Policy Paper
MODEL ALTERNATIF IMPLEMENTASI
PROGRAM REMAJA TERINTEGRASI:
PENGUATAN PERAN KELUARGA
Tim Peneliti:
Augustina Situmorang
Zainal Fatoni
Puguh Prasetyoputra
Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Policy Paper
MODEL ALTERNATIF IMPLEMENTASI
PROGRAM REMAJA TERINTEGRASI:
PENGUATAN PERAN KELUARGA
Tim Peneliti: Augustina Situmorang Zainal Fatoni
Puguh Prasetyoputra
vi + 25 hlm; 21 x 29,7 cm l Desember 2019
Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 KEPENDUDUKAN LIPI)
DAFTAR ISI
I. Latar Belakang……… 1
II. Remaja, Keluarga, dan Perilaku Berisiko di Era Globalisasi: Sintesa Penelitian Sebelumnya……….. 4
III. Pendekatan Multisektoral dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan Remaja……… 8
IV. Tantangan Implementasi Pendekatan Multisektoral dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan Remaja di Indonesia……… 12
V. Model Alternatif Implementasi Program Remaja Terintegrasi……… 13
VI. Penutup ……… 17
Daftar Pustaka………. 18
Policy Paper
MODEL ALTERNATIF IMPLEMENTASI
PROGRAM REMAJA TERINTEGRASI:
PENGUATAN PERAN KELUARGA
Tim Peneliti:
Augustina Situmorang, Zainal Fatoni, Puguh Prasetyoputra
Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2 Kependudukan LIPI)
R
emaja merupakan kelompok penduduk yang sangat penting dalam pembangunan. Selain karenajumlahnya yang sangat besar, remaja juga dapat disebut sebagai agen perubahan (agent of change) dan penerus pembangunan sebuah bangsa. Pada tahun 2015 data statistik (BPS, 2015) menunjukkan, lebih dari seperempat (25,7%) penduduk
Indonesia adalah mereka yang berusia remaja (10-24 tahun). Oleh karena itu, investasi terhadap remaja menjadi sangat penting. Namun dalam konteks kesehatan masyarakat, remaja
seringkali tidak dijadikan prioritas.1
1
Remaja dianggap sebagai kelompok penduduk yang paling sehat, karena dari faktor usia dianggap sudah melewati periode rentan terkena penyakit terkait
Perhatian terhadap kesehatan remaja baru dimulai pada beberapa dekade terakhir (WHO, 2014). Hal ini karena meningkatnya berbagai isu kesehatan di kalangan remaja yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku berisiko yang sebenarnya dapat dicegah
(Catalano dkk., 2012).
Perilaku berisiko remaja bertambah kompleks di era digital yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (The Lancet Child & Adolescent Health, 2018). Kemudahan akses terhadap internet seringkali diikuti oleh dampak negatif terhadap remaja seperti pornografi, prostitusi
infeksi yang sering terjadi pada usia balita dan belum terkena dampak penyakit terkait degeneratif yang terdapat pada penduduk usia lanjut.
terselubung dan perundungan (bullying). Survei yang dilakukan terhadap 400 remaja di Kota Medan menunjukkan bahwa semakin sering remaja mengakses internet, semakin tinggi kecenderungan mereka
melakukan perilaku berisiko (Fatoni, Situmorang, dan Prasetyoputra, 2017). Sebagai institusi yang paling kecil dalam masyarakat, keluarga
mempunyai peran yang sangat penting dalam memproteksi remaja dari
perilaku berisiko (Resnick dkk., 1997; Moretti & Peled, 2004; Blum dkk., 2014). Nilai-nilai dan norma sosial budaya serta agama yang berlaku dalam masyarakat, pertama kali didapatkan oleh individu di dalam keluarga. Oleh karena itu, keluarga diharapkan dapat melindungi dan memberi rasa aman terhadap remaja untuk terhindar dari perilaku berisiko. Namun tidak dapat dipungkiri, sesuai dengan perkembangan psikisnya (Whiteman, McHale, & Crouter, 2011) umumnya interaksi remaja dengan keluarga semakin berkurang, digantikan oleh peran kelompok
sebaya (peer group). Komunikasi remaja dengan keluarga juga semakin
renggang di era digital sekarang ini. Hasil studi P2 Kependudukan LIPI pada 2015-2018 menunjukkan bahwa keluarga belum mempunyai peran yang optimal dalam meningkatkan perilaku kesehatan remaja. Remaja maupun orang tua masih belum menemukan bagaimana cara berinteraksi sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi di era globalisasi (Fatoni, Situmorang, & Prasetyoputra, 2017).
Pentingnya peran keluarga dalam mengantisipasi perilaku berisiko
remaja juga disadari oleh pemerintah. Berbagai kebijakan dan program telah banyak dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait, namun hasil penelitian menunjukkan program-program pemerintah seperti Bina Keluarga Remaja, Kampung Keluarga Berencana (KB), Pusat Informasi dan Konseling Remaja/ Mahasiswa/ Masyarakat (PIK-R/Mahasiswa/ Masyarakat), Posyandu Remaja, Pusat
Mengapa studi remaja dan
keluarga penting dilakukan?
 Remaja merupakan kelompok pendudukyang sangat penting dalam pembangunan.
 Dalam konteks kesehatan masyarakat,
remaja seringkali tidak menjadi prioritas.
 Perhatian terhadap kesehatan remaja
baru dimulai pada beberapa dekade terakhir.
 Kebanyakan dari perilaku perilaku
berisiko remaja dapat dicegah.
 Berbagai kebijakan dan program telah
banyak dilakukan, namun belum banyak melibatkan remaja, keluarga, dan masyarakat secara aktif.
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), belum banyak dikenal remaja (Fatoni, Situmorang, & Prasetyoputra, 2017). Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya sosialisasi di tingkat daerah terkait program tersebut. Selain itu, beberapa program cenderung berjalan sendiri-sendiri dan bersifat ad-hoc sehingga memiliki jangkauan yang terbatas dan tidak berkesinambungan. Padahal bila dikaji lebih dalam,
umumnya konsep dan proses penyusunan program-program tersebut sudah melalui mekanisme yang baik dan benar (misalnya
evidence-based, participatory,
transparancy, dan bottom up), namun
dalam implementasinya belum menunjukkan hasil yang optimal.2
Mengingat kompleksitas permasalahan terkait remaja dan peran keluarga, diperlukan pendekatan yang holistik, komprehensif, dan terintegrasi serta dapat di implementasikan di tingkat kabupten/kota.
Policy paper ini bertujuan untuk
menyusun model alternatif implementasi program remaja terintegrasi, termasuk di dalamnya penguatan peran keluarga. Sebelum
2
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith (1973:199), yang menunjukkan bahwa di sebagian besar negara berkembang, meskipun sebuah kebijakan sudah disusun dengan cara yang baik dan benar, dalam implementasinya tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena keterbatasan sarana prasarana, sumberdaya dan kapabilitas pelaksana program.
pengembangan model, dilakukan sintesa hasil penelitian yang telah dilakukan selama empat tahun (2015-2018) di Kota Medan, Surabaya dan Mataram. Kemudian dikembangkan model alternatif program remaja yang implementatif dan terintegrasi di tingkat kabupaten/kota.
Informasi utama dalam penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian dengan penggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan pada bulan Maret-Juli tahun 2019 di Kota Mataram, Surabaya, dan Medan. Ketiga lokasi tersebut merupakan lokasi awal yang telah ditetapkan pada tahun pertama dari rangkaian studi selama lima tahun. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, studi ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, terutama wawancara dan diskusi di tingkat pusat dan daerah terkait usulan model yang ingin diimplementasikan. Di tingkat pusat, narasumber di kementerian/lembaga terkait antara lain di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Sementara
di tingkat daerah, narasumber berasal dari pemangku kepentingan terkait (institusi pelaksana, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Kota [Bappeko], Dinas Kesehatan, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Dinas Sosial, Dinas
Perlindungan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, lembaga swadaya masyarakat [LSM]/organisasi non-pemerintah [Ornop] terkait remaja dan juga dengan melibatkan kelompok sasaran (remaja dan orang tua). Pengamatan (observasi) dan studi kepustakaan (desk review) juga
dilakukan untuk mendukung upaya pengembangan model alternatif yang ditawarkan.
S
tudi ini merupakan penelitian tahun kelima dari rangkaian studi yang dirancang untuk lima tahun (2015-2019) terkait keluarga dan kesehatan di era globalisasi. Studi tersebutmenggunakan pendekatan model ekologis yang dikembangkan dari WHO (2014) (Gambar 1). Fokus studi tahun terakhir ini ditujukan untuk menyusun model alternatif
implementasi program remaja terintegrasi, termasuk di dalamnya penguatan peran keluarga dengan menyelaraskan dua perspektif, dari
masyarakat dan pembuat kebijakan/program.
Pada tahun pertama (2015), dengan menganalisis data sekunder (Survei Kesehatan Reproduksi Remaja - SKRR 2012) studi difokuskan pada pemetaan kondisi remaja di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (Fatoni, Situmorang, Seftiani, Prasetyoputra, 2017). Dari pemetaan tersebut, diperoleh gambaran
karakteristik dan kondisi kesehatan reproduksi remaja, termasuk gambaran perilaku remaja, di tingkat provinsi. Namun berhubung keterbatasan
II. Remaja, Keluarga, dan Perilaku Berisiko di Era
Globalisasi: Sintesa Penelitian Sebelumnya
 Policy paper ini bertujuan untuk
menyusun model alternatif implementasi program remaja terintegrasi, termasuk di dalamnya penguatan peran keluarga.
 Informasi utama diperoleh dari hasil penelitian dengan
penggunakan pendekatan kualitatif di Kota Mataram, Surabaya, dan Medan.
 Wawancara dan diskusi di
dilakukan di tingkat pusat dan daerah terkait usulan model yang ingin diimplementasikan.
sampel, data tersebut belum dapat menggambarkan kondisi remaja di tingkat kabupaten/kota. Data SKRR 2012 juga belum banyak mengaitkan perilaku remaja dengan perkembangan teknologi (internet dan media sosial) yang merupakan salah satu proxy era globalisasi dalam penelitian ini. Pada tahun kedua (2016) studi
difokuskan pada dinamika hubungan remaja dengan keluarga, khususnya terkait dengan perilaku berisiko remaja Kota Medan di era globalisasi (Fatoni, Situmorang, Prasetyoputra, 2016). Studi yang menggunakan pendekatan kualitatif ini menunjukkan komunikasi antara orang tua dan remaja khususnya terkait perilaku berisiko masih belum berjalan dengan baik. Di satu sisi, remaja cenderung tidak terbuka pada orang tua dan cenderung menyaring informasi yang disampaikan. Sebagian besar remaja yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka hanya menyampaikan hal-hal yang baik saja kepada orang tua. Di sisi lain, orang tua cenderung memberi nasehat, bukan berdiskusi. Selain itu, sebagian orang tua, khususnya yang berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah,
mengatakan mereka merasa tidak nyaman untuk berdiskusi mengenai perilaku berisiko seksual kepada anaknya. Perkembangan teknologi informasi juga berdampak pada semakin renggangnya hubungan antara remaja dan orang tua. Remaja beranggapan bahwa orang tua tidak memahami perkembangan teknologi digital, sehingga mereka cenderung
tidak melibatkan orang tua dalam berinteraksi dengan media digital. Pada tahun ketiga (2017) untuk mendapatkan informasi tentang pola dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku berisiko remaja dilakukan survei terhadap 400 remaja di Kota Medan (Fatoni, Situmorang, Prasetyoputra, 2017). Studi tersebut menunjukkan bahwa perilaku berisiko remaja semakin kompleks. Sebagai contoh, munculnya isu-isu baru yang terkait dengan perilaku berisiko remaja (LGBT, bullying, kemudahan akses konten pornografi di era digital, dan pola perilaku pacaran yang
dipengaruhi perkenalan/interaksi melalui media sosial). Dari hasil survei, misalnya, diketahui bahwa 24,3% remaja mengaku berteman dekat dengan laki-laki penyuka sesama jenis, dan 22,3% mempunyai teman
Gambar 1. Tahapan dan pendekatan studi (dimodifikasi dari ecological model, WHO, 2014)
Globalisasi (teknologi informasi & komunikasi) Kelembagaan sosial Lingkungan sosial Lingkungan keluarga Individu Remaja berkualitas Akses terhadap media
massa (radio, TV, koran), media online (internet), media sosial (aplikasi FB, BBM, twitter, line, path, Instagram, dll), media komunikasi (telepon rumah, HP) Gender, kelompok sebaya Umur, jenis kelamin, kegiatan utama, pendidikan, etnis, agama, tempat tinggal, kebiasaan/aktivitas sehari-hari Pemerintah, ornop (yayasan, LSM), pendidikan (sekolah, kampus), agama (remaja masjid/gereja dll)
Umur, jenis kelamin, kegiatan utama,
pendidikan, etnis, agama, status perkawinan, tempat tinggal, interaksi dalam keluarga
Remaja berkualitas dilihat dari pengetahuan, sikap, dan perilaku
terkait: pola makan, narkoba,
pornografi, seks pranikah, dan bullying
2016 (Hubungan Antar Generasi) 2015 (Pemetaan) 2018 (Strategi Daerah) 2019 (Alternatif Strategi) 2017 (Perilaku Berisiko Remaja)
Lebih lanjut, ditemukan bahwa remaja yang mempunyai teman dekat
penyuka sesama jenis merupakan salah satu determinan perilaku berisiko remaja. Sementara itu, pemahaman remaja terkait kesehatan reproduksi dan seksual masih terbatas. Hanya 14% responden yang mengetahui masa subur seorang wanita dan lebih dari sepertiga (40%) responden mengatakan bahwa wanita tidak dapat hamil bila hanya sekali melakukan hubungan seksual.Hasil survei juga menunjukkan perkembangan teknologi memiliki pengaruh terhadap perilaku remaja yang terkait dengan isu seksualitas. Sekitar dua dari tiga responden laki-laki mengaku pernah mengakses sendiri konten pornografi, umumnya dengan menggunakan telepon
genggam milik sendiri. Hal ini semakin mempersulit orang tua dalam
mengawasi anak remajanya.
Masalah-masalah tersebut diperumit oleh masih sulitnya komunikasi antara remaja dan orang tua. Komunikasi hanya berjalan satu arah, dari orang tua ke remaja. Remaja yang pernah berdiskusi dengan ayah mengenai seksualitas dan pornografi hanya 20% (19,1% pada remaja laki-laki dan 20,8% pada remaja perempuan). Sementara yang pernah berdiskusi dengan ibu mengenai isu yang sama sebanyak 44% (32,2% pada remaja laki-laki dan 55,9% pada remaja perempuan).
Selain itu, survei pada tahun 2017 juga mengumpulkan informasi terkait interaksi remaja dengan lingkungan dan kelembagaan sosial (Fatoni, Situmorang, Prasetyoputra, 2017). Hasil survei tersebut menunjukkan keterpaparan remaja terhadap
program-program pemerintah cukup rendah (Tabel 1).
Tabel 1. Keterpaparan remaja terhadap berbagai program di Kota Medan Program terkait remaja Pernah
mendengar (%)
Pernah bergabung (%)
Palang merah remaja (PMR) 78,6 16,2
Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) 24,2 7,0 Pusat Informasi dan Konseling Mahasiswa (PIK-M) 24,4 8,5
Gerakan Anti Narkotika (Granat) 69,8 11,9
Kegiatan remaja/pemuda lainnya yang dikelola LSM (CMR, SaHIVa, dll.)
35,2 11,4
Keterangan: CMR = Centra Mitra Remaja, SaHIVa = Sahabat HIV/AIDS
Sumber: Survei Determinan Remaja Berkualitas di Era Globalisasi (Fatoni, Situmorang, Prasetyoputra, 2017).
Kajian pada tahun keempat (2018) difokuskan pada strategi pemerintah daerah untuk memperkuat peran keluarga menuju remaja berkualitas di era globalisasi, termasuk di dalamnya pandangan remaja dan keluarga terkait kebijakan dan program yang ada di Kota Medan, Surabaya, dan Mataram (Prasetyoputra, Situmorang, Fatoni, Baskoro, 2018). Hasil kajian menunjukkan, pertama, dari sisi kebijakan/strategi daerah, hampir tidak ada inovasi program remaja di tingkat daerah. Program/kegiatan remaja cenderung bersifat ad-hoc, seremonial, dan monoton. Kedua, dari sisi institusi pelaksana, hasil studi menunjukkan minimnya keberadaan
staf yang bertanggung jawab secara khusus dalam mengurus program yang berkaitan dengan remaja. SDM yang ada juga kurang memiliki kapabilitas dan komitmen dalam berinteraksi dengan remaja. Ketiga, dari sisi kelompok sasaran, hasil studi menunjukkan remaja masih belum dilihat sebagai sebuah prioritas di berbagai program yang disediakan oleh pemerintah. Remaja dan orang tua juga menyadari perlunya peran keluarga dalam melakukan upaya yang bersifat preventif dalam mengantisipasi perilaku berisiko remaja.
P
endekatan multisektoral adalah sebuah kolaborasi yangdisengaja/direncanakan (intentional
collaboration); berbagai sektor dan
pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat sipil/NGO, akademisi, sektor swasta dan media), berkumpul dan berkolaborasi dalam sebuah proses yang diatur untuk mencapai luaran bersama (shared outcomes) (PMNCH, 2018). Pendekatan multisektoral terkait program kesehatan dan pembangunan
berkelanjutan, khususnya di negara-
negara dengan pendapatan rendah dan menengah, akhir-akhir ini menjadi perhatian di tingkat global (Global Health Insights, 2017; PMNCH, 2018; Rasanathan dkk., 2018; Salunke & Lai, 2017). Hal ini antara lain karena banyaknya program terkait kesehatan perempuan dan remaja di negara-negara tersebut yang tidak
menunjukkan hasil yang optimal, bahkan cenderung stagnan
(Rasanathan dkk., 2018). Rasanathan dkk. (2018) dalam studinya mengenai pelaksanaan
III. Pendekatan Multisektoral dalam Peningkatan
Kualitas Kesehatan Remaja
kegiatan multisektoral untuk
kesehatan di negara-negara dengan pendapat rendah dan menengah menjelaskan 10 strategi yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pemahaman mengenai siapa aktor-aktor kunci dan ekosistem politik termasuk tipe kegiatan yang dibutuhkan dalam kegiatan multisektoral dan pemetaan kepentingan dan hirarki masing-masing sektor. Rasanathan dkk. (2018) berpendapat bahwa tantangan terbesar dalam pelaksanaan kegiatan
multisektoral adalah masalah politik dibandingkan masalah teknis. Diperlukan pemilihan lembaga/sektor yang akan menjadi koordinator dari sebuah kegiatan multisektoral.
2. Membuat kerangka isu/
permasalahan yang strategik. Hal ini diperlukan agar masing-masing sektor dapat mengaitkan outcome yang dituju dengan tanggung jawab dan tugas masing-masing lembaga. Kerangka permasalahan tersebut juga perlu dikaitkan dengan agenda politik yang lebih tinggi (global, nasional, daerah).
3. Mendefinisikan peran dengan jelas, termasuk rangkaian intervensi yang spesifik
berdasarkan sektor. Penentuan peran ini termasuk menentukan indikator keberhasilan. Tanpa pembagian peran yang jelas, akan
sulit mengukur akuntabilitas masing-masing sektor sesuai dengan kontribusinya.
4. Menggunakan struktur yang telah ada, kecuali ada alasan yang kuat untuk tidak menggunakannya. Keberlanjutan sebuah program akan lebih terjamin bila
dimasukkan ke dalam program lembaga yang telah ada
dibandingkan membentuk lembaga baru.
5. Melibatkan sektor-sektor lain di luar pemerintah. Partisipasi sektor di luar pemerintah perlu
ditingkatkan khususnya peran organisasi non pemerintah, akademisi, dan sektor swasta, termasuk media.
6. Memperhatikan konflik
kepentingan dan mengelola “tarik-ulur” (tradeoffs). Hal ini penting dalam pelibatan sektor swasta, ada kemungkinan keterlibatan dalam program kesehatan dianggap merupakan kerugian, namun dalam jangka waktu panjang dapat memberi keuntungan. Meskipun demikian, pelibatan sektor swasta yang berdampak pada kondisi kesehatan seperti alkohol, rokok, dan lain-lain, sebaiknya tidak dilibatkan. 7. Distribusi kepemimpinan.
Dukungan pimpinan
daerah/politik/sektor sangat dibutuhkan, khususnya dalam
tahapan awal kegiatan
multisektoral. Namun dalam pelaksanaannya, dukungan pimpinan pada setiap sektor dan tingkatan perlu diperhatikan. Mengingat pimpinan seringkali kurang menguasai isu spesfik, diperlukan “focal point” di setiap sektor.
8. Mengembangkan sistem
pendanaan dan monitoring untuk mendorong kolaborasi. Beberapa model pendanaan dapat
digunakan antara lain pendanaan bersama, pengalokasian dana kepada salah satu
kementerian/sektor yang kemudian didistribusikan ke masing-masing sektor merupakan salah satu model yang cukup berhasil dalam beberapa kasus. 9. Penguatan proses implementasi
dan kapasitas. Keterbatasan kapasitas institusi dalam
mengimplementasikan kegiatan multisektoral merupakan salah satu tantangan untuk negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Terdapat
perbedaan budaya kerja pada masing-masing sektor yang memengaruhi proses monitoring dan sharing dataset.
10. Dukungan terhadap proses saling belajar dan riset implementasi. Mengingat keterbatasan kapasitas pada sebagian sektor, diperlukan berbagi pengetahuan dan
pengalaman antara berbagai pemangku kepentingan yang terlibat.
Pemahaman aktor kunci, ekosistem politik,dan tipe kegiatan.
Membuat kerangka permasalahan/isu strategik.
Mendefinisikan peran dengan jelas, termasuk intervensi spesifik.
Menggunakan struktur yang telah ada.
Melibatkan sektor lain di luar pemerintah.
Memperhatikan konflik kepentingan dan
tradeoffs.
Distribusi kepemimpinan.
Mengembangkan sistem pendanaan dan monitoring untuk mendorong kolaborasi.
Penguatan proses implementasi dan kapasitas.
Dukungan proses saling belajar dan riset implementasi.
10 strategi pendekatan multisektoral (Rasanathan dkk., 2018) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Selain hal tersebut di atas, Salunke dan Lai (2017) mengatakan ada beberapa kondisi ideal yang diperlukan dalam pelaksanakan kegiatan multisektoral. Kondisi tersebut antara lain:
1. Kesempatan dan mekanisme untuk melakukan kolaborasi multisektoral secara rutin, 2. Sumber daya dan alokasi waktu
yang memadai untuk melakukan kolaborasi multisektor yang efektif,
3. Keterbukaan, inklusif, dan diskusi informatif antar stakeholders, 4. Sebuah proses kebijakan dan
pembentukan kebijakan yang dipengaruhi oleh masukan multisektoral,
5. Monitoring dan evaluasi kerjasama kolaborasi untuk pembelajaran dan perbaikan, 6. Berbagi bukti tentang manfaat
pendekatan lintas sektor untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Studi yang dilakukan oleh Buang dkk. (2018) menunjukkan keberhasilan kolaborasi multisektoral dalam
program imunisasi HPV pada remaja usia sekolah di Malaysia. Studi
tersebut mengemukakan berbagai manfaat dalam kolaborasi, seperti mobilisasi dan pemanfaatan sumber daya yang lebih baik, serta peluang untuk mencari solusi inovatif untuk masalah-masalah yang ada. Selain itu
kolaborasi juga berkontribusi terhadap proses perencanaan implementasi yang lebih terinci untuk
mengantisipasi kebutuhan dan permasalahan.
Di Indonesia, dalam menghadapi berbagai permasalahan terkait perilaku berisiko pada remaja, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 136 dan Pasal 137 (Pemerintah Republik Indonesia, 2009). Dalam UU tersebut, dikatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan remaja dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja Tahun 2017-2019 juga sebenarnya telah mengindentifikasi peran dan tanggung jawab berbagai institusi pemerinah dan
non-pemerintah dalam peningkatan kualitas kesehatan anak usia sekolah dan remaja. Namun tampaknya kebijakan ini belum
diimplementasikan secara optimal. Selain itu pemerintah melalui
stakeholders terkait telah menyusun
berbagai kebijakan dan program melalui kementerian dan lembaga terkait (lihat lampiran 1). Sebagai
contoh adalah program Generasi Berencana (GenRe) serta Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kemudian ada juga program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) dan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) serta Posyandu Remaja yang dikelola oleh
Kementerian Kesehatan. Mengingat isu terkait perilaku berisiko remaja sangat kompleks dan sensitif, masih ditemui berbagai kendala, baik pada tingkat kebijakan maupun
implementasi (Situmorang, 2011;
Utomo & McDonald, 2009). Selain itu, banyak program yang disusun
kementerian dan lembaga terkait yang berjalan sendiri-sendiri dan
berdampak pada rendahnya minat remaja untuk berpartisipasi
(Prasetyoputra, Situmorang, Fatoni, Baskoro, 2018). Diperlukan sebuah model yang dapat digunakan sebagai panduan dalam proses
pengintegrasian berbagai program yang telah dibuat.
M
engacu pada strategi utama dan kondisi ideal yang telahdikemukakan sebelumnya
(Rasanathan dkk, 2018; Salunke & Lai, 2017), penelitian ini menemukan beberapa tantangan yang di hadapi pemerintah daerah maupun sektor terkait dalam implementasi kegiatan terkait remaja yang komprehensif dan terintegrasi. Tantangan tersebut
utamanya ditemui di Kota Medan dan Kota Mataram. Sementara
dibandingkan dengan kedua kota lainnya, kondisi di Kota Surabaya menunjukkan kondisi yang lebih baik.
Secara umum tantangan implementasi yang dihadapi antara lain sebagai berikut.
 Program remaja belum dijadikan sebagai prioritas pembangunan di daerah. Oleh karena itu, kegiatan terkait remaja seringkali
dihapuskan ketika dihadapkan pada keterbatasan alokasi dana.  Kurangnya komitmen pemerintah
daerah termasuk pimpinan lintas sektor terhadap pembangunan kesehatan remaja. Di ketiga lokasi penelitian, tidak ditemukan aktor pada level pimpinan daerah
IV. Tantangan Implementasi Pendekatan
Multisektoral dalam Peningkatan Kualitas
maupun lintas sektor yang mempunyai komitmen tinggi terhadap program remaja. Kalaupun ada biasanya terbatas pada tingkat pelaksana.
 Kebijakan dan program terkait remaja sepenuhnya mengacu pada program sektor di tingkat pusat. Namun umumnya pelaksana program kurang mempunyai pemahaman yang memadai terhadap program pusat. Oleh karena itu, ketika akan melakukan kegiatan lintas sektor, mereka mengalami kesulitan. Selain masih ditemukan ego sektoral, persoalan bagaimana mengukur
keberhasilan kinerja masing-masing sektordalam kegiatan yang terintegrasi juga menjadi salah satu kendala.
 Sebagian besar pengelola kegiatan remaja di daerah mempunyai kapabilitas yang terbatas dalam memilih program nasional dan mengembangkan program terkait remaja yang sesuai dengan kondisi daerah. Ketika diminta untuk menjelaskan program prioritas
daerah, umumnya yang dijelaskan adalah program pusat.
 Pertemuan koordinasi lintas sektor sangat jarang dilakukan. Beberapa narasumber dari salah satu sektor di Kota Medan, misalnya,
mengatakan bahwa secara
institusi, beberapa sektor di Kota Medan seperti „anak ayam
kehilangan induk‟. Peran koordinasi yang seharusnya dijalankan oleh Bappeko tidak dilakukan dengan semestinya.
B
erdasarkan dinamikaimplementasi program terkait remaja di ketiga wilayah penelitian, studi ini mengembangkan model alternatif implementasi program remaja
terintegrasi. Gambar 2 merupakan Model Implementasi Program Remaja Terintegrasi yang akan diusulkan. Gambar tersebut menggambarkan proses pelaksanaan kebijakan dan program dari tingkat pusat sampai
V. Model Alternatif Implementasi Program
Remaja Terintegrasi
Tantangan Pendekatan
Multisektoral dalam Peningkatann
Kualitas Kesehatan Remaja di
Indonesia:
 Program remaja belum dijadikan sebagai
prioritas pembangunan di daerah.
 Kebijakan dan program terkait remaja
sepenuhnya mengacu pada program sektor di tingkat pusat.
 Kurangnya koordinasi lintas sektor terkait
dengan daerah untuk mewujudkan kegiatan yang terintegrasi. Seperti yang telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, pemerintah telah banyak merumuskan kebijakan untuk meningkatkan kualitas remaja. Di dalam proses tersebut, Bappenas berperan dalam mengkoordinasi perumusan, memantau serta
mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut pada tingkat nasional. Kebijakan-kebijakan yang ada, agar berdampak pada peningkatan kualitas remaja, dioperasionalkan dalam
bentuk program dan kegiatan yang dirumuskan oleh kementerian/ lembaga (K/L) pada sektor-sektor terkait. Dalam tahapan tersebut,
terdapat Kemenko PMK yang bertugas menyelenggarakan koordinasi,
sinkronisasi, dan pengendalian urusan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kemenko PMK mengkoordinasikan K/L terkait seperti Kemdikbud, Kemenkes, Kemensos, KPP-PA, Kemenpora, dan instansi lain yang dianggap perlu (Kemenko PMK, 2019). Untuk mendukung hal ini, merupakan salah satu syarat yang penting yakni keberadaan paying hukum terkait pembagian peran masing-masing instansi dalam mewujudkan kolaborasi multisektoral.
Kebijakan, program, dan kegiatan yang telah dibuat pada tingkat pusat akan diteruskan kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota) melalui pemerintah provinsi sebagai
“perpanjangan tangan” pemerintah pusat. Kemudian, program dan
kegiatan akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Sebagai contoh, program PKPR akan dijalankan oleh Dinas Kesehatan melalui puskesmas sebagai institusi yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Dalam tahapan ini terdapat Bappeko yang bertugas mengkoordinasi pelaksanaan program dan kegiatan yang ada di level
pemerintah kabupaten/kota. Bappeko bertanggung jawab kepada
Walikota/Sekda masing-masing daerah. Koordinasi dilakukan untuk mengurangi kemungkinan tumpang tindih program dan kegiatan antar OPD sehingga program dan kegiatan semakin terintegrasi. Salunke dan Lal (2017) mengemukakan bahwa salah satu syarat agar koordinasi dapat terjadi adalah kepemimpinan pada level kebijakan untuk merencanakan dan mengeksekusi kolaborasi
multisektoral secara baik. Selain itu, seluruh pemangku kepentingan harus memiliki visi dan perspektif yang selaras dan saling berperan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam pelaksanaannya, jajaran perangkat kelurahan/desa juga berperan penting dalam memastikan program dan kegiatan bermanfaat bagi sasaran. Sebagai contoh, program Posyandu Remaja dalam
penyelenggaraan berbagai
kegiatannya menggandeng camat dan lurah setempat (Prasetyoputra,
PKBI CMR KOORDINATOR FORUM GENRE
Gambar 2.
Model Implementasi
Program Remaja
Terintegrasi
KOORDINATOR POSYANDU REMAJA PIK-REMAJA/ MAHASISWA BKR KOTA LAYAK ANAK UKS PEMBINAAN REMAJA DI LINGKUNGAN MEDIA MENJALANKANFUNGSI KIE & KONTROL ORNOP/
SWASTA
KEMITRAAN
PLKB
INSTITUSI/SEKTOR PELAKSANA DI TINGKAT DAERAH
DINSOS DINKES BKKBD/DP5A /DPPKB KPPAD BAPPEKO PUSKESMAS LURAH KOORDINATOR
KEGIATAN/PROGRAM TERKAIT REMAJA
KEMENKO PMK KEBIJAKAN NASIONAL BIDANG TERKAIT REMAJA DINAS PENDIDIKAN SEKOLAH KEMENTERIAN/SEKTOR TERKAIT BIDANG TERKAIT REMAJA BIDANG TERKAIT REMAJA BIDANG TERKAIT REMAJA SD DAN SMP WALIKOTA /SEKDA CAMAT OPD LAINNYA PKPR Koordinasi & kolaborasi
ORGANISASI KEL. SASARAN ORGANISASI KEL. SASARAN ORGANISASI KEL. SASARAN DEWAN ANAK SISWA DAN KOMITE ORTU KARANG TARUNA
Selain itu, dalam praktiknya, program dan kegiatan untuk remaja tidak hanya berasal dari pemerintah, tetapi juga ornop. Dalam hal ini kemitraan menjadi penting agar lebih banyak remaja yang mendapatkan manfaat dari program dan kegiatan (sasaran lebih luas).
Aspek lain yang penting dalam pelaksanaan program dan kegiatan untuk remaja adalah kelompok sasaran. Agar program dan kegiatan dapat berjalan sebagaimana mestinya, sasarannya harus jelas dan memiliki kepengurusan yang diganti secara berkala (Smith, 1973). Kasus Posyandu Remaja di Puskesmas Tambak Rejo di Kota Surabaya dapat menjadi contoh yang baik akan pentingnya
kepengurusan dalam sasaran
(Prasetyoputra, Situmorang, Fatoni, & Baskoro, 2018). Kepengurusan
kelompok sasaran Posyandu Remaja merupakan remaja yang ditunjuk sebagai koordinator yang
menghubungkan para remaja dengan staf puskesmas yang menangani kegiatan Posyandu Remaja.
Begitu pula dengan program-program terkait remaja lainnya yang memiliki kelompok sasaran yang jelas.
Aspek terakhir dari model program terintegrasi adalah peran media massa. Peran media massa telah lama dikenal dalam program kesehatan yang
bersifat promotif dan preventif karena kemampuan menjangkau audiens yang sangat luas (Flora, Maibach, & Maccoby, 1989). Media massa yang dimaksud mencakup televisi, radio, koran, dan majalah. Dengan
meluasnya cakupan internet, daya dari media massa menjadi semakin luas (Abroms & Maibach, 2008). Menurut Flora, Maibach, dan Maccoby (1989), media massa memiliki empat peranan yakni: (a) media sebagai educator, (b) media sebagai supporter, (c) media sebagai promoter, dan (d) media sebagai supplement. Selain itu, media massa juga dapat memengaruhi kebijakan, baik pada proses perumusan maupun pada tahap implementasi (Koch-Baumgarten & Voltmer, 2010). Mengingat pentingnya peran media massa, maka mereka dapat dimanfaatkan untuk
mendukung implementasi kebijakan dan program di daerah melalui kolaborasi multisektoral.
Kerangka Implementasi
Kebijakan (Smith, 1973)
I
mplementasi pendekatan yang bersifat multisektoral yang terintegrasi membutuhkan kondisi ideal yang perlu dipersiapkan. Komitmenpemerintah daerah dan peran aktor di masing-masing sektor dan di setiap tingkatan birokrasi merupakan salah satu faktor penting. Keberadaan payung hukum terkait pembagian peran masing-masing instansi
merupakan salah satu syarat penting dalam mewujudkan kolaborasi multisektoral.
Selain itu, membangun indikator yang komprehensif dan secara rinci
berdasarkan peran dan tanggung jawab sektor dalam pendekatan multisektoral menjadi sangat penting. Hal ini utamanya karena salah satu evaluasi keberadaan sebuah lembaga pemerintah didasarkan pada kinerja
yang dapat diukur. Pengembangan indikator capaian harus dapat
merefleksikan kolaborasi multisektoral dan kesinambungan program dan kegiatan.
Mengingat keterbatasan kapabilitas dan kapasitas pemerintah daerah terkait program kesehatan remaja, diperlukan bimbingan/mentoring dari pemerintah pusat dalam memahami dan menyusun program prioritas daerah sesuai dengan kondisi masing-masing.
Orang tua yang mempunyai anak remaja perlu dilihat sebagai salah satu kelompok sasaran yang tidak kalah penting dari remaja. Peningkatan peran keluarga dalam mempersiapkan remaja untuk memiliki fondasi yang kokoh dalam menghindari perilaku berisiko menjadi bertambah penting dalam era globalisasi sekarang ini.
VI. Penutup
Komitmen pemerintah daerah dan peran aktor di masing-masing sektor dan di setiap tingkatan birokrasi merupakan faktor penting.
Keberadaan payung hukum terkait pembagian peran masing-masing instansi penting dalam mewujudkan kolaborasi multisektoral.
Membangun indikator yang komprehensif dan secara rinci berdasarkan peran dan tanggung jawab sektor dalam pendekatan multisektoral serta merefleksikan kolaborasi dan kesinambungan program/kegiatan sangat penting.
Pemerintah pusat perlu melakukan bimbingan/mentoring terhadap pemerintah daerah dengan menyiapkan juklak dan juknis serinci mungkin.
 Orang tua yang mempunyai anak remaja perlu dilihat sebagai salah satu kelompok sasaran yang tidak kalah penting dari remaja.
Daftar Pustaka
Abroms, L. C., & Maibach, E. W. (2008). The Effectiveness of Mass
Communication to Change Public Behavior. Annual Review of Public
Health, 29(1), 219-234. doi:
10.1146/annurev.publhealth.29.020 907.090824
Badan Pusat Statistik. (2015). Hasil Survei
Penduduk Antas Sensus 2015.
Jakarta: Badan Pusat Statistik. Retrieved from
https://bps.go.id/website/pdf_pu blikasi/Penduduk-Indonesia-hasil-SUPAS-2015_rev.pdf.
Badan Pusat Statistik, Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Kesehatan, & ICF International. (2013). Indonesia Demographic and
Health Survey 2012: Adolescent Reproductive Health. Jakarta: Badan
Pusat Statistik, Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Kesehatan, & ICF International. Retrieved from
http://dhsprogram.com/pubs/pd f/FR281/FR281.pdf.
Blum, R., W., Astone, N. M., Decker, M. R., & Mouli, V. C. (2014). A conceptual framework for early adolescence: a platform for research. International
Journal of Adolescent Medicine and Health, 26(3), 321. doi:
10.1515/ijamh-2013-0327
Buang, S. N., Ja‟afar, S., Pathmanathan, I., & Saint, V. (2018). Human
papillomavirus immunisation of adolescent girls: improving coverage through multisectoral collaboration in Malaysia. BMJ,
363, k4602. Retrieved from
http://www.bmj.com/content/36 3/bmj.k4602.abstract.
doi:10.1136/bmj.k4602
Catalano, R. F., Fagan, A. A., Gavin, L. E., Greenberg, M. T., Irwin, C. E., Ross, D. A., & Shek, D. T. L. (2012). Worldwide application of
prevention science in adolescent health. The Lancet, 379(9826), 1653-1664. doi:
10.1016/S0140-6736(12)60238-4 Fatoni, Z., Situmorang, A., &
Prasetyoputra, P. (2016). Peran
Keluarga dan Perilaku Berisiko Remaja di Era Globalisasi: Kasus Kota Medan (Laporan Penelitian). Jakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Fatoni, Z., Situmorang, A., &
Prasetyoputra, P. (2017). Keluarga
dan Perilaku Berisiko Remaja Kota Medan Terkait Seksualitas di Era Globalisasi (Laporan Penelitian).
Jakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Fatoni, Z., Situmorang, A., Seftiani, S., & Prasetyoputra, P. (2017). Remaja
dan Perilaku Berisiko di Era Globalisasi. Dalam: Keluarga dan
Globalisasi di Indonesia: Pemetaan Data Terkait Remaja, Ibu dan Anak, serta Penduduk Lanjut Usia (Lansia). Editor: Hartono, D & Astuti, Y. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Flora, J. A., Maibach, E. W., & Maccoby, N. (1989). The Role of Media Across Four Levels of Health Promotion Intervention. Annual Review of
10.1146/annurev.pu.10.050189.001 145
Global Health Insights. (2017). Case Study
Development based on a rapid review of the evidence: Collaborating Across Sectors for Women’s, Children’s, and Adolescents’ Health (Working Report). Geneva: Partnership for
Maternal, Newborn, and Child Health - World Health
Organization Retrieved from https://www.who.int/pmnch/kn owledge/working-report-case-study-development.pdf Kementerian Kesehatan RI. (2014).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Retrieved from
http://kesga.kemkes.go.id/images /pedoman/PMK%20No.%2025%2 0ttg%20Upaya%20Kesehatan%20A nak.pdf.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja Tahun 2017-2019. Jakarta:
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kemenko PMK RI. (2019). Profil:
Kedudukan, Tugas dan Fungsi.
Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.. Diakses dari
https://www.kemenkopmk.go.id /kedudukan-tugas-dan-fungsi Koch-Baumgarten, S., & Voltmer, K.
(Eds.). (2010). Public Policy and
Mass Media. Abingdon, Oxon:
Routledge.
Moretti, M. M., & Peled, M. (2004). Adolescent-parent attachment: Bonds that support healthy development. Paediatrics & Child
Health, 9(8), 551-555. doi:
10.1093/pch/9.8.551
Pemerintah Republik Indonesia. (2009).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Jakarta: Pemerintah
Republik Indonesia. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/resourc es/download/general/UU%20No mor%2036%20Tahun2%20009%20t entang%20Kesehatan.pdf.
PMNCH. (2018). Methods Guide for Country
Case Studies on Successful Collaboration Across Sectors for Health and Sustainable Development.
Geneva: Partnership for Maternal, Newborn, and Child Health - World Health Organization. Retrieved from
https://www.who.int/pmnch/kn owledge/case-study-methods-guide.pdf
Prasetyoputra, P., Situmorang, A., Fatoni, Z., & Baskoro A. A. (2018). Strategi
Daerah dalam Penguatan Keluarga Menuju Remaja Berkualitas di Era Digital (Laporan Penelitian). Jakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Rasanathan, K., Bennett, S., Atkins, V., Beschel, R., Carrasquilla, G., Charles, J., . . . Zaidi, S. (2017).
Governing multisectoral action for health in low- and middle-income countries. PLOS Medicine, 14(4), e1002285. doi:
10.1371/journal.pmed.1002285 Rasanathan, K., Atkins, V., Mwansambo,
C., Soucat, A., & Bennett, S. (2018). Governing multisectoral action for health in low-income and middle-income countries: an agenda for the way forward. BMJ Global
Health, 3(Suppl 4), e000890.
doi:10.1136/bmjgh-2018-000890 Resnick, M. D., Bearman, P. S., Blum, R.
W., Bauman, K. E., Harris, K. M., Jones, J., . . . Udry, J. R. (1997). Protecting adolescents from harm: Findings from the national
longitudinal study on adolescent health. JAMA, 278(10), 823-832. doi: 10.1001/jama.1997.03550100049038 Roche, M. L., Bury, L., Yusadiredja, I. N.,
Asri, E. K., Purwanti, T. S., Kusyuniati, S., . . . Izwardy, D. (2018). Adolescent girls‟ nutrition and prevention of anaemia: a school based multisectoral collaboration in Indonesia. BMJ,
363, k4541. Retrieved from
http://www.bmj.com/content/36 3/bmj.k4541.abstract.
doi:10.1136/bmj.k4541
Salunke, S., & Lal, D. (2017). Multisectoral approach for promoting public health. Indian Journal of Public
Health, 61(3), 163-168.
doi:10.4103/ijph.IJPH_220_17 Smith, T. B. (1973). The policy
implementation process. Policy
Sciences, 4(2), 197-209. doi:
10.1007/bf01405732 Situmorang, A. (2011). Pelayanan
kesehatan reproduksi remaja di Puskesmas: Isu dan tantangan.
Jurnal Kependudukan Indonesia, 6(2),
21-32. doi: 10.14203/jki.v6i2.92 The Lancet Child & Adolescent Health.
(2018). Growing up in a digital world: benefits and risks. [Editorial]. The Lancet Child &
Adolescent Health. doi:
10.1016/s2352-4642(18)30002-6 UNFPA. (TT). Adolescent and youth
demographics: A brief overview. New
York: United Nations Population Fund. Retrieved from
https://www.unfpa.org/sites/def
ault/files/resource-pdf/One%20pager%20on%20yout h%20demographics%20GF.pdf. Utomo, I. D., & McDonald, P. (2009).
Adolescent reproductive health in Indonesia: Contested values and policy inaction. Studies in Family
Planning, 40(2), 133-146. doi:
10.1111/j.1728-4465.2009.00196.x Whiteman, S. D., McHale, S. M., &
Crouter, A. C. (2011). Family Relationships From Adolescence to Early Adulthood: Changes in the Family System Following
Firstborns' Leaving Home. Journal
of Research on Adolescence, 21(2),
461-474. doi: 10.1111/j.1532-7795.2010.00683.x
World Health Organization. (2014). Health
for the World’s Adolescents: A second chance in the second decade. Geneva:
World Health Organization. Retrieved from
http://apps.who.int/adolescent/s
econd-decade/files/1612_MNCAH_HW A_Executive_ Summary.pdf.
Lampiran 1. Program-program Terkait Remaja dan Keluarga di Tingkat Nasional
No. Program Lembaga Sasaran Piranti legal
1. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
Kementerian Kesehatan (utama)
Remaja putra dan putri
 UUD 1945, pasal 28 B ayat 1, pasal 28 H ayat 2  UU No. 36, pasal 136 dan 137
 UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
 Kepmenkes RI No. 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di kabupaten/kota
 SKB 4 Menteri No. 1 SKB 4 Menteri NO1/U/SKB/2003, NO.1067/MENKES/SKB/VII/2003, No. MA/230 A/2003, No. 26 tahun 2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan UKS 2. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Kementerian Kesehatan (utama), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama
Peserta didik dari tingkat Pendidikan Usia Dini sampai dengan tingkat Pendidikan Menengah Atas (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/ SMK/MA) termasuk peserta didik di perguruan agama beserta lingkungannya
 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 45 ayat 1  UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
 Kepmenkes RI No 1429 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah
 SKB 4 Menteri, Nomor: 0408a/U/84/319/Menkes. SKB/1984, 74/tahun 1984 dan Nomor 60 Tahun 1984 Tentang Pokok-pokok Kebijakan Pembinaan pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
 UU No. 36 Tahun 2009 Tenteng Kesehatan
 SKB Mendiknas, Menkes, Menag, dan Mendagri No. 1/U/SKB/2003; 1067/Menkes/SKB/VII/2003; No. MA/230-A/2003; No. 4415-404/2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan UKS
 SKB Mendiknas, Menkes, Menag, dan Mendagri No. 2/P/SKB/2003;
1068/Menkes/SKB/VII/2003; MA/230-B/2003; No. 4415-404/2003 tentang Tim Pembina UKS
 Peraturan Bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Agama RI, dan Menteri Dalam Negeri RI No 6/X/PB/2014, No 73 Tahun 2014, No 41 Tahun 2014, No 81 Tahun 2014 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah
 Kepmenkes No 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, Pasal 2 (g): “menjamin agar Anak Usia Sekolah dan Remaja mendapatkan pendidikan kesehatan melalui sekolah maupun luar sekolah.”
3. Posyandu Remaja Kementerian Kesehatan (utama)
Remaja usia 10-18 tahun, laki-laki dan perempuan
 UUD 1945 pasal 28 H
 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
No. Program Lembaga Sasaran Piranti legal dengan tidak memandang status pendidikan dan perkawinan termasuk remaja dengan disabilitas
 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah  UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa  PP No. 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan
 PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
 PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
 Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas
 Permendagri RI No. 54 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Kerja Operasional Pembinaan Pos Pelayanan Terpadu
 Permendagri RI No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar di Pos Pelayanan Terpadu
 Permenkes No. 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. HK.02.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015- 2019
 Kepmenkes RI No. 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
 Inpres No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat 4. Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) Kementerian Kesehatan (utama)
Remaja  Permenkes RI No. 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
5. Generasi Berencana (GenRe)
BKKBN (utama) Remaja usia 10-24 tahun
 UU RI No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
6. Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR)
BKKBN (utama) Remaja usia 10-24 tahun
 UU RI No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Pasal 48 ayat 1 (b): “Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga”
No. Program Lembaga Sasaran Piranti legal
 Peraturan Kepala BKKBN No.: 456/PER/F6/2015 tentang Pedoman Pengelolaan PIK R/M 7. Bina Keluarga Remaja
(BKR)
BKKBN (utama) Keluarga yang memiliki remaja usia 10-24 tahun
 UU RI No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
 Perpres No. 62 Tahun 2010 tentang BKKBN
 Peraturan Kepala BKKBN No. 72/PER/B5/2011 tentang organisasi dan tata kerja BKKBN  Peraturan Kepala BKKBN No. 82/PER/B5/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja BKKBN
Provinsi.
 Peraturan Kepala BKKBN No. 92/PER/B5/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelatihan Kependudukan dan Keluarga Berencana
8. Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS)
BKKBN (utama) Keluarga dengan anak
 UU RI No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
 Peraturan Kepala BKKBN No. 259/PER/F3/2012 (Tanggal 1 Agustus 2012): Pedoman Penyelenggaraan Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS)
 Peraturan Kepala BKKBN No. 141/PER/F3/2014 (Tanggal, 26 Mei 2014) : Pedoman Pengelolaan PPKS pada Balai Penyuluhan KKBPK di Kecamatan
9. Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM)
KPP&PA (utama) Anak, orang tua, keluarga, dan masyarakat
 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
 UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa  PP No 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan 10. Kota Layak Anak
(KLA)
KPP&PA (utama) Anak, orang tua  PermenPP&PA 11 Tahun 2011  PermenPP&PA 12 Tahun 2011  PermenPP&PA 13 Tahun 2011  PermenPP&PA 14 Tahun 2011 11. Pusat Pembelajaran
Keluarga (Puspaga)
KPP&PA (utama) Anak, orang tua, wali, calon orang tua, orang yang bertanggung jawab terhadap anak
 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah  UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia  UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
 UU No 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
No. Program Lembaga Sasaran Piranti legal
12. Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Kementerian Sosial (utama) Anak terlantar putus sekolah  UUD 1945;
 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;  UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak;
 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
 PP No. 2 Tahun 1988, tentang Usaha Kesejahteraan Sosial;
 PP No. 39 Tahun 2012, tentang Penyelenggaraan Kesejahteran Sosial;
 Kepmensos RI No. 50/HUK/2004, tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial No. 193/MENKES-KESOS/III/2000, tentang Standarisasi Panti Sosial;  Permensos RI No. 106/HUK/2009, tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di
Lingkungan Departemen Sosial;
 Permensos RI No. 30/HUK/2011, tentang Standardisasi Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak;
 Permensos RI No. 20/HUK/2015, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial;  Permensos RI No. 09/HUK/2015, tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan
dengan Hukum oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial;
 Standardisasi Pelayanan Sosial Panti Sosial Bina Remaja, Departemen Sosial RI Tahun 2008; 13. Program Kesejahteraan Sosial Anak dengan Kecacatan (PKS-ADK) Kementerian Sosial (utama) Anak dengan kecacatan 14. Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar/Jalanan (PKS-Antar/PKS Anjal) Kementerian Sosial (utama) Anak terlantar/anak jalanan 15. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (PKS-ABH) Kementerian Sosial (utama) Anak dengan masalah hukum  UUD RI 1945
 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (LNRI Tahun 1997 No. 9, Tambahan LNRI No. 3670);
 UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia;  Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (LNRI Tahun 2002 No. 109, Tambahan LNRI No. 4235);
 Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional  UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang- Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 112, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5038);
 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
 UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. 16. Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial (utama) Keluarga 17. Pengurangan Pekerja Anak – Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) Kementerian Sosial (utama), KPP&PA Pekerja anak
No. Program Lembaga Sasaran Piranti legal
 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2014 No. 244, Tambahan LNRI No. 5587) sebagaimana telah diubah dengan PP Pengganti UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2014 No. 246, Tambahan LNRI No. 5589);
 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas;
 PP RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (LNRI Tahun 1980 No.
 Tambahan LNRI No. 3177);
 PP RI No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
 PP RI No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia PP RI No. 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2005 No. 165, Tambahan LNRI No. 4593);
 PP RI No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (LNRI Tahun 2007 No. 82, Tambahan LNRI No. 4737);
 Perpres RI No. 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan;  Perpres No.15Tahun2010tentangPercepatan Penanggulangan Kemiskinan.
 PP RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LNRI Tahun 2012 No. 68, Tambahan LNRI No. 5294);
 Perpres RI No. 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;
 Perpres No.7Tahun2015tentangOrganisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2015 No. 8);
 Perpres No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial (Lembaran Negara RI Tahun 2015 No. 86);
 Perpres No. 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai;
 Inpres No. 1 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi poin lampiran ke 46 tentang Pelaksanaan Transparansi Penyaluran Bantuan Langsung Tunai Bersyarat Bagi Rumah Tangga Sangat Miskin Sebagai Peserta Program Keluarga Harapan;
 Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007;  Permensos No. 184 Tahun 2011 tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial (Berita Negara RI
No. Program Lembaga Sasaran Piranti legal
 Permensos No. 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (Berita Negara RI Tahun 2012 No. 567);
 Permenkeu RI No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial;
 Permensos No. 10/HUK/2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Permensos No. 10 Tahun 2017 tentang Program Keluarga Harapan. 19. Bimbingan
Perkawinan (Binwin)
Kementerian Agama (utama)
Calon pengantin  Keputusan Dirjen Bimas Islam No. 373/2017, tentang Petunjuk Teknis Bimbingan Perkawinan Bagi calon Pengantin
 Keputusan Menteri Agama No. 477 tahun 2004 bahwa setiap calon pengantin harus diberikan wawasan terlebih dahulu
 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
 UU No 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
 Keputusan Menteri Agama No. 3 Tahun 1999 tentang Pembinaan Keluarga Sakinah 20. Pelibatan Keluarga dan Masyarakat di Satuan Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Satuan pendidikan, siswa, keluarga
 Permendikbud No. 1 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
 Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah 21. Kota Layak Pemuda Kementerian
Pemuda dan Olahraga
Pemuda (15-30 tahun)
 Permenpora Olahraga RI No. 11 Tahun 2017 tentang Kota Layak Pemuda
 UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan (Lembaran Negara RI No. 148 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5067);
 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2014 No. 244, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2015 No. 58, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5679);
 PP No. 41 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, Serta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan (Lembaran Negara RI No. 87 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5238);