• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Cooperative Learning

1. Pengertian Cooperative Learning

Cooperative learning berasal dari kata Cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Menurut Slavin dalam Isjoni (2016:15) mengatakan pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok- kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen.

Menurut Isjoni (2016:16) Cooperative Learning adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (studend oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini telah terbukti dapat dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia.

Rusman (Pujianasari, 2016:98) menyebutkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus dari guru kepada siswa, tetapi siswa dapat saling membelajarkan sesama siswa lainnya.

(2)

9

Nurulhayati dalam (Harefa, 2020) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi.

Dari beberapa pengertian model pembelajaran kooperatif di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah, terpadu, efektif-efisien, kearah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama dan saling membantu sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (T.

Telaumbanua, 2020).

Beberapa ciri dari Cooperative Learning adalah; (a) setiap anggota memiliki peran, ( b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Isjoni, 2016:27).

2. Tujuan Cooperative Learning

Pada dasarnya model Cooperative Learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran yang penting yang dirangkum Ibrahim (2000) dalam Isjoni (2016:27), yaitu :

a. Hasil belajar akademik

Dalam Cooperative Learning meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul

(3)

10

dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, Cooperative Learning dapat memberi keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

b. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain model Cooperative Learning adalah peneriman secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

c. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga Cooperative Learning adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

(4)

11 3. Model-Model Cooperative Learning

Model pembelajaran menurut Joice dan Well (1990) dalam Isjoni (2016:50) Model pembelajaran adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya. Dalam penerapannya model pembelajaran ini harus sesuai dengan kebutuhan siswa.

Dalam Cooperative Learning terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan, yaitu di antaranya : 1) Student Team Achievenment Division (STAD), 2) Jigsaw,3) Group Investigation, 4) Rotating Trio Exchange,dan 5) Group Resume. Dari beberapa model pembelajaran tersebut model yang banyak dikembangkan adalah model Student Team Achievenment Division (STAD) dan Jigsaw.

B. Metode Jigsaw

1. Pengertian Metode Jigsaw

Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dkk di Universitas Texas, kemudian diadaptasi oleh Slaven dkk di Universitas Jhon Hopkins. Ditinjau dari sisi etimologi, jigsaw berasal dari bahasa Inggris yang berarti “gergaji ukir”. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah fuzzle, yaitu sebuah teka-teki yang menyusun potongan gambar.

Menurut Rusman dan Shoimin (Sholihah, 2018:162) Metode atau tipe jigsaw ini merupakan metode belajar kooperatif dengan cara siswa

(5)

12

belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai enam orang secara heterogen. Siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Dalam pembelajaran ini siswa juga memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya.

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan kelompok kelompok kecil yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok Nurfitriyanti (Arindrawati, 2021:301).

Kelebihan model Cooperative Learning tipe jigsaw Kurniasih dan Sani (Fitri, 2017:7) antara lain: 1) mempermudah pekerjaan guru dalam mengajar, karena sudah ada kelompok ahli yang bertugas menjelaskan materi kepada rekan-rekannya; 2) pemerataan penguasaan materi dapat dicapai dalam waktu yang yang lebih singkat. 3) pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk lebih aktif dalam berbicara dan berpendapat.

Kekurangan model Cooperative Learning tipe jigsaw Kurniasih dan Sani (Fitri, 2017:7) antara lain: 1) Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi, dan cenderung mengontrol jalannya diskusi; 2) Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berfikir rendah akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi apabila ditunjuk sebagai

(6)

13

tenaga ahli. 3) Siswa yang cerdas cenderung merasa bosan. d) Siswa yang tidak terbiasa berkompetisi akan kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran.

2. Langkah Pelaksanaan Metode Jigsaw

Menurut Rusman (Nurhadi, 2019:79) pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : pertama, siswa dikelompokkan dengan anggota lebih kurang 4 orang (kelompok asal), kemudian tiap orang dalam tim diberi materi dan tugas yang berbeda, lalu anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama membentuk kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan materi mereka, setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota tim kembali ke kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompoknya tentang subbab yang mereka kuasai secara bergantian dan yang lainnya memperhatikannya, kemudian tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi, guru membimbing dan mengevaluasi, yang terakhir penutup.

C. Keaktifan Siswa 1. Pengertian

Menurut Sriyono dkk (Susati, 2013:19) menyatakan bahwa keaktifan siswa adalah murid-murid yang aktif baik jasmani ataupun rohani.

Aunurrahman (Wali, 2020:165) mengemukakan bahwa keaktifan siswa dalam belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus

(7)

14

dipahami, dan dikembangkan setiap guru dalam proses pembelajaran.

Sehingga keaktifan siswa perlu digali dari potensi-potensinya melalui aktivitasnya untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Secara sederhana, Sudjana (Irawan, 2020:2) mengatakan bahwa keaktifan belajar siswa dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran, baik secara intelektual maupun emosional.

Aktif dapat memiliki sebuah arti yakni giat dalam bekerja maupun berusaha. Sedangkan keaktifan adalah hal atau keadaan dimana siswa dapat aktif. Keaktifan siswa dalam hal ini dapat dilihat dari kesungguhan mereka mengikuti pelajaran. Siswa yang kurang aktif akan ditunjukkan oleh beberapa kasus di kelas, seperti kurang adanya gairah belajar, malas, cenderung ngantuk, enggan mengikuti pelajaran, cenderung ingin ijin keluar kelas dengan alasan ke belakang, tidak konsentrasi, ngobrol dengan teman-temannya, mengerjakan tugas pada mata pelajaran yang lain, sedang jam pelajaran saat ini tengah berlangsung, dan sebagainya. Maka guru perlu mencari cara untuk meningkatkan keaktifan siswa. Keaktifan merupakan motor dalam kegiatan belajar, siswa dituntut aktif. Keaktifan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang datang dari dalam diri siswa maupun yang datang dari luar diri siswa. Faktor yang datang dari dalam diri siswa sendiri ada yang berkaitan dengan kecakapan, ada yang bukan kecakapan, seperti minat dan dorongan untuk belajar. Minat dan dorongan untuk belajar dapat ditimbulkan melalui upaya dan situasi yang diciptakan oleh guru. Upaya dan situasi yang diciptakan oleh guru tersebut

(8)

15

disamping dapat mempengaruhi minat dan dorongan belajar juga mempengaruhi keaktifan belajar (Sinar, 2018:9).

Menurut Muhibbin Syah (Zaeni, 2017:417) bahwa faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu faktor internal (faktor dari dalam peserta didik), faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), dan faktor pendekatan belajar (approach to learning).

Menurut Sardiman dalam Sinar ( 2018:9) Keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Belajar yang berhasil harus melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik maupun psikis. Aktivitas fisik adalah siswa giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu bermain maupun bekerja, ia tidak hanya duduk diam mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Siswa yang memiliki aktivitas psikis (kejiwaan) adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka pembelajaran. Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas persoalan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam proses pembelajaran.

Menurut Hariyanto dan Warsono (Halifah, 2019:2) menjabarkan tentang pembelajaran aktif adalah istilah model pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa untuk belajar secara mandiri.

(9)

16

Kegiatan-kegiatan guru yang dapat mempengaruhi keaktifan siswa menurut Usman dalam (Wali, 2020:164) adalah: (1) memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa, sehingga mereka berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran; (2) menjelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar kepada siswa); (3) mengingatkan kompetensi belajar kepada siswa;

(4) memberikan stimulus (masalah, topik, dan konsep yang akan dipelajari); (5) memberikan petunjuk kepada siswa cara mempelajari; 6) memunculkan aktifitas, partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, (7) memberikan umpan balik (feedback); (8) melakukan tagihan-tagihan kepada siswa berupa tes sehingga kemampuan siswa selalu terpantau dan terukur; dan (9) menyimpulkan setiap materi yang disampaikan diakhir pembelajaran.

Menurut Paul Diedrich dalam (Naus, 2022:193-194) klasifikasi kegiatan belajar dibagi menjadi delapan kelompok, yaitu (1) kegiatan visual; (2) kegiatan lisan; (3) kegiatan mendengarkan; (4) kegiatan menulis; (5) kegiatan menggambar; (6) metrik aktivitas; (7) aktivitas mental; dan (8) aktivitas emosional.

Sedangkan indikator keaktifan belajar menurut Sudjana (Prasetyo, 2021:2) dapat dilihat dari beberapa hal yaitu: (1) Ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung siswa turut serta melaksanakan tugas belajarnya, (2) Siswa mau terlibat dalam pemecahan masalah dalam kegiatan pembelajaran, (3) Siswa mau bertanya kepada teman atau kepada guru apabila tidak memahami materi atau menemui kesulitan, (4) Siswa mau

(10)

17

berusaha mencari informasi yang dapat diperlukan untuk pemecahan persoalan yang sedang dihadapinya, (5) Siswa melakukan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru, (6) Siswa mampu menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya, (7) Siswa belatih memecahkan soal atau masalah, dan (7) Siswa memiliki kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.

D. Kaitan Antara Metode Jigsaw dengan Meningkatkan Keaktifan Siswa Metode jigsaw memiliki tujuan untuk melatih siswa dalam berdiskusi dan siswa bertanggung jawab secara individu untuk membantu memberikan pemahaman tentang suatu materi pokok tertentu kepada orang lain.

Keberhasilan dari metode jigsaw ini adalah pada keaktifan siswa. Siswa dituntut untuk berpartisipasi aktif, siswa akan dilibatkan dalam belajar, yaitu mulai dari membaca dan memahamkan materi, mendengar pendapat teman, menyanggah pendapat, mempertahankan pendapat dan mengajarkan teman.

Begitu siswa yang tadinya tidak begitu aktif, maka akan aktif dalam menjawab pertanyaan baik dari konselor maupun teman, memperhatikan penyampaian materi, dan tampil berani dalam berbicara. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap metode jigsaw diharapkan dapat merubah ke arah perubahan yang positif terhadap sikap siswa untuk terdorong aktif.

(11)

18 E. Kaitan dengan BK

Kurangnya keaktifan siswa dapat berdampak buruk bagi siswa. Masalah ini tentunya dapat menghambat siswa dalam melakukan kegiatan belajar.

Bimbingan dan Konseling hadir untuk membantu siswa di sekolah dalam mengentaskan permasalahan yang dialami agar siswa mampu menjalani kehidupan lebih efektif lagi. Dalam hal ini peneliti menerapkan metode jigsaw untuk membantu siswa dalam mengentaskan permasalahannya. Metode jigsaw sendiri merupakan suatu metode untuk membantu dan melatih siswa agar dapat meningkatkan keaktifan dengan baik. Penelitian ini sangat menarik sekali untuk dilakukan agar dapat membantu siswa yang memiliki keaktifan yang rendah dengan menggunakan metode jigsaw dan adanya perbaikan tindakan secara berkala sehingga diharapkan mampu meningkatkan keaktifan siswa tersebut. Penelitian ini juga unik dan tidak dapat dipandang sebelah mata karena dapat memberikan kontribusi kepada sekolah maupun program BK itu sendiri.

F. Kerangka Konseptual

Selama proses belajar mengajar Bimbingan dan Konseling, kecendrungan siswa untuk aktif tergolong rendah. Hal ini kadang menyebabkan siswa tidak memahami atau memperoleh manfaat. Beberapa dari mereka masih kurang menunjukkan keaktifan dalam bertanya, berpendapat, menjawab pertanyaan, dan kurang terlibat sendiri dalam pemecahan masalah maupun aktifitas belajar lainnya.

(12)

19

Maka dari itu, pemilihan metode jigsaw sebagai bantuan yang diberikan terhadap siswa yang dilaksanakan dalam situasi kelompok.

Kerangka konseptual penerapan metode jigsaw dapat meningkatkan keaktifan siswa, dapat digambarkan dalam bagan berikut :

Gambar 1 Kerangka Konseptual Penelitian

G. Hipotesis Tindakan

Menurut Sutja (2021: 62), hipotesis pada hakekatnya adalah dugaan atau prakiraan jawaban atas masalah yang akan dibuktikan kebenarannya di lapangan, begitu juga halnya dengan hipotesis PTL. Hipotesis PTL adalah prakiraan hasil yang akan diperoleh apabila melakukan layanan tertentu.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah apabila diterapkan metode jigsaw yang efektif maka diperkirakan dapat meningkatkan keaktifan siswa.

Peserta didik yang memiliki keaktifan

rendah

Metode Jigsaw

Meningkatkan Keaktifan Peserta Didik

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut

Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu..

Dengan cara tersebut maka yang tersimpan adalah citra secara keseluruhan, dan belum dapat digunakan untuk melakukan proses selanjutnya seperti pencarian data.. Dengan kedua alat

SHAH ALAM, 19 Dis 2017: Bahan Rujukan Malaysia Standard Emas (MyRM Gold) yang bertujuan memastikan semua alat pengukur ketulenan emas adalah berdasarkan Unit Sistem

Kondisi risiko yang terdapat pada usaha peternakan sapi perah skala besar yang memanfaatkan limbah untuk menghasilkan biogas, terdiri dari dua bagian yakni risiko harga dan

1 Pengendalian pemanfaatan Ruang Kondisi saat ini sebagian besar tanah timbul dikuasai oleh masyarakat di mana penguasaan dilakukan sejak proses pematangan dengan menggunakan

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “ PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP LUAS PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Data pengukuran P-Potensial dan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian kombinasi bahan organik baik berupa kompos kulit durian dan pupuk kandang ayam