• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perancangan Modul Pelatihan Kecerdasan Emosional pada Siswa/i Kelas 1 SMP "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perancangan Modul Pelatihan Kecerdasan Emosional pada Siswa/i Kelas 1 SMP "X" Bandung."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

In this research has been done a design of training module that been given to “X” Junior School students grade I in Bandung who have a low level of Emotional Intelligence as research sample. This training module has been designed to increase emotional intelligence in Junior School grade I students that has been done in two days. This research is a quasi-experimental research using pre-post test single group research design which used to recognize if there is any improvement in the level of Emotional Intelligence in Junior School grade I students through Wilcoxon statistic test. Method that been used to evaluate this research module is evaluation based on reaction and learning level (Kirkpatrick, 1998).

Summary of this research is there is an increase in emotional intelligence level in Junior School grade I students who have a low level of Emotional Intelligence which revealed in students’ emotional intelligence score improvement; a suitable instructor and facilitator is one factor that support the success of the training, while the factor that most support to the success of this training based on evaluation of participants is movie observation; the training valued as having satisfied quality, very useful for self development and could be applied in daily lives.

(2)

iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Dalam penelitian ini telah dilaksanakan suatu perancangan modul pelatihan yang diberikan kepada siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung yang memiliki taraf kecerdasan emosional yang rendah sebagai sampel penelitian. Modul pelatihan ini dirancang untuk dapat meningkatkan kecerdasan emosional pada siswa/i kelas 1 SMP dan dilaksanakan selama dua hari. Penelitian ini dikelompokkan ke dalam penelitian quasi-eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian single group pre-post test design untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan taraf kecerdasan emosional pada siswa/i kelas 1 SMP melalui uji statistik Wilcoxon. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi modul pelatihan ini adalah evaluasi berdasarkan level reaction dan learning (Kirkpatrick, 1998).

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat peningkatan kecerdasan emosional pada siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung yang memiliki taraf kecerdasan emosional yang rendah yang terlihat dari adanya peningkatan skor kecerdasan emosional pada siswa/i; instruktur dan fasilitator yang tepat merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pelaksanaan pelatihan ini; sedangkan faktor yang paling mendukung keberhasilan dari pelatihan ini berdasarkan evaluasi peserta adalah observasi film; penyelenggaraan pelatihan dinilai memiliki kualitas yang sangat memuaskan, sangat bermanfaat untuk pengembangan diri dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

(3)

v Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ...i

LEMBAR PENGESAHAN...ii

ABSTRACT...iii

ABSTRAK...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR BAGAN...x

DAFTAR TABEL...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Identifikasi Masalah ...11

1.3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian...11

1.3.1. Maksud Penelitian...11

1.3.2. Tujuan Penelitian...12

1.3.3. Kegunaan Penelitian...12

1.4. Metodologi ...13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosional...14

2.1.1. Pengertian Kecerdasan Emosional...14

2.1.2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional...16

2.1.3. Ciri-ciri dari Kelima Aspek Kecerdasan Emosional...23

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional.. 25

2.2. Masa Remaja ...29

2.2.1. Ciri-ciri Masa Remaja...31

2.2.2. Masa Remaja Awal ...34

2.2.3. Keadaan Emosi Pada Masa Remaja...37

2.2.4 Tugas-tugas Perkembangan Pada Masa Remaja ...38

2.2.5. Perubahan Perkembangan Kognitif Pada Masa Remaja ...39

2.2.6. Perubahan Sosial Pada Masa Remaja...41

2.3. Experiental Learning...43

2.3.1. Karakteristik dari Experiental Learning...44

2.3.2. Fase dari Experiental Learning...46

2.3.3. Metode dalam Experiental Learning...54

(4)

vi Universitas Kristen Maranatha

2.4.1. Pembelajaran pada Kategori Knowledge...67

2.4.2. Pembelajaran pada Kategori Awareness dan Responding...68

2.4.3. Pembelajaran pada Kategori Perception...69

2.5. Evaluasi Program Pelatihan...70

2.6. Instruktur ...72

2.7. Kerangka Pemikiran...72

2.8. Asumsi Penelitian...82

2.9. Hipotesis Penelitian...82

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian...83

3.2. Variabel Penelitian...84

3.3. Alat Ukur Kecerdasan Emosional...86

3.3.1 Validitas Kuesioner Kecerdasan Emosional...90

3.3.2. Realibilitas Kuesioner Kecerdasan Emosional ...91

3.4. Populasi dan Subjek Penelitian...93

3.5. Karakteristik Sampel...93

3.6. Langkah-langkah dalam Penyusunan Modul Pelatihan...94

3.7. Rancangan Program Pelatihan...95

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian...100

4.1.1. Hasil Uji Statistik...100

4.1.2. Hasil Evaluasi Reaksi Peserta terhadap Program Pelatihan.102 4.1 Pembahasan...114

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...124

5.2. Saran...126

DAFTAR PUSTAKA ...128

(5)

vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Gambar 1.1. Bagan

Metodologi………13 Gambar 2.1. Bagan Kerangka

Pikir…..………81 Gambar 3.1. Bagan Rancangan

(6)

viii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kisi-kisi Alat Ukur Kuesinoer Kecerdasan Emosional………...86

Tabel 4.1. Hasil Pre Test dan Post Test………..101

Tabel 4.2. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Materi Sesi I, II & III……….102

Tabel 4.3. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Permainan Sesi I, II dan

III……….104

Tabel 4.4. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Instruktur dan

Fasilitator Sesi I, II dan III………..105

Tabel 4.5. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Waktu Sesi I, II dan

III……….106

Tabel 4.6. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Fasilitas Sesi I, II dan

III……….107

Tabel 4.7. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Materi Sesi IV dan

V ………..109

Tabel 4.8. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Permainan terhadap

Materi Sesi IV dan V………...110

Tabel 4.9. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Instruktur dan

Fasilitator terhadap Materi Sesi IV dan V………...111

Tabel 4.10. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Waktu terhadap

(7)

ix Universitas Kristen Maranatha Tabel 4.11. Tabel Persentase Reaksi Peserta terhadap Fasilitas terhadap

(8)

x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Kuesioner Kecerdasan Emosional

LAMPIRAN 2 Hasil Analisa Item (Validitas Alat Ukur)

LAMPIRAN 3 Surat Kesediaan Belajar

LAMPIRAN 4 Modul Pelatihan Kecerdasan Emosional

LAMPIRAN 5 Evaluasi Program Pelatihan Hari Pertama dan Hari

Kedua

LAMPIRAN 6 Kuesioner Evaluasi Program Pelatihan Keseluruhan

LAMPIRAN 7 Materi Pelatihan Kecerdasan Emosional

LAMPIRAN 8 Hasil Kualitatif Evaluasi Hari Pertama dan Hari

Kedua

LAMPIRAN 9 Hasil Kualitatif Evaluasi Program Pelatihan

(9)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Kesuksesan (keberhasilan, keberuntungan) yang berasal dari dasar

kata sukses yang berarti berhasil, beruntung (Kamus Bahasa

Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

pelatihan. Bahkan sejak kecil pun, anak-anak sudah mengenal kata ini dan

menjadikannya sebagai unsur dari cita-cita mereka. Oleh karena itu kata ini

menjadi begitu familiar di telinga kita sampai hari ini.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencapai kesuksesan

dalam hidup ini, salah satunya adalah melalui pendidikan. Bahkan

Pemerintah pun mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun yaitu

dengan mewajibkan setiap anak untuk menempuh pendidikan sampai

tingkat IX atau SMP kelas 3, dimana pada jenjang SMP ini, para siswa

memasuki masa yang disebut masa remaja. Pada masa remaja ini

merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Pada tahap ini, siswa/i SMP memiliki karakteristik serta tugas

perkembangan sendiri. Tugas perkembangan yang dapat diselesaikan sesuai

dengan tahapan perkembangannya akan membantu menyelesaikan tugas

(10)

2

Universitas Kristen Maranatha pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan serta

mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 1999).

Salah satu tugas perkembangan yang dihadapi oleh siswa/i SMP

adalah mengenai kematangan emosi, seperti mencapai kemandirian

emosional dan memiliki hubungan yang “matang” dengan siswa/i SMP

lainnya. Ciri perilaku yang muncul pada masa ini, gejolak emosi sedang

meninggi karena mereka sedang berada di bawah tekanan sosial, dimana

mereka diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan harus

menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan

sekolah. Tanpa disadari mereka dituntut untuk matang secara emosi, dimana

emosinya tidak “meledak” di hadapan orang lain disaat mereka kesal,

melainkan dapat menahan reaksi emosional ini, menunggu sampai saat dan

tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara

yang lebih dapat diterima oleh orang lain di lingkungan. Petunjuk

kematangan emosi yang lain adalah pada saat siswa/i dapat menilai situasi

secara kritis terlebih dahulu dimana ia berada sebelum bereaksi secara

emosional, sehingga mereka dapat memahami hal-hal yang boleh dan tidak

boleh dilakukan saat berada pada situasi tersebut (Santrock, 2002).

Penjelasan di atas, memperlihatkan bahwa pencapaian suatu

kematangan emosi membuat siswa/i dapat lebih diterima secara sosial.

Untuk mencapai kematangan emosi, mereka harus belajar memperoleh

(11)

3

Universitas Kristen Maranatha sehingga mereka mampu mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan

orang lain. Untuk dapat mengidentifikasi, siswa/i perlu memiliki banyak

pengalaman dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Di dalam

interaksi, mereka harus belajar bagaimana menyesuaikan perasaannya

dengan perasaan orang lain; yaitu saat berinteraksi dengan teman sebaya,

adik dan kakak kelas di sekolah, anggota keluarga yang ada di rumah

(termasuk orang tua), teman di luar rumah dan di luar sekolah, maupun

guru. (Hurlock, 1999).

Interaksi dengan teman sebaya menjadi sangat penting bagi siswa/i

dan sangat berpengaruh pada keputusan-keputusan yang diambil (Santrock,

2002). Teman sebaya dinilai dapat memberikan dukungan dan satu-satunya

yang dapat memahami pikiran dan perasaan sesama mereka. Oleh karena

itu, mereka membutuhkan banyak teman dan membutuhkan juga diterima

keberadaannya oleh teman-temannya. Sekolah merupakan salah satu sarana

yang mudah bagi siswa/i untuk memperoleh teman. Selain berteman dengan

teman sebaya, mereka juga dapat menemukan teman sebagai adik kelas

maupun kakak kelas. Di samping itu, mereka juga mendapat kesempatan

untuk menjalin interaksi dengan guru-guru.

Kemampuan seseorang untuk dapat berinteraksi sesuai dengan

tuntutan lingkungan membutuhkan keterampilan pemberian respon pada

saat berinteraksi dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, adik dan

kakak kelas, maupun dengan guru, sehingga dapat tercipta suatu hubungan

(12)

4

Universitas Kristen Maranatha kecenderungan untuk bertingkah laku agresif, menarik diri, atau gabungan

keduanya yang lama-kelamaan akan “dijauhi” oleh teman-temannya atau

membentuk geng tersendiri yang biasanya menimbulkan banyak masalah di

dalam maupun di luar sekolah (Singgih D. Gunarsa, 2003). Menurut hasil

penelitian dari Universitas Gunadarma yang dipublikasikan tanggal 2 Maret

2010 tentang kenakalan siswa/i SMP dengan sampel dari 30 siswa/i (27

siswa dan 3 siswi ) di daerah Pondok Pinang kota metropolitan Jakarta,

diperoleh hasil sebagai berikut: 17 siswa/i (56,7 %) terlibat perkelahian

dengan teman, 21 siswa (70 %) melakukan tindakan kebut-kebutan dengan

kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM dimana 19 siswa diantaranya

termasuk ke dalam geng motor, dan 30 siswa/i (100 %) pergi keluar rumah

tanpa pamit (http://4ld1.wordpress.com/2010/03/02/kenakalan-remaja).

Mereka yang kurang mempunyai teman, akan kurang mendapat

kesempatan dan pengalaman dalam membina interaksi baik dengan teman

sebaya, adik dan kakak kelas, guru serta anggota masyarakat lainnya.

Perkembangan keterampilan dalam memberi reaksipun menjadi terhambat

karena kurang terbiasa memberi reaksi secara spontan, kurang cepat paham

terhadap perasaannya sendiri dan perasaan temannya ketika harus

memberikan suatu reaksi. Artinya, ia belum bisa memenuhi tugas

perkembangannya yaitu mencapai kematangan emosi, sehingga akan

menghambat tugas perkembangan pada fase berikutnya. Seperti beberapa

fenomena yang terjadi belakangan ini yaitu kita mendengar di beberapa

(13)

5

Universitas Kristen Maranatha sepele. Berikut ini adalah beberapa data mengenai kasus bunuh diri atau

percobaan bunuh diri siswa/i SMP di beberapa sekolah: tanggal 22 Mei

2007, siswi SMP 14 tahun dengan inisial NES (di kota Jogyakarta) mencoba

bunuh diri dikarenakan malu belum melunasi uang pembayaran piknik

sekolah sebesar 155 ribu rupiah. Tanggal 5 April 2010, siswa SMP di

Jakarta Utara dengan inisial R berusia 15 tahun, bunuh diri karena ditolak

keinginannya untuk mengikuti kejar Paket C oleh orang tuanya. Tanggal 17

Juni 2010, seorang siswi SMP di Probolinggo-Jawa Timur nekat mencoba

bunuh diri dengan jalan meminum bensin pada saat jam istirahat sekolah

oleh karena patah hati.

Uraian di atas menggambarkan bahwa pencapaian kematangan

emosi itu sangat penting dan tidak mudah bagi setiap siswa/i SMP untuk

mencapai kematangan tersebut. Seperti halnya dengan keluhan yang

disampaikan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan SMP “X” Bandung,

yang mengatakan bahwa ada kasus prestasi siswa/i menurun drastis yang

ternyata disebabkan putus dengan pacarnya, dan ada juga yang disebabkan

oleh hubungan dengan guru dari mata pelajaran tertentu tidak baik.

Bukanlah hal yang aneh bila melihat dan mendengar keluhan dari guru-guru

bahwa siswanya tidak memperhatikan atau tidak memperdulikan guru yang

sedang mengajar di depan kelas. Teguran yang disampaikan guru tidak

membuat siswa menjadi memperhatikan, melainkan menjadi marah dan

menggerutu atau mengejek guru tersebut di belakangnya. Kondisi ini

(14)

6

Universitas Kristen Maranatha memberi reaksi kepada gurunya karena ia kurang paham perasaan guru

sebagai orang yang seharusnya ia hargai. Ia kurang dapat mengantisipasi

perasaan guru bila muridnya melakukan tindakan seperti itu, sehingga

tingkah laku yang ditampilkan murid tersebut menjadi “kurang sesuai”

dengan tuntutan lingkungan.

Keluhan lain adalah perkataan dari siswa yang dinilai kurang sopan

terhadap guru, berani membantah dengan nada suara yang tinggi. Kemudian

guru BP tersebut juga menceritakan sebuah cerita yang cukup menarik yang

dikeluhkan oleh salah satu siswanya. Ia mengatakan bahwa teman-temannya

terkadang tidak menghiraukan perasaannya. Pagi itu, di saat jam istirahat

pertama, ia duduk menyendiri dan hampir menangis, teman-temannya

datang dan bertanya mengenai apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia

kemudian menceritakan bahwa pagi tadi sebelum ia berangkat ke sekolah, ia

dimarahi oleh kakaknya yang sudah kuliah, namun teman-temannya malah

meledeknya dengan mengatakan bahwa ia anak yang cengeng, baru segitu

saja sudah menangis. Padahal sebenarnya siswa tersebut sedang merasa

marah terhadap kakaknya, tidak terima atas perlakuan kakaknya, merasa

karena kakaknya sudah jauh lebih tua maka bisa seenaknya saja memarahi

dirinya. Oleh karena itu reaksi yang diungkapkan oleh teman-temannya

membuat ia bertambah marah sehingga ia pergi meninggalkan mereka. Ia

merasa bahwa teman-temannya tidak mau memahami perasaannya.

Sementara teman-temannya tidak mengerti apa yang membuat siswa

(15)

7

Universitas Kristen Maranatha siswa yang lain yang mengatakan bahwa ia seringkali merasa kesal karena

sering bermasalah dengan teman-temannya dan apapun masalahnya ia

merasa bahwa semua itu tidak ada yang salah dengan dirinya karenanya ia

tidak mau meminta maaf dan menuntut orang lain yang meminta maaf pada

dirinya.

Menurut pengamatan guru BP SMP “X” ini, keluhan-keluhan serupa

seperti yang disebutkan diatas, terutama datang dari siswa-siswi kelas 1.

Keluhan-keluhan tersebut menggambarkan bahwa siswa/i masih belum

dapat mengenali reaksi emosi yang ditampilkan orang lain dan berempati;

mengelola dan memanfaatkan emosi untuk memotivasi diri; serta belum

mampu bereaksi sesuai tuntutan lingkungan. Sebagaimana kita ketahui

bahwa siswa/i kelas 1 SMP memerlukan sebuah penyesuaian baru sebagai

hasil peralihan tingkat sekolah yaitu dari tingkat SD ke SMP, dimana

terdapat peraturan-peraturan yang berbeda, tuntutan-tuntutan atau tanggung

jawab yang lebih besar daripada saat mereka masih berada di tingkat SD.

Proses penyesuaian ini tidak terjadi begitu saja, perlu adanya pembelajaran

dan mencoba cara-cara berperilaku tertentu yang sesuai dengan tuntutan

tugas perkembangan yang sedang berlangsung pada masa ini. Proses

pembelajaran ini tidak selalu berjalan mulus, bahkan terkadang dapat

menimbulkan masalah, baik bagi siswanya sendiri maupun bagi orang lain

atau lingkungan di sekitarnya.

Secara teoritis, kondisi tersebut dapat dijelaskan melalui aspek-aspek

(16)

8

Universitas Kristen Maranatha Goleman, 2007), yaitu kemampuan individu untuk menangkap perasaan

serta reaksi emosi yang dirasakan, baik oleh diri sendiri maupun orang lain,

mampu membedakan antara perasaan serta reaksi emosi yang dirasakan

kemudian memanfaatkan informasi tersebut untuk mengarahkan pikiran dan

tindakan yang akan dilakukan. Kecerdasan emosional bukanlah sesuatu

yang ada begitu saja dalam diri seseorang melainkan dapat terbina melalui

suatu proses interaksi. Bahkan, menurut Goleman, kekurangan-kekurangan

di dalam keterampilan emosional ini dapat diperbaiki sampai tingkat yang

setinggi-tingginya di mana masing-masing wilayah menampilkan bentuk

kebiasaan dan respon yang, dengan upaya yang tepat, dapat dikembangkan.

Konsep yang dikemukakan oleh Daniel Goleman (2007) ini

membawa suatu harapan baru bagi para siswa/i kelas 1 SMP yang secara

tugas perkembangannya harus melampaui suatu kematangan emosi dan

membangun hubungan sosial yang positif dengan orang lain, dimana saat

yang bersamaan mereka juga dihadapkan dengan suatu gejolak emosi yang

meninggi karena sedang berada di bawah tekanan sosial yaitu mereka

diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan dengan orang

dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1999).

Berdasarkan pandangan Daniel Goleman (2007) mengenai

kecerdasan emosional serta wawancara dengan guru BP diatas, peneliti

tertarik untuk melihat taraf kecerdasan emosional para siswa/i kelas 1 SMP

“X” Bandung ini secara lebih mendalam. Peneliti melakukan assessment

(17)

9

Universitas Kristen Maranatha dengan guru BP dan para wali kelas. Berdasarkan hasil wawancara

didapatlah 20 siswa/i yang memiliki ciri-ciri kecerdasan emosional yang

rendah. Dari kedua puluh siswa/i ini lalu dijaring lebih lanjut untuk

mengetahui taraf kecerdasan emosionalnya. Dari 20 siswa/i kelas 1 SMP ini,

tampak bahwa 4 orang (20%) memiliki kecerdasan emosional yang berada

pada taraf di atas rata-rata (tinggi), 8 orang (40%) memiliki kecerdasan

emosional yang berada pada taraf rata-rata (sedang), 8 orang (40%)

memiliki kecerdasan emosional yang berada pada taraf di bawah rata-rata

(rendah).

Dari 8 siswa/i yang tergolong rendah taraf kecerdasan emosionalnya,

terdapat dua orang (25%) masih belum mampu mengenali dan merasakan

emosinya dengan baik, kurang memahami penyebab dari perasaan yang

timbul dan kurang dapat mengenali perbedaan antara perasaan dan tindakan

(aspek 1 dari kecerdasan emosional). Empat orang (50%) belum mampu

mengelola emosi dengan baik, kurangnya toleransi terhadap masalah dan

ketegangan jiwa yang terjadi (aspek kedua dari kecerdasan emosional).

Enam orang (75%) kurang mampu memanfaatkan emosi secara produktif,

mereka kurang dapat menguasai diri dan memanfaatkan emosi mereka

menjadi sesuatu yang membangkitkan energi untuk bangkit kembali dan

menjadikan kegagalan menjadi sesuatu pembelajaran untuk hal berikutnya

(aspek ketiga dari kecerdasan emosional). Tujuh orang (87,5%) kurang

mampu dalam mengenali emosi orang lain (berempati), kurang mampu

(18)

10

Universitas Kristen Maranatha Delapan orang (100%) kurang mampu dalam menyelesaikan pertikaian

dengan kata-kata dan cara yang tepat, kurang memikirkan kepentingan

orang lain dalam membina hubungan dengan sesama (aspek kelima dari

kecerdasan emosional). Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat 8

siswa/i kelas 1 SMP “X” memiliki kecerdasan emosional yang rendah

sehingga perlu dibantu untuk mengoptimalkan kecerdasan emosionalnya.

Berangkat dari fenomena-fenomena yang terjadi beberapa waktu

belakangan ini serta data-data yang diperoleh peneliti mengenai

keluhan-keluhan yang disampaikan oleh guru BP dan assessment kebutuhan akan

kecerdasan emosional para siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung, serta konsep

teori yang disampaikan oleh Daniel Goleman (2007) ini, peneliti

bermaksud melakukan penelitian dengan merancang suatu modul pelatihan

kecerdasan emosional yang merupakan salah satu bentuk tipe pembelajaran

pengalaman dalam experiental learning. Pemilihan tipe pembelajaran ini

dilakukan karena perubahan yang diharapkan terjadi bukan hanya sampai

pada pemahaman kognitif (siswa/i mengetahui aspek-aspek kecerdasan

emosional) melainkan sampai dengan afektif (dimana siswa/i menunjukkan

kepekaan pada kebutuhan orang lain dan mengakui perbedaan setiap

individu). Materi pelatihan yang diberikan mengacu pada konsep

kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Daniel Goleman (2007) dan

disesuaikan dengan assessment kebutuhan yang telah dilakukan terhadap

(19)

11

Universitas Kristen Maranatha

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan data-data yang diperoleh peneliti mengenai

keluhan-keluhan yang disampaikan oleh guru BP dan assessment kebutuhan akan

kecerdasan emosional para siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung dimana

terdapat 8 siswa/i kelas 1 yang taraf kecerdasan emosionalnya tergolong

rendah, maka peneliti bermaksud melakukan intervensi terhadap

keluhan-keluhan atau masalah yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak

kepala sekolah SMP “X” ini, diketahui bahwa belum pernah ada pelatihan

kecerdasan emosional terhadap siswa/i kelas 1 sebelumnya. Oleh karena itu

intervensi yang akan dilakukan dalam hal ini akan berupa sebuah pelatihan

kecerdasan emosional. Untuk melakukan sebuah pelatihan kecerdasan

emosional, sebelumnya dibutuhkan sebuah rancangan modul pelatihan itu

sendiri. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dirancang suatu modul

pelatihan kecerdasan emosional pada siswa/i kelas 1 di SMP “X” Bandung.

1.3. MAKSUD, TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah membuat sebuah rancangan modul

pelatihan kecerdasan emosional yang disusun untuk meningkatkan

kecerdasan emosional siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung dan menguji coba

(20)

12

Universitas Kristen Maranatha

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan rancangan modul

pelatihan kecerdasan emosional setelah dilakukan uji coba modul kepada

siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung.

1.3.3. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Kegunaan Teoritis

• Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya

bidang Psikologi Pendidikan tentang rancangan modul

pelatihan kecerdasan emosional khususnya bagi siswa/i kelas

1 SMP ”X” Bandung.

• Sebagai landasan informatif untuk penelitian selanjutnya

yang berhubungan dengan kecerdasan emosional bidang

Psikologi Pendidikan khususnya bagi siswa/i kelas 1 SMP

”X” Bandung.

2. Kegunaan Praktis

• Bagi pihak sekolah agar terbantu dalam mencerdaskan

siswa-siswinya untuk dapat menjadi individu yang lebih baik lagi

bukan hanya dari sisi akademiknya saja, tetapi juga dari sisi

(21)

13

Universitas Kristen Maranatha Melakukan assessment

awal untuk mengetahui kebutuhan dasar siswa/i

kelas 1 SMP pada jenjang kelas 1 SMP ”X” Bandung

akan kecerdasan

• Bagi guru BP dan guru-guru lainnya di SMP “X” Bandung,

diharapkan dapat dilanjutkan secara berkesinambungan

sebagai salah satu program dari program pengembangan

character building dari siswa-siswi kelas 1 SMP “X”.

• Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu para

siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung untuk lebih menyadari

emosinya dan juga emosi orang lain di sekitarnya;

mengelola, memanfaatkan dan mengekspresikan emosinya

dengan lebih baik, sehingga proses penyesuaian sosial

mereka dengan orang lain dapat menjadi lebih baik.

1.4. METODOLOGI

Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(22)

124

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data

terhadap 8 peserta pelatihan yaitu siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung yang

memiliki kecerdasan emosional yang rendah, dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Terdapat perubahan tingkat kecerdasan emosional pada para peserta

setelah mengikuti pelatihan kecerdasan emosional. Dalam hal ini,

tingkat kecerdasan emosional pada siswa/i kelas 1 SMP “X”

Bandung yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah

mengalami peningkatan setelah mengikuti pelatihan. Parameter atau

indikatornya adalah meningkatnya skor tiap aspek dari kecerdasan

emosional. Hal ini menjawab hipotesa penelitian bahwa rancangan

modul pelatihan kecerdasan emosional dapat meningkatkan taraf

kecerdasan emosional siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung yang

memiliki kecerdasan emosional yang rendah.

2. Rancangan program pelatihan kecerdasan emosional secara umum

menghasilkan reaksi yang positif dari siswa/i SMP “X” Bandung

ditinjau dari segi materi, instruktur dan fasilitator, waktu

pelaksanaan dan fasilitas yang disediakan. Hal ini menjadi faktor

(23)

125

Universitas Kristen Maranatha kecerdasan emosional pada siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung

dengan kecerdasan emosional yang rendah dapat menunjukkan

adanya peningkatan.

3. Faktor yang paling mendukung keberhasilan pelatihan kecerdasan

emosional berdasarkan evaluasi reaksi peserta terhadap modul

pelatihan adalah instruktur. Instruktur dinilai sangat menguasai

materi yang diberikan serta dapat menyampaikannya dengan gaya

bahasa yang menarik (tidak terlalu formal disesuaikan dengan

siswa/i kelas 1 SMP) serta dengan semangat dan bersifat komunikasi

dua arah sehingga suasana pelatihan menjadi hidup.

4. Metode observasi film juga merupakan salah satu faktor penting

dalam tercapainya keberhasilan pelatihan kecerdasan emosional ini

menurut hasil evaluasi reaksi peserta terhadap modul pelatihan, yaitu

sebagian besar peserta menyatakan bahwa observasi film merupakan

hal yang dirasakan paling menarik dari pelatihan kecerdasan

emosional ini.

5. Secara keseluruhan, dari dua hari pelatihan, menurut peserta,

pelatihan kecerdasan emosional ini dinilai sangat memuaskan,

sangat bermanfaat, sangat menarik dan dapat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari. Peserta juga menilai bahwa dengan mengikuti

pelatihan ini, mereka merasa memiliki kemampuan yang lebih dalam

(24)

126

Universitas Kristen Maranatha produktif; mengenali emosi orang lain (empati) dalam membina

hubungan dengan orang lain.

6. Berdasarkan poin 1 sampai 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa

maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti telah

tercapai.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan pada

bab sebelumnya, maka peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu:

1. Pada hari pertama, sebaiknya diberikan sebuah klip film yang dapat

mewakili materi pada sesi I, II dan III. Hal ini terkait dengan hasil

observasi dan evaluasi bahwa sebagian besar peserta memberikan

respon sangat positif terhadap pemutaran film pada hari kedua.

2. Pada hari kedua, sebaiknya diadakan role playing untuk lebih dapat

menerapkan materi yang telah diberikan pada sesi IV dan V. Hal ini

sesuai dengan Walter & Marks (1981) bahwa metode role playing

merupakan cara terbaik untuk partisipan mengalami perasaan

tertentu dan melatih kemampuan tertentu, yang dalam hal ini adalah

kecerdasan emosional.

3. Diperlukan ukuran ruangan untuk pelatihan yang lebih besar

daripada yang digunakan sekarang (4,5 x 5 m2) sehingga tidak

menghambat ruang gerak peserta dalam melakukan aktivitas

(25)

127

Universitas Kristen Maranatha 4. Bagi keempat siswa yang mengalami penurunan hasil post test

kecerdasan emosional, perlu diadakan follow-up oleh guru BP yang

bersangkutan.

5. Bagi penelitian lebih lanjut, dapat dilakukan evaluasi modul

pelatihan kecerdasan emosional untuk mengetahui sampai sejauh

mana efektivitas dari pelatihan kecerdasan emosional ini.

Diharapkan dengan adanya saran-saran dalam rancangan modul

pelatihan kecerdasan emosional yang disusun untuk siswa/i kelas 1 SMP

“X” Bandung, modul pelatihan dapat lebih mencapai tujuan utamanya,

yakni menghasilkan suatu perancangan program pelatihan yang dapat

mengembangkan pengetahuan kecerdasan emosional siswa/i kelas 1 SMP

“X” Bandung. Saran-saran yang penulis sampaikan disini hanya berkaitan

dengan siswa/i kelas 1 SMP “X” Bandung. Rancangan program pelatihan

untuk digunakan di tempat lain perlu disesuaikan dengan kondisi dan

(26)

128

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Bloom, Benjamin S., etc. 1956. Taxonomy of Educational Objectives : The Classification of Educational Goals, Handbook I Cognitive Domain. New York : Longmans, Green and Co.

Campbell, Donald T & Stanley, J.C. 1996. Experimental and quasi-Experimental Design for Research. Chicago: Rand Monally College Publishing Company.

Graziano, Anthony M. & Michael L. Raulin. 2000. Research Methods, A Process of Inquiry. Neidham Height : A Pearson Education Company.

Gunarsa, Singgih D. & Ny. Y. Singgih D. Gunarsa. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. 2007. Kecerdasan Emosional. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hurlock, Elizabeth B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Kirkpatrick, D. L. 1998. Evaluating Training Program, 2nd edition. San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.

Minium, Edward W., dkk. 1993. Statistical Reasoning in Psychology and Education, 3th edition. Canada: John Wiley and Son, Inc.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Steinberg, L. 2002. Adolescence,6th edition. New York : Mc. Graw Hill.

Silberman, Melvin L. 1990. Active Training: a handbook of techniques, designs, case examples, and tips. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Walter, Gordon A & Stephen E.M. 1981. Experiental Learning and Change : Theory Design & Practice. Toronto : John Wiley & Sons.

Referensi

Dokumen terkait

Diterima pada salah sat u perguruan t inggi di luar negeri pada peringkat 200 t erbaik dunia. Atau memiliki sertifikat kejuaraan/ prestasi pada tingkat perguruan tinggi, atau

Research yang dilakukan oleh semua dosen (hibah bersaing, OPF, dan pengembangan dosen muda yang dipublikasikan dalam jurnal penelitian dan laporan

 Apa yang terjadi pada produktifitas anda antara Putaran 1 dan Putaran 2. Antara Putaran 2 dan

[r]

[r]

Menurut jumhur ulama rukun pernikahan sendiri ada lima yaitu adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan, adanya wali dari pihak wanita, adanya dua orang saksi,

CYNTHYA LESTARI RUMAHORBO : Structure and Composition Variety In Agroforestry Systems Based On Kemenyan In Forest Area Batangtoru West Block Adiankoting District of North

Laporan tugas akhir ini mengulas tentang sistem reservasi yang digunakan di Mulia Tour and Travel Solo, hubungan Ticketing Departemant dengan departement lain yang ada