• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. KERANGKA TEORI. Tinjauan Teori Teori Dasar Subsidi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. KERANGKA TEORI. Tinjauan Teori Teori Dasar Subsidi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Teori Dasar Subsidi

Menurut Pindyck (2003), subsidi merupakan pembayaran yang mengurangi harga pembeli di bawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak negatif. Subsidi menimbulkan efek yang berlawanan dari efek yang ditimbulkan pajak. Pemberian subsidi menimbulkan efek yang positif dan negatif. Efek positif subsidi adalah peningkatan daya beli masyarakat sehingga terjadi peningkatan output. Efek negatif subsidi adalah menimbulkan distorsi perekonomian yakni alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini tercermin adanya kecenderungan masyarakat mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan. Disisi lain penyelenggaraan untuk keperluan subsidi ini semakin membebani APBN sehingga sejak tahun anggaran 2000 pemerintah mengambil keputusan pengurangan subsidi BBM dan tarif dasar listrik secara bertahap.

Sumber: Lipsey et al, 1997

Gambar 1 Dampak pengurangan subsidi terhadap keseimbangan ekonomi Makro.

Secara teoritis dampak pengurangan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan harga-harga dan penurunan output. Analisis grafis dapat dilihat pada Gambar 1, dimana jika terjadi pencabutan subsidi listrik kurva SRAS akan

LRAS SRAS1 SRAS0 C P1 P0 B AD0 Output A Harga Y* Y’

(2)

bergeser ke kiri atas. Jika diasumsikan AD tetap, maka pergeseran SRAS tersebut akan menyebabkan keseimbangan baru berada pada tingkat harga P1 dan output

Y’. Kondisi dimana terjadinya inflasi yang diikuti dengan penurunan output disebut stagflasi.

2.1.2 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian

Menurut Keynes intensitas kegiatan perekonomian ditentukan oleh besaran pengeluaran agregat (konsumsi maupun investasi). Tingkat belanja tersebut pada periode tertentu tidak sesuai lagi dengan kebutuhan untuk mencapai tingkat optimum tercapainya kondisi full employment. Hal ini karena investasi yang dilakukan pihak swasta lebih kecil daripada tabungan yang dibutuhkan dalam perekonomian. Bagi Keynes, pasar bebas tidak mampu menjamin tercapainya kondisi full employment, sebagaimana yang diteorikan oleh Adam Smith, untuk itu perlu intervensi pemerintah dalam perekonomian. Alasan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian (Stiglitz 2000) adalah untuk : (1) menjamin kepastian hukum melalui berbagai peraturan yang tidak mampu dihasilkan oleh sektor swasta; (2) mengkoreksi adanya kegagalan pasar yang disebabkan imperfect competition, public goods,

externality, dan asymmetric information; dan (3) adanya merit goods, yaitu

barang yang tetap harus disediakan walaupun tidak diminta masyarakat.

Selaras dengan pendapat Keynes, Musgrave menyatakan bahwa fungsi pemerintah dalam perekonomian modern adalah untuk memenuhi tiga fungsi, yaitu pertama, fungsi alokasi, pemerintah harus mengupayakan pengalokasian sumberdaya ekonomi secara efisien. Kedua, fungsi distribusi, pemerintah harus menjamin terciptanya distribusi pendapatan yang merata dan terwujudnya keadilan sosial. Ketiga, fungsi stabilisasi, pemerintah berkewajiban menjaga kondisi perekonomian dalam keadaan full employment dan menjalankan kebijakan ekonomi makro. Di samping peran pemerintah yang strategis tersebut, ternyata pemerintah juga menghadapi resiko kegagalan dalam mencapai tujuannya. Terdapat empat sumber pokok kegagalan pemerintah yaitu, keterbatasan informasi, keterbatasan kendali atas respon pasar, keterbatasan kendali atas birokrasi, dan keterbatasan karena proses politik (Priyarsono et al 2007).

(3)

2.1.3 Teori Model Keseimbangan Umum (General Equilibrium)

Dalam suatu perekonomian terdapat berbagai macam pasar yang saling terkait satu dengan lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan menyebabkan pasar lainnya juga ikut berubah. Suatu keseimbangan umum akan tercapai bila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar, baik pasar faktor produksi maupun pasar komoditas, berada dalam keseimbangan. Pembentukan model ekonomi yang menggambarkan suatu perekonomian yang terdiri dari semua pasar dan semuanya dalam keseimbangan yang dikomputasikan disebut dengan model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam model CGE ini terdapat sekumpulan fungsi permintaan dan penawaran, yang mencakup pasar komoditas maupun faktor produksi. Dalam model CGE juga terdapat himpunan persamaan yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku dalam perekonomian.

Pengembangan model keseimbangan umum dipelopori oleh Leontief, Manne, Johansen, Jorgensen, Adelman, Shoven dan Whalley (Dixon et al. 1992). Menurut mereka model ini dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari suatu kebijakan secara kuantitatif. Kebijakan yang dianalisis dapat berupa kebijakan pajak, hambatan perdagangan (trade barriers), perubahan belanja pemerintah, harga komoditas, teknologi dan kebijakan di bidang lingkungan. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dianalisis pada tingkat industri, jenis pekerjaan, rumahtangga, pemerintah dan wilayah serta berbagai peubah ekonomi makro, seperti inflasi, neraca perdagangan, investasi dan sebagainya (Sahara 2003).

Model keseimbangan umum memandang perekonomian sebagai suatu sistem yang lengkap. Model ini tidak hanya dibangun pada tingkat agregat, tetapi dapat pula dibangun sampai dengan tingkat mikro secara rinci, yang menyatakan saling ketergantungan dari berbagai komponen ekonomi di dalamnya, yaitu antar industri, komoditas, rumahtangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar yang berbeda. Keseimbangan umum dapat tercapai bila perekonomian diasumsikan dalam kondisi pasar persaingan sempurna dan tidak terdapat kondisi increasing returns to scale (Sudarsono 1995). Asumsi-asumsi lain yang mendorong terciptanya kondisi keseimbangan

(4)

umum adalah; (1) pada pasar komoditas dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawarannya; (2) pada tingkat harga keseimbangan keuntungan perusahaan sama dengan nol; (3) pendapatan rumahtangga sama dengan pengeluarannya; dan (4) penerimaan pemerintah sama dengan pengeluarannya.

Pada model keseimbangan umum berlaku hukum Walras yang menyatakan bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya. Keseimbangan umum tercapai bila tidak ada excess demand pada semua vektor harga. Konsep dasar keseimbangan umum didasarkan pada kondisi pareto

optimum pada setiap pelaku ekonomi, yaitu produsen, konsumen, investor dan

pemerintah. Pareto optimum adalah suatu kondisi dimana satu pihak tidak dapat meningkatkan kepuasaannya (better off) tanpa mengurangi kepuasan pihak untuk mencapai kondisi pareto optimum dalam keseimbangan umum, yaitu keseimbangan produksi, keseimbangan konsumsi dan keseimbangan simultan. 2.1.3.1 Keseimbangan Produksi (Production Efficiency)

Kondisi keseimbangan produksi ini dapat tercapai apabila substitusi teknik marginal atau Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) untuk pasangan input adalah sama untuk produksi dua barang yang menggunakan dua jenis input, yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K). Untuk kasus dua input (L dan K) dan dua barang (X1 dan X2) tingkat MRTS input L dan K dalam

memproduksi barang X1 harus sama dengan MRTS input L dan K dalam

memproduksi barang X2 atau MRTSLKx1 = MRTSLKx2 .

Teori produksi menyatakan bahwa produsen berada dalam keseimbangan bila MRTSlk = dimana W1 adalah harga faktor L dan W2 adalah harga faktor K.

Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang berbeda, yaitu X1 dan X2, keseimbangan simultan yang terjadi bisa dijelaskan

melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk X1 dan X2

tercapai pada saat isoquant X1 bersinggungan dengan isoquant X2 pada berbagai

tingkat output. Titik singgung tersebut membentuk yang disebut dengan Kurva Kotrak atau Contract Curve (CC). Pilihan tingkat output yang akan diproduksi ditentukan oleh rasio harga faktor produksi.

(5)

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 2 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor produksi

Dalam ekonomi pertukaran, semua alokasi yang efisien terletak di sepanjang kurva kontrak. Titik yang berada selain di kurva kontrak adalah tidak efisien, karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika berpindah dari titik tersebut ke kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak preferensi individu bersaing satu dengan lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lain. Secara matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai berikut:

MRTSlkx1 = MRTSlkx2 = ………..(2.1)

Dimana MRTS adalah slope dari isoquan.

Production Possibility Curve (PPC) diderivasi dari CC yang terbentuk

dalam kotak Edgeworth. PPC adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan berbagai tingkat produksi barang X1 dan X2 yang efisien. PPC

disebut juga kurva transformasi produk karena menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi produksi. Slope dari PPC disebut marginal rate of product transformation (MRPT). Pada pasar persaingan sempurna didapatkan : OX2 K X 24 E1 X 23 X 22 E 2 X 21 E 3 X 13 E 4 X 14 L OX1 X 12 X 11 1

(6)

MRTP12 = ………..………..(2.2)

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 3 Production possibility curve (PPC).

Daerah batas PPC memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan L dan K yang efisien untuk menghasilkan X1 dan X2. Kurva tersebut ditransfer dari

lokus titik-titik efisien pada Gambar 2. Slope PPC menunjukkan bahwa output X dapat ditukarkan terhadap output Y dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya yang sama.

2.1.3.2 Keseimbangan Konsumen (exchange efficiency)

Kondisi pareto optimum pada konsumen didekati dengan konsep Tingkat Pertukaran Marginal atau Marginal Rate of Substitution (MRS). MRS menunjukkan kesediaan seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang yang akan dikonsumsinya untuk mencapai kepuasan yang optimal (Oktaviani 2008).

Untuk kasus dua barang (X1 dan X2) dan dua individu (U dan V), MRS

individu U dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2 harus sama dengan MRS

individu V dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2. Keseimbangan di sektor

konsumsi adalah kondisi pada saat konsumen mencapai kepuasan maksimum

E1 OX1 x2 4 x23 E2 x22 E3 x21 E4 OX2 X14 X11 X12 X13

(7)

dengan kendala pendapatan.

Berdasarkan Gambar 4, Uv menggambarkan kurva indiferen individu V, sedangkan Uu menggambarkan kurva indiferen individu U. Semakin jauh dari titik asal masing-masing individu tersebut, tingkat kepuasan yang diperoleh semakin tinggi. Titik-titik di sepanjang kurva Ou dan Ov adalah efisien. Dengan kata lain, individu U tidak dapat menjadi lebih baik tanpa membuat individu V menjadi lebih buruk dan sebaliknya. Di sepanjang kurva Ou–Ov, MRS individu U sama dengan MRS individu V, sehingga MRSux1,x2 = MRSux1,x2

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 4 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua individu.

Secara teoritis kepuasan maksimum konsumen U atau V tercapai pada saat MRS antara dua komoditas sama dengan harga relatifnya. Jika P1

harga komoditas X1dan P2adalah harga komoditas X2,maka kepuasan konsumen MRS12 = P1/P2 untuk kasus dua komoditas dan dua individu.

2.1.3.3 Keseimbangan Simultan (production-mix efficiency)

Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi (keseimbangan simultan) tercapai pada saat MRPT12 = MRS12 = P1/P2 . MRPT menunjukkan tingkat

transformasi suatu produk terhadap produk lain. MRS menunjukkan tingkat kesediaan konsumen dalam mempertukarkan suatu komoditas dengan komoditas

Ov UV4 E1 E2 E3 E4 X1 Ou UV3 UV1 UV2 UU1 UU2 UU3 UU4 X2

(8)

lainnya. Keseimbangan terjadi jika transformasi produksi sesuai dengan tingkat substitusi konsumsi atau MRPT=MRS. Pengertian ekonomi dari keseimbangan simultan ini adalah bahwa kombinasi output X1 dan X2 harus

optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen. Keseimbangan ini diilustrasikan pada Gambar 5. Keseimbangan simultan harus terpenuhi dengan adanya keseimbangan alokasi pada sektor produksi dan konsumsi. Keseimbangan ini tercipta melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian.

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 5 Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi 2.2 Tinjauan Studi Terdahulu

Kebutuhan listrik di Indonesia semakin hari semakin besar, seiring bertambahnya jumlah penduduk serta peningkatan aktifitas sosial ekonomi. Konsumen terbesar dari energi listrik untuk semua periode adalah sektor industri, kemudian disusul sektor rumahtangga, komersial dan pemerintahan. Sedangkan yang paling kecil mengkonsumsi listrik adalah sektor transportasi, karena pada sektor transportasi bahan bakar listrik hanya dimanfaatkan oleh kereta rel listrik (KRL). Meskipun pemanfaatan listrik cukup prospektif, tetapi terdapat kendala dalam proses pembangkitannya, mengingat sebagian besar dari bahan bakar yang dimanfaatkan oleh pembangkit listrik di Indonesia adalah bahan bakar fosil (Sugiyono, 2000).

(9)

Pemakaian bahan bakar primer sebagai pembentuk energi listrik seperti, bahan bakar minyak dan batubara harganya semakin lama semakin mahal. Ilustrasi untuk menghasilkan energi memakan biaya cukup besar dapat dilihat pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuan Unit 1 dan 2 yang belum lama ini diresmikan pengoperasiannya oleh Presiden RI. Dengan kapasitas sebesar 300 Mw, PLTU Labuan mengkonsumsi batubara sebagai bahan bakar sebanyak 180.000 Kg per jam setara dengan pemakaian BBM 69.000 liter per jam, sehingga biaya operasi yang harus ditanggung PLN jika menggunakan batubara adalah Rp.48.692.340 per jam sedangkan jika menggunakan BBM sebesar Rp.402.649.500 per jam. Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik seharusnya sama dengan tarif dasar listrik (TDL) yang dibayar oleh konsumen, namun saat ini TDL masih di bawah BPP sehingga untuk menutupi kekurangannya dipenuhi melalui subsidi. Alokasi subsidi listrik berdasarkan UU No.2 tahun 2010 tentang APBN-P 2010 adalah sebesar Rp55,1 triliun. Dari tinjauan singkat tersebut di atas, memberikan isyarat bahwa PLN perlu menaikkan harga jual secara bertahap hingga mencapai nilai ekonominya.

Kebijakan penghapusan subsidi listrik akan membebani masyarakat, baik rumahtangga maupun sektor produksi. Dampak negatif dari penurunan subsidi listrik pada sisi makro adalah adanya inflasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar internasional. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk meminimalkan dampak ekonomi dengan cara penurunan secara bertahap subsidi listrik yang berefek kenaikan TDL dimana diberlakukan kebijakan kenaikan yang berbeda menurut kelompok penggunanya.

Penelitian banyak dilakukan berkenaan dengan dampak kebijakan kenaikan TDL dalam mengatasi defisit APBN akibat beban subsidi yang semakin membesar. Komaidi dan Rakhmanto (2010) mengukur dampak ekonomi kenaikan TDL 2010 dengan Financial Social Accounting Matrix (FSAM), metode

Weighted Average Price (WAP) dan Model Ekonometrik. Hasil penelitian

menunjukan kenaikan TDL sebesar 10 persen – 20 persen berpotensi menambah biaya produksi sektor utama pengguna listrik rata‐rata sebesar 2,13 – 4,25 persen dan menambah besaran inflasi nasional sebesar 0,63–1,36 persen. Kenaikan TDL

(10)

juga berpotensi menurunkan konsumsi listrik dan permintaan tenaga kerja masing‐masing sebesar 6,70 - 13,40 persen dan 1,17 - 2,35 persen. Menurunnya permintaan tenaga kerja itu merupakan upaya sektor industri melakukan efisiensi. Kenaikan TDL juga memicu industri mengurangi jumlah mesin produksi untuk memangkas pemakaian listrik, sehingga kebutuhan terhadap mereka yang selama ini mengoperasikan mesin produksi juga berkurang. Sehingga, pengangguran dan kemiskinan akan sangat berpeluang semakin meningkat.

Floriasari (2009) dalam skripsinya yang berjudul dampak peningkatan subsidi listrik terhadap distribusi pendapatan rumahtangga melakukan penelitian dengan menggunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 2005. Hasil penelitiannya menunjukan kenaikan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan pendapatan tertinggi diterima oleh rumahtangga pengusaha golongan atas yang berada di perkotaan sekaligus pemilik modal. rumahtangga buruh pertanian akan mendapatkan pendapatan terkecil. Kenaikan subsidi listrik meningkatkan pendapatan namun kesenjangan pendapatan semakin lebar.

Penelitian tentang mengukur dampak kenaikan tarif dasar listrik terhadap konsumsi listrik dan pendapatan masyarakat yang dimuat dalam jurnal ekonomi dan moneter menggunakan metode analisis dampak dengan Social Accounting

Matrix (SAM). Hasil penelitian tersebut menunjukan kenaikan TDL sebesar 10

persen berdampak turunannya income riil rumahtangga buruh tani sekitar 1,47 persen dan rumahtangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen. Secara sektoral menyebabkan penurunan pada permintaan sektor - sektor ekonomi yang akan mengurangi nilai balas jasa faktor produksi sehingga penerimaan para pemilik modal bisa berkurang sampai 3,52 persen. Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan income riil adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah yaitu turun sebesar 5,26 persen. Dampak kenaikan TDL juga menyebabkan pengurangan balas jasa yang diterima perusahaan sekitar 1,46 persen. (Makmun dan Abdurahman 2003)

Sahara (2003), dalam tesisnya yang berjudul dampak kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, tarif telephon dan penyaluran dana kompensasi terhadap ekonomi makro dan sektoral di Indonesia melakukan penelitian dengan menggunakan alat analisis utama Computable General Equilibrium (CGE) dengan

(11)

model INDOF (Oktaviani 2000). Hasil penelitian menunjukan kebijakan menaikkan harga BBM, TDL dan tarif telephon yang dilakukan pemerintah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM lebih besar dari kenaikan TDL. Kenaikan TDL akan menyebabkan penurunan GDP riil sebesar 0,49 persen pada jangka pendek dan penurunan GDP riil sebesar 2,21 persen pada jangka panjang. Kenaikan TDL direspon oleh rumahtangga dengan penurunan konsumsi disemua sektor ekonomi pada jangka pendek sebaliknya pada jangka panjang berdampak pada peningkatan konsumsinya. Kenaikan TDL pada jangka pendek maupun panjang menyebabkan penurunan penggunaan tenaga kerja pada semua jenis pekerjaan.

Tribuana (2000) dengan menggunakan alat analisis utama Computable

General Equilibrium (CGE) melakukan pengkajian tekno ekonomi

ketenagalistrikan bidang harga jual tenaga listrik. Hasil Penelitian menunjukan kenaikan TDL sebesar 1 persen menyebabkan GDP riil turun hanya sebesar 0,002 persen pada kondisi short run, dan turun sebesar 0,04 persen pada kondisi jangka panjang. Untuk setiap 1 persen kenaikan TDL menyebabkan total investasi riil turun sebesar 0,01 persen pada kondisi jangka pendek dan turun sebesar 0,03 persen pada kondisi jangka panjang. Pada kondisi short-run, kenaikan TDL pengaruhnya relatif kecil (0,004 persen) terhadap penurunan penggunaan tenaga kerja, karena pada kondisi ini penggunaan kapital dan tenaga kerja relatif saling melengkapi. Pada kondisi jangka panjang, setiap 1 persen kenaikan tarif dasar listrik mengakibatkan penurunan penggunaan tenaga kerja sebesar 0,065 persen. Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa kenaikan tarif dasar listrik dampaknya relatif baik terhadap kinerja sektor industri dan komersial, maupun terhadap kinerja perekonomian secara nasional

Perbandingan hasil-hasil penelitian di atas disajikan pada lampiran 6. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat kenaikan TDL berpengaruh terhadap inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan konsumsi, penurunan permintaan tenaga kerja, dan penurunan investasi riil juga penurunan pendapatan rumahtangga. Hasil penelitian tersebut menunjukan dampak kenaikan TDL cukup komplek namun pemerintah tetap melakukan kebijakan menaikkan

(12)

TDL karena membengkaknya susbsidi listrik sangat membebani APBN. Hal inilah yang mendorong penelitian ini untuk melihat lebih jauh sektor sektor ekonomi yang rentan terhadap dampak kenaikan TDL dan respon kebijakan dalam meminimisasi dampak terhadap perekonomian Indonesia. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberi wacana yang lebih mendalam tentang kebijakan kenaikan TDL tahun 2010 dan rencana kenaikan TDL selanjutnya sehingga bermanfaat untuk menentukan kebijakan selanjutnya.

2.3 Kerangka Pemikiran

Analisis kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada penelitian ini sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dimulai dari kondisi adanya perubahan asumsi subsidi listrik pada APBN 2010. Kenaikan harga minyak mentah dunia dan meningkatnya laba perusahaan menyebabkan subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah melonjak sehingga membebani APBN. Pemerintah dalam mengatasi defisit APBN mulai membatasi subsidi listrik dan mulai 1 Juli 2010 memberlakukan kebijakan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap pelanggan.

Kenaikan TDL menyebabkan meningkatnya biaya produksi pada sektor-sektor ekonomi terutama sektor yang mengkonsumsi listrik dalam. jumlah besar pada proses produksinya. Peningkatan biaya produksi ini akan disikapi oleh perusahaan/produsen dengan mengurangi konsumsi listrik sehingga produksi barang/jasa akan berkurang yang berefek pada penurunan penawaran/supply barang dan jasa yang ada di pasar. Penurunan supply barang/jasa akan mendorong impor barang/jasa masuk kepasar dan sebaliknya akan mengurangi jumlah ekspor barang/jasa ke luar negeri. Sesuai dengan mekanisme pasar, kelangkaan barang/jasa yang tersedia semakin mendorong naiknya harga barang/jasa yang diperjual belikan di pasar.

Turunnya produksi barang/jasa pada sektor-sektor ekonomi akibat adanya kenaikan TDL menyebabkan turunnya kesempatan kerja dan pendapatan rumahtangga. Semakin rendahnya kesempatan kerja akan semakin menurunkan pendapatan riil rumahtangga. Dari sisi konsumen penurunan pendapatan ini berpotensi menurunkan konsumsi masyarakat yang akan memengaruhi jumlah

(13)

permintaan barang/jasa yang ada di pasar termasuk barang impor sehingga terjadi penurunan impor. Turunnya permintaan barang/jasa juga berdampak pada kenaikan harga barang/jasa yang ada dipasar sehingga akan terjadi keseimbangan harga baru. Sehingga secara bersamaan penurunan penawaran (supply) dan permintaan (demand) akan menyebabkan perubahan harga barang baru yang ada dipasar.

Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian.

Kenaikan TDL yang berdampak terhadap penurunan permintaan dan penawaran barang/jasa yang memengaruhi jumlah barang/jasa yang diekspor dan impor sehingga akan berpengaruh pada ekonomi makro Indonesia. Dengan demikian, kebijakan kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi defisit dapat memengaruhi kestabilan perekonomian nasional jika dilakukan tidak tepat. Pemerintah sadar akan dampak negatif kebijakan

Impor Harga Barang/jasa Supply Produksi Barang/Jasa Biaya Produksi Kenaikan Tarif Dasar Listrik

Permintaan Barang/jasa Kesempatan Kerja Pendapatan Rumahtangga Respon Kebijakan Ekonomi Makro Ekspor Impor Model CGE Model CGE

(14)

menaikkan TDL ini sehingga untuk meminimisasi dampak terhadap perekonomian Indonesia dilakukan kebijakan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap pelanggan. Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat idealnya juga merespon dengan kebijakan lain yang dapat meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu sektor-sektor yang rentan terhadap kenaikan TDL ini juga harus melakukan kebijakan untuk meminimisasi dampaknya negatif terhadap kelangsungan produksinya terutama pada sektor industri yang merupakan motor penggerak pembangunan. Alasan ini yang mendasari penelitian ini dalam menfokuskan analisisnya pada kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia

Paparan di atas menjelaskan dasar dan alur dari kerangka pikir pada penelitian ini. Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik sebagai salah satu strategi pemerintah dalam mengatasi defisit APBN, akan dianalisis menggunakan model CGE INDOTDL. Perbedaan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya adalah rumahtangga dalam penelitian ini telah didisagregasi menjadi 2 kelompok yaitu rumahtangga berdaya listrik 900 VA ke bawah dan 1300 VA ke atas. Sektor listrik juga didisagregasi menjadi listrik yang berdaya 900 VA ke bawah dan listrik berdaya 1300 VA ke atas sehingga dalam melakukan shock kenaikan TDL hanya dilakukan untuk pelanggan yang berdaya 1300 VA sesuai dengan kebijakan pemerintah. Penelitian ini akan merepresentasikan proses evaluasi atas efektivitas pelaksanaan kebijakan kenaikan TDL 1 Juli 2010 yang diberlakukan berbeda pada tiap golongan pelanggannnya dan adanya kebijakan PLN meningkatkan TDL industri tanpa persetujuan DPR pada awal tahun 2011. Penelitian ini juga akan menganalisis implikasi kebijakan dari hasil simulasi yang dihubungkan kembali pada tujuan pemerintah menerapkan kebijakan kenaikan TDL dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.

Gambar

Gambar 1  Dampak pengurangan subsidi terhadap keseimbangan ekonomi                       Makro.
Gambar  2 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua  faktor produksi
Gambar 3 Production possibility curve (PPC).
Gambar 5  Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam volumetrik, penentuan zat dilakukan dengan cara titrasi yaitu suatu proses dimana larutan baku atau titran (dalam bentuk larutan yang diketahui konsentrasinya)

Balla Lompoa yang pada masa kerajaan merupakan sebuah istana, sekarang difungsikan sebagai rumah tempat tinggal bagi raja tidak bermahkota.Kata istanatidak lagi

Kemampuan siswa melakukan perhitungan matematika dengan tepat ditunjukkan dengan prestasi siswa. Bila prestasi matematika siswa baik maka kemampuan siswa melakukan

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum dan setelah intervensi

79 Berdasarkan interpretasi picking horison yang terdiri dari lima horison, serta berdasarkan analisis stratigrafi maupun struktur pada data seismik (Gambar 6.10), dapat

Di sinilah kemudian tampak bagaimana pergeseran paradigma seni pertunjukan teater dari yang semula bersifat tradisional menjadi modern dikarenakan kehendaknya untuk

52 menyatakan bahwa laba atau rugi transaksi selisih kurs merupakan hasil dari pengaruh perubahan nilai tukar mata uang asing yang berbeda dengan mata uang

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang adalah faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker