• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Islam secara garis besar, dengan berbagai ajarannya termasuk di dalamnya dimensi hukum Islam (Islamic law) ketika berdampingan dengan budaya setempat dimana hukum Islam itu berada akan menghasilkan interaksi. Dari segi nilai, hukum Islam yang bersumber dari ajaran Islam memiliki sifat yang absolut kebenarannya, sementara adat budaya memiliki nilai yang bersifat empiris, artinya sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat di wilayah adat yang berkembang tersebut. (Azyumardi Azra:1999).

Senada dengan apa yang dipahami oleh Zamakhsyari Dhofir dan Abdurrahman Wahid, bahwa agama mengandung nilai-nilai yang tidak terlepas dari penanaman budaya sosial bagi penganutnya dan di sisi lain dapat membentuk menjadi adat budaya yang dipertahankan, sehingga agama akan membentuk budaya masyarakat dimana agama itu berada. (Zamaksyari Dhofier, Abdurrahman Wahid: 1978).

Clifford Geertz seorang peneliti yang sudah melakukan kajian agama dan budaya menyimpulkan bahwa bahwa agama adalah seperangkat aturan dan nilai- nilai yang dimilkinya berupa aturan-aturan hidup bagi umatnya menjadi sebuah system yang juga menjadi kebudayaan dan akhirnya budaya yang dihasilkan dari pelaksanaan ajaran agama tersebut menjadi cerminan nilai dan simbol yang memiliki makna tersendiri. (Geertz: 2007) Oleh karenanya ia memahami bahwa agama ketika sudah menjadi budaya dan bersanding dengan budaya lokal yang sudah ada akan memiliki hubungan semacam integrasi budaya dengan agama.

Ajaran Islam memiliki dasar yang disebut dengan ajaran Tahuhid tentang

adanya dzat yang disembah yakni Allah SWT yang menjadi sumber dalam

kehidupan manusia, demikian juga dengan kandungan hukum-hukumnya serta

(2)

aturan-aturan sosial yang dikandungnya. Pengamalan terhadap semua ajaran agama itu akan memunculkan perasaan sebagai hasil pengahayatan dan pengamalan agamanya memunculkan perasaan senang dan bahagia dalam mengamalkannya, seperti perasaan sengang setelah mendengarkan ayat-ayat al- Qur’an, mendengarkan bacaan-bacaan shalawat, adzan, dan lainnya. (M. Ali al- Humaidy: 2007)

Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam akan ditelaah dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi hukum. Hal ini disebabkan, oleh karena dengan mempergunakan pendekatan itu akan diperoleh suatu gambaran yang netral. Baik Hukum Adat maupun Hukum Islam akan dilihat sebagai bagian inter subsistem hukum yang sejajar kedudukannya dan sarna peranannya bagi warga masyarakat yang menganutnya.

Sebagai lembaga sosial, maka Hukum Adat dan Hukum Islam akan berinteraksi, proses mana didukung oleh penganut-penganutnya yang merupakan manusia pribadi dan kelompok-kelompok sosial. Konsep akomodasi yang merupakan abstraksi pemikiran dan empiri, lazimnya dipergunakan dalam dua arti. Pertamatama akomodasi dipergunakan untuk menunjuk pada suatu keadaan terdapatnya keserasian antar pribadi atau kelornpok sosial, yang berkaitan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang dianut oleh pribadi-pribadi dan kelompok- kelompok sosial itu dalam masyarakat. Disamping itu, maka akomodasi juga dipergunakan dalam pengertian yang menunjuk pada usaha-usaha manusia pribadi atau kelompok sosial untuk meredakan suatu .pertentangan, yakni kegiatan untuk mencapai taraf kestabilan tertentu.

Tujuan utama akomodasi adalah, sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1986: 64):

1. Mengurangi atau menetralisasi Hukum dan pertentangan yang ada

antara prioritas dan diri pribadi atau kelompok-kelompok sosial,

sebagai akibat terjadinya perbedaan paham. Dalam hal ini akomodasi

bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa, agar terjadi suatu pola

yang baru.

(3)

2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu.

3. Mernungkinkan terjadinya kerjasarna antara kelompok-kelompok sosial, yang Sebagai akibat factor-faktor sosial psikologis dan antropologis saling terpisah.

4. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah.

Sebagai suatu proses, maka akomodasi mempunyai berbagai bentuk, yaitu (Soerjono Soekanto 1986 : 65 , 66) :

a. Coercion, yakni bentuk akomodasi dimana salah . satu pihak lebih kuat daripada pihak lain (lawan). Dalam hal ini keserasian dipaksakan oleh pihak yang lebih kuat, baik secara fisik maupun secara psikologis.

b. Compromise, yakni bentuk akomodasi di mana para pihak yang terlibat dalam pertentangan masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai penyelesaian. Artinya, salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lain, dan sebaliknya.

c. Arbitration yang merupakan suatu cara untuk mencapai kompromi dengan perantaraan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak yang bertentangan.

d. Mediation yang hampir sarna dengan arbitrasi; perbedaannya adalah bahwa pihak ketiga yang dianggap netral diundang sebagai Hukum Adat dan Islam nasihat belaka.

e. Consiliation yang merupakan usaha untuk mempertemukan keinginankeinginan pihak-pihak yang berselisih, agar tereapai pesetujuan bersama.

f. Toleration yang merupakan bentuk akomodasi tanpa persetuwan yang

formal. Kadang-kadang hal itu timbul tanpa direncanakan, oleh karena

masing-masing pihak secara psikologis mempunyai watak untuk

sedapat mungkin menetralisasi perselisihan yang nyata maupun yang

potensial sifatnya.

(4)

Apabila ditelaah perkembangan Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, maka apabila terjadi akomodasi yang bentuknya lain dari toleration, maka hal itu merupakan hasil policy yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Salah satu akibatnya adalah timbulnya pelbagai teori pembenaran, seperti misalnya, receptio in comp/exu dan receptie (Sajuti Thalib 1985 : 4,).

Gillin dan Gillin, pernah mengetengahkan beberapa hasil proses akomodasi. Hasil-hasil itu adalah, antara lain, sebagai berikut (J.L. Gillin & J.P.

Gillin 1954: 517):

1. Terjadinya usaha-usaha untuk sebanyak mungkin menghindarkan diri dari benih-benih yang dapat menyebabkan terjadinya pertentangan yang baru demi integrasi masyarakat.

2. Penekanan terhadap oposisi.

3. Terjadinya koordinasi atau keterpaduan.

4. Perubahan pada lembaga.lembaga sosial, agar supaya serasi dengan keadaan baru yang dieapai setelah terjadi akomodasi.

5. Perubahan pada pola kedudukan dan perarran.

6. Membuka jalan kearah terjadinya asimilasi, yang bertujuan untuk sebanyak mungkin mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada.

Dengan menelaah sejarah perkembangan Hukum Adat dan HUkum Islam di daerah di Indonsia, maka menurut penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli, maka yang terjadi adalah sebagaimana dijelaskan oleh Gillin dan Gillin pada bu tir 1, 3, dan 6. Dengan demikian, maka tidak ada pertentangan, apabila ditelaah dari sudut perkembangan masyarakat.

Dari beberapa catatan mengenai pokok-pokok Hukum Adat dan Hukum

Islam yang disajikan secara ringkas diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa

hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam bersifat akomodatif. Berdasarkan

kedudukan yang sejajar dan peranan yang sarna, kedua sistem hukum tadi saling

melengkapi tanpa kehilangan identitas masing-masing. Di berbagai daerah,

misalnya, sebelum Undang-undang NomOI 1 Tahun 1974 berlaku, maka dalam

(5)

perkawinan bagi umat Islam, Hukum Perkawinan Islam merupakan tolok ukur bersama-sama dengan Hukum perkawinan Adat. Sebenarnya, kalau dipandang secara sosiologis, maka yang menjadi sebab timbulnya masalah adalah, anggapan- anggapan bahwa kedua sistem hukum itu mempunyai kedudukan yang tidak setaraf dan peranan yang berbeda satu dengan lainnya. Kalau anggapan-anggapan dasar itu dapat dihilangkan, maka tidak akan ada masalah lagi, oleh karena masingmasing sistem hukum mendapat kedudukan dan peranan yang proporsional dalam mengatur kehidupan manusia dan masyarakat, terutama di bidang hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris.

Masyarakat adat Aceh menggunakan lembaga adat gampong dalam menyelesaikan konflik perkawinan, masyarakat adat angkola di Medan mengenal istilah dalihannatolu yang memiliki wewenang masing-masing, terdiri dari mora (legislatif), anakboru (eksekutif) dan k-ahanggi (yudikatif). Ketiga institusi tersebut berpadu dalam menyelesaikan konflik-konflik termasuk konflik perkawinan, hal ini juga terjadi pada masyarakat (bugis) yang berpegang pada konsep pangangderreng (undang-undang sosial) terdiri unsur adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat Islam). Pampawaadeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan, sementara pampawasaraq dipangku kadi, imam, khatib, bilal dan doja (penjaga masjid) menangani persoalan yang berhubungan dengan fiqih Islam (Ismail Suardi Wekke).

Perpaduan keduanya terlihat dalam penyelesaian kasus kesusilaan (malaweng) di Sulawesi Selatan. Pada situasi yang sama, masyarakat adat Tolaki di Sulawesi Tenggara mengunakan adat Tolaki dalam menyelesaikan sengketa.

Peran adat tersebut jika dikaji lebih jauh sesungguhnya memberi gambaran posisi

adat (kultur) dalam menyelesaikan masalah (konflik), mendapat porsi besar di

masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari pandangan bahwa peradilan adat

memiliki falsafah yang dianggap lebih cocok dengan masyarakat adat atau

komunitas lokal. Norma-norma adat memiliki kekuatan dalam membentuk pola

prilaku masyarakat.

(6)

Abdurrahman Wahid mempunyai pandangan yang berbeda, bahwa adat- istiadat adalah seni hidup (the art of living), mengandung tatanan masyarakat yang patut dipertahankan, masuknya Islam di Indonesia melalui adat dan budaya bukan melalui ekspansi sebagaimana di dunia Arab. Adat istiadat adalah unsur utama sebuah pergaulan sosial, sebuah masyarakat betapa pun sederhananya memiliki nilai-nilai dan norma-norma, norma tersebut terwujud dalam praktik sosial masyarakat.

Pergulatan pemikiran-peikiran tersebut, kiranya perlu mengulas kembali, bahwa sejak awal perkembangan Islam sebagai konspesi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Meski pada sisi teoritis doktrin Islam seolah berbeda dengan realitas, namun dalam aplikasinya Islam mengakomodasi kenyataan sosial budaya, sebagaimana ahli fiqih mempertibangkan faktor-faktor sosial dalam penetapan hukum pada periode awal Islam.

Kondisi sosial yang diperhadapkan dengan Islam akhirnya menghasilkan apa yang disebut oleh Azyumradi Azra sebagai “varian Islam”, maksudnya Islam dengan berbagai corak dan jenisnya. Terkait dengan itu, asumsi mengenai dogma dan realitas masyarakat yang dipandang sebagai konflik harus diarahkan pada sikap moderat dan toleransi terhadap kondisi dan realitas masyarakat yang terus berkembang.

Masyarakat sebagai pelaku budaya tidak hanya mempertahankan aspek budaya yang pernah dicapai dengan segala dimensinya, namun harus berusaha menghidupkan Islam dengan nilai-nilai ajarannya ke dalam budaya tersebut. Islam universal dan dinamis, tetap memberikan ruang yang cukup pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan penemuan-penemuan baru lainnya. Inilah yang dimaksud “moderenizing society”, yakni masyarakat yang mulai mengatur masa depannya, tetapi belum meninggalkan masa lalunya.

Pemikiran ini juga terpancar pada pemahaman terhadap agama, ada yang

memandang bahwa agama adalah alat konservatis dan mempertahankan tradisi

ada pula yang berpandangan secara aplogetik bahwa agama adalah pendorong

kemajuan. Hooker menjelaskan bahwa Islam mempunyai nilai akomodatif

(7)

terhadap pranata sosial seperti hukum adat tidak saling menyisihkan dan berlaku sejajar pada masyarakat adat Indonesia. Bahkan Syaukani menjelaskan dalam teori interdependensi bahwa semua sistem hukum tidak berdiri sendiri, pembentukannya selalu berinteraksi dengan sistem hukum lainnya.

Jalal al-Din ‘Abd Al-Rahman menjelaskan bahwa adat (‘urf) mempunyai tempat dalam hukum Islam sebagai sumber pengambilan hukum selama tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits. ‘urf atau ‘adah dapat dihubungkan dengan term hadits dan sunah (tradisi nabi), para ahli hukum Islam memegang prinsip umum bahwa suatu yang dikatakan, diperbuat atau ditetapkan oleh nabi akan membentuk apa yang dikenal dengan sunah, sumber kedua setelah Al-Qur’an.

Adat pada masa nabi dapat dipandang sebagai suatu sumber untuk menformulasikan hukum-hukum. Hakikatnya norma-norma agama itu tidak mempunyai korelasi dengan modornisasi maupun tradisionalisme sebab agama mempunyai dimensi yang tidak selalu dapat diukur dengan dimensi modernisasi maupun tradisionalisme.

Sebuah Refleksi Berdasarkan teori-teori yang telah di paparkan, penulis berasumsi bahwa tedapat relevansi antara hukum adat sebagai media resolusi konflik dengan hukum Islam. Nilai-nilai Islam dan hukum adat mengajarkan manusia untuk hidup rukun, menjunjung tinggi nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan.

Gambaran yang kongkrit keterkaitan antara pranata sosial masyarakat dengan agama dipahami dari tulisan Clifford Geertz mengenai kelompok masyarakat abangan, santri dan priyayi. Meski kemudian Mark Woodward mengkritisi Clifford Geertz bahwa ada kesalahpahaman serius dalam melihat Islam Jawa, namun perbedaan pandangan tidak menjadi soal dalam tulisan ini, kedua penelitian tersebut jelas menunjukkan bahwa agama dan masyarakat mempunyai kaitan yang erat dalam praktik sosial.

Kenyataan akan adanya interaksi antara hukum Islam dan Adat dalam

bidang perkawinan inilah yang akan menjadi patokan tinjauan munculnya

dominasi anatar keduanya.

(8)

B. RumusanMasalah

1. Bagaimana Eksistensi Hukum Islam di Indonesia ? 2. Bagaimana Eksistensi hukum Adat di Indonesia ?

3. Bagaimana bentuk Dominasi hukum antara Hukum Islam dan Adat dalam bidang Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Eksistensi Hukum Islam di Indonesia 2. Untuk mengetahui Eksistensi Adat di Indonesia

3. Menganalisa bentuk Dominasi hukum antara Hukum Islam dan Adat

D. Kajian PenelitianTerdahulu yang relevan

Penelitian yang dilakukan Clifford Gertz yang telah melakukan penelitian kaitan hukum adat dan hukum Islam di Pulau Jawa yang menghasilkan tentang munculnya istilah Islam Abangan dan Priyai sebagai efek dari pemangamalan agama yang dilakukan masing-masing strata yang ada..

E. Konsep atau Teori relevan

Ada tiga teori yang dijadikan sebagai alat analisis dalam penelitian ini sebagai kerangka untuk menganalisa dominasi antara hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, yakni, teori-teri berikut :

1. Teori Integrasi Hukum Islam.

Teori integrasi disebut juga teori fungsionalisme structural dikembangkan oleh Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K. Merton.

Dalam perspektif ini masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang

bekerja sama secara terorganisasi dalam suatu cara yang teratur menurut

seperangkat norma dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat

tersebut. Dengan demikian dalam pandangan teori ini, masyarakat pada

dasarnya terintegrasi oleh adanya kesepakatan tentang nilai-nilai tertentu yang

dijunjung tinggi secara bersama oleh sebagian besar warga masyarakat yang

bersangkutan. Masyarakat juga dipandang sebagai sistem yang secara

(9)

fungsional terintegrasi ke arah terwujudnya keseimbangan atau equilibrium.

Oleh karena itu pendekatan intergrasi juga disebut sebagai pendekatan equilibrium.

Pendekatan integrasi atau pendekatan fungsionalisme structural sebagaimana dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar sebagai berikut (Nasikun, 1993: 11) :

a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya terdiri dari bagian-bagian yang berhubnungan satu sama lain.

b. Hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut bersifat ganda dan timbal balik.

c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis.

d. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan- penyimpangan senantiasa terjadi, akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatan yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.

e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melaui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.

f. Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial terjadi melalui tiga macam kemungkinan, yaitu penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional, serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.

Sejalan dengan anggapan dasar tersebut, dapatlah dikatakan bahwa

perspektif integrasi bukannya mengingkari adanya perbedaan-perbedaan

(10)

dan pertentangan-pertentangan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan status, peran, dan kepentingan dalam masyarakat.

Dalam teori integrasi, hakekat masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan karena dipersatukan oleh nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama.

Jika ditemukan ada perbedaan di masyarakat maka akan mengarah pada keseimbangan atau equilibrium menuju integrasi. Dalam pandangan teori integrasi, hukum dalam masyarakat merupakan manivestasi dari nilai-nilai yang disepakati bersama, yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat terintegrasi dengan baik.

Hukum merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari padanya. Di mana ada masyarakat, di situ ada tatanan hukum yang mengaturnya untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban. Dengan berusaha memisahkan apa yang dinamakan hukum dengan dimensi ruang dan waktu, yakni melepaskan hukum dari persoalan kapan berlaku dan di mana berlakunya, menurut Hans Kelsen (Kelsen, 2008:24) hukum adalah suatu tatanan yang bersifat memaksa. Hukum merupakan tatanan sosial yang berusaha menimbulkan perilaku para individu sesuai dengan yang diharapkan melalui pengundangan tindakan-tindakan paksaan. Tindakan paksaan itu yang disebut dengan sanksi hukum. Dari pengertian hukum tersebut, dapat dinyatakan bahwa aspek yang menonjol dari tatanan sosial yang dinamakan hukum adalah sifatnya yang memaksa.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum diberlakukan untuk

menciptakan ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat serta mewujudkan

keadilan. Namun dari realitas penerapan hukum sering muncul fenomena di mana

berlakunya hukum jauh dari rasa keadilan masyarakat itu sendiri. Realitas

berlakunya hukum sering menunjukkan adanya perbedaan perlakuan hukum

antara kelompok masyarakat atas yang nota bene memiliki cukup kemampuan

untuk mempengaruhi berlakunya hukum, dengan kelompok masyarakat bawah

yang tidak memiliki kemampuan untuk itu. dua teori besar (grand theory), yaitu

teori integrasi atau yang sering disebut dengan teori fungsionalisme struktural

(structural functional theory) dan teori konflik (conflict theory).

(11)

Perbedaan kedua teori tersebut kemudian membawa perbedaan dalam pandangannya terhadap hukum yang berlaku di masyarakat. Menurut teori integrasi, hukum pada hakekatnya merupakan bagian dari nilai-nilai sosial yang berperan mengintegrasikan masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lain. Hukum tidak mewakili kepentingan pihak tertentu dalam masyarakat melainkan menggambarkan kebutuhan suatu masyarakat untuk mewujudkan keseimbangan yang dinamis di antara kepentingan yang berbeda sehingga terwujud integrasi masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan menurut pandangan teori konflik, hakekat keberadaan hukum adalah sebagai sarana yang digunakan oleh kelompok yang kuat dalam masyarakat untuk mengendalikan kelompok yang lemah dalam rangka mewujudkan tujuantujuan mereka.

Sejalan dengan pandangan itu pula, keberadaan peraturan hukum adalah mewakili kepentingan-kepentingan pihak yang kuat yang sedang berkuasa. Kalau dikaitkan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, integrasi dan konflik merupakan dua fenomena yang tidak pernah lepas dari keberadaan setiap masyarakat. Begitu pula pandangan yang ditampilkan oleh kedua teori sebagaimana diuraikan di atas, masing-masing juga mewakili kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Bahwa hukum menciptakan ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat yang diwarnai berbagai kepentingan yang berbeda sehingga masyarakat yang bersangkutan terintegrasi, adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian adanya keberpihaan hukum terhadap kelompok masyarakat atas juga sering muncul dalam kenyataan. Oleh karena itu upaya memadukan kedua teori itu dan menggunakannya secara bersama-sama sebagai acuan berfikir kita, merupakan tindakan yang lebih bermanfaat daripada kita hanya terpaku pada salah satu teori dan menafikan teori yang lain.

Teori integrasi yang dijadikan patokan dalam penelitian penyesuaian-

penesuaian hukum adat dan hukum islam satu sama lainnya sehingga sulit untuk

(12)

dibedakan salah satu diantara keduanya secara alami melakukan integrasi karena memiliki kesamaa-kesamaan dan kesepakatann-kesepakatan.

2. Teori Receptie in Complexu hukum Islam

Teori ini diajukan oleh Sajuti Thalib juga terhadap teori receptie (Thalib, 1980) yang mengatakan bahwa penerapan teori resepsi bertujuan untuk menghapus hukum Islam dari Indonesia dan dalam rangka mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap pemerintahan kolonial. Mereka hendak mematikan pertumbuhan hukum Islam dalam masyarakat. Teori ini mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.

(Hazairin, 1974:4) Teori ini merupakan kelanjutan dalam menerjemahkan dan menjelaskan pemikiran Hazairin yang didukung oleh hasil penelitian lapangan di masyarakat. (Azizy, 2002:160) .

Dalam hal ini, hukum Islam berperan sebagai penyaring bagi hukum adat masyarakat. Agar dapat berlaku di masyarakat, hukum adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip yang dianut dalam hukum Islam. M.B. Hooker mengemukakan bahwa sinkritisme antara hukum Islam dan hukum adat terutama tampak jelas dijumpai dalam masyarakat pedesaan Jawa. Adapun pokok ajaran sinkritisme dapat dikemukakan: Hubungan hukum adat dan Islam dalam kehidupan penduduk pulau Jawa adalah erat.

Keeratan hubungan terhadap kedua unsur tata hukum tersebut berkembang dalam bentuk saling rukun dan saling memberi dan menerima secara kompromis membentuk tatanan baru. Antara hukum Islam dan hukum adat tidak terdapat saling pertentangan atau konflik maupun saling sisih menyisihkan. Dalam hal ini malahan telah membentuk suatu perkembangan kesadaran hukum secara rukun dan saling memberi antara hukum Islam dan hukum adat dalam kesadaran masyarakat. (Harahap, 1993:62)

3. Teori akomodasi hukum atau Akulturasi

Akulturasi atau cultural contact menurut Koentjaraningrat merupakan

konsep proses sosial yang timbul jika suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga

(13)

unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. (Koentjaraningrat, 1985: 248)

Akulturasi merupakan kasus penyerapan budaya secara selektif sukarela dimana beberapa budaya ada yang diterima dan lainnya ada yang ditolak. (Jacobs

& Bernhard J., 1955:128) Teori penetration pasifique tolerant et constructive oleh Josselin de Jong bahwa:

1. Islam telah berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara;

2. Mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia, dan

3. Pengaruh Islam tersebut berjalan secara damai, toleran, dan konstruktif. Menurut teori ini tidak ada terjadi peristiwa antagonistik dalam masyarakat untuk menerima ajaran Islam. Penerimaan masyarakat terhadap ajaran Islam secara umum berjalan secara rukun, toleran, dalam membangun kehidupan masyarakat. (Harahap, 1993:61) Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan antara hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, mencoba menelusuri integrasi yang terjadi dari kedua sistem hukum tersebut dalam kewarisan masyarakat.

F. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan ranah penelitian kualitatif yang sifatnya deskriptif dan analitik, dimana data-data yang ditemukan dan didapatkan dari informan bukan berupa angka-angka tetapi informasi yang sifatnya deskripsi dari para informan yang memiliki keterkaitan langsung dengan data yang dibutuhkan tentang keberadaan titik singgung anatara hukum Islam dan adat di Indonesia.

Data yang dibutuhkan diambil dari informasi yang yang diperoleh

langsung dari obyek sekaligus sabjek penelitian berkaitan dengan masalah yang

diteliti. Data yang terkait dengan eksistensi ajaran Islam dan ajaran Adat Istiadat

yang dilaksanakan dalam masyarakat yang digambarkan dari berbagai kegiatan-

(14)

kegiatan yang telah dilakukan oleh masyarakat berupa kegiatan-kegiatan yang terkait dengan suka cita maupun terkait dengan dukacita.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode, yakni observasi, dan metode Wawancara mendalam (deep interview) untuk menjadi jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan dan akan dicrosscheck dengan data lain yang diperoleh dengan cara FGD (focus Group Discussion).

Wawancara dilakukan dengan para tokoh agama dan tokoh adat dari berbagai provinsi yang menurut penulis terjadi terjadi integrasi antara budaya lokal, antara lain Banda Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Banjarmasin, Bali, Papua Barat, dan lainnya. Informan dalam penelitian ini sebanyak 120 orang yang dirinci sebagai berikut :

No Profesi Jumlah

1. Tokoh Agama/Pelaksana

Pernikahan 50 Orang

2. Tokoh Adat 50 Orang

3. Peserta 1 Kali FGD 20 Orang

Jumlah 120 Orang

Penelitian ini dianalisa dengan metode berfikir sebagai berikut :

1. Dengan cara Induktif, yakni melakukan deskripsi data yang telah diperoleh dari lapangan untuk ditetapkan sebagai generalisasi dalam bentuk diagram bola dengan maksud uintuk member gambaran nyata dan lebih terukur.

2. Cara berfikir Deduktif, yakni cara untuk menemukan kebenaran bila fakta- fakta atau data yang dianggap sama dengan teori yang ada.

Dan penginterpretasikan sejumlah data dan fakta yang ada dan selanjutnya disimpulkan dengan bahasa yang khusus.

Dalam penelitianini, walaupun dalam persentase yang lebih kecil pendekatan

kuantitatif masih digunakan. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh data

dari hasil wawancara dengan stake holder. Namun penggunaannya bersifat

sebagai dukungan pada data kualitatif.

(15)

G. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, ang menjadi alat pengumpul data digunakan sebagai berikuit :

1. Wawancara

Wawancara yang dipergunakan adalah wawancara partisipatory, artinya peneliti bertindak sebagai bagian dari sumber data berupa informan- informan kunci, seperti para tokoh Agama dan Tokoh ada di lokasi penelitian. Draft wawancara dirancang sesuai dengan kebutuhan data yang diharapkan. Yakni terkait dengan hal-hal dalam perkawinan pra perkawinan seperti syarat-syarat perkawinan, pelaksanaan perkawinan dan pasca aqad nikah.

Wawancara ini dilakukan dengan para informan di 12 Daerah di Indonesia, yakni :

a. Wilayah Adat Aceh

b. Wilayah Adat Melayu Deli c. Wilayah Adat Palembang d. Adat Minang Sumatera Barat e. Wilayah Adat Sunda

f. Wilayah adat Jawa Jogja Semarang g. Wilayah Adat Dayak Kalimantan h. Wilayah Adat Suku Bugis Makassar i. Wilayah Adat Bali

j. Wilayah Adat Nusa Tenggara Barat k. Wilayah Adat Banten Jakarta 2. Observasi

Observasi dilakukan untuk melihat langsung bagaimana pelaksanaan perkawinan pada daerah-daerah adat di Indonesia yang telah ditetapkan menjadi lokasi penelitian.

3. Dokumentasi

(16)

Dokumentasi yang dibutuhkan sebagai kumpulan data penelitian ini adalah yang terkait dengan dokumen-dokumen adat dalam bidang perkawinan.

H. Sistematika Pembahasan

BAB I Pendahuluan berisi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian, KerangkaTeori, dan Sistematika Pembahasan

BAB II LandasanTeori : Eksistensi Hukum Adat di Indonesia, bagian ini memuat tentang gambaran Adat dan Pembagian Wilayah Adat, kemudian dikembangkan bagaimana keberadaan Pelaksanaan perkawinan Adat di daerah- daerah Adat Besar di Indonesia.

BAB III Eksistensi Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, menggambarkan keberadaan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah Sosial umat Islam di Indonesia terkhusu pada pelaksanaan Perkawinan. Dirangkai dengan Eksistensi Hukum Islam dalam Perundang-undangan di Indonesia pada Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

BAB IV Dominasi Hukum Islam dan Adat di Indonesia Bidang Perkawinan, Bagian ini menjelaskan bagaimana gambaran Perkawinan Pada Daerah-daerah Adat Besar di Indonesia.

BAB V Kesimpulan dan Saran

(17)

BAB II

EKSISTENSI ADAT DI INDONESIA

I. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.

Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.

Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck

Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah

Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck

(18)

Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.

Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.

Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.

Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.

Adat dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.

Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis

Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai

(19)

lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.

Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.

Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh

[1]

yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.

[2]

Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.

[3]

Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai

hukum kebiasaan.

[4]

Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan

hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa

bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang

(20)

diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu memiliki perbedaan.

Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen).

[5]

Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.

Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan)

[6]

mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan- peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.

Syekh Jalaluddin

[7]

menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama

merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya

atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat

tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis

dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan

(21)

keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.

Definisi Hukum Adat oleh beberapa Ahli hokum Adat, sebagai berikut : Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang pada pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat).

Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku.

Menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).

Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga

masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala

rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-

(22)

perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.

[8]

Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat

dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak

terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan

tersebut tidah hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga

diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil

berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup

kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.

[9]

(23)

II. DAERAH ADAT DI INDONESIA

Wilayah Hukum Adat atau Lingkungan Hukum Adat atau Kukuban Hukum Adat Indonesia sangat erat kaitannya dengan persekutuan Hukum Adat atau masyarakat Hukum Adat. Van Vollenhoven mengelompokkan wilayah Indonesia dalam 19 lingkungan Hukum Adat (adat rechtkringen).

Pembagian tersebut didasarkan atas pengklasifikasian berdasarkan bahasa- bahasa adat yang digunakan berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Ke-19 Lingkungan Hukum Adat Vollenhoven untuk Indonesia itu adalah sebagai berikut:

Lingkungan Hukum Adat

(24)

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan

hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu) 2. Tanah Gayo, Alas dan Batak

2.1 Tanah Gayo (Gayo lueus) 2.2 Tanah Alas

2.3 Tanah Batak (Tapanuli)

2.3.1 Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)

2.3.2 Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)

2.3.3 Nias (Nias Selatan)

3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)

4. Mentawai (Orang Pagai) 5. Sumatera Selatan 5.1 Bengkulu (Renjang)

5.2 Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang

Bawang)

(25)

5.3 Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo) 5.4 Jambi (Batin dan Penghulu)

5.5 Enggano

6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar) 7. Bangka dan Belitung

8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)

10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)

11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)

13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)

14. Irian (Papua)

15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima

16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem,

Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)

(26)

17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)

18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta) 19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)

[10]

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh

1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di

Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.

2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.

3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

III. Eksistensi Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Penegakan hukum adat di Indonesia sangat prinsipil karena adat

merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa,

dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang

terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail

lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses

adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat

suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada

(27)

Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan

atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat”

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :

1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)

2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).

3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum,

dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam

(28)

prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.

Ditinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

IV. PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT DI INDONESIA

A. Adat Perkawinan Aceh

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam

kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan

seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap

keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang

diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selama perkawinan

berlangsung. Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah

melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak

diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan

tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), bukan hanya

merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu

perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak

(29)

ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.

1

Dalam adat perkawinan Suku Gayo ada model perkawinan

“Angkap”. Perkawinan Angkap terjadi jika suatu keluarga tidak mempunyai anak lelaki, dan berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut meminang sang pemuda (umumnya lelaki berbudi baik dan alim) inilah yang dinamakan “Angkap Berperah, Juelen Berango”

(Angkap dicari/diseleksi, Juelen diminta). Menantu lelaki ini disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga.Sang menantu mendapat harta waris dari keluarga Istri. Dalam konteks ini dikatakan “Anak angkap penyapuni kubur kubah, si muruang iosah umah, siberukah iosah ume”

(menantu lelaki penyapu kubah kuburan, yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri sawah). 2 Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi dua macam angkap, yaitu angkap nasap dan angkap sementara. Pada perkawinan angkap nasap menyebabkan suami kehilangan belahnya, karena telah ditarik ke dalam belah istrinya. Jika terjadi perceraian karena cere banci (cerai perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini, menyebabkan terjadinya perubahan status suaminya karena suami harus kembali kebelah asalnya, dan tidak diperbolehkan membawa harta tempah, kecuali harta sekarat. Namun jika terjadi cere kasih, misalnya istri meninggal, maka mantan suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya. Pada suatu ketika, saat mantan suami tersebut akan dikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan salah seorang anggota kerabat istrinya.

Jika yang meninggal itu adalah suaminya, maka istrinya pada belah asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan,

1

1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (LN 1974

Nomor 1 TLN 3019) 2

(30)

maka harta tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya.

Kawin angkap sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan angkap edet. Seorang suami dalam waktu tertentu menetap dalam belah istrinya sesuai dengan perjanjian saat dilakukan peminangan. Status sementara itu tetap berlangsung terus selama suami belum mampu memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan waktu peminangannya.

Jika terjadi perceraian dalam bentuk cere banci, suami akan kembali ke pihak belahnya, dan harta sekarat akan dibagi-bagi, jika syarat- syarat angkap sementara telah dipenuhi oleh suami, sedangkan harta tempah, misalnya istri meninggal, maka suami tidak akan berubah statusnya sampai masa perjanjian angkap selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban belah istrinya untuk mengawinkan kembali dengan salah seorang kerabatnya.

Perkawinan dalam adat Gayo mempunyai arti yang sangat penting terhadap sistem kekerabatan karena masyarakat Gayo menganut sistem Perkawinan exogami (perkawinan antar belah). Menurut adat masyarakat Gayo perkawinan dengan sistem endogami (kawin satu belah) menjadi larangan atau pantangan karena sesama klen masih dianggap masih memiliki ikatan persaudaraan atau ikatan darah. Dengan demikian akan memudahkan hubungan genealogis antara satu kampung dengan kampung lainnya. Ada tiga macam jenis perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Gayo

2

yaitu Kawin ango atau jeulen, kawin angkap dan kawin kuso kini.

2

Kawin Ango atau Juelen Kawin ango atau juelen adalah bentuk

perkawinan yang mengharuskan pihak calon suami seakan-akan membeli wanita

yang akan dijadikan istri. Setelah dibeli, maka istri menjadi belah suami. Jika pada

suatu ketika terjadi cere banci (cerai perselisihan), si istri menjadi ulak kemulak

(kembali ke belah asalnya). Mantan istri dapat membawa kembali harta tempah

(harta pemberian orang tuanya) dan demikian pula harta sekarat (harta dari hasil

usaha bersama). Namun jika terjadi cere kasih (cerai mati), tidak menyebabkan

perubahan status (belah) bagi keduanya. Sebagai contoh misalnya, jika suami

(31)

Kawin Angkap Kawin angkap adalah bentuk perkawinan yang memiliki ketentuan-ketentuan yang harus ditaati.Pihak laki-laki (suami) ditarik ke dalam belah istri. 6 Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi dua macam angkap, yaitu angkap nasap dan angkap sementara.

Pada perkawinan angkap nasap menyebabkan suami kehilangan belahnya, karena telah ditarik ke dalam belah istrinya. Jika terjadi perceraian karena cere banci (cerai perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini, menyebabkan terjadinya perubahan status suaminya karena suami harus kembali ke belah asalnya, dan tidak diperbolehkan membawa harta tempah, kecuali harta sekarat. Namun jika terjadi cere kasih, misalnya istri meninggal, maka mantan suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya.

Pada suatu ketika, saat mantan suami tersebut akan dikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan salah seorang anggota kerabat istrinya.

Apabila yang meninggal itu adalah suaminya, maka istrinya pada belah asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan, maka harta tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya. Kawin angkap sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan angkap edet. Seorang suami dalam waktu tertentu menetap dalam belah istrinya sesuai dengan perjanjian saat dilakukan peminangan.

Status sementara itu tetap berlangsung terus selama suami belum mampu memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan waktu peminangannya.

Jika terjadi perceraian dalam bentuk cere banci, suami akan

kembali kedalam pihak belahnya, dan harta sekarat akan dibagi-bagi, jika

syarat-syarat angkap sementara telah dipenuhi oleh suami, sedangkan harta

meninggal, maka belah suami berkewajiban untuk mencarikan jodoh mantan

istrinya tadi dengan salah seorang kerabat yang terdekat dengan almarhum

suaminya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunayi anak, maka pihak yang

ditinggalkan berhak mengembalikan harta tempah kepada belah asal harta itu. Jika

yang meninggal itu ada keturunan, maka harta tempah itu menjadi milik anak

keturunannya.

(32)

tempah, misalnya istri meninggal, maka suami tidak akan berubah statusnya sampai masa perjanjian angkap selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban belah istrinya untuk mengawinkan kembali dengan salah seorang kerabatnya.

Kawin Kuso Kini Kawin kuso kini adalah suatu bentuk perkawinan yang memberi kebebasan kepada suami istri untuk memilih tempat tinggal dalam belah suami atau belah istri. Pada kawin kuso kini, suami istri dapat menetap pada keluarga atau mandiri pada rumah dan pekerjaan mereka sendiri tetapi tetap memandang dan membantu keluarga kedua belah pihak dengan baik. Bentuk perkawinan kuso kini ini berbeda dengan perkawinan anggo dan angkap yang selalu mempertahankan belah. Bentuk perkawinan ini masih banyak pula terjadi dalam masyarakat Gayo hingga sekarang.

Perkawinan Angkap terjadi jika suatu keluarga tidak mempunyai keturunan anak lelaki yang berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut meminang sang pemuda (umumnya lelaki berbudi baik dan alim) inilah yang dinamakan “Angkap Berperah, Juelen Berango”

(Angkap dicari/diseleksi, Juelen diminta). Menantu lelaki ini disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga.Sang menantu mendapat harta waris dari keluarga Istri. Dalam konteks ini dikatakan “Anak angkap penyapuni kubur kubah, si muruang iosah umah, siberukah iosah ume”

(menantu lelaki penyapu kubah kuburan, yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri sawah).

Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi dua macam

angkap, yaitu angkap nasap dan angkap sementara. Pada perkawinan

angkap nasap menyebabkan suami kehilangan belahnya, karena telah

ditarik ke dalam belah istrinya. Jika terjadi perceraian karena cere banci

(cerai perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini, menyebabkan

terjadinya perubahan status suaminya karena suami harus kembali kebelah

asalnya, dan tidak diperbolehkan membawa harta tempah, kecuali harta

(33)

sekarat. Namun jika terjadi cere kasih, misalnya istri meninggal, maka mantan suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya. Pada suatu ketika, saat mantan suami tersebut akan dikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan salah seorang anggota kerabat istrinya. Jika yang meninggal itu adalah suaminya, maka istrinya pada belah asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan, maka harta tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya.

Kawin angkap sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan angkap edet. Seorang suami dalam waktu tertentu menetap dalam belah istrinya sesuai dengan perjanjian saat dilakukan peminangan. Status sementara itu tetap berlangsung terus selama suami belum mampu memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan waktu peminangannya. Jika terjadi perceraian dalam bentuk cere banci, suami akan kembali kedalam pihak belahnya, dan harta sekarat akan dibagi-bagi, jika syarat-syarat angkap sementara telah dipenuhi oleh suami, sedangkan harta tempah, misalnya istri meninggal, maka suami tidak akan berubah statusnya sampai masa perjanjian angkap selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban belah istrinya untuk mengawinkan kembali dengan salah seorang kerabatnya. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai sistem nilai-nilai, norma-norma, pola-pola prilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga sosial, statifikasi, kekuasaan, interaksi sosial, dan lain sebagainya.

Adanya perubahan-perubahan tersebut akan menyebabkan timbulnya masalah-masalah yaitu :

a. Pada taraf pribadi atau individu maka timbul masalah bagaimana mengamankan identitasnya sebagai manusia, sebagai warga masyarakat dan sebagai penganut tradisi kebudayaan tertentu.

b. Pada taraf struktural, timbul masalah bagaimana mengorganisasikan

pola peranan dan kelompok-kelompok yang baru.

(34)

c. Pada taraf kebudayaan timbul masalah bagaimana membentuk tradisi baru yang akan dapat menjadi pedoman bagi warga masyarakat dalam masa transisi.

Perkawinan bukan hanya terjadi antara seorang laki-laki dengan perempuan akan tetapi perkawinan tersebut juga merupakan perpaduan antara suatu keluarga dan suatu belah dengan keluarga dan belah yang lain, perkawinan terjadi karena adanya konsensus antara dua belah pihak dan para pihak mengetahui konsekwensi dari konsensus tersebut,

3

dengan demikian maka ungkapan murip betenes, mate berbedes dan Ken penurip ni Murip; ken penanom mate; pemake ni jarum patah; penyapu ni kubah kubur: pada masa lalu merupakan suatukonsekwensi yang dapat diterima oleh para pihak dan dinikmati oleh pihak tersebut sebagai suatu kewajiban.

Faktor-faktor yang mempengaruhinya tersebut antara lain: Faktor Agama Agama Islam telah lama masuk kedalam lingkungan adat Gayo.

Dalam perkembangannya secara bertahap ajaran islam telah banyak merubah dan menyempurnakan tata susunan adat lama. Selain itu agama Islam membawa ajaran tentang hidup berkeluarga dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Ajaran itu berbeda dengan ajaran adat sebelumnya, dimana dalam perkawinan angkap ini seorang anak hanya berhubungan dengan ibunya saja, sedangkan menurut Islam hubungan itu juga termasuk dengan keluarga ayahnya.

Faktor Ekonomi Faktor ekonomi dapat dianggap sebagai faktor yang melandasi seseorang mau diangkap, karena dengan ia diangkap maka ia mendapatkan hibah dari orang tua si istri. Dengan berkembangnya perekonomian maka lakilaki yang menjadi suami yang sudah merasa mampu untuk menghidupi keluarga sendiri tanpa tergantung lagi kepada orang tua istri.

3

Soerjono Soekanta, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1991), hlm 1

(35)

Faktor pendidikan juga dapat mempengaruhi perkembangan bentuk pekawinan terutama bagi yang melakukan pendidikan di rantau dan semakin tingginya pendidikan mereka melakukan proses belajar maka cara berfikir mereka biasanya menjadi semakin lebih maju dan terbuka. Jadi Perkawinan Angkap masa kini telah banyak perubahan, namun masih kita jumpai juga perkawinan angkap yang tidak sesuai sesuai dengan Hukum Islam dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Aceh memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan atau kenduri. Provinsi Aceh Sekarang terdapat delapan sub suku yaitu Suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Simeulu, Kluet, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis mempunyai budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Suku Gayo dan Alas merupakan suku yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara.

B. Adat Pewrkawinan Melayu

C. Adat perkawinan Minang

(36)

BAB III

EKSISTENSI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM BIDANG PERKAWINAN

I. SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

II. HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA

(37)

BAB IV

DOMINASI HUKUM ISLAM DAN ADAT DI INDONESIA

I. TEORI- TEORI SUBSTITUSI HUKUM ISLAM DAN ADAT

Snouck Horgronje memberi istilah hukum adat yang diperkenalkan olehnya dengan sebutan “adatrech” (hukum-adat), yang mempunyai sanksi-sanksi hukum, berlainan dengan kebiasaan-kebiasaan atau pendirian-pendirian yang tidak membayangkan arti hukum.5 Namun demikian, Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa Van Vollenhoven yang memakai kata tersebut secara sadar dan mempertahankannya sebagai istilah yang setepat-tepatnya untuk kaidah- kaidah yang dimaksudkan, karena kaidah-kaidah tersebut tidak diberi bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya, tetap merupakan hukum.

4

Di Indonesia terdapat berbagai daerah hukum adat yang membedakannya di antara daerah-daerah hukum adat yang ada. Seperti telah diketahui, Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlands Indie membagi hukum adat dalam 19 wilayah hukum (rechtskringen).8 Perbedaan hukum adat di antara wilayah hukum tersebut timbul dari kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat tertentu yang kemudian menjadi aturan dengan sanksi menurut kesepakatan bersama. Dalam keterangan selanjutnya dijelaskan, bahwa dengan dibaginya wilayah berlakunya hukum adat di Indonesia dalam beberapa lingkungan hukum tersebut, yang menunjukkan adanya perbedaan antara hukum adat di lingkungan hukum satu dengan lainnya, janganlah lalu dikira dalam sesuatu lingkungan hukum terdapat suatu kesatuan hukum, artinya bahwa dalam

4

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar untuk

Mempelajari Hukum Adat. cet. ke-3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 42.Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, cet. ke-5,

(Jakarta: PT. Pembangunan, t.th.), h. 131.

(38)

bagian satu di dalam lingkungan hukum itu hukumnya dalam segala hal sama dengan di bagian lain. Jawa sebagai daerah hukum adat yang menjadi obyek pembahasan dalam kajian ini, kebiasaan yang ada dan dilakukan dalam masyarakat merupakan sebuah kepentingan bersama sebagai bentuk pranata hukum secara sosial. Bentuk Pranata hukum dalam masyarakat pada akhirnya dikenal dengan adat atau hukum adat. Hukum adat yang berlaku di daerah tertentu dipengaruhi oleh sikap hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

5

Pergulatan interaksi antara hukum Islam dan adat ini sejak zaman kolonial memunculkan teori persinggungan yang pernah berlaku di Indonesia seperti teori receptie in complexu, teori receptie, teori receptio exit, dan teori receptio a contrario. Menurut kajian teori tersebut ditegaskan bahwa bagi umat Islam dalam bidang kewarisan sangat sulit dihindari adanya kaitan antara hukum Islam dan adat. Hal ini dikarenakan Integrasi Hukum. Dalam ajaran Islam tidak melarang umat Islam mengakomodasi adat asalkan tidak bertentangan dengan sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis.

6

Hukum Islam merupakan hukum yang cukup mengakomodasi hukum adat, kenyataannya hukum adat seringkali diterima sebagai hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

7

Teori persentuhan antara hukum Islam dan adat dapat dikemukakan seperti teori receptio in complexu yang dimunculkan oleh van Den Berg mengatakan bahwa bagi pemeluk agama tertentu berlaku hukum agamanya seperti kaum muslim, bagi mereka berlaku hukum Islam.

8

Hal ini dibuktikan dengan Statuta Batavia tahun 1642 yang menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum

5

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta:

PT. Gunung Agung, 1995), h. 64-65.

6

Rosyadi & Rais, 2006: 73- 83.

7

Habiburrahman, 2011:81

8

Kaptein & Meij, 1995: 1-6 (Soekanto, 1985:53

(39)

Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Kritik terhadap teori ini dimulai oleh van Vollenhoven (1874-1933).

Kemudian dilanjutkan oleh Snouck Hurgronje dengan teori receptie. Teori ini mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi, hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.

Teori receptio exit oleh Hazairin untuk membantah teori receptie mengatakan bahwa teori receptie sudah keluar, karena tidak sejalan dengan hukum di Indonesia. Teori resepsi tidak sesuai dengan latar belakang sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim sehingga teori ini disebut teori iblis, karena mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi perintah Allah dan Sunnah Rasul- Nya.

9

II. DOMINASI HUKUM ISLAM DAN ADAT

A. ADAT ACEH DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM

Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, dan memiliki budaya adat yang identik dengan Islam. Kehidupan budaya adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku, hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh.

Sebagai hasilnya Islam dan budaya Aceh menyatu, sehingga sukar dipisahkan.

Disini kaidah syariat Islam sudah merupakan bagian dari adat atau telah diadatkan. Sebaliknya, adat merupakan bagian dari Islam, atau yang telah diislamkan.

Hasil wawancara dengan salah satu pengurus Majelis Adat Aceh (MAA), menjelaskan bahwa “Islam dan budaya adat Aceh menjadi satu paket yang tak terpisahkan. Keduanya menyatu dan sangat berkaitan erat dalam kehidupan

9

Azizy, Ibid. 2002:155

Referensi

Dokumen terkait

Bagi membangunkan Sistem Sokongan Pembelajaran Kendiri atas Talian bagi topik Growth and Reproduction ini, beberapa ciri dititikberatkan untuk menghasilkan sebuah

yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori-teori yang berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan atau

Hasil data rekapitulasi kuesioner dari 15 pernyataan/instrument yang berhubungan langsung dengan indikator dari Kinerja (Y) pada tabel di atas menunjukkan yang paling

Setiap mahasiswa Universitas Syiah Kuala yang menjadi anggota UKM Cendekia Unsyiah bersedia mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh pengurus ukm

Karena itu, saya tertarik untuk membuat skripsi dengan topik Manajemen Keuangan yang berjudul ”Analisis Pengaruh Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Saham Pada Industri Barang

Dalam suatu koridor pejalan kaki tertentu (perlajur permeter) terdapat data kecepatan dan speed yang diperoleh dari survey volume dari pejalan kaki.. Data

Adapun kaitannya dengan penelitian yang penulis bahas adalah sama- sama membahas tentang wali serta persetujuan mempelai dalam perkawinan akan tetapi dari

Sampel yang digunakan adalah Quota sampling yaitu sampel dikumpulkan sampai mencapai jumlah yang diinginkan, jumlah sampel yang diinginkan adalah 50 responden persalinan