• Tidak ada hasil yang ditemukan

pada tanggal 12 Juli 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "pada tanggal 12 Juli 2014"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Disahkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 diharapkan akan sedikit menguntungkan Indonesia. Pasalnya, sebelum UU ini disahkan yang menjadi acuan dalam pertambangan adalah Kontrak Karya yang dinilai oleh banyak pihak sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) sementara Indonesia banyak dirugikan. Kerugian itu terjadi karena bagi hasil (dividen) dan royalti yang sangat tidak adil. Royalti yang didapatkan Indonesia hanya 1%1 dari jumlah penjualan bersih perusahaan tambang2. Selain itu, beberapa poin lainnya juga dinilai sangat pro MNCs3. Padahal sektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang sangat strategis bagi perekonomian Indonesia4. Untuk itu, penulis sangat menyayangkan jika sampai sekarang sektor ini masih saja ‘dikendalikan’

oleh MNCs bukan oleh pemerintah Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam.

Salah satu amanat Undang-Undang Minerba tersebut pada intinya adalah mulai 12 Januari 2014 perusahaan tambang (asing dan domestik) wajib mengolah dan memurnikan mineral mentah hasil tambangnya dalam negeri sebelum melakukan ekspor ke luar negeri. Artinya sejak awal tahun ini, tidak boleh lagi ada kegiatan penjualan mineral mentah langsung. Hal ini dinyatakan dalam pasal 103 dan 170 UU Minerba5 yang kembali dipertegas dalam PP No.23/2010 dan Permen ESDM No.7/2012. Namun, kedua peraturan tersebut beberapa kali

1Royalti Pertambangan Rendah dan Birokrasi yang Lemah. Diakses dari http://www.antikorupsi.org/en/content/royalti-pertambangan-rendah-dan-birokrasi-yang-lemah, pada tanggal 12 Juli 2014

2Bandingkan dengan royalti MNCs di negara-negara lain, Australia; 3%-8%, Afrika; 3%-12%, Amerika latin; 3%-7% dalam James Otto, et.al. 2006. Mining Royalties : A Global Study of Their Impact on Investors, Government and Civil Society. Washington DC: The World Bank. Hal.80-98

3Amien Rais. 2008. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta:PPSK Press.

Hal.267

4Tahun 2011 sektor pertambangan menyumbang 94,7 triliun bagi pendapatan negara; 70,5 triliun dari pajak dan 24,2 triliun bukan pajak (Kementerian ESDM)

5Untuk lebih jelasnya lihat Blueprint UU Minerba

(2)

18 direvisi oleh pemerintah.6 Klausul yang melarang ekspor langsung material mentah diubah sedemikian rupa sehingga pada intinya memberikan kelonggaran kepada perusahaan tambang tertentu untuk melakukan ekspor mineral dalam bentuk konsentrat (belum dimurnikan).7

Implikasi dari tindakan pelonggaran ekspor mineral tersebut adalah pemerintah kelabakan mengeluarkan sejumlah regulasi penyesuaian yang sebenarnya kontraproduktif dengan UU Minerba itu sendiri. Hal yang cukup menuai kontroversi dari sejumlah kalangan adalah pemberian izin melalui Surat Persetujuan Ekspor (SPE) oleh Kementerian Perdagangan kepada tiga perusahaan tambang untuk mengekspor mineral ke luar negeri setelah menyetor sejumlah uang sebagai jaminan pembangunan smelter. Ketiga perusahaan tambang itu adalah PT. Freeport, PT. Silo dan PT. Lumbung Mineral Sentosa8. Masing-masing perusahaan ini menyetor US $ 115 juta9, US $ 12 juta dan US $ 300.00010.

Dengan dikeluarkannya sejumlah regulasi penyesuaian termasuk SPE yang dinilai bertentangan dengan UU Minerba tersebut, penulis berasumsi bahwa;

Pertama pemerintah Indonesia telah inkonsisten dalam mengimplementasikan amanat UU Minerba. Kedua, PT. Freeport sepertinya sering mendapat ‘privilege’

dari pemerintah Indonesia. Demi fokusnya penelitian ini menjadi alasan penulis memilih PT. Freeport11 sebagai objek penelitian.

6Hal ini terbukti dengan diterbitkannya PP No. 24/2012 yang direvisi dengan PP No.1/2014 dan Permen ESDM No. 11/2012 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 20/2013, direvisi lagi dengan Permen ESDM No.1/2014

7Sekedar menjadi pembanding, di sektor kehutanan, pemerintah tetap bersikukuh atau konsisten melarang ekspor langsung kayu gelondongan (Wiji Nurhayat. Tanggapi Pengusaha, Wamendag Keberatan Ekspor Kayu Gelondongan Dibuka.

Diakses dari http://finance.detik.com/read/2013/12/13/150142/2441428/1036/tanggapi-pengusaha- wamendag-keberatan-ekspor-kayu-gelondongan-dibuka, pada tanggal 1 September 2014)

8Rangga Prakoso. SILO dan Lumbung Energi Sedikit Lagi Mendapatkan Izin Ekspor. Diakses dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/189702-silo-dan-lumbung-energi-sedikit-lagi-mendapatkan- izin-ekspor.html, pada tanggal 2 Juli 2014

9Rangga Prakoso. Lengkapi Syarat, Freeport Bayarkan Jaminan Kesungguhan US$ 115 Juta.

Diakses dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/193603-lengkapi-syarat-freeport-bayarkan- jaminan-kesungguhan-us-115-juta.html, pada tanggal 1 Juli 2014

10Pemerintah Telah Terbitkan Rekomendasi SPE Untuk Silo dan Lumbung Mineral. Diakses dari http://m.energitoday.com/2014/06/18/pemerintah-telah-terbitkan-rekomendasi-spe-untuk-silo-dan- lumbung-mineral/, pada tanggal 20 Juni 2014

11PT. Freeport Indonesia dalam bahasan ini selanjutnya disebut Freeport sedangkan Freeport McMoran Copper and Gold selaku induk Freeport disebut Freeport McMoran.

(3)

19 1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, muncul sebuah pertanyaan yang perlu dielaborasi lebih lanjut, yakni ;

Mengapa Pemerintah Indonesia tidak konsisten mengimplementasikan UU Minerba No.4 Tahun 2009 dengan memberikan Surat Persetujuan Ekspor kepada Freeport ?

1.3 STUDI LITERATUR

Setelah melakukan studi literatur terkait topik yang dibahas dalam tulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa ada 3 tema penting yang relevan dan perlu dibahas demi pemahaman yang mendalam terhadap kasus ini. Pertama, perdebatan tentang peran dan arti perusahaan multinasional bagi negara penerima.

Kedua, sumber daya alam sebagai sumber berkah atau membawa kutukan. Ketiga, nasionalisme sumber daya. Dari ketiga tema penting tersebut, sebenarnya sudah terlihat solusi terhadap permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang khususnya Indonesia dalam mengatur operasi MNCs agar tidak merugikan. Lebih lengkapnya seperti uraian berikut.

a. Perdebatan tentang Peran dan Arti Penting Perusahaan Multinasional (MNC) bagi Negara Penerima (Host Country)

Relasi antara perusahaan multinasional dengan negara penerima sampai sekarang ini masih menjadi perdebatan besar, khususnya di kalangan ekonom. Hal ini berangkat dari fakta bahwa MNCs berkontribusi cukup signifikan bagi kemajuan perekonomian negara host countries. Namun, tidak sedikit juga fakta yang menunjukkan bahwa keberadaan MNCs malah banyak menimbulkan kerugian bagi host countries khususnya di negara Dunia Ketiga. Di samping itu, ada juga fakta lain bahwa MNCs dan host countries mendapat keuntungan yang setara.

Pihak yang beranggapan bahwa kehadiran MNCs merugikan host countries dikategorikan ke dalam pihak yang kontra terhadap MNCs atau disebut juga Kelompok Marxist. Salah satu bagian dari Kelompok Marxist adalah Neo- imperialis. Golongan ini berpendapat bahwa kehadiran MNCs di negara-negara

(4)

20 Dunia Ketiga tidak lain merupakan penjajahan bentuk baru dari negara-negara maju. Di dalamnya akan terjadi hubungan dependensia dimana negara Dunia Ketiga akan selalu bergantung kepada negara-negara maju sebagai pemilik MNCs (home countries) misalnya dalam hal modal (pinjaman), ilmu pengetahuan dan teknologi. Tokoh-tokoh Neo-imperialis seperti Baran, Sweezy, Magdoff, Girvan, Sunkel, dan Frank.12 Untuk itu, sejalan dengan pihak yang kontra MNCs ini, sebagian orang tidak menyukai MNCs, khususnya MNCs asal Amerika karena dipandang sebagai lembaga yang berusaha mendominasi dunia. Sejak tahun 1960- an dan 1970-an sikap apatis sebagian orang terhadap perusahaan multinasional telah terjadi.13

Sedangkan pihak yang beranggapan bahwa kehadiran MNCs menguntungkan host countries dikategorikan ke dalam pihak yang pro MNCs atau dikenal dengan sebutan Kelompok Non-Marxist. Salah satu bagian dari Kelompok Non-Marxist adalah Neo-klasik. Golongan ini pada umumnya mendukung keberadaan MNCs tetapi sumber ilmiah lain juga menyatakan bahwa sebagian dari kelompok tersebut ada yang kontra dengan MNCs. Menurut Gilpin terdapat kelompok ekonomi mainstream yang intinya sepakat tentang peran MNCs dalam menyumbang pendapatan negara, tetapi ketika difungsikan secara global, perusahaan multinasional pasti akan mengorbankan suatu wilayah ekonomi tertentu. Oleh karena itu, kesepakatan mereka mengenai MNCs hanya terbatas pada domain aktivitas di suatu negara.14 Tokoh-tokoh aliran Neo-klasik seperti Reuber, Meier, Vermon, Rugman, dan Balasubramanyam.15

Sementara yang beranggapan bahwa MNCs dan host countries sama-sama mendapatkan keuntungan terdiri dari para ekonom bisnis (business economist).16 Kelompok ini berkeyakinan bahwa terus berkembangnya MNCs akan berkorelasi

12Ibid

13Paul De Grauwe and Filip Camerman. How Big Are The Big Multinational Companies ?.

Diakses dalam http://www.econ.kuleuven.be/ew/academic/intecon/degrauwe/pdg- papers/recently_published_articles/how%20big%20are%20the%20big%20multinational%20comp anies.pdf, pada tanggal 5 Juni 2014

14Robert Gilpin. 2001. Global Political Economy : Understanding the International Economic Order. Princeton University Press. New Jersey. Hal.279-282. Dalam Ahmad Erani Yustika. 2011.

Ekonomi Politik: Kajian Teoretis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.88

15Rhys Jenkins. 2003. Theoretical Perspectives on the Transnational Corporations. Hal. 416.

Dalam Ahmad Erani Yustika. 2011. Ekonomi Politik: Kajian Teoretis dan Analisis Empiris.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 86

16Robert Gilpin. Hal.281. Dalam Ahmad Erani Yustika. Hal.88-89

(5)

21 positif dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat host countries. Hal itu bisa terjadi karena kehadiran MNCs membuka lapangan pekerjaan dan juga MNCs merupakan salah satu sumber pendapatan bagi host countries melalui royalti dan dividen. Sementara MNCs mendapat keuntungan dari proses produksinya lewat pendapatan (net income). Pada titik inilah mereka percaya kedua belah pihak (MNCs dan host countries) mendapatkan keuntungan yang setara.17

Namun, ada hal yang menarik dari kedua kelompok aliran tersebut.

Jenkins mengemukakan bahwa terdapat kelompok yang menamakan dirinya Kelompok Marxist namun sepakat dengan konsep MNCs. Kelompok ini dinamakan Neo-fundamentalis.18 Akan tetapi, keyakinan penganut aliran ini hanya terbatas pada MNCs yang melakukan investasi langsung dengan segmen usaha yang sebelumnya tidak ada. Mereka beranggapan bahwa investasi asing langsung oleh MNCs tidak menggusur sektor usaha yang sebelumnya telah mapan. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan bahwa negara Dunia Ketiga mendapatkan banyak manfaat dari terjadinya aktivitas MNCs karena dapat menstimulus aktivitas ekonomi riil lainnya dan juga memunculkan setoran pajak baru.

Singkatnya, potensi yang sebelumnya tidak tergali dapat terwujud ketika MNCs diberikan kesempatan menjalankan aktivitasnya di negara berkembang. Tokoh- tokoh aliran Neo-fundamentalis seperti Warren, Emmanuel, dan Schiffer.19

Di sisi lain, ada juga yang menamakan dirinya Kelompok Non-Marxist tetapi menentang eksistensi MNCs. Golongan ini bernama Global Reach.20 Mereka menentang MNCs karena perusahaan lintas negara tersebut sangat erat dengan investasi asing yang merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi menjadikan pasar yang oligopolistik. Caranya dengan mengakuisisi perusahaan asing sejenis yang ada di negara-negara miskin atau dengan melakukan greenfield investment yang perlahan tapi pasti akan mendominasi pasar di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, dalam pandangan kelompok ekonom tersebut, menerima konsep MNCs sama saja melegitimasi sistem pasar oligopolistik yang

17Ibid

18Rhys Jenkins. Hal. 426. Dalam Ahmad Erani Yustika. Hal.85-86

19Ibid

20Rhys Jenkins. Hal. 419. Dalam Ahmad Erani Yustika. Hal.86-88

(6)

22 secara langsung atau tidak langsung merugikan para konsumen. Tokoh-tokoh Global Reach seperti Barnet, Muller, Streeten, Lall, Vaitsos, Helleiner, serta Newfarmer.21

Secara singkat perspektif tentang perusahaan multinasional dapat dilihat dalam tabel seperti di bawah ini;

Tabel 1.1: Perspektif Perusahaan Multinasional

Aliran Pemikiran Pro-MNCs Kontra-MNCs

Marxist

Neo-fundamentalis (Warren, Emmanuel dan

Schiffer)

Neo-imperialis (Baran,Sweezy, Magdoff, Girvan, Sunkel dan Frank)

Non-Marxist

Neo-klasik (Reuber, Meier, Vermon,

Rugman dan Balasubramanyam)

Global Reach (Barnet, Muller, Streeten, Lall, Vaitsos,

Helleiner serta Newfarmer)

Sumber : Jenkins, 2003:416 dalam Ahmad Erani Yustika. Hal.86

b. Sumber Daya Alam sebagai Sumber Berkah atau Membawa Kutukan (Natural Resources as Resource of Blessing or Curse) ?

Pada umumnya, MNCs dalam ekspansinya ke negara-negara berkembang sebagian besar bertujuan untuk mencari sumber daya alam (resourcse-seeking).

Namun, tidak sedikit juga yang bertujuan untuk mencari pasar (market-seeking) dan untuk tujuan efisiensi produksi (efficiency-seeking) karena upah buruh yang rendah di negara berkembang.

Berbicara mengenai sumber daya alam (SDA) bagi suatu negara selaku pemilik, ada dua cara pandang atas hal ini. Sebagian besar orang meyakini SDA sebagai sumber berkah (membawa kemakmuran) namun tidak sedikit juga yang menganalogikannya sebagai sumber kutukan (curse).

Pada hakekatnya SDA bisa menjadi berkah jika dikelola dengan baik oleh negara yang bersangkutan (beserta perusahaan-perusahaan multinasional selaku operatorship) dan difungsikan untuk kemajuan bangsa khususnya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi, di negara-negara berkembang yang berlimpah

21Ibid

(7)

23 SDA seperti minyak, gas, mineral dan non mineral lainnya, SDA lebih menjadi kutukan daripada menjadi berkah. Hal ini bisa terjadi karena pada tataran pengelolaan terjadi kesalahan khususnya dalam hal regulasi22. Akibat dari kesalahan ini muncullah beberapa istilah seperti ‘resource curse hypothesis’23 dan

‘paradox of plenty’.24

Resource curse merujuk kepada kelimpahan SDA suatu negara namun SDA tersebut malah menjerumuskan negara pemiliknya ke dalam jurang kemiskinan sehingga dianalogikan sebagai sebuah ‘kutukan’. Artinya, terjadi paradoksal antara SDA yang melimpah dengan terjadinya kemelaratan di dalam tubuh bangsa yang bersangkutan. Itulah yang disebut paradox of plenty.

Paradox of plenty terjadi karena dua alasan, yakni; Pertama, biasanya negara yang dikarunia SDA, pemerintahnya terlambat memulai proses industrialisasi. Padahal industrialisasi dalam pengertian yang betul akan menyelamatkan suatu bangsa dalam dua hal, yaitu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah dari barang atau jasa yang dihasilkan. Jadi, SDA tersebut tidak dijual dalam bentuk mentah tetapi diolah terlebih dahulu sehingga menghasilkan kualitas produk yang lebih baik dan mahal dan kedua adalah mengurangi eksploitasi SDA karena konsentrasi industrialisasi bukanlah mengeksploitasi melainkan mengolah. Proses inilah yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Australia dan Selandia Baru. Sebaliknya, langkah itu tidak (belum) diikuti oleh negara-negara berkembang yang memiliki potensi SDA jauh lebih melimpah, seperti Indonesia. Kedua, pemerintah suatu negara yang kaya SDA cenderung terjerumus dalam formulasi kebijakan yang buruk (bad policies). Kebijakan yang tidak berkualitas itu bersumber dari realitas bahwa kekayaan alam dengan mudah bisa diperoleh dengan jalan menguras SDA. Akhirnya, kebijakan ekonomi yang diproduksi fokus pada eksploitasi SDA untuk dijual, baik dalam pasar domestik

22Ahmad Erani Yustika. Op.Cit. Hal.195

23Frasa ‘resource curse’ pertama kali diperkenalkan oleh Richard M.Auty dalam Sustaining Development in Mineral Economies : The Resource Curse Thesis (London and New York:

Routledge, 1993) seperti disebutkan dalam Stiglitz. 2006. Making Globalization Work; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. W.W.Norton & Company, Inc. New York, hal 442.

24Terry Lynn Karl. 1997. The Paradox of Plenty: Oil Booms and Petro-States, Studies in International Political Economy 26 (Barkeley: University of California Press,) seperti disebutkan dalam Stiglitz. 2006. Making Globalization Work; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. W.W.Norton & Company, Inc. New York, hal 441.

(8)

24 maupun internasional, tanpa memperhitungkan kelayakan daya dukung lingkungan.

Atas hal ini, Stiglitz menegaskan bahwa ‘kutukan kekayaan alam itu sesungguhnya bukanlah sebuah takdir, melainkan sebuah pilihan’25. Dengan kekayaan alamnya yang melimpah, negara berkembang seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Artinya bahwa semua kembali kepada negara pemilik SDA itu sendiri, dalam hal ini pemerintah untuk memperjuangkan kepentingannya melalui regulasi investasi yang tegas dan cepat. MNCs hanya mengetahui bahwa mereka membutuhkan SDA dari negara-negara berkembang dan tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat host countries. Untuk itu, Stiglitz menyatakan bahwa ‘kutukan sumber daya alam harus dihilangkan dari negara-negara berkembang. Sumber daya alam yang melimpah itu harus diubah sesuai dengan hakekatnya yakni sebuah berkah’26.

c. Nasionalisme Sumber Daya (Resource Nationalism)

Entah baru sadar dengan pembagian hasil pengelolaan SDA yang tidak proporsional dengan hasil yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional selama ini, beberapa tahun belakangan terjadi sebuah fenomena menarik di negara-negara penerima. Fenomena itu dikenal dengan nama nasionalisme sumber daya (resource nationalism).

Hal ini telah dibuktikan oleh kajian Ernst & Young bahwa nasionalisme sumber daya di negara-negara penerima cenderung meningkat beberapa tahun belakangan ini. Hal ini paling dikhawatirkan oleh para pelaku usaha tambang internasional khususnya di tahun 2012-2013 karena akan menjadi resiko bagi usaha pertambangannya.27

Menurut Hill, secara prinsip resource nationalism adalah upaya atau metode yang dilakukan oleh suatu negara untuk mendapatkan kendali lebih atas SDA yang dimiliki serta mendapatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sumber

25Joseph Stiglitz. 2006. Making Globalization Work; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. New York: W.W. Norton & Company, Inc. Hal. 231

26Ibid Hal. 243

27Ernst & Young. 2012. Business Risks Facing Mining and Metals 2012-2013. Diakses dari http://www.ey.com/GL/en/Industries/Mining---Metals/Business-risks-facing-mining-and-metals- 2012---2013, pada tanggal 27 Juni 2014

(9)

25 daya-nya.28 Ada dua hal krusial dari prinsip ini yakni kendali dan manfaat ekonomi.

Masih berdasarkan kajian Ernst & Young, setidaknya ada tiga tren utama resource nationalism yang mengemuka beberapa tahun belakangan ini, yaitu;

1. Meningkatkan Royalti dan atau Pajak Tambang.

Hal ini telah dilakukan oleh Australia pada tahun 2010. Australia sebagai negara dengan tradisi tambang yang kuat membuat kejutan dengan mengumumkan aturan baru mengenai pajak tambang. Hal ini mendorong banyak negara eksportir komoditas tambang turut meningkatkan pendapatannya dari sektor pertambangan.

2. Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah (Added Value) dan atau Pembatasan Ekspor.

Hal ini telah terjadi di negara-negara seperti Zimbabwe, Brasil dan Vietnam sebagai negara eksportir komoditas tambang. Negara–negara ini mengimplementasikan kebijakan peningkatan nilai tambah dengan menerapkan pembatasan jumlah ekspor atas bahan mentah komoditas tambangnya. Merujuk ke amanat UU Minerba, kebijakan ini pula yang seharusnya diterapkan Indonesia lewat proses pemurnian mineral mentah sebelum diekspor. Namun dalam realitasnya, ketersediaan smelter yang belum memadai menyebabkan proses pemurnian belum juga terlaksana.

3. Upaya Mempertahankan Kepemilikan Negara (Nasional) atas Sumber Daya yang Dimiliki.

Hal ini lebih spesifik ke soal divestasi saham. Hal ini telah diterapkan oleh Mongolia pada tahun 2012 dengan membatasi kepemilikan saham asing pada perusahaan pengelola SDA-nya hingga 49%29. Di waktu yang bersamaan (tahun 2012), hal serupa juga dilakukan oleh Indonesia. Melalui instrumen PP No.24/2012, Indonesia mewajibkan perusahaan tambang asing untuk melakukan divestasi saham sebesar 51%. Namun, dalam hasil renegosiasinya,

28Hill et al., 2012. Resource Nationalism : A Return to the Bad Old Days ?. Diakses dari http://www.cliffordchance.com/content/dam/cliffordchance/PDFs/Resource_Nationalism_- _A_Return_to_the_Bad_Old_Days.pdf, pada tanggal 27 Juni 2014

29Ibid

(10)

26 perusahaan tambang khususnya Freeport hanya bersedia mendivestasikan sahamnya sebanyak 30%30.

Selain menaikkan pajak dan royalti, meningkatkan nilai tambah, membatasi ekspor dan divestasi saham, wujud lain dari resource nationalism adalah mengubah jangka waktu kontrak atau menasionalisasi perusahaan asing.31

Dari ketiga literatur di atas, penulis berkesimpulan bahwa memang tidak sedikit host countries (khususnya negara berkembang) merugi karena kehadiran MNCs. Hal itu nampak dalam hal bagi hasil yang tidak seimbang dan inilah yang terjadi di Indonesia. Untuk itu, bisa dikatakan bahwa munculnya gelombang resource nationalism di berbagai negara turut mengilhami pemerintah Indonesia sehingga mengesahkan UU Minerba No. 4 Tahun 2009. Hal ini menjadi sebuah manifestasi dari apa yang dikatakan oleh Stigliz bahwa “kutukan sumber daya alam’ harus dihilangkan dari negara-negara berkembang”.

Artinya bahwa lewat undang-undang ini diharapkan pengelolaan sumber daya mineral Indonesia oleh MNCs sesuai dengan prinsip saling menguntungkan, tidak mengacuhkan daya dukung lingkungan demi pembangunan berkelanjutan (sustainability development), sehingga SDA yang dimilikinya tidak menjadi

‘kutukan’ tetapi menjadi ‘berkah’ bagi masyarakat Indonesia. Namun sangat disayangkan, dalam proses pelaksanaannya pemerintah Indonesia sendiri yang terkesan ‘tidak serius’ dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut.

Mencoba mengkritisi (menyatakan kesetujuan ataupun ketidaksetujuan) terhadap studi literatur di atas, pertama, dari segi relasi host countries dengan MNCs yang berkaitan dengan eksplorasi SDA, penulis cenderung setuju dengan para ekonom bisnis bahwa sebenarnya kedua belah pihak akan sama-sama mendapat keuntungan jika relasi di antara keduanya jelas. Bukan hanya satu pihak yang diuntungkan sementara pihak lain (pada umumnya negara penerima)

30Muhammad Yazid. Freeport Akhirnya Setuju Melepas 30 Persen Saham. Diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/06/0809471/Freeport.Akhirnya.Setuju.Melepas.3 0.Persen.Saham, pada tanggal 7 Juni2 014

31Hadi Soesatro. The Rise of Resource Nationalism in Indonesia. The Jakarta Post (Online).

Edition : 13 September 2007. Diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2007/09/13/rise- resource-nationalism-indonesia.html, pada tanggal 30 Juni 2014

(11)

27 dirugikan. Inilah yang dimaksud oleh Stiglitz bahwa ‘kutukan sumber daya itu bukanlah takdir tetapi pilihan’. ‘Kutukan’ hanya bisa hilang dari negara berkembang atau berubah menjadi berkah jika pemerintah negara yang bersangkutan tegas terhadap MNCs. Caranya adalah membentuk dan memberlakukan regulasi yang jelas sebagai instrumen hukum yang mengatur dan mengendalikan operasi MNCs, bukan malah dikendalikan oleh MNCs.

Kedua, dari segi nasionalisme sumber daya, penulis juga sepakat bahwa hal tersebut mutlak dilakukan oleh pemerintah host countries agar kekayaan sumber daya yang dimilikinya bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, agar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tidak ‘dikontrol’ oleh MNCs tetapi oleh pemerintah sebagai pemilik sumber daya maka nasionalisme sumber daya merupakan suatu keharusan.

Berdasarkan riset-riset sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan munculnya resource nationalism di beberapa negara, baik negara maju maupun negara berkembang dan telah penulis paparkan di atas, kecenderungannya adalah nasionalisme sumber daya mereka berhasil seperti yang telah ditunjukkan oleh Australia, Brazil, Zimbabwe, Vietnam dan Mongolia. Sementara resource nationalism Indonesia yang termanifestasi dalam UU Minerba ‘gagal’

diimplementasikan secara penuh oleh pemerintah Indonesia.

Ini pertanda bahwa belum ada (atau masih terbatas) riset yang membahas faktor-faktor yang menyebabkan pemerintah host countries ‘gagal’ dalam nasionalisme sumber daya-nya. Entah karena nasionalisme sumber daya oleh pemerintah host countries di negara-negara lain pada umumnya berhasil atau karena memang belum ditemukan kasus serupa seperti yang sedang terjadi di Indonesia.

Untuk itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji bagaimana Freeport dengan bargaining powers yang ia miliki bisa mempengaruhi kebijakan nasional yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia selaku pemilik SDA sehingga terkesan kebijakan tersebut mampu ‘ditawar’. Dengan mengangkat kasus ini, penulis berharap dapat berkonstribusi terhadap kajian ekonomi politik global khususnya mengenai relasi antara MNCs dengan host countries.

(12)

28 Secara konseptual dan faktual, selama ini diyakini bahwa sumber daya alam akan selalu menjadi bargaining power yang lebih kuat bagi pemerintah host countries jika dibandingkan dengan bargaining power MNCs (khususnya yang berbasis ekstraksi). Implikasinya, MNCs akan selalu tunduk terhadap setiap regulasi dari pemerintah host countries namun beda halnya dengan fakta yang penulis temukan dalam kasus ini. Bargaining power pemerintah Indonesia selaku pemilik SDA yang seharusnya kuat dan berkorelasi positif terhadap bargaining position-nya malah lebih lemah dibandingkan dengan bargaining power dan bargaining position dari Freeport.

1.4 KERANGKA KONSEPTUAL

Untuk menjawab pokok permasalahan dalam tulisan ini, ada dua konsep yang penulis gunakan sebagai guideline, yaitu konsep “Bargaining Power” oleh Lairson and Skidmore” dan konsep “Policy Implementation” oleh George C.

Edwards III. Penulis menganggap kedua konsep ini relevan digunakan sebagai

‘pisau analisis’ dalam mengelaborasi pokok permasalahan tersebut.

1. Bargaining Power

Dalam konsepnya, Lairson and Skidmore mengemukakan bahwa faktor yang menentukan daya tawar suatu negara (host country) dan perusahaan multinasional dapat dilihat dari masing-masing karakteristik yang dimiliki. Karakteristik host country, di antaranya; pertama, skala pasar domestik (besar vs kecil). Apabila skala pasar domestik besar maka posisi tawar (bargaining power) negara tuan rumah akan lebih besar, begitupun sebaliknya. Kedua, angkatan kerja (terampil dan disiplin vs tidak terampil). Apabila tenaga kerja terampil dan disiplin maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Ketiga, sumber daya alam (melimpah atau terbatas). Apabila sumber daya alam melimpah maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Keempat, infrastruktur (baik vs buruk). Apabila infrastruktur baik maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Kelima, ketersediaan alternatif bagi investasi asing (struktur industri, modal domestik, tabungan domestik). Apabila struktur industri, modal (tabungan) domestik tersedia maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Keenam, birokrasi. Apabila kualitas

(13)

29 birokrasi host country baik maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Ketujuh, tingkat keahlian host country. Apabila tingkat keahlian baik maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya.32

Sedangkan fakor yang menentukan daya tawar perusahaan multinasional dapat dilihat dari karakteristiknya yaitu; pertama, jenis produk (berbasis sumber daya alam vs manufaktur). Apabila jenis produksi dari perusahaan multinasional berbasis pada sumber daya alam, maka bargaining power-nya akan cenderung lebih rendah namun apabila jenis produksi dari perusahaan multinasional berbasis manufaktur maka bargaining power-nya akan cenderung lebih tinggi. Seperti yang sudah dikemukakan oleh Vernon, hal ini terjadi karena perusahaan multinasional yang berbasis pada sumber daya akan bergantung pada keberadaan sumber daya alam di negara berkembang. Berbeda halnya dengan perusahaan manufaktur yang lebih dinamis (fleksibel) dapat memindahkan perusahaannya ke negara lain jika tidak sesuai dengan yang diinginkan. Hal inilah yang membuat bargain power-nya lebih tinggi. Kedua, kompleksitas teknologi (tinggi vs rendah).

Semakin tinggi kompleksitas teknologi suatu perusahaan maka semakin tinggi pula bargain power-nya, begitupun sebaliknya. Ketiga, tingkat kompleksitas pasar (domestik vs internasional).

Konsep ini penting bagi penelitian ini karena yang menjadi objek penelitian adalah pemerintah Indonesia selaku host country dan Freeport selaku perusahaan multinasional. Melalui konsep “Bargaining Power” tersebut akan diketahui bagaimana kualitas daya tawar masing-masing pihak serta bagaimana kedua belah pihak memainkan daya tawar yang ia miliki tersebut. Lewat konsep ini juga akan diketahui bagaimana bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport dan sebaliknya. Dari fakta-fakta tersebutlah pada akhirnya akan

32Lairson and T.D. Skidmore. 1993. International Political Economy the Struggle for Power and Wealth. Harcourt Brace College Publishers dalam Dinamika Renegosiasi Negara dengan Perusahaan Multinasional:Studi Kasus; Pemerintah Indonesia-PT.Vale Indonesia dalam Renegosiasi Kontrak Karya. 2013. Naota A.Parongko. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Tidak Dipublikasikan

(14)

30 diketahui penyebab pemerintah Indonesia tidak konsisten mengimplementasikan UU Minerba dengan memberikan SPE kepada Freeport.

2. Fragmentasi Birokrasi

Fragmentasi birokrasi merupakan salah satu variabel33 dari konsep implementasi kebijakan (Policy Implementation) yang dikemukakan oleh George C.Edwards III.34 Menurut Edwards salah satu karakteristik utama dari birokrasi, yakni adanya fragmentasi. Edwards menjelaskan bahwa “fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units,…and this makes coordination of policies difficult. The resources and authority necessary to attack a problem comprehensively are often distributed among many bureaucratic units”.35

Artinya bahwa tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering terfragmentasi (tersebar) di antara beberapa organisasi. Adanya fragmentasi tersebut menghambat koordinasi. Hal ini sudah sering terjadi bahwa karena alasan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, para birokrat biasanya menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil36.

Hal ini terlihat dalam struktur birokrasi pemerintahan Indonesia. Pada umumnya suatu kebijakan (regulasi) ditangani oleh beberapa instansi dan tidak tertutup kemungkinan, koordinasi antar instansi tidak maksimal ditambah regulasi yang tidak tegas. Padahal selain sumber daya alam, regulasi yang jelas dan tegas serta birokrasi yang solid akan menjadi daya tawar yang kuat bagi pemerintah host countries dalam menghadapi MNCs. Untuk itu, ketika birokrasi dalam keadaan terfragmentasi dan tidak solid maka daya tawar pemerintah host

33Tiga variabel lainnya adalah communication (komunikasi), resources (sumber-sumber), dispositions (kecenderungan-kecenderungan)

34George C. Edwards III. 1980. Implementing Public Policy. Washington D.C.:Congressional Quarterly Press. Hal. 1

35Ibid. Hal.134 and 137

36Budi Winarno. 2008. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta Meddpress. Hal. 206-207

(15)

31 countries selaku pemilik SDA akan mudah dilemahkan oleh daya tawar dari MNCs. Contohnya adalah implementasi UU Minerba yang ditangani oleh setidaknya empat kementerian, yakni Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan.

Selain itu, adanya sistem otonomi daerah nampaknya juga berpengaruh terhadap implementasi UU Minerba. Koordinasi yang lemah seringkali terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tempat MNC yang bersangkutan beroperasi sehingga menyebabkan terjadinya konflik kepentingan di antara kedua belah pihak. Dalam kasus ini, Freeport dengan sejumlah daya tawar yang dimilikinya seperti kekuatan negosiasi, kekuatan finansial selalu berusaha untuk menghambat implementasi UU tersebut dengan melobi pemerintah Indonesia dari satu instansi ke instansi lainnya.

Konsep implementasi kebijakan ini pada umumnya digunakan dalam menganalisis proses implementasi kebijakan-kebijakan publik. Namun, penulis sengaja memilih konsep tersebut setidaknya karena dua alasan. Pertama, pada kenyaataannya, UU Minerba sendiri merupakan sebuah kebijakan yang mempengaruhi hubungan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport. Kedua, pada umumnya proses implementasi suatu kebijakan tidak hanya sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor eksternal, yang dalam kasus ini berasal dari Freeport, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal yakni dari pemerintah Indonesia itu sendiri. Dengan menggunakan konsep ini, akan diketahui bagaimana faktor eksternal dan faktor internal tersebut saling mempengaruhi dalam proses implementasi kebijakan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setelah problematika tersebut terjawab, pada akhirnya akan diketahui faktor mana yang cenderung dominan menghambat proses implementasi UU Minerba.

(16)

32 1.5 ARGUMEN UTAMA

1.) Berdasarkan konsep Bargaining Power dari Lairson dan Skidmore, penulis berargumen bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba karena bargaining power yang dimilikinya selaku pemilik sumber daya alam ‘lebih lemah’ daripada bargaining power Freeport selaku pemilik modal besar dan teknologi canggih (eksklusif). Dengan kata lain, bargaining power pemerintah Indonesia kalah dari bargaining power Freeport sehingga pada akhirnya membuat pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba.

2.) Merujuk pada kerangka konseptual tentang Fragmentasi Birokrasi dari George C. Edwards III, penulis berargumen bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba karena adanya fragmentasi birokrasi. Ada beberapa instansi yang menangani pelaksanaan UU Minerba. Dalam kasus ini, besar kemungkinan garis koordinasi antar lembaga kurang jelas. Fragmentasi birokrasi tersebut juga menyebabkan adanya fragmentasi kebijakan yang memuat kepentingan masing-masing instansi. Di samping itu, fragmentasi birokrasi juga menjadi celah bagi Freeport untuk mengintervensi kebijakan pemerintah Indonesia lewat lobi di sejumlah kementerian terkait sehingga pada akhirnya membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang membuat mereka inkonsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba.

1.6 METODE PENELITIAN

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tipe eksploratif dengan mengandalkan data-data primer dari hasil wawancara dan data sekunder dari library research baik lewat buku, jurnal, koran, majalah, internet, dan media lainnya.

Penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat yang diyakini memiliki literatur-literatur yang relevan dan dapat mendukung penelitian ini, di antaranya;

1. Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

(17)

33 2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas

Gadjah Mada di Yogyakarta.

3. Perpustakaan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia di Jakarta.

Sedangkan wawancara dilaksanakan di beberapa instansi yang terkait dengan kasus ini, di antaranya;

1. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.

2. Direktorat Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Kementerian Perdagangan di Jakarta.

3. Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian di Jakarta.

1.7 JANGKAUAN PENELITIAN

Data-data untuk penelitian ini akan penulis mulai dari data tahun 2009 dimana UU Minerba resmi diundangkan sampai data-data tahun ini. Namun, penelitian ini juga tidak akan mengabaikan data atau dokumen sebelum periode penelitian ini yang sifatnya urgen dibutuhkan bagi penelitian ini.

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut;

BAB I Pendahuluan. Pada bab ini penulis menguraikan delapan hal yakni; Pertama, latar belakang masalah, di dalamnya mengandung akar permasalahan, signifikansi masalah tersebut dibahas dan alasan pribadi penulis meneliti topik tersebut. Kedua, rumusan masalah yang menjadi titik tolak penelitian ini. Rumusan masalah tersebut memungkinkan pembaca untuk mengetahui fokus penelitian. Ketiga, studi literatur, berisi literatur-literatur untuk memperkaya khazanah referensi topik penelitian yang terkait berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Keempat, kerangka konseptual, berisi konsep yang akan penulis gunakan sebagai acuan untuk membedah kasus ini. Kelima, argumen utama, merupakan jawaban sementara penulis terhadap pertanyaan penelitian. Keenam, metode penelitian, mengenai metode yang akan penulis

(18)

34 gunakan untuk mengelaborasi pokok permasalahan dalam kasus ini khususnya menyangkut cara pengumpulan data dan informasi. Ketujuh, jangkauan penelitian, tentang rentang waktu data-data yang terkait dengan penelitian ini.

Kedelapan, sistematika penulisan, mengenai urutan penulisan dan topik-topik terkait yang akan penulis elaborasi lebih lanjut.

BAB II Polemik UU Minerba. Pada bab ini dijelaskan mengenai penyebab UU Minerba sehingga mengundang kontroversi bagi banyak kalangan, mulai dari pelaku usaha tambang (perusahaan tambang domestik dan MNCs asing), pemerhati pertambangan, para akademisi yang concern pada hukum internasional atau hukum perdagangan internasional dan kelompok-kelompok lain. Salah satu contohnya adalah dikemukakan oleh akademisi (Dosen Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada), Rangga Aditya Dachlan bahwa substansi UU Minerba menyalahi aturan World Trade Organization (WTO) dimana Indonesia menjadi salah satu bagian di dalamnya. Hal itu nampak dalam hal pembatasan jumlah ekspor padahal dalam Artikel 11 General Agreement Trade on Tariff (GATT) atau WTO telah diatur bahwa negara anggota WTO sama sekali tidak boleh melakukan pembatasan numerik maupun secara menyeluruh37.

BAB III Bargaining Power Pemerintah Indonesia dan Freeport. Pada bab ini penulis membahas bagaimana kondisi bargaining power antara pemerintah Indonesia terhadap Freeport dan sebaliknya. Pada bagian ini juga akan dijelaskan bagaimana kedua belah pihak saling mempengaruhi dalam relasinya dengan bargaining power masing-masing.

BAB IV Fragmentasi Birokrasi dan Kebijakan. Pada bab ini penulis menjelaskan bagaimana fragmentasi birokrasi dan kebijakan berpengaruh terhadap UU Minerba sehingga pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan amanat UU Minerba No.4/2009 dengan memberikan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) kepada Freeport. Secara singkat, jawaban sementara atas hal ini telah penulis paparkan sebelumnya di bagian argumen utama.

37Lukman Haqim. Akademisi Usulkan UU Minerba Perlu Diamandemen. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/433654/akademisi-usulkan-uu-minerba-perlu-diamandemen, pada tanggal 13 Mei 2014

(19)

35 BAB V Penutup. Pada bab ini penulis akan memaparkan kesimpulan, saran atas kasus tersebut dan juga rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik ini. Sejauh ini, penulis berkesimpulan bahwa faktor yang membuat pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba ada dua; Pertama, bargaining power pemerintah Indonesia selaku pemilik SDA yang seharusnya kuat dan berkorelasi positif terhadap bargaining position-nya malah lemah. Hal ini disebabkan oleh buruknya sejumlah aspek yang menjadi penopang SDA sebagai bargaining power yang kuat bagi pemerintah Indonesia sementara bargaining power Freeport sangat kuat dalam hal teknologi dan modal (uang). Kedua, tanggung jawab terhadap implementasi kebijakan ini terfragmentasi di beberapa instansi pemerintahan dan besar kemungkinan koordinasi di antara instansi tersebut kurang maksimal.

Gambar

Tabel 1.1: Perspektif Perusahaan Multinasional

Referensi

Dokumen terkait

Kitin merupakan faktor pembatas yang sukar dicerna Jaime-Ceballos et al., (2009), sehingga pada penelitian ini cacing yang diberi tepung kepala udang menghasilkan pertambahan

mengembangkan dirinya sendiri (Development From Within) sehingga terbentuk kelompok yang mandiri dan produktif. Mitra kerja dalam pembentukan kelompok pendukung ASI ini

Setelah memperoleh data yang diperlukan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data dengan menggunakan rumus statistik, yaitu t-test yang dikonsultasikan

Peserta PLPG yang tidak dapat memenuhi panggilan karena alasan yang dapat dipertanggung jawabkan diwajibkan memberitahukan dengan menyerahkan Surat Ijin kepada Panitia paling akhir

Berdasarkan hasil perhitungan penyusunan anggaran penjualan dengan menggunakan metode least square, dapat dilihat bahwa Penjualan Bulan Desember mengalami peningkatan

Desinfektan yang efektif dalam menurunkan jumlah angka kuman dalam penelitian ini adalah desinfektan Pine Oil 1,5% + Creasylic Acid 0,5% karena mampu menurunkan

dua faktor ini bergerak kehadapan secara beriringan dan bersepadu, maka ia akan meningkatkan imej korporat LZS yang akhirnya akan meningkatkan keyakinan masyarakat

Pada diagnosa deficit perawatan diri berhubungan dengan gangguan musculoskeletal, tindakan yang dilakukan adalah:membantu sepenuhnya saat mandi atau kebersihan diri