• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum bagi Dokter Dihubungkan dengan Peraturan Mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran dalam Keadaan Darurat yang Membutuhkan Pembedahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Juncto Peratur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum bagi Dokter Dihubungkan dengan Peraturan Mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran dalam Keadaan Darurat yang Membutuhkan Pembedahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Juncto Peratur"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

ix

TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN JUNCTO PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 290 TAHUN 2008 TENTANG

PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

ABSTRAK

Penyelenggaraan upaya pembangunan kesehatan sangat terkait dengan masalah pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Agar tercipta transaksi terapeutik yang baik, maka diperlukan adanya persetujuan medik berupa dokumen-dokumen seperti informed consent , yang menjadi sebuah data yang dapat menjadi bukti di kemudian hari. Permasalahan terjadi apabila dalam keadaan gawat darurat yang membutuhkan pembedahan dan harus mengisi informed consent, namun pasien dalam keadaan tidak dapat memberikan pesetujuan. Tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dalam skripsi ini, adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Informed consent dalam hal keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan,apakah pelaksanaan Informed consent dapat dikesampingkan apabila terjadi hal-hal- darurat dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan, siapa yang berhak memberikan persetujuan apabila terjadi keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan, serta untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi dokter dalam hal penanganan pasien dalam keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan.

Metode penelitian berupa data primer berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan data sekunder berupa literatur, jurnal, dan penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang meninjau dan membahas objek penelitian dari sudut pandang hukum dan undang-undang.

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa informed cosent dalam hal keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan adalah keadaan dimana pasien yang berada dalam kondisi gawat darurat yang harus segera ditangani oleh dokter dalam hal tindakan medis besar atau beresiko seperti dalam kasus operasi/pembedahan, namun dikarenakan adanya resiko yang mungkin terjadi, maka harus dilakukan persetujuan terlebih dahulu berupa penandatanganan informed consent. Namun, persetujuan tindakan kedokteran dalam hal keadaan darurat yang membutuhkan tindakan segera dari dokter, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar, tidak diperlukan informed consent. Pihak-pihak yang berhak memberikan persetujuan tindakan kedokteran adalah pasien yang kompeten atau keluarga terdekat. Pengaturan Undang-Undang Praktik Kedokteran bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada dokter dan pasien, memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan sesuai dengan standar profesi dan standar operasional dan telah dilindungi oleh Undang-Undang khusus mengenai Praktik Kedokteran.

(2)

x

ABSTRACT

The held of health development efforts is strongly related with problem in health service to society. In order to create a good therapeutic transaction , it require the approval of the form of medical documents such as informed consent, which could be use as data for a proof in the next time. The main problem is when in the state of emergency who required surgery and requied to fill out an informed consent, but the patient is unable to fill the form as approval. The main purpose and objectives to be achieve in this thesis is to know what is the meaning of informed consent in the state of emergency who need surgery as medical action. Could the implementation of informed consent waived in the case of emergency where the patient unable to give a permission, who is entitled to give permission in case of an emergency situation that required surgery. And to know how the protection from legal perspective for doctor in medical treatment for patient at the state of emergency who required surgery.

Research methods in the primary data is legislation, court decisions, and secondary data is literature, journals, and research . The approach that used in this thesis is a normative juridical analysis and discuss the research object from the standpoint of law and legislation.

The conclusion in this research is informed consent in the state of emergency that required medical action as surgery, is a condition where the patient who are in the state of emergency that required an immediately treatment from doctor where this act has a high risk such as surgery or operation. But due to the high risk from medical treatment, the approval by sign in the inform consent form become a priority to be done before the medical act. However from medical perspective, in the emergency situation for the example where the patient is not conscious and need immediately treatment from the doctor , the approval of medical action by sign in the informed consent is not required. From legal perspective the parties who entitled to give an approval for medical action is competent patient or the family who accompany. The aims in Medical Practice Act is to provides protection for doctor, dentist,the patient, and it also give protection for society. Doctors carry out all the legal protection in accordance with professional standards and operational standards and has been protected by a special Law on Medical Practice.

(3)

xi

Persetujuan Skripsi ... ii

Pengesahan Pembimbing ... iii

Persetujuan Panitia Sidang Ujian ... iv

Abstrak... v

Abstract... ... vi

Kata Pengantar... ... ...vii

Daftar Isi ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 6

C. Tujuan ... 6

D. Kegunaan ... 7

E. Kerangka Pemikiran ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERJANJIAN TERAPEUTIK DALAM PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN A.Perkembangan Konsep Perlindungan Hukum ... 19

(4)

xii

2. Asas-Asas Perjanjian ... 29

3. Resiko Dalam Perjanjian ... 32

4. Perjanjian Terapeutik ... 34

5. Konsep Hukum Dalam Perjanjian Terapeutik ... 36

6. Akibat Hukum Perjanjian Terapeutik ... 37

7. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Terapeutik ... 39

BAB III PROSEDUR PELAKSANAAN INFORMED CONSENT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN JUNCTO PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 290 TAHUN 2008 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK A.Persetujuan Tindakan Medik / Informed Consent. ... 46

1. Pengertian Informed Consent ... 46

2. Pengaturan Informed Consent ... 48

3. Bentuk Informed Consent ... 50

4. Penjelasan Mengenai Informed Consent ... 52

5. Fungsi dan Tujuan Informed Consent ... 54

B.Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik ... 56

(5)

xiii

Keadaan Darurat yang Membutuhkan Pembedahan ... 81

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 85 B.Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA ... 90

LAMPIRAN

(6)

1 A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD „45). Hak asasi manusia bidang kesehatan diatur dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD‟45.

Pasal 28H ayat (1) UUD‟45 berbunyi: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (3)

berbunyi: “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Dalam rangka

melindungi hak rakyat dalam bidang kesehatan, pemerintah menetapkan dasar hukum sebagai bentuk usaha memajukan kesejahteraan rakyat dalam

bidang kesehatan. Perlindungan terhadap masyarakat di bidang kesehatan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu Undang- Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (untuk selanjutnya disingkat UU

(7)

Kesehatan, pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang

berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat perlu diwujudkan.

Penyelenggaraan upaya pembangunan kesehatan yang berkualitas

bertitik tolak pada penyelenggaraan praktik kedokteran yang sangat terkait dengan masalah pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Agar tercipta

hubungan hukum yang didasarkan kerjasama yang baik, kejujuran, serta sikap saling percaya dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, maka diperlukan adanya persetujuan dari individu yang ditolong. Pasal 45 ayat

(1) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disingkat UU Praktik Kedokteran) berbunyi : “setiap tindakan

kedokteran dan atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

Persetujuan tindakan kedokteran dalam Bab I Pasal 1 Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran diistilahkan sebagai Informed

consent. Persetujuan tindakan kedokteran yaitu “persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”.

Seorang dokter dalam menjalankan profesinya juga tidak terlepas

(8)

merupakan resiko yang tidak dikehendaki baik oleh dokter itu sendiri, pasien maupun keluarganya. Oleh sebab itu dalam praktik kedokteran,

sebelum dilakukannya tindakan medik diperlukan adanya Persetujuan Tindakan Medik (selanjutnya disebut Informed consent) terlebih dahulu.

Informed consent pada prinsipnya diperoleh dari pasien itu sendiri

maupun keluarga terdekatnya.

Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik, membuat keputusan medik psikiatrik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi yang sesuai

standar; namun harus juga terdapat dokumen-dokumen seperti Informed consent , yang menjadi sebuah data yang dapat menjadi bukti di kemudian

hari. Adanya Informed consent dalam dunia medik, membuat dokter tidak merasa ragu dan takut untuk melakukan tindakan medik, sebab tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dapat berakibat terjadinya malpraktik

medik yang membuka kemungkinan dituntut dan digugatnya dokter tersebut di depan pengadilan baik secara pidana maupun perdata.

Kasus yang belum lama terjadi dan masih hangat menjadi topik di dunia kedokteran adalah mengenai kasus Siska Makatey. Siska Makatey meninggal pada 10 April 2010. Siska yang akan melahirkan dirujuk dari

sebuah puskesmas ke RS Kandou Manado Malalayang. Siska dapat melahirkan bayi dengan selamat. Namun, 20 menit setelah melahirkan

(9)

pada 22 September 2011 membebaskan Ayu dan dua koleganya. Jaksa melakukan kasasi ke MA karena menilai ada pelanggaran dalam upaya

pertolongan terhadap Siska. Pada 18 September 2012, MA mengabulkan kasasi dan menghukum ketiga dokter itu dengan 10 bulan penjara. Majelis

Kasasi MA beralasan ketiga dokter itu dianggap tidak menyampaikan ke keluarga pasien tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap Siska

Makatey. Operasi yang dilakukan ketiga dokter dinyatakan menyebabkan timbulnya emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung. Emboli ini kemudian menghambat darah masuk ke paru-paru, memicu gagal

fungsi paru, yang akhirnya menyebabkan Siska meninggal.

Kesenjangan antara masalah dan peraturan terjadi bahwa seharusnya dibuat Informed consent dalam setiap tindakan yang akan dilakukan oleh dokter, namun karena ada keadaan gawat darurat yang

dianggap harus segera ditangani maka sesuai dengan undang-undang yang berlaku maka dokter diberikan tanggung jawab untuk melakukan tindakan

tanpa harus membuat Informed consent, namun pada akhirnya tindakan dokter dalam kasus ini malah menuai hasil yang buruk dan menyebabkan kematian bagi Siska Makatey dan tuntutan serta vonis bagi dokter-dokter

yang menangani persalinan tersebut.

Timbul suatu masalah siapakah yang berhak memberi persetujuan

(10)

perlindungan terhadap profesi dokter sehingga penulis tertarik untuk membuat sebuah skripsi yang membahas mengenai hal tersebut. Sebelum

penulis membuat skripsi ini, telah ada penulisan skripsi yang meneliti dengan tema terkait, yaitu judul skripsi “Perlindungan Hukum Bagi Dokter

yang Melakukan Tindakan Medis Dalam Situasi Gawat Darurat Tanpa Adanya Informed Consent di Rumah Sakit Kasih Ibu Surakata” ditulis

oleh Narulita Deriana dengan NPM (980506658), Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hasil penelitian skripsi tersebut adalah dokter melindungi dirinya dengan mengikuti program asuransi

perlindungan profesi dokter dengan tujuan untuk menghindari tuntutan ganti rugi dari pasien. Berbeda dengan hasil penelitian yang ingin penulis

dapatkan, maka penulis membuat skripsi yang berjudul : “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Dokter Dihubungkan Dengan Peraturan Mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran Dalam Keadaan

Darurat Yang Membutuhkan Pembedahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Juncto Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran” . Perbedaan antara skripsi tersebut dengan skripsi yang dibuat

penulis adalah penulis lebih menitikberatkan kepada perlindungan

(11)

B. Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah

yaitu:

1. Apakah yang dimaksud dengan Informed consent dalam hal keadaan

darurat yang membutuhkan pembedahan ?

2. Apakah pelaksanaan Informed consent dapat dikesampingkan apabila

terjadi hal-hal darurat dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan?

3. Siapakah yang berhak memberikan persetujuan apabila terjadi keadaan

darurat yang membutuhkan pembedahan?

4. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi dokter dalam hal

penanganan pasien dalam keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan?

C. Tujuan

Tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dalam skripsi ini, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Informed consent

dalam hal keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan.

2. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan Informed consent dapat

(12)

3. Untuk mengetahui siapa yang berhak memberikan persetujuan apabila terjadi keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan.

4. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi dokter dalam hal penanganan pasien dalam keadaan darurat yang membutuhkan

pembedahan.

D. Kegunaan

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Penulisan ini dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat secara teoritis diharapkan dapat memberikan tambahan

pengetahuan hukum di bidang kedokteran yaitu sebagai bahan pembelajaran baik bagi penulis maupun bagi pembaca mengenai pengaturan Informed consent dalam keadaan darurat berdasarkan

Undang-Undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juncto Peraturan Menteri Kesehatan nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran.

Secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pihak dalam memberikan gambaran mengenai prosedur pelaksanaan

Informed consent yang sesuai dengan peraturan yang ada dalam hal terjadi

kondisi darurat sehingga menjadi sebuah pengetahuan hukum untuk

(13)

E. Kerangka Pemikiran

Hak asasi manusia dalam bidang kesehatan dikenal dua macam, yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individu. Hak-hak dasar ini yang

menjadi dasar munculnya hak-hak lain dalam bidang kesehatan. Hak dasar sosial yang menonjol yaitu, The Right to Health Care (hak atas

pemeliharaan kesehatan). Hak atas pemeliharaan kesehatan menimbulkan salah satu hak individu yaitu The Right to Medical Service (hak atas pelayanan medis). Hal ini karena antara hak sosial dan hak individu saling

mendukung, tidak bertentangan, minimal berjalan paralel. Ada empat faktor yang berkaitan dalam rangka melaksanakan hak atas pemeliharaan

kesehatan, yaitu faktor sarana, faktor geografis, faktor finansial, dan faktor kualitas yang terdiri dari kualitas sarana dan kualitas tenaga kesehatan. 1

Hak asasi manusia yang kedua dalam bidang kesehatan yaitu hak

dasar individu. hak dasar individu yang menonjol yaitu The Right of Self-determination, TROS. The Righ of Self-determination merupakan sumber

hak individu lain, yaitu hak privacy dan hak atas badan sendiri. Hak atas privacy yaitu suatu hak pribadi, suatu hak atas kebebasan atau keleluasaan

pribadi. Inti hak privacy jangan mengganggu (termasuk pula agar

dirahasiakan data pribadi tertentu misalnya hak atas rahasia kedokteran). Privasi dalam pelayanan kesehatan yaitu pencatatan data dalam status data

1

(14)

pasien atau rekam medis. Hak atas badan sendiri dalam bidang kesehatan berupa:

1. Menyetujui atau menolak suatu tindakan medis 2. Menjadi donor dari organ manusia

3. Menjadi donor darah

4. Mewariskan organ manusia setelah meninggal dunia

5. Mewariskan seluruh badannya pada laboratorium anatomi 6. Menentukan untuk dikremasi setelah meninggal dunia.2

Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disingkat UU Praktik Kedokteran) dan

PERMENKES No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (selanjutnya disingkat PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka dokter harus mendapat persetujuan dari pasien atau

keluarga terdekat sebelum melakukan tindakan medis terhadap diri seorang pasien. Persetujuan itu diberikan setelah dokter memberikan

informasi (penjelasan) secara lengkap kepada pasien atau keluarga terdekat mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap diri pasien.

Penjelasan (informasi) tentang tindakan kedokteran tersebut di atas

sekurang-kurangnya meliputi:

2

(15)

1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; 2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;

3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;

5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; 6. Perkiraan pembiayaan.

Kesepakatan antara pasien atau keluarganya dengan pihak dokter dalam hal pengobatan atau tindakan kedokteran ditujukan dengan adanya pernyataan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Dengan adanya persetujuan tersebut

berarti pasien telah bersedia untuk mengikuti pengobatan atau tindakan medik (kedokteran) yang akan dilakukan kepadanya dengan berbagai risiko ataupun

segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Persetujuan antara pihak pasien dengan pihak dokter dalam rangka pengobatan atau penanganan medik (Informed consent ) dapat dinyatakan

secara langsung baik lisan maupun tulisan yang dikenal sebagai express consent, atau secara tidak langsung seperti secara tersirat tanpa pernyataan

tegas yang disimpulkan oleh dokter dari sikap dan tindakan pasien yang dikenal sebagai implied consent . Mengenai Informed consent telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum

tetap dengan diundangkannya PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran . Menurut Pasal 1 angka (1) PERMENKES Persetujuan Tindakan

(16)

setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”. Jika dilihat dari isi

Pasal 1 angka (1) PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran , persetujuan tindakan kedokteran dapat dinyatakan bahwa tanpa persetujuan

dari pasien atau keluarga pasien tersebut, maka pemeriksaan atau penanganan medik yang dilakukan oleh dokter tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum

serta tidak sah.

Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan maupun penanganan medik harus menghormati hak-hak pasien serta bekerja menurut standar

profesi kedokteran. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan ketentuan sesuai prosedur dalam penanganan Informed consent, sehingga

dokter dianggap telah melaksanakan kewajibannya memberikan informasi kepada pasien atau keluarga pasien dan mendapat persetujuan dari mereka.

Pada dasarnya dalam praktik sehari-hari, pasien yang datang untuk

berobat ke tempat praktik dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan tindakan rutin seperti pemeriksaan fisik. Akan tetapi,

untuk tindakan yang lebih kompleks biasanya dokter akan memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien, misalnya kesediaan untuk dilakukan suntikan. Izin dari pasien diperlukan karena

tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matemik karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar kekuasaan dokter,

(17)

dokter, dll. Selain itu tindakan medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan.

Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak diperlukan,

kecuali pasien dalam kondisi gawat darurat. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan

informasi yang dapat mempengaruhi keputusan pasien, karena dalam keadaan tersebut, pikiran pasien mudah terpengaruh. Selain itu dokter juga harus dapat menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan pasien, agar pasien bisa

mengerti dan memahami isi pembicaraan.

Hubungan antara dokter-pasien diatur dengan peraturan-peraturan

tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran. Namun demikian hubungan antara dokter dan pasien tetap

berdasar pada kepercayaan terhadap kemampuan dokter untuk berupaya semaksimal mungkin membantu menyelesaikan masalah kesehatan yang

diderita pasien. Tanpa adanya kepercayaan maka upaya penyembuhan dari dokter akan kurang efektif. Untuk itu dokter dituntut melaksanakan hubungan yang setara dengan dasar kepercayaan sebagai kewajiban profesinya

Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara

dalam ilmu hukum disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para pihak, yaitu dokter dan pasien

(18)

setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu

terhadap yang lain. Peranan tersebut berupa hak dan kewajiban. 3

Hubungan kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik.

Kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium, sebelum akhirnya dokter

menegakkan suatu diagnosis.

Sebagaimana telah dikemukakan, tindakan medik mengharuskan adanya persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat berupa tertulis

atau lisan. Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus didasarkan atas informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Pasal 45, Paragraf 2 ,UU Praktik Kedokteran. Hubungan antara dokter

dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib. Kewajiban ini dikaitkan dengan upaya maksimal yang dilakukan dokter dalam

pengobatan pasiennya. Keberhasilan dari upaya tersebut dianggap tergantung dari keberhasilan seorang dokter untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang riwayat penyakit pasien dan penyampaian informasi mengenai

penatalaksanaan pengobatan yang diberikan dokter. Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas dan tegas

diatur dalam UU Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 52.

3

(19)

UU Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan hak dan kewajiban pasien yang diantaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan informasi. Hak pasien sebenarnya merupakan

hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual dalam bidang kesehatan.

Dalam hubungan dokter-pasien, secara relatif pasien berada dalam posisi yang lebih lemah. Kekurangmampuan pasien untuk membela kepentingannya yang dalam hal ini disebabkan ketidaktahuan pasien pada

masalah pengobatan, dalam situasi pelayanan kesehatan menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mempermasalahkan hak-hak pasien dalam

menghadapi tindakan atau perlakuan dari para profesional kesehatan.

Berdasarkan hak dasar manusia yang melandasi transaksi terapeutik (penyembuhan), setiap pasien bukan hanya mempunyai kebebasan untuk

menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi pasien juga berhak untuk mengetahui hal-hal mengenai dirinya. Pasien perlu

diberi tahu tentang penyakitnya dan tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta segala

risiko yang mungkin timbul kemudian.

Perlindungan hukum dalam penyelenggaraan praktik kedokteran mutlak diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan praktik

(20)

pada pasal 3 UU Praktik Kedokteran, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus memberikan perlindungan tidak saja kepada pasien tapi juga

dokter. Pasal 44 juga menjabarkan bahwa dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan

kedokteran.

F . Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah menekankan pada yuridis normatif. Metode yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang meninjau dan

membahas objek penelitian dari sudut pandang hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sumber data a. Data primer

Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian guna mendukung data sekunder.

b. Data sekunder

(21)

- Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian.

- Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang tidak mempunyai

kekuatan mengikat secara yuridis, seperti UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, PERMENKES Persetujuan Tindakan

Kedokteran, literatur, jurnal, hasil wawancara serta hasil penelitian terdahulu.

- Bahan hukum tersier, seperti kamus dan ensiklopedi.

3. Teknik pengumpulan data

a. Data primer

Wawancara yaitu dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan subjek penelitian. Wawancara dapat berupa wawancara

bebas maupun terpimpin. b. Data sekunder

1. Studi kepustakaan yaitu dengan menelusuri dan mengkaji berbagai macam peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan Informed consent.

2. Studi dokumen Informed consent yaitu dengan menganalisis arsip Informed consent.

(22)

4. Analisis data

Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis data yang bersifat

deskriptif kualitatif. Analisis data adalah kegiatan menguraikan, membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian dengan perspektif

atau sudut pandang tertentu yang disajikan dalam bentuk narasi. Kegiatan analisis merupakan proses untuk merumuskan kesimpulan

atau generalisasi dari pertanyaan penelitian yang diajukan.

G. Sistematika Penulisan

Adapun Sistematika Penulisan dalam skripsi ini, adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini akan membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,

Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

BAB II KAJIAN TEORITIS

Bab II ini akan membahas mengenai konsep-konsep perlindungan

hukum, konsep negara hukum, konsep perlindungan hukum dalam praktik kedokteran, teori-teori mengenai perjanjian terapeutik

(23)

BAB III PELAKSANAAN

Bab III akan memaparkan tahapan pelaksanaan Informed consent

sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan kasus –kasus yang terkait dengan informed consent.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab IV akan membahas mengenai:

1. Informed consent dalam hal keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan.

2. Pelaksanaan Informed consent yang dapat dikesampingkan apabila terjadi hal-hal darurat dimana pasien tidak dapat

memberikan persetujuan.

3. Pihak-pihak yang berhak memberikan persetujuan apabila terjadi keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan.

4. Bentuk perlindungan hukum bagi dokter dalam hal penanganan pasien dalam keadaan darurat yang membutuhkan pembedahan.

BAB V PENUTUP

Bab V ini akan memaparkan kesimpulan atas pembahasan

(24)

85

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Informed consent dalam hal keadaan darurat yang membutuhkan

pembedahan adalah keadaan dimana pasien yang berada dalam kondisi gawat darurat yang harus segera ditangani oleh dokter dalam hal tindakan medis besar atau beresiko seperti dalam kasus

operasi/pembedahan, namun dikarenakan adanya resiko yang mungkin terjadi, maka harus dilakukan persetujuan terlebih dahulu

berupa penandatanganan Informed consent. Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu pasien berhak mendapat informasi yang cukup

mengenai rencana tindakan medis yang akan dialaminya.

2. Persetujuan tindakan kedokteran dalam hal keadaan darurat yang membutuhkan tindakan segera dari dokter, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar, tidak diperlukan informed consent. Pasal 4 ayat

(1) Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran dijelaskan bahwa

“Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau

(25)

kedokteran”. Jadi dokter tidak dapat dituntut / disalahkan apabila

melakukan tindakan yang sudah sesuai dengan SOP ( Standard

Operational Procedure) dan tidak melanggar kode etik kedokteran.

3. Pihak-pihak yang berhak memberikan persetujuan tindakan kedokteran diatur dalam Pasal 13 Permenkes Persetujuan Tindakan

Kedokteran. Pihak-pihak tersebut antara lain adalah pasien yang kompeten atau keluarga terdekat. Pasien kompeten adalah pasien

dewasa ( berumur 21 tahun atau sudah menikah) yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mental. Dalam keadaan dimana pasien dewasa berada di bawah pengampuan, persetujuan diberikan oleh

wali/curator. Pasien yang berumur di bawah 21 tahun dan tidak mempunyai orangtua/ wali dan atau orangtua/wali berhalangan,

persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang. Sedangkan dalam hal penolakan, pihak yang berhak memberikan

penolakan dalam tindakan kedokteran adalah pasien dan/ atau keluarga terdekat setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan, dan dibuat secara tertulis. Akibat

penolakan tindakan kedokteran tersebut menjadi tanggung jawab pasien.

4. Pengaturan Praktik Kedokteran bertujuan untuk memberikan

(26)

dokter gigi dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Kepastian hukum kepada dokter sudah diatur

dalam pasal 50 UU Praktik Kedokteran, yaitu dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan sesuai dengan standar

profesi dan standar operasional. Pasal 27 UU Nomor 36 Tahun 2009 juga menjamin adanya perlindungan hukum untuk dokter dalam

menjalankan profesinya. Pasal 27 tersebut menuliskan bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

B. Saran

1. Masyarakat harus mulai diberikan sosialisasi mengenai prosedur informed consent kedokteran yang ada di Indonesia agar dalam

transaksi terapeutik tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, dalam melakukan upaya pengobatan diri kepada dokter, sebaiknya

meminta penjelasan detail dan rinci kepada dokter mengenai penyakit, tindakan yang akan dilakukan dokter, dan prosedur yang harus disepakati. Hal ini dilakukan agar pasien yang melakukan pengobatan

(27)

2. Dokter dan pihak-pihak Rumah Sakit harus mengetahui dan memahami mengenai hukum kesehatan dengan baik agar dapat

mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.Hubungan dokter dan pasien juga harus

dibuat seharmonis mungkin, agar bila terjadi sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan

3. Pihak-pihak yang melakukan persetujuan tindakan kedokteran

hendaknya telah yakin bahwa apa yang disepakati adalah untuk kebaikan dan upaya kesembuhan pasien. Pihak yang melakukan persetujuan hendaknya memang cakap secara hukum dan sah dalam

melakukan perjanjian tersebut agar tidak ada masalah yang timbul dikemudian hari apabila terjadi resiko-resiko yang tidak terduga dari

tindakan medik yang dilakukan. Apabila melakukan penolakan kedokteran, diharapkan melakukannya dengan keadaan yang sadar

sepenuhnya dan akibat dari penolakan tersebut dapat dipertanggung jawabkan

4. Bagi penegak hukum, khususnya hakim apabila terjadi kasus-kasus

kedokteran, hendaknya menggunakan hukum khusus yaitu hukum kedokteran, dan tidak mendasarkan kasus pada hukum Pidana/Perdata, selama kasus yang terjadi telah diatur dalam hukum khusus, dalam hal

(28)

Permenkes Persetujuan Tindakan Kedokteran, dan undang-undang lainnya yang berkaitan dengan kedokteran. Hal ini penting dilakukan

agar pengemban profesi kedokteran tidak merasa terbebani dalam menjalankan profesinya yang bertujuan mulia untuk mengupayakan

(29)

90

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi

Pustaka, Jakarta, 2006.

Donald A. Rumongkoy, Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum

Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2004.

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, ctk. Pertama, Jakarta, Grafikatama Jaya, 1991.

Guwandi, J, Informed Consent, Balai Penerbit FKUI,Jakarta,2008.

Guwandi, Rahasia Medis, Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2005.

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

(30)

Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

J Guwandi, Consent dan Informed Refusal, edisi VI, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.

J. Guwandi, Dokter, Pasien dan Hukum, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.

Konsil Kedokteran Indonesia, Kemitraan dalam Hubungan Dokter-Pasien KKI, Jakarta, 2005.

M. Yahya Harahap. Scgi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

M.Jusuf Hanafiah, Etika Kedokteran dan Hukum , Edisi III, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999.

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2003.

Mochtar Kusumaatmaja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000.

Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1988.

Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka

(31)

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika , Jakarta, 2004.

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006.

Sri Redjeki hartono. Hukum Asuransi dan Perusaliaan Asuransi, PT.Sinar Grafika Jakarta , 2000.

Subekti, Hukum Perjanjian, PT Pembimbing Masa, 1963.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Tim Penyusun Konsil Kedokteran Indonesia, Manual Persetujuan Tindakan

Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2006.

Veronika Komalawati., Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik,

PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2002.

Wahyu Sasongko, Ketentutan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Universitas Lampung,Bandar Lampung, 2007.

Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran,Tinjauan dari Berbagai Peraturan Perundang-undangan dan UU Praktik Kedokteran,

(32)

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.

SUMBER LAIN

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Koran Tempo, Kamis, 24 April 2014.

WEBSITE

http://health.liputan6.com/read/749395/inilah-kronologi-kasus-penangkapan-dokter-ayu

http://ilowirawan.wordpress.com/2007/10/29/hak-dan-kewajiban-pasien-sadarkah-kita%E2%80%A6

Referensi

Dokumen terkait