• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Muhammadiyah dan Ijtihad. 1. Pandangan Muhammadiyah Tentang Ijtihad. Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan berpikir dalam menggali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II. Muhammadiyah dan Ijtihad. 1. Pandangan Muhammadiyah Tentang Ijtihad. Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan berpikir dalam menggali"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

Muhammadiyah dan Ijtihad A. Ijtihad dalam Pandangan Muhammadiyah

1. Pandangan Muhammadiyah Tentang Ijtihad

Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan berpikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu yang lain berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.

Menurut ahli ushul fiqih, ijtihad berarti mencurahkan segenap kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’ amali dengan satu metode. Pengertian ini didasarkan pada kenyataan yang dihadapi kaum muslim sejak masa Nabi.

Posisi ijtihad Muhammadiyah bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum, sedangkan fungsi dari ijtihad Muhammadiyah ini ialah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah10.

Ijtihad Muhammadiyah ini perlu dilakukan untuk menjawab dan merespon tantangan problem kontemporer, juga untuk perubahan pemahaman terhadap umat Islam yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, namun tetap selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Secara sosial dirasakan, masyarakat selalu mengalami banyak perubahan sikap saat dan perubahan tersebut mempengaruhi cara berpikir dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Semakin progresif pemikiran seseorang, maka semakin terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut umat Islam, realitas ini dapat menimbulkan masalah baru

10 Asmuji Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),104.

(2)

apabila tidak dikaitkan dengan norma agama Islam. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa Ijtihad Muhammadiyah sejalan dengan Al-Qur'an dan As- Sunnah, maka perlu dilakukan pemecahan masalah.

Ijtihad tidak lepas dari ruang lingkup dalam masalah-masalah baru saja.

Hal itu terkait dengan kajian berbagai persoalan yang sudah ada berdasarkan dalam kebutuhan manusia, untuk menentukan pendapat mana yang kuat dan paling cocok untuk mencapai tujuan hukum syariah dan kepentingan manusia.

Ijtihad merupakan unsur yang urgen dalam perkembangan dan perkembangan hukum Islam. Ijtihad juga dilaksanakan untuk memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat yang belum diketahui status hukumnya. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa Ijtihad sangat penting peranannya dalam hukum Islam dan oleh karena itu masalah tersebut tidak boleh tersedot keluar dari Ijtihad (Mujtahid)11.

Kebutuhan umat Islam terhadap ijtihad membuat suatu kebutuhan yang berkelanjutan. Dalam hal konteks Indonesia, keberadaan ijtihad di Muhammadiyah sangat strategis. Menurut Yusuf Qardhawi, keperluan ijtihad sekarang melebihi kebutuhan masa lalu. Ada banyak perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, ijtihad Muhammadiyah amat diperlukan dalam menjawab beraneka jenis permasalahan kontemporer yang muncul di masyarakat, khususnya lingkungan Muhammadiyah12.

11 Yusuf Laison, Muhammadiyah Dalam Menjawab Ijtihad Kontemporer, Tahkim, Vol.

XV.No.02, (December 2019),96-180.

12 “Tahkim,” n.d., 96-180.

(3)

Pada dasarnya Muhammadiyah memiliki sikap yang toleran. Toleran terhadap suatu hal dimaksud ialah sikap menghormati, membebaskan dan membolehkan berpendapat, dari pihak lain yang berbeda dengan keputusan dan fatwanya serta tidak menganggap pendapat tersebut sebagai pendapat yang salah.

Selain itu majelis Tarjih ini sejak dari awal pembentukannya sudah menegaskan tidak menganggap dirinya yang paling benar dalam menentukan ijtihad, sementara yang lain keliru. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis Tarjih mengakui adanya kemungkinan berbeda pendapat dengan kelompok umat Islam lain, yang sama- sama berpeluang untuk benar. Kemudian di luar pelaksanaan ibadah, Majelis Tarjih wilayah ataupun daerah diberikan pula keleluasaan untuk melakukan ijtihad dan merumuskan tuntunan keagamaan sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal di mana warga Muhammadiyah berada sehingga pengaturannya tidak mungkin bersifat nasional dalam satu model13.

2. Metode Ijtihad Muhammadiyah

a. Pendekatan Interpretasi (bayani, burhani dan irfani)

Pada tahun 200014 Putusan tarjih ditetapkan di Jakarta, dalam hal ini dijelaskan bahwa dalam ijtihadnya Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani dan irfani. Pendekatan bayani adalah merespon permasalahan dengan titik tolak utama adalah nas-nas syariah (al-Qur’an dan as-Sunnah). Maka dalam hal ini banyak digunakan dalam memecahkan masalah-masalah terkait ibadah mahdah (khusus) yang disebabkan oleh asas hukum syariah tentang

13 Bakhtiar Bakhtiar, “Corak Pemikiran Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah,” Al- Qalb: Jurnal Psikologi Islam 8, no. 1 (2017): 77–91.

14 Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah, 5-8 Juli 2000 M.

(4)

ibadah, yang menegaskan bahwa “ibadah itu pada asasnya tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan disyariatkan”15. Asas ini menegaskan bahwa suatu kegiatan ibadah tidak sah dilakukan apabila tidak ada dalil dari nas al-Qur’an atau as-Sunnah yang mensyariatkannya. Oleh sebab itu, dalam pendekatan bayani ini sering digunakan untuk masalah ibadah mahdah (khusus)16.

Contoh ijtihad Muhammadiyah yang menggunakan pendekatan bayani, tentang pengharaman rokok dilihat dari pendekatan sosiologisnya (maṣlaḥah mursalah), Majelis Tarjih dan Tajdid berkesimpulan bahwa rokok lebih banyak mengandung mudharat dibanding manfaat. Lebih tepatnya, merokok adalah tindakan yang bisa membuat orang jatuh miskin, karena lebih banyak pengguna tembakau dari kalangan miskin secara sosial. Islam menganjurkan untuk menghindari kemiskinan, karena kemiskinan dapat membawa orang lebih dekat satu sama lain dan membuat orang tidak percaya17.

Majlis Tarjih Muhammadiyah berkonsultasi dengan para ahli di bidang ini untuk meninjau alasan untuk secara ilegal melompat atau menunda fatwa dari izin. Tembakau yang sah yang menyebabkannya yaitu tembakau banyak mengandung bahaya dan sangat berbahaya, namun dengan ditemukannya tembakau baru ini maka tembakau dan rokok dapat menimbulkan resiko yang sangat membahayakan keselamatan manusia. Baik merokok (perokok aktif) maupun perokok yang terpapar asap rokok (perokok pasif). Oleh karena itu,

15 As-Sa‘di, Risalah Laṭifah Jami‘ah fī Uṣul al-Fiqh al-Muhimmah, disunting oleh Nadir Ibn Sa‘id Al Mubarak at-Ta‘muri (Beirut: Dār Ibn Ḥazm li aṭ-Ṭiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1412/1992), h. 105-106.

16 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXX,2018),36.

17 Risfil Auton Alfian, “Fatwa Haram Merokok Majlis Tarjih Muhammadiyah”, On Right:Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, Vol.1, No.2, (Mei 2012): 312-339.

(5)

merokok merupakan perbuatan yang jelas-jelas bertentangan dengan unsur tujuan syariah (maqaṣid asy-syari'ah)18.

Penggunaan pendekatan burhani, pendekatan ini biasanya membahas permasalahan dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan secara umum yang berkembang, contohnya ijtihad mengenai penentuan awal bulan kamariah khususnya bulan yang berkaitan dengan ibadah ramadhan, syawal dan dzulhijjah.

Dalam pendekatan ini ijtihad Muhammadiyah sering menggunakan untuk ilmu falak, sehingga untuk ini tidak lagi digunakan rukyat. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan dinamika kepada pemikir tarjih (pemikiran keislaman) Muhammadiyah, khususnya di luar bidang mahdhah (ibadah khusus)19.

Contoh ijtihad Muhammadiyah yang menggunakan pendekatan burhani.

Dalam menentukan bulan qamariyah Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal. Hisab Hakiki Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan prinsip: Ijtima’ (kombinasi) terjadi sebelum Matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan sudah berada di garis ufuk dengan tanpa melihat derajat ketinggiannya (irtifa’), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah. Muhammadiyah memaknai sebagai penentuan awal bulan qamariyah sebagai jalan tengah antara ijtima’ qablal ghurub dan Imkanur rukyat20.

18 “Right”,n.d.312-339.

19 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, h-26.

20 Jaenal Arifin, “Dialektika Hubungan Ilmu Falak Dan Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah Di Indonesia (Sinergi Antara Independensi Ilmuwan Dan Otoritas Negara),”

(6)

Pendekatan irfani, pendekatan ini berlandaskan kepada jalan untuk meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin melalui pembersihan jiwa, maka dalam hal ini, keputusan tidak hanya berdasarkan kepada kesungguhan otak belaka, akan tetapi didasarkan pada adanya kepekaan nurani untuk menyakini berbagai masalah dan keputusan yang diambil dan mendapatkan petunjuk dari Allah21.

Contoh dari pendekatan irfani ialah falsafah isyraqi yang mengasumsikan bahwa pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dikombinasikan secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah az-zawiyah). Oleh karena itu pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan mencapai al-hikmah al-haqiqiyyah. Hal ini sesuai dengan pengalaman Rasulullah SAW dalam menerima wahyu al-Qur’an.

Dalam hal ini perlu disimpulkan bahwa dari ketiga pendekatan tersebut itu hanya dilakukan sebagai alternatif saja, akan tetapi apabila tidak mungkin diambil maka boleh untuk mengambil yang lain. Pendekatan tersebut dapat digunakan secara sirkuler, yang artinya dapat digunakan bersama-sama apabila dibutuhkan.

Akan tetapi apabila digunakan satu atau dua diantaranya maka dianggap sudah cukup, atau yang lain tidak perlu. Pendekatan ini saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya 22.

b. Metode Ijtihad Muhammadiyah (ijtihad jama’i interdisipliner) Ijtihad jama’i gabungan dari kata Ijtihad dan Jama’i. ijtihad berasal dari akar kata ijtahada. Ijtihad secara bahasa ialah, mencurahkan segenap tenaga serta

n.d., 37–70.

21 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, h-27.

22 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, h-26.

(7)

kemampuan, Sedangkan Jama’i secara istilah ialah ditetapkan kepada Jama’ah, atau perkumpulan antar manusia yang jumlahnya banyak. Maka, Jama’i ialah ijtihad jama’ah yang dikenal dengan nama lain ijtihad kolektif.

Interdisipliner ialah kajian yang memadukan atau mencakup dua atau lebih disiplin ilmu pengetahuan. Dalam menyelesaikan masalah maka yang digunakan adalah pendekatan multidisipliner yaitu dengan cara pendekatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, untuk memecahkan masalah berdasarkan pengetahuan baru, dengan mempertimbangkan situasi yang berbeda. Istilah interdisipliner pada dasarnya ialah fungsional secara keseluruhan. Penyebutan multidisipliner diambil alih oleh nama interdisipliner, yang intinya bekerja secara holistik. Perbedaan antara interdisipliner dan multidisipliner, bahwa kalau multidisipliner digunakan pada hal-hal yang bersifat praktis, sementara interdisipliner digunakan untuk urusan yang bersifat akademik23.

Perkembangan penelitian Islam dapat dijelaskan dengan penelitian interdisipliner. Bahwa disebutkan kajian interdisipliner digunakan pada studi Islam yang menggunakan istilah yang berbeda. Istilah yang dimaksud ialah integrasi, induksi, interkoneksi, dan analisis sistem. Pada dasarnya integrasi berarti menyatukan, induksi berarti mengeneralisir, interkoneksi berarti menghubungkan, dan analisis sistem adalah menyeluruh. Pada intinya, kajian interdisipliner ialah upaya untuk menggabungkan berbagai macam disiplin keilmuan yang terkait untuk melakukan penelitian, dengan tetap berada dalam

23Syamsul Darlis, “Perpaduan Metode Tematik-Interdisipliner Dalam Pembaruan Hukum Keluarga Islam”, Samarah 2, no. 2 (2018): 335–51.

(8)

suatu disiplin pada suatu kerangka penelitian24.

Tujuan dari penelitian Islam interdisipliner yang awalnya sesuai dengan sifat keterbukaan, yaitu perluasan ruang lingkup hukum Islam. Dalam ruang lingkup hukum Islam bukan hanya untuk kalangan kaum muslim atau individu dari tiap-tiap manusia saja, akan tetapi termasuk masyarakat, bangsa, dan umat keseluruhan. Tujuan kedua dan ketiga yaitu sejalan dengan “fungsi keseluruhan.

Dalam hal ini juga untuk memperbaiki kelemahan ushul fiqh klasik yang seringkali menggunakan pendekatan sederhana dan pemisahan nas. Dalam artian fitur komprehensif dari semua isi al-Qur’an yang mengacu pada masalah hukum Islam yang memutuskan masalah25.

Dengan demikian, Ijtihad Jama’i (secara kolektif) berkaitan erat dengan masalah kepentingan sosial, dan ditangani dalam skala besar26. Maka Ijtihad kolektif dalam Muhammadiyah dilakukan oleh Majelis Tarjih dengan melibatkan banyak orang yang mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Hasil ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) termasuk dalam Munas Tarjih setelah dilaporkan Majelis Tarjih dan tanfidz PP Muhammadiyah resmi dinyatakan berlaku dalam seluruh jajaran Muhammadiyah27.

24 Samarah 2, h 336-51

25 Syamsul Darlis, “Perpaduan Metode Tematik-Interdisipliner Dalam Pembaruan Hukum Keluarga Islam,h.51.

26 Faishal Agil and Al Munawar, “Ijtihad Jama'i (Ijtihad Kolektif) Perspektif Ulama Kontemporer” 4 (2020), h.268.

27 https://suaramuhammadiyah.id/2019/11/30/ijtihad-dalam-muhammadiyah/

(9)

1) Syarat Ijtihad jama’i

Syarat dari ijtihad jama’i antara lain28: Pertama, memahami makna dari ayat yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara bahasa atau istilah. Kedua, mampu untuk memahami hadits secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu untuk dihafalkan. Ketiga, mampu untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah yang telah di nasakh, agar mengetahui tujuannya. Dalam hal ini agar para mujtahid tidak sembarangan untuk menarik kesimpulan dari nash-nash yang tidak valid lagi (Al- Qur’an dan as- Sunnah). Keempat, Mengetahui hukum apa yang dinilai dengan Ijma’ agar bisa menetapkan hukum yang tidak bertentangan dari ijma’.

Kelima, memahami Qiyas dan segala hal yang keterkaitan dengan Qiyas.

Termasuk syarat, rukun, cara istinbath dari nash serta masalah dari manusia, illat hukum dan sumber syariat secara keseluruhan. Qiyas adalah metode dari ijtihad.

Maka, pentingnya untuk memahami Qiyas. Keenam, pentingnya untuk menguasai bahasa arab, sharaf, nahwu, bayan, ma’ani, dan uslubnya sebab dalam al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakan bahasa arab. Oleh karena itu tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa mengetahui bahasa keduanya.

Ketujuh, Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, karena Ushul Fiqh adalah salah satu dari rukun ijtihad berupa pembahasan rinci yang menunjukkan hukum yang secara khusus. Kedelapan, Memahami tentang Maqashid Syari’ah dalam memutuskan suatu hukum, memahami nash dan mampu untuk menjelaskan yang sesuai dengan Maqashid Syari’ah tersebut. Oleh karena itu persyaratan antara

28 Agil and Munawar, h.266-267.

(10)

Ijtihad Kolektif berbeda Ijtihad Individu, maka arti dari Ijtihad Kolektif lebih lebar dalam hal persyaratannya daripada Ijtihad Individu. Hal ini karena persyaratan untuk mujtahid saat ini sangat ketat.

2) Urgensi Ijtihad Jama’i

Ijtihad ini penting karena mengangkat masalah baru dalam fiqih kontemporer yang belum ada penyelesaian hukumnya. Dalam hal ini hukum sangat penting dalam masyarakat karena berhubungan dengan pemutakhiran hukum islam pada dimensi kehidupan. Melihat dalam masyarakat mengenai masalah fiqih kontemporer, maka ulama modern menganggap Ijtihad Jama’i (Ijtihad kolektif) sebagai inovasi yang paling efektif dalam menghadapinya, mereka melihat masalah ini dari beberapa arah, setelah itu baru menetapkan penyelesaian hukum antara lain29: Pertama, Ijtihad Jama’i sebagai terobosan kekinian sebagai upaya dalam menyelesaikan permasalahan sesuai dengan zaman yang dihadapi.

Kedua, tujuan kaidah hukum harus memiliki manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka perlu adanya penunjang proses hukum yang mengandung maslahah untuk diterapkan. Ketiga, Ijtihad Jama’i tercantum urgensi yang tidak terlepas dalam menentukan tasyri’ atau disebut dengan hukum Islam) mencakup kualitas dari kegunaan. Urgensi ini ditunjukkan dengan jelas sesuai dengan mendukungnya. Keempat, Ijtihad Jama’i menggunakan prinsip syara’, dalam melakukan Ijtihad Jama’i saling bertukar pikiran kemudian dapat diterima pendapat yang lebih banyak didominasi.

29Agil and Munawar, h.266-267

(11)

Kelima, Ijtihad Jama’i lebih teliti dalam menentukan kebenaran, oleh karena itu dalam Ijtihad Jama’i bertemunya macam-macam pakar ilmu berdasarkan dari bidang tersebut. Keenam, Ijtihad Jama’i dapat menukar dari posisi Ijma’, sebab dalam Ijtihad Jama’i sekedar konvensi lebih banyak didominasi Ulama, sedangkan Ijma’ adalah kesepakatan seluruh Ulama. Ketujuh, Ijtihad Jama’i dapat memelihara Ijtihad dari beraneka ragam, sebab kedudukan Ijtihad Jama’i sekarang ini lebih teratur dan lebih menguatkan dibanding dengan Ijtihad Fardi (Ijtihad Individu).

Kedelapan, Ijtihad Jama’i adalah jalan keluar dalam menghadapi permasalahan baru, Ijtihad Jama’i bergabungnya para ahli ilmu, oleh karena itu pada waktu sekarang ini hanya Ijtihad Jama’i yang bisa menyelesaikan permasalahan umat. Adapun fungsi dan manfaat dari ijtihad jama’i inti primer sebagai hal yang utama dari Ijtihad Jama’i dalam menjawab problem yang ada pada masyarakat menempatkan dari berbagai perspektif. Dalam makna, sistem penentuan aturan hukum yang diupayakan tidak dengan melepaskan tempat yang berkualitas eksklusif atas pikiran tertentu, akan tetapi berkiatan dalam konvensi &

kecenderungan pandangan. Dengan begitu tidak ditemukan dalam Ijtihad Fardi (Ijtihad Individu) maupun contoh Ijtihad lainnya30.

3) Kedudukan Ijtihad Jama’i

Seperti Ijtihad Jama’i mempunyai hubungan dalam menggunakan fatwa, misalnya hubungan antara metode dan output, sebab Ijtihad Jama’i adalah salah satu metode sedangkan fatwa merupakan salah satu output Ijtihad Jama’i, oleh

30Agil and Munawar. h.266-267

(12)

karena itu Ijtihad Jama’i merupakan Metode, sedangkan fatwa ialah hasil31. Pertama, pemikiran kolektif lebih dekat pada aktual dibanding dengan pendapat perorangan, meskipun keduanya mempunyai logika objek sendiri, sebab Ijtihad Kolektif menaungi umat berdasarkan permasalahan ikhtilaf ditimbulkan karena perbedaan pendapat.

Kedua, Ijtihad Jama’i memunculkan spesifikasi tunggal, dalam artian pada Ijtihad Jama’i bukan sekedar yang dilandaskan pada satu pakar ilmu tertentu, namun beraneka macam pakar begitupun ilmu yang lain. Ketiga, posisi Ijtihad Jama’i setingkat penggunaan Ijma’, apalagi bisa mengubah posisi Ijma’, sebab Ijtihad Jama’i sekedar persetujuan dari ulama, akan tetapi Ijma’ adalah persetujuan semua ulama. Keempat, Ijtihad Jama’i memelihara umat agar tidak ada perbedaan dan menghasilakn perpecahan.

Kelima, Ijtihad Jama’i menjadi penyelesaian untuk menemukan jalan Ijtihad sesudah yang sudah menutup, sebab ketentuan Ijtihad Individu ini susah untuk dipenuhi. Keadaan Ijtihad Jama’i dalam waktu sekarang posisinya dibawah Ijma’, namun berlandaskan pada Qiyas dan semua Ijtihad Fardi, oleh sebab itu berhujjah harus bersandar kepadanya yang lebih primer, atau lebih kuat, dan lebih mendekatkan kebenaran pada hukum Allah SWT. Sebagaimana Ijtihad Jama’i adalah penggerak aktivitas dalam bidang musyawarah fiqih yang sebenarnya serta sebagai metode untuk penetapan aturan hukum Islam yang mudah dan cepat.

31 Agil and Munawar. h.267-268

(13)

3. Dasar Hukum Ijtihad Muhammadiyah

Sumber hukum Islam adalah dalil yang dipakai untuk pijakan. Menurut Imam al-Amidi, dalil adalah bentuk tunggal dari al-Adillah yang menurut bahasa adalah pedoman atau panduan yang dapat mengarahkan pada sesuatu baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sedangkan secara istilah, dalil merupakan sesuatu yang bisa membicarakan pada konklusi aturan melalui serangkaian perangkat teori yg teruji. Dalil hukum dalam Islam terbagi dua: pertama, merupakan dalil yang menerima konvensi lebih banyak didominasi ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadis, Qiyas dan ijma’. Kedua, merupakan dalil yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai keabsahannya sebagai pijakan hukum32.

Metode istinbath hukum Majelis Tarjih ditetapkan pada tahun 1935, awalnya berpedoman pada rumusan masail al-khamsah atau mubtadi’ al-khamsah. Pada tahun 1964 dilakukan Muktamar Khusus Majelis Tarjih, lalu ditanfidzkan. Dalam lima pokok masalah ini ber isi antara lain: al-ibadah; sabilillah, al-din; al-dunya;

dan al-qiyas (ijtihad). Lima masalah ini sebagai petunjuk atas realita, pada saat ini kondisi umat belum mampu menjadikan Islam sebagai agama yang kontekstual dan berkemajuan. Oleh karena itu, Muhammadiyah berupaya untuk menerapkan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga Islam dapat bersinar cerah33.

Pada Masalah lima ini mampu untuk melewati tentang urusan fikih dan khilafiyah. Seperti contoh pada bab thaharah yang selalu menjadi pembahasan awal.

Akan tetapi pada kenyataannya, umat Islam kurang menerapkan pola kebersihan.

32 “Tahkim.” h.96-180.

33 Asmuji Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),104.

(14)

Pada fiqih, nash saja tidak mampu untuk menjelaskan tentang air yang aman dan seperti apa bebas dari kuman itu. Pada pembahasan ini yang terdapat dalam ilmu kesehatan. Ilmu Kesehatan ini masuk pada bahasan agama dan dunia, apabila masuk pada urusan dunia, hal tersebut dibolehkan pada ibadah untuk menerapkan ijtihad atau qiyas, misalnya untuk memberikan pemahaman bahwa air suci dan bersih sesuai dengan penelitian ilmiah34.

Pertama, agama, agama Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW ialah yang diturunkan Allah dalam bentuk al-Qur’an dan as-Sunnah, serta berupa perintah dan larangan selain itu juga ada petunjuk untuk kebaikan manusia agar digunakan di dunia dan akhirat, Kedua, dalam hal ini yang dimaksud dengan

“urusan dunia” seperti dalam sabda Rasulullah SAW manusia lebih mengerti tentang perkara/pekerjaan/urusan yang lainnya.

Ketiga, ibadah merupakan taqarrub atau mendekatkan diri pada Allah dengan cara menaati segala perintah yang telah ditetapkan oleh Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan apa yang telah dipelajari dan diterapkan untuk beribadah kepada Allah baik ibadah umum dan ada yang khusus (mahdhah dan ghairu mahdhah). Keempat, sabilillah artinya berjalan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah, karena perbuatan seseorang kepada keridhaan Allah, seperti menerapkan amalan yang diizinkan Allah untuk melaksanakan hukum- hukum-Nya.

Kelima, ijtihad. Pada poin ini kurang adanya penjelasan yang secara terperinci, seperti: (a) dasar yang absolut dalam menentukan hukum agama Islam

34 https://suaramuhammadiyah.id/2020/02/11/masalah-lima/

(15)

ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, (b) saat menghadapi permasalahan yang pernah terjadi, maka diperlukan untuk diamalkan, terutama tentang hal yang tidak sangkutan dengan ibadah mahdhah, padahal untuk alasan yang sebelumnya tidak terdapat nash yang sharih dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, maka boleh menggunakan jalan ijtihad dan istinbath dari nash yang sudah ada, melalui persamaan illat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama sebelumnya yaitu ulama salaf dan khalaf.

4. Dasar hukum ijtihad Muhammadiyah a. al-Qur’an dan as-Sunnah

Secara bahasa al-Qur’an berasal dari Bahasa Arab qara a–yaqra u- quranan, yang berarti bacaan. Sementara menurut istilah al-Qur’an ialah perkataan Allah yang sudah tertulis, yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan disampaikan pada Nabi Muhammad SAW secara mutawatir, yang berbentuk mushaf, al-Qur’an diawali dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan Surat an- Nas. al-Qur’an ialah sumber utama dari bagi umat Islam, karena segala sesuatu dalam Islam atas izin dan ketetapan Allah.

Sunnah merupakan dasar hukum yang kedua setelah al-Qur’an. as-Sunnah secara bahasa ialah kebiasaan yang bisa untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah ialah perbuatan, perkataan dan taqrir Nabi Muhammad SAW yang berupa persetujuan, ketetapan dan diamnya Nabi Muhammad SAW terhadap suatu hal atau perbuatan sahabat yang diketahuinya. Pada isi as-Sunnah kebenaranya sama dengan al-Qur’an, sebab semua yang berasal dari nabi Muhammad SAW adalah wahyu dari Allah.

(16)

b. Dasar hukum ijtihadi (qiyas, ijma’, istihsan dan istishlah)

1) Qiyas

Qiyas secara bahasa berarti pengukuran, sedangkan menurut istilah menyamakan yang tidak mempunyai nash hukum dengan yang memiliki nash hukum berdasarkan atas kesamaan illat atau keutamaan yang diperhatikan oleh syara. Qiyas juga dapat diartikan, suatu hukum sebagai aktivitas untuk melaksanakan hukum lainnya. Dalam Rumusan Majelis tarjih yang tentang qiyas, keputusan tentang qiyas dibagi menjadi dua poin35: (a) Tentang dasar mutlak berhukum agama, (b) Tentang penggunaan alasan qiyas.

2) Ijma’

Ijma’ secara bahasa atau lughah mempunyai definisi sebagai mengumpulkan perkara kemudian memberi hukum atas perkara tersebut dan meyakininya. Sedangkan menurut istilah ialah kesepakatan para mujtahid umat Nabi Muhammad sesudah Nabi muhammad wafat dari masa ke masa, pada hukum syara’. Dari aspek kecakapan hukum, ulama membagi ijma’ menjadi dua antara lain: Ijma’ qauli dan ijma’ sharih. Yaitu ijma’ qauli yang dilakukan oleh para mujahidin terhadap suatu masalah hukum dengan menyatakan hukum yang secara nyata. Adapun ijma’ yang lainnya yaitu ijma’ sukuti, yaitu kesepakatan para ulama terhadap satu masalah yang dimulai dari pendapat seorang mujtahid, kemudian oleh mujtahid lainnya dibenarkan secara diam-diam36.

35 Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),104.

36Ibid, h.83.

(17)

3) Istihsan

Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut37.

4) Istislah

Istislah menurut bahasa ialah mengakui atau menolaknya, istislah yaitu mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya dari nash, baik yang melarang maupun yang memerintah (menyuruh), dengan menggunakan dasar kemaslahatan yang dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari atau disebut juga dengan maslahah mursalah. Dalam hal ini ijtihad ialah melakukan penelitian sejauh mana maslahah yang akan dicapai mafsadah yang akan terdapat, apabila ada juga penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an dan as-Sunnah yang menyebutkan untuk mencapai suatu maslahah dan mafsadah harus dihindari38. B. Karakteristik Ijtihad Muhammadiyah

Putusan Tarjih bukanlah keputusan Majlis Tarjih dan Tajdid saja, melainkan adalah keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam bidang keagamaan, yang diambil pada saat Musyawarah Tarjih nasional yang dihadiri oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hadir pula pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid di tingkat pusat dan daerah serta ulama dan ulama Muhammadiyah (laki-

37 Ibid,h.108.

38 Ibid.h.108.

(18)

laki dan perempuan). Pengambilan keputusan Tarjih ini adalah suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang melandasi kegiatan ketarjihan. Kegiatan ketarjihan adalah upaya intelektual untuk melakukan penelitian dan mempelajari berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam 39.

Komponen ketarjihan antara lain: Perspektif (wawasan); sumber;

Pendekatan; dan Prosedur teknis (metode). Dari segi perspektif dapat dirinci lagi hingga mencakup perspektif faham agama, perspektif juga tidak berafiliasi mazhab, perspektif tajdid, perspektif toleransi dan perspektif terbukaan. Sumber utama yang digunakan ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan metode yang digunakan ialah pendekatan bayani, burhani dan irfani40. Pada tahun 1985-1990 Lembaga Majelis Tarjih melakukan rekonstruksi ideologi Manhaj Tarjih. Hasil rekonstruksi ideologi disebarkan ke semua wilayah Muhammadiyah, pelaksanaan Manhaj Tarjih dilakukan berdasarkan pada satu asas dan prinsip-prinsip tertentu.

Pada tahun 1986 telah dilaksanakan Muktamar Muhammadiyah ke-41 yang bertempat di Solo, Majlis tarjih Muhammadiyah mengeluarkan pokok-pokok karakteristik Ijtihadnya antara lain:

Pertama, dalam menemukan dalil yang akan digunakan untuk menjadi landasan ialah al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam upaya Ijtihad serta pembuatan hukum harus dilandaskan pada ‘allah termasuk hal yang tidak termuat dalam nash, selama belum merambah landasan dalam aspek ibadah mahdhah, hal tersebut tujuan dari pemenuhan keperluan hidup manusia. Ijtihad dapat ditempuh melalui jalan ijtihad bayani, ijtihad ishtishlahi dan ijtihad qiyasi.

39 Himpunan putusan Tarjih 3, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah “Pengantar Penyunting”, Cetakan: Pertama, Mei 2018.

40 Ibid.h. IV

(19)

Kedua, untuk menentukan suatu ketentuan dapat dilakuakn dengan cara musyawarah untuk mencapai tujuan.dalam memutuskan suatau hukum, dalam kalangan Muhammadiyah pendapat perorangan kurang begitu berlaku, walaupun orang tersebut sangat profesional dalam ilmu tersebut. Dalam memutuskan putusan hukum Majlis Tarjih mentukan dengan ijtima'i, selain itu dalam memutuskan putusan hukum Majelis Tarjih mengunakan metode ijtihad atau musyawarah yang melibatkan banyak orang yang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut.

Ketiga, tidak terikat pada mazhab manapun, jika dilihat secara metodologis dalam melakukan ijtihadnya Muhammadiyah menggunakan manhaj tarjih dan ushul fiqih. Dalam menentukan suatau hukum, Majlis tarjih ada yang memilih untuk menggabungkan ide-ide antar madzhab yang menurutnya terbaik dan paling kuat untuk dijadikan sebagai dasar hukum. Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) bukanlah hasil dari suatu mazhab tertentu saja, akan tetapi dari kalangan Muhammadiyah, melainkan kumpulan hasil pemikiran dari para tokoh dan ahli agama dari kalangan Muhammadiyah yang sudah di musyawarahkan dan disetujui.

Keempat, toleran dan keterbukaan, Majlis Tarjih tidak menganggap bahwa hasil ijtihadnya selalu benar, suatu hukum yang diputuskan itu bersifat mutlak.

Seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) memiliki sifat terbuka dan masih sering dikaji. Masyarakat dapat berargumentasi sesuai dengan ilmu yang mereka Yakini dan bisa digunakan sebagai pendapat individu. Akan tetapi pemikiran individu tidak boleh mengatas namakan organisasi atau lembaga, jika Majlis Tarjih sudah

(20)

memutuskan putusan tersebut secara organisasi berupa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) maka hasil itu yang harus didakwahkan dan disosialisasikan ke masyarakat Muhammadiyah.

Kelima, pada aspek keimanan yang digunakan adalah dalil yang mutawatir. Akan tetapi, maka perlu untuk diwaspadai sebab akan berdampak besar terhadap kepercayaan masyarakat Muhammadiyah. Pada rumusan ini Muhammadiyah “secara tidak langsung akan menolak ratusan hadits shahih”

apabila termasuk dalam hadis ahad sehingga tidak dapat dipakai dalam hal akidah terutama menetapkan hukum.

Keenam, tidak adanya penolakan atas ijma’ para sahabat yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dari segi kemampuan hukum ijma’ dibagi menjadi dua bagian yaitu ijma’ sukuti dan ijma’ qauli. Ketujuh, memahami isi dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan cara menta’lil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Kedelapan, menerapkan cara yang menyeluruh, terpadu, utuh, dan tidak terpisah dalam menerapkan dalil untuk menetapkan suatu hukum tertentu.

Kesembilan, memahami penggunaan akal harus mengetahui dahulu latar belakang dan tujuannya, dalam hal ini bisa dilakukan dalam hal bidang ibadah, sebagaimana diperbolehkan oleh ketentuan dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi dalam dasar dari nash harus konsisten untuk selalu menjadi yang utama sebab akal itu mempunyai sifat relatif. Fungsi dari akal pada dasarnya penting untuk diterapkan karena demi kemaslahatan manusia termasuk menyangkut hal al-umurud duniawiyah bukan termasuk dari kewajiban dari Nabi.

(21)

Kesepuluh, pemahaman dari kalngan sahabat bisa diterima, sebab untuk mnegetahui nash musytarak. Kesebelas, aspek aqidah yang berarti zahir harus diutamakan daripada ta’wil karena untuk memahami nash, dan ta’wil sahabat pada keadaan tertentu tidak langsung bisa diambil. Keduabelas, dengan menerima koreksi, Muhammadiyah menerima kritik atau koreksi yang membangun atas hasil pengembangan ideologinya, sepanjang argumentasi tersebut dijadikan pegangan pada dalil yang lebih kuat dan dan pendapat yang lebih akurat41.

Ketigabelas, Bersifat fleksibel, Muhammadiyah sering dikatakan bahwa ketika mempertimbangkan hal-hal, yang paling penting adalah ibadah, mahdhah nampaknya lebih kaku dan tegas, yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As- Sunnah. Namun dalam hal ibadah antar manusia, Muhammadiyah yang mempunyai sifat luas, sebab menurut Muhammadiyah pada permasalahan masalah ibadah antar manusia ini masuk dalam hal ijtihadi yang akan terus berjalan dan berkembang42.

Keempat belas, Bersifat relatif, produk dari Manhaj ini sering dianggap relatif sehingga kemungkinan adanya keragaman dari hasil penelitian. Prinsip syumuliyyah, ialah suatau prinsip yang menyajikan Islam dalam kerangka yang lengkap. Oleh karena itu manhaj ini mengembangkan dimensi ta’aqquli, dan ta’abbudi, zahiri dan batini, kaku dan cerita dengan realita saat kini43.

41Husna Amalia, “Muhammadiyah: Metode Dan Praktik Berijtihad,” Muaddib: Studi Kependidikan Dan Keislaman 1, no. 2 (2019): 119.

42 Amalia,n.d. 118

43 Amalia,n.d.119

(22)

C. Kontekstualisasi Islam Berkemajuan dalam Ijtihad Muhammadiyah 1. Islam Berkemajuan Menurut Muhammadiyah

Bagi Muhammadiyah Islam berkemajuan adalah Islam mengedepankan pemahaman modern, dalam artian yang mengedepankan mahabbah, ukhuwah, perdamaian, toleransi, persaudaraan dan kasih sayang tanpa kekerasan dan berkontribusi dalam membangun peradaban manusia yang mulia. Seperti halnya populisme Islam, Muhammadiyah secara moral berkomitmen pada nilai keseimbangan dan keamanan, namun Muhammadiyah kurang setuju dengan cara untuk mengeksploitasi agama dengan tujuan kebijakan yang nyata, ekonomi, terutama upaya yang diekspresikan dalam tindakan politik yang menekankan identitas Islamisme formalis44.

Muhammadiyah sangat serius dalam memperjuangkan Islam yang berkemajuan, agar islam dilihat selaku agama yang datang untuk menjawab berbagai masalah kontemporer secara cepat dan tepat. Sebagai yang lebih kontekstual, permasalahan dihadapi Muhammadiyah adalah permasalahan yang sangat beragam, dari masalah politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi sampai pada masalah keagamaan. Di sisi lain, menurut Haedar Nashir selaku Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Islam berkemajuan adalah ideologi agama mengutamakan praktek kemanusiaan yang universal45.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta tepatnya tahun 2010. Muktamar ini sebagai pembuka atau perkenalan dari karakter keIslaman Muhammadiyah bernuansa keindonesiaan, dalam artian islam Indonesia (islam

44 Hasnan Bachtiar, “Dar Al-’Ahd Wa Al-Shahadah: Upaya Dan Tantangan Muhammadiyah Merawat Kebinekaan,” Maarif 14, no. 1 (2019): 67–101.

45 Bachtiar,n.d, 67–101

(23)

yang mengikuti kebudayaan indonesia). Dan pada muktamar yang ke-47 yang bertempat di Makassar, slogan “islam berkemajuan” dan langsung diterima serta diakui oleh seluruh masyarakat.

Hal ini teridentifikasi saat Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah yang ke-47 dalam tema penguatan Ideologis Visi Peningkatan pada Program Umum tahun 2015-2020. Tema itu berisi: “Membesarnya prinsip, idealisme, dan konsep dasar pada gerakan yang menonjolkan kualitas Muhammadiyah demi kiprah Islam yang berkemajuan dan berfungsi aktif pada semangat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”46.

Din Syamsuddin adalah salah satu tokoh yang banyak berkontribusi dalam membentuk Islam Berkemajuan, yang ditonjolkan dalam islam berkemajuan yang digagas Muhammadiyah adalah karakter bahwa semua manusia adalah sama tanpa membedakan kewarganegaraan, suku, ras, warna kulit, golongan, agama, partai dan lain yang lainya (kosmopolitanisme). Adapun kepribadian yang tidak kalah penting adalah orientasi penyelesaian dalam umat, sebagaimana yang diorientasikan dalam muktamar yang ke-4747.

Ada tiga karya ilmuwan yang khusus membahas tentang Islam Berkemajuan yaitu: pengalihan dari kemurahan cara beribadah ke cara ibadah yang luas”48, cara ibadah yang luas menurut islam Berkemajuan”49, dan Islam

46 Teguh Luhuringbudi, Fitri Liza, and Novian Akbar, “Islam Berkemadjoean Perspektif Globalisasi: Kontribusi Islam Indonesia Pada Peradaban Global,” Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 11, no. 1 (2020): 74–96,

47 Bachtiar, n.d, 67–101.

48 Karakter kosmopolitan Muhammadiyah menurut pandangan Burhani adalah inklusif dan terbuka (open-minded). Lihat Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Berkemajuan:

Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme, (Bandung: Mizan, 2016), h. 43; Lihat juga Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah,

(24)

Berkemajuan saat kemajuan dunia: gambaran dan kegiatan Muhammadiyah untuk masa Depan”50. Dalam pedoman yang utama lebih mementingkan bahwasanya Islam Berkemajuan adalah bersifat bergerak, memudahkan dan meninggalkan sikap keterbelakangan terutama dalam mengikuti perkembangan zaman, mengutamakan ortopraksi keagamaan dari pada ortodoksi, efisiensi masa dan ketepatan. Adapun pedoman yang kedua, motivasi iman adalah menjadi penyebab Muhammadiyah bergerak.

Sementara dalam buku yang terakhir, spirit tajdid adalah kekuatan Muhammadiyah untuk bergerak secara dinamis dalam membangun pelbagai bidang kehidupan lainya, islam berkemajuan lahir dari organisasi persyarikatan Muhammadiyah51. Lahirnya “Islam Berkemajuan” didasari dari literasi buku yang bertemakan islam berkemajuan: K.H Ahmad Dahlan dalam catatan pribadi Kyai Syuja’. Kemudian Islam berkemajuan hadir sebagai gerakan yang ideologi terhadap gerakan membaca sekaligus slogan untuk menjawab dari tulisan Kyai Syuja’. Slogan itu ialah menjadikan falsafah yang membedakan antara Muhammadiyah yang dulu dan sekarang, slogan ini dimulai pada tahun 2010 tepatnya saat Muktamar ke-46 di Yogyakarta52.

Selanjutnya pada tahun 2015-2020 semboyan Islam Berkemajuan diangkat oleh Muhammadiyah, berjalan setingkat dengan tujuan pembentukan yang

(Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2010)

49 Din Syamsuddin,“Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan: Refleksi, Proyeksi dan Rekomendasi,” dlm. Abdul Mu’ti et. al. (eds.), Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2015), h. 11

50Abdul Mu’ti et. al. (eds.), Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, (Surakarta:

Muhammadiyah University Press, 2015).

51Bachtiar, n.d, 67–101.

52Luhuringbudi, Liza, and Akbar, “Islam Berkemadjoean Perspektif Globalisasi:

Kontribusi Islam Indonesia Pada Peradaban Global”. Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 11, no. 1 (2020): 74–96.

(25)

diambil oleh Muhammadiyah. Dalam tujuan pembentukan nasional ini yang telah diringkas pada semboyan Indonesia yang Berkemajuan. Usaha kontribusi Muhammadiyah lebih bermanfaat serta melekat pada Muhammadiyah dalam konteks memajukan Indonesia menjadi negara yang maju. Sehingga Indonesia tidak hanya dilihat seperti negara yang hanya memunculkan persyarikatan Muhammadiyah saja, akan tetapi Indonesia dipandang seperti negara yang mempunyai kekuatan untuk memberikan gerakan kehidupan global53.

Gagasan ini mempunyai tujuan yang sangat berpengaruh untuk menyelesaikan permasalahan yang terkini muncul di tengah masyarakat. Misalnya ketika tidak ada agenda yang dinamis, ide-ide, semboyan telah kehilangan kemampuan dan kekuatan untuk memecahkan permasalahan terkini. Para tokoh Muhammadiyah berpendapat bahwasanya dalam berkemajuan memiliki sifat yang spesifik, seperti bergerak dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Menurut salah satu pakar Islam, contohnya Omid Safi, membahas rancangan yang sama dan ditekankan seharusnya memajukan umat Islam untuk lebih fokus pada isu-isu keadilan dan pluralisme54.

Pada dasarnya peranan Islam Berkemajuan berorientasi pada Gerakan Dakwah dan Tajdid sebagaimana dalam keputusan Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, yaitu: “secara ideologis, Islam yang berkemajuan merupakan bentuk transformasi Al-Ma’un untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara aktual dalam pergulatan hidup keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan universal. Transformasi Islam berkemajuan merupakan

53 Luhuring Budi, Liza, and Akbar, n.d,74–96

54 Omid Safi, Progressive Muslims: On Justice, Gender and Pluralism, (Oxford:

Oneworld, 2003), h.2.

(26)

perwujudan dari pandangan keagamaan yang bersumber pada Al-Qur’an dan As- Sunnah dengan mengembalikan ijtihad di tengah tantangan kehidupan modern abad ke-21 yang sangat kompleks”55.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa gerakan dakwah dan tajdid menempati posisi yang mendasar dalam sejarah gerakan Muhammadiyah. Tidak heran jika Muhammadiyah dapat dilihat secara historis dari awal berdirinya hingga saat ini. Muhammadiyah selalu muncul untuk menunjukan pembaharuan strategi dakwahnya, dalam hal ini Muhammadiyah dapat memanifestasikan dirinya dalam politik, arah gerakan dan keputusan. Perubahan asal usul inilah yang memungkinkan Muhammadiyah mengatasi zaman-zaman lain tanpa kehilangan semangat (spirit of the epoch) yang di dalamnya Muhammadiyah hidup. Memasuki abad kedua, Muhammadiyah berkomitmen teguh pada gerakan Pencerahan sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan abad pertama.

2. Implementasi Islam Berkemajuan dalam Praktik Ijtihad Muhammadiyah

Dalam Slogan “kemajuan” Muhammadiyah sudah menggunakan jalan ijtihad untuk menghadapi permasalahan yang berkembanga pada manusia atau yang lainnya tentunya lebih rumit seperti, pendidikan kemiskinan dan pemberdayaan manusia yang dalam hal ini tidak bisa dijangkau oleh para ilmuan muslim atau yang lainnya. Menurut Muhammadiyah, Islam Berkemajuan tidak hanya sebuah gagasan keagamaan saja, akan tetapi dianggap sebagai petunjuk bagi gerakan sosial, maka hal ini perlu untuk diwujudkan di berbagai kenyataan

55 Lihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 Makassar, Yogyakarta, 2015, hal 64

(27)

yang konkret56.

Karakter Islam yang berkemajuan telah memberikan kekuatan yang dinamis, terutama menghadapkan Islam pada zaman ini. Menghadapi realitas Islam saat ini, ijtihad dikembangkan dengan menggunakan akal pikiran dan ilmu pengetahuan. Islam berjuang dengan kehidupan sepanjang zaman, dalam hal ini harus diwujudkan dalam amal. Islam sangat menjunjung tinggi amal, sesuai dengan iman dan ilmu. Dengan demikian Islam hadir dan paham keseimbangan sekaligus membumi dalam kehidupan. Dalam kehidupan tertentu, tidak ada manifestasi lain dari Islam, kecuali dari amal shaleh.

Pada abad kedua ini Muhammadiyah menerapkan Islam Berkemajuan, seperti halnya: Pertama, mengirim anak muda ke berbagai negara maju dan berkemajuan. Dengan tujuan untuk menjadi lulusan pendidikan yang memiliki keimanan yang teguh dan ilmu yang luas serta fisiknya dan mental yang kuat serta dapat membantu pembaruan Muhammadiyah di segala bidang untuk menunjukkan visi Islam Berkemajuan.

Kedua, pemberdayaan ekonomi. Tanpa gerakan ekonomi yang kuat, Muhammadiyah tidak akan mampu menjalankan gerakan Al-Maun. Pendidikan Muhammadiyah harus inklusif dan mampu menerima yang lemah. Jangan sampai hanya orang kaya saja yang bersekolah di Muhammadiyah. Ketiga, kekuatan Muhammadiyah sebagai masyarakat sipil sangat penting bagi pembangunan masyarakat yang mandiri57.

56 Luhuringbudi, Liza, and Akbar, n.d.74–96

57 Mu’ti Abdul, Riza Ul Haq Fajar DKK, Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2016),113.

(28)

Dalam konteks ini, untuk dijadikan sebagai tolak ukur atau indikator.

Muhammadiyah setidaknya harus memfokuskan dan menjadikan isu-isu tersebut sebagai agenda besar, seperti pendidikan selalu mengembangkan model baru;

penghormatan terhadap hak asasi manusia (al-karomah al-insaniyah) dengan fokus pada maqasid syari’ah. Oleh karena itu, bukan hanya syariat saja yang membangun hubungan harmonis antar umat beragama dan mengutamakan kesetaraan gender serta perlindungan anak.

Penyebaran ide-ide ini dapat dilakukan melalui berbagai institusi, menggunakan cara membagikan kepada semua organisasi. Utamanya adalah pada daerah wilayah atau provinsi dan regional pimpinan daerah yang ada di Indonesia.

Kemudian dalam proses pengesahan, resmi tentang ide tersebut baru dibagikan luas diberbagai masyarakat yang ada di cabang Muhammadiyah. Dari berbagai bagian ini, pimpinan akan mendistribusikan hasil dari salinan ke cabang lokalnya yang lebih kecil seperti Pimpinan Daerah Muhammadiyah bahkan pada bagian yang yang paling kecil yaitu Pimpinan Ranting Muhammadiyah58.

Islam yang berkemajuan merupakan bentuk modifikasi Al-Maun untuk mewujudkan dakwah dan tajdid dalam perjuangan umat, kehidupan bangsa dan kemanusiaan, Islam agama yang maju dan mencerahkan, merupakan ekspresi dari perspektif keagamaan yang berpedoman pada al-Qur'an dan as-Sunnah dalam mengembangkan ijtihad di tengah kehidupan modern abad ke-21. Dr. H. Agung Danarto, M. Ag selaku Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpesan

"Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan dan

58Bachtiar,n.d.68-101

(29)

kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia”59.

Dalam menerapkan Islam Berkemajuan perlu menggunakan ijtihad karena akan meluas ke semua aspek yang berkaitan dengan upaya dalam menyelesaikan permasalahan. Oleh karena itu bukan hanya memerlukan pemahaman teologis yang kuat serta penguasaan pengetahuan islam saja, tetapi juga perlu adanya pengetahuan dari berbagai jenis. Seperti pada kasus pandemi Covid-19 Muhammadiyah melakukan mengeluarkan ijtihadnya terutama dalam masalah ibadah60.

Muhammadiyah banyak mengeluarkan ijtihad khususnya ibadah pada masa pandemi Covid-19, dari ibadah shalat jama’ah yang biasanya dilakukan secara bersama-sama sekarang sudah tidak dianjurkan lagi dan salat jumat diganti dengan shalat dzuhur di rumah masing-masing. Dengan demikian keberadaan ijtihad dapat menjamin jalanya dinamika Islam yang berkemajuan.

59https://www.umm.ac.id/id/berita/begini-penjelasan-islam-yang-berkemajuan.html

60 Bachtiar.n.d, 69-101

Referensi

Dokumen terkait

Sesajen merupakan salah satu kepercayaan yang terdapat pada agama Hindu yang diberikan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur ( nenek moyang ), dan lain - lain yang dilakukan dengan

D. MATERI MATERI PEMBEL PEMBELAJARAN AJARAN 1. Rumus luas persegi. Rumus luas persegi. Hal-hal yan Hal-hal yang diperhatikan saat meng g diperhatikan saat menggambar. Menggambar

Beberapa sifat baik dari peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah antara lain : (1) mineralisasi bahan organik akan melepaskan unsur hara tanaman secara lengkap (N, P, K,

Oleh karena itulah dalam masa Adven kali ini kita diajak untuk memeriksa diri, guna melihat sudah sejauh mana keegoisan lenyap dari motif tindakan hidup; kita juga diajak

Konklusi hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, Dalam studi ilmu hukum, penelitian adalah suatu bangunan logika, yang dari awal sampai akhir harus

kepada Tuhan sebagai penciptanya, karena jika Tuhan yang menciptakan dan memberinya kehidupan pada dirinya, maka kedua orang tua adalah yang diberi mandat oleh

Membuat catatan dan laporan kegiatan sebagai bahan informasi dan pertanggung jawaban kepada atasan.. Melaksanakan tugas lain yang diberikan