pengesahan

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

ABSTRACT

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR SKEMA

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Identifikasi Masalah... 8

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian... 9

1.3.1. Maksud Penelitian... 9

1.3.2. Tujuan Penelitian... 9

1.4. Kegunaan Penelitian... 9

1.4.1. Kegunaan Teoretis... 9

1.4.2. Kegunaan Praktis... 9

1.5. Kerangka Pemikiran... 10

(4)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kompetensi Interpersonal... 18

2.1.1. Pengertian Kompetensi Interpersonal... 18

2.1.2. Aspek-Aspek Kompetensi Interpersonal... 20

2.1.3. Penelitian tentang Kompetensi Interpersonal di Indonesia... 24

2.1.4. Manfaat Kompetensi Interpersonal... 28

2.1.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kompetensi Interpersonal... 29

2.1.6. Kompetensi Interpersonal Remaja dalam Kaitannya dengan Teman Sebaya... 31

2.2 Remaja... 33

2.2.1. Pengertian Remaja... 33

2.2.2. Batasan Usia Remaja... 35

2.2.3. Ciri-ciri Masa Remaja... 35

2.2.4. Tugas-tugas Perkembangan Remaja... 40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian... 42

3.2. Bagan Rancangan Penelitian... 42

3.3. Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Operasional... 43

3.3.1. Variabel Penelitian... 43

3.3.2. Definisi Konseptual... 43

3.3.3. Definisi Operasional... 43

(5)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

3.4.1. Alat Ukur Kompetensi Interpersonal... 44

3.4.1.1. Prosedur Pengisian... 46

3.4.1.2. Sistem Penilaian... 46

3.4.2. Data Pribadi dan Data Penunjang... 47

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 48

3.4.3.1. Validitas Alat Ukur... 48

3.4.3.2. Reliabilitas Alat Ukur... 48

3.5. Populasi... 49

3.5.1. Populasi Sasaran... 49

3.5.2. Karakteristik Populasi... 49

3.6. Teknik Analisis Data... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Populasi... 51

4.2. Data Penelitian... 52

4.3. Pembahasan... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 61

5.2. Saran... 62

DAFTAR PUSTAKA... 64

DAFTAR RUJUKAN... 66

(6)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR TABEL

3.1. Tabel kisi-kisi alat ukur kompetensi interpersonal... 45

4.1. Tabel distribusi frekuensi jenis kelamin populasi... 51

4.2. Tabel distribusi frekuensi usia populasi... 51

4.3. Tabel distribusi frekuensi periode studi populasi... 52

4.4. Tabel distribusi frekuensi derajat kompetensi interpersonal... 52

(7)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR SKEMA

1.1. Skema Kerangka Pemikiran... 16

(8)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel Validitas Item Alat Ukur Kompetensi Interpersonal

Lampiran 2 Kisi-Kisi Kuesioner Kompetensi Interpersonal

Lampiran 3 Kuesioner Kompetensi Interpersonal

Lampiran 4 Tabulasi Silang Data Pribadi dan Data Penunjang

(9)

1

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan

manusia. Sejak dilahirkan, manusia telah melalui serangkaian proses pendidikan

yang berlangsung tanpa henti hingga ia meninggal dunia. Pada saat ini manusia

juga menganggap bahwa pendidikan memegang peranan yang penting dalam

berbagai ranah kehidupan. Misalnya dalam bidang pekerjaan, terkadang latar

belakang pendidikan yang telah ditempuh individu masih menjadi tolok ukur dari

kualitas dan kemampuan individu dalam bekerja (id.jobsdb.com). Individu juga

mengharapkan dengan tingkat pendidikan yang baik, ia dapat memperoleh

pekerjaan yang baik sehingga kualitas kehidupannya semakin baik pula. Oleh

sebab itu, saat ini banyak orang berlomba-lomba mencapai puncak kehidupannya

melalui jalur pendidikan.

Pendidikan dapat diperoleh melalui berbagai institusi, salah satunya yaitu

sekolah. Sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar

serta tempat menerima dan memberi pelajaran menurut tingkatannya, jurusannya,

dan sebagainya (KBBI, 2011). Pada saat ini sekolah dihadapkan dengan berbagai

fenomena berkaitan dengan peningkatan kemampuan siswa. Salah satunya adalah

fenomena siswa dengan kecerdasan akademis yang sangat tinggi. Para siswa ini

(10)

2

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA dibandingkan teman-teman seusianya, sehingga suatu materi pelajaran sudah

dapat dikuasainya dalam waktu singkat. Apabila para siswa berbakat ini belajar

dalam kelas yang kebanyakan teman-temannya tidak secepat dirinya dalam

memahami suatu pelajaran, yang sering terjadi adalah siswa tersebut akan kurang

termotivasi untuk menggunakan potensi kecerdasannya secara optimal sehingga

prestasi akademiknya juga menjadi kurang optimal. Fenomena ini perlu

ditanggapi oleh pihak sekolah sehingga kebutuhan akan pendidikan dapat

terpenuhi sesuai dengan potensi dan kemampuan siswa. Oleh sebab itu beberapa

sekolah mengadakan suatu program khusus bagi anak-anak berbakat tersebut,

salah satunya yaitu kelas akselerasi.

Kelas akselerasi adalah kelas percepatan pembelajaran yang disajikan

kepada siswa-siswi yang memiliki kemampuan lebih atau istimewa, dengan

materi-materi atau kurikulum yang padat sehingga dalam waktu dua tahun siswa

telah menyelesaikan pendidikannya (Nurbayani, 2011: 3). Dasar pelaksanaan

kelas akselerasi di Indonesia adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

tahun 1989 pasal 5 ayat 4 yang berbunyi, “Warga negara yang memiliki potensi

kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”

(Depdiknas, dalam Nurbayani, hlm. 1). Di dalam pelaksanaannya, ternyata

program akselerasi masih menuai perdebatan yang alot di antara para ahli

pendidikan maupun masyarakat sampai saat ini. Di satu pihak, ada kalangan yang

sangat mendukung karena program ini mampu mengoptimalkan potensi akademik

siswa berbakat (Prof. Wilardjo, dalam Tuhusetya, 2008) dan juga

(11)

3

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA puncak tangga karier dengan lebih cepat pula. Di pihak lain banyak juga kalangan

yang menentang program akselerasi, beberapa alasan di antaranya yaitu: pada

umumnya program akselerasi lebih menekankan kemampuan intelektual dan

mengejar nilai semata, sehingga siswa-siswi hanya menjadi pribadi yang “book

smart” atau pandai secara teoretis, tetapi kurang memiliki pengalaman dan

keterampilan di dalam hidup bermasyarakat atau “street smart”

(www.urbandictionary.com). Selain itu menurut Ilman Soleh (2008), guru salah

satu sekolah bertaraf internasional (SBI) di Yogyakarta, padatnya jam belajar dan

banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa program akselerasi

kerapkali merampas hak-hak anak yang pada usianya seharusnya mengisi masa

mudanya dengan “bermain” serta berinteraksi dengan lingkungan. Akibatnya

perkembangan emosi siswa menjadi kurang optimal. Hal ini ditandai dengan

berbagai tingkah laku yang menunjukkan kekurang-mampuan siswa menghargai

orang lain, berempati, mengendalikan nafsu, dan lain sebagainya. Padahal untuk

dapat berhasil dalam hidupnya, individu tidak hanya memerlukan kecerdasan

kognitif tetapi perlu juga didukung dengan kecerdasan emosional yang memadai

(Goleman, 1999).

SMA “X” merupakan salah satu sekolah favorit di kota Bandung. SMA

“X” Bandung mengadakan program akselerasi sejak tahun 2002 sampai sekarang

dan telah meluluskan kurang lebih sembilan angkatan siswa akselerasi dengan

rata-rata jumlah siswa sekitar 11 orang per angkatan. Setiap hari Senin sampai

dengan Jumat siswa program akselerasi datang pukul 06.25 bersamaan dengan

(12)

4

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA regular sudah dapat pulang pukul 13.15. Dalam satu hari siswa akselerasi

mengikuti 9-10 jam pelajaran, dengan lama belajar 45 menit untuk setiap jam

pelajaran, dan diselang dengan dua kali istirahat masing-masing selama 20 menit.

Kemudian setelah pulang siswa diberi tugas dan paket latihan soal yang cukup

banyak, mengikuti tempo pelajaran di kelas yang juga sangat cepat. SMA “X”

Bandung menetapkan standar nilai rata-rata minimal 75 untuk setiap mata

pelajaran bagi para siswa program akselerasi. Apabila siswa tidak dapat mencapai

standar nilai yang telah ditetapkan selama jangka waktu enam bulan, pihak

sekolah akan memindahkan siswa tersebut ke kelas regular.

Dari segi lokasi, letak kelas akselerasi di SMA ”X” Bandung terpisah dari

lingkungan siswa regular, sehingga siswa terbiasa bergaul hanya dengan

teman-teman akselerasi lainnya. Sejak tahun 2010 sampai sekarang calon siswa-siswi

akselerasi diharuskan memilih program akselerasi sejak mendaftarkan diri di

SMA “X”, sehingga siswa-siswi yang lulus seleksi akan langsung masuk ke kelas

akselerasi tanpa merasakan suasana belajar di kelas regular. Hal ini juga

berpengaruh terhadap interaksi siswa akselerasi dengan siswa regular.

Berdasarkan wawancara singkat dengan seorang siswa dari program regular,

dirinya seringkali menilai siswa akselerasi sebagai siswa yang “kurang pergaulan”

dan tidak asyik diajak bergaul. Sementara itu siswa akselerasi sendiri cukup

enggan bergaul dengan siswa regular karena takut tidak sepaham dan dianggap

paling pintar dalam segala hal.

Siswa akselerasi SMA “X” dihadapkan dengan dua tuntutan yang harus

(13)

5

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA yang cemerlang. Di sisi yang lain kebutuhan bergaul juga menjadi hal yang

penting. Dengan bergaul seorang remaja dapat mencapai hubungan yang baru dan

lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita. Hal ini merupakan

salah satu tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (Hurlock, 1980).

Siswa-siswi akselerasi di SMA “X” juga menghayati hal serupa berkaitan dengan

pergaulan. Berdasarkan survei awal terhadap 10 orang siswa program akselerasi,

10 siswa (100%) menyatakan bahwa pergaulan merupakan hal yang penting.

Kesepuluh siswa menyatakan hal yang serupa karena didasari oleh beberapa

alasan, di antaranya: 4 siswa (40%) menyatakan bahwa mereka membutuhkan

orang lain / tidak dapat hidup sendiri, 3 siswa (30%) menyatakan bahwa seberapa

luas koneksi seseorang menjadi faktor penentu keberhasilan dalam dunia kerja

kelak, 1 siswa (10%) menyatakan bahwa pergaulan dapat menumbuhkan sikap

saling tolong menolong, 1 siswa (10%) menyatakan bahwa pergaulan dapat

membangun karakter / jati diri seseorang, serta 1 siswa (10%) tidak memberikan

alasan.

Dari kesepuluh siswa tersebut semuanya menyatakan bahwa teman

dekatnya selama berada di sekolah hanyalah teman-teman sekelasnya. Di dalam

berhubungan dengan teman sekelas, terkadang siswa-siswi akselerasi menemukan

beberapa masalah interaksi yang menonjol, di antaranya: 8 siswa (80%)

mengeluhkan tentang masalah egoisme, 5 siswa (50%) mengeluhkan tentang

masalah komunikasi (seperti ketidak-sepahaman, “tidak nyambung”, lambat

(14)

6

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA kemunafikan (seperti berbuat baik hanya karena ada maunya, berbohong untuk

menutupi kesalahan diri sekaligus menjatuhkan orang lain, dan sebagainya).

Pada saat berinteraksi dengan orang lain, siswa akselerasi memerlukan

kemampuan untuk menciptakan hubungan yang sehat. Kemampuan inilah yang

disebut kompetensi interpersonal. Menurut Buhrmester (1988) kompetensi

interpersonal adalah kemampuan untuk membangun dan memelihara hubungan

interpersonal yang dekat sehingga dapat memenuhi kebutuhan sosial dan juga

memfasilitasi pemenuhan kebutuhan individual. Kompetensi yang tinggi dalam

menjalin hubungan intepersonal dapat dilihat dari lima aspek berikut.

Aspek yang pertama adalah kemampuan untuk berinisiatif dalam membina

suatu hubungan. Melalui aspek ini ingin diketahui seberapa besar usaha siswa

akselerasi untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain

atau lingkungan sosial yang lebih luas. Dari survei awal yang telah dilakukan

diperoleh data bahwa 6 siswa (60%) akan berinisiatif untuk berkenalan atau

memperkenalkan diri, 2 siswa (20%) akan diam saja, dan 2 siswa (20%) akan

melihat-lihat keadaan sebelum memperkenalkan diri pada saat ada orang yang

belum dikenal di suatu lingkungan.

Aspek yang kedua adalah kemampuan dalam membuka diri. Dari aspek ini

ingin diketahui seberapa jauh siswa akselerasi bersedia mengungkapkan informasi

yang bersifat pribadi pada orang lain dalam hubungan interpersonal. Berdasarkan

survei awal, 7 siswa (70%) lebih sering membicarakan hal-hal yang bersifat

umum (seperti: idola, peristiwa, pelajaran, hobi dan kegemaran), sedangkan 3

(15)

7

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA rahasia, perasaan, masalah, keburukan diri sendiri atau orang lain) pada saat

sedang bercengkerama dengan teman dekat.

Aspek yang ketiga adalah kemampuan untuk bersikap asertif. Melalui

aspek ini ingin diketahui seberapa kuat siswa akselerasi mempertahankan hak-hak

pribadi serta mengemukakan gagasannya dengan cara yang sesuai dan dapat

diterima oleh orang lain. Dari survei awal, pada saat siswa akselerasi melihat

perbuatan yang tidak disukai dari temannya, 5 siswa (50%) akan langsung

menegur perbuatan temannya itu, 4 siswa (40%) tidak berani menegur, dan 1

siswa (10%) akan melihat-lihat keadaan sebelum menegur temannya.

Aspek yang keempat adalah kemampuan dalam memberikan dukungan

emosional. Dari aspek ini ingin diketahui seberapa besar usaha siswa akselerasi

dalam mengekspresikan perhatian, kesabaran, dan simpati kepada orang lain.

Berdasarkan survei awal, 10 siswa (100%) akan mencoba menghibur,

menenangkan, serta membantu teman yang sedang tertekan atau mengalami

kesulitan.

Aspek yang kelima adalah kemampuan dalam mengatasi konflik yang

muncul. Melalui aspek ini ingin diketahui seberapa besar usaha siswa akselerasi

dalam menyusun suatu penyelesaian masalah sehingga tidak memperburuk

hubungan dengan orang lain. Dari survei awal, pada saat siswa akselerasi sedang

memiliki masalah dengan orang lain 5 siswa (50%) akan cenderung untuk

membiarkan masalah itu sehingga belum terselesaikan sampai sekarang,

sedangkan 2 siswa (20%) akan berusaha menyelesaikannya dengan memberi

(16)

8

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA siswa (10%) akan memberikan tekanan mental seperti menghasut teman-teman

sekelasnya agar tidak berhubungan dengan teman tersebut, dan 1 siswa (10%)

tidak memberikan respon atas pertanyaan ini.

Berdasarkan gambaran survei awal tersebut terdapat beberapa aspek

kompetensi interpersonal yang belum optimal, seperti pada aspek kemampuan

membuka diri, bersikap asertif, dan mengatasi konflik. Padahal kemampuan

tersebut juga dibutuhkan oleh siswa akselerasi bukan hanya untuk jenjang

pendidikan saat ini, melainkan juga untuk jenjang pendidikan selanjutnya hingga

mereka hidup bermasyarakat. Apabila kemampuan interpersonal ini tidak

dioptimalkan pada masanya, lambat laun siswa akselerasi akan cenderung

menarik diri dari kehidupan pergaulan dan pada akhirnya setelah beranjak dewasa

siswa akselerasi tidak dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah

diperolehnya untuk memajukan masyarakat. Oleh karena hal ini-lah peneliti

tertarik untuk meneliti derajat kompetensi interpersonal pada siswa program

akselerasi di SMA “X” Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimanakah derajat kompetensi

(17)

9

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran tentang derajat kompetensi

interpersonal pada siswa program akselerasi di SMA “X” Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran derajat

kompetensi interpersonal pada siswa program akselerasi di SMA “X”

Bandung dan kaitannya dengan faktor-faktor lain yang memengaruhi.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis

1. Memberikan informasi mengenai gambaran derajat kompetensi

interpersonal siswa program akselerasi bagi bidang ilmu

Psikologi Sosial, Perkembangan, maupun Pendidikan.

2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk

melakukan penelitian lanjutan mengenai kompetensi

interpersonal dan program akselerasi dalam pendidikan.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah SMA “X”

Bandung untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam

menentukan strategi yang tepat dalam membimbing

siswa-siswi program akselerasi mengembangkan

(18)

10

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 2. Informasi ini dapat pula digunakan untuk membantu guru BK

di SMA “X” Bandung dalam menentukan langkah konkret dan

melaksanakan kegiatan pengembangan kemampuan

interpersonal siswa program akselerasi.

3. Informasi ini juga dapat menjadi masukan bagi siswa program

akselerasi di SMA “X” Bandung tentang

kemampuan-kemampuan interpersonal yang tinggi maupun yang rendah,

sehingga para siswa dapat lebih mengenal dirinya dan lebih

terpacu untuk mengembangkan kemampuan interpersonal yang

belum optimal dalam berinteraksi dengan lingkungan.

1.5. Kerangka Pemikiran

Masa remaja merupakan fase perkembangan yang penting karena individu

mengalami peralihan dari masa kanak-kanak (childhood) menuju masa dewasa

(adulthood). Di dalam tahap transisi ini individu masih membawa pola perilaku

dan sikap dari tahap sebelumnya, namun individu juga tidak dapat memungkiri

bahwa di dalam dirinya muncul keinginan untuk mencoba gaya hidup yang

berbeda, serta menentukan pola perilaku, nilai-nilai, dan sifat yang paling sesuai

dengan dirinya. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan status dan keraguan akan

peran yang dijalankan individu, lalu pada akhirnya individu menghayati masa ini

sebagai masa penuh masalah dan gejolak.

Seorang remaja menghadapi tugas-tugas perkembangan yang khas pada

(19)

11

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA seorang remaja terdiri dari: (1) mencapai peran sosial sebagai seorang pria atau

wanita, (2) mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya,

baik pria maupun wanita, (3) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan

tubuhnya secara efektif, (4) mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan

orang dewasa lainnya, (5) mempersiapkan karier ekonomi untuk masa yang akan

datang, (6) mempersiapkan perkawinan dan keluarga, dan (7) memperoleh

perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan berperilaku dan mengembangkan

ideologi.

Salah satu tugas perkembangan remaja yaitu mengembangkan hubungan

yang lebih matang dengan teman sebaya, merupakan tugas yang penting untuk

dipenuhi pada masanya karena pada masa ini remaja banyak menerima pengaruh

dari lingkungan, terutama lingkungan teman sebaya. Remaja yang berhasil

memenuhi tugas perkembangan ini akan mampu mencapai kemandirian

emosional, mampu mengembangkan hubungan yang lebih intim dengan lawan

jenis, serta lebih terampil dalam berinteraksi di dalam masyarakat. Sedangkan

remaja yang gagal memenuhinya akan cenderung menarik diri dalam berinteraksi

dengan masyarakat, sulit mengembangkan hubungan intim dengan lawan jenis,

serta memiliki ketergantungan emosional yang terlalu tinggi terhadap figur yang

signifikan. Untuk dapat memenuhi tugas perkembangan ini, pada umumnya

seorang remaja akan lebih banyak menjalin hubungan interpersonal dengan teman

sebaya.

Kemampuan untuk membangun dan memelihara hubungan interpersonal

(20)

12

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA pemenuhan kebutuhan individual inilah yang kemudian disebut sebagai

kompetensi interpersonal (Buhrmester, 1988). Kemampuan ini dapat diukur

melalui aspek-aspek tugas interpersonal, yaitu: (1) kemampuan untuk berinisiatif

dalam membina suatu hubungan, (2) kemampuan dalam membuka diri, (3)

kemampuan untuk bersikap asertif, (4) kemampuan dalam memberikan dukungan

emosional, dan (5) kemampuan dalam mengatasi konflik yang muncul.

Kemampuan berinisiatif dalam membina suatu hubungan adalah

kemampuan siswa untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan

orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Siswa program

akselerasi dengan derajat kompetensi interpersonal yang tinggi memiliki

keberanian untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada orang yang belum

dikenal, berani meminta atau mengusulkan kepada teman untuk melakukan suatu

aktivitas bersama-sama, serta berani menawarkan suatu hal yang terlihat menarik

dan atraktif kepada teman. Sedangkan siswa dengan kompetensi interpersonal

yang rendah cenderung takut untuk mulai memperkenalkan diri kepada orang

yang belum dikenal, hanya menjadi pengikut dari kegiatan-kegiatan yang

dicetuskan oleh teman, serta lebih senang mengerjakan banyak hal sendirian

daripada harus berinteraksi dengan teman.

Kemampuan untuk membuka diri (self-disclosure) adalah kemampuan

siswa untuk terbuka kepada orang lain dalam relasi interpersonal. Siswa program

akselerasi dengan kompetensi interpersonal yang tinggi pada tahap hubungan

tertentu akan bersedia memberikan informasi yang bersifat pribadi mengenai

(21)

13

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Sedangkan siswa dengan kompetensi interpersonal yang rendah mudah merasa

curiga dan tidak percaya kepada teman, lebih senang memendam sendiri

permasalahan pribadi daripada menceritakannya kepada teman, berusaha

menutup-nutupi perasaan yang sedang dialami, atau justru membesar-besarkan

kelebihan diri untuk menutupi kelemahan diri dan agar lebih disegani oleh teman.

Kemampuan untuk bersikap asertif adalah kemampuan untuk

mempertahankan hak-hak pribadi, mengemukakan gagasan dan keyakinannya

secara jujur dengan cara yang sesuai dan dapat diterima. Siswa program akselerasi

dengan kompetensi interpersonal yang tinggi memiliki keberanian untuk menegur

teman yang tidak menepati janji, berani menolak ajakan teman yang bertentangan

dengan nilai-nilai dirinya, serta berani menyatakan ketidaksenangan atau

ketidaksetujuannya ketika teman memperlakukan siswa atau teman lain dengan

sewenang-wenang. Sedangkan siswa dengan kompetensi interpersonal yang

rendah akan cenderung membiarkan teman sekelasnya mengambil hak-hak

pribadi siswa atau teman lain, tidak berani berkata tidak ketika diajak melanggar

aturan, serta ketika melihat kesalahan teman sudah keterlaluan, siswa hanya

mencari aman dengan tetap bungkam daripada harus berurusan dengan teman.

Kemampuan untuk memberikan dukungan emosional adalah kemampuan

untuk mengekspresikan perhatian, kesabaran, dan simpati kepada orang lain yang

sedang dalam keadaan tertekan atau bermasalah. Siswa program akselerasi dengan

kompetensi interpersonal yang tinggi akan mampu mendengarkan keluh kesah

teman dengan sabar dan penuh empati, turut membantu memberikan alternatif

(22)

14

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA mengalami kegagalan. Sedangkan siswa dengan kompetensi interpersonal yang

rendah akan cenderung tidak peduli dengan permasalahan teman dan tidak

berusaha mencari alternatif untuk mengatasi masalah temannya, senang melihat

kegagalan temannya dan secara tidak langsung semakin memojokkan kondisi

temannya melalui perkataan, serta pada saat teman menceritakan masalahnya

siswa tidak mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan siswa justru ingin

supaya pembicaraan dengan temannya cepat berakhir.

Kemampuan mengatasi konflik yang muncul adalah kemampuan untuk

menyusun suatu penyelesaian masalah dan mempertimbangkan kembali penilaian

atas suatu masalah sehingga dapat meredakan ketegangan. Siswa program

akselerasi dengan kompetensi interpersonal yang tinggi memiliki niat dan akan

berusaha mencari cara terbaik dalam menyelesaikan masalah dengan teman,

bersedia meminta maaf terlebih dahulu, mampu melihat persoalan dari sudut

pandang lain, dan tidak melakukan suatu perbuatan yang justru akan memicu

konflik yang semakin memburuk dengan temannya. Sedangkan siswa dengan

kompetensi interpersonal yang rendah akan cenderung membiarkan permasalahan

dengan temannya berlarut-larut tanpa diselesaikan dengan cara yang baik, siswa

justru akan terus memelihara permusuhan dan tetap melihat permasalahan dari

sudut pandang dirinya sendiri, sehingga siswa menganggap bahwa dirinya-lah

yang benar dan tidak pernah meminta maaf kepada temannya.

Kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu jenis kelamin,

dukungan dari orang tua, dan dukungan dari teman sebaya. Menurut Buhrmester

(23)

15

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

behavior, yaitu kemampuan berinisiatif dalam membina suatu hubungan dan

bersikap asertif. Sedangkan wanita lebih kompeten dalam kemampuan yang

berbentuk expressive behavior, yaitu kemampuan memberikan dukungan

emosional, kemampuan membuka diri, serta kemampuan menyelesaikan konflik

yang muncul dalam suatu hubungan.

Pola relasi antara orang tua dengan anak juga memengaruhi kompetensi

interpersonal yang dimiliki siswa. Orang tua yang memberikan dukungan kepada

siswa dalam bergaul dengan teman-temannya sehingga memperoleh kesempatan

untuk bergaul dalam lingkungan sosial, akan membuat siswa cenderung memiliki

kompetensi interpersonal yang tinggi. Sedangkan orang tua yang kurang

mendukung siswa untuk berelasi sosial membuat siswa tidak memperoleh

kesempatan untuk membina hubungan yang lebih dekat lagi dengan

teman-temannya, sehingga kompetensi interpersonal siswa cenderung menjadi rendah.

Dukungan teman sebaya juga tak dapat diabaikan dalam menumbuhkan

kompetensi interpersonal siswa. Milen (dalam Strage, 1999) menemukan bahwa

penerimaan dari teman sebaya dalam pergaulan akan berdampak terhadap anak.

Teman sebaya yang hangat dan suportif dapat meningkatkan rasa percaya diri

anak dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini, siswa program

akselerasi dengan teman sebaya yang memberikan keleluasaan untuk saling

berinteraksi memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan

perkembangan sosial, emosi, dan lebih mudah membina hubungan interpersonal.

Sebaliknya siswa dengan teman sebaya yang dingin, individualis, serta membatasi

(24)

16

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA interaksi, lalu siswa menjadi pasif dalam berinteraksi, dan pada akhirnya siswa

akan menarik diri dari pergaulan. Hal tersebut dapat menghambat perkembangan

sosial siswa sehingga derajat kompetensi interpersonalnya cenderung menjadi

rendah.

Uraian kerangka pemikiran pada halaman-halaman sebelumnya dapat

digambarkan secara singkat melalui skema berikut:

Skema 1.1. Kerangka Pemikiran

1.6. Asumsi

1. Setiap siswa akselerasi memiliki kelima aspek kompetensi interpersonal

dalam diri mereka, yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan

membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan memberikan

dukungan emosional, dan kemampuan mengatasi konflik yang muncul

dalam hubungan interpersonal.

Kompetensi Interpersonal:

- Kemampuan berinisiatif

- Kemampuan membuka diri

- Kemampuan bersikap asertif

- Kemampuan memberikan dukungan emosional

- Kemampuan mengatasi konflik Faktor-faktor yang

memengaruhi:

1. Jenis kelamin 2. Dukungan orangtua 3. Dukungan teman sebaya

(25)

17

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 2. Perbedaan kompetensi interpersonal pada siswa akselerasi tersebut

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor jenis kelamin, dukungan

dari orang tua, dan dukungan dari teman sebaya.

3. Pada siswa program akselerasi, terdapat siswa yang memiliki

kompetensi interpersonal yang tinggi dan juga yang memiliki

(26)

61

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap 28 siswa program akselerasi

di SMA “X” Bandung, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1) Sebagian besar (82,14%) siswa program akselerasi di SMA “X” Bandung

memiliki derajat kemampuan yang tinggi dalam membangun dan

memelihara hubungan interpersonal yang dekat.

2) Berdasarkan jenis kelamin, siswa laki-laki memiliki kemampuan yang

tinggi dalam keempat aspek kompetensi interpersonal, kecuali pada aspek

membuka diri. Sedangkan siswa perempuan memiliki kemampuan yang

tinggi dalam kelima aspek kompetensi interpersonal.

3) Sebagian besar (84,64%) siswa dengan derajat kompetensi interpersonal

yang tinggi memperoleh dukungan membina relasi interpersonal dari

teman sebaya.

4) Sebagian besar (81,84%) siswa dengan derajat kompetensi interpersonal

yang tinggi memperoleh dukungan membangun relasi interpersonal dari

(27)

62

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan

pada bagian sebelumnya, masih banyak ditemukan kekurangan dan

keterbatasannya. Oleh karena itu peneliti mengajukan beberapa saran praktis,

diantaranya:

1) SMA “X” Bandung tetap melanjutkan program akselerasi.

2) Siswa program akselerasi laki-laki perlu mengembangkan kemampuan

dalam membuka diri. Kemampuan ini dapat dikembangkan dengan

membentuk kelompok belajar maupun diskusi.

3) Pihak sekolah mengadakan program yang dapat mengembangkan

keterampilan interpersonal para siswa program akselerasi, misalnya

dengan melibatkan siswa akselerasi mengikuti perlombaan akademis

maupun non-akademis di luar sekolah.

Selain itu peneliti mengajukan beberapa saran teoretis untuk menjadi

bahan kajian untuk penelitian selanjutnya, diantaranya:

1) Melakukan pengkajian secara mendalam tentang fenomena masalah yang

khas pada subjek penelitian, dalam hal ini siswa program akselerasi di

SMA “X” Bandung.

(28)

63

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 3) Melakukan penelitian lanjutan mengenai korelasi antara jenis kelamin

dengan derajat kompetensi interpersonal pada siswa program akselerasi di

SMA “X” Bandung.

4) Melakukan penelitian lanjutan mengenai korelasi antara dukungan orang

tua dengan derajat kompetensi interpersonal pada siswa program akselerasi

di SMA “X” Bandung.

5) Melakukan penelitian lanjutan mengenai perbedaan derajat kompetensi

interpersonal antara siswa program akselerasi dengan siswa program

regular di SMA “X” Bandung.

6) Melakukan penelitian lanjutan mengenai kemungkinan aspek-aspek yang

lebih tepat maupun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi derajat

kompetensi interpersonal, khususnya pada siswa program akselerasi

maupun pada siswa program-program khusus lainnya.

7) Melakukan penelitian lanjutan mengenai derajat kompetensi interpersonal

pada siswa program akselerasi secara khusus di kota Bandung, sehingga

(29)

64

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Reni. 2004 dan Hawadi (Ed). Akselerasi. Jakarta: PT. Gramedi Widia Sarana Indonesia.

Bennis, W. G., dkk. 1968. Interpersonal Dynamics. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

Buhrmester, D., Furman, W., Witenberg, M., & Reis, H. 1988. Five Domains of Interpersonal Competence in Peer Relationships. Journal of Personality

and Social Psychology, Vol. 55, No. 6, 991-1008.

Calhoun, J.F., & Accocella, J.R. 1990. Psychology od Adjustment and Human

Relations. (Edisi Ketiga). New York: McGraw Hill Publishing Company.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

DeVito, J. A. 1996. The Interpersonal Communications Book (Seventh Edition). New York: Harper Collins College Publishers.

Feldman, J.M. 1999. Four Questions About Human Social Behavior. In J. Adamopoulos & Y. Kashima (Editrs.) Social Psychology and Cultural

Context: Essays in Honor of Harry C. Triandis. New York: Sage

Goleman, D. 1999. Working with Emotional Intelligence. London: Bloomsbury Publishing.

Grasha, A. F. 1987. Practical Application of Psychology. London: Scott, Foresman and Company.

Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. D. 1988. Psikologi Perkembangan Anak dan

Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hill, C.A. 1991. Seeking Emotional Support: The Influence of Affiliative Need and Partner. Journal of Personality and Social Psychology, 1: 112-121.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga

Indonesia.

(30)

65

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-Step Guide For

Beginners. London : SAGE Publications Ltd.

Monks, F. J, et al. 1992, Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Munandar, S. C. U. 1999. Kreativitas & Keberbakatan Strategi Mewujudkan

Potensi Kreatif & Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pikunas. J. 1976. Human Development: An Emergent Science. Tokyo: McGrawHill Kogakusha.

Santrock, John. W. 1998. Adolescence, Seventh Edition. New York: Mc. GrawHill Companies Inc.

________________ 2004. Life Span Development. Jakarta : Erlangga Indonesia.

Sears, D. O., Freedman, J.L., & Peplau, L. A. 1991. Psikologi Sosial. Terjemahan M. Adryanto & S. Sokresno. Jakarta: Airlangga.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Strage, Amy A. 1999. Social and Academic Integration and College Success: Similarities and Differences as a Function of Ethnicity and Family Educational Background. College Student Journal, Vol. 33, Issue 2, 198.

(31)

66

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR RUJUKAN

Apollo. 2010. Hubungan Antara Peran Jenis dengan Kompetensi Interpersonal

Pada Remaja. Jurnal Widya Warta No. 01 Tahun XXXIV, 23-38.

Astuti, Pudji. 2005. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Kompetensi Interpersonal

dengan Teman Sebaya pada Siswa Kelas I di SMA “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Hanya Berkutat pada Tataran Kognitif. 2010. (Online), ( http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=65492, diakses pada tanggal 22 Januari 2011)

Idrus, Muhammad. 2007. Hubungan Antara Teman Sebaya dengan Kompetensi

Interpersonal Mahasiswa. Karya Ilmiah. Yogyakarta: Fakultas Psikologi

dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia.

Nurbayani, Siti. 2010. Program Percepatan Kelas (Akselerasi) Bagi Siswa yang

Memiliki Kemampuan Unggul. Karya Ilmiah. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Soleh, Ilman. 2008. Quovadis Akselerasi di Tingkat Pendidikan Dasar. (Online), (http://buah-penaku.blogspot.com/, diakses pada tanggal 4 April 2011)

Tuhusetya, Sawali. 2008. Kelas Unggulan dan Akselerasi, Sebuah Tragedi. (Online), ( http://sawali.info/2008/01/02/kelas-unggulan-dan-akselerasi-sebuah-tragedi/, diakses pada tanggal 22 Januari 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Kegagalan anak untuk mandiri, membuat para ibu dan orang tua merasa gagal dalam peranannya sebagai orang tua, merasa bersalah, merasa bertanggung jawab dan enggan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kelayakan peralatan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap budaya/kebiasaan menggunakan peralatan keselamatan

Dengan terbentuknya Kabupaten Dogiyai sebagai daerah otonom, Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban membantu dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan Dewan

Sehingga, Mesin Tenun merupakan suatu alat yang digerakkan oleh motor penggerak atau tenaga manusia untuk menghasilkan suatu kerajinan yang berupa kain. Penunjang

Seiring dengan perubahan peraturan pertandingan, robot yang digunakan sebagai pernyerang berjumlah lebih dari satu sehingga dibutuhkan komunikasi antar robot agar tidak

Unsur-unsur itu adalah: (1) menulis, (2) makna atau gagasan yang disampaikan, (3) bahasa atau sistem tanda konvensional sebagai medium penyampai gagasan atau ide,

Kang maru, tetapi Kang maru berusaha untuk tidak mengakui perasaan yang. sebenarnya karena ia masih bertekad untuk merebut kembali cinta

Salah satu bentuk dokumen ilmiah kegiatan KKIN 2016 adalah diterbitkannya buku Prosiding ber- ISSN yang merupakan kumpulan artikel hasil penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan