• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI PENINGKATAN INTERAKSI IBU DAN ANAK RETARDASI Peningkatan Interaksi Ibu Dan Anak Retardasi Mental Melalui Pelatihan Bermain Pura-Pura Bersama Anak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI PENINGKATAN INTERAKSI IBU DAN ANAK RETARDASI Peningkatan Interaksi Ibu Dan Anak Retardasi Mental Melalui Pelatihan Bermain Pura-Pura Bersama Anak."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BERSAMA ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Mencapai Derajat Master (S-2) Magister Profesi Psikologi

Di susun oleh :

SUCI FITHRIYA

T100 090 096

BIDANG MINAT KLINIS

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)

ii

Magister Profesi Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

bundaoyi@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh pelatihan bermain pura-pura bersama anak terhadap peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental. Subjek dalam penelitian ini adalah delapan ibu yang memiliki anak retardasi mental berusia di bawah lima tahun yang diperoleh secara random.Metode yang digunakan adalah pre-test post-test control group. Empat ibu sebagai kelompok kontrol, dan empat ibu sebagai kelompok perlakuan. Pelatihan bermain pura-pura bersama anak dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama dan kedua dilakukan secara kelompok, dan tahap ketiga dan keempat dilakukan secara individu. Skala interaksi ibu dan anak diberikan untuk mengukur perbedaan interaksi ibu dan anak sebelum dan sesudah diberikan pelatihan. Tindak lanjut penelitian dilakukan tigabelas hari setelah pelatihan bermain pura-pura bersama anak. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pelatihan bermain pura-pura bersama anak dapat menjadikaninteraksi ibu dan anak retardasi mental menjadi lebih bermakna.

KATA KUNCI. Interaksi ibu dan anak retardasi mental, pelatihan bermain pura -pura

MOTHERS AND MENTAL RETARDATION CHILD IMPROVEMENT THROUGH

PRETEND PLAY TRAINING WITH CHILDREN

Abstract

This study aimed to know the effect of the pretend play training with the children concerning with the improvement of the interaction of mother and mental retardation child. Subjects in this study were eight mothers of the mental retardation children with mental age of under five years were obtained at random . The method used is pre-test post test control group design. Four mothers as a control group, and the others as a treatment group.Training pretend play with the children carried out in four stages. The first and second phase of a control group, and the third dan fourth phase stages done indiviually. Mothers and child interaction scale was given to measure differences in mothers and child interaction before and after training. Follow up study was conducted thirteen days after pretend play with children training. The results show that training pretend play with children can increase the mothers and child interaction with mental retardation.

(4)

Pendahuluan

Indonesia masih memiliki angka kejadian anak retardasi mental sebesar 1-3 % dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2001 (Anggraini, 2010). Rendahnya fungsi kognitif, emosi, dan sosial yang diderita anak retardasi mental menjadikan ibu harus bekerja lebih keras, karena menyita waktu, tenaga, dan perhatian ibu kepada anak (Pilusa, 2006). Tiga orang ibu yang menyekolahkan anaknya di Yayasan Mutiara Center Surakarta tidak banyak memiliki waktu dan tenaga untuk memperhatikan anak retardasi mental, sehingga mempercayakan pengasuhan anak kepada nenek atau budhe (kakak perempuan ibu). Tiga tahun kemudian ibu baru menyadari bahwa ibu mengalami kesulitan berinteraksi dengan anak, sehingga ibu menyekolahkan anak retardasi mental di Yayasan Mutiara Center supaya anak memperoleh perlakuan khusus (wawancara, November 23, 2011).

Pengasuhan anak retardasi mental oleh nenek atau budhe menunjukkan bahwa ibu kurang responssif terhadap kehadiran anak. Kurang responssif ibu terhadap anak retardasi mental bisa juga disebabkan oleh stres ibu, karena memiliki anak retardasi mental (Feldman, Varghese, Ramsay, & Rajska, 2002). Dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan gangguan pskiatrik lainnya, ibu dengan anak retardasi mental memang lebih bisa menerima kehadiran anak, namun ibu tetap saja mengalami stres terutama dalam menghadapi perilaku anak (Dabrowska & Pisula, 2010; Hodapp, Ricci, & Fidler, 2003).

Feldman (2002) menjelaskan bahwa ibu yang kurang responsif terhadap anak retardasi mental menjadikan interaksi ibu dan anak negatif, padahalinteraksi ibu dan anak di usia lima tahun pertama kehidupan anak mempengaruhi perkembangan bahasa (Greenspan, & Wieder, 2006). Abbeduto, Warren, dan Conners (2007) menyatakan bahwa anak retardasi mental memiliki hambatan berbicara dan berbahasa, namun anak bisa berbicara dan berbahasa setelah memperoleh perlakuan di salah satu sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di Surakarta lebih dari satu tahun. Awalnya anak (rata-rata masih berusia 3-4 tahun) sulit mengeluarkan suara dan kata-kata, bahkan ada satu anak yang sering bereaksi seperti mau muntah ketika mulai berbicara, kini anak telah mampu berbicara dan berbahasa setelah lebih dari satu tahun memperoleh terapi pengulangan kata-kata secara tepat menggunakan metode ganjaran dan hukuman.

Sekalipun anak kini telah mampu berbicara, ibu masih mengalami kesulitan berinteraksi dengan anak terutama ketika anak mengalami tantrum, karena keinginannya tidak terpenuhi. Anak biasanya menangis meronta–ronta dan menjerit, berdiam diri selama berjam-jam di suatu tempat dengan posisi tidak berubah, atau memukul atau menampar orang lain apabila anak merasa terganggu dengan sikap orang tersebut atau membanting segala sesuatu yang ada di dekatnya. Ibu menanggapi sikap anak dengan segera menuruti keinginan anak supaya tenang, namun dua ibu membiarkan anak menangis meronta-ronta atau berdiam diri selama berjam-jam, karena ibu menganggap bahwa keinginan anak membahayakan kesehatan atau pemborosan (wawancara, November 24, 2011).

(5)

Rosiqueb (2011) terhadap ibu dan anak retardasi mental, namun kemampuan berbahasa anak lebih meningkat dibandingkan keterampilan sosial.

Mahoney, Perales, Wiggers, dan Herman (2006) menguji strategi pengajaran responssif dengan menyusun kurikulum bagi orang tua dalam meresponss16 perilaku anak secara tepat untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental. Diskusi kelompok antar ibu juga digunakan untuk membahas permasalahan perilaku anak. Perlakuan tersebut dapat meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental. Namun sayangnya, penelitian tersebut lebih menekankan pada perubahan perilaku anak retardasi mental daripada keterlibatan afeksi ibu terhadap anak.

Beberapa peneliti menggunakan terapi bermain untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak. Falco, Esposito, Venuti, dan Bornstein (2010) menyatakan bahwa ibu lebih bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan perkembangan anak melalui terapi bermain. Hanya saja penelitian ini lebih menekankan pada bermain ibu dan anak secara alami, sehingga tujuan untuk memberikan afeksi kepada anak masih kurang tergali. Swindells dan Stagnitti (2006) lebih menekankan pada bentuk permainan pura-pura kepada anak usia 4-5 tahun, namun interaksi anak dengan teman sebaya lebih tinggi daripada interaksi ibu dan anak. Bermain pura-pura merupakan bermain drama sosial yang melibatkan penggunaan imajinasi, membuat yakin, dan simbolisasi. Bermain pura-pura juga biasa dilakukan anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun (Russ, 2004). Bermain pura-pura bisa dilakukan anak retardasi mental, karena hasil penelitian Motti, Cichetti, dan Sroufe (1983) menunjukkan bahwa permainan anak retardasi mental usia mental 3-5 tahun sama dengan anak normal dengan usia yang sama.

Webster, Stratton, dan Reid (2009) menyusun program bermain bagi ibu dan anak usia 6 minggu sampai dengan 6 tahun. Hasilnya, memang ibu semakin mempererat hubungan dengan anak, hanya saja ibu tidak dibekali keterampilan bermain, sehingga tujuan berinteraksi secara mendalam dan bermakna masih kurang tergali. Guo (2005) dan Topham dan Fleet (2011) memberikan keterampilan bermain kepada ibu terlebih dahulu sebelum ibu dan anak mempraktekkan bermain bersama secara alami. Hasilnya ibu lebih berempati dan memahami perilaku anak. Manfaat yang lain adalah dapat meningkatkan kehangatan dan kepercayaan ibu di dalam berinteraksi, dan menurunkan stres orang tua (Kinsworthy, & Garza, 2010).

Bermain Pura-Pura

Bermain pura-pura merupakan bentuk bermain dengan menggunakan seperangkat mainan nyata (Landreth, 2001), dan melibatkan beberapa kegiatan untuk berpura-pura menceritakan sebuah objek yang nyata tidak ada, namun diyakini objek yang dimaksud nyata ada. Imajinasi dan simbolisasi digunakan untuk menjelaskan cerita yang dimaksud (Muthukrishna dan Sokoya, 2008).

Karakteristik bermain pura-pura menurut Dender dan Stagnitti (2010) adalah a) Berpura-pura bahwa sebuah objek yang digunakan dalam bermain adalah sesuatu yang lain, misalnya menggunakan pagar sebagai seseorang yang menembak kelinci, b) Menghubungkan sifat dan karakteristik objek, misalnya meletakkan boneka sebagai teman yang sakit, dan c) Mengacu kepada benda atau tindakan yang tidak ada, misalnya seorang pria melompat dari atas tebing.

(6)

membaca simbolisasi yang digunakan anak ketika bermain pura-pura. Ibu juga bisa memberikan gambaran dan evaluasi perkembangan perilaku anak (Casby, 2003).

Simbolisasi yang terungkap dalam bermain pura-pura berkaitan dengan perkembangan kognitif anak. Piaget (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008) menjelaskan bahwa anak usia 2-7 tahun (pra operasional) telah mampu bermain pura-pura, karena anak banyak bertanya dan menjawab pertanyaan, mencoba berbagai kegiatan yang berkaitan dengan konsep angka, ruang, dan kuantitas, menggunakan berbagai benda sebagai simbol atau representasi benda lain.

Pelatihan Bermain Pura-Pura dan Interaksi Ibu dan Anak Retardasi Mental

Pelatihan bermain pura-pura merupakan intervensi yang diberikan psikolog kepada ibu dengan melatihkan empat keterampilan bermain bersama anak, yaitu menyusun permainan, mendengarkan anak secara empati, mengikuti imajinasi anak, dan menetapkan aturan. Empat keterampilan diberikan untuk mengasah kepekaan ibu dalam menangkap dan mengirim pesan, dan memberikan stimulasi kepada anak. Kepekaan ibu memegang peranan penting, karena dalam berinteraksi dengan anak terdapat proses saling mempengaruhi.

Holland, Kwang, Kitzman, Chaudron, Szilagyi, dan Greener (2012) menjelaskan bahwa pada saat ibu dan anak retardasi mental berinteraksi dalam bermain pura-pura terjadi proses saling mengirim dan menangkap petunjuk antara ibu dan anak. Montirosso, Borgatti, Trojan, Zanini, dan Tronick (2012) menambahkan bahwa proses saling mengirim dan menangkap petunjuk antara ibu dan anak dikelola oleh sinyal afeksi. Kualitas kepekaan ibu dalam mengirim dan menangkap sinyal afeksi anak retardasi mental menciptakan harmonisasi interaksi, sehingga interaksi ibu dan anak menjadi penuh makna (Feldman, Cohenc, Galili, Singerb, & Louzounc, 2011). Interaksi bermakna antara ibu dan anak retardasi mental mempengaruhi optimalisasi perkembangan anak (Santelices, Olhaberry, Salas, & Carvacho, 2009). Sebaliknya, ibu yang kurang responsif terhadap anak lebih lambat dalam mengenali perkembangan perilaku anak (Holland, Kwang, Kitzman, Chaudron, Szilagyi, & Greener, 2012). Artinya dukungan ibu terhadap anak retardasi mental sangat dibutuhkan untuk optimalisasi perkembangan anak, karena menurut Pino (2000) perkembangan anak retardasi mental bergantung pada tingkatan orang tua dalam memberikan dan meningkatkan dukungan.

Cara memberikan dukungan kepada anak retardasi mental disampaikan oleh psikolog dengan menciptakan suasana penerimaan dan tidak menghakimi, ketika memberikan pelatihan bermain pura-pura. Suasana penerimaan dan tidak menghakimi ketika memberikan materi menciptakan suasana aman, dihormati, dan dipahami kepada ibu. Melalui penerimaan dan penghormatan yang diterima ibu dari terapis, diharapkan ibu mampu hadir secara penuh dalam pengalaman dan kebutuhan anak retardasi mental, dan lebih menerima bimbingan dan koreksi dari terapis.

Tahapan yang disusun dalam pelatihan bermain pura-pura ini mengacu kepada filial therapy, yaitu terapi keluarga yang melibatkan partisipasi ibu dalam bermain dengan anak yang dikembangkan oleh Topham dan Fleet (2011) dengan modifikasi sesuai kebutuhan penelitian. Tahapan pelatihan yang disusun peneliti meliputi; 1) Tahap pemberian materi dalam menguasai empat keterampilan bermain yang dilakukan secara kelompok, 2) Tahap simulasi dan umpan balik secara kelompok, 3) Tahap bermain peran dan umpan balik secara individu, dan 4) Tahap praktek bermain bersama dengan anak secara individu.

(7)

tersebut menurut Waters dan Sroufe (1983), yaitu; 1) Memberikan stimulasi sensori melalui aktivitas bermain, mandi, dan memakaikan baju secara responsif dan konsisten, 2) Membantu mengelola emosi anak dengan memberikan rasa aman dan nyaman, serta merespons pesan anak secara tepat, 3) Kepekaan menangkap pesan non verbal anak dan merespons secara tepat, kemudian bekerjasama, dan berinteraksi, 4) Memberikan rasa aman dan nyaman dalam mendorong anak dalam negosiasi emosi, dan 5) Memberikan bimbingan kepada anak untuk menginternalisasikan nilai-nilai, dan 6) Membimbing anak dalam membedakan antara ide dan kenyataan.

Berdasarkan hasil studi literatur dan penelitian pendahuluan tersebut diketahui bahwa pelatihan bermain pura-pura dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada ibu yang masih memiliki kesulitan berinteraksi dengan anak. Bermain pura-pura ini dipilih karena bermain pura-pura merupakan permainan alamiah yang biasa dilakukan oleh anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun. Melalui pelatihan bermain pura-pura ini diharapkan tujuan dalam penelitian ini yaitu meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental tercapai. Interaksi ibu dan anak retardasi mental diharapkan semakin mendalam dan bermakna setelah mengikuti pelatihan bermain pura-pura.

Metode

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini sejumlah 8 ibu yang memiliki anak retardasi mental berusia mental di bawah lima tahun, yang diambil secara acak, yaitu di salah satu sekolah anak berkebutuhan khusus di Surakarta dan salah satu sekolah inklusi di Boyolali. Empat ibu yang memiliki anak retardasi mental berusia mental di bawah lima tahun di salah satu sekolah anak berkebutuhan khusus di Surakarta sebagai kelompok kontrol dan empat ibu yang memiliki anak retardasi mental berusia mental di bawah lima tahun di salah satu sekolah inklusi di Boyolali sebagai kelompok perlakuan. Screening Binet dilakukan untuk memperoleh anak retardasi mental yang berusia mental di bawah lima tahun. Sebanyak 14 anak retardasi mental mengikuti sceening Binet, namun 8 anak retardasi mental yang memiliki usia mental di bawah lima tahun.

Data dikumpulkan dengan menggunakan skala interaksi ibu dan anak. Uji coba skala interaksi ibu dan anak dilakukan terhadap 73 ibu yang memiliki anak berusia di bawah lima tahun menunjukkan tiga item dari 28 item yang tidak memenuhi koefisien validitas di atas 0,3, sedangkan reliabilitas sebesar 0,895. Sebelum dilakukan uji coba modul dilakukan validasi isi modul oleh penilaian dua psikolog.Uji coba modul dilakukan di salah satu sekolah luar biasa di Surakarta dihadiri oleh 6 orang ibu yang memiliki anak retardasi mental berusia mental di bawah lima tahun. Setelah dilakukan evaluasi hasil uji coba modul, penelitian dilakukan tanggal 22 sampai dengan 25 Desember 2012.

Pelaksanaan intervensi pelatihan bermain pura-pura dilakukan empat tahap, yaitu; a) Tahap pemberian materi dalam menguasai empat keterampilan bermain yang dilakukan secara kelompok, b) Tahap simulasi dan umpan balik secara kelompok, c) Tahap bermain peran dan umpan balik secara individu, dan d) Tahap praktek bermain bersama dengan anak secara individu.

(8)

Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol memiliki sebaran yang bersifat normal dengan nilai signifikansi sebesar p>0,05 baik pada pra perlakuan, pasca perlakuan, maupun tindak lanjut (tabel 1).

Tabel 1. Hasil uji normalitas sebaran

Keterangan Hasil Analisis

Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut

N 8 8 8

Interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol juga tidak jauh berbeda keragamannya atau homogen sebesar p>0,05 pada tahap pra perlakuan, pasca perlakuan, dan tindak lanjut (tabel 2).

Tabel 2. Hasil uji homogenitas

Hasil analisis

Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut

Levene test P Levene test p Levene test P

2,592 0,159 0,777 0,412 0,339 0,581

Homogen Homogen Homogen

Data interaksi ibu dan anak retardasi mental telah memenuhi kaidah normalitas dan homogenitas, maka uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik uji t. Hasil uji t sebelum diberi perlakuan pada kelompok perlakuan dan kontrol menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental antara kelompok perlakuan dan kontrol (tabel 3). Nilai signifikansi menunjukkan p>0,05, dan nilai t=-1,030.

Tabel 3. Hasil uji t antara skor pra perlakuan kelompok perlakuan dan kontrol

N Rerata t p Hasil

(9)

lingkungan, atau berdasarkan anggapan bahwa ibu adalah individu yang lebih mengerti kebutuhan anak (wawancara, Desember 19, 2012).

Sebelum diberikan pelatihan bermain pura-pura bersama anak respons ibu terhadap perilaku anak yang tidak diinginkan tidak konsisten. Apabila ibu lebih menyadari konsekuensi negatif dari respons yang diberikan terhadap anak, daripada kondisi retardasi mental anak, maka ibu tidak memberikan keinginan anak. Di lain kesempatan, apabila ibu lebih menyadari kondisi retardasi mental anak daripada konsekuensi negatif respons ibu terhadap anak, maka ibu memberikan keinginan anak (wawancara, Desember 19, 2012).

Sebelum diberi pelatihan bermain pura-pura ibu kurang mampu melakukan pertukaran emosi dengan anak retardasi mental. Respons ibu terhadap perilaku anak yang tidak diinginkan menunjukkan penolakan terhadap anak. Ibu juga kurang mampu menangkap pesan emosi anak ketika anak merajuk. Ibu lebih merespons akibat dari rasa kurang aman anak, daripada kebutuhan anak akan rasa aman. (wawancara, Desember 19, 2012).

Tabel 4.

Skor total dan kategorisasi interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol Kelompok perlakuan Kelompok kontrol Pra perlakuan Pasca

perlakuan

Tindak lanjut Pra perlakuan Amatan ulang 1

Setelah diberi perlakuan terdapat perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol sebesar p=0,027 (p<0,05) dan nilai t=-2,913 (tabel 5). Grafik 1 menjelaskan perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental subjek yang berada di kelompok perlakuan dan kontrol setelah diberi perlakuan.

Tabel 5.

(10)

Grafik 1.

Perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol setelah diberi perlakuan

Hasil uji t juga menunjukkan bahwa perubahan interaksi ibu dan anak retardasi mental terjadi pada kelompok perlakuan dengan nilai signifikansi p=0,002 (p<0,05), dan nilai t=-9,662. Pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan interaksi ibu dan anak, karena nilai signifikansi p=0,856 (p>0,05) dan nilai t=0,197 (tabel 6). Grafik 2 dan 3 menunjukkan perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol.

Tabel 6.

Hasil uji t antara skor pra-pasca perlakuan pada kelompok perlakuan dan kontrol Skor

Kelompok Kontrol; + Kelompok Perlakuan

Grafik 2. Grafik 3.

Perbedaan skor interaksi ibu dan Perbedaan skor interaksi ibu dan anak anak retardasi mental pada pra dan retardasi mental pada pra dan pasca pasca perlakuan pada kelompok perlakuan perlakuan pada kelompok kontrol

(11)

Peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental terjadi karena sebelum praktek bersama dilakukan, ibu telah dibekali materi empat keterampilan bermain bersama anak, kemudian ibu diberikan kesempatan untuk melakukan permainan peran (role play) untuk memastikan bahwa materi yang telah diterima ibu dapat dipahami. Umpan balik diberikan oleh psikolog kepada ibu, supaya ibu benar-benar menguasai empat keterampilan bermain bersama anak, sehingga ketika ibu mempraktekkan bermain bersama anak tidak lagi terjadi kekelituan.

Sebelum diberikan umpan balik oleh psikolog terlihat interaksi ibu dan anak masih bersifat satu arah. Ibu terlihat kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengatur jalan cerita. Ibu terlalu mengarahkan permainan kepada anak, atau ibu terlalu sibuk dengan materi permainan yang hendak dimainkan, sehingga tidak memperhatikan aktivitas anak. Anak juga tampak ragu dalam menyatakan keinginannya kepada ibu. Dengan demikian nuansa penerimaan ibu terhadap kehadiran anak terasa kurang, sehingga interaksi ibu dan anak masih kurang bermakna.

Setelah diberikan umpan balik oleh psikolog interaksi ibu dan anak bersifat dua arah. Ibu memberikan kesempatan kepada anak untuk mengawali interaksi, namun anak tidak segera mengawali interaksi, sehingga ibu mengawali interaksi dengan menanyakan mainan apa yang diinginkan anak. Ibu kemudian menjalankan peran yang diinginkan anak dan mengikuti arahan anak. Ibu meresponss pesan anak, baik verbal maupun non verbal. Anak pun menjawab responss ibu dengan raut muka kegirangan, sambil menyatakan pikiran dan perasaannya. Anak menyatakan inisiatifnya di antara alur cerita atau mengungkapkan bahasa simbol yang membuat ibu tertawa karena lucu, atau terkejut karena isi simbol mengungkapkan pikiran anak yang tidak pernah diduga ibu.

Selama berinteraksi dengan anak ibu memberikan internalisasi nilai kepada anak, seperti mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Pendalaman dan penjelajahan tema cerita juga terjadi selama ibu bermain bersama anak. Penjelajahan cerita terjadi ketika ibu sudah tidak dapat lagi melakukan pendalaman cerita atau anak mengemukakan inisiatif untuk memerankan peran yang lain.

Setelah diberi perlakuan, interaksi ibu dan anak retardasi pada kelompok perlakuan mengalami peningkatan dari kategori sedang ke tinggi (tabel 7). Hasil wawancara menunjukkan bahwa setelah diberi pelatihan bermain pura-pura bersama anak ibu mampu menangkap kebutuhan anak. Respons ibu terhadap perilaku anak menjadi lebih konsisten terhadap kebutuhan anak, daripada keinginan anak, atau kondisi retardasi mental anak, atau kecemasan ibu akan penilaian lingkungan terhadap perilakunya terhadap anak, ataupun sebagai ibu yang lebih memahami kebutuhan anak. Ibu mulai merspon rasa kurang aman anak dengan kehangatan. Kehangatan terhadap anak retardasi mental ditunjukkan dengan pujian terhadap perilaku yang sesuai dengan lingkungan (wawancara, Desember 25, 2012).

Tabel 7.

Skor perolehan (gain score) interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan Subjek Skor perolehan interaksi ibu dan anak retardasi mental

1 7

2 13

3 14

(12)

Setelah tiga belas hari pelatihan, diukur lagi skor interaksi ibu dan anak retardasi mental kelompok perlakuan. Tabel 8 menunjukkan bahwa pelatihan bermain pura-pura tetap bertahan setelah tigabelas hari pelatihan dengan nilai t=-0,322, dan signifikansi p=0,769 (p>0,05). Hasil wawancara menunjukkan bahwa ibu tetap tenang dan konsisten dalam merespons perilaku anak. Keterlibatan emosi ibu dengan anak tetap terjalin ketika ibu berinteraksi dengan anak. Ibu lebih mudah melakukan kompromi dengan anak. Perilaku anak yang tidak diinginkan ibu berkurang kemunculannya. Anak lebih ceria, mudah diberi pengertian, dan lebih bisa diajak bekerjasama dengan ibu.

Tabel 8.

Hasil uji t skor pasca perlakuan-tindak lanjut pada kelompok perlakuan

Pasca perlakuan Tindak lanjut t P N Rerata N Rerata

4 68,25 4 68,75 -0,322 0,769

Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji pengaruh pelatihan bermain pura-pura terhadap interaksi ibu dan anak retardasi mental. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif interaksi ibu dan anak retardasi mental yang signifikan setelah diberi pelatihan bermain pura-pura. . Sementara itu pada kelompok kontrol, sekalipun terdapat penurunan skor rerata antara sebelum dan sesudah diberi pelatihan bermain pura-pura, namun tidak menunjukkan perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental secara signifikan, karena masih berada pada kategori yang sama.

Interaksi ibu dan anak pada kelompok perlakuan ini sebelumnya memang sudah berada dalam karegori sedang, karena ibu selama ini telah menjalankan perannya sebagai pengasuh yang merawat, memelihara, memberi petunjuk dan latihan kepada anak. Hanya saja ibu kurang terampil dalam mengikuti karakteristik perkembangan anak di setiap tahap perkembangannya, karena ibu dalam merawat, memelihara, memberi petunjuk dan latihan kepada anak tersebut kurang melibatkan afeksi.

Dalam pelatihan bermain pura-pura ini, ibu diberikan bekal beberapa keterampilan yang dapat membantu ibu dalam mengenali dan memanfaatkan ikatan alamiah antara ibu dan anak, sehingga ibu dapat menjalin interaksi yang mendalam dengan anak. Topham, dan Fleet (2011) mengakui bahwa porsi penerimaan ibu terhadap kehadiran anak retardasi mental yang sebanding dengan kebutuhan anak akan menciptakan interaksi yang mendalam dengan anak. Interaksi yang mendalam ini akan diperoleh apabila ibu terampil dalam memanfaatkan ikatan alamiah ibu dan anak. Pemberian keterampilan kepada ibu dalam mengenali dan memanfaatkan ikatan alamiah ini lebih efektif dalam memperbaiki interaksi ibu dan anak, dibandingkan dengan menghadirkan ibu, anak, dan terapis dalam satu sesi terapi.

(13)

kesadaran ibu akan pentingnya perasaan menerima dan memberikan kehangatan dalam menjalin interaksi dengan anak, sehingga ibu dapat mengikuti perkembangan anak.

Energi positif yang diberikan ibu ketika berinteraksi dengan anak pada saat bermain bersama membuka empati ibu terhadap anak. Rasa empati ini berkaitan dengan ketrampilan untuk mengikuti imajinasi anak. Empati yang diberikan, memudahkan ibu di dalam mengikuti isi pikiran dan perasaan anak yang telah dicurahkannya secara bebas, tanpa merasa takut dimarahi.

Menurut Topham, dan Fleet (2011) penerimaan ibu terhadap kehadiran anak merupakan pintu keberhasilan bagi ibu dalam menerapkan keterampilan bermain. Suasana penerimaan yang diterima anak menciptkan kehangatan, dan kenyamanan. Dengan demikian anak dapat mengendalikan permainan tanpa merasa takut dicela, karena inti bermain bersama adalah ibu bersikap sebagai cermin bagi anak. Ibu bersedia menerima arahan dari anak dan tidak memberikan komentar ataupun penilaian terhadap arahan anak.

Dalam pelatihan bermain pura-pura ini, ibu juga diberikan keterampilan dalam menyusun permainan. Keterampilan ini dibutuhkan ibu, supaya ibu mampu membuat manipulasi lingkungan yang berkaitan dengan perilaku atau sikap yang hendak diungkap, dan menangkap sumber munculnya perilaku atau sikap yang hendak diungkap tersebut. Dengan demikian, ibu tidak lagi bergantung kepada terapis untuk memperbaiki interaksi dengan anak retardasi mental. Hasil pemberian keterampilan menyusun permainan ini sesuai dengan hasil penelitian Topham dan Fleet (2011) yang menjelaskan bahwa ketrampilan menyusun permainan dapat menolong ibu menjadi agen terapis dalam menangani permasalahan anak dengan memanfaatkan ikatan alamiah yang dimiliki antara ibu dan anak.

Pelatihan bermain pura-pura ini tidak dapat menjadi media bagi keterampilan ibu dalam menetapkan aturan, karena pada saat ibu mempraktekkan ketrampilan bermain bersama anak, ibu tidak perlu memberikan peringatan terhadap perilaku anak yang dapat merusak jalannya permainan, karena anak dapat diajak bekerjasama. Dengan demikian, pengaruh keterampilan ibu dalam menetapkan aturan tidak dapat meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental.

Penerapan dalam beberapa keterampilan tersebut terlihat di dalam praktek bermain bersama anak. Berdasarkan hasil obeservasi, terungkap bahwa sebelum diberi umpan balik, ibu tampak kesulitan menyesuaikan diri dengan permainan yang dipegang anak. Ibu tampak terlalu sibuk mencari mainan yang tepat untuk anak atau terlalu diam dan kurang memberikan rangsang kepada anak. Rangsang yang diberikan ibu justru tidak mendorong inisiatif anak, dan tidak dapat membantu anak untuk mampu mengarahkan permainan. Setelah diberi umpan balik, keterampilan bermain ibu semakin meningkat dari tema pertama sampai dengan tema ketiga. Suasana penerimaan dan empati ibu terhadap anak mulai terasa. Interaksi menjadi semakin mendalam, menghangat dan alamiah. Anak mampu menyatakan inisiatifnya, memunculkan simbolisasi, dan ibu mempunyai kesempatan untuk memasukkan internalisasi kepada anak.

Hasil observasi terhadap keterampilan bermain ibu ketika praktek bersama anak tersebut sesuai dengan pernyataan Topham, dan Fleet (2011) bahwa penerimaan dan empati ibu terhadap anak menciptakan rasa percaya anak terhadap lingkungan. Anak dapat merasakan keamanan dan kenyamanan, sehingga anak dapat menyatakan pikiran dan perasaan secara bebas melalui simbolisasi ataupun verbal, tanpa merasa takut akan dimarahi oleh ibu.

(14)

penelitian tersebut menunjukkan bahwa ibu memiliki peran aktif bagi anak dalam menjelajahi tema cerita melalui rangsang dan umpan balik afektif yang tepat dari ibu terhadap anak, sehingga interaksi ibu dengan anak retardasi mental menjadi mendalam dan penuh makna. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Venuti, Falco, Giusti, dan Bornstein (2008) bahwa kualitas afeksi yang positif dari ibu dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental ketika bermain bersama, menunjukkan munculnya pengalaman cerita yang lebih banyak, dibandingkan dengan apabila anak bermain sendiri. Simbol yang dimunculkan pada cerita anak retardasi mental ketika berinteraksi bersama ibu dalam bermain menunjukkan kemampuan kognitif anak retardasi mental. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekalipun anak retardasi mental memiliki hambatan dalam perkembangan kognitif, namun kemampuan kognitif anak retardasi mental tidak berhenti. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian McCune dan Nicolich (1981) bahwa isi simbolis permainan anak retardasi mental sama dengan anak yang memiliki perkembangan kognitif sama.

Simbol yang dimunculkan anak dalam berinteraksi dengan ibu, ketika bermain bersama tidak berbeda jauh dari kehidupan sehari-hari anak retardasi mental. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian McCune dan Nicolich (1981) bahwa pengalaman anak dalam mengenali objek dalam situasi nyata mempengaruhi kecakapan anak dalam berpura-pura.

Simbol yang dimunculkan anak retardasi mental dalam berinteraksi dengan ibu, ketika bermain bersama sesuai dengan kapasitas kognitif anak yang berusia di bawah lima tahun (tahap pra operasional), yang sedang belajar merepresentasikan objek dengan kata-kata. Menurut Casby (2003) perkembangan bermain anak usia di bawah lima tahun berkaitan dengan penggunakan objek yang berkaitan dengan fungsi sosial. Anak memproduksi perilaku yang berkaitan dengan objek yang dikenali anak dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat anak memproduksi perilaku ini, terjadi proses kognitif berupa mengenali, memproduksi, ataupun berpura-pura menjadi sesuatu. Semua tujuan ini dapat dicapai secara optimal melalui bermain pura-pura. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Stagnitti, dan Unsworth, (2004) bahwa bermain pura-pura memberikan kontribusi pada perkembangan kognitif dan sosial, dibandingkan dengan bentuk perilaku bermain yang lainnya.

Interaksi antara ibu dan anak retardasi mental ini memang mengalami peningkatan yang cukup tajam setelah diberikan perlakuan pelatihan bermain pura-pura, namun tidak begitu tajam setelah tahap tindak lanjut. Hal ini disebabkan pengaruh pelatihan bermain pura-pura tidak berkaitan secara langsung dengan perilaku tertentu. Guo (2005) menjelaskan bahwa manfaat pelatihan ketrampilan bermain ini lebih menekankan pada peningkatan nilai afeksi antara ibu dan anak, sehingga perlu dilakukan diskusi lanjutan antara profesional dengan ibu untuk membahas reaksi perilaku yang berkaitan dengan emosi atau kognitif, untuk membuka pertahanan ibu terhadap ketidaksadaran yang dapat menghambat penerimaan ibu terhadap respons anak.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa pelatihan bermain pura-pura dapat meningkatkan interaksi ibu dengan anak retardasi mental. Interaksi bermakna yang terjalin antara ibu dan anak retardasi mental dapat membantu ibu dalam mengasuh anak retardasi mental secara terarah, sehingga ibu tidak perlu lagi merasa terpuruk karena memiliki anak yang berbeda dengan anak pada umumnya.

(15)

mengasuh anak berkebutuhan khusus. Dukungan sosial bisa diperoleh ibu dan anak berkebutuhan khusus dengan melatihkan keterampilan bermain pura-pura kepada ayah. Ibu dan ayah yang memiliki anak normal juga perlu memperoleh keterampilan bermain pura-pura untuk mengoptimalkan perkembangan sosial dan emosi anak.

Daftar Pustaka

Abbeduto, L., Warren, S.F., & Conners, F.A. (2007). Language developmen in down syndrome: From the prelinguistic period to the acquisition of literacy. Mental Retardation and Developmental

Disabilities: Research Reviews, 13, 247-261.

Anggraini, D., Martiana, E., Setiowati, Y. (2010). Alat bantu anak retardasi mental menggunakan android. skripsi.

Bysterveldt, A.K., Gillon, G.T., & Moran, C. (2006). Enhancing phonological awareness and letter knowledge in preeschool children with down syndrome. International Journal of Disability,

Development and Education, 53, 301-329. Doi: 10.1080/10349120600847706.

Casby, M. (2003, summer 4). Development assesment of play: a model for early intervention.

Communication disorder quarterly, 24, hal. 175-183.

Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010, Maret). Parenting stress and coping styles in mothers and fathers of pre-school children with autism and down syndrome. Journal of Intellectual Disability, 54(3), 266-280. Doi: 10.1111/j.1365-2788.2010.0128.x.

Dender, A., & Stagnitti, K. (2010). Development of the indigenous child-initiated pretend play assesment: selection of play materials and administration Australian Occupational Therapy Journal 58, 34 - 42

Falco, S., Esposito, G., Venuti, P., & Bornstein, M.H. (2010). Mothers and fathers at play with their children with down syndrome: Influence on child exploratory and symbolic activity. Journal of

Applied Research in Intellectual Disabilities, 23, 597-605.

Feldman, M.A., Varghese, J., Ramsay, J., & Rajska, D. (2002). Relationships between Social Support, Stress and Mother-Child Interaction in Mother with Intellectual Disabilities. Journal of

Applied Research in Intellectual Disabilities, 15, 314–323.

Feldman, R., Cohenc, R.M., Galili, G., Singerb, M., & Louzounc, Y. (2011). Mother and infant coordinate heart rhythms through episodes of interaction synchrony. Infant Behavior and

Development. 34, 569-577.

Greenspan, S.I., & Wieder, S. (2006). Infant and early childhood mental health: A comprehensive

developmental approach to assesment and intervention. London: American Psychiatric

Publishing, Inc.

Guo, Y. (2005). Filial therapy for chilfdren"s behavioral and emotional problems in mainland china.

Journal of Child and Adolescent psychiatric nursing, 18 (4), 171-180.

Hodapp, R.M., Ricci, L.A., Ly, T.M., & Fidler, D.J. (2003). The effect of the child with down syndrome on maternal stress. British Journal of Developmental Psychology, 21, 137-151.

(16)

Kinsworthy, S., & Garza, Y. (2010). Filial therapy with victims of family violence: a phenomonological study. Journal of Family Violance, 25, 423–429.

Landreth, G.L., Ray, D.C., & Bratton, S.C. (2009). Play therapy in elementari school. Developmental

basis for using play therapy, 46 (3), hal. 281-289.

Mahoney, G., Perales, F., Wiggers, B., & Herman, B. (2006). Responssive Teaching: Early intervention for children with Down syndrome and other disabilities. Down Syndrome Research and Practice, 11 (1), 18-28.

McCune, L & Nicolich. (1981 ). Toward Symbolic Functionmg: Structure of Early Pretend Games and Potential Paral with Language. Child Development, 52, 785-797. Doi: 5203-0013101 00. Montirosso, R., Borgatti, R., dan Trojan, S., Zanini., Tronick, E. (2012). A comparison of dyadic

interactions and coping with still-face in healthy pre-term and full-term. British Journal of

Developmental Psychology , 28, 347-368.

Motti, F., Cichetti, D., & Sroufe, L.A. (1983). From infant affect expression to symbolic play: the coherence of development in down syndrome children. Child Development, 54, 1168-1175. Doi: 0009-3920/83/5450-0016801.00.

Muthukrishna, N., & Sokoya, G.O. (2008). Gender differences in pretend play amongst school children in durban, kwazulu-natal, south africa. Gender and Behaviour, 6, 1577-1590.

Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2008). Human development (psikologi perkembangan).

Jakarta: Prenada Media Group.

Pilusa, N. (2006, Juli). The impact of mental retardation on family functioning. (Disertasi tidak diterbitkan). University of Pretoria. South Africa.

Pi o, O. . The effe t of o te t o othe ’s i te a tio st le with Dow ’s s d o e a d

typically developing children. Research in Developmental Disabilities, 21, 329–346.

Russ, S.(2004). Play in child development and psychotherapy: Toward empirically supported practice.

New Jersey: Lawrence erlbaum associates, inc.

Santelices, M.P., Olhaberry, M. C., Salas, P.P., dan Carvacho, C. (2009). Comparative study of early interactions in mother–child dyads and care centre staff–child within the context of Chilean crèches. Child: care, health and development, 36 (2), 255–264.

Sanz, T., Menéndeza, J., & Rosi ue , T. . Stud of diffe e t so ial ewa ds used i Dow ’s

s d o e hild e ’s ea l sti ulatio . Early Child Development and Care, 181 (4), 487-492. Stagnitti,K., & Unsworth, C.(2004). The tests-retest reliability of the child-initiated pretend play

assesment. American Journal of Occupational Therapy,58(1), 93-99

Swindells, D., & Stagnitti, K. (2006). Pretend play and parent's view of social competence: The construct validity of the child-initiated pretend play assesment. Australian Occupational

Therapy Journal, 53, 314-324.

Topham, G.L., & Fleet, R.V. (2011). Filial therapy: a structured and straightforward approach to including young children in family therapy . The Australian and New Zealand Journal of

Family , 32 (2), 144-158.

Waters, E., & Sroufe, L.A. (1983). Social competence as a developmental construct. National Science

Foundation. 3, hal.79-97. New York: Departement of Psychologycal.

(17)

Gambar

Tabel 3. Hasil uji t antara skor pra perlakuan kelompok perlakuan dan kontrol
Tabel 5.
Grafik 1.  Perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol setelah diberi perlakuan
Tabel 7.  Skor perolehan (gain score) interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pelatihan tersebut meliputi kesadaran kualitas ( quality awareness ) bagi pimpinan dan anggota organisasi sehingga dapat memberikan pemahaman mengenai sejarah sistem manajemen

Penelitian diorganisasikan menjadi karya tulis yang dituangkan dalam lima bab antara sebagai berikut; Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

 Kendala Biaya Tenaga Kerja Lembur Biaya tenaga kerja lembur yang akan digunakan selama horizon perencanaan harus lebih kecil atau sama dengan target biaya lembur

Laporan Tugas Akhir Universitas Kristen Maranatha Pada tabel 1.2 didapatkan bahwa Yomart adalah minimarket yang mempunyai tingkat yang paling tinggi yaitu sebanyak

Airlangga University, Surabaya, Faculty of Economitt-::LUttiness' Indonesia Chang Jung Christian Unl,reriity, O&#34;purtment of International

 Kelumpuhan tubuh bagian kanan akan dirasakan lebih berat dibanding kiri karena otak kiri yang mendominasi kehidupan sehari-hari terganggu  Otak kanan dan otak kiri

Malang Nomor 7 Tahun 2010 yo Pasal 4 Peraturan Bupati Malang Nomor 7 Tahun 2012 terkait dengan rekomendasi Dokumen UKL- UPL yang dihadapi oleh Badan

masuk dalam kandidat foolish four adalah saham yang berdasarkan deviden terendah dan harga pada DJIA. Grant McQueen dan Steven