• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Peraturan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Peraturan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

42 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

3.1. Hasil Penelitian

3.1.1. Peraturan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) pada Keadaan Darurat

Berikut peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persetujuan tindakan kedokteran pada keadaan darurat :

a. UU Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d yang menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban untuk melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;

b. Penjelasan UU Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.

c. UU Tenaga Kesehatan Pasal 59 ayat (1) yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan;

(2)

43

d. UU Rumah Sakit Pasal 29 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

e. PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan terhadap tindakan kedokteran;

f. PERMENKES Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa pelayanan kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan. Pasal 3 juga telah mengatur kriteria pelayanan kegawatdaruratan yakni yang meliputi:

mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;

adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi; adanya penurunan kesadaran; adanya gangguan hemodinamik; dan/atau memerlukan tindakan segera;

3.1.2. Kasus Posisi

Julia Siska Makatey alias Siska Makatey (korban) adalah seorang wanita hamil berusia 25 tahun yang dilarikan ke Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D Kandou Malalayang Kota Manado pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010. Ia dibawa ke rumah sakit untuk melahirkan anaknya yang kedua, atas rujukan dari Puskesmas Bahu Manado.

(3)

44

Saat berada di Puskesmas Bahu, korban ditangani oleh bidan Guniarti.

Bidan melakukan pemeriksaan terhadap korban pukul 00.00 WITA. Korban mengalami pembukaan 3-4 cm, yang menunjukkan kepala bayi masih normal 10 cm. Pada pukul 04.00 WITA dilakukan pemeriksaan ulang. Dari pemeriksaan tersebut, dapat diketahui bahwa ada perkembangan yakni korban mengalami pembukaan 7-8 cm, tetapi kepala bayi masih tinggi. Melihat keadaan tersebut, bidan melakukan pemecahan ketuban dengan harapan kepala bayi cepat turun.

Namun pada pukul 07.00 WITA, ketika bidan melakukan pemeriksaan lagi ternyata kepala bayi masih stagnan. Oleh karena itu, bidan langsung merujuk korban untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D Kandou Malalayang Manado. Ketika tiba di Rumah Sakit, korban dimasukkan ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik karena keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat.

Seorang dokter yang bernama dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Hasil dari pemeriksaan tersebut yakni korban dapat melahirkan secara normal. Tetapi, setelah ditunggu hingga pukul 17.30 WITA korban belum juga melahirkan. Kemudian dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melakukan konsultasi dengan dr. Najoan Nan Warouw mengenai kondisi korban yakni bahwa pembukaan sudah maksimal, namun kepala bayi sulit keluar dan ketuban sudah pecah sejak pasien berada di Puskesmas Bahu. Karena hal tersebut, dokter konsuler menyarankan supaya melahirkan secara normal dengan cara posisi korban dimiringkan. Setelah ditunggu selama 30 menit tetap tidak ada kemajuan, pada pukul 18.30 WITA dilakukan konsultasi dengan bagian anastesi.

(4)

45

Dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An pada bagian Anestesi menyatakan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi. Setelah diputuskan untuk dilakukan tindakan operasi Cito Secsio Sesaria, operasi dapat dilakukan dalam jangka waktu 1-2 jam setelah konsultasi dilakukan.

Oleh karena itu, harus dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Setelah terdapat indikasi untuk dilakukan operasi Cito Secsio Sesaria, kurang lebih pada pukul 18.30 WITA, dr. Hendy Siagian menyerahkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban Siska Makatey untuk ditandatangani oleh korban. Penandatanganan surat persetujuan tersebut disaksikan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak, dan saksi dr. Helmi.

Kemudian berdasarkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi tersebut, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban.

Dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani yang bertindak sebagai dokter pelaksana operasi/operator dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak yang bertindak sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian sebagai asisten operator II (dua) melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban pada pukul 20.50 WITA. Operasi dilakukan pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas meja operasi setelah menerima pembiusan total. Dokter melakukan

(5)

46

tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan sekitarnya, lalu metutup tubuh korban dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi.

Dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian membantu untuk memperjelas lapangan operasi ketika dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban. Pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman, pertanda bahwa pasien kekurangan oksigen pada paru-paru atau jantung. Setelah rahim korban dibuka, bayi dikeluarkan, lalu rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit.

Setelah bayi berhasil dikeluarkan (lahir) yakni pada pukul 21.00 WITA, operasi selesai pada pukul 22.00 WITA. Namun pasca operasi, kondisi korban semakin memburuk dan sekitar 20 menit kemudian ia dinyatakan meninggal dunia. Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Malalayang Kota Manado No. 61 / VER / IKF / FK / K / VI / 2010 tanggal 26 April 2010 yang ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH, SpF, DFM menyatakan bahwa korban telah diawetkan dengan larutan formalin melalui nadi besar paha kanan; lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (thanatologi) sebagai dasar penilaian terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan; adanya tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban yakni kekerasan tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu

(6)

47

pernapasan; kekerasan tajam sesuai tindakan medik dalam operasi persalinan;

kekerasan tajam sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup;

kekerasan tajam sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah.

Ditemukannya udara pada bilik kanan jantung korban yang masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik korban dapat terbuka saat pemberian cairan obat-obatan atau infus dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian korban adalah terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

Sebelum operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban dilakukan, dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian sebagai dokter yang melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Padahal tekanan darah korban sebelum dilakukan pembiusan (anastesi) sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh).

Pemeriksaan jantung terhadap korban dilakukan setelah operasi selesai yaitu setelah dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit. Dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani apakah telah dilakukan pemeriksaan jantung elektrokardiogram (EKG) atau rekam

(7)

48

jantung terhadap diri korban, yang selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tentang hasil pemeriksaan yakni ventrikel tachy kardi (denyut jantung sangat cepat). Saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan ventrikel tachy kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi fibrilasi (kelainan irama jantung).

Hasil rekam medis Nomor 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr.

Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp. F. menyatakan bahwa pada saat korban masuk Rumah Sakit Umum Prof. R. D. Kandou Malalayang Kota Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.

Terkait dengan persetujuan tindakan operasi Cito Secsio Sesaria. Menurut keterangan keluarga korban, para dokter yang bertanggung jawab atas operasi tersebut tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang risiko- risiko yang dapat timbul akibat dari tindakan operasi yang dilakukan terhadap diri korban.

Dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian sebagai dokter yang melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban hanya memiliki sertifikat kompetensi dan tidak mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) kedokteran. Para dokter tersebut juga tidak mendapat pelimpahan atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP) kedokteran. Padahal untuk melakukan operasi Cito Secsio Sesaria dan tindakan praktik kedokteran lainnya, para dokter harus memiliki Surat Izin Praktik (SIP) kedokteran.

(8)

49

Dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian kepada korban untuk ditandatangani, terdapat fakta bahwa tanda tangan korban berbeda dengan tanda tangannya yang berada di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes. Untuk memastikan tanda tangan tersebut, maka dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Forensik Cabang Makassar oleh drs. Samir, S.St.,Mk., Ardani Adhis, S.Amd., dan Marendra Yudi L., S.E. Berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010 Nomor Lab. : 509/DTF/2011, Labolatorium Kriminalistik menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan atau

“Spurious Signature“.

Atas kasus tersebut, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sesuai dengan surat tuntutan Nomor Registrasi Perkara : PDM- 43/M.Ndo/Ep.1/09/2010 tanggal 8 Agustus 2011 yang telah dibacakan. Pada pokoknya memintakan supaya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dapat memutuskan bahwa para terdakwa masing-masing dr.

Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam pasal 359 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; menjatuhkan hukuman terhadap para terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.

(9)

50

Pengadilan Negeri (PN) Manado dalam putusannya Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO menyatakan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Karena putusan tersebut, Jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan dalam putusannya Nomor 365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012. Dan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011 dibatalkan. Majelis Hakim juga menyatakan para terdakwa yakni dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”; serta menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan terhadap para terdakwa.

Keberatan atas keputusan tersebut, Pengurus Besar Persatuan Obstetrik dan Ginekologi Indonesia (POGI) melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan menyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Manado menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam melakukan operasi pada korban.

Pada tanggal 7 Februari 2014, Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali dengan Nomor Register Perkara 79 PK/Pid/2013 menyatakan dan memutuskan bahwa para terpidana yakni dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.

(10)

51

Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain itu, putusan ini membatalkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011; membebaskan para terpidana dari semua dakwaan; memulihkan hak para terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; memerintahkan agar para terpidana dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan.

(11)

52 3.1.3. Tabel Perbandingan Putusan

No. Pembanding Putusan Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO

Putusan Nomor 365 K/PID/2012

Putusan Nomor 79 PK/Pid/2013 1. Dakwaan  Kesatu

Primair : Pasal 359 KUHP jis.

Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair : Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 Kedua

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal

 Kesatu

Primair : Pasal 359 KUHP jis.

Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair : Pasal 359 KUHP jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 Kedua

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal 55

 Kesatu

Primair : Pasal 359 KUHP jis.

Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair : Pasal 359 KUHP jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 Kedua

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal 55

(12)

53 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 Ketiga

Primair : Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.

Subsidair : Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.

ayat (1) ke-1 KUHP.

 Ketiga

Primair : Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair : Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

ayat (1) ke-1 KUHP.

 Ketiga

Primair : Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair : Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2. Tuntutan 1. Menyatakan para Terdakwa masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)

1. Menyatakan para Terdakwa masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)

1. Menyatakan para Terdakwa masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)

(13)

54 dan dr. Hendy Siagian

(Terdakwa III), terbukti secara sah dan meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 359 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

2. Menjatuhkan hukuman terhadap para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)

dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), terbukti secara sah dan meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

2. Menjatuhkan hukuman terhadap para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)

dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), terbukti secara sah dan meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

2. Menjatuhkan hukuman terhadap para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)

(14)

55 dan dr. Hendy Siagian

(Terdakwa III), dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;

3. Menyatakan barang bukti berupa : berkas catatan medis Nomor CM. 041969 atas nama Siska Makatey untuk tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

4. Menetapkan agar kepada para Terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar

dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;

3. Menyatakan barang bukti berupa : berkas catatan medis Nomor CM. 041969 atas nama Siska Makatey untuk tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

4. Menetapkan agar kepada para Terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar

dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;

3. Menyatakan barang bukti berupa : berkas catatan medis Nomor CM. 041969 atas nama Siska Makatey untuk tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

4. Menetapkan agar kepada para Terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar

(15)

56 Rp.3.000.- (tiga ribu

rupiah).

Rp.3.000,- (tiga ribu rupiah). Rp.3.000,- (tiga ribu rupiah).

3. Dasar pertimbanga n hakim

a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang PraktIk Kedokteran;

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP);

i. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

j. Pasal 359 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

k. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;

l. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah

n. Pasal 191 ayat (1) KUHAP;

o. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;

p. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

q. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

(16)

57 d. Pasal 359 KUHP;

e. Pasal 55 ayat (1) KUHP;

f. Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP;

g. Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor

512/MENKES/PER/IV/200 7 tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Kedokteran;

h. Pasal-pasal lain dari perundang-undangan yang bersangkutan

dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;

m. Peraturan perundang- undangan lain yang bersangkutan;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009;

r. Peraturan perundang- undangan lain yang bersangkutan.

4. Putusan 1. Menyatakan Terdakwa I dr.

Dewa Ayu Sasiary Prawani,

1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi :

1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari para

(17)

58 Terdakwa II dr. Hendry

Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primer dan subsidair;

2. Membebaskan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III oleh karena itu dari

Jaksa / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado tersebut;

2. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor

90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011;

3. Menyatakan para Terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr.

Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) telah

Pemohon Peninjauan Kembali/para Terpidana : I.

dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, II. dr. Hendry Simanjuntak, dan III. dr.

Hendy Siagian tersebut;

2. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No.

365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011;

(18)

59

semua dakwaan

(Vrijspraak);

3. Memulihkan hak para

Terdakwa dalam

kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

4. Menetapkan barang bukti berupa berkas catatan medis Nomor CM. 041969 atas nama Siska Makatey : tetap terlampir dalam berkas perkara;

5. Membebakan biaya perkara ini kepada Negara.

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”;

4. Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) dengan pidana penjara masing-

3. Menyatakan Terpidana I. dr.

Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terpidana II. dr. Hendry Simanjuntak, dan Terpidana III. dr. Hendy Siagian tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana yang

didakwakan oleh

Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, atau dakwaan Kedua atau

(19)

60

masing selama 10 (sepuluh) bulan;

5. Menetapkan barang bukti berupa : berkas catatan medis Nomor CM. 041969 atas nama Siska Makatey untuk tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

6. Membebankan para Termohon Kasasi / para Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat

dakwaan Ketiga Primair, Ketiga Subsidair;

4. Membebaskan Terpidana I.

dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terpidana II. dr.

Hendry Simanjuntak, dan Terpidana III. dr. Hendy Siagian oleh karena itu dari semua dakwaan tersebut;

5. Memulihkan hak para

Terpidana dalam

kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

6. Memerintahkan agar para

(20)

61

kasasi ini ditetapkan masing- masing sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Terpidana dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan;

7. Menetapkan barang bukti berupa berkas catatan medis Nomor CM. 041969 atas nama Siska Makatey : tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

8. Membebankan biaya perkara pada semua tingkat peradilan dan pada pemeriksaan peninjauan kembali kepada Negara.

(21)

62 3.2. Analisis

3.2.1. Pengaturan Informed Consent pada Keadaan Darurat

Dokter atau tenaga medis lainnya dalam melakukan tindakan kedokteran wajib memberi informasi kepada pasien mengenai kondisi yang sebenar-benarnya dari pasien dan tindakan apa yang akan dilakukan untuk menyembuhkan pasien dan/atau menyelamatkan hidup pasien beserta dengan resiko-resiko yang dapat timbul akibat dari tindakan kedokteran yang dilakukan. Pemberian informasi oleh dokter atau tenaga medis lainnya kepada pasien atau keluarganya bertujuan untuk meminta persetujuan pasien atau keluarganya sebelum dilakukan tindakan kedokteran terhadap diri pasien.

Meski demikian, dalam hal kegawatdaruratan di atur secara khusus mengenai persetujuan tindakan kedokteran (informed consent). Dalam dunia medis, gawat darurat merupakan suatu keadaan di mana pasien membutuhkan pertolongan segera untuk menyelamatkan nyawanya. Karena sifatnya yang segera atau mendesak (darurat) maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.

Namun, setelah dilakukan tindakan kedokteran, dokter atau tenaga medis lainnya tetap wajib memberi informasi kepada pasien atau keluarganya mengenai tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien. Hal ini sesuai dengan aturan tentang persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) pada keadaan darurat, yang termuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya di Negara Indonesia.

Berikut peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persetujuan tindakan kedokteran pada keadaan darurat :

(22)

63

a. UU Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d yang menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban untuk melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;

b. Penjelasan UU Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.

c. UU Tenaga Kesehatan Pasal 59 ayat (1) yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan;

d. UU Rumah Sakit Pasal 29 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

e. PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan

(23)

64

jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan terhadap tindakan kedokteran;

f. PERMENKES Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa pelayanan kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan.

Pasal 3 juga telah mengatur kriteria pelayanan kegawatdaruratan yakni yang meliputi: mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan; adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi; adanya penurunan kesadaran; adanya gangguan hemodinamik; dan/atau memerlukan tindakan segera.

Pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) dipengaruhi oleh keadaan pasien, apakah pasien dalam keadaan darurat atau non darurat. Pasien dalam keadaan darurat membutuhkan pertolongan segera untuk menyelamatkan nyawanya dan mencegah kecacatan. Oleh sebab itu, persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) dapat dikesampingkan. Hal ini sesuai dengan peraturan PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 dan Penjelasan Pasal 45 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat untuk menyelamat nyawa dan mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Namun, setelah pasien sadar atau sudah dalam kondisi baik maka dokter atau tenaga medis lainnya wajib memberi penjelasan mengenai tindakan kedokteran yang telah diberikan kepada pasien serta membuat persetujuan.

(24)

65

Pada kasus yang menimpa korban Siska Makatey, dapat diketahui bahwa korban Siska Makatey merupakan pasien dalam keadaan darurat. Korban Siska Makatey tiba di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Malalayang Kota Manado dengan keadaan pecah ketuban sehingga Ia membutuhkan pertolongan segera untuk menyelamatkan nyawanya dan bayinya serta mencegah kecacatan.

Keadaan korban tersebut dapat mengesampingkan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent). Oleh karenanya, para dokter (para Terdakwa) tidak perlu meminta persetujuan atas tindakan kedokteran yang akan diberikan kepada korban. Ahli yang dihadirkan dalam persidangan juga berpendapat bahwa operasi Cito Secsio Sesaria merupakan operasi darurat yang sifatnya segera untuk dilaksanakan, sehingga untuk pelaksanaannya tidak membutuhkan persetujuan dari pasien atau keluarganya.

Meskipun demikian, dalam pembuktian di persidangan terdapat bukti bahwa sebelum dilaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban, para terdakwa telah meminta persetujuan tindakan khusus pembedahan dan anastesi kepada korban. Bukti tersebut berupa adanya tanda tangan korban pada surat persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) yang diserahkan oleh Terdakwa Dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) kepada korban serta keterangan dari saksi Yulin Mahengkeng (Ibu korban) bahwa sebelum dilaksanakannya operasi, saksi telah menandatangani surat persetujuan. Hal tersebut membuktikan bahwa para Terdakwa tetap meminta persetujuan pasien dan/atau keluarganya untuk melaksanakan tindakan operasi Cito Secsio Sesaria, walaupun sebenarnya persetujuan tersebut dapat dikesampingkan.

(25)

66

Dalam pertimbangan putusan, terkait dakwaan mengenai keberadaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) atas tindakan kedokteran yang diberikan kepada korban Siska Makatey. Maka sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku mengenai persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) dalam hal kegawatdaruratan serta keterangan saksi dan ahli,

Majelis Hakim berpendapat bahwa para terdakwa dalam melaksanakan kewajibannya sebagai seorang dokter atau tenaga medis lainnya tidak melakukan suatu kelalaian seperti yang didakwakan.

Berdasarkan fakta dalam persidangan dan pertimbangan Majelis Hakim atas putusan kasus yang menimpa korban Siska Makatey tersebut, penulis berpendapat bahwa peraturan-peraturan mengenai persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) khususnya pada keadaan darurat sudah ada dan mengatur secara jelas, bersifat tegas, serta mengikat dalam pelaksanaannya. Para dokter dan/atau tenaga medis lainnya ataupun pasien dan/atau keluarganya wajib mematuhi peraturan tersebut. Karena dengan adanya peraturan mengenai persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) pada keadaan darurat, maka hak-hak dokter atau tenaga medis lainnya dan pasien dapat terlindungi.

Khususnya, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti : kecacatan atau kematian yang dialami pasien sebagai akibat dari tindakan kedokteran yang diterimanya.

(26)

67

3.2.2. Putusan Hakim Terkait Peraturan Informed Consent pada Keadaan Darurat

Kesesuaian putusan pengadilan dengan peraturan persetujuan tindakan kedokteran pada keadaan darurat dapat dibuktikan melalui putusan-putusan pengadilan yang penulis ambil sebagai bahan analisa dalam tulisan ini. Putusan- putusan tersebut yakni Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO; Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 365K/Pid/2012; Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor 79PK/Pid.2013. Putusan-putusan tersebut merupakan putusan dari suatu kasus yang terjadi di salah satu rumah sakit yang berada di Kota Manado. Di mana seorang pasien yang bernama Siska Makatey meninggal dunia setelah menjalani operasi Cito Secsio Sesaria. Operasi Cito Secsio Sesaria merupakan operasi darurat yang bersifat segera untuk dilaksanakan.

Pembuktian mengenai kesesuaian putusan-putusan pengadilan terhadap peraturan persetujuan tindakan kedokteran pada keadaan darurat dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hakim sebelum memutus perkara. Berikut pertimbangan-pertimbangan hakim yang berasal dari keterangan para saksi dan ahli, terkait dengan persetujuan tindakan kedokteran dalam hal kegawatdaruratan : 1. Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO

Sebelum menjatuhkan putusan, Majelis Hakim telah menyampaikan berbagai pertimbangan. Ada pun pertimbangan Majelis Hakim yang berkaitan dengan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) pada keadaan darurat dalam perkara pidana tersebut, yakni mengenai penjelasan terkait persetujuan

(27)

68

dilaksanakannya operasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Undang- Undang Praktik Kedokteran Pasal 45 yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan dari pasien atau keluarganya, setelah pasien mendapat penjelasan mengenai kondisi kesehatannya secara lengkap.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut menurut Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan kebenaran dalil dakwaannya tentang hal para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi jika operasi Cito Secsio Sesaria dilakukan terhadap diri korban. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan para Terdakwa bahwa dr.Hendy Siagian (Terdakwa III) telah menyerahkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban Siska Makatey untuk ditandatangani oleh korban yang disaksikan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak, dan saksi dr. Helmi.

Selain itu, terdapat juga bukti bahwa korban (Siska Makatey) telah dimintai persetujuan tindakan kedokteran yakni dengan adanya tanda tangan korban dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian. Yang mana tanda tangan korban tersebut menimbulkan masalah tersendiri karena berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni

(28)

69

2010 Nomor Lab. : 509/DTF/2011, Labolatorium Kriminalistik menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan atau “Spurious Signature“.

Selanjutnya, Majelis Hakim mempertimbangkan apakah para Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban telah melakukan suatu kelalaian yakni dengan tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dalam hal ini, pertimbangan Majelis Hakim didasarkan pada beberapa keterangan saksi atau ahli yang pada pokoknya menyatakan bahwa operasi Cito Secsio Sesaria merupakan operasi yang pelaksanaannya bersifat segera (darurat) sehingga tidak memerlukan pemeriksaan pendukung, tetapi untuk pemeriksaan darah harus tetap dilakukan. Pada operasi darurat juga tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

Keterangan para saksi atau ahli tersebut sesuai dengan PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 yang menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Sehingga menurut Majelis Hakim, para Terdakwa sebagai dokter yang bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban tidak melakukan suatu kelalaian.

2. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 365K/Pid/2012

Sebelum menjatuhkan putusan, Majelis Hakim telah menyampaikan berbagai pertimbangan. Ada pun salah satu pertimbangan Majelis Hakim yang

(29)

70

berkaitan dengan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) pada keadaan darurat dalam perkara pidana tersebut yakni suatu pendapat dari Majelis Hakim sendiri. Majelis Hakim berpendapat bahwa para Terdakwa sebelum melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban, tidak menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi sebagai risiko apabila operasi dilakukan.

3. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 79PK/Pid.2013

Setelah memperhatikan Memori Peninjauan Kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana I, II dan III dan tanggapan Jaksa/Penuntut Umum atas Memori Peninjauan Kembali, dihubungkan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 serta putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO tanggal 15 September 2011, terkait dengan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) pada keadaan darurat dalam perkara pidana tersebut, Majelis Hakim

berpendapat bahwa kejadian yang jarang terjadi dalam kondisi pasien secara umum tidak bisa diantisipasi. Antisipasi bisa dilakukan dalam operasi terencana, masuknya udara dalam bilik jantung korban dalam perkara ini di luar dugaan.

Kematian korban tidak ada hubungannya dengan tindakan operasi yang dilakukan oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana I, II dan III.

Operasi Cito Secsio Sesaria merupakan operasi yang bersifat darurat sehingga untuk melakukannya tidak diperlukan persetujuan dari pasien atau keluarganya, serta tidak memerlukan pemeriksaan penunjang, kecuali

(30)

71

pemeriksaan darah. Keterangan Ahli yang merupakan bagian dari pertimbangan hakim telah sesuai dengan PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 dan Penjelasan UU Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.

Meski demikian, berdasarkan pertimbangan Judex Facti atas keterangan saksi dr. Helmi, Anita Lengkong, Dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An. yang dihubungkan dengan keterangan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III, Majelis Hakim berpendapat bahwa para Terdakwa sebelum melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (Siska Makatey) telah menyampaikan kepada

pihak keluarga mengenai kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan.

Pendapat Majelis Hakim tersebut dikuatkan dengan adanya keterangan dari Saksi Yulin Mahengkeng (Ibu korban) yang menerangkan bahwa sebelum dioperasi saksi telah menandatangani surat persetujuan dan saksi meminta agar korban segera dioperasi sehingga bayi dari korban dapat diselamatkan.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka pertimbangan dari Judex Facti yakni Pengadilan Negeri Manado telah tepat dan benar bahwa :

a. dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran;

b. tindakan para Pemohon Peninjauan Kembali (Terpidana I, II dan III) tidak bertentangan dengan Standard Operasional Prosedur;

(31)

72

c. dalam tindakan operasi Cito (darurat) tidak harus dilakukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien in casu korban Siska Makatey. Sehingga para Pemohon Peninjauan Kembali (Terpidana I, II dan III) tidak dapat dikatakan melakukan suatu kelalaian. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kausalitas antara tindakan para Pemohon Peninjauan Kembali (Terpidana I, II dan III) dengan kematian korban.

Namun selain pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim tersebut, dalam musyawarah Majelis Hakim terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Hakim Anggota yang memeriksa dan memutus perkara yaitu Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum. (Pembaca I). Hakim Pembaca I berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali (Terpidana I, II dan III) tersebut tidak dapat dibenarkan. Berkaitan dengan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) pada keadaan gawat darurat, hakim tersebut berpendapat bahwa sangat penting untuk mengetahui kondisi pasien ketika masuk rumah sakit, apakah berada dalam keadaan gawat atau genting sehingga membutuhkan tindakan medis yang bersifat ”darurat/emergensi” atau berada dalam kondisi biasa. Hal ini penting karena berkaitan dengan penangan dan tindakan terhadap pasien. Pasien yang berada dalam keadaan tidak gawat berbeda penanganan dengan pasien dalam keadaan gawat.

Menurut ahli, operasi Cito Secsio Sesaria adalah operasi darurat, sehingga tidak perlu pemeriksaan penunjang karena sifatnya segera operasi. Sedangkan operasi elektif adalah operasi yang terencana. Mengacu pada pendapat ahli

(32)

73

tersebut, Pembaca I berpendapat bahwa yang dimaksud sifat segera operasi yaitu tidak membutuhkan jangka waktu yang panjang, tetapi harus ”segera”, tidak perlu membutuhkan waktu berjam-jam hingga kurang lebih 12 jam sejak pasien masuk rumah sakit hingga operasi dilaksanakan. Berdasarkan fakta persidangan, pasien Siska Makatey masuk rumah sakit sejak pukul 09.00 WITA sedangkan operasi di mulai pada pukul 20.50 WITA, ini berarti terdapat rentang waktu kurang lebih 12 jam pasien menunggu tindakan operasi. Sehingga terjadi fakta bahwa pasien meminta dirinya untuk segera dioperasi, namun para Terpidana belum melakukannya.

Karena adanya fakta tersebut, maka disimpulkan bahwa terdapat kesalahan atau kelalaian para Terpidana dalam menentukan sikap dan keputusan untuk mengambil tindakan operasi padahal pasien sudah berada dalam keadaan harus segera operasi. Kalau sekiranya operasi dilakukan lebih awal atau lebih cepat setelah pasien masuk rumah sakit, hasilnya bisa berbeda. Keterlambatan dan ketidaktepatan para Terpidana dalam mengambil tindakan dan keputusan mengakibatkan pasien Siska Makatey meninggal dunia.

Meski demikian, Majelis Hakim yang memutus perkara di tiap-tiap tingkat pengadilan tersebut memiliki pendapat yang berbeda. Majelis Hakim pada tingkat Pengadilan Biasa (Pengadilan Negeri Manado) dan Majelis Hakim pada tingkat Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung) berpendapat bahwa para Terdakwa telah memberikan informasi kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi jika operasi Cito Secsio Sesaria dilakukan terhadap diri korban. Sedangkan, Majelis Hakim pada tingkat Kasasi

(33)

74

(Mahkamah Agung) berpendapat bahwa para terdakwa sebelum melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban, tidak memberikan informasi kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi sebagai resiko apabila operasi dilakukan.

Ketiga putusan pengadilan tersebut memiliki dasar pertimbangan yang sama yakni keterangan saksi dan ahli. Saksi dan ahli menyatakan bahwa dalam keadaan darurat tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran dan pemeriksaan penunjang. Menurut PERMENKES Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1 angka 3, gawat darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Pasal 3 ayat (2) peraturan perundang-undangan yang sama juga telah menentukan kriteria kegawatdaruratan, yakni mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan; adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;

adanya penurunan kesadaran; adanya gangguan hemodinamik; dan/atau memerlukan tindakan segera.

Korban Siska Makatey merupakan seorang pasien darurat yang mendapat penanganan antarfasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam PERMENKES Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 4 ayat (1) huruf c. Penanganan antarfasilitas merupakan tindakan rujukan terhadap pasien dari suatu fasilitas pelayanan kesehatan ke fasilitas pelayanan kesehatan lain yang lebih mampu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan keterangan dalam dakwaan bahwa korban Siska Makatey merupakan pasien yang dirujuk oleh Puskesmas Bahu ke Rumah Sakit Umum Kandou Malalayang

(34)

75

Manado untuk melahirkan anaknya yang kedua. Korban dirujuk ke rumah sakit dalam keadaan darurat untuk mendapat fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Meskipun ketiga putusan tersebut memiliki dasar pertimbangan yang sama, namun pada akhirnya Majelis Hakim memiliki pendapat dan putusan yang berbeda. Terlepas dari ketiga dalil putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Penulis memperhatikan bahwa dalam putusan kasasi terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Hakim Anggota yang memeriksa dan memutus perkara yaitu Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum. (Pembaca I).

Hakim Pembaca I berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali (Terpidana I, II dan III) tersebut tidak dapat dibenarkan.

Berkaitan dengan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) pada keadaan gawat darurat. Menurut Hakim Pembaca I, sangat penting untuk mengetahui kondisi pasien ketika masuk rumah sakit, apakah berada dalam keadaan gawat atau genting sehingga membutuhkan tindakan kedokteran yang bersifat ”darurat" atau berada dalam kondisi biasa. Hal ini penting untuk pengambilan keputusan terkait penangan dan tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien.

Penulis memiliki pendapat yang sama dengan Hakim Pembaca I yakni kondisi pasien sangat berpengaruh pada keputusan dokter untuk mengambil tindakan penanganan. Pasien dengan keadaan gawat memiliki prosedur penanganan yang berbeda dari pasien non-gawat. Pasien dalam keadaan gawat

(35)

76

membutuhkan pertolongan segera untuk menyelamatkan nyawanya dan mencegah kecacatan.

Jika dilihat dari kronologinya, korban Siska Makatey masuk ke rumah sakit dalam keadaan darurat karena pecah ketuban pada pukul 09.00 WITA tetapi baru dilakukan tindakan operasi terhadap dirinya pukul 20.50 WITA. Ini berarti terdapat rentang waktu kurang lebih 12 jam korban menunggu tindakan operasi.

Karena adanya fakta tersebut, maka menurut penulis para Terdakwa telah lalai dalam menentukan sikap dan keputusan untuk mengambil tindakan operasi padahal pasien sudah berada dalam keadaan harus segera operasi. Sehingga mengakibatkan korban Siska Makatey meninggal dunia pasca operasi.

Adanya keterlambatan dalam pelaksanaan tindakan kedokteran merupakan suatu kelalaian dari para Terdakwa yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Di mana dalam peraturan perundang-undangan telah disebutkan bahwa dokter atau tenaga medis lainnya mempunyai kewajiban untuk mengobati pasien, mencegah penyakit, dan meningkatkan kesehatan. Dokter atau tenaga medis lainnya (dalam kasus ini adalah para terdakwa) seharusnya mengambil langkah terbaik untuk menyelamatkan jiwa pasien. Terlebih, korban Siska Makatey merupakan pasien darurat yang membutuhkan pertolongan segera untuk menyelamatkan nyawanya dan bayinya.

Menurut penulis, ketiga putusan Majelis Hakim atas perkara kasus yang menimpa korban Siska Makatey terhadap tiga dokter dari Rumah Sakit Umum Kandou Malalayang Kota Manado yakni para terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II), dan dr. Hendy

(36)

77

Siagian (Terdakwa III) adalah tidak tepat. Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO memutuskan bahwa para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 365K/Pid/2012 memutuskan bahwa para Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Dan, Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor 79PK/Pid.2013 memutuskan bahwa para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.

Ketidaktepatan putusan tersebut dapat dilihat dari dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Dalam mempertimbangkan putusannya, Majelis Hakim tidak memperhatikan aturan perundang-undangan lain yang terkait. UU Praktik Kedokteran Pasal 39 menyatakan bahwa praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban, salah satunya adalah melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya (Pasal 51).

Selain itu, Majelis Hakim juga kurang memperhatikan PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4, yang mana menyebutkan bahwa dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan

(37)

78

tidak diperlukan persetujuan terhadap tindakan kedokteran. Padahal dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 50 telah disebutkan bahwa putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Referensi

Dokumen terkait

reaksi terbentuknya Ag+z. Disisi lain secara teoritis tidak ada faktor temperatur pada perhitungan efisiensi, sehingga semakin rendah temperatur harga efisiensi arus elektrolisis

Jika yang Anda tangani ini adalah pasien prioritas tinggi, maka tahap persiapan, melonggarkan pakaian, memeriksa perban dan bidai, menenangkan pasien, bahkan pemeriksaan vital

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi Presiden Indonesia ke-4,

Berdasakan hasil pengujian yang telah dilakukan aplikasi yang dibangun dapat diterima sesuai dengan kebutuhan pengguna baik dari segi isi, materi, visualisasi dan

 Bagaimana pengaruh temperatur operasi sensor dan konsentrasi gas LPG terhadap sensitivitas sensor gas LPG dari material WO 3 yang disintesa dengan metode sol gel dan

07/11/2012 18 QBasic Input data rancangan AutoCAD Pembuatan gambar kerja otomatis QBasic Pengolahan data rancangan Pembuatan dan. penyimpanan

Arah hubungan (r) adalah positif, semakin tinggi luas penutupan kayu apu pada limbah cair tahu maka semakin tinggi pula penurunan nitrat pada limbah cair tahu. 28.Tabel

Untuk nilai indeks dominansi berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai dominansi sebesar 0,59 dengan demikian terkategorikan dominansi jenis tertentu masih