• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

2.1.1. Konsep Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Skiner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

(2)

1. Perilaku tertutup (covert behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut covert behaviour atau unobservable behaviour, misalnya seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV /AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

2. Perilaku terbuka (overt behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

Oleh sebab itu disebut overt behaviour, tindakan nyata atau praktek. Misal, seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk di imunisasi (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku Kesehatan

Berdasarkan batasan perilaku Skiner, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman serta lingkungan.

Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok :

(3)

1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintance)

Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek :

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relative, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.

c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman juga dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri (Notoatmodjo, 2003).

(4)

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Seorang ahli lain Becker dalam Notoatmodjo (2003) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan yaitu :

a. Perilaku hidup sehat (healthy behaviour)

Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.

b. Perilaku sakit (illness behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : penyebab, dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya.

c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)

Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).

(5)

Domain Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang) namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.

Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebabkan determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersikap given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Smet, 1994).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom, seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, ranah atau kawasan yakni : a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice ) (Notoatmodjo, 2003).

(6)

Determinan Perilaku

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Beberapa teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green dan WHO (World Health Organization).

1. Teori Lawrence Green

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor.

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku pertugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

(7)

Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya (predisposing factors), tetapi barangkali juga karena rumahnya jauh dengan posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling factors). Sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain di sekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors).

2. Teori WHO

Tim kerja dari WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok yaitu, pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku, dan kebudayaan masyarakat.

Pemikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (kesehatan) (Notoadmodjo, 2003).

(8)

2.1.5. Perubahan Perilaku

Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku (Notoatmodjo, 2003).

1. Perubahan Alamiah (Natural Change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di dalamnya juga mengalami perubahan (Notoadmodjo, 2003).

2. Perubahan Terencana (Planned Change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.

Misalnya, pak Anwar adalah perokok berat., karena pada suatu saat ia terserang batuk-batuk yang sangat mengganggu, maka ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit, dan akhirnya ia berhenti merokok sama sekali (Notoadmodjo, 2003).

3. Kesediaan untuk Berubah

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi tersebut (berubah perilakunya), dan sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah (readliness to change) yang berbeda- beda (Notoadmodjo, 2003).

(9)

2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Imunisasi Dasar Pada Bayi

Keberhasilan pemberian imunisasi kepada bayi memerlukan kerjasama dan dukungan dari semua pihak terutama kesadaran ibu-ibu yang mempunyai bayi untuk membawa bayinya ke fasilitas pelayanan imunisasi, seperti Posyandu, Rumah Sakit, Klinik Bersalin, Praktek Dokter atau Bidan.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi imunisasi dasar pada bayi adalah sebagai berikut :

2.2.1. Umur Ibu

Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama. Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya risk serta sifat resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap masalah kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh umur individu tersebut (Khalimah, 2007).

Dari penelitian Ali (2002), didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi.

2.2.2. Pendidikan Ibu

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan, batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak (Munib, 2004).

Menurut Dictionary of Education, pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari

(10)

sekolah), sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal (Munib, 2004).

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Munib, 2004)

2.2.3. Pekerjaan Ibu

Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bisa bermacam-macam, berkembang, dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya, dan orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada sesuatu keadaan yang lebih memuaskan dari pada keadaan sebelumnya (Anoraga, 1998).

Bagi pekerja wanita, mereka adalah ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita mempunyai beban dan hambatan lebih berat dibandingkan rekan prianya. Dalam arti wanita harus lebih dulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangganya, termasuk urusan imunisasi anaknya (Anoraga, 1998).

Dari penelitian Khalimah (2007), didapatkan bahwa pekerjaan ibu berhubungan dengan penerapan imunisasi campak.

2.2.4. Pendapatan

Menurut Sumardidan Dieter Evers dalam Khalimah (2007), pendapatan yaitu seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang dari pihak lain maupun dari

(11)

hasil sendiri. Jadi yang dimaksud pendapatan adalah suatu tingkat penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan dari orang tua dan anggota keluarga lainnya.

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih, 1995).

2.2.5. Pengetahuan (Knowledge)

Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus (objek).

(12)

3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5. Adoption, subjek telah berperilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku ini tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan.

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dan merupakan pengetahuan yang rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

(13)

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek atau materi.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakkan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

Pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar yang didapat dari pendidikan (Notoatmodjo, 2003).

2.2.6. Sikap (attitude) 2.2.6.1. Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

(14)

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2007).

Newcomb dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

2.2.6.2. Komponen Pokok Sikap

Allport yang dikutip dari Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :

1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sebagai contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar tentang penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya anaknya tidak terkena polio. Ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit polio.

(15)

2.2.6.3. Tingkatan Sikap 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).

2.2.6.4. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap

1. Faktor Internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.

2. Faktor Eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap (Notoatmodjo, 2003).

(16)

2.3. Tindakan Ibu

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) begitu juga dengan tindakan (practice) kesehatan seperti mengimunisasikan anaknya (Notoatmodjo, 2003).

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan atau peran serta. Untuk mewujudkan suatu sikap menjadi suatu perbuatan nyata atau peran serta diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orangtua atau mertua dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003).

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

2. Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah indikator praktek tingkat dua.

(17)

3. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengimunisasikan anaknya pada umur- umur tertentu tanpa menunggu ajakan atau perintah.

2.4. Imunisasi

Imunisasi merupakan upaya yang dilakukan guna mencegah penyakit tertentu, dengan jalan memberikan kekebalan secara pasif. Bayi yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Kekebalan (imunitas) seseorang dapat diperoleh sejak lahir yaitu imunitas bawaan (innate immunity) dan ada juga imunitas yang diperoleh (acquired immunity). Proses terjadinya imunitas dalam tubuh ada secara aktif yaitu apabila seseorang menderita penyakit tertentu seperti cacar air (varicella) dan campak (measles) atau diberikan imunisasi DPT, BCG dan lain-lain. Dikatakan imunitas secara aktif yaitu karena tubuh sendiri yang berusaha membuat pertahanan dengan membentuk antibodi setelah terinfeksi dengan bibit penyakit tadi, maupun melalui rangsangan dengan memberikan vaksin yang berisikan kuman-kuman penyakit yang telah dilemahkan atau toxin kuman penyakit yang disebut toxoid (Markum, 1987).

Kekebalan yang diperoleh secara aktif biasanya bertahan lama, malah seumur hidup. Selain kekebalan aktif tersebut ada juga yang diperoleh secara pasif yaitu kekebalan yang diperoleh karena bawaan sejak lahir, misalnya bayi yang baru lahir sampai berumur di bawah sembilan bulan tidak akan terkena campak karena

(18)

dalam tubuhnya telah ada antibodi yang diperoleh dari ibunya sewaktu berada dalam kandungan (Markum, 1987).

2.4.1. Perkembangan Imunisasi di Indonesia

Di Indonesia, program imunisasi telah dimulai sejak abad ke 19 untuk membasmi penyakit cacar di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi dinyatakan negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980 mulai diperkenalkan imunisasi BCG, DPT dan TT secara berturut-turut untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit TBC anak, difteri, pertusis dan tetanus neonatorum.

Tahun 1981 dan 1982 berturut-turut mulai diperkenalkan antigen polio dan campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai Kecamatan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) (Depkes RI, 2005).

Pada tahun 1984, cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4%. Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73%

pada akhir tahun 1989. Strategi ini terutama ditujukan untuk memperkuat infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Dengan bantuan donor internasional (antara lain WHO, UNICEF, USAID) program berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin . Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur (Depkes RI, 2000).

(19)

Dengan status program demikian, pemerintah bertekad untuk mencapai UCI yaitu komitmen internasional dalam rangka Child Survival pada akhir tahun 1990.

Dengan penerapan strategi mobilisasi sosial dan pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), UCI ditingkat nasional dapat dicapai pada akhir tahun 1990.

Akhirnya lebih dari 80% bayi di Indonesia mendapat imunisasi lengkap sebelum ulang tahunnya yang pertama. (Depkes RI, 2000).

Dengan capaian program Imunisasi dasar rutin lebih dari 80%, selama 10 tahun sejak tahun 1995 sampai 2005, maka di Indonesia tidak ditemukan kasus polio.

Tetapi pada Maret 2005, ditemukan virus polio liar yang berasal dari Nigeria di desa Cidahu Jawa Barat. Kemudian kasus polio menyebar ke beberapa provinsi. Sehingga untuk memutus rantai penularannya, pemerintah segera melakukan imunisasi serentak pada daerah-daerah yang terdapat kasus polio. Kemudian imunisasi dilanjutkan dengan 5 kali putaran Pekan Imunisasi Nasional pada tahun 2005 dan 2006. Dengan dilakukannya upaya imunisasi tersebut, sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio liar di Indonesia (Anonim, 2009)

Mulai tahun 1992 diperkenalkan imunisasi Hepatitis B di beberapa kabupaten di beberapa propinsi dan mulai tahun 1997 imunisasi Hepatitis B dilaksanakan secara nasional. Sampai saat ini program imunisasi di Indonesia secara rutin memberikan antigen BCG, DPT, Polio, Campak, dan hepatitis B (Anonim, 2009).

2.4.2. Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat,

(20)

karena dengan imunisasi tubuh akan membuat zat antibodi dalam jumlah yang cukup banyak sehingga anak menjadi kebal atau imun terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut (Ranuh, 2001).

Program imunisasi dasar merupakan salah satu program priorotas Dirjen PPM&PL (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan). Adapun dalam imunisasi dasar meliputi DPT, Polio, BCG, Campak dan Hepatitis. Sebagai sasaran adalah bayi berumur 0-1 tahun. Tujuan dari imunisasi dasar adalah tercapainya kekebalan Penyakit yang dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) pada masyarakat (Depkes RI, 2005).

Tanpa imunisasi sekitar 2 dari 100 kelahiran hidup akan meninggal karena batuk rejan, 2 dari 100 kelahiran hidup akan meninggal karena tetanus. Imunisasi yang dilakukan dengan memberikan vaksin tertentu akan melindungi anak dari penyakit-penyakit tertentu. Walaupun saat ini fasilitas pelayanan untuk imunisasi telah tersedia di masyarakat tetapi tidak semua bayi telah dibawa untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap (Depkes RI, 1997).

2.4.3. Lima Imunisasi Dasar Lengkap

1) Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer atau yang ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG, pencegahan imunisasi BCG untuk TBC yang berat seperti TBC pada selaput otak, TBC Milier (pada seluruh lapangan paru) atau TBC tulang. Imunisasi BCG ini merupakan vaksin yang mengandung

(21)

kuman TBC yang telah dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan diberikan pada bayi umur 2 atau 3 bulan, kemudian cara pemberian imunisasi BCG melalui intra dermal. Efek samping pada BCG dapat terjadi ulikus pada daerah suntikan dan dapat terjadi limfadenitis regional, dan reaksi panas (Hidayat, 2005).

TBC merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia. Kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia, utamanya melalui paru-paru dengan cara menghirup udara yang terkontaminasi dengan kuman TBC. Anak-anak yang terpapar oleh kuman TBC untuk pertama kalinya, akan menderita penyakit TBC yang dikenal dengan sebutan komplek primer. Kuman yang berhasil ditangkap di saluran pernapasan bronkhus, lalu diseret ke dalam kelenjar limfe. Namun karena kuman TBC ini amat bandel untuk dimatikan, kadang kuman TBC malah bisa menginfeksi kelejar limfe.

Bila anak dengan pertahanan tubuh yang cukup karena memliki status gizi yang baik, maka umumnya tubuh dapat menahan serangan infeksi TBC, dan penyakitnya tidak berkembang. Sampai tahap tersebut anak yang bersangkutan sukses menahan serangan kuman TBC. Pada anak-anak penyakit TBC dapat menimbulkan komplikasi, menjalar ke otak dan menimbulkan meningitis (meningitis tuberculosa).

Penyakit ini sangat berbahaya, karena menimbulkan kematian dan kelainan saraf apabila survive dan dapat menimbulkan kecacatan yang permanen (Achmadi, 2006).

Daya kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin BCG amat bervariasi. 85 persen daya kekebalan yang telah ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG semasa lahir akan menurun efektifitasnya ketika anak menjelang dewasa. Meskipun terdapat

(22)

kontroversi terhadap pemberian vaksin BCG, terutama dalam hal kemampuan perlindungan terhadap serangan TBC, ada kesepakatan bahwa pemberian BCG dapat mencegah timbulnya komplikasi seperti radang otak atau meningitis yang diakibatkan oleh TBC pada anak. Dengan demikian, BCG masih bermafaat khususnya dalam mencegah timbulnya cacat pascameningitis. Dengan kata lain, vaksin BCG masih diperlukan bagi anak-anak (Achmadi, 2006).

2) Imunisasi DPT (Diptheri, Pertusis, dan Tetanus)

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Waktu pemberian imunisasi DPT melalui intra muskular.

Efek samping pada DPT mempunyai efek ringan dan efek berat, efek ringan seperti pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan, demam sedangkan efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock (Hidayat, 2005).

(23)

3) Imunisasi Polio

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi polio adalah empat kali. Waktu pemberian imunisasi polio pada umur 0-11 bulan dengan interval pemberian 4 minggu. Cara pemberian imunisasi melalui oral ( Hidayat, 2005).

4) Imunisasi Campak

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena penyakit ini sangat menular. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali.

Waktu pemberian imunisasi campak pada umur 9-11 bulan. Cara pemberian imunisasi campak melalui subkutan kemudian efek sampingnya adalah dapat terjadi ruam pada tempat suntikan dan panas (Hidayat, 2005).

5) Imunisasi Hepatitis B

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis yang kendungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis tiga kali. Waktu pemberian imunisasi hepatitis B pada umur 0-11 bulan. Cara pemberian imunisasi ini adalah intramuskular (Hidayat, 2005).

2.4.4. Usia dan Jadwal Imunisasi

Usia yang baik untuk diberikan imunisasi secara lengkap adalah sebelum bayi mendapat infeksi dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, berilah

(24)

imunisasi sedini mungkin setelah bayi lahir dan usahakan melengkapi imunisasi sebelum bayi berumur 1 tahun, hal ini berkaitan dengan semakin menurunnya daya tahan tubuh bayi yang diperoleh dari ibunya. Khusus untuk campak dimulai segera setelah anak berusia 9 bulan, kemungkinan besar pembentukan zat kekebalan dalam tubuh anak dihambat oleh karena masih adanya zat kekebalan yang berasal dari darah ibu.

Urutan pemberian jenis imunisasi, berapa kali harus diberikan serta jumlah dosis juga sudah ditentukan sesuai dengan kebutuhan tubuh bayi. Penggabungan pemberian imunisasi DPT dengan Hepatitis B (HB) yang dinamakan DPT+HB Combo dengan tujuan untuk meningkatkan cakupan jenis imunisasi, mengurangi jumlah suntikan imunisasi dan menghemat biaya vaksin.Untuk jenis imunisasi yang harus diberikan lebih dari sekali juga harus diperhatikan rentang waktu antara satu pemberian dengan pemberian berikutnya. Untuk lebih jelasnya seperti terdapat pada tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi

Umur Vaksin Tempat

Bayi lahir di rumah :

0 bulan HB1 Rumah

1 bulan BCG, Polio1 Posyandu

2 bulan DPT/HB kombo1, Polio2 Posyandu 3 bulan DPT/HB kombo2, Polio3 Posyandu 4 bulan DPT/HB kombo3, Polio4 Posyandu

9 bulan Campak Posyandu

Bayi lahir di RS/Bidan Praktek :

0 bulan HB1, Polio1, BCG RS/ Bidan

2 bulan DPT/HB kombo1, Polio2 RS/ Bidan 3 bulan DPT/HB kombo2, Polio3 RS/ Bidan 4 bulan DPT/HB kombo3, Polio4 RS/ Bidan

9 bulan Campak RS/ Bidan

Sumber : Depkes RI, 2005.

(25)

2.4.5. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, polio, dan campak. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai bahaya penyakit-penyakit tersebut :

a. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa (disebut juga batuk darah). Penyakit ini menyebar melalui pernafasan

lewat bersin atau batuk . Gejala awal penyakit adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus-menerus, nyeri dada dan (mungkin) batuk darah. Gejala lain tergantung pada organ yang diserang. Tuberculosis dapat menyebabkan kelemahan dan kematian (Depkes RI, 2005).

b. Difteri

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik dan pernafasan. Gejala awal

penyakit adalah radang tenggorokan, hilang nafsu makan dan demam ringan. Dalam 2-3 hari timbul selaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil. Difteri dapat menimbulkan komplikasi berupa gangguan pernafasan yang berakibat kematian (Depkes RI, 2005).

c. Pertusis

Disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari adalah penyakit pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Penyebaran pertusis adalah melalui tetesan-tetesan kecil yang keluar dari batuk atau bersin. Gejala

(26)

penyakit adalah pilek, mata merah, bersin, demam dan batuk ringan yang lama- kelamaan batuk menjadi parah dan menimbulkan batuk menggigil yang cepat dan keras. Komplikasi pertusis adalah pneumonia bacterialis yang dapat menyebabkan kematian (Depkes RI, 2005).

d. Tetanus

Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang menghasilkan neurotoksin. Penyakit ini tidak menyebar dari orang ke orang, tetapi melalui kotoran yang masuk ke dalam luka yang dalam. Gejala awal penyakit adalah kaku otot pada rahang disertai kaku pada leher, kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam. Pada bayi terdapat juga gejala berhenti menyusui (sucking) antara 3-28 hari setelah lahir. Gejala berikutnya adalah kejang yang hebat dan tubuh menjadi kaku. Komplikasi tetanus adalah patah tulang akibat kejang, pneumonia dan infeksi lain yang dapat menimbulkan kematian (Depkes RI, 2005).

e. Hepatitis B

Hepatitis B (penyakit kuning) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis b yang merusak hati. Penyebaran penyakit terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi selama proses persalinan dan melalui hubungan seksual.

Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada ialah merasa lemah, gangguan perut, dan gejala lain seperti flu. Urine menjadi kuning, kotoran menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula pada mata ataupun kulit. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatic, kanker hati dan menimbulkan kematian (Depkes RI, 2005).

(27)

f. Polio

Penyakit polio dapat dicegah dengan pemberian vaksin polio. Dikenal sebagai penyakit lumpuh pada anak. Penyakit ini ditandai dengan panas badan, sakit tenggorokan, mual, sakit kepala, diare, kekakuan pada leher, punggung dan lengan.

Penyakit ini dapat menyebabkan kesulitan bernafas, kelumpuhan dan kematian.

Merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan pada anak lebih dari 2 tahun.

Keluhannya berupa panas badan, lemah, lidah menjadi kotor. Pada kasus yang berat dapat menimbulkan perdarahan usus, penurunan kesadaran, meningitis sampai menimbulkan kematian (Depkes RI, 2005).

g. Campak (measles)

Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus measles. Disebarkan melalui droplet bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, conjunctivitis (mata merah). Selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki.

Komplikasi campak adalah diare hebat, peradangan pada telinga dan infeksi saluran nafas (pneumonia) (Depkes RI, 2005).

2.4.6. Efek samping Imunisasi

Dewasa ini pemberian imunisasi dapat dikatakan sudah aman, meskipun demikian karena vaksin yang dimasukkan merupakan kuman yang telah dilemahkan maka biasanya setelah pemberian imunisasi bayi mengalami gejala umum seperti demam disertai perilaku rewel dan menangis. Sebenarnya gejala demam dan panas itu

(28)

merupakan hal yang menunjukkan reaksi vaksin di dalam tubuh sehingga tidak perlu dicemaskan (Theophillus, 2004).

Bagi ibu yang bayinya telah diimunisasi sering kali salah menafsirkan gejala tersebut, hal ini berakibat bayinya tidak dibawa untuk imunisasi pada jadwal berikutnya (Anonim, 2005).

Sesuai dengan keputusan KONIKA (Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak) tahun 1984 bahwa sakit ringan bukanlah indikasi kontra untuk pemberian imunisasi. Hal ini perlu diperhatikan oleh para petugas kesehatan sebab hal tersebut sangat berbeda dengan anggapan lama bahwa imunisasi dapat diberikan hanya pada anak yang sehat (Depkes RI, 1997).

Berdasarkan petunjuk pelaksanaan pengembangan program imunisasi (Depkes RI, 1990) imunisasi dapat diberikan kepada :

1. Anak sehat 2. Anak pilek

3. Anak batuk rejan/tanpa sesak nafas. Bila anak batuk berat obati dulu dan imunisasinya ditunda sampai batuknya sembuh.

4. Anak diare,enam kali

5. Kurang gizi, derajat ringan dan sedang, berikan terutama vaksinasi Campak karena merupakan kelompok resiko tinggi untuk terserang campak.

6. Sakit ringan yang lain 7. Alergi

(29)

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep, dapat dirumuskan definisi konsep variabel penelitian sebagai berikut :

1. Faktor Predisposisi ibu adalah faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku pada diri ibu untuk memberikan imunisasi dasar lengkap pada bayi.

2. Pemberian imunisasi dasar lengkap oleh ibu adalah tindakan ibu dalam pelaksanaan imunisasi pada bayi dari pemberian imunisasi BCG, DPT, HB, Polio dan Campak

2.6. Hipotesa Penelitian

Dari gambar kerangka konsep di atas, maka hipotesa pada penelitian ini adalah terdapat pengaruh faktor predisposisi (meliputi : umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak pengetahuan dan sikap ibu ) terhadap tindakan ibu dalam pemberian imunisasi dasar lengkap di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010.

Faktor Predisposisi -Umur

-Pendidikan -Pekerjaan -Pendapatan -Pengetahuan -Sikap

Pemberian imunisasi dasar lengkap oleh ibu

Gambar

Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Association between gestational age and birth weight on the language development of Brazilian children: a systematic review.. Early Language Learning and Literacy:

Bahan Bakar Nabati dari nyamplung ( Calophyllum inophyllum Linn dapat digunakan sebagai subsitusi minyak tanah ( biokerosene ) dan substitusi minyak solar ( biodiesel ).

Khusus pada ketentuan Pasal 11 ayat (3) Perpres 14/2021 pada frasa “prinsip tata kelola’’ dalam hal ini makna hukum pada frasa “prinsip tata kelola’’ tersebut menimbulkan

---,Generasi Muda dan Politik di Indonesia , Makalah yang disampaikan pada seminar tentang wanita, Generasi Muda dan Politik di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Dewan

Sebelum 1 Januari 2015, suatu pengendalian atas entitas anak dianggap ada bilamana Perusahaan menguasai secara langsung atau tidak langsung lebih dari 50% (lima puluh persen) hak

Beberapa kegunaan teori dalam penelitian adalah (a) mendefinisikan orientasi utama dari ilmu dengan cara memberikan definisi terhadap jenis- jenis data yang akan

Variabel yang menunjukkan kualitas fisikokimiawi buah tomat meliputi persentase susut berat, koefisien kematangan buah, nilai kualitas visual, derajat keasaman (pH), padatan

Penurunan biaya yang justru lebih besar dibandingkan dengan peningkatan biaya disebabkan karena penelitian dilakukan setelah periode terjadinya krisis keuangan