• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis terhadap Tidak Diratifikasinya Anti Counterfeiting Trade Agreement dan Dampaknya terhadap Penegakan Hukum Hak Cipta Sebagai Bagian dari Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis terhadap Tidak Diratifikasinya Anti Counterfeiting Trade Agreement dan Dampaknya terhadap Penegakan Hukum Hak Cipta Sebagai Bagian dari Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TIDAK DIRATIFIKASINYA ANTI

COUNTERFEITING TRADE AGREEMENT DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PENEGAKAN HUKUM HAK CIPTA SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

Muhamad Yudian Tisnapradana 1187028

ABSTRAK

Perkembangan teknologi yang pesat berdampak terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual yang dilakukan dalam skala besar. Untuk menanggapi permasalahan tersebut, beberapa negara telah mengadakan perjanjian multilateral yang dinamakan Anti Counterfeiting Trade Agreement (ACTA). Indonesia tidak turut serta di dalam proses negosiasi maupun ratifikasi serta penandatanganan ACTA. Ketidakikutsertaan Indonesia di dalam ACTA akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berpengaruh terhadap kerangka hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (berdasarkan peraturan hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak cipta) dan pendekatan konseptual (berdasarkan dotktrin-doktrin Hukum Internasional yang khusus di bidang Hukum Hak Kekayaan Intelektual). Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, dimana dikaji mengenai gejala-gejala di dalam pelaksanaan aturan ACTA dan dampaknya terhadap negara baik yang meratifikasi aturan tersebut maupun yang tidak turut meratifikasinya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer seperti Undang-undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Resmi Anti Counterfeiting Trade Agreement (ACTA). Hasil penelitian menunjukkan tidak dilibatkannya Indonesia di dalam ACTA tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang signifikan bagi Indonesia, akan tetapi Indonesia tidak dapat mendapatkan manfaat yang diterima oleh negara-negara lain yang menjadi anggota ACTA, seperti penyelesaian sengketa melalui aturan ACTA, perlindungan HKI di lingkungan digital dan penegakan hukum hak cipta menggunakan aparat khusus.

Praktisi dan regulator di bidang Hak Kekayaan Intelektual harus mengutamakan pengkajian lebih lanjut mengenai aturan-aturan ACTA. Ketidakikutsertaan Indonesia di dalam ACTA sepatutnya diinisiasikan dengan pembuatan suatu lembaga multinasional dimana di dalamnya terdapat Negara-negara yang tidak terlibat di dalam ACTA akan tetapi memiliki kebutuhan perlindungan hukum yang sama.

(2)

JURIDICAL REVIEW ON THE UNRATIFIED ANTI COUNTERFEITING TRADE AGREEMENT AND ITS IMPACT ON COPYRIGHT LAW AS A PART OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS LAW IN INDONESIA

Muhamad Yudian Tisnapradana 1187028

ABSTRACT

Fast technology development eases impacts the violation of Intellectual Property Rights to be performed in such enormous scale. To respond to this problem, some nations have organized multilateral agreement known to the world as Anti Counterfeiting Trade Agreement (ACTA). Indonesia was not involved in neither the negotiation process nor the ratification and signatory. The blatant absence of Indonesia in ACTA will evoke certain legal consequences impact which will affect legal frameworks of Intellectual Property Rights Law in Indonesia.

The research method used is normative method with statute approach (based on regulations surrounding copyright protection) and conceptual approach (based on doctrines related to International Intellectual Property Rights Law). Descriptive analytical approach is used in this research, in which the approach includes assessment of tendency in enforcement of ACTA regulation and its impact whether on nations which ratified the agreement or nations which did not ratify the agreement. The data used in this research is secondary data which consisted of primary legal source such as The 1945 Indonesian Constitution, Law No. 28 of 2014 of Copyright Act and the Official ACTA Regulation. This research has shown that the absence of Indonesia in ACTA do not evoke certain significant legal consequences however, this means Indonesia would not receive benefits other ACTA members would receive such as dispute resolutions in accordance to ACTA regulations, Intellectual Property Rights in digital environment, and Copyright Law enforcement which utilizes special enforcer.

Academics and regulators in the Intellectual Property Rights field should pay more attention to further assessments on ACTA regulations. The absence of Indonesia should be initiated with a creation of a multinational institution consisted of nations which are not involved in ACTA however require the same need.

Keywords: Intellectual Property Rights, Copyright, ACTA

(3)

DAFTAR ISI

Pernyataan………..

Pengesahan Pembimbing……….

Persetujuan Panitia Sidang Ujian………...

Persetujuan Revisi………..

Abstrak………. Kata Pengantar………... Daftar Isi……… Daftar Lampiran………. BAB I PENDAHULUAN………. A. Latar Belakang Masalah………...

B. Rumusan Masalah………..

C. Tujuan dan Sasaran………..

D. Kegunaan………

E. Kerangka Pemikiran………..

F. Metode Penelitian………...

1. Sifat Penelitian………

2. Pendekatan Penelitian……….

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum………... G. Sistematika Penulisan... BAB II TINJAUAN UMUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM RANAH HUKUM NASIONAL DAN

INTERNASIONAL... A. Hak Cipta Dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Cipta... 2. Hak Cipta Ditinjau Dari Aspek Filosofis... 3. Pengaturan Hak Cipta Dalam Hukum Internasional... 4. Hak Cipta Dalam Ranah Hukum Nasional………..

5. Pelanggaran Hak Cipta………..

B. Konvensi/Perjanjian Internasional………..

1. Pengertian Konvensi / Perjanjian Internasional………

2. Teori Perjanjian Internasional………..

C. Implementasi dan Mekanisme Ratifikasi Dalam Hukum Internasional... 1. Ratifikasi Hukum Internasional dalam Hukum Nasional dan Mekanisme

Ratifikasi………..

2. Implementasi dan Daya Mengikat Ratifikasi………... BAB III KEBIJAKAN ANTI COUNTERFEITING TRADE AGREEMENT (ACTA)………

A. ACTA Sebagai Instrumen Penegak Hukum Hak Cipta Internasional……… 1. Pembuatan ACTA Berdasarkan Kebutuhan Penegak Hukum Hak

Kekayaan Intelektual……….

2. Isi, Kebijakan dan Tujuan Utama ACTA………... B. Perkembangan Pelanggaran Hak Cipta di Dunia Sebagai Salah Satu Target

(4)

1. Perkembangan Hukum Hak Cipta, Pelanggaran dan Perkembangan Pelanggaran Hak Cipta... 2. ACTA Sebagai Bentuk Intervensi Pelanggaran Hak Cipta Dalam Skala

Global... 3. Ruang Lingkup ACTA Terhadap Ruang Privat Individu... C. Aturan-Aturan yang Diprioritaskan Untuk Menunjang Penegakan Hukum

Hak Kekayaan Intelektual Secara Internasional……….

BAB IV ANALISIS TERHADAP KETIDAKIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM ACTA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KERANGKA HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

INDONESIA………

A. Upaya Penegakan Hukum Hak Cipta Melalui ACTA……….

B. Akibat Hukum Dari Ketidakikutsertaan Indonesia dalam ACTA dan Upaya Indonesia Dalam Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Ranah

Hukum Internasional………

1. Akibat Hukum Dari Ketidakikutsertaan Indonesia dalam

ACTA……….

2. Upaya Indonesia Dalam Perlindungan dan Penegakan Hukum Hak

Kekayaan Intelektual………... C. Pemberlakuan Aturan ACTA Untuk Penyelesaian Sengketa Hak Cipta di

Indonesia……… BAB V PENUTUP………..

(5)

DAFTAR LAMPIRAN

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Manusia terlahir ke dunia dengan membawa tiga unsur kehidupan yang

diberikan oleh Pencipta-Nya, ketiga unsur tersebut adalah Rasa, Karsa dan

Karya/Cipta atau dikenal dengan sebutan TRIDAYA.1 Rasa adalah suatu kekuatan

dimana setiap manusia dapat memilah-milah sesuatu, baik itu berupa gambar

dan/atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, Karsa adalah kehendak atau

tekad, sedangkan Karya/Cipta adalah kekuatan dalam membuat sesuatu yang

kemudian menghasilkan suatu citraan (gambaran). Ketiga unsur tersebut akan

saling melengkapi untuk kemudian manunggal (menyatu) dalam dirinya. Rasa dan

karsa biasanya bersifat umum dan mungkin sama pada setiap manusia, akan tetapi

karya/cipta akan berbeda berdasarkan tingkat intelektual masing-masing pribadi,

itulah sebabnya buah pemikiran karya/cipta biasa disebut sebagai kekayaan

intelektual.

Adanya TRIDAYA dipengaruhi oleh kodrat manusia yang berdasarkan

tiga unsur: RAGA, yaitu tempat atau “wadah”, RASA, dan RASIO.2 Rasio

menjadi semakin bermanfaat apabila kebutuhan Raga dan Rasa manusia telah

terpenuhi,.

1 TRIDAYA merupakan Trias-dinamika manusia, dapat ditinjau juga sebagai manusia sebagai

Trias-dinamika yang mana TRIDAYA terdiri atas Cipta, Karsa dan Karya. Disadur dari Nicolaus

Driyakarya dan A. Sudiarja, (Karya Lengkap Drikarya): Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat

Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya,Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm 245

2 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT Pembangunan dan Ghalia

(7)

Akal manusia yang berdasar pada TRIDAYA tersebut semakin

berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Manusia semakin lama

semakin mampu menciptakan karya-karya baru dan orisinil sehingga karya-karya

tersebut dapat dianggap sebagai penemuan besar bagi manusia lainnya.

Karya-karya tersebut juga dapat berupa kontribusi terhadap pengetahuan manusia dan

perkembangan teknologi. Salah satu ciptaan yang sangat dihargai adalah seni.

Seni merupakan ciptaan manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan dan

pengetahuan yang dimiliki oleh manusia yang dituangkan dalam berbagai macam

bentuk.

Menciptakan sesuatu merupakan hak dasar manusia dalam

mengembangkan dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik di bidang ilmu

pengetahuan dan budaya. Pasal 28 C ayat (1) Undang-undang dasar 1945

menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Penghargaan atas ciptaan manusia direfleksikan dalam Undang-undang

Dasar tahun 1945, dimana dikatakan pada alinea keempat bahwa:

(8)

Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat di

atas dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan sosial sendiri bukanlah

berbicara mengenai keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan

atau hukum, melainkan berbicara lebih luas tentang hak warga negara di sebuah

negara. Pemerintah berfungsi sebagai pihak yang menjunjung tinggi keadilan

dengan melindungi hak seluruh warganya. Artinya, pemerintah adalah pemerintah

yang aktif, melindungi hak warganya bahkan hingga hak yang bersifat eksklusif

seperti Hak Cipta.

Hak Cipta diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang

Hak Cipta, dimana Undang-undang tersebut mengatur perlindungan hak eksklusif

pencipta untuk menciptakan suatu karya orisinil. Undang-undang Hak Cipta ini

merupakan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang

Hak Cipta, dimana seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan

masyarakat, isi dari Undang-undang Hak Cipta yang lama tersebut dianggap

sudah tidak sesuai.

Karya ciptaan yang seringkali menjadi subyek pelanggaran Hak Cipta

adalah seni musik, karena dewasa ini musik dapat didistribusikan dengan mudah

melalui berbagai macam media. Kemudahan tersebut dikarenakan musik

berkorelasi secara langsung dengan teknologi, yang berarti manusia dapat

memanfaatkan teknologi sebagai media untuk mendistribusikannya. Musik pada

jaman modern didistribusikan melalui Compact Disc atau CD yang merupakan

(9)

Perkembangan teknologi memperkenalkan komputerisasi terhadap musik yang

diciptakan sehingga musik memiliki format yang dapat dibaca oleh komputer.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, pembajakan tidak lagi

dilakukan secara manual melalui CD melainkan secara terbuka melalui dunia

maya dengan internet sebagai medianya. Internet merupakan salah satu sarana

bagi masyarakat untuk memperoleh informasi juga untuk mewujudkan keinginan

masyarakat untuk terus turut mengembangkan diri, dan oleh karenanya Indonesia

dapat dengan cepat meresap informasi-informasi yang tersebar di seluruh dunia.

Akan tetapi, dunia maya terkadang disalahgunakan oleh beberapa individu dan hal

ini memperlihatkan sisi buruk dari pengembangan diri terhadap teknologi yang

terlalu cepat. Pengguna internet juga kerap mengembangkan diri dengan

mempelajari mekanisme internet dan semakin lama para pengguna internet

mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang menjadi celah agar dapat

disalahgunakan demi kepentingan pribadi.

Kondisi ini memperlihatkan seolah dunia maya atau ruang siber sebagai

ruang bebas yang tidak dilindungi oleh hukum, sehingga individu-individu

tersebut seolah berpikir tanpa mementingkan konsekuensi yang mungkin terjadi

atas tiap tindakan yang diperbuat. Hal ini menghasilkan kebutaan akan hukum

yang cukup besar dan pada akhirnya dunia maya dianggap sebagai tempat aman

bagi para individu yang tidak dapat melakukan tindakan tertentu diluar dunia

maya. Padahal, pada hakekatnya hukum tersebut ada dan terkadang, seperti

(10)

Beberapa persoalan yang muncul saat ini menyangkut perlindungan

terhadap program komputer dan objek hak cipta lainnya yang terdapat di dalam

aktivitas dunia maya.3 Informasi yang terdapat di dalam dunia maya meliputi

objek-objek yang diciptakan oleh manusia dan menjadi suatu karya tersendiri dan

bahkan memiliki nilai. Objek-objek tersebut pada awalnya diunggah atau

didistribusikan oleh pencipta itu sendiri di dunia maya. Bagi objek yang

diciptakan dengan tujuan untuk diperjualbelikan, pencipta akan menetapkan biaya

yang diperlukan untuk memperoleh objek tersebut. Untuk suatu karya ciptaan

tertentu, pencipta dengan sengaja mendaftarkan ciptaan tersebut agar para

individu yang mengakses ciptaan tersebut harus membayar suatu royalti agar

dapat dipergunakan dengan bebas. Individu yang telah memperoleh atau

mengakses karya ciptaan tersebut dengan cara yang legal kemudian

mendistribusikannya kembali di dunia maya dengan bebas biaya, sehingga banyak

yang dengan bebas memperoleh karya ciptaan tersebut tanpa dibebankan biaya

apapun. Royalti atau biaya tertentu yang pada mulanya harus dibayarkan oleh

individu yang hendak memperoleh ciptaan tersebut menjadi suatu hal yang tidak

lagi diwajibkan dan banyak yang mengalami kerugian karenanya.

Dewasa ini masyarakat Indonesia memperoleh secara gratis tiap ciptaan

manusia yang tersebar di dunia maya. Objek-objek seperti perangkat lunak

(software), musik, dokumen-dokumen ilmiah atau bahkan dokumen-dokumen

negara dapat diperoleh tanpa harus membayar biaya apapun. Hal ini merupakan

(11)

pelanggaran hukum Hak Kekayaan Intelektual yang berat karena melanggar hak

eksklusif para pencipta ciptaan tersebut. Ciptaan-ciptaan tersebut lama kelamaan

kehilangan nilai, baik nilai materiil maupun imateriil. Banyak pencipta yang

berhenti mendistribusikan karya nya di dunia maya karena merasa ciptaannya

tidak dihargai dengan baik. Kemudahan akan akses inilah yang menjadi

kekhawatiran negara-negara maju. Kekhawatiran ini terus berkembang sehingga

pada akhirnya diciptakanlah perjanjian multinasional yang disebut sebagai Anti

Counterfeiting Agreement, selanjutnya disebut sebagai ACTA.

ACTA adalah perjanjian bilateral yang pada awalnya diusulkan oleh

Amerika Serikat dengan Jepang. Dibuatnya perjanjian ini dikarenakan

kekhawatiran akan berkurangnya penegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual

(selanjutnya disebut sebagai HKI4) secara internasional. Preambule atau

pembukaan ACTA menyatakan bahwa:5

“Noting that effective enforcement of intellectual property rights is critical

to sustaining economic growth across all industries and globally;

Noting further that the proliferation of counterfeit and pirated goods, as well as of services that distribute infringing material, undermines legitimate trade and sustainable development of the world economy, causes significant financial losses for right holders and for legitimate

4

Perubahan nama Hak Atas Kekayaan Intelek.tual (HAKI) menjadi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) didasari oleh pertimbangan Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Dalam Artikel yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sendiri dinyatakan bahwa

“istilah yang umum dan lazim dipakai sekarang adalah hak kekayaan intelektual yang disingkat HKI. Hal ini sejalan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan RI Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dalam surat Nomor 24/M/PAN/1/2000 istilah “Hak Kekayaan Intelektual” (tanpa

“Atas”) dapat disingkat “HKI” atau akronim “HaKI” telah resmi dipakai.” Selain berdasarkan aturan hukum, perubahan nama ini juga dilakukan untuk menyesuaikan istilah dengan kaedah

bahasa Indonesia yang pada hakekatnya tidak mengenal penulisan kata “atas” atau “dari”

khususnya dalam istilah

5 Teks asli ACTA: http://www.mofa.go.jp/policy/economy/i_property/pdfs/acta1105_en.pdf,

(12)

businesses, and, in some cases, provides a source of revenue for organized crime and otherwise poses risks to the public;”

ACTA selain bertujuan untuk mendirikan kerangka hukum internasional

yang menargetkan barang-barang palsu, obat-obatan dan pelanggaran hak cipta di

dunia maya, juga untuk mendirikan badan yang bekerja di luar forum-forum yang

telah didirikan sebelumnya seperti World Trade Organization (WTO), World

Intellectual Property Organization dan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations).6 Tujuannya adalah untuk meminimalisir kemungkinan pelanggaran hak cipta atau produk-produk tiruan yang didistribusi secara besar-besaran dalam

ruang lingkup internasional.

ACTA dibuat pada tahun 20107 dan ditandatangani oleh negara-negara

maju pada tahun 2011. Negara-negara yang turut menandatangani diantaranya

adalah Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Maroko dan negara-negara Uni Eropa

beserta 22 negara lainnya yang menjadi bagian negara Uni Eropa.

ACTA merupakan terobosan bagi beberapa industri yang tertarik pada

perlindungan hak cipta. Motion Picture Association of America dan International

Trademark Association dianggap memberikan pengaruh signifikan bagi agenda ACTA.8 Kekhawatiran industri-industri tersebut dikarenakan majoritas objek yang

diungguh pada dunia maya adalah karya ciptaan yang berupa musik, film atau

dokumen-dokumen penting. Objek-objek tersebut merupakan ciptaan-ciptaan

6 Wikipedia: Anti-Counterfeiting Trade Agreement: http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-Counterfeiting_Trade_Agreement diakses pada tanggal 30 April 2015 pukul 19.00 WIB

7

Joint statement on the Anti-Counterfeting Trade Agreement (ACTA) from all negotiating partners

of the agreement, yang memuat pernyataan para pihak yang bernegosiasi untuk ACTA, dirilis oleh

European Commission pada tanggal 15 November tahun 2010

(13)

yang sangat dilindungi oleh hak cipta. Jenis ciptaan yang dapat dilindungi hak

cipta dapat dilihat dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang

Hak Cipta. Berikut merupakan keseluruhan isi dari Pasal 40:

“Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:

a. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung,

atau kolase;

g. karya seni terapan; h. karya arsitektur; i. peta;

j. karya seni batik atau seni motif lain; k. karya fotografi;

l. Potret;

m. karya sinematografi;

n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya

lain dari hasil transformasi;

o. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

p. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer

maupun media lainnya;

q. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

r. permainan video; dan s. Program Komputer”

ACTA berfungsi sebagai instrumen pembatas akses konten-konten dalam

dunia maya. Ciptaan-ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta dibatasi aksesnya

sehingga hanya beberapa individu dengan otorisasi tertentu yang dapat

mengaksesnya. ACTA juga mengharuskan konten-konten yang dianggap

berpotensi melanggar hak cipta dihapus dari dunia maya sehingga tidak ada akses

(14)

Keberadaan ACTA merupakan hal yang sangat penting bagi penegakan

hukum Hak Kekayaan Intelektual di dunia. ACTA memang secara spesifik

bertujuan untuk memberikan kerangka hukum internasional bagi negara-negara

yang turut menandatangani saja9, akan tetapi negara-negara berkembang yang

tidak turut terlibat merasakan dampaknya. Ini dikarenakan beberapa negara

tersebut memiliki ketergantungan terhadap jaringan yang ada di negara-negara

yang menandatangani ACTA, misalnya Amerika Serikat atau Jepang. Indonesia

merupakan salah satu negara yang merasakan dampaknya. Dampak yang

dirasakan dapat berupa pemblokiran atau penutupan situs-situs yang dianggap

melanggar hak cipta atau memuat konten berbahaya, pemblokiran akun-akun situs

hosting yang dianggap melanggar hak cipta oleh pihak Amerika Serikat, dan penghapusan konten pribadi yang telah diungguh pada dunia maya yang dianggap

melanggar hak cipta. Padahal yang memiliki hak untuk melakukan

tindakan tersebut adalah pihak dari Negara Indonesia akan tetapi

tindakan-tindakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh pihak Indonesia karena Indonesia

sendiri belum memiliki pengaturan spesifik mengenai perlindungan hak cipta di

dunia maya.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh penerapan ACTA adalah

kasus penutupan situs Megaupload. Megaupload merupakan situs yang

mengizinkan masyarakat dunia maya mengunggah dan mengunduh konten-konten

tertentu secara gratis maupun berbayar. Pada mereka diberikan dua pilihan, yaitu

membuat akun gratis atau berbayar, dimana akun yang berbayar memiliki

9 Diambil dari BAB I: Ruang Lingkup dan Definisi Umum (Initial Provisions and General

(15)

keuntungan untuk mengunggah dan mengunduh lebih banyak konten-konten.

Berikut berita yang disadur dari BBC10:

Megaupload, one of the internet's largest file-sharing sites, has been shut down by officials in the US. The site's founders have been charged with violating piracy laws.

Federal prosecutors have accused it of costing copyright holders more than $500m (£320m) in lost revenue. The firm says it was diligent in responding to complaints about pirated material.

In response, the hackers group Anonymous has targeted the FBI and US Department of Justice websites.

The news came a day after anti-piracy law protests, but investigators said they were ordered two weeks ago.

The US Justice Department said that Megaupload's two co-founders Kim Dotcom, formerly known as Kim Schmitz, and Mathias Ortmann were arrested in Auckland, New Zealand along with two other employees of the business at the request of US officials. It added that three other defendants were still at large.

"This action is among the largest criminal copyright cases ever brought by the United States and directly targets the misuse of a public content storage and distribution site to commit and facilitate intellectual property crime,"said a statementposted on its website.

"It begs the question that if you can find and arrest people who are suspected to be involved in piracy using existing laws, then why introduce further regulations which are US-only and potentially damaging?"

Penutupan situs Megaupload mempengaruhi tidak hanya Amerika Serikat

akan tetapi seluruh dunia. Akun-akun yang telah dibuat di Indonesia juga turut

dihapus dan konten-konten di dalamnya dihapuskan dari dunia maya. ACTA telah

membuktikan keberhasilan kerangka hukum internasionalnya dan ACTA berhasil

mengantisipasi pelanggaran HKI di dunia maya. Penutupan megaupload di

Indonesia dipercaya bukan merupakan kebijakan dari pemerintah Indonesia

10

(16)

sendiri melainkan karena ketentuan dari FBI, yang mana jurisdiksinya berdiri di

Amerika Serikat.

Kendati tidak memiliki pengaturan secara spesifik mengenai perlindungan

hak kekayaan intelektual di dunia maya, Indonesia memiliki cara tersendiri untuk

mencakup perlindungan hak kekayaan intelektual di dunia maya, yaitu dengan

menafsirkan aturan-aturan yang terdapat di dalam Undang-undang Hak Cipta

secara analogis sehingga aturan-aturan tersebut dapat diterapkan dalam dunia

maya. Ini merupakan hal yang sangat fatal dikarenakan seiring berkembangnya

teknologi, ciptaan yang terdapat di dalam dunia maya tidak sepenuhnya

diciptakan di luar dunia maya secara manual oleh manusia melainkan dapat

diciptakan di dalamnya.

Salah satu perangkat yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suatu

karya adalah MIDI.11 MIDI merupakan standar teknikal yang menjelaskan

protokol, elektronik digital dan konektor dan mengizinkan bermacam macam

instrumen musik elektronik, komputer dan perangkat terkait lainnya untuk saling

berhubungan dan berkomunikasi satu sama lain.12 MIDI dapat disusun untuk

menciptakan musik melalui dunia maya. Ini berarti tidak sepenuhnya penafsiran

tersebut benar dan akurat, karena seharusnya ada aturan lanjut yang menjelaskan

musik hasil ciptaan dalam dunia maya. Penafsiran yang tidak akurat tersebut

11

MIDI adalah Musical Instrument Digital Interface yang pada dasarnya berfungsi sebagai perangkat yang mengontrol instrument-instrumen tertentu, seperti misalnya synthetizers dan

soundcards yang menghasilkan musik. MIDI mewakili berbagai macam karakteristik suatu musik

termasuk diantaranya tinggi nada, ukuran nada dan volume. Beberapa program software diciptakan untuk menulis dan mengedit musik sesuai dengan standar MIDI. Diakses dari http://www.webopedia.com/TERM/M/MIDI.html

12 Disadur dari jurnal milik Andrew Swift, A Brief Introduction to MIDI, SURPRISE (Imperial

(17)

menyebabkan penegakkan HKI dalam dunia maya di Indonesia sangatlah lemah

dan ACTA yang sama sekali tidak memiliki korelasi apapun dengan Indonesia

dapat dengan mudah mengintervensi kebijakan-kebijakan hukum hak cipta di

Indonesia.

Hal tersebut menyebabkan intervensi asing ACTA yang bahkan tidak

berkorelasi secara langsung dengan Indonesia berdampak secara besar terhadap

penegakan hukum HKI di Indonesia, khususnya dalam bidang Hak Cipta.

Intervensi ACTA yang secara tidak langsung berdampak pada penegakkan hukum

HKI di dunia maya di Indonesia juga mengindikasikan adanya suatu korelasi yang

tidak konsisten antara tujuan utama ACTA dan penegakannya. ACTA yang

bertujuan untuk merangkul hanya negara-negara yang turut terlibat dalam

penyusunannya ternyata melibatkan negara-negara lainnya yang tidak turut

melibatkan diri di dalamnya. Kejanggalan karena inkonsistensi tersebut

menyebabkan perubahan terhadap penegakkan hukum hak kekayaan intelektual di

Indonesia dan hal ini terlihat seolah Indonesia tunduk pada ACTA secara

sepenuhnya.

ACTA sendiri merupakan perjanjian yang sempat menuai protes sehingga

menimbulkan isu kontroversial dikarenakan ACTA dianggap merampas dan

mengancam kebebasan masyarakat dunia. Sebuah surat terbuka ditandatangani

oleh berbagai macam organisasi seperti Consumers International, European

Digital Rights, Free Software Foundation, Electronic Frontier Foundation, ASIC, dan Free Knowledge Institute menyatakan bahwa "the current draft of ACTA

(18)

citizens, most notably the freedom of expression and communication privacy."13 yang mana surat tersebut menyatakan bahwa ACTA membatasi hak dasar dan

kebebasan para masyarakat Eropa, khususnya kebebasan berekspresi dan

komunikasi.

Tendensi intervensi ACTA terhadap kerangka hukum HKI di Indonesia

merupakan peristiwa yang patut dipertanyakan. Peristiwa ini menimbulkan dua

kemungkinan; pertama – ACTA dapat berdampak pada Indonesia dikarenakan

ACTA memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dimana ACTA mengupayakan

kerangka hukum (kerangka hukum) secara internasional; kedua, penegakan

hukum HKI dunia maya di Indonesia belum sempurna dan bahkan belum diatur

secara mendetail sehingga aturan-aturan internasional yang sedang berlaku secara

global dapat mengintervensi tanpa adanya ratifikasi, yang berarti terdapat

kebutuhan secara urgent akan peraturan khusus sehingga Indonesia menjadi latah

dan turut terlibat dalam kerangka tersebut. Karena terdapat dua kemungkinan

tersebut, maka dapat dilihat adanya dampak dari ACTA yang tidak ditandatangani

dan diratifikasi oleh Indonesia

Berdasarkan uraian penulis diatas, maka penulis akan menyusun tugas

akhir Skripsi dengan judul: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TIDAK

DIRATIFIKASINYA ANTI COUNTERFEITING TRADE AGREEMENT DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENEGAKAN HUKUM HAK CIPTA

13

Surat tersebut merupakan surat terbuka yang dibuat oleh organisasi-organisasi yang berupaya menentang keberadaan ACTA. Surat tersebut berjudul ACTA: A Global Threat to Freedoms

(Open Letter), Free Knowledge Institut. Dapat ditemukan di

(19)

SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan oleh penulis,

maka penulis merumuskan permasalahan yang hendak dibahas dengan rincian

sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya penegakan hukum Hak Cipta dapat dilaksanakan

melalui aturan-aturan ACTA?

2. Apakah akibat hukum yang timbul dari ketidakikutsertaan Indonesia dalam

penandantangan dan ratifikasi ACTA sehubungan dengan berlakunya

aturan-aturan dari World Intellectual Property Organization (selanjutnya

disebut sebagai WIPO)?

3. Apakah penyelesaian sengketa Hak Cipta yang diatur melalui ACTA dapat

diberlakukan di Indonesia?

C.Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsekuensi hukum yang timbul dengan

ketidakikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan dan ratifikasi ACTA

terkait dengan aturan dari WIPO

2. Untuk mengetahui pelaksanaan penegakan hukum Hak Cipta melalui

(20)

3. Untuk mengetahui keberlakukan penyelesaian sengketa Hak Cipta yang

diatur melalui ACTA di Indonesia

D.Kegunaan

Kegunaan dalam melakukan penelitian terhadap penegakan hukum HKI di

Indonesia dikaitkan dengan kerangka hukum ACTA yang dimungkinkan

berdampak terhadap kerangka hukum HKI di Indonesia diharapkan dapat

memberikan kegunaan baik secara praktis maupun teoritis.

1. Dari sisi praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau

saran bagi para individu yang beraktifitas dalam dunia maya (cyber space)

maupun para legislatif yang memiliki tanggung jawab atas perencanaan

dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan

Intelektual akan keberadaan ACTA dan kerangka hukum nya yang

mempengaruhi penegakan hukum HKI secara luas.

2. Dari sisi teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran

deskriptif terhadap intervensi suatu traktat multinasional seperti ACTA

terhadap kerangka hukum HKI Indonesia.

E.Kerangka Pemikiran

Undang-undang Dasar 1945 mengatur hak asasi manusia, yang mana

setiap manusia memiliki hak-hak tertentu yang secara hakekat dimiliki sejak ia

lahir. Pasal 28 C ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan

(21)

yang berarti setiap orang memiliki hak untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan

dan teknologi dan seni maupun budaya untuk memberikan manfaat bagi dirinya

maupun orang lain. Ini berarti menciptakan sesuatu juga merupakan hak yang

patut dimiliki oleh setiap orang karena suatu ciptaan dapat bermanfaat bagi diri

sendiri maupun kepentingan individu lainnya dan dapat menjadi kontribusi bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan keberlangsungan hidup umat manusia.

Keberadaan HKI sendiri dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang

Hak Milik. Locke mengatakan bahwa Hak Milik dari seorang manusia terhadap

benda yang dihasilkannya sudah ada sejak manusia tersebut lahir. Beliau

mengartikan benda bukan hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang

abstrak , yang disebut dengan “hak milik atas benda yang tidak berwujud yang

merupakan hasil dari intelektualitas manusia”. 14

Setiap ciptaan manusia dibebankan hak tertentu dan Hak Cipta berfungsi

sebagai instrumen yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak tersebut.

Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, Hak Cipta

adalah “hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip

deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi

pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Perlindungan bukan diberikan pada ciptaannya melainkan haknya, jadi yang

(22)

dilindungi bukanlah buku patung ataupun lukisan melainkan hak untuk

memperbanyak atau mengumumkan buku, patung atau lukisan tersebut15.

Seiring dengan perkembangan jaman, hukum Hak Cipta turut berkembang

mengikutinya. Dewasa ini ciptaan dapat didistribusikan melalui dunia maya atau

cyberspace dan perlindungan hak eksklusif pencipta harus semakin diperluas. Permasalahannya dalam ruang siber pelaku pelanggar hak cipta akan menjadi sulit

dijerat dikarenakan hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi

terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi16, sementara dalam hukum

internasional terdapat tiga jenis yurisdiksi penegakan hukum dunia maya, yaitu

yursidiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe),

yurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan yurisidksi

untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).17

Persoalannya, ruang siber membutuhkan hukum baru yang mana hukum

tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat

berdasarkan batas-batas wilayah18 sehingga Indonesia yang menerapakan hukum

hak cipta berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 di dunia maya atau

15 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 55

16

Ahmad M. Ramli, op.cit. hlm. 19 17

Ibid, hlm 19-20 mengutip dari Darrel Menthe, “Jurisdiction in Cyberspace: A Theory of International Sraces”, dapat dilihat di http://www.mttlr.org/volfour/menthe.html, hlm.2. Cf.

Walker, Clive, Andrew Ashworth, The Criminal Law Review, Special Edition 18

(23)

ruang siber tidaklah tepat. Dunia maya diibaratkan sebagai tempat yang dibatasi

hanya oleh screens and passwords.19

Yurisdiksi merupakan permasalahan yang harus dipertimbangkan untuk

memberlakukan hukum bagi pelanggar hak cipta internasional. Yurisdiksi ini

bergantung pada kedudukan hukum nasional suatu negara dengan hukum

internasional yang ada. Beberapa teori melihat yurisdiksi tersebut dari perspektif

yang bermacam-macam. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan

yurisdiksi dari sudut pandang hukum internasional adalah teori Monisme.

Teori Monisme melihat hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang

keseluruhan kaedahnya mengikat negara-negara, individu-individu atau kesatuan

lain yang juga merupakan personalitas internasional.20 Paham ini menganggap

bahwa hukum internasional merupakan lanjutan dari hukum nasional, sehingga

kedudukan hukum nasional lebih rendah daripada hukum internasional.

Kedudukan hukum nasional yang rendah berarti hukum nasional tunduk dan harus

sesuai dengan hukum internasional.

Suatu Negara apabila dikaitkan dengan teori monisme, seharusnya tunduk

pada aturan internasional yang ada terlepas dari aturan tersebut diratifikasi atau

tidak oleh Negara yang bersangkutan. Tunduk disini berarti hukum nasional yang

19

David R. Johnson and David Post, “Law and Borders: The Rise of Law in Cyberspace”, 481

Stanford Law Review 1996, hlm. 1367

20 R. Adi Yulianto, Kaedah-kaedah Hukum Internasional dan Hubungannya dengan Hukum Nasional, jurnal Ilmiah yang dipresentasikan pada kajian regular Forum Studi Syariah wal Qonun,

(24)

ada memiliki kekuatan hukum yang lebih rendah daripada hukum internasional

sehingga aturan dari hukum internasional menjadi aturan yang diprioritaskan.

Pemberlakuan aturan-aturan yang terkandung dari suatu perjanjian

internasional bergantung pada pihak-pihak yang terikat di dalamnya. Hal ini

didasarkan oleh asas Pacta Sunt Servanda, yang berasal dari teori pengikatan

kontrak oleh Grotius.

Grotius mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil

prinsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat dan menyimpulkan bahwa

seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji

tersebut (promissorum implendorum obligati). Menurutnya, hal tersebut timbul

dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat

berdasarkan dua alasan, yaitu21:

1. Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan

berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling

mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan

kesetiaan

2. Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar

adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu

memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan

21 Grotius, H., the Law of War and Peace : De Jure Bell et Paris, 1646 ed, Kesley, FW. trans., Oxford 1916-25 and Punder of,S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium,

(25)

untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting

khususnya melalui kontrak.

Teori tersebut dikembangkan dan dituangkan di dalam Konvensi Vienna22

tahun 1969, dimana dinyatakan bahwa "every treaty in force is binding upon the

parties to it and must be performed by them in good faith.” Perjanjian

internasional yang dibuat oleh negara-negara berlaku sebagai undang-undang

bagi negara-negara tersebut, artinya negara-negara yang sepakat dengan isi dari

suatu perjanjian internasional patut taat terhadap isi perjanjian tersebut.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan untuk menyusun tugas akhir ini, penulis

menggunakan metode yuridis normatif. Metode ini mengkonsepkan hukum

sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)

atau mengkonsepkan hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku manusia yang dianggap pantas.23 Sumber data dari metode penelitian

ini hanyalah data sekunder24 yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder; atau data tersier.25

Dilakukannya penelitian ini dengan menggunakan metode tersebut adalah

untuk menelaah konsep dasar beserta asas-asas yang melatarbelakangi

22

Konvensi yang dimaksud adalah Vienna Convention on the Law of the Treaties, ditandatangani di Vienna pada tanggal 23 Mei 1969, Pasal 26 dan Vienna Convention on the Law of the Treaties

between States and Intrernational Organizations or between International Organizations,

ditandatangani di Vienna pada tanggal 21 Maret 1986. 23

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitan Hukum, RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004, hlm. 118

24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hlm. 52 25

(26)

perlindungan hak cipta maupun asas-asas hukum internasional yang

melatarbelakangi kebijakan ACTA dalam menciptakan kerangka hukum

internasional yang dapat memperkuat penegakan hukum HKI secara global.

Penyusunan tugas akhir ini menggunakan sifat, pendekatan, jenis data, dan

teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian tugas akhir ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian

yang menelaah gejala-gejala maupun peristiwa hukum yang menjadi subyek

penelitian dan kemudian melakukan analisis berdasarkan fakta-fakta berdasarkan

data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

dan bahan hukum tersier. Penulis akan menggambarkan gejala-gejala di dalam

pelaksanaan aturan ACTA dan dampaknya terhadap negara baik yang meratifikasi

aturan tersebut maupun yang tidak turut meratifikasinya.

2. Pendekatan Penelitian

Penyusunan tugas akhir ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

perundang-undangan (StatuteApproach) dan Pendekatan Konsepsual (Conceptual

Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan peraturan hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak cipta dan konsekuensi hukum

yang timbul bilamana suatu aturan internasional tidak ditandantangani serta

diratifikasi oleh suatu negara. Sementara pada Pendekatan Konseptual peneliti

menelaah teori-teori maupun doktrin-doktrin yang berakaitan dengan

(27)

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Semua data yang dikumpulkan dalam penyusunan tugas akhir ini

dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder mencakup bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier26.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari:

i. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar

1945

ii. Peraturan Dasar, yaitu Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945

dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

iii. Peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 28

tahun 2014 tentang Hak Cipta

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil

penelitian atau pendapat pakar hukum

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus hukum dan ensiklopedia.27

26 Ibid

27

(28)

G. Sistematika Penulisan

a. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah yang

mendasari pentingnya dilakukan penelitian ini, Identifikasi

Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka

Pemikiran, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

b. BAB II TINJAUAN UMUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

DALAM RANAH HUKUM NASIONAL DAN

INTERNASIONAL

Bab ini berisi tinjauan secara teoritis mengenai pengertian Hak

Kekayaan Intelektual, Konvensi Internasional dan Ratifikasi

Konvensi Internasional. Bab ini juga akan membahas mengenai

penerapan hukum Internasional di bidang Hak Cipta serta

organisasi Internasional bidang Hak Kekayaan Intelektual dimana

Indonesia berpartisipasi di dalamnya.

c. BAB III KEBIJAKAN ANTI COUNTERFEITING TRADE AGREEMENT

Bab ini berisi uraian mengenai tinjauan umum aturan-aturan dari

ACTA serta hal-hal yang menjadi tujuan utama ACTA dalam

(29)

d. BAB IV ANALISIS TERHADAP KETIDAKIKUTSERTAAN

INDONESIA DALAM ACTA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP KERANGKA HUKUM HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL DI INDONESIA

Bab ini berisi uraian mengenai keterkaitan penegakan hukum

Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dengan kebijakan ACTA

yang dapat berdampak pada keutuhan kerangka hukum HKI

ruang siber di Indonesia, yang mana uraian tersebut meliputi:

1. Bagaimana upaya penegakan hukum Hak Cipta dapat

dilaksanakan melalui aturan-aturan ACTA?

2. Apakah akibat hukum yang timbul dari ketidakikutsertaan

Indonesia dalam penandantangan dan ratifikasi ACTA

sehubungan dengan berlakunya aturan-aturan dari World

Intellectual Property Organization (selanjutnya disebut sebagai WIPO)?

3. Apakah penyelesaian sengketa Hak Cipta yang diatur

melalui ACTA dapat diberlakukan di Indonesia?

e. BAB V PENUTUP

Bab ini berisi uraian tentang kesimpulan dan saran-saran yang

perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan

(30)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penulisan tugas akhir ini mengarahkan penulis pada beberapa kesimpulan,

yaitu:

1. Penegakan Hak Cipta dilaksanakan melalui aturan-aturan ACTA

berdasarkan prinsip setiap pelanggaran Hak Kekayan Intelektual adalah

kejahatan (counterfeiting is a crime) dan oleh karenanya ACTA

mengharuskan penegakan Hak Cipta dilakukan melalui aparat hukum.

Aturan-aturan ACTA mewajibkan pemidanaan bagi pelanggar Hak Cipta,

yang mana hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam pasal 23

ACTA dimana dinyatakan bahwa setiap negara anggota ACTA wajib

mengatur mengenai ketentuan pidana yang diperuntukan bagi setiap

pelanggar Hak Cipta. Hal inilah yang menjadikan ACTA sebagai salah

satu perjanjian internasional yang efektif dalam pencegahan pelanggaran

Hak Cipta secara luas. ACTA juga mengatur penegakan hukum Hak Cipta

melalui lingkungan digital, yang mana bertujuan untuk mempersempit

kebebasan para pelanggar Hak Cipta dalam melakukan tindakannya. Hal

ini diwujudkan di dalam Pasal 27 ACTA dimana dinyatakan bahwa setiap

negara peserta berhak untuk menegakan hukum bilamana terjadi

pelanggaran di lingkungan digital. Perluasan ruang lingkup ini

(31)

pelanggar Hak Cipta yang melakukan pelanggaran di dunia maya, yang

merupakan dunia yang tidak secara seluruhnya terlindungi hukum.Upaya

penegakan hukum Hak Cipta dilakukan melalui aturan-aturan diatas

sehingga penegakan Hak Cipta dapat dilakukan secara efektif

2. Tidak dilibatkannya Indonesia dalam ACTA tidak menimbulkan akibat

hukum tertentu.

Hal ini dikarenakan tidak ada hak dan kewajiban yang dituntut dari

Indonesia. Akibat hukum timbul karena hak dan kewajiban, sementara

Indonesia tidak pernah terikat dengan ACTA sehingga tidak ada hak dan

kewajiban yang dituntut oleh Indonesia. Tidak timbulnya akibat hukum

tersebut dikarenakan Indonesia tidak pernah menandatangani dan

meratifikasi ACTA serta tidak pernah terlibat di dalam proses negosiasi

ACTA.

Aturan-aturan di dalam ACTA juga tidak wajib untuk dilaksanakan

dikarenakan Indonesia tidak pernah melibatkan diri di dalam persetujuan

atas aturan-aturan tersebut. Akan tetapi, sesuai dengan amanat WIPO,

Indonesia memiliki aturan hukum tersendiri terkait Hak Kekayan

Intelektual, khususnya Hak Cipta, dan hingga saat ini Indonesia dapat

menegakan hukum Hak Kekayan Intelektual dengan baik.

3. Penyelesaian sengketa Hak Cipta di Indonesia tidak dapat diselesaikan

melalui aturan ACTA.

Aturan ACTA memang terbilang baik khususnya dalam penanggulangan

(32)

tersebut tidak dapat dilaksanakan dan diterapkan di Indonesia. Ini

dikarenakan Indonesia tidak pernah menandatangani dan meratifikasi

ACTA. Sengketa Hak Cipta dalam skala internasional dimana salah satu

pihak yang terlibat bukan merupakan anggota ACTA (misalnya warga

negara Indonesia) akan tetap diselesaikan melalui peradilan sebagaimana

semestinya, yaitu melalui penentuan yurisdiksi untuk menentukan

wewenang pengadilan yang pada akhirnya akan dilakukan melalui proses

pengadilan biasa.

B. Saran

Dalam penulisan ini, penulis akan memberikan saran bagi akademisi,

pemerintah dan pelaku usaha. Berikut saran-saran penulis:

1. Untuk Akademisi

Para akademisi di Indonesia, khususnya para akademisi yang

mendedikasikan diri mereka untuk pengembangan hukum Hak Kekayan

Intelektual di Indonesia harus dapat mengkaji lebih lanjut mengenai

aturan-aturan ACTA dan bagaimana aturan-aturan tersebut dapat

diterapkan untuk mengembangkan penegakan hukum Hak Kekayan

Intelektual. Para akademisi juga harus dapat mengikuti perkembangan

hukum Hak Kekayan Intelektual agar dapat menjadikan perkembangan

tersebut suatu referensi guna mengembangkan aturan hukum Hak Kekayan

(33)

2. Untuk Pemerintah

Aturan-aturan hukum Hak Kekayan Intelektual, khususnya hukum Hak

Cipta di Indonesia harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menjangkau

hal-hal spesifik yang memungkinkan untuk diatur dan ditegakan oleh

hukum. Pemerintah Indonesia juga harus dapat membuat suatu lembaga

multinasional dimana di dalamnya terdapat Negara-negara yang tidak

terlibat di dalam ACTA akan tetapi memiliki kebutuhan perlindungan

hukum yang sama. Lembaga tersebut dapat digunakan untuk

menjembatani Negara-negara yang tidak diikutsertakan di dalam ACTA

dan menyelesaikan sengketa Hak Cipta atau permasalahan Hak Kekayan

Intelektual lainnya.

3. Untuk Pelaku Usaha

Mengingat bahwa banyak kasus pelanggaran Hak Cipta melibatkan pelaku

usaha yang tidak berhati-hati atau cenderung meremehkan ketentuan

hukum Hak Cipta, penulis menyarankan pelaku usaha harus dapat

mengetahui ketentuan-ketentuan Hak Cipta di Indonesia sehingga saat

kegiatan usaha dilakukan, pelaku usaha dapat setidaknya meminimalisir

terjadinya pelanggaran Hak Cipta, seperti misalnya plagiat karya atau

bahkan pendistribusian bebas barang-barang yang dilindungi Hak Cipta.

Oleh karenanya pelaku usaha harus dapat berhati-hati dalam meninjau

suatu klausul yang tertera di dalam suatu perjanjian yang melibatkan

(34)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ahmad M. Ramli. Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia. PT

Refika Aditama: Bandung. 2006

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitan Hukum. RajaGrafindo

Persada: Jakarta, 2004

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, Alumni, Bandung: 2000

Carys J. Craig, Copyright, Communication and Culture: Towards a Relational

Theory of Copyright Law, Edward Elgar Publishing, 2011

Didik J. Rachbini, “Mitos dan Implikasi Globalisasi” : Catatan Untuk Bidang

Ekonomi dan Keuangan, pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul

dan Grahame Thompson, Globalisasi adalah Mitos, Jakarta, Yayasan

Obor, 2001

Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi

Informasi, Refika Aditama, Bandung: 2009

Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung : 2009

Endang Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, 2005:

Ghalia Indonesia, Bogor,

H. OK. Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. RajaGrafindo Persada:

Jakarta, 2007

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,

(35)

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Sinar Grafika, Jakarta: 2008

John Tehranian: Infringement Nation: Copyright 2.0 and You, OUP USA, 2011

Jonathan Clough, Principles of Cybercrime, Cambridge University Press, 2010

Lawrence Lessig, Code, Part 11, Lawrence Lessig, 2006

Locke. Two Treatises of Government, edited and introduced by Peter Laslett.

1988

Lord: Lloyd of Hampstead, Introduction to Jursiprudence, 4th Edition, Stevens

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

PT. Alumni, 2003

Monica Horten. A Copyrighgt Masquerade – How Coroporate Lobbying Threatens Online Freedom

Pedro Roffe, Xavier Seuba, The ACTA and the Plurilateral Enforcement Agenda:

Genesis and Aftermath, Cambridge University Press, 2014

Peter K. Yu, Intellectual Property and Information Wealth: Copyright and

Related Rights, 2007: Greenwood Publishing Group

R. Dezley, Rethinking Copyright: History, Theory, Language, Edward Elgar

Publishing, 2006

R.F. Whale, Copyright, Longman Group Limited, 1972

Sarah Summers, Christian Schwarzenegger, Gian Ege dan Finlay Young, The

Emergence of EU Criminal Law: Cyber Crime and the Regulation of the Information Society, Bloomsbury Publishing, 2014

Shavana Musa dan Eefje de Volder, Refelctions on Global Law, Martinus Nijhoff

(36)

Soediman Kartohadiprodjo. Pengantar Tata Hukum Indonesia.PT Pembangunan dan Ghalia Indonesia. 1974.

Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni,

Bandung: 1986

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press: Jakarta. 1984

Stephen M. McJohn, Intellectual Property: Examples & Explanations, Aspen

Publishers Online, 2009

Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, Cetakan I, Bandung:

PT. Eresco

Syafrinaldi. Hukum Tentang Perlindungan Hak Miliki Intelektual Dalam

Menghadapi Era Globalisasi: UIR Press, 2010

Yusran Isniani, Buku Pintar HAKI, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010

B. LITERATUR

A Bredimas, International Economic Law, II

Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University Press,

Cambridge: 2005

David R. Johnson and David Post, “Law and Borders: The Rise of Law in

Cyberspace”, 481 Stanford Law Review 1996

Dirjen HKI, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual

Houghton, American Heritage® Dictionary of the English Language, Fifth

Edition. Mifflin Harcourt Publishing Company, 2011

J. Rosen, Intellectual Property of the Crossroads of Trade, Edward Edgar

(37)

MacQueen, Hector L; Charlotte Waelde; Graeme T Laurie: Contemporary

Intellectual Property: Law and Policy. Oxford University Press, 2007 Michael Blakeney, Intellectual Property Enforcement: A Commentary on the

Anti-Counterfeiting Trade Agreement (ACTA), Edward Elgar Publishing, 2012

Nicolaus Driyakarya dan A. Sudiarja; Karya Lengkap Drikarya: Esai-Esai

Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya

Reinhard Zimmermann, The Law of Obligations: Roman Foundations of the

Civillian Tradition, Oxford University Press, Oxford: 1996

Rüdiger Wolfrum, Volker Röben, Developments of International Law in Treaty

Making, Springer Science & Business Media, 29 Mar 2005

Tim Hiller, Sourcebook on Public International Law, Cavendish Publishing, 1998

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar tahun 1945 yang telah diamandemen

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan RI Nomor

M.03.PR.07.10 Tahun 2000

D. JURNAL ILMIAH

Andrew Swift, A Brief Introduction to MIDI, SURPRISE (Imperial College of

Science Technology and Medicine), 1997.

(38)

R. Adi Yulianto, Kaedah-kaedah Hukum Internasional dan Hubungannya dengan

Hukum Nasional, 2010

E. RUJUKAN ELEKTRONIK

ACTA: A Global Threat to Freedoms (Open Letter), Free Knowledge Institute. from

http://freeknowledge.eu/acta-a-global-threat-to-freedoms-open-letter, diakses pada tanggal 26 Maret 2015.

BBC NEWS: Megaupload File-Sharing Site Shut Down

http://www.bbc.com/news/technology-16642369 diakses pada tanggal

24 Maret 2015

David Jolly, A New Question of Internet Freedom, artikel New York Times

http://www.nytimes.com/2012/02/06/technology/06iht-acta06.html?_r=0

European Commission, EU, US and others hold Geneva talks on

Anti-Counterfeiting Trade Agreement

http://web.archive.org/web/20100805021416/http://trade.ec.europa.eu/

doclib/docs/2008/june/tradoc_139086.pdf

European Commission, Anti-counterfeiting: Participants meet in Tokyo to discuss ACTA,

http://web.archive.org/web/20100805021517/http://trade.ec.europa.eu/

doclib/docs/2008/october/tradoc_141203.pdf

(39)

http://web.archive.org/web/20100805021440/http://trade.ec.europa.eu/

doclib/docs/2009/january /tradoc_142118.pdf

Maura Sutton dan Parker Higgins, “We Have Every Right to Be Furious About

ACTA”

https://www.eff.org/deeplinks/2012/01/we-have-every-right-be-furious-about-acta

Teks Asli Anti-Counterfeiting Trade Agreement:

http://www.mofa.go.jp/policy/economy/i_property/pdfs/acta1105_en.

pdf

Webopedia: Vangie Beal, MIDI

http://www.webopedia.com/TERM/M/MIDI.html.

Wikipedia: Anti-Counterfeiting Trade Agreement

http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-Counterfeiting_Trade_Agreement

diakses pada tanggal 30 April 2015.

F. SUMBER LAINNYA

Aaron Shaw, “The Problem with the Anti-Counterfeiting Trade Agreement (and

what to do about it),” KEStudies, Vol. 2 (2008).

Alexander Peukert, “Territoriality and Extraterritoriality in Intellectual Property

Law”

Darrel Menthe, “Jurisdiction in Cyberspace: A Theory of International Sraces”,

(40)

Grotius, H., the Law of War and Peace : De Jure Bell et Paris, 1646 ed, Kesley,

FW. trans., Oxford 1916-25 and Punder of,S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934.

Kasus: Lucasfilm Ltd v Ainsworth (2009) EWCA Civ 1328, (2011) UKSC 11;

Gallo Africa v Sting Music (2010) ZASCA 96

LTC Harms, The Enforcement of Intellectual Property Rights:A Case Book.

WIPO (2012)

International Court of Justice: The North Sea Continental Shelf Case (1969) Joint statement on the Anti-Counterfeting Trade Agreement (ACTA) from all

negotiating partners of the agreement, European Commission,15 November tahun 2010

United States Department of Justice, Prosecuting Intellectual Property Crimes

Vienna Convention on the Law of the Treaties

Vienna Convention on the Law of the Treaties between States and Intrernational Organizations or between International Organizations

WIPO, "Agreement between the United Nations and the World Intellectual

Property Organization",

WTO: Enforcing Intellectual Property Rights: Border Measures: Communication

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sistem penyimpanan obat program TB yang meliputi syarat gudang, tata ruang gudang, sarana penunjang gudang,

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Gambaran pengetahuan pasien

Dari hasil koefesien korelasi yang diperoleh menunjukkan bahwa besar pendapatan orang tua (0,638) menjadi faktor terbesar yang mempengaruhi prestasi belajar siswa,

Oleh karena itu, untuk menanggulangi permasalahan tersebut dibutuhkan Sistem Informasi Layanan Legalisir Online (SILLO) yang berfungsi sebagai media pengajuan

Hal ini didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukan bakteri Gram positif lebih rentan terhadap zat aktif dalam ekstrak dibandingkan bakteri Gram

Dewasa ini informasi dan ilmu pengetahuan sangat melimpah, sehingga perlu dipilih materi yang benar-benar berguna bagi siswa. Sebagai salah satu mata pelajaran dalam

Hambatan eksternalnya yaitu Kurangnya kepedulian masyarakat untuk bekerjasama dengan kepolisian dalam mengungkap tindak pidana perjudian. Penegakan hukum yang berasal dari

Latar Belakang: Kebakaran merupakan kecelakaan terbesar di dunia, Oleh karena itu, pencegahan kebakaran merupakan peranan penting dalam mencegah terjadinya kebakaran